Home Blog Page 243

Menyiapkan homilist yang baik dari sejak seminari

29

Pengantar

Tema aktual yang sering dibicarakan di komisi seminari dan juga komisi liturgi adalah homili. Bagi komisi seminari menyiapkan para calon imam agar kelak menjadi imam yang memiliki ketrampilan dalam mewartakan sabda Tuhan adalah tugas utama. Terlebih ketika imam bertugas sebagai seorang pemimpin liturgi. Sebagai pemimpin liturgi seorang imam dituntut bukan hanya tahu tentang sikap liturgis, cara membawakan upacara liturgi dengan baik tetapi terlebih juga cara memaklumkan Sabda Tuhan. Bagian ini sering kurang disiapkan secara baik sejak seminari menengah dan tinggi. Mungkinkah dibuat kerjasama lintas komisi, dalam hal ini komisi seminari dan komisi liturgi berkolaborasi-bersinergi menyiapkan calon imam sebagai pengkotbah sejak dini di seminari menengah. Bagaimana bentuknya?

Kesadaran tugas utama mewartakan Sabda Tuhan

Apa tugas khas dari imam, yang tidak dimiliki oleh umat lain? Kanon 757 menyatakan: “Tugas dari imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup ialah memaklumkan Injil Allah; terutama para Pastor Paroki dan mereka yang diserahi tugas reksa jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang dipercayakan kepada mereka; juga para diakon, dalam persatuan dengan Uskup dan Presbyteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda”. Teks ini mau menyatakan bahwa tugas pokok dan bersifat khas bagi seorang imam adalah memaklumkan-mewartakan Injil Allah. Tugas mewartakan Sabda Allah itu merupakan pelaksanaan pewartaan sabda dan secara konkrit melalui kegiatan homili saat perayaan ekaristi. “Diantara bentuk-bentuk kotbah, homililah yang paling unggul yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri” (bdk. kan. 767). Jadi homili adalah bagian integral dari  perayaan ekaristi  (bdk. SC, 35,52; PUMR, 29). Maka kegiatan homili atau kotbah dalam perayaan ekaristi tidak bisa lepas dari tugas pokok seorang imam yakni mengajar umat. Melalui liturgi khususnya Perayaan Ekaristi – kaum beriman dimampukan untuk mengungkapkan dalam kehidupan mereka serta memperlihatkan kepada orang-orang lain misteri Yesus Kristus dan hakekat asli dari Gereja yang sejati (bdk. SC, 2).

Homili: bercerita dan bersaksi tentang pribadi Yesus

Homili adalah sebuah pewartaan yang mengisahkan atau bercerita tentang kisah Yesus dalam perayaan Ekaristi. Untuk dapat bercerita tentang Yesus kita perlu memiliki pengalaman pribadi berjumpa dengan Yesus, mengalami pribadi Yesus. Cerita tentang Yesus akan efektif, kalau cerita itu keluar dari pengalaman hidup pribadi kita; sebab orang lebih percaya kepada kesaksian hidup daripada sekedar berkata-kata (bdk. 1Yoh 1:1-4; EN, 41; EA, 42). Dengan bercerita tentang Yesus, kita mengungkapkan identitas diri kita sebagai umat kristiani (umat Katolik); dan kita tidak boleh menyembunyikan diri kita sebagai murid-murid-Nya. Dengan berada bersama dengan orang-orang sebangsa, yang dirundung kemiskinan dan hidup dalam pluralitas agama dan kebudayaan, kita menjadi sungguh-sungguh katolik dan sungguh-sungguh warga Indonesia. Dengan “berbuat” bagi mereka yang dirundung kemiskinan, dan hidup dalam pluralitas budaya dan agama, kita semakin menjadi Kristiani. Maka dalam homili yang tidak lepas dari kenyataan hidup konkrit umat, perlulah diperhatikan konteksnya (pendengarnya).

Kontekstualiasi Homili

Dimensi kontekstualisasi homili dalam perayaan ekaristi sangatlah penting. Umat merasakan kekuatan dari Sabda Tuhan, jika Sabda yang menjadi warta homili menyentuh kehidupan konkrit; jika Sabda Tuhan mengubah perilaku hidup manusia sehingga kehidupan nyata menjadi sejahtera dan damai. Itulah panggilan dasar Gereja yakni menjadi terang bagi bangsa-bangsa (bdk. Lumen Gentium, 1). Gereja menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah dan mendirikannya di tengah bangsa-bangsa (bdk. Lumen Gentium, 5). Sementara Gereja membantu dunia atau menerima banyak dari dunia, yang menjadi tujuan satu-satunya adalah datangnya Kerajaan Allah serta terwujudnya keselamatan bagi seluruh umat manusia (bdk. Gaudium et Spes, 45). Kontekstualisasi homili juga melihat kehidupan masyarakat yang ditandai dengan pluralitas agama dan budaya, serta mayoritas penduduknya hidup dalam kemiskinan. Karena itu hidup menggereja dilakukan lewat dialog antar umat beragama, berinkulturasi dan pembebasan manusia yang seutuhnya dan menyeluruh aspek bidang kehidupan (bdk. FABC I, 1974; V, 1990). Homili hendaknya menjadi suara kenabian ketika masyarakat menawari praksis “yang kuat yang menang, yang bermodal besar (kaum kapitalis) menguasai yang tidak bermodal kaum miskin)”. Kita sebagai Gereja perlu memperlihatkan baik melalui perkataan maupun perbuatan bahwa “yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir harus didahulukan.” (bdk. Nota Pastoral: Keadaban Publik, KWI 2004, art. 18.1). Ketika masyarakat digiring untuk menyembah uang, Gereja perlu bersaksi dengan mewartakan Allah yang solider, penuh kasih dan kerahiman. Melalui homili sebagai bentuk komunikasi iman dalam perayaan, kita dapat mengajak umat beriman untuk melihat kehidupan dalam terang Sabda Tuhan, dan melakukan pertobatan.

Bagaimana menyiapkan Homili

Menyiapkan homili tidaklah mudah, perlu ketekunan dan keseriusan. Bagi seorang pewarta Sabda Tuhan, diperlukan satu minggu untuk menyiapkan Homili jika hal itu dilakukan oleh Pastor Paroki yang setiap minggu harus memberi homili pada perayaan ekaristi bersama umat. Calon imam belajar memberikan homili di dalam misa kelompok di rumah bina. Komisi liturgi memberikan panduan sederhana bagaimana berhomili yang baik? Di bawah ini cara menyiapkan homili yang mungkin berguna bagi para pewarta sabda Tuhan. Persiapan menyampaikan homili terbagi dalam 2 tahap: persiapan jarak jauh dan jarak dekat.

Persiapan jarak jauh: meliputi tiga tahap (1) renungan pribadi: melakukan permenungan atas bacaan Sabda Tuhan dengan tertulis yang menjadi inspirasi homili, (2) hidup kerohanian pribadi yang mendalam, yang dimaksudkan adalah sebagai pewarta sabda Tuhan hendaknya memiliki hidup rohani yang matang, memiliki kebiasaan berdoa dan membaca sabda Tuhan dalam Kitab Suci, (3) kepribadian dari si homilist (pembawa homili): sangatlah menentukan. Di sini dibutuhkan integritas kepribadian dari si pewarta sabda Tuhan. Apa yang saya katakan, juga saya lakukan, berhomili berarti juga mengandung tuntutan untuk melakukannya.

Persiapan jarak dekat: (a) membaca dan merenungkan Sabda Tuhan, (b) menentukan satu tema berdasarkan hasil permenungan, (c) mendengarkan konteks penerima (audiens), (d) membaca sumber tambahan (dapat diambil dari ajaran Gereja, nota pastoral, (e) kesesuaian dengan ajaran Kitab Suci dan Gereja, (f) menyusun draft homili, (g) membawakan homili: menentukan metode, sarana, berdoa sebelum kotbah dan mendengarkan gerakan Roh apa yang hendak homilist katakan kepada umat.

