Home Blog Page 244

Apakah Mzm 84:6 mengacu pada air zam- zam?

3

Pertanyaan:

Shalom Katolisitas.org
saya bingung di kolom tanya jawab, tak ada form..
mungkin di form buku tamu juga tak apa2..

ada seorang teman dari forum bertanya ttg Maz. 84 6-7:
84:5
(84-6) Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!
84:6
(84-7) Apabila melintasi lembah Baka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air; bahkan hujan pada awal musim menyelubunginya dengan berkat.

ada yg mengatakan ada kaitannya dengan sumur zam-zam..
Sehingga ayat ini menjadi perbincangan.

Trimakasih
Shalom aleichem b’sem ha massiah..

Jawaban:

Shalom Beni,

Teks Mzm 84:6-8 berbunyi demikian,

“Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah! Apabila melintasi lembah Baka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air; bahkan hujan pada awal musim menyelubunginya dengan berkat. Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion.”

Atau teks bahasa Inggris Douay Rheim Bible terjemahan Vulgate & Septuagint adalah:

“Blessed is the man whose help is from thee: in his heart he hath disposed to ascend by steps, In the vale of tears, in the place which he hath set. For the lawgiver shall give a blessing, they shall go from virtue to virtue: the God of gods shall be seen in Sion.”

Maka lembah Baka yang disebut di dalam kitab Mzm 84:6-8 ini berkaitan dengan Sion, yaitu tepatnya di Yerusalem, tempat umat Allah mendaki dan melakukan ziarah. Berikut ini adalah konteks ayat tersebut dalam satu kesatuan di Mzm 84:

ay. 1 (2) Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam! (How lovely are thy tabernacles, O Lord of hosts! -DRB)

ay. 3 (4) pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam, ya Rajaku dan Allahku! (Thy altars, O Lord of hosts, my king and my God– DRB)

ay. 4 (5) Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu… (Blessed are they that dwell in thy house, O Lord… DRB)

ay. 7 (8) Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion. (…they shall go from virtue to virtue: the God of gods shall be seen in Sion– DRB)

ay. 10 (11) Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik. (I have chosen to be an abject in the house of my God, rather than to dwell in the tabernacles of sinners – DRB)

Dengan demikian, maka interpretasi Mzm 84:6 tidak dapat dipisahkan dari maksud ayat- ayat lain dalam perikop Mzm 84 tersebut, dan ayat- ayat tersebut tidak mengacu kepada Ka’abah di Mekah:

1. Sebab yang disebut di sini adalah ‘tempat kediaman/ tabernakel Allah’ (ay. 1); yang berulang kali disebut dalam Kitab Suci mengacu kepada Yerusalem (1 Raj 11:36; 14:21), meskipun Allah sendiri tidak terbatas dalam sebuah bangunan (lih. 1 Raj 8:27). Kitab Keluaran dan kitab- kitab PL lainnya menyebutkan kehadiran Allah yang nyata dalam tabernakel bait Allah tersebut. Kitab Keluaran bab 25-40 mengisahkan bagaimana Allah sendiri memerintahkan bangsa Israel untuk membangun kemah suci dan tabernakel, yang kemudian dipenuhi-Nya dengan kemuliaan-Nya  (lih.  Kel 40:35). Konsep tabernakel sebagai tempat kehadiran Allah sendiri, tidak menjadi konsep Ka’abah.

2. Di sini disebutkan tentang mezbah/ altar yang juga diperlukan untuk mempersembahkan korban, sebagaimana ditentukan oleh Tuhan (Kel 27:1-8; 1 Raj 8:64). Konsep altar ini tidak ada dalam Ka’abah.

3. Tidak ada orang yang tinggal dalam Ka’abah namun di bait Allah di Yerusalem, terdapat banyak ruangan di pelatarannya (1 Taw 28:11,12) di mana orang- orang yang bertanggung jawab untuk peribadatan tinggal di dalamnya.

4. Tujuan ziarah yang disebut dalam Mzm 84, bukanlah Mekah, tetapi Sion. Bukit Sion adalah salah satu bukit di mana kota Yerusalem didirikan, Kitab Suci sering menyamakan Yerusalem dengan Sion (Yes 2:2).

5. Kata “ziarah” yang digunakan di sini berasal dari kata “mes̱illāh” (Ibrani) yang berasal dari akar kata yang berarti jalan raya (road/ highway). Kata yang sama juga dipakai untuk menjelaskan perjalanan, dalam kitab para nabi di jaman dahulu (Bil 20:19; Hak 20:31-32, 20:45). Maka ziarah di sini tidak sama dengan makna ibadah haji bagi umat Muslim, namun merupakan jalan mendaki ke bukit Sion, yang secara simbolis berarti perjuangan untuk mencapai surga.

6. Dalam bait Allah dikenal fungsi “penjaga pintu” (lih. 2 Raj 25:18), istilah yang dipakai dalam Mzm 84:10 adalah sāp̱ap̱, yaitu seseorang yang berdiri di ambang pintu bait Allah, yang bertugas sebagai penjaga pintu. Fungsi penjaga pintu ini juga tidak ada pada Ka’abah.

Jadi, lembah Baka ini memang dapat di-interpretasikan dengan dua cara:

1. Secara literal

Lembah Baka [menurut bahasa Ibrani ‘emeq habakka‘] memang dapat dihubungkan dengan tempat tertentu secara historis. Ada pula yang menganggap bahwa lembah Baka ini adalah “lembah dari pohon balsam” seperti yang disebut dalam 2 Sam 5:24, atas dasar bahwa baka kemungkinan dapat diartikan sebagai getah pohon (‘gum-exuding/ weeping tree‘)…. Ada juga yang menghubungkan arti baka ini dengan adanya air yang menetes, sebab istilah ini sering dihubungkan dengan sungai dan wadi, seperti yang dikenal dengan Wadi al Baka di daerah Sinai, dan Baka di wadi di daerah Galilea, Wadi of Meroth…. (sumber: David Nole, ed. Chief, the Anchor Bible Dictionary, Vol. 1, Doubleday, p. 566).

Maka lembah Baka ini dapat mengacu kepada suatu tempat yang nyata, yang dilewati oleh para peziarah dalam perjalanan ziarah mereka ke Yerusalem. Kurang lebih letaknya adalah seperti yang tertera di atlas ini, Valley of Baca/ Valley of Hinnom, silakan klik

2. Secara simbolis/ figuratif.

Lembah Baka merupakan ekspresi simbolis dari “kesedihan/ tangisan duka”. Sebab para peziarah yang melewati tanah yang kering tetap dapat mengalami suka cita pengharapan di saat mereka mendekati tempat tujuan ziarah tersebut, yaitu Yerusalem/ Sion, seperti yang disebutkan pada ayat selanjutnya. Yerusalemlah yang menjadi tujuan ziarah umat Israel, dan bukan tempat yang lain.

Selanjutnya, Yerusalem merupakan istilah simbolis dari Surga (Yerusalem yang baru, Why 3:12, 21:2). Ziarah kita menuju ke sana memang melalui lembah air mata di dunia ini, sampai akhirnya kita sampai di suatu tempat di mana tidak ada lagi tetes air mata (lih. Why 21:4). Firman Tuhan mengajarkan bahwa kita akan mencapai surga setelah melalui penganiayaan dan ujian hidup (lih. Yes 48: 10; Mat 5: 11-12; Mat 16:24; Yoh 16:33; Rom 5:3-5; 1 Pet 1:6-7; 1 Pet 4:13-14; Yak 1:2-4; Ibr 2:10; Ibr 12:6,10), “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai.” (Mzm 126:5)

KESIMPULAN

Jadi kesimpulannya, memang terdapat setidaknya dua tempat dengan nama Baka, yaitu Wadi al Baka di sekitar Sinai (yang dikenal dengan Bakkah/ Mekkah) dan Baka di wadi daerah Galilea. Lembah Baka yang disebutkan dalam Kitab Mazmur dapat diartikan secara literal sebagai Lembah Baka di daerah Galilea, di sekitar Yerusalem; namun juga dapat diartikan secara simbolis sebagai lembah air mata/ lembah kesengsaraan di dunia yang harus ditempuh umat beriman sebelum ia sampai menuju ke surga. Mengingat bahwa akar bahasa Semitik antara Arab dan Ibrani memiliki kemiripan, maka tak mengherankan bahwa terdapat nama- nama atau istilah- istilah yang juga mirip dalam kedua bahasa tersebut. Namun agaknya kemiripan ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menginterpretasikan ayat Kitab Suci sesuai dengan pengertian umat Muslim, karena untuk menginterpretasikan satu ayat Kitab Suci, kita harus selalu melihat konteksnya, dan hubungannya dengan ayat- ayat lainnya dalam kesatuan ajaran Kitab Suci. Dengan demikian, Mzm 84:5-8 tersebut tidak mengacu kepada Mekah ataupun air zam-zam; namun kepada pengertian lembah Baka di dekat Yeruselam dan lembah air mata, seperti yang telah dijabarkan di atas.

Demikianlah Beni, yang dapat saya tuliskan untuk menjawab pertanyaan anda.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Komentar atas Dokumen Responsa ad questiones de aliquibus sententiis ad doctrinam de ecclesia pertinentibus”

0

Dari Katolisitas:

Berikut ini adalah terjemahan dokumen Gereja yang berjudul Komentar atas Dokumen Responsa ad Questiones de Aliquibus Sententiis Ad Doctrinam de Ecclesia Pertinentibus – dari salah seorang pembaca, Anastasius. Terjemahan ini sudah diperiksa dan dikoreksi oleh Ingrid Listiati dari Katolisitas, namun tetap masih merupakan terjemahan tidak resmi (un-official translation) dari dokumen tersebut.

Kepada Anastasius , terima kasih atas kiriman terjemahan ini. Semoga Tuhan memberkati anda sekeluarga.

[Dear Katolisitas,
Terima kasih banyak atas dimuatnya terjemahan tak resmi yang telah saya kerjakan, berikut ini saya sertakan lagi terjemahan dokumen doktrinal dari CDF berjudul “Komentar atas dokumen; Responsa ad Questiones de Aliquibus Sententiis Ad Doctrinam de Ecclesia Pertinentibus”, dokumen ini adalah komentar resmi CDF atas dokumen tersebut, semoga dapat mendekatkan kita umat Katolik kepada dokumen Gereja yang dengannya mengenalkan kekayaan khasanah iman Katolik.

Tuhan Memberkati anda sekalian dan kita semua

Anastasius]

KATA PENGANTAR PENERJEMAH

Dokumen ini berisikan komentar Konggregasi untuk Ajaran Iman atas dokumen sebelumnya yang berjudul; “Responsa ad Questiones de Aliquibus Sententiis Ad Doctrinam de Ecclesia Pertinentibus” yang membahas beberapa pertanyaan spesifik mengenai Gereja pasca Konsili Vatikan II. Komentar-komentar ini memberikan penjelasan yang lebih detil untuk dokumen tersebut dan juga memberikan sebuah refleksi pastoral bagi misi ekumenisme Gereja.
Teks asli dalam bahasa Inggris diambil dari http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_20070629_commento-responsa_en.html pada tanggal 10 Mei 2010 pukul 20.00
Semoga bermanfaat bagi kita semua umat Katolik dalam memahami ajaran-ajaran Gereja yang tertuang dalam berbagai dokumen-dokumen resmi autoritatif.

Salam dan doa,

Anastasius

KONGGREGASI UNTUK AJARAN IMAN

KOMENTAR ATAS DOKUMEN “RESPONSA AD QUESTIONES DE ALIQUIBUS SENTENTIIS AD DOCTRINAM DE ECCLESIA PERTINENTIBUS”;
TANGGAPAN-TANGGAPAN ATAS BEBERAPA PERTANYAAN MENGENAI BEBERAPA ASPEK DOKTRIN TENTANG GEREJA

Dalam dokumen ini, Konggregasi untuk Ajaran Iman memberikan tanggapan atas sejumlah pertanyaan mengenai pandangan yang menyeluruh perihal Gereja, yang muncul dari ajaran-ajaran dogmatis dan ekumenis Konsili Vatikan II. Konsili ini ‘dari Gereja tentang Gereja’ mengisyaratkan, menurut Paulus VI, “sebuah era baru bagi Gereja” di mana “wajah sesungguhnya dari Mempelai Kristus telah secara utuh tercermati dan tersingkap.” (1) Berbagai rujukan telah sering dilakukan kepada dokumen-dokumen pokok dari Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II serta kepada berbagai intervensi Konggregasi untuk Ajaran Iman, yang semua itu terinspirasi oleh pemahaman yang semakin mendalam tentang Gereja itu sendiri, dan beberapa di antaranya ditujukan untuk mengklarifikasi banyaknya teologi pasca konsili yang penting- yang tidak semuanya kebal dari ketidaktepatan dan kesalahan.

Dokumen ini terinspirasi oleh hal serupa. Justru karena beberapa penelitian teologi kontemporer telah salah, atau ragu, Konggregasi bermaksud untuk menjelaskan arti otentik dari pernyataan-pernyataan eklesiologis tertentu dari Magisterium. Untuk alasan ini maka Konggregasi telah memilih menggunakan gaya penulisan dari Responsa ad questiones, yang secara kodrati tidak berusaha untuk melebihi argumen-argumen untuk membuktikan doktrin tertentu, melainkan dengan membatasi diri kepada ajaran-ajaran sebelumnya dari Magisterium, menunjukkannya hanya untuk memberikan tanggapan yang tentu dan pasti atas beberapa pertanyaan spesifik.

Pertanyaan pertama yaitu mempertanyakan apakah Konsili Vatikan II mengubah doktrin yang telah dipegang sebelumnya mengenai Gereja.

Pertanyaan tersebut mempermasalahkan arti dari apa yang Paulus VI uraikan dalam kutipan tersebut di atas sebagai ‘wajah baru’ dari Gereja yang ditawarkan oleh Vatikan II.

Tanggapannya, berdasarkan ajaran dari Yohannes XXIII dan Paulus VI, adalah sangat jelas: Konsili Vatikan II tidak bermaksud untuk mengubah – dan oleh karena itu tidaklah mengubah – doktrin sebelumnya tentang Gereja. Konsili hanya memperdalam dan mengartikulasikannya dengan cara yang lebih organis. Ini adalah, dalam kenyataannya, apa yang dikatakan oleh Paulus VI dalam diskursusnya yang mempromulgasikan Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium ketika ia menetapkan bahwa dokumen tersebut tidak mengubah doktrin tradisional tentang Gereja, melainkan “apa yang dahulu diasumsikan, kini menjadi eksplisit; bahwa yang dahulu tidak jelas, kini telah menjadi jelas; apa yang dahulu direnungkan, didiskusikan dan terkadang diperdebatkan, kini telah diletakkan bersama dalam satu rumusan yang jelas.” (2)

Terdapat juga suatu kontinuitas antara doktrin yang diajarkan oleh Konsili dengan intervensi selanjutnya dari Magisterium yang telah mengangkat dan memperdalam doktrin yang sama ini, yang dengan sendirinya merupakan sebuah perkembangan. Dengan pengertian ini, sebagai contohnya, Deklarasi dari Konggregasi untuk Ajaran Iman Dominus Iesus hanya menegaskan kembali ajaran konsiliar dan post-konsiliar tanpa menambah atau mengurangi apa pun.

Dalam masa post-Konsili, bagaimanapun, dan sekalipun ada penegasan-penegasan yang jelas ini, ajaran dari Vatikan II telah dan terus berlanjut sebagai obyek interpretasi- interpretasi yang salah, yang berbeda dengan ajaran tradisional Katolik tentang sifat dasar Gereja: entah melihatnya sebagai ‘revolusi Copernican’ atau yang lainnya yaitu menekankan beberapa aspek dengan hampir mengesampingkan aspek-aspek lainnya. Pada kenyataannya, maksud utama dari Konsili Vatikan II adalah secara jelas untuk memasukkan diskursus tentang Gereja di dalam lingkup serta berada di bawah [urutan] diskursus tentang Tuhan, oleh karena itu menawarkan sebuah eklesiologi yang sungguh-sungguh teo-logis. Penerimaan ajaran Konsili ini telah, bagaimanapun, seringkali tidak jelas pada poin ini, merelatifkannya berdasarkan penekanan- penekanan eklesiologis pribadi, dan seringkali menekankan beberapa kata atau frasa tertentu yang mendorong pengertian parsial dan timpang dari doktrin konsiliar yang sama ini.

Berdasarkan eklesiologi dari Lumen Gentium, beberapa pemikiran kuncinya tampak telah masuk ke dalam sebuah kesadaran gerejawi: pemikiran akan Umat Allah, kolegialitas para Uskup sebagai sebuah peninjauan kembali dari persekutuan para Uskup bersama dengan keutamaan Paus, sebuah pembaharuan pemahaman tentang Gereja-gereja individual dalam Gereja Universal, aplikasi ekumenis tentang konsep Gereja serta keterbukaannya terhadap agama-agama lain; dan akhirnya mengenai pertanyaan sifat dasar dari Gereja Katolik yang terekspresikan dalam sebuah rumusan yang berdasarkan atas Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik – seperti dikatakan oleh credo tersebut – subsistit in Ecclesia catholica.

Dalam pertanyaan-pertanyaan selanjutnya, dokumen ini memperhatikan beberapa pemikiran ini, terutama mengenai kodrat spesifik Gereja Katolik bersamaan dengan apa yang dimaksudkan secara ekumenis dari pemahaman ini.

Pertanyaan kedua mempertanyakan tentang apa yang dimaksud dengan penegasan bahwa Gereja Kristus berada dalam [subsists in] Gereja Katolik.

Ketika G. Philips menuliskan bahwa frase “subsistit in” telah menimbulkan ’sungai tinta’ (3) yang akan tertumpahkan, ia mungkin tidak pernah membayangkan bahwa diskusi ini akan berlanjut untuk sekian lama atau dengan intensitas yang dapat menggugah Konggregasi untuk Ajaran Iman untuk menerbitkan dokumen ini sekarang.

Penerbitan dokumen ini, berdasarkan atas teks-teks konsiliar dan postkonsiliar yang dikutipnya, merefleksikan perhatian Konggregasi untuk melindungi kesatuan dan persatuan Gereja, yang akan terancam oleh pemikiran bahwa Gereja yang didirikan oleh Kristus dapat berupa lebih dari satu subsistensi. Jika benar ini adalah masalahnya, maka kita akan dipaksa, sebagaimana Deklarasi Mysterium Ecclesiae mengatakannya, untuk membayangkan bahwa “Gereja Kristus adalah seperti jumlah total dari Gereja-gereja atau komunitas-komunitas gerejawi – yang secara bersamaan berbeda-beda namun tersatu”, atau “untuk berpikir bahwa Gereja Kristus sudah tidak ada lagi secara nyata sekarang ini dan maka dari itu hanyalah sebuah obyek riset bagi Gereja-gereja dan komunitas-komunitas tersebut.” (4) Jika benar ini adalah masalahnya, Gereja Kristus akan menjadi tiada dalam sejarah, atau hanya akan eksis dalam semacam bentuk ideal yang muncul baik melalui beberapa usaha-usaha persatuan atau melalui penyatuan kembali (reunification) dari berbagai Gereja-gereja sesaudari, untuk senantiasa diharapkan dan dicapai melalui dialog.

Notifikasi dari Konggregasi untuk Ajaran Iman mengenai sebuah buku dari Leonardo Boff adalah lebih eksplisit. Dalam tanggapan atas pernyataan Boff bahwa Gereja Kristus yang satu “adalah mungkin untuk berada dalam Gereja-gereja Kristen yang lain”, Notifikasi menyatakan bahwa “Konsili memilih kata “subsistit” secara khusus untuk menjelaskan bahwa Gereja yang sejati hanya memiliki satu “subsistensi”, dan sementara itu di luar batas-batasnya yang ada hanyalah “elementa Ecclesiae” yang – sebagai elemen-elemen dari Gereja yang sama – memiliki kecondongan dan mengarahkan kepada Gereja Katolik.” (5)

Pertanyaan ketiga mempertanyakan mengapa ungkapan “subsistit in” lebih dipilih daripada sebuah kata “est”.

Adalah justru perubahan terminologi ini dalam deskripsi hubungan antara Gereja Kristus dengan Gereja Katolik yang telah menimbulkan berbagai macam interpretasi yang sangat banyak, di atas semuanya itu, dalam bidang ekumenisme. Pada kenyataannya, para Bapa Konsili hanya bermaksud untuk mengenali kehadiran elemen-elemen gerejawi yang sesuai dengan Gereja Kristus di dalam komunitas-komunitas Kristiani non Katolik. Hal ini tidaklah mengakibatkan bahwa identifikasi Gereja Kristus dengan Gereja Katolik tidak berlaku lagi, ataupun tidak juga bahwa di luar Gereja Katolik adalah sama sekali tidak terdapat elemen-elemen gerejawi, sebuah “kehampaan tanpa Gereja” (a “churchless void”). Artinya adalah, jika ungkapan “subsistit in” diperhitungkan dalam konteksnya yang benar, yaitu, dengan acuan kepada Gereja Kristus “didirikan dan terorganisir di dunia ini sebagai sebuah masyarakat … dipimpin oleh penerus Petrus beserta para Uskup yang bersekutu dengannya”, maka perubahan dari est menjadi subsistit in tidak mengambil arti teologis khusus yang terputus dengan doktrin Katolik sebelumnya.