Suatu kerjasama lintas komisi

Mungkinkah terjalin kerjasama lintas komini seminari dan liturgi dalam menyiapkan calon imam agar menjadi homilist yang unggul? Kerjasama terjalin jika sejak seminari menengah diberikan pelajaran pengajaran tentang liturgi sebagai komunikasi sabda (komunikaturgi). Liturgi adalah perwujudan iman dalam upacara tapi sekaligus sebuah komunikasi iman. Sejak seminari menengah diajarkan tentang menulis renungan singkat dan dibawakan kepada teman-teman sendiri. Komisi Liturgi keuskupan dan para dosen liturgi sudah saatnya memberikan pengajaran tentang homili sejak di seminari menengah. Bagi seminari tinggi agar para frater diajarkan bagaimana: menggali kekayaan sabda Tuhan dengan pelbagai metode tafsir kitab suci yang praktis untuk umat, bagaimana berkomunikasi yang benar dalam ruang publik (public speaking dan public appearance), bagaimana menata integritas kepribadian homilist agar kata menjadi tindakan konkrit? Bagaimana komisi seminari dan komisi liturgi membuat buku-buku panduan tema dan gagasan homili mingguan dengan bahasa sederhana untuk calon imam seminari menengah dan tinggi?

Liturgi Sabda membosankan?

12

Pertanyaan:

Shalom Romo, Bpk Stefanus Tay & Bu Inggrid Listiati,

dari hati yang paling dalam Surya amat sangat bersyukur adanya website ini yang buanyak menggali pengetahuan, sharing, dan pandangan bijak dari teman-teman seiman, terlebih dipandu oleh pasutri Stefanus Tay & Inggrid Listiati.
Ada beberapa hal yang Surya mau ungkapkan disini, diantaranya adalah sebagai berikut :

Liturgi Sabda
seringkali homili yang disampaikan kurang persiapan bahkan banyak yang saya jumpai isi homili mengambil dari standard baku dari buku homili tahun A,B,C.
sepertinya kurang mendapat perhatian bahwa Sabda Tuhan yang disampaikan bertujuan membangun umat untuk lebih mengenal dan merenungkan serta dapat di implementasikan dalam hidupnya sehari-hari. (baca Roma 10:17).
Bu Inggrid, keseragaman dalam misa ekaristi dalam bagian liturgi sabda ini menurut saya “membatasi Roh Tuhan” bekerja. Saya pernah bertanya dan mendapat jawaban dari seorang Pastur bahwa ada aturan dalam penyampaian homili yaitu :
* 5 menit pertama = Pastur menceritakan ulang isi bacaan pertama,kedua,dan bacaan Injil
* 5 menit kedua = Pastur jelaskan maksud dari bacaan pertama,kedua,dan bacaan Injil
* 5 menit kedua = Pastur menyampaikan pesan-pesan sesuai korelasi dengan isi bacaan 1,2,bacaan Injil
sering didengungkan bahkan menjadi suatu ‘kebanggaan semu’ bahwa gereja katholik di seluruh dunia tema 3 bacaannya sama… oleh karena harus mengikuti aturan seperti ini sehingga kehilangan makna yang hendak disampaikan supaya umat yang mengikuti misa ekaristi mengalami sentuhan iman karena bobot homili yang disampaikan.
Beberapa Pastur tidak menyangkal bahwa tidak mungkin dapat menjelaskan Sabda Tuhan dalam waktu sangat singkat dan harus mencakup kebutuhan bagi umatnya dari segala kelompok umur. Saya pernah usulkan supaya diperpanjang waktu homili tetapi Pastur bersangkutan mengatakan “tidak bisa diubah” karena sudah demikian peraturannya.
mohon maaf para Pastur, saya sangat memaklumi bahwa tidak mudah memberitakan kabar Injil dikaitkan dengan keadaan hidup jaman sekarang. Namun tolonglah dicari solusinya supaya firman Tuhan ini harus disampaikan kepada umat…
di Paroki saya pernah dicoba oleh Pastur mengadakan pertemuan pendalaman alkitab setiap hari rabu namun kenyataannya tidak banyak yang hadir dan pada akhirnya sekarang “MUNTABER= mundur tanpa berita” alias tidak diadakan lagi… sungguh sangat memprihatinkan. bandingkan jika diselenggarakan doa rosario atau doa novena…. buanyaaakkk yang hadir. Setelah saya selidiki ternyata motivasinya adalah berkat. ketika memohon kepada perantaraan Bunda Maria lebih sering dikabulkan daripada
berdoa memohon kepada Tuhan Yesus (atau kepada BAPA).
Persekutuan Doa Kharismatik sering memanggil pewarta dari awam untuk mengisi renungan sebab seringkali Pastur kurang meresponi jika diminta membawakan renungan di PDKK karena sekali lagi mohon maaf … biasanya Pastur sangat tidak siap membawa renungan lebih dari 15 menit karena sudah terbiasa membawa homili hanya 15 menit.

Maksud saya mengangkat topik mengenai liturgi sabda ini supaya ada perbaikan atau bila mungkin ada perubahan baik dari sisi waktu homili maupun dari efektifitas materi yang disampaikan agar supaya umat banyak tergerak hatinya untuk mencintai firman Tuhan. memang sih ada bulan kitab suci yaitu setiap bulan september setiap tahunnya… tapi itu tidak cukup. Harus digalakkan setiap hari membaca dan merenungkan kitab suci.
Intisari perjalanan iman seseorang paling tidak mencakup :
– Doa
– Firman
– Persekutuan
– Pelayanan
harus mau bersaksi bagaimana Yesus hidup dalam dirinya…. dapat menjadi garam dan terang bagi keluarga, lingkungan sekitar dimana kita berada bahkan menjadi saksi Kristus bagi banyak orang.

Sudah terlalu banyak metoda-metoda yang disampaikan seperti misalnya 7 step, kontemplasi, meditasi dan sebagainya. yang dibutuhkan adalah bagaimana membangun kecintaan umat kepada kitab suci. setelah itu dibimbing untuk juga meng-implementasikan firman Tuhan dalam kehidupannya sehari-hari.
metoda dan peraturan, tata terbit dalam misa ekaristi tidak salah sih tetapi ada yang lebih penting yaitu memberikan waktu bagi Roh Tuhan bekerja seluas-luasnya dalam hidup kita.
Tidak terlalu kaku dan ketat dengan segala macam narasi doa-doa yang sudah di standarkan dalam teks-teks yang dibacakan tetapi alangkah indahnya jika doa-doa yang kita sampaikan itu adalah dari kata-kata hati kita sendiri yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam…. jadi tidak hanya berupa aturan bacaan doa BAPA KAMI atau SALAM MARIA semata-mata…

sementara ini dulu kita diskusikan dan saya mohon bapak dan ibu memakai kata-kata sederhana saja supaya mudah dicerna oleh kami ini orang awam.
Terima kasih. Jesus Bless You.

Salam Sejahtera,
Surya Darma

Jawaban dari Romo Wanta:

Surya Yth
Keluhan anda sebagai kritik terhadap homilist/ orang yang membawakan homili dalam Misa adalah wajar dan saya pribadi bisa menerimanya. Tidak mudah membawakan homili yang bisa memenuhi kebutuhan rohani semua umat. Komisi Liturgi KWI baru saja selesai rapat para dosen untuk membahas hal yang serupa, bahkan kami di KWI sudah pernah membahas paling tidak lebih dari 3 kali bagaimana menyiapkan calon imam dan imam membawakan homili secara benar dan baik mewartakan sabda Tuhan untuk memenuhi kebutuhan umat beriman. Harus ditinjau dari pelbagai aspek antara lain: imam/awam yang membawakan, pendidikan bagi para homilist, pendengar komunikan yang menerima sabda Tuhan, dengan konteksnya, media/sarana penyampaian (sound system, audio) yang memadai hingga pesan sabda Tuhan terdengar secara baik.