Dalam kenyataannya, justru karena Gereja yang dikehendaki oleh Kristus terus senantiasa hadir (subsistit in) dalam Gereja Katolik, kesinambungan subsistensi ini menyiratkan sebuah identitas yang penting antara Gereja Kristus dan Gereja Katolik. Konsili berkeinginan untuk mengajarkan bahwa kita bertemu dengan Gereja Yesus Kristus sebagai sebuah subyek historis yang konkret di dalam Gereja Katolik. Oleh karena itu, pemikiran bahwasanya subsistensi tersebut dapat sepertinya dilipatgandakan tidak mengungkapkan apa yang dimaksud dengan pemilihan istilah “subsistit”. Dalam memilih kata “subsistit” Konsili bermaksud untuk mengungkapkan sebuah singularitas dan tak “terlipatgandakan” dari Gereja Kristus: Gereja hadir sebagai sebuah realitas historis yang unik.

Berlawanan dengan banyaknya interpretasi yang tak berdasar, maka dari itu, perubahan dari “est” menjadi “subsistit” tidak mengartikan bahwa Gereja Katolik telah berhenti mengenali dirinya sebagai Gereja Kristus yang satu dan sejati. Melainkan semakin menekankan keterbukaannya yang lebih besar terhadap niat ekumenis untuk mengenali ciri-ciri gerejawi yang sesungguhnya beserta dimensi-dimensinya di dalam komunitas-komunitas Kristiani yang tidak bersekutu penuh dengan Gereja Katolik, oleh karena adanya “plura elementa sanctificationis et veritatis” di dalam diri mereka. Akibatnya, sekalipun hanya ada satu Gereja yang “berada” (subsists) dalam subyek historis yang satu dan unik, terdapat pula realitas-realitas gerejawi sejati yang hadir di luar batas-batasnya yang terlihat.

Pertanyaan keempat mempertanyakan mengapa Konsili Vatikan II menggunakan kata “Gereja-gereja” untuk menjelaskan Gereja-gereja Oriental yang tidak bersekutu penuh dengan Gereja Katolik.

Meskipun penegasan eksplisit bahwa Gereja Kristus “berada” (subsists) dalam Gereja Katolik, pengakuan bahwa bahkan di luar batas-batasnya yang terlihat “banyak elemen-elemen pengudusan dan kebenaran” (6) ditemukan, menyiratkan ciri gerejawi – walaupun bermacam-macam – dari Gereja-gereja non-Katolik atau Komunitas-komunitas gerejawi. Tak satu pun dari pernyataan ini berarti “hilangnya arti dan kepentingan” dalam artian bahwa “Roh Kritus tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan mereka sebagai sarana keselamatan.” (7)

Dokumen ini mempertimbangkan terutama kenyataan bahwa Gereja-gereja oriental tidak bersekutu penuh dengan Gereja Katolik dan dengan merujuk kepada berbagai teks konsili, memberikan kepada mereka sebutan “Gereja-gereja partikular atau lokal” juga menyebut mereka sebagai Gereja-gereja sesaudari dari Gereja-gereja Katolik partikular karena mereka masih tetap bersatu dengan Gereja Katolik melalui suksesi apostolik dan perayaan Ekaristi yang valid “yang melaluinya Gereja Tuhan dibangun dan bertumbuh.” (8) Deklarasi Dominus Iesus menyebut mereka secara eksplisit sebagai “Gereja-gereja partikular sejati.” (9)

Meskipun pengakuan tegas tentang mereka “sebagai Gereja-gereja partikular” serta nilai-nilai keselamatan mereka, dokumen ini tidak dapat mengabaikan luka (defectus) yang mereka derita secara khusus di dalam keberadaan mereka sebagai Gereja-gereja partikular. Sebab karena visi Ekaristik Gereja, yang menekankan kenyataan tentang Gereja partikular yang disatukan dalam nama Kristus melalui perayaan Ekaristi dan di bawah bimbingan seorang Uskup, maka mereka memahami diri mereka utuh dalam partikularitas mereka. (10) Maka dari itu, dengan adanya persamaan yang fundamental di antara seluruh Gereja-gereja partikular serta para Uskup yang memimpin mereka, setiap dari mereka menuntut sebuah otonomi internal tertentu. Hal ini jelas tidak sesuai dengan doktrin akan keutamaan Paus yang, menurut iman Katolik, merupakan “sebuah prinsip pembentukan (konstitutif) internal” dari keberadaan sebuah Gereja partikular itu sendiri.(11) Oleh karena itu, tetaplah penting untuk menekankan bahwa Keutamaan Penerus Rasul Petrus, uskup Roma, tidak untuk dilihat sebagai sesuatu yang asing atau hanyalah sebatas kesetaraan dengan para Uskup atau Gereja-gereja partikular. Melainkan hal tersebut haruslah dilaksanakan untuk melayani kesatuan iman dan persekutuan dalam batas-batas yang bermula dari hukum Ilahi dan dari konstitusi yang kudus dan tak dapat dilanggar tentang Gereja sebagaimana termaktub dalam wahyu. (12)

Pertanyaan kelima mempertanyakan mengapa Komunitas-komunitas gerejawi yang berasal dari Reformasi tidak disebut sebagai ‘Gereja-gereja’.

Untuk menanggapi pertanyaan ini, dokumen menyebutkan bahwa “luka tersebut masih lebih dalam pada komunitas-komunitas gerejawi tersebut yang tidak menjaga suksesi apostolik atau perayaan Ekaristi yang valid”. (13) Atas alasan ini mereka “bukanlah Gereja-gereja dalam arti yang sepantasnya” (14) melainkan, sebagaimana terbukti dalam ajaran konsili dan setelah konsili, mereka adalah “Komunitas-komunitas gerejawi”. (15)

Meskipun faktanya bahwa ajaran ini menimbulkan ketegangan yang tidak kecil di dalam komunitas-komunitas yang dimaksudkan dan juga di antara beberapa umat Katolik, namun tetaplah sulit untuk melihat bagaimana sebutan “Gereja” dapat disandangkan kepada mereka, berdasarkan kenyataan bahwa mereka tidak menerima arti secara teologis tentang Gereja dalam pengertian Katolik dan mereka tidak memiliki elemen-elemen yang esensial bagi Gereja Katolik.

Dalam mengatakan hal ini, bagaimanapun, haruslah pula diingat bahwa Komunitas-komunitas gerejawi yang telah disebutkan ini, berdasarkan berbagai elemen pengudusan dan kebenaran yang sungguh-sungguh hadir dalam diri mereka, tak dapat diragukan memiliki semacam ciri gerejawi dan maka dari itu juga memiliki nilai keselamatan.

Dokumen yang baru dari Konggregasi untuk Ajaran Iman ini, yang secara esensial merangkum ajaran Konsili dan magisterium post-konsili, menetapkan sebuah penegasan kembali yang jelas atas doktrin Katolik tentang Gereja. Terpisah dari menghadapi ide- ide tertentu yang tak dapat diterima, yang sayangnya telah menyebar di kalangan Katolik, dokumen ini menawarkan indikasi- indikasi yang penting untuk dialog ekumenis di masa mendatang. Dialog ini masih merupakan salah satu dari beberapa prioritas Gereja Katolik, sebagaimana Benediktus XVI menegaskannya dalam pesan pertama kepada Gereja, tanggal 20 April 2005 dan juga di beberapa kesempatan lainnya, terutama pada saat kunjungan apostolik ke Turki (28/11/06 – 1/12/06). Namun demikian, jika dialog sedemikian ditujukan untuk dapat sungguh-sungguh membangun, maka dialog tersebut harus melibatkan tidak hanya sikap saling keterbukaan dari para partisipan melainkan juga kesetiaan kepada identitas iman Katolik. Hanya melalui cara inilah maka dialog dapat memimpin menuju kesatuan seluruh umat Kristiani dalam “satu kawanan dengan satu gembala” (Yoh 10:16) dan karenanya memulihkan luka-luka tersebut yang menghambat Gereja Katolik untuk secara penuh menyatakan ke-universalitasnya di dalam sejarah.

Ekumenisme Katolik mungkin terlihat, dalam sekilas pandangan pertama, agak saling bertentangan (paradoxical). Konsili Vatikan II menggunakan frase “subsistit in” dengan tujuan untuk mengharmoniskan dua ketegasan doktrinal: pada satu sisi, bahwa meskipun terdapat perpecahan di antara umat Kristiani, Gereja Kristus terus senantiasa hadir secara penuh hanya dalam Gereja Katolik, dan di sisi lain bahwa terdapat banyak elemen-elemen pengudusan dan kebenaran yang hadir di luar batas-batas yang terlihat pada Gereja Katolik baik dalam Gereja-gereja partikular ataupun juga di dalam Komunitas-komunitas gerejawi yang tidak dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik. Untuk alasan ini, Dekrit Vatikan II tentang ekumenisme Unitatis Redintegratio memperkenalkan istilah kepenuhan (fullness) (unitatis/catholicitatis) secara khusus untuk membantu pemahaman situasi yang sepertinya bertentangan ini. Walaupun Gereja Katolik memiliki kepenuhan sarana keselamatan, “meskipun begitu, perpecahan di antara umat Kristiani menghambat Gereja untuk mengakibatkan kepenuhan ke-katolisitasnya yang sesuai bagi dirinya di dalam diri anak-anaknya yang, sekalipun tergabung dengannya melalui pembaptisan, namun masihlah terpisahkan dari persekutuan penuh dengannya.” (16) Oleh karena itu, kepenuhan Gereja Katolik, sudah ada, tetapi masih harus tumbuh di dalam saudara-saudara yang masih belum bersekutu penuh dengannya dan juga di dalam anggota-anggota Gereja Katolik sendiri yang adalah para pendosa “sehingga secara membahagiakan sampai pada kepenuhan kemuliaan abadi di dalam Yerusalem surgawi.” (17) Kemajuan dalam kepenuhan ini berakar pada proses yang sedang berjalan dari persatuan dinamis dengan Kristus: “Bersatu dengan Kristus adalah juga bersatu bersama dengan semua yang kepadanya Ia memberikan diriNya. Aku tak dapat memiliki Kristus hanya untuk diriku sendiri; Aku dapat menjadi milikNya hanya dalam persatuan dengan semua yang telah menjadi atau akan menjadi milikNya. Persekutuan membawa aku keluar dari diriku menuju kepadaNya, dan juga kepada persatuan dengan seluruh umat Kristiani.” (18)

CATATAN KAKI
[1] PAUL VI, Discourse (September 21, 1964): AAS 56 (1964) 1012.
[2] Ibid., 1010.
[3] G. PHILIPS, La Chiesa e il suo mistero nel Concilio Vaticano II, (Milano 1975), I, 111.
[4] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Mysterium Ecclesiae, 1: AAS 65 (1973) 398.
[5] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Notification on the book of Father Leonardo Boff: “The Church: charism and power”: AAS 77 (1985) 758-759. This passage of the Notification, although not formally quoted in the “Responsum”, is found fully cited in the Declaration Dominus Iesus, in note 56 of n. 16.
[6] SECOND VATICAN COUNCIL, Lumen gentium, 8.2.
[7] SECOND VATICAN COUNCIL, Unitatis Redintegratio, 3.4.
[8] Cf. SECOND VATICAN COUNCIL, Unitatis Redintegratio, 15.1..
[9] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITHI, Dominus Iesus, 17: AAS 92 (2000) 758.
[10] Cf. COMITATO MISTO CATTOLICO-ORTODOSSO IN FRANCIA, Il primato romano nella comunione delle Chiese, Conclusioni: in “Enchiridion oecumenicum” (1991), vol. IV, n. 956.
[11] Cf. CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Communionis notio, n.17: AAS 85 (1993) 849.
[12] Cf. CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Considerations on the Primacy of the Successor of Peter in the Mystery of the Church, n. 7 and n. 10, in: L’Osservatore Romano, English Edition, 18 November 1998, 5-6.
[13] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Communionis notio, 17: AAS 85 (1993) 849.
[14] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Dominus Iesus, 17: AAS 92 (2000) 758.
[15] Cf. SECOND VATICAN COUNCIL, Unitatis Redintegratio, 4; John Paul II, Novo millenio ineuente, 48: AAS 93 (2001) 301-302.
[16] SECOND VATICAN COUNCIL, Unitatis Redintegratio, 4.
[17] Ibid, 3.
[18] BENEDICT XVI, Deus caritas est, 14: AAS 98 (2006) 228-229.

Responsa ad Questiones de Aliquibus Sententiis Ad Doctrinam de Ecclesia Pertinentibus

0

Dari Katolisitas:

Berikut ini adalah terjemahan dokumen Gereja yang berjudul Responsa ad Questiones de Aliquibus Sententiis Ad Doctrinam de Ecclesia Pertinentibus dari salah seorang pembaca, Anastasius. Terjemahan ini sudah diperiksa dan dikoreksi oleh Ingrid Listiati dari Katolisitas, namun tetap masih merupakan terjemahan tidak resmi (un-official translation) dari dokumen tersebut.

Kepada Anastasius, terima kasih atas kiriman terjemahan ini. Semoga Tuhan memberkati anda sekeluarga.

[Dear Katolisitas, Terima kasih banyak atas dimuatnya terjemahan tak resmi yang telah saya kerjakan, berikut ini saya sertakan lagi terjemahan dokumen doktrinal dari CDF berjudul “Responsa ad Questiones de Aliquibus Sententiis Ad Doctrinam de Ecclesia Pertinentibus”, semoga dapat mendekatkan kita umat Katolik kepada dokumen Gereja yang dengannya mengenalkan kekayaan khasanah iman Katolik. Tuhan Memberkati anda sekalian dan kita semua – Anastasius]

KATA PENGANTAR PENERJEMAH

Pada 29 Juni 2007, Konggregasi untuk Ajaran Iman (CDF) mengeluarkan sebuah dokumen berjudul “Responsa ad Questiones de Aliquibus Sententiis Ad Doctrinam de Ecclesia Pertinentibus” yang secara garis besar terdiri dari latar belakang dalam kata pengantarnya, serta isi utamanya yaitu lima pertanyaan beserta tanggapannya. Dokumen ini dipublikasikan atas kebutuhan untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar doktrin mengenai Gereja yang banyak bermunculan pasca Konsili Vatikan II, yang mana dari semua itu tidaklah kebal dari berbagai misinterpretasi yang pada akhirnya memunculkan kebingungan.
Dokumen ini memberikan jawaban secara lugas dan tegas atas beberapa pertanyaan tersebut. Sebuah dokumen lain berkenaan dengan publikasi dokumen ini juga disertakan oleh CDF yang berisikan komentar-komentar penjelasan “Responsa ad Questiones” ini yang tentu saja semakin memperdalam pemahaman isi dokumen tersebut.

Beberapa referensi penting yang berkaitan dengan dokumen ini yaitu; Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Dekrit tentang Ekumenisme Unitatis Redintegratio, Dekrit tentang Gereja-gereja Timur Katolik Orientalum Ecclesiarum, Ensiklik Paulus VI; Ecclesiam Suam, Notifikasi kepada Rm.Leonardo Boff, OFM atas buku “Church: Charism and Power”, Deklarasi Konggregasi untuk Ajaran Iman Dominus Iesus, Surat Communionis Notio, serta komentar resmi dari CDF atas Responsa ad Questiones, tak lupa pula mengingat pentingnya butir-butir yang tercantum dalam catatan kaki, maka seluruhnya telah diterjemahkan.

Terjemahan tak resmi dari bahasa Inggris ini diakses dari http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_20070629_responsa-quaestiones_en.html pada tanggal 1 Mei 2010, pukul 20.00 WIB.
Semoga terjemahan ini dapat bermanfaat serta mendekatkan kita sekalian umat Katolik kepada ajaran-ajaran Magisterium yang banyak tertuang dalam berbagai dokumen Gereja.

Salam dan doa
Anastasius

KONGGREGASI UNTUK AJARAN IMAN
“RESPONSA AD QUESTIONES”
TANGGAPAN-TANGGAPAN ATAS BEBERAPA PERTANYAAN MENGENAI ASPEK-ASPEK TERTENTU PADA DOKTRIN MENGENAI GEREJA

KATA PENGANTAR

Konsili Vatikan Kedua, dengan Konstitusi Dogmatik-nya Lumen Gentium, dan Dekrit tentang Ekumenisme (Unitatis Redintegratio) dan Dekrit tentang Gereja-gereja Timur Katolik (Orientalium Ecclesiarum), telah menyumbangkan secara tegas pada pembaruan eklesiologi Katolik. Para Paus juga telah turut serta menyumbangkan pembaruan ini dengan memberikan pandangan-pandangan pribadi mereka dan orientasi praksis: Paulus VI dalam Surat Ensikliknya Ecclesiam suam (1964) dan Yohannes Paulus II dalam surat Ensikliknya Ut unum sint (1995).

Tugas konsisten para teolog untuk menguraikan dengan lebih jelas akan aspek-aspek yang luas dari eklesiologi telah menghasilkan perkembangan tulisan-tulisan di bidang ini. Kenyataannya, adalah menjadi nyata bahwa tema ini adalah sesuatu yang paling berbuah, yang mana, bagaimanapun, juga telah berkali-kali membutuhkan klarifikasi dengan cara mendefinisikan secara tepat dan melakukan koreksi, sebagai contohnya dalam deklarasi Mysterium Ecclesiae (1973), Surat kepada para Uskup Gereja Katolik Communionis Notio (1992), serta deklarasi Dominus Iesus (2000), semua telah dipublikasikan oleh Konggregasi untuk Ajaran Iman.

Luasnya bidang ini dan hal-hal baru dari beberapa tema yang termasuk di antaranya, berlanjut untuk terus mendorong refleksi teologis. Dari antara banyaknya berbagai kontribusi yang baru atas bidang ini, beberapa diantaranya tidaklah kebal dari interpretasi yang salah di mana akhirnya menimbulkan kebingungan dan keraguan. Beberapa dari interpretasi-interpretasi ini telah menarik perhatian Konggregasi untuk Ajaran Iman. Karena universalitas akan doktrin Katolik mengenai Gereja, Konggregasi bertujuan untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan ini dengan mengklarifikasi arti otentik dari beberapa ekspresi eklesiologis yang digunakan oleh magisterium yang terbuka terhadap kesalahpahaman dalam debat teologis.

TANGGAPAN-TANGGAPAN ATAS BEBERAPA PERTANYAAN

PERTANYAAN PERTAMA

Apakah Konsili Vatikan II mengubah doktrin Katolik mengenai Gereja?

TANGGAPAN

Konsili Vatikan II tidak mengubah atau bahkan bermaksud untuk mengubah doktrin ini, melainkan mengembangkan, memperdalam dan menjelaskan secara lebih mendalam mengenainya.

Hal ini secara persis dikatakan oleh Yohanes XXIII pada saat pembukaan Konsili. (1) Paulus VI menetapkannya (2) dan memberikan komentar dalam penetapan promulgasi Konstitusi Lumen Gentium: “Tidak ada komentar yang lebih baik daripada menyatakan bahwa promulgasi ini sama sekali tidak merubah doktrin tradisi. Apa yang Kristus kehendaki, kami juga kehendaki. Apa yang ada, tetaplah seperti itu. Apa yang Gereja ajarkan selama berabad-abad, itu pula yang kami ajarkan. Dalam istilah yang lebih sederhana yaitu apa yang dahulu diasumsikan, kini menjadi eksplisit; bahwa yang dahulu tidak jelas, kini telah menjadi jelas; apa yang dahulu direnungkan, didiskusikan dan terkadang diperdebatkan, kini telah diletakkan bersama dalam satu rumusan yang jelas”.(3) Para Uskup telah berulangkali menyatakan dan memenuhi tujuan ini. (4)

PERTANYAAN KEDUA

Apa arti dari sebuah penegasan bahwa Gereja Kristus [subsists in = berada dalam] Gereja Katolik?

TANGGAPAN

Kristus “telah menetapkan di bumi ini” hanya satu Gereja dan menginstitusikannya sebagai sebuah “komunitas yang terlihat dan spiritual” (5), yang dari sejak awal mula dan telah berabad-abad lamanya selalu eksis dan akan senantiasa eksis, dan yang mana di dalamnya sendiri terdapat segala elemen yang diinstitusikan oleh Kristus sendiri.(6) “Gereja Kristus yang satu ini, yang kita akui dalam Credo sebagai Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik [….] Gereja ini, dinyatakan dan terorganisir di dunia ini sebagai sebuah masyarakat, yang berada dalam (subsists in) Gereja Katolik, yang diperintah oleh penerus Petrus dan para Uskup yang berada dalam persekutuan dengannya.” (7)

Pada butir 8 dari Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, ’subsistensi’ (berada dalam) berarti penerusan ini, kelanjutan historis dan sifat permanen dari seluruh elemen yang diinstitusikan oleh Kristus dalam Gereja Katolik, (8) yang mana Gereja Kristus secara konkret ditemukan di bumi ini.