Tentang Liturgi bacaan (Perayaan Sabda Hari Minggu) anda bisa baca di majalah Liturgi Vol 18 2007 dan vol 21 2010. Saya berharap anda mencarinya agar memahami secara utuh. Benar Gereja Katolik menetapkan tahun A B C secara teratur dengan mengambil lingkaran tahun keselamatan dari penginjil agar umat beriman memahami sejarah keselamatannya dengan ciri khasnya masing-masing dari tahun liturgi satu pindah ke yang lain. Itu memang baku dan sesuai dengan ajaran Gereja Sacrosanctum Concilium, Redemptionis Sacramentum, tidak bisa diubah. Kecuali anda memberikan homili/kotbah tematis silakan mencari teks yang kontekstual dan cocok dengan pendengar itu lain hal, tapi Perayaan Ekaristi tidaklah demikian. Semua teratur di situ; sebagai anggota Gereja Katolik saya pribadi patut bersyukur bahwa merayakan iman memiliki kesatuan dan keseragaman, bukan seenaknya sendiri.

Soal pastor yang membawakan homili tidak menarilk dan umat ‘muntaber’ tidak mau datang kalau ada pendalaman Kitab Suci, sudah menjadi keprihatian lama dan memang perlu bersama membenahi, dan tidak menyalahkan pihak tertentu. Mungkin kita kurang mengerakkan umat mencintai Kitab Suci, bahasa kita kurang pas dengan pendengar dll. Coba kita bersama membangun jemaat yang setia dan mencintai Kitab Suci. Doa dalam Misa baku karena harus mendapat approbasi konferensi Uskup dan recognisi dari Takhta Suci sesuai ritusnya kita di Indonesia ritus latin. Sekali lagi ini perayaan iman jadi penting.

Kalau mau berdoa spontan bisa dalam kelompok pendalaman Kitab Suci, PDKK dll tapi tidak di dalam Perayaan Ekaristi, termasuk memilih teks KS semaunya. Soal pastor yang tidak siap, saya mengakui tapi tidaklah semua pastor demikian dan jika anda mengundang saya, saya akan menyiapkannya dengan baik. Homili tidak bisa lebih dari 15 menit dalam perayaan Ekaristi, tapi kalau kotbah tematis bisa 30 menit, kalau sampai 1 jam namanya ceramah. Pendengar memiliki kemampuan terbatas dia bisa menerima dengan konsentrasi penuh pada 6 menit pertama setelah itu dia bisa lupa. Mohon baca dengan baik artikel yang akan saya sampaikan di katolisitas.

salam
Rm Wanta

Jawaban dari Ingrid:

Shalom Surya,

1. Tentang Liturgi Sabda

Keseragaman Liturgi Sabda dalam perayaan Ekaristi di gereja Katolik manapun, hendaknya tidak diartikan sebagai “membatasi Roh Tuhan bekerja” seperti yang anda katakan. Sebab jangan lupa bahwa Roh Kudus adalah Roh Kasih Allah yang mempersatukan, sehingga Roh Kudus itu akan lebih leluasa berkarya di dalam kesatuan. Roh Kudus yang satu itulah yang mempersatukan semua anggota Kristus menjadi satu tubuh, yang dipanggil kepada satu pengharapan (Ef 4:4). Nah bukti yang paling kuat akan adanya persatuan itu adalah kesatuan dalam ibadah dari seluruh Tubuh Kristus di seluruh dunia. Maka yang diperlukan adalah meningkatkan penghayatan akan karya Roh Kudus di dalam kesatuan liturgi tersebut, dan bukannya ingin merombaknya karena kurangnya penghayatan maknanya. Ibaratnya, yang perlu diperbaiki adalah antenanya dan bukan membuang TV-nya.

2. Tentang Homili dan pendalaman Kitab Suci

Soal Homili, Romo Wanta sudah menanggapinya. Memang menjadi tugas para imam untuk juga meningkatkan kualitas homili, dan mungkin ini dapat dicapai jika para imam teratur melakukan Lectio Divina dalam kehidupan rohaninya.

Tidak mudah untuk menyampaikan homili yang singkat, padat namun relevan dan menyentuh hati umat. Oleh karena itu para imam membutuhkan juga dukungan doa dari kita para umat. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita mendoakan para imam paroki kita, agar mereka memperoleh bimbingan Roh Kudus supaya dapat menyampaikan homili dengan baik?

Lalu tentang pendalaman Kitab Suci. Adalah sesuatu yang baik jika diadakan pendalaman Kitab Suci. Namun perlu juga ditentukan topik dan pembicaranya yang baik, agar berguna dan membangun iman umat. Jika anda terpanggil untuk berkarya membantu imam di paroki anda, silakan anda mengambil tugas ini, mengkoordinasikannya bersama dengan seksi katekese/ Kitab Suci di paroki. Jadi sebaiknya janganlah terlalu cepat menyampaikan kritik, jika kita sendiri belum melakukan bagian kita, yaitu mendukung para imam dengan doa dan jika perlu membantu dengan mendukung karya- karya kerasulan di paroki.

3. Acara doa rosario dan novena lebih banyak yang hadir?

Doa rosario, jika didoakan dengan benar, itu merupakan permenungan akan peristiwa hidup Yesus sendiri yang tertulis dalam Injil. Jadi doa rosario sebenarnya merupakan pendalaman Kitab Suci juga, namun arahnya lebih kepada penghayatan pribadi, dan bukan kepada pembelajaran bagi kelompok. Demikian pula dengan novena, jika novena ini disertai dengan Perayaan Ekaristi Kudus, maka ini sungguh bermakna sangat dalam, dan sebenarnya bahkan lebih sempurna daripada pendalaman Kitab Suci [tentu jika dibarengi dengan penghayatan akan makna Ekaristi]. Sebab, dalam setiap Perayaan Ekaristi, tidak hanya ada Liturgi Sabda yang merenungkan Sabda Allah (bacaan dari PL/ PB, Mazmur dan Injil) tetapi juga Liturgi Ekaristi di mana umat dapat menyambut Kristus dan bersatu dengan Kristus sendiri dalam Komuni Kudus.

4. Pastur tidak bisa membawakan renungan di PDKK?

Saya rasa kita perlu melihat hal ini secara lebih obyektif. Pastur paroki mempunyai tugas yang sangat banyak dalam paroki, bukan saja hanya untuk berkhotbah. Ia juga harus menjalankan tugas penggembalaan umat, mempersiapkan umat menerima sakramen- sakramen lainnya, termasuk Ekaristi, Baptis, Pengakuan dosa, Penguatan, Pernikahan (dan persiapan pernikahan), dan Pengurapan Orang sakit; juga tugas pastoral lainnya, kunjungan, manajerial paroki. Maka bukannya Romo tidak bisa khotbah panjang, tetapi karena waktunya yang memang sangat terbatas. Tentu saja Romo bisa menyampaikan khotbah dalam PDKK, dan saya sudah sering mendengarkannya. Jadi masalahnya, saya rasa, lebih cenderung kepada apakah Romo tersebut mempunyai waktunya atau tidak.

5. Intisari perjalanan iman: Doa, Firman, Persekutuan, dan Pelayanan?

Ya, saya juga mengetahui tentang ke-empat hal ini yang sering diajarkan juga dalam SHBDR. Namun sebenarnya ada satu jari- jari “roda” pertumbuhan yang terlupakan di sini, yaitu SAKRAMEN. Pertumbuhan rohani akan menjadi lebih baik dan sempurna, jika mengandalkan rahmat Allah sendiri yang tercurah di dalam sakramen- sakramen, karena sakramen merupakan cara yang dipilih Allah untuk menyampaikan rahmat-Nya. Secara khusus di sini adalah Ekaristi dan Pengakuan Dosa. Dengan rahmat Allah inilah maka kita dapat menjadi saksi Kristus yang lebih baik, dan bertumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih.