Adalah mungkin, menurut doktrin Katolik, untuk menyatakan secara tepat bahwa Gereja Kristus hadir dan bekerja dalam gereja- gereja dan komunitas-komunitas gerejawi yang belum secara penuh bersekutu dengan Gereja Katolik, dengan memperhitungkan elemen-elemen pengudusan dan kebenaran yang terdapat dalam diri mereka. (9) Namun demikian, kata “subsists [berada dalam]” hanya dapat diberikan kepada Gereja Katolik saja secara tepat karena hal ini merujuk pada simbol kesatuan yang kita ikrarkan dalam simbol- simbol iman (Aku percaya…akan “satu” Gereja); dan Gereja yang “satu” ini berada dalam Gereja Katolik” (10)

PERTANYAAN KETIGA

Mengapa dipilih ungkapan “subsists in” [berada dalam] daripada dengan sebuah kata yang sederhana yaitu “is” [adalah]?

TANGGAPAN

Penggunaan ekspresi ini, yang menunjukkan identitas penuh Gereja Kristus dengan Gereja Katolik, tidak mengubah doktrin mengenai Gereja. Melainkan, hal tersebut datang dari, serta dengan lebih menjelaskan fakta bahwa terdapat “banyak elemen pengudusan dan kebenaran” yang ditemukan di luar struktur Gereja, tetapi elemen-elemen pengudusan dan kebenaran tersebut “adalah milik Gereja Kristus, yang mendorong kepada Kesatuan Katolik”. (11)

“Sebagai akibatnya, gereja-gereja yang terpisahkan serta Komunitas-komunitas, meskipun kita percaya mereka menderita atas segala kekurangan, tidak kehilangan baik arti maupun kepentingannya dalam misteri keselamatan. Pada kenyataannya, Roh Kristus tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan mereka sebagai instrumen- instrumen keselamatan, yang mana nilai-nilai tersebut berasal dari kepenuhan rahmat dan kebenaran yang telah dipercayakan kepada Gereja Katolik” (12).

PERTANYAAN KEEMPAT

Mengapa Konsili Vatikan II menggunakan istilah “Gereja” yang merujuk kepada Gereja-gereja oriental yang terpisahkan dari persekutuan penuh dengan Gereja Katolik?

TANGGAPAN

Konsili berkeinginan untuk mengadopsi penggunaan tradisional istilah tersebut. “Karena Gereja-gereja ini, sekalipun terpisahkan, memiliki sakramen-sakramen sejati dan di atas semuanya itu– karena suksesi apostolik – imamat dan Ekaristi, yang melalui semua itu mereka tetap terhubung dengan kita dalam ikatan yang sangat erat” (13), mereka sepantasnya menyandang sebutan “Gereja-gereja partikular atau lokal” (14), dan juga disebut sebagai Gereja-gereja sesaudari dari Gereja-gereja Katolik partikular. (15)

PERTANYAAN KELIMA

Mengapa dalam teks-teks Konsili dan juga oleh Magisterium semenjak Konsili tidak menggunakan sebutan “Gereja” dengan hormat kepada Komunitas-komunitas Kristiani yang lahir dari Reformasi pada abad ke-16?

TANGGAPAN

Menurut doktrin Katolik, Komunitas-komunitas ini tidak menikmati suksesi apostolik dalam Sakramen Imamat, dan oleh karena itu mereka kehilangan sebuah elemen penting dari Gereja. Komunitas-komunitas gerejawi ini yang, secara khusus karena tidak adanya sakramen imamat, tidaklah menjaga keaslian dan substansi integral dari Misteri Ekaristi (19), maka tidak dapat disebut sebagai “Gereja-gereja” dengan arti yang sepantasnya menurut doktrin Katolik. (20)

Paus Benediktus XVI, pada Audiensi yang diberikan kepada yang bertandatangan di bawah ini, Kardinal Prefek Konggregasi untuk Ajaran Iman, mengesahkan dan menetapkan Tanggapan-tanggapan ini, dimasukkan ke dalam Sidang Paripurna Konggregasi, serta memerintahkan untuk publikasinya.
Roma, dari Offisi-offisi Konggregasi untuk Ajaran Iman, 29 Juni 2007, pada Hari Raya  Rasul-rasul Suci Petrus dan Paulus.

William Kardinal Levada
Prefek

Angelo Amato, S.D.B.
Uskup Agung Tituler Sila
Sekretaris

CATATAN KAKI
(1) Yohannes XXIII, wejangan pada 11 Oktober 1992: “…Konsili…bermaksud untuk meneruskan, secara menyeluruh dan utuh tanpa mengubah atau membelokkan…Supaya lebih yakin, pada saat sekarang ini, adalah penting bahwa doktrin Kristen dalam keutuhannya, dan tanpa sesuatu diambil darinya, diterima dengan antusiasme yang baru dan terang serta ketaatan sentosa … adalah penting bahwa doktrin yang tetap sama dipahami secara lebih luas dan lebih mendalam sebagaimana mereka yang senantiasa setia kepada iman Kristen, Katolik dan Apostolik merindukannya dengan sangat … adalah penting bahwa doktrin yang pasti dan tak terubahkan ini, yang kepadanya mensyaratkan ketaatan iman, untuk digali dan diuraikan dalam cara yang dibutuhkan dalam jaman kita. Untuk deposit iman itu sendiri, atau kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam doktrin kita yang terberkati, adalah satu hal; hal lainnya adalah cara pengungkapannya, dengan bagaimanapun muga mengungkapkan arti dan signifikasi yang sama.” AAS 54 [1962] 791-792
(2) Bdk. Paulus VI, wejangan pada 29 September 1963: AAS 55 [1963] 847-852.
(3) Paulus VI, wejangan pada 21 November 1964: AAS 56 [1964] 1009-1010.
(4) Konsili bermaksud untuk mengekspresikan identitas Gereja Kristus dengan Gereja Katolik. Hal ini jelas dari diskusi-diskusi mengenai Dekrit Unitatis Redintegratio. Skema dari Dekrit telah diusulkan pada Konsili tanggal 23 September 1964 dengan sebuah Relatio (Act Syn III/II 296-344). Sekretariat untuk Kesatuan Umat Kristen menanggapinya pada 10 September 1964 bersama saran-saran yang diberikan oleh para Uskup pada bulan yang bersamaan (Act Syn III/VII 11-49). Berikut adalah kutipan empat teks dari Expensio modorum ini mengenai tanggapan pertama ini.
A) [Dalam Nr. 1 (Prooemium) Schema Decreti: Act Syn III/II 296, 3-6]
“Pag. 5, lin. 3-6: Videtur etiam Ecclesiam catholicam inter illas Communiones comprehendi, quod falsum esset.
R(espondetur): Hic tantum factum, prout ab omnibus conspicitur, describendum est. Postea clare affirmatur solam Ecclesiam catholicam esse veram Ecclesiam Christi
” (Act Syn III/VII 12).
B) [Dalam Caput I in genere: Act Syn III/II 297-301]
“4 – Expressius dicatur unam solam esse veram Ecclesiam Christi; hanc esse Catholicam Apostolicam Romanam; omnes debere inquirere, ut eam cognoscant et ingrediantur ad salutem obtinendam…
R(espondetur): In toto textu sufficienter effertur, quod postulatur. Ex altera parte non est tacendum etiam in aliis communitatibus christianis inveniri veritates revelatas et elementa ecclesialia
”(Act Syn III/VII 15). Cf. also ibid pt. 5.
C) [Dalam Caput I in genere: Act Syn III/II 296s]
“5 – Clarius dicendum esset veram Ecclesiam esse solam Ecclesiam catholicam romanam…
R(espondetur): Textus supponit doctrinam in constitutione ‘De Ecclesia’ expositam, ut pag. 5, lin. 24-25 affirmatur”
(Act Syn III/VII 15). Maka komisi yang bertugas untuk mengevaluasi tanggapan-tanggapan terhadap Dekrit Unitatis Redintegratio secara jelas mengungkapkan identitas Gereja Kristus dengan Gereja Katolik beserta kesatuannya, dan pengertian akan doktrin ini ditemukan dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium.
D) [In Nr. 2 Schema Decreti: Act Syn III/II 297s]
“Pag. 6, lin. 1- 24: Clarius exprimatur unicitas Ecclesiae. Non sufficit inculcare, ut in textu fit, unitatem Ecclesiae.
R(espondetur): a) Ex toto textu clare apparet identificatio Ecclesiae Christi cum Ecclesia catholica, quamvis, ut oportet, efferantur elementa ecclesialia aliarum communitatum”.
“Pag. 7, lin. 5: Ecclesia a successoribus Apostolorum cum Petri successore capite gubernata (cf. novum textum ad pag. 6, lin.33-34) explicite dicitur ‘unicus Dei grex’ et lin. 13 ‘una et unica Dei Ecclesia’
” (Act Syn III/VII).
Kedua ungkapan yang dikutip tersebut adalah dari Unitatis Redintegratio 2.5 e 3.1
(5) Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, 8.1
(6) Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis Redintegratio, 3.2; 3.4; 3.5; 4.6.
(7) Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik, Lumen Gentium, 8.2.
(8) Bdk. Konggregasi untuk Ajaran Iman, Deklarasi Mysterium Ecclesiae, 1.1: AAS 65 [1973] 397; Deklarasi Dominus Iesus, 16.3: AAS 92 [2000-II] 757-758; Peringatan kepada Buku karangan Leonardo Boff, OFM, “Church: Charism and Power”: AAS 77 [1985] 758-759.
(9) Bdk. Yohannes Paulus II, Surat Ensiklik Ut unum sint, 11.3: AAS 87 [1995-II] 928.
(10) Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, 8.2.
(11) Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, 8.2.
(12) Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis Redintegratio, 3.4.
(13) Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis Redintegratio 15.3; bdk. Konggregasi untuk Ajaran Iman, Surat Communionis notio, 17.2: AAS, 85 [1993-II] 848.
(14) Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis Redintegratio 14.1.
(15) Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis Redintegratio 14.1; Yohannes Paulus II, Surat Ensiklik Ut unum sint, 56 f: AAS 87 [1995-II] 954 ff.
(16) Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis Redintegratio 15.1.
(17) Bdk. Konggregasi untuk Ajaran Iman, Surat Communionis notio, 17.3: AAS 85 [1993-II] 849.
(18)Ibid.
(19) Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis Redintegratio 22.3.
(20) Bdk. Konggregasi untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dominus Iesus, 17.2: AAS 92 [2000-II] 758.

Kasih setia Tuhan tak pernah terlambat

50

Dari Katolisitas : Kekaguman dan syukur akan kasih dan penyelenggaraan Tuhan yang luar biasa, telah menggerakkan Benedictus Widi Handoyo, untuk membagikan pengalamannya akan kuat kuasa kasih Tuhan di dalam hidupnya. Setelah mengalami sakit hingga koma dan diberikan kesembuhan sempurna, dengan dukungan keteguhan iman ibunya yang sangat setia berdoa dan berharap pada Tuhan dalam saat yang tergelap sekalipun, Widi menyadari bahwa justru Tuhan hadir sangat dekat dengan manusia dan menyapa dengan kasihNya yang luar biasa di dalam penderitaan dan cobaan hidup. Kesadaran indah itu kini telah menjadi milik Widi selamanya baik dalam suka maupun duka hidupnya selanjutnya. Dan dengan rindu ia ingin membagikan kekayaan itu kepada pembaca Katolisitas untuk dapat turut menyemangati kita semua berteguh dalam pengharapan kepada Tuhan. Pengharapan yang pasti tak akan pernah sia-sia sebab dialamatkan kepada Sang Penyelenggara Hidup yang penuh kerahiman, cinta, dan belaskasihan kepada anak-anakNya, sekalipun hidup terkadang memang masih selalu penuh misteri bagi kita. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1 Petrus 5 : 7). Terimakasih Widi, atas kasih dan kerinduanmu untuk berbagi kisah hidupmu yang penuh kuat kuasa penyelenggaraan kasih setia Tuhan ini. Semoga kasihNya yang nyata semakin dapat dirasakan dan dialami oleh kita semua. Dan kiranya hidup di dalam Dia menjadi sumber kekuatan kita di dalam suka duka kehidupan ini.


Jakarta, 25 Mei 2010, ditulis dalam keheningan hati di kamar kost.


Perhatikanlah burung-burung gagak yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mempunyai gudang atau lumbung, namun demikian diberi makan oleh Allah.  Betapa jauhnya kamu melebihi burung-burung itu (Lukas 12 : 24)

Saya, panggil saja Widi, putera pertama dari seorang keluarga orang cacat. Bapak saya (almarhum) merupakan penyandang cacat karena sejak SMP tangan kanannya diamputasi akibat kecelakaan ketika kecil. Saya lahir dan besar di kota Jogja. Tepatnya di kampung Bausasran. Lahir di keluarga yang serba pas-pasan, bahkan kalau boleh dibilang kekurangan. Ibu asli Solo, seorang yang tidak pernah berhenti berharap akan kasih Tuhan. Tekun dalam doa dan kuat prihatin.

Saat itu Bapak saya bekerja sebagai karyawan di Yayasan Kanisius Cabang Jogja di bagian administrasi surat menyurat. Itu adalah karena karya ajaib Tuhan, sehingga Bapak diperkenalkan pada Pastur (Wie Cen) yang membantunya mendapat perawatan dan rehabilitasi di Panti Rehabilitasi orang cacat di Solo sampai bisa bekerja di Yayasan Kanisius.

Tuhan menguji keteguhan iman keluarga saya.

Kejadian ini saya alami ketika saya duduk di SMP kelas 2, sekitar tahun 1999. Setelah selesai pengambilan raport catur wulan II, saya (waktu itu masih bersepeda ontel) minta ijin ke Bapak untuk pulang ke rumah di Wates (kebetulan rumah kami ada di Wates, sedangkan Bapak sering tinggal dan menitipkan saya untuk tinggal bersama nenek di Bausasran, Jogja). Itulah hari terakhir saya dalam kondisi sehat…

Esok harinya, saya terkena demam tinggi, dan muntah-muntah.  Langsung saja Bapak dikabari oleh tetangga yang kebetulan bekerja di Jogja (tiap hari pulang balik Wates-Jogja) bahwa saya sakit parah. Entah kenapa saya juga tidak tahu. Yang jelas malam itu saya benar-benar menggigil dan merasakan kehausan yang amat dahsyat.

Segera saya dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih. Masuk di taksi, saya sudah hampir tidak sadarkan diri. Waktu itu saya sempat pamit ke Ibu saya, ” Ibu…Widi njaluk ngapuro nggih…nek kathah lepat… (Ibu, Widi minta maaf kalau banyak salah..) Widi sudah nggak kuat…”

Koma selama 17 hari

Ini menurut penuturan ibu saya setelah saya siuman dari koma… Ternyata saya koma selama 17 hari. Terbaring dengan kondisi labil dan tidak pasti. Bahkan beberapa kali saya di full check up dan EKG, denyut jantung saya tidak stabil. Kondisi cairan tubuh drop, ureum sangat tinggi. HB turun, dan tensi darah berada pada kondisi yang sangat rendah. Menurut Bude, yang mendampingi bapak dan ibu saya, saya sempat diberi Sakramen Minyak Suci dua kali, oleh pastor dari Paroki Kota Baru, Jogja.  Saking tidak kuatnya, Bapak sempat drop kesehatannya dan jatuh pingsan berkali-kali melihat tubuh saya tergolek dengan peralatan medis di sana sini.

Ingatan terakhir saya hanya masuk ke taksi yang mengantar ke RS itu, sehabis itu saya sudah tidak ingat apa-apa… Dari penuturan Bude juga, hanya Ibu yang paling tabah, paling kuat…. dan paling bisa bertahan dalam kondisi seperti itu. Pagi, siang, dan malam, Ibu sering keluar dari kamar ICU untuk berdoa rosario di gua maria di RS Panti Rapih. Mulai-mula Bapak tidak mau, karena toh juga tidak ada hasilnya juga, sudah berdoa lebih dari 9 hari tidak ada kemajuan…

Namun di hari ke 12, akhirnya Bapak mau (ini menurut penuturan Ibu). Berdua berdoa rosario. Memohon kekuatan… Menurut keterangan Bude, hari ke 15 saya malah sangat drop, bahkan EKG sempat hilang di monitornya. Sempat tidak ada denyut selama beberapa detik.  Dan ketika itu pula Sakramen Minyak Suci kedua diberikan kepadaku.

Bahkan saudara Bapak (yang Muslim) sudah menyiapkan peti dan beberapa kali mengadakan “tahlilan” untuk saya. Banyak temen-temen SMP dan SD, juga tetangga yang pesimis setelah pulang dari membesuk saya. Mereka bilang ” Widi hanya menunggu waktu saja…, mbok ya diikhlaskan saja to… ” Bapak yang menangis ketika ada yang mengatakan seperti itu… (ini menurut Ibu).

Namun Ibu tidak pernah berhenti berdoa… tidak pernah berhenti berharap, bahkan dia jalani puasa Rabu dan Jumat serta Misa harian pagi di kapel RS Panti Rapih. Praktis selama 17 hari itu baik Bapak dan Ibu tidak pulang ke rumah. Adik saya dititipkan di rumah Bude. Semua harta benda yang Bapak kumpulkan habis. Mulai dari TV, rumah, tabungan, bahkan cincin pernikahan pun lenyap sudah. (Terakhir saya cek di berkas-berkas pembiayaan, saat itu perhari habis sekitar Rp. 9 juta).

Kesembuhan saya, keteguhan iman Ibu, dan kasih setia Tuhan

Namun Tuhan berkehendak lain.
Doa Ibu dan Bapak saya dikabulkan. Waktu itu tepat pukul 12.00. Saya mendengar sayup-sayup suara nyanyian lagu Bapa Kami di telinga saya, pelan namun pasti. Dan waktu itulah saya pertama kali membuka mata, dan menoleh sebelah kiri…. ada Ibu yang sedang menyanyikan lagu Bapa Kami ke telinga saya…
Sontak, seluruh dokter dan perawat datang semua, Bapak juga datang ke ruangan ICU itu, dan proses check-up pun dilakukan. Saya masih ingat waktu itu pertama kali saya kembali bisa merasakan sakit ketika saya disuntik di tangan saya sebelah kanan. Proses recovery pun berjalan sekitar sebulan, mulai dari belajar berjalan lagi, belajar mengenal uang, belajar minum memakai sedotan. Praktis saya jadi seperti linglung. Bahkan teman-teman SMP pun saya sudah tidak hapal lagi. Hanya Ibu dan Bapak yang saya kenal waktu itu… ketika mereka jauh dari tempat tidur, saya merasa kesepian dan ketakutan…

PUJI TUHAN, DIA tidak pernah melalaikan doa umatnya, dan doa Ibu adalah doa yang paling tulus dari hati untuk anaknya… Saat ini saya merasakan benar-benar hidup itu adalah sebuah anugerah, dan setiap tarikan nafas itu sesungguhnya benar-benar hadiahNya. Kini kami tinggal terpisah, Ibu pulang ke Solo setelah Bapak meninggal tahun 2005 yang lalu. Saya menjadi tulang punggung keluarga, bekerja di Jakarta Selatan, dan adik saya masih kuliah di UGM, Jogja.

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Matius 7 : 7). Ya, ketoklah pintu, maka akan dibukakan, DIA yang memberimu kehidupan tidak pernah akan membiarkan kita jatuh dalam kesengsaraan dan keputusasaan….. asal kita mau datang kepadaNya. Datanglah kepadaNya….bawalah DIA dalam segala hidupmu.

Kekuatan kasih dan penyelenggaraan Tuhan yang terus menopang saya

Kenangan akan pertolongan Tuhan dan kesetiaan kasih Ibu dan Bapak saya dalam mendampingi saya dengan penuh pengharapan kepada Tuhan ketika saya koma itu selalu membekas di dalam hati saya. Menemani perjalanan iman saya selanjutnya dalam mengarungi hidup pemberian Tuhan ini. Ada nilai-nilai keutamaan yang selalu saya ingat dan saya bawa di dalam hati saya.

Yang pertama adalah keuletan ibu saya untuk tetap percaya pada Tuhan Jesus apapun kondisinya. Hal ini sudah terasa jauh sebelum saya sakit. Ibu adalah seorang yang ulet, yang benar-benar menerima dengan sabar segala sesuatu. Ayah saya adalah seorang cacat. Dengan gemblengan di Panti Rehabilitasi, beliau sangat keras dan cenderung diktator, walaupun niatnya baik untuk memberi bekal ke anak-anaknya agar tidak mudah cengeng dan lembek mentalnya, terlebih menjadi anak seorang cacat yang dimana-mana diremehkan.