Maka sebagai umat Katolik kita tidak dapat meletakkan pertemuan apapun di atas Perayaan Ekaristi, yang menjadi puncak dan sumber kehidupan Kristiani. Persekutuan doa, pendalaman Kitab Suci, Rosario, atau apapun bentuk kegiatan rohani lainnya tidak ada yang nilainya lebih tinggi daripada Ekaristi, dimana Kristus hadir dan bersatu dengan umat-Nya. Umat Katolik yang lebih memilih persekutuan doa daripada Misa Kudus, sesungguhnya menunjukkan bahwa ia tidak sungguh- sungguh menghayati imannya. Silakan memeriksa diri sendiri, sejauh mana kita sudah mempersiapkan diri menyambut Ekaristi, seperti yang pernah dituliskan di sini, silakan klik. Atau jika anda belum membaca artikel Ekaristi, silakan juga membacanya di sini, silakan klik dan di sini, silakan klik

Maka komentar anda bahwa membangun kecintaan umat kepada Kitab Suci, itu memang penting, tetapi juga sebaiknya itu dibarengi juga dengan membangun kecintaan umat kepada Ekaristi dan sakramen- sakramen lainnya. Karena dengan demikian, kita dapat mempunyai pertumbuhan iman yang lebih baik.

6. Doa yang keluar dari lubuk hati lebih berarti daripada doa Bapa Kami dan Salam Maria?

Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang keliru. Kalau seandainya doa Bapa Kami dihayati dengan sungguh- sungguh dan menjadi doa yang keluar dari lubuk hati, maka doa Bapa Kami menjadi doa yang sempurna dan berkuasa, sebab itu adalah doa yang diajarkan oleh Kristus sendiri. Lagipula, semua doa spontan yang baik, sesungguhnya menyerupai doa Bapa Kami, hanya penyampaiannya saja yang berbeda. Silakan anda membaca di artikel ini, silakan klik, untuk merenungkan kebenaran ini. Jika Tuhan Yesus lebih memilih doa spontan daripada doa yang dirumuskan, tentu Dia tidak perlu mengajarkan doa Bapa kami. Fakta bahwa Ia mengajarkan doa ini, adalah karena Ia ingin mengajarkan kepada kita bagaimana sebenarnya kita harus berdoa. Jadi marilah kita berusaha meresapkan doa Bapa Kami ini di dalam hati kita dan menjadikannya doa yang keluar dari lubuk hati kita, di samping mengucapkan doa- doa yang spontan.

Demikian juga tentang doa Salam Maria, yang pernah dibahas di sini, silakan klik. Sudah saatnya kita yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus, belajar bertumbuh di dalam kerendahan hati; dan ini termasuk juga dengan menghargai pengajaran Gereja tentang doa dan sakramen. Kalau kita yang mendapat pencurahan Roh Kudus hanya sekejap saja menjadi sangat bersemangat dan mempunyai kasih yang berkobar kepada Tuhan; apalagi Bunda Maria yang sejak awal dikandung tanpa noda, dipenuhi oleh Roh Kudus dengan sempurna, mengandung Kristus Sang Allah Putera di dalam rahim-Nya, hidup 30 tahun di bawah satu atap dengan-Nya! Semoga Roh Kudus semakin menjadikan kita rendah hati dan mengakui, bahwa kita masih perlu banyak belajar dari banyak orang yang lebih kudus dari kita; dan terutama di sini adalah Bunda Maria, yang memang telah dikuduskan oleh Allah.

Demikianlah Surya, yang dapat saya tuliskan untuk menjawab pertanyaan/ komentar anda. Semoga saya sudah memakai kata- kata yang sederhana dan mudah dicerna. Jika belum, mohon maaf, dan silakan bertanya kembali.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

The Silent 400 years?

3

Pertanyaan:

Shalom katolisitas.org,

Saya seorang Kristen Katolik, dan ingin lebih mengerti mengenai Catholic faith.
Saya ingin bertanya mengenai Kitab Deuterokanonika. Mohon penjelasan saudara/i. Thanks.

Pertanyaan 1:

Saya pernah membaca bahwa kitab 2 Makabe 15:39 sering diragukan, berbunyi:

yang juga dipandang bertentangan dengan kitab Wahyu 22:19, berbunyi:
19 Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.”

Mohon penjelasannya, and thanks a lot.

Pertanyaan 2:

Apakah benar dan apakah salah, bahwa Gereja Katolik baru secara official meng-kanonisasi kitab-kitab Deuterokanonika pada Council of Trent 1546 AD?

Pertanyaan 3:

Apakah kitab-kitab Deuterokanonika semua tidak tertulis dengan bahasa Ibrani, seperti yang digunakan pada Old Testament?

Pertanyaan 4:

Kitab Deuterokanonika mengajarkan hal-hal buruk seperti: bunuh diri, mantera, berbohong, pembunuhan, benarkah? (Saya pernah membaca seseorang menulis ini, meskipun saya yakin tidak)

Pertanyaan 5:

Persilahkan saya untuk mengutip dari Bahasa Inggris untuk mencegah kesalahan terjemahan saya.

The apocryphal books themselves make reference to what we call the Silent 400 years, where there was no prophets of God to write inspired materials.

And they laid up the stones in the mountain of the temple in a convenient place, till there should come a prophet, and give answer concerning them. (1 Maccabees 4:46)

And there was a great tribulation in Israel, such as was not since the day, that there was no prophet seen in Israel. (1 Maccabees 9:27)

And that the Jews, and their priests, had consented that he should be their prince, and high priest for ever, till there should arise a faithful prophet. (1 Maccabees 14:41)

Mohon penjelasannya, thanks.

Pertanyaan 6 (terakhir):

Sekali lagi maaf, untuk langsung mengutip dari Bahasa Inggris. Saya yakin saudara/i mampu men-translate lebih baik.

The Manual of Discipline in the Dead Sea Scrolls rejected the apocrypha as inspired.
The Council of Jamnia held the same view rejected the apocrypha as inspired.

They debated the canonicity of a few books (e.g., Ecclesiastes), but they changed nothing and never proclaimed themselves to be authoritative determiners of the Old Testament canon. “The books which they decided to acknowledge as canonical were already generally accepted, although questions had been raised about them. Those which they refused to admit had never been included. They did not expel from the canon any book which had previously been admitted. ‘The Council of Jamnia was the confirming of public opinion, not the forming of it.’” (F. F. Bruce, The Books and Parchments [Old Tappan, NJ.: Fleming H. Revell, 1963], p. 98])

Mohon tanggapannya.

Sekian pertanyaan saya,
Thank You, katolisitas.org, saudara/i seiman dan tidak seiman.

Jawaban:

Shalom John,

1. Tentang 2 Makabe 15:39 dalam kaitannya dengan Why 22: 19

2 Mak 15:38 [39] mengatakan: “Jika susunannya baik lagi tepat, maka itulah yang kukehendaki. Tetapi jika susunannya hanya setengah- setengah saja, maka hanya itulah yang mungkin bagiku.” [dalam bahasa Inggris: Which if I have done well, and as it becometh the history, it is what I desired: but if not so perfectly, it must be pardoned me.“]

Penjelasan ayat ini:

Ayat ini tidak berkaitan dengan kebenaran penjabaran, namun berkaitan dengan gaya penulisan; yang diakui oleh sang penulis Kitab sebagai kurang sempurna. Penyampaian wahyu ilahi kepada kita melibatkan juga kemampuan dari para pengarang kitab tersebut, seperti halnya bagaimana Roh Kudus bekerja melalui para rasul yang juga mempunyai kemampuan yang terbatas, seperti diakui juga oleh Rasul Paulus (2 Kor 11:6). Maka di sini penulis kitab Makabe menyampaikan hal serupa yang juga disampaikan oleh Rasul Paulus.

Dengan demikian, ayat ini tidak berhubungan dengan ayat dalam Why 22:19 yang mengatakan: “Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.”

Ayat Why 22:19 ini hanya berkaitan dengan Kitab Wahyu, dan bukan Kitab Suci secara keseluruhan. Karena pada saat Kitab Wahyu itu ditulis sekitar tahun 90-100, kanon Kitab Suci belum ditentukan. Kanon Kitab Suci (yang menentukan kitab- kitab mana saja yang diinspirasikan oleh Roh Kudus) baru ditentapkan pada abad ke- 4 oleh Magisterium Gereja Katolik, tepatnya oleh Paus Damasus I (382), dilanjutkan dengan Konsili Hippo (393) dan Konsili Carthage (397).

2. Apakah benar dan apakah salah, bahwa Gereja Katolik baru secara official meng-kanonisasi kitab-kitab Deuterokanonika pada Council of Trent 1546 AD?

Jawabnya: tidak benar. Kitab- kitab Deuterokanonika sudah termasuk dalam Kitab Suci sejak pertama kali kanon Kitab Suci ditentukan pada tahun 382. Silakan anda membaca artikel ini, silakan klik dan secara lebih mendetail di sini, silakan klik. Konsili Trente 1546 hanya mengulangi dan menegaskan apa yang sudah ditetapkan beradad- abad sebelumnya.

3. Apakah kitab-kitab Deuterokanonika semua tidak tertulis dengan bahasa Ibrani, seperti yang digunakan pada Old Testament?

Jawabnya: tidak benar juga. Kitab Sirakh ditulis dalam bahasa Ibrani. Kitab Tobit dan Yudit aslinya ditulis dalam bahasa Aram maupun Ibrani. Barukh dan 1 Makabe dalam bahasa Ibrani; sedang Kitab Kebijaksanaan Salomo dan 2 Makabe dalam bahasa Yunani. Selanjutnya, kemungkinan besar kitab pelengkap Esther ditulis dalam bahasa Ibrani, dan pelengkap Daniel dalam bahasa Yunani.

Bahwa kemudian semua kitab Deuterokanonika diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dalam Septuagint, tidak berarti bahwa semua kitab tersebut aslinya tertulis dalam bahasa Yunani, dan tidak berarti bahwa dengan demikian tidak diinspirasikan oleh Roh Kudus.

4. Kitab Deuterokanonika mengajarkan hal-hal buruk?

Anda bertanya, apakah kitab Deuterokanonika mengajarkan hal-hal buruk seperti: bunuh diri, mantera, berbohong, pembunuhan?

Mengajarkan Bunuh diri?

Kitab 2 Mak 14:37-46 memang mengisahkan tentang kematian Razis yang memilih untuk mati dengan menikam dirinya sendiri, daripada ditikam oleh para musuhnya. Hal ini serupa yang dilakukan oleh Raja Saul (lih. 2 Sam 31:4). Maka apa yang tertulis di sana bukannya pengajaran, tetapi memang merupakan kenyataan bahwa mereka (Saul dan Razis) memilih untuk mati di tangan sendiri daripada di tangan musuh. Tentu ini bukan ajaran untuk bunuh diri, melainkan hanya penjabaran akan fakta yang terjadi pada saat itu. Jika untuk alasan kisah Razis maka kitab 2 Makabe ditolak, apakah dengan demikian kitab 2 Samuel juga layak ditolak? Tentu tidak, sebab ada hal- hal lain yang dituliskan dalam kitab itu yang memang ditulis atas inspirasi Allah untuk pengajaran bagi kaum beriman. Misalnya, dalam kitab 2 Makabe diajarkan:

a. Pengajaran bahwa segala ciptaan diciptakan Allah dari tidak ada menjadi ada (creation ex nihilo) lih. 2 Mak 7:28

b. Ajaran bahwa jiwa itu diciptakan kekal adanya, lih. 2 Mak 6:30.

c. Kebangkitan orang mati dan kebangkitan badan, lih. 2 Mak 7:9, 29

d. Api penyucian, dan mendoakan jiwa orang- orang yang sudah meninggal, lih. 2 Mak 12:46

e. Doktrin tentang malaikat 2 Mak 10:29-30; 11:8

f. Perjuangan menjadi martir, nilai penderitaan/ pengorbanan, penghakiman setelah kematian, dst, seperti yang ditunjukkan oleh Eleazar (lih. 2 Mak 6:18-31), dan ibu dan ketujuh anak yang semuanya dibunuh sebagai martir demi mempertahankan pengajaran yang mereka terima dari para nabi (lih. 2 Mak 7).

Selanjutnya, kitab Makabe ini juga memberikan penjelasan pengertian tentang “umat pilihan” Allah dalam kaitannya dengan Hukum Tuhan dan Bait Allah. Israel sebagai bangsa tidak terbatas oleh keluarga Makabe, demikian juga dalam PB, bangsa Israel yang baru (Gereja) tidak terbatas pada orang Israel, namun kepada semua yang percaya kepada Kristus. Semangat menguduskan bait Allah yang ditunjukkan oleh Yudas dalam Kitab Makabe juga ditunjukkan oleh Kristus (lih. Yoh 2:17) namun bait Allah yang dimaksud adalah Tubuh-Nya sendiri (lih. Yoh 2:21). Sekarang kitapun harus berjuang menguduskan tubuh kita yang adalah bait Allah (1 Kor 3:16; 6:10).

Mengajarkan mantera?

Saya tidak tahu apa yang dimaksud teman anda bahwa kitab- kitab Deuterokanonika mengajarkan mantera. Silakan ditanyakan, di mana ayatnya yang menurutnya adalah mantera.

Mengajarkan berbohong?

Mungkin yang dimaksud adalah pernyataan malaikat Rafael yang pada waktu itu menyamar menjadi Azarya dalam kitab Tobit. Hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

Penyamaran malaikat Rafael dalam diri Azarya bin Ananias, sering dikatakan sebagai kesalahan/ kebohongan sehingga tidak dapat dikatakan sebagai firman Tuhan. Namun dalam kitab lain dalam Perjanjian Lama, kita mengenal kisah ‘penyamaran’ malaikat dalam rupa manusia, misalnya, dalam kedua malaikat yang diutus untuk menyelamatkan Lot dari kehancuran kota Sodom (Kej 19:1-29), pergumulan Yakub (Kej 32:22–32), dan penyamaran malaikat dalam bentuk manusia juga kita lihat dalam kisah kebangkitan Yesus (lih. Mrk 16:5-7; Luk 24:5-7). Hanya memang mereka tidak memperkenalkan diri dan meyebutkan nama mereka. Namun mengenai hal nama, sebenarnya malaikat Rafael tidak berbohong, sebab ia menyebutkan namanya sesuai dengan tugas yang diembannya saat diutus Tuhan pada saat itu, yaitu menjadi “Azarya”, yang dalam bahasa Ibrani artinya: pertolongan Tuhan, dan “Ananias”, yang artinya rahmat Tuhan. Kita ketahui bahwa malaikat Rafael diutus oleh Tuhan untuk menolong keluarga Tobit, yaitu membantu mengusir Iblis pada Sara yang akhirnya menikah dengan Tobia, dan kemudian menyembuhkan Tobit dari kebutaan. Nama Azarya ini digunakan juga oleh malaikat yang diutus Tuhan untuk menyelamatkan Sadrakh, Mesakh dan Abednego dari hukuman di perapian yang dipasang atas perintah Raja Nebukadnezar (lih Dan 3, Tamb Dan 3:24-50)

Mengajarkan pembunuhan?

Apa yang tertulis dalam kitab Makabe tentang pembunuhan baik yang terjadi di pihak orang Israel maupun para musuhnya, bukan merupakan hal yang asing dalam Perjanjian Lama. Hal pembunuhan ini memang terjadi dalam sejarah manusia, seperti yang tertulis di Perjanjian Lama, diawali dengan pembunuhan Abel oleh Kain saudaranya (lih. Kej 4:8). Lihatlah bagaimana kisah peperangan bangsa Israel menuju Tanah Perjanjian, ataupun kisah perjuangan bangsa Israel di bawah kepemimpinan Raja Saul dan Daud, dan banyak raja- raja sesudahnya. Tentu kisah-kisah ini dituliskan bukan untuk dibenarkan, tetapi untuk menyatakan betapa manusia telah jatuh ke dalam dosa, sehingga membutuhkan Kristus untuk menyelamatkannya.

5. The silent 400 years?

Berikut ini jawaban kami yang mengambil sumber dari tulisan James Akin dalam Catholic Answers, silakan klik di sini untuk membaca versi bahasa Inggrisnya:

Istilah “the silent 400 years” adalah istilah yang sering digunakan oleh para pengajar Protestan, bahwa sejak Nabi Maleakhi (440 BC) sampai kelahiran Yesus, terdapat keadaan “vakum” di mana Allah tidak berbicara lagi kepada umat Israel. 400 tahun ini mereka percayai sebagai jeda antara PL dan PB.

Biasanya yang dipakai sebagai dasar adalah 1 Mak 9:27 [walaupun mereka menolak Kitab Makabe], “Maka terjadilah keimpitan besar di Israel sebagaimana belum pernah terjadi sejak tiada nabi lagi nampak oleh mereka.” Ayat ini mereka jadikan dasar mengatakan bahwa tidak ada nabi antara Maleakhi sampai Yohanes Pembaptis, dan karenanya kitab- kitab yang tertulis di masa ini yaitu kitab- kitab Deuterokanonika, menurut mereka, tidak termasuk kanon Kitab Suci.

Namun argumen ini tidak benar, karena:

a. Tidak semua kitab Deuterokanonika ditulis dalam masa yang mereka katakan “the silent 400 years“. Kitab Barukh dituliskan oleh juru tulis pembantu nabi Yeremia pada tahun 581 BC, lama sebelum periode “silent” tersebut.

b. Kitab Suci tidak harus ditulis oleh seorang nabi, tetapi oleh seseorang yang memperoleh inspirasi dari Roh Kudus. Perjanjian Lama banyak ditulis oleh orang- orang yang bukan nabi, dalam arti orang yang dipilih khusus untuk mewartakan ajaran ilahi kepada publik. Raja Daud maupun Raja Salomo bukan nabi, namun di bawah inspirasi Ilahi mereka menuliskan Mazmur, Kidung Agung dan Amsal. Ada banyak kitab lainnya dalam PL yang tidak dapat kita ketahui siapakah persisnya yang menuliskannya, apakah hanya seorang sejarahwan, ataukah nabi. Namun kitab- kitab tersebut tetaplah diinspirasikan oleh Roh Kudus.

c. Agaknya, para pengajar Protestan salah mengartikan 1 Mak 9:27 tersebut, sebab ayat itu tidak berarti keberadaan nabi- nabi sudah tidak ada lagi. Sebab jika demikian artinya Yohanes Pembaptis dan nabi- nabi pada Perjanjian Baru juga tidak ada.

Juga bangsa Yahudi sendiri tidak menganggap bahwa keberadaan nabi PL telah berhenti. [Perlu diketahui, bangsa Yahudi tidak membagi Kitab Suci menjadi PL dan PB, karena mereka tidak mengakui Kristus yang adalah penggenapan PL dalam PB]…. Setelah Yudas Makabe mengambil alih Bait Allah, dikatakan, “Batu- batunya ditaruh di gunung Rumah Allah di tempat yang pantas, hingga ada seorang nabi tampil ke muka yang dapat memberikan ketentuan dalam hal itu.” (1 Mak 4:46). Selanjutnya, dalam bab berikutnya dikatakan, “Simon menjadi penguasa serta imam besar mereka untuk selamanya, hingga seorang nabi tampil dan boleh dipercaya;” (1 Mak 14:41). Maka meskipun pada saat itu mungkin tidak ada nabi muncul, namun bangsa Israel (generasi Makabe) tidak percaya bahwa segala wahyu Ilahi telah berhenti. Dalam 2 Mak dikatakan bahwa Yudas Makabe juga diberikan nubuatan berupa mimpi oleh Tuhan (2 Mak 15:11-16). Ia bukan seorang nabi, tetapi menerima wahyu Ilahi.

d. Maka jika dikatakan terdapat semacam “jeda” antara nabi yang satu dengan lainnya seperti dikatakan dalam 1 Mak, itu bukan hal baru. Hal itu juga terjadi pada masa PL lainnya, seperti pada jaman Samuel (lih. 1 Sam 3:1). Atau pada kitab Ratapan (lih. Rat 2:9) dan Kitab Mazmur (Mzm 74:9).

Maka kesimpulannya, Tuhan tidak “silent“/ diam selama 400 tahun antara Maleakhi dan Yohanes Pembaptis. Jika memang terjadi semacam jeda dalam kegiatan kenabian, itu seperti halnya terjadi dalam beberapa periode lainnya dalam Perjanjian Lama. Tuhan tidak diam dan berpangku tangan pada masa antara Maleakhi sampai Yohanes Pembaptis itu, sama seperti Tuhan juga tidak diam pada masa “jeda” dalam periode- periode lainnya dalam Perjanjian Lama.

6. Disiplin manual Dead Sea scroll dan Konsili Jamnia menolak Kitab- kitab Deuterokanonika?

Disiplin manual Dead Sea Scroll maupun Konsili Jamnia tidak mempunyai otoritas untuk menentukan kanon- kanon Kitab Suci. Dead Sea Scroll hanyalah merupakan kumpulan naskah- naskah Kitab Suci yang ditemukan di gua- gua tertentu di sekitar Laut Mati. Penemuan ini hanya memperkokoh apa yang sudah diyakini tentang otentisitas Kitab Suci, yaitu bahwa Kitab Suci bukan merupakan rekayasa yang dituliskan di abad- abad kemudian, namun berasal dari naskah- naskah kuno, yang bahkan dapat dikonfirmasi usianya dari 150 BC- 70 AD.

Demikian pula, Konsili Jamnia/ Javneh (100) yang diadakan oleh para rabi Yahudi tidak mempunyai otoritas untuk menentukan kanon Kitab Suci Kristiani. Konsili tersebut menolak keberadaan Injil, yang mereka pandang sebagai tulisan yang tidak diinspirasikan oleh Allah, karena mereka menolak Kristus. Konsili ini akhirnya memutuskan untuk tidak memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika di dalam Kitab agama Yahudi. Walaupun sekarang umat Yahudi umumnya menerima hasil konsili Jamnia (Javneh) namun tidak semua komunitas Yahudi menerima otoritas konsili Jamnia ini. Umat Yahudi di Ethiopia, misalnya, memilih kanon yang sama dengan kanon PL yang ditetapkan oleh Gereja Katolik, yang memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika (cf. Encyclopedia Judaica, vol. 6, p. 1147).

Bapa Gereja pada jemaat Kristen awal tidak meragukan keaslian kitab-kitab ini. Silakan membaca di link ini, silakan klik, untuk mengetahui bahwa para Bapa Gereja tidak pernah meragukan keotentikan kitab- kitab Deuterokanonika, dan bahkan mengutip ayat- ayat dalam Kitab tersebut dalam pengajaran mereka. [Lihat ajaran para rasul dalam Didache, ajaran Klemens, Polycarpus, Irenaeus, Hippolytus, Cyprian, Agustinus dan Jerome].

Dengan demikian, Gereja tidak perlu menerima otoritas konsili Jamnia, sebab:

a) Konsili agama Yahudi yang dilakukan setelah Kristus bangkit, tidak mengikat umat Kristiani, sebab kuasa mengajar telah diberikan kepada para rasul dan para penerusnya, dan bukan kepada pemimpin agama Yahudi. Ingatlah bahwa kuasa “mengikat dan melepaskan” diberikan oleh Yesus kepada para rasul, dan secara khusus kepada Petrus (lih. Mat 16:19; 18:18), sehingga mereka dan para penerus mereka-lah yang dapat menentukan ajaran- ajaran iman dan moral yang  manakah yang mengikat umat Kristiani. Jadi, merekalah yang berhak menentukan kanon Kitab Suci.

b) Konsili Jamnia menolak semua dokumen yang malah menjadi dasar sumber iman Kristiani, yaitu Injil dan kitab- kitab Perjanjian Baru. Berpegang pada Konsili Jamnia, berarti menolak juga keberadaan Injil dan PB, dan itu sungguh absurd bagi seorang Kristen!

c) Dengan menolak kitab- kitab Deuterokanonika ini, konsili Jamnia menolak kitab- kitab yang dipegang oleh Yesus dan para rasul, yang telah termasuk di dalam Kitab Suci mereka yaitu Septuaginta. Padahal fakta menunjukkan bahwa lebih dari 90% kutipan PL dalam kitab Perjanjian Baru sendiri diambil dari Septuagint dan bukan dari kitab suci PL yang berbahasa Ibrani.

d) Konsili Jamnia menolak kitab- kitab Deuterokanonika, karena ada ayat- ayat di antaranya yang sangat jelas menggambarkan nubuatan tentang Kristus, yaitu Keb 2: 12- 20.

e) Jika Kristus dan para Rasul memegang Kitab Suci Septuagint yang ada kitab-kitab Deuterokanonika-nya, dan para Bapa Gereja- yang memegang pengajaran para Rasul tidak meragukan otentisitas kitab- kitab Deuterokanonika, maka kita sebagai Gereja, juga tidak perlu meragukan keaslian kitab- kitab Deuterokanonika ini.

Jadi pernyataan F.F. Bruce, “Those which they refused to admit had never been included. They did not expel from the canon any book which had previously been admitted. ‘The Council of Jamnia was the confirming of public opinion, not the forming of it.” (F. F. Bruce, The Books and Parchments [Old Tappan, NJ.: Fleming H. Revell, 1963], p. 98]) tidaklah benar. Kitab- kitab Deuterokanonika sudah dari dulu ada/ termasuk dalam Kitab Suci, seperti terlihat dalam Septuagint. Pernyataan bahwa konsili Jamnia merupakan opini publik juga tidak benar, sebab bahkan hasil Konsili Jamnia itu tidak diterima oleh semua kaum Yahudi sendiri.

Tentang mengapa sampai kitab-kitab Deuterokanonika tidak ada dalam Kitab Suci Protestan, sudah pernah ditulis di sini, silakan klik.

Demikian yang dapat saya jawab tentang pertanyaan anda. Selanjutnya jika anda mempunyai pertanyaan lain, silakan anda terlebih menggunakan fasilitas pencarian di situs ini, lihat pojok kanan atas main page, lalu ketik kata kuncinya, dan semoga anda menemukan artikel yang membahas pertanyaan anda. Jika belum ada, silakan anda menuliskannya dan kami akan berusaha menjawabnya.

Kasih Bapa

4

Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun daripadanya (Mazmur 139 : 16)

Sudah menginjak bulan Mei, sekarang usia kehamilanku sudah enam bulan lebih….three more months to go. Selama enam bulan terakhir, bayi kecilku hidup di dalam tubuhku. Dia tumbuh mulai dari setitik embrio, sampai sekarang dia suka menendangiku waktu malam. Seolah menungguku untuk membelai dan membujuknya, “Ayo Raffy, sudah malam, kita tidur yuk…”

Seperti calon-calon ibu yang lain, perasaan berbunga-bunga, exciting, campur cemas meliputiku. Bagaimana rupanya nanti, apakah aku sudah cukup makan supaya dia mendapat gizi yang cukup, apakah aku sudah cukup istirahat, agar dia tidak kenapa-kenapa. Apakah aku cukup mendengar musik, agar dia menjadi pintar…apakah aku cukup mengajaknya berbicara, agar dia merasa dicintai. Untaian doa pun menjadi sumber penghiburan dan permohonan kekuatan agar anakku bisa lahir dengan sehat dan selamat.

Seiring dengan bertambahnya waktu, barang-barang kebutuhan bayi pun sekarang menjadi prioritasku pada saat ke mall atau ke tempat-tempat belanja yang lain. Sudah tidak ada lagi kepikiran beli baju baru untuk diri sendiri, tidak ada lagi hasrat melihat-lihat sepatu baru, tas-tas bermerk yang biasanya selalu memikat mataku pun, sudah tidak ada lagi daya tariknya.

Saat ini, yang menggoda hatiku justru baju-baju untuk anakku, ranjang yang nyaman untuk dia tidur, selimut yang bergambar lucu-lucu dan lembut, botol susu dengan bahan dan teknologi terbaik supaya dia tidak tersedak, mainan-mainan yang bisa menyenangkan hatinya…..pokoknya semua yang terbaik untuk dia. Rasanya tidak tahan kalo melewati toko perlengkapan bayi, tanpa menengok sebentar ke dalamnya…:)

Memikirkan dan mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan anakku, membuat aku juga merenung…..beginikah perasaan Bapa di Surga pada saat dia mempersiapkan jalan hidupku? Aku dengan penuh semangat dan kerinduan ingin segera melihat dan memeluk anakku. Aku yang ingin memberikan apa yang terbaik untuk anakku, tanpa perduli berapa biayanya dan berapa keras aku harus bekerja. Seperti ini jugakah perasaan Bapa terhadap anak-anakNya?

Kalau aku saja, yang serba terbatas kemampuannya, dengan pertimbangan-pertimbangan yang jauh dari sempurna, dapat mengasihi anakku yang belum lahir, dan berusaha memberikan apa yang terbaik baginya…..tidakkah terlebih lagi Bapaku yang ada di Surga? Kerinduan seorang calon ibu pada anaknya yang belum lahir…..tidakkah itu hanya secuil dari kerinduan Bapa di Surga pada anak-anakNya?

Sejak sebelum aku belum dikandung, pasti Dia juga mempersiapkan apa yang terbaik untuk hidupku. Dia memilih orang-orang terbaik untuk menjadi orang tuaku. Dia mempersiapkan rumah di mana aku akan tinggal. Dia sudah merenda jalan hidupku, mengetahui segala sesuatu yang akan kuhadapi, dan merancang segala sesuatu yang baik….sampai suatu saat aku dapat kembali dalam pelukanNya yang abadi.

Dengan demikian, masih perlukah aku mempertanyakan,”Bapa, apakah Kau mengasihiku? Apakah Kau menjagaku? Apakah Kau berada di sampingku saat aku menderita?”

Sebab Engkaulah yang membentuk buah pingganggku, menenun aku dalam kandungan ibuku (Mazmur 139 : 13)

Saat aku memandang perutku yang semakin besar, seolah-olah aku merasa Dia memelukku dan berkata…..”Lebih dari engkau mengasihi anakmu, Aku mengasihimu anakKu…..jangan takut, Bapa ada di sini bersamamu….”

Irma Gerungan, 03 Mei 2010

Melantur ketika berdoa?

14

Pertanyaan:

Dear bu Ingrid;

Dalam berdoa saya juga sangat banyak mengalami distraction / pikiran melantur kemana-mana… Juga selama saya Adorasi di depan Sakramen Mahakudus.

Dari pengalaman saya berdoa, berdoa saya anggap seperti Tuan yg membawa anjing kecil kesayanganNya ke dalam kamar tertutup. Anjing itu bermain dan berlari keliling kamar, tetapi anjing itu tidak bisa keluar kamar. Anjing itu pikiran saya. Pikiran saya berlari kesana-kemari, tetapi hati saya tahu saya sedang berdua dengan Tuhan di tempat tertutup yg sangat privat dan intim. Daripada saya sibuk mengikat anjing agar tidak bermain dan berlari, saya lebih konsentrasi pada kesadaran hati bahwa saya sedang bersama Tuhan dalam ruangan yang sudah tertutup itu.

Juga saat berdoa Rosari, waktu melewati bulir2 10 Salam Maria, walaupun saya berusaha fokus pada peristiwa yg sedang direnungkan (biasanya hanya tahan sebentar), setelah itu pikiran melantur kemana-mana…. Saya biarkan saja pikiran berlari sana-sini, tapi saya menjaga kesadaran hati bahwa selama jari-jari saya masih menggulirkan biji-biji Rosari, saya masih bersama Tuhan yang menggandeng saya lewat Bunda Maria.

Atau seperti sepasang kekasih yg pacaran sambil menyetir mobil. Ketika jalanan ramai, macet, pikiran saya ada pada kondisi jalan, haluan kemudi, pada kendaraan yang baru menyalib dan mememotong jalan saya, dll…. Daripada saya sibuk mencari jalan sepi agar saya tidak repot, saya biarkan pikiran bekerja semestinya tapi hati menyadari bahwa Sang Kekasih menemani saya duduk di kursi samping saya.

Hal spt ini cukup membuat saya happy dan tidak risau karena ngelantur.
Sambil tetap menjaga ngelanturnya ngga sampe keterlaluan.

Bagaimana menurut Anda sikap doa seperti ini…? Terima kasih.

Fxe

Jawaban:

Shalom Fxe,

Distraction/ pelanturan dalam doa memang merupakan sesuatu yang sering terjadi, dan oleh karena itu kita harus berjuang sedapat mungkin untuk memusatkan hati dan pikiran kita kepada Tuhan. Perumpamaan yang anda sampaikan tentang doa seperti membawa anjing kesayangan ke dalam suatu renungan yang tertutup, itu merupakan perumpamaan yang menarik (saya baru pernah mendengarnya). Namun ada satu hal yang menurut saya agak kurang tepat. Sebab kalau kita mengandaikan doa sedemikian, ada resikonya; seolah kita cenderung menerima saja bahwa wajar kalau kita melantur dalam berdoa, sehingga kurang ada usaha untuk meningkatkan kualitas doa/ relasi kita dengan Tuhan. Maka mungkin lebih baik, jika kita belajar dari dari para orang kudus, terutama St. Teresa dari Avila:

1. St. Teresa menggambarkan doa bagi seorang pemula sebagai seorang yang mau mengairi kebun.

Orang yang berdoa seumpama seorang yang mau mengairi kebunnya; di mana ia harus menimba air, memasukkannya ke dalam ember, kemudian memikulnya, membawanya ke kebun, dan baru di sana mengairi tanamannya, demikian seterusnya. Pada tahap awal ini, diperlukan usaha keras dari yang berdoa untuk memusatkan hati dan pikiran, seperti halnya orang yang berkebun tersebut. Ia harus mengeluarkan tenaga dan keringat untuk menimba air, memikul dan mengairi kebunnya.

Tahap berikutnya adalah jika ada sumber air yang lebih dekat di kebun tersebut, sehingga orang itu tidak perlu menimba di sumur. Tahap berikutnya adalah jika ada pipa irigasi yang melintasi kebun sehingga untuk mengairi kebun menjadi lebih mudah. Demikian seterusnya, sampai pada akhirnya tahap puncaknya adalah jika ia tidak lagi perlu berusaha menimba air atau mengairi air, karena Allah sendiri yang akan menurunkan hujan dengan lebatnya untuk mengairi kebun itu.

Dengan perumpamaan ini, kita diajarkan bahwa memang pada saat kita berdoa, terdapat kemungkinan kita harus bekerja keras untuk memusatkan hati dan pikiran kita pada awalnya. Namun jika kita terus berusaha melakukannya, dan dengan rahmat Tuhan, maka akan ada saatnya bahwa usaha mengalahkan ‘distractions‘ tersebut menjadi lebih mudah, dan kita akan dapat semakin menikmati saat- saat doa sebagai saat menerima curahan rahmat Allah.

2. St. Teresa dari Avila juga menggambarkan keadaan kita berdoa seperti halnya proses melangkah dalam puri batin kita.

Perjalanan doa seumpama perjalanan di dalam puri batin kita, yang terbagi menjadi banyak lapisan ruangan yang terbuat dari kristal tembus pandang. Tuhan Yesus berada di tengah- tengah puri tersebut dan pada saat kita mulai berdoa, kita yang masih berada di luar berjuang untuk masuk lebih dalam untuk bersatu dengan-Nya. Di lapisan terluar ini kita berjuang melawan pelanturan- pelanturan, yang diumpamakan oleh St. Teresa sebagai adanya binatang melata yang berseliweran untuk mengacaukan langkah kita menuju ke pusat puri tersebut di mana Kristus bertahta. Silakan membaca buku “Interior Castle” (Puri Batin) karangan St. Teresa dari Avila ini, jika anda tertarik untuk mempelajarinya.

3. Dengan demikian, selalu saja ada yang dapat kita lakukan untuk dapat lebih meningkatkan kualitas komunikasi kita dengan Tuhan.

Berikut ini adalah beberapa langkah yang dapat anda coba:

a. Sediakan tempat khusus dalam rumah/ kamar anda untuk berdoa. Letakkan di sana semacam meja kecil, Kitab Suci, crucifix, ataupun gambar Tuhan Yesus dan Bunda Maria, dan tempat berlutut. Jadikan tempat ini sebagai tempat anda berdoa.

b. Sebelum anda berdoa, pada saat anda mulai menutup mata, jangan terlalu tergesa- gesa membuat tanda salib. Heninglah dahulu di hadapan Tuhan, pada saat anda menutup mata, bayangkanlah anda berada di hadapan Tuhan sendiri. Ia ada di pusat puri batin anda dengan sinar-Nya yang kudus. Baru setelah anda menghayatinya, buatlah tanda salib dan mulailah berdoa.

c. Katakan doa anda (jika doa itu doa vokal) dengan perlahan, dan hayati setiap perkataan yang anda ucapkan. Bayangkanlah bahwa pada saat anda mengucapkannya, Tuhan memandang anda dengan penuh kasih; dan usahakanlah agar andapun dapat mengungkapkan doa anda dengan penuh kasih kepada Tuhan.

Jika anda lebih terbantu dengan menyanyi/ bersenandung, anda dapat melakukannya juga. Atau anda dapat pula mengucapkan doa Ibadah harian (The Liturgy of the Hours/ Divine Office) atau anda dapat juga membaca Kitab Suci dan merenungkannya, seperti yang pernah dituliskan dalam artikel Lectio Divina, di sini, silakan klik. Atau jika anda ingin memuja Tuhan dengan senandung bahasa Roh, dapat pula dilakukan, diakhiri dengan keheningan batin, anda memandang Allah.

d. Jika anda mendoakan doa Rosario, renungkanlah setiap peristiwa Rosario tersebut sebelum mendoakan Bapa Kami, dan kemudian pada setiap butir Salam Maria; seperti yang diajarkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Jadi misalnya, pada saat merenungkan Peristiwa- peristiwa Sedih:

Setiap peristiwa diucapkan, kita berhenti sejenak, merenungkannya, seolah kita hadir menyaksikan peristiwa itu. Baru kemudian kita lanjutkan dengan Doa Bapa Kami dan Salam Maria. Pada tiap butir Salam Maria, tambahkanlah renungan berikut ini [dalam tanda kurung] setiap kali anda mengucapkan kata “Yesus”:

– Peristiwa Sedih I: Yesus berdoa di Taman Getsemani.

Salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu.
Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu Yesus, [yang telah meneteskan keringat darah bagi kami]

Santa Maria….. dst

– Peristiwa Sedih II: Yesus didera.

Salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu.
Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu Yesus, [yang tubuh-Nya hancur karena didera bagi kami]

Santa Maria….. dst

– Peristiwa Sedih III: Yesus dimahkotai duri.

Salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu.
Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu Yesus, [yang telah dihina dan dimahkotai duri bagi kami]

Santa Maria….. dst

– Peristiwa Sedih IV: Yesus memikul salib-Nya ke bukit Golgota.

Salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu.
Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu Yesus, [yang telah memikul kayu salib yang berat bagi kami]

Santa Maria….. dst

– Peristiwa Sedih V: Yesus disalibkan dan wafat di kayu salib.

Salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu.
Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu Yesus