Saya sendiri merasakan hal itu. Ketika Ayah mendidik saya dengan keras, dengan tegas dan aturan yang ketat, Ibu hadir dengan kata-kata yang saat ini masih teringat benar di benak saya:

“Le, nduk, Bapak kui ndidik koe ngunu kui ben koe tatag athine, tabah lan ora gampang lembek, neng opo ae kui wujude nek ora dikantheni nyenyuwun karo Gusti kui ora bakal tekan”
(“Nak, Bapak itu mendidik kamu supaya kamu tegar hati, tabah dan tidak mudah lembek, tetapi apa saja wujudnya kalau tidak diimbangi dengan memohon berkah dari Tuhan semua itu tidak ada gunanya”)

Sebelum kejadian saya sakit itu, kami tinggal di Bausasran dengan kondisi yang sangat terbatas. Rumah dari dinding kayu reot, tempat tidur hanya satu, itu pun dipakai bertiga: saya, Adek, dan Bapak. Ibu sendirian yang setiap malam tidur di kursi reot di muka pintu. Hal yang saya tidak pernah bisa mengerti, Ibu bisa tabah menjalani itu semua hingga lebih dari lima tahun. Saya masih ingat ketika Ibu sedih luar biasa karena rosario kesayangannya rusak digigit tikus ketika jatuh dilantai. Dengan bergumam beliau berkata…”Duh Gusti, mbok nek mundut saking kulo niku boten rosario… niku rencang kulo kang ngancani kulo nyenyuwun ing sampeyan dalem…(” Duh Gusti, jika Engkau menghendaki janganlah ambil rosario itu… karena itu teman saya yang menemani saya berdoa memohon kepadaMu… )

(Saya benar-benar menangis saat saya menulis bagian ini sembari mengingat saat itu…)

Rosario baru pun coba saya belikan di Puskat Kota baru. Setelah diberkati, saya hadiahkan ke beliau pada saat ulang tahunnya 14 Desember 1998. Beliau senang sekali. Hampir tiap tengah malam beliau berdoa rosario. Hingga saat ini pun masih. Rosario baru itu pun yang saya jumpai ketika saya siuman tahun 1999 di RS Panti Rapih. Beliau melilitkan rosario ditangannya… sambil menyanyikan lagu Bapa Kami ditelinga saya…

Bapak yang berkali-kali ingin meninggalkan Jesus

Karena himpitan ekonomi, Bapak pun berkali-kali sering marah, dan mudah emosi. Beliau berkali-kali tidak mau diajak ke gereja. Bahkan untuk berdoa rosario. Beliau tetap pada keyakinannya, kalau mau usaha pasti dapat. Orang cacat tidak butuh hanya doa, namun usaha dan mental yang kuat, begitu prinsip beliau.

Namun Tuhan merubah semuanya, ketika saya sakit itu. Menurut penuturan Ibu, saat saya sakit itulah, Bapak mau menemani Ibu dan ikut berdoa rosario. Beliau akhirnya kembali ke Jesus sang pemberi kehidupan. Setelah berbagai usaha dokter dan obat tidak kunjung membuat saya siuman. Bahkan beliaupun akhirnya merelakan saya diberi Sakramen Minyak Suci hingga dua kali.  Hingga Tuhan memanggil Bapak tanggal 9 Desember 2005, beliau rajin berdoa, rajin ke gereja dan sangat dekat dengan Tuhan dalam bacaan alkitab hariannya.

Kasih setiaNya terbukti di setiap perjuangan hidup saya

Keutamaan yang kedua yang selalu tertanam di hati saya adalah anugerah dan sapaan Tuhan yang begitu dahsyat dalam hidup saya melalu berbagai cobaan dan ujian hingga saat ini.
Keutamaan ini bertitik tolak setelah ayah saya meninggal. Ketika itu situasi ekonomi keluarga kami down kembali, praktis kami tidak ada pemasukan sama sekali. Pensiun ayah cuma Rp 150 ribu/bulan. Sedangkan saya sudah terlanjur duduk di semester 3 UGM. Adek baru kelas 1 SMA.

Goncangan yang dahsyat mengguncang keluarga kami. Benar-benar habis sudah. Rumah semua dijual, hutang rumah sakit saya masih menumpuk. Adek masih membutuhkan biaya sekolah, sedangkan saya masih bingung mau membayar kuliah dengan apa.

Berbagai cobaan datang di keluarga kami. Bahkan datang dari ketua lingkungan kami di Bausasran yang mengucilkan kami karena saya tidak kuat mengadakan misa arwah 40 hari, 100 hari. Waktu itu saya diinterograsi, kenapa Mas Widi tega dengan Bapak dengan tidak mengadakan misa arwah? Yah saya jawab dengan jujur, “Pak saya tidak punya uang lagi, kebutuhan kami untuk sekolah” (karena pesan terakhir almarhum bapak saya adalah tetap sekolah hingga S1 selesai untuk semua anak-anaknya). Jadi ya saya hanya berdoa bertiga menyalakan lilin dan berkumpul tengah malam. Lalu paginya saya mengajukan permohonan ujud Misa di gereja. Waktu itu benar-benar saya down. Merasa pengen teriak kenapa Tuhan tidak henti-hentinya memberikan cobaan ini. Ibu cuma bilang, Gusti kui ora sare … (Tuhan tidak pernah tidur). Nyuwuno mesti bakalan diparingi.Gusti mesti paring kang awake dewe perlu (mintalah, pasti Tuhan kasih apa yang kita butuhkan). Itulah semangat Ibu yang setia dengan rosarionya. Bahkan sehari sampai dua kali, pagi dan malam setelah ditinggal Bapak menghadapNya.

Cobaan berikutnya adalah rumah kami di Bausasran yang diminta oleh si pemilik rumah. Karena dulunya Bapak hanya numpang di sana. Jadi ketika Bapak sudah tidak ada, rumah itu pun diminta. Sontak saya panik luar biasa….mau kemana ini… Ibu tidak bekerja, Adek masih sekolah, dan saya pun belum bekerja… Hanya Tuhan waktu itu yang saya pegang… Kalau Tuhan kasih saya nafas esok hari, pasti bakal kasih saya makan, dan tempat berteduh juga…kalau tidak, ambilah kehidupan ini Tuhan..begitu doa saya tiap hari… karena saya yakin Dia yang kasih saya kehidupan ketika sakit dahulu, Dia pasti bertanggung jawab ketika saya didera penderitaan kembali…

Akhirnya tahun 2007 kami boyongan pulang ke Solo. Ibu saya pulang ke rumah nenek di Solo, Adek dan saya puji Tuhan ditampung oleh keluarga kakak kelas KMKATH (Keluarga Mahasiswa Katolik FMIPA UGM) di sebuah rumah di Umbulharjo, Jogja. Sebelum pindahan dari rumah di Bausasran, kami sempat berdoa bertiga, dan bersepakat… walaupun jarak memisahkan Solo- Jogja, kami tetap yakin bersekutu dalam doa malam setiap hari.

Saya dan Adek tinggal di rumah Mas Anton (kakak kelas saya) selama tahun 2007-2008. Sungguh pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat. Ada saja orang yang berbaik hati memberikan tumpangan untuk kami tetap tinggal di Jogja. Jadilah kami semi anak kost. Hidup di rumah tumpangan dengan apa-apa sendiri. Waktu itulah saya mulai mencoba bekerja serabutan. Mulai dari penjaga warnet, game center, rental komputer (kebetulan saya kuliah S1 Ilmu Komputer di UGM). Hingga diterima di sebuah ISP (Internet Service Provider) di Jogja.

Saya pun lulus S1 tepat empat tahun, pada bulan Agustus 2008 dengan perjuangan yang benar-benar berat. Tidur tidak pernah cukup, makan kadang hanya bisa sekali sehari, yang penting Adik bisa makan tiga kali dan Ibu bisa ada pegangan uang sedikit di Solo. Sungguh karunia yang berlimpah, berat saat dijalani, namun ketika semuanya dikembalikan ke yang Empunya Kehidupan, semua terasa ringan dan bisa berjalan.

Saat ini Adek saya sudah diterima di S1 Fakultas Peternakan UGM semester empat, dia tinggal di asrama Santikara, Jogja. Ibu tetap di Solo, dan saya pergi merantau ke Jakarta di kantor pusat ISP Jogja tersebut. Hingga saat saya menulis kisah ini. Karena begitu hebatnya kasih Tuhan terutama ketika saya sakit dan ketika ditinggal Bapak meninggal, maka saya sudah bertekad menyelesaikan kuliah Adek hingga tamat S1 tahun 2012 nanti, sebagai silih saya dahulu diberkati lewat kasih keluarga saya. Gaji di Jakarta saya share dengan Ibu dan Adek, hingga saat ini. Untuk kuliah Adek, akomodasi, biaya asrama, uang hidup Adek, buku, juga uang saku untuk Ibu di solo. Saya mengandalkan makan nasi sehari sekali dari makan siang di kantor.

Tuhan pasti akan selalu menyertai

Mohon doanya juga, akhir Juni ini kontrak saya bekerja di perusahaan ISP ini berakhir, dan saya masih bergumul dengan Tuhan akan kemana lagi langkah saya bekerja ….tetapi saya tidak membiarkan diri saya khawatir, sebab Tuhan Yesus telah berjanji  kepada kita untuk selalu mencukupkan kebutuhan kita, dan saya akan memegang teguh janjiNya itu, yang juga telah dibuktikanNya selalu dalam hidup saya.

Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di Sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. (Matius 6 : 31-34)

Sungguh karya Tuhan tidak pernah habis, tidak pernah terburu-buru dan tidak pernah terlambat. Saya percaya itu. Bahkan di Jakarta ini saya tidak khawatir dengan uang yang pas-pasan, karena saya yakin, dulu Tuhan menyembuhkan saya dari koma, saat ini pun Dia hadir menemani saya dalam langkah dan pekerjaan saya. Dia peduli, Dia sayang, dan Dia tidak akan meninggalkan kita.

Semoga sharing ini bisa menguatkan iman pembaca Katolisitas dan memberikan berkah kekuatan untuk tetap bertekun dalam iman akan Jesus. Dia sungguh dahsyat, sungguh hebat. Tidak salah kita memilkiNya, memberi diri dibaptis dalam namaNya.

Semua demi kemuliaanNya, di bumi dan di Surga. Amin.


Bukan kamu yang memilih Aku (Yoh 15:16)

1

Shalom Ben2,

1. Ungkapan bahwa “Tuhan memilih kita” itu bukan untuk diartikan sebagai takdir sampai menghilangkan kehendak bebas kita manusia. Sebenarnya Tuhan menginginkan agar semua orang percaya kepada-Nya dan diselamatkan serta memperoleh pengetahuan akan kebenaran (lih. 1 Tim 2:4). Namun demikian, Allah Maha Tahu sehingga Ia sudah tahu sejak semula bahwa tidak semua orang percaya kepada-Nya dan diselamatkan; karena untuk percaya, diperlukan juga keterlibatan kehendak bebas manusia. Maka kita yang percaya kepada-Nya dan Kristus yang diutus-Nya, disebut bahwa kita “dipilih” oleh Tuhan; bukan karena sejak semula Tuhan sudah menolak orang- orang tertentu, tetapi karena sudah sejak semula Allah sudah mengetahui bahwa kita akan menanggapi panggilan-Nya.

Selanjutnya tentang kehendak Allah ini (untuk dibedakan dengan ‘takdir’) silakan anda klik di sini.

2. Berikut ini adalah penjelasan ayat Yoh 15:16, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.” (sumber: the Navarre Bible)

a. Bahwa panggilan yang diterima oleh para rasul dan kita semua sebagai umat Kristiani tidak berasal dari kehendak kita sendiri, tetapi berasal dari Tuhan Yesus yang memilih kita. Bukan para rasul itu yang memilih Yesus sebagai Sang Guru, seperti halnya seseorang memilih bagi dirinya sendiri seorang rabi/ guru; tetapi Yesus Kristuslah yang memilih mereka.

b. Misi para rasul dan misi kita umat beriman adalah untuk mengikuti Kristus, untuk mengejar kekudusan dan untuk bekerja mewartakan Injil.

c. Doa yang efektif adalah doa yang dinyatakan di dalam nama Yesus Kristus; oleh sebab itu, Gereja umumnya mengakhiri doa dalam liturgi dengan permohonan, “dalam nama/ melalui Yesus Kristus Tuhan kita….”

Maka ketiga hal ini berhubungan erat: doa sangat diperlukan dalam kehidupan Kristiani agar berbuah, sebab Tuhanlah yang memberikan pertumbuhan” (1 Kor 3:7) dan kewajiban untuk mengejar kekudusan dan untuk mejalankan tugas kerasulan adalah berhubungan dengan kenyataan bahwa Kristus sendirilah yang mempercayakan misi itu kepada kita.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Sepatu yang tinggal sebelah

18

Suatu hari, saat aku sedang membereskan dan membersihkan rak sepatu di rumah, aku menyadari ada sebuah sepatuku yang tak ada pasangannya. Padahal itu termasuk salah satu sepatu kesayanganku. Aku mencari-cari ke semua sudut lemari, tetapi pasangan dari sepatu yang masih bagus, utuh dan cukup cantik itu tetap tidak kutemukan. Mungkin ia terselip entah ke mana, lalu terbuang secara tak sengaja. Maklum teman-temannya sesama sepatu yang jumlahnya banyak itu berebut tempat dalam lemari. Aku merasa sayang sekali. Betapapun utuh, cantik, mahal, dan bagusnya sebuah sepatu, kalau pasangannya tidak ada, maka ia tidak berguna, hanya bisa dibuang ke tempat sampah karena fungsinya sebagai alas kaki sudah lenyap.

Aku mencari-cari ide apa yang bisa dimanfaatkan dari sepatu yang tinggal sebelah itu ya? Sayang banget karena masih bagus sekali, rasanya dibuat jadi hiasan pun tidak sesuai. Sepatu menurut fungsinya harus selalu sepasang, tidak bisa hanya sebuah.

Lalu sebuah pikiran yang menggelitik menyadarkan aku akan kehidupan kerohanian dan kemasyarakatan yang kulakukan selama ini. Terlibat dengan banyak pihak di Gereja, mengerjakan berbagai voluntary work untuk kegiatan rohani dan sosial secara online, terlibat dalam gerakan pro-life activity,  mengajar Sekolah Minggu, membantu kepengurusan komunitas Indonesia Katolik di kota aku tinggal saat ini, menyumbang secara rutin kepada anak asuh dan kaum miskin papa. Dari luar, semua itu tampaknya mulia dan indah. Tetapi kalau diteliti sampai ke dalam, apakah motivasiku melakukan semua perbuatan mulia itu? Kulakukan semata-mata untuk membalas cinta kasih Tuhan kepadaku ? Atau jangan-jangan hanya sebuah pelarian, sebuah kedok cantik untuk menutupi kekurangan-kekuranganku, atau justru sarana yang kuanggap efektif untuk mencari pujian dan kemuliaan diriku sendiri dari orang-orang di sekitarku? Aku menelan ludah…..glekk….

Aku bangkit berdiri sambil membawa sepatu tanpa pasangan itu dalam genggamanku. Saat itulah aku menyadari, bahwa seindah dan semulia apapun perbuatan yang kulakukan dengan hidupku di dunia ini, bila aku melakukannya tanpa Yesus di hatiku, tanpa hikmat keteladananNya, pengorbananNya, dan kerendahan hatiNya menjiwai latar belakang sepak terjangku, maka semua perbuatan indahku itu hanya akan sama saja dengan sepatu yang tidak ada pasangannya itu. Elok, utuh, mahal, dan masih berfungsi penuh. Tapi tidak ada pasangannya. Yah, mau diapakan lagi kalau tidak terus dilempar ke tempat sampah. Tanpa Yesus sebagai pasanganku, maka hidup dan pelayananku tidak banyak artinya lagi, bahkan mungkin hanya akan menjadi batu sandungan bagi orang lain, dan sumber keluh kesah orang-orang terdekat. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. (1 Korintus 13 : 3). Kasih itu adalah Dia, Tuhan Yesus Sang Putera Allah, yang kulayani, yang telah datang ke dunia untuk menyelamatkan dunia ini dari cengkeraman maut dan menyiraminya dengan kasih yang sejati. Kasih tanpa syarat.

Ingatanku melayang kepada pengalaman penyelenggaraan suatu acara kerohanian di Gereja yang kuketahui atau kudengar dari sesama. Atau  dalam suatu susunan organisasi dan kelompok kategorial di Gereja. Walaupun tidak sering, kegiatan dan aktivitas untuk Tuhan dan GerejaNya kadang tak luput dari sikap-sikap ingin menang sendiri, memaksakan kehendak, kesombongan rohani, gerutu dan gosip kepada sesama umat beriman. Bahkan sampai pada “perebutan” posisi dan jabatan tertentu yang dianggap jabatan kehormatan. Hatiku hanya mampu bertanya dalam keprihatinan, di manakah Yesus yang sedang kita semua layani ? Apakah kita sedang benar benar melayani kebutuhanNya ataukah kita sedang sibuk melayani kebutuhan-kebutuhan kita sendiri untuk tampil dan dihormati? Ke manakah teladan agungNya akan kasih tanpa pamrih dan kerendahan hati menguap dalam hiruk pikuk ego dan kesombongan manusiawi yang tidak dikendalikan?

Aku pun teringat akan anak-anak dan suami seorang teman yang protes karena sang ibu (dan sekaligus istri) sangat aktif di kegiatan Gereja sehingga mereka kadang merasa ditelantarkan. Bagaimanapun juga, melayani keluarga sesungguhnya adalah melayani Tuhan sendiri, sehingga selayaknya tugas dan perhatian untuk keluarga diprioritaskan oleh seorang ibu rumah tangga, sebelum banyak terjun ke pelayanan di Gereja. Memang hal ini sungguh memerlukan sikap batin yang terus menerus terarah kepada suara Tuhan. Supaya aku mampu memutuskan yang terbaik dan memprioritaskan apa yang menjadi tugas panggilanku yang terutama dari Tuhan. Keluarga adalah tugas dan ladang pelayanan yang pertama dan utama.

Demikianlah pilar terpenting pelayanan yang justru amat mudah terlupakan, ketika aku telah terbuai oleh rasa puas diri dan perasaan telah berbuat banyak bagi GerejaNya. Aku perlu sesekali berhenti sejenak dan bertanya, apakah aku telah cukup merenungkan apa yang sebenarnya Dia harapkan dan Dia butuhkan dari dan bagiku? Apakah aku sudah sungguh-sungguh mengenal Yesus dan semua aspirasiNya, melaksanakan kehendakNya dan mengesampingkan pertimbangan-pertimbanganku sendiri demi mengutamakan Dia, sehingga seluruh hidupku sudah menceritakan tentang kasihNya?

Pertimbangan dan keputusan manusiawi sangat rawan terhadap keadaan emosi yang dinamis di dalam peristiwa-peristiwa kehidupan. Misalnya kebiasaan menghakimi dan memberi label pada sesama, iri hati dan kedengkian yang sesungguhnya berakar dari kesombongan, atau penilaian-penilaian sempit dan sepihak lainnya, yang dipengaruhi dinamika relasi dengan sesama dan latar belakang pengalaman kehidupan.Tetapi hidup dan bekerja untuk Tuhan adalah hidup oleh dan karena kasih. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh (Galatia 5 : 25). Dan buah-buah Roh Kudus itu sangat jelas, pemeriksaan diri dan pemeriksaan motivasiku dalam melayani Dia dan sesama harus selalu diletakkan dalam terang buah-buah kekudusanNya itu. Aku akan segera tahu apakah aku masih berada di dalamNya atau sudah di luar dan hanya menuruti pertimbanganku sendiri, berdasarkan ini: Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu (Galatia 5 : 22-23). Dan ketika buah-buah itu ada padaku, aku harus memastikan bahwa semua itu bukan hasil usahaku, dan hanya akan terus mampu untuk menjadi sikap dasarku, bila aku melibatkan Dia, Sang Putera, yang telah diutus Bapa untuk selalu bersama kita, dan memimpin kita dengan seluruh hikmatNya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita (1 Yohanes 4 : 10).

Masih pula segar dalam ingatanku sebuah kisah seorang aktivis Gereja yang menemukan kekosongan dan perasaan jauh dari Tuhan. Karena begitu sibuk dalam pelayanan, kita sering menjadi lupa atau tak punya waktu lagi untuk diluangkan menjadi saat-saat pribadi dan intim buat bersama-sama dengan Tuhan dalam doa dan keheningan yang dipersembahkan khusus untukNya. Justru itulah sumber kekuatan yang sejati yang akan menggerakkan semua sepak terjang kita sesuai dengan kehendakNya. Waktu-waktu khusus, teratur, dan spesial, yang kusediakan bersama Tuhan dan untuk Tuhan, selayaknya menjadi kekuatan utama pelayananku. Bagaikan seorang sahabat yang kita ingin selalu berkontak dan sering-sering berhubungan karena kita sayang dan rindu, demikian juga frekuensi untuk selalu berusaha berjumpa dan berelasi dengan Dia melalui doa dan merenungkan FirmanNya adalah cermin seberapa penting dan berhargaNya Dia bagi seluruh gerak hidupku

Aku meletakkan sepatu kesayanganku yang tinggal sebelah itu di tempat di mana aku masih bisa melihatnya setiap saat. Hmm..untung masih ada gunanya juga ia, yaitu membantuku berefleksi. Aku memandanginya sambil membisikkan doa di dalam hatiku, “Yesus, aku tidak berarti apa-apa tanpa Engkau. Berjalanlah selalu di sisiku, jadi pemandu perjalanan budi pekertiku, penopang semua keputusan-keputusanku. Hanya bersama Engkau dan oleh karena Engkau, hidup dan pelayananku akan punya arti dan dapat berguna bagi kemuliaan KerajaanMu di dunia. Amin”. (uti)

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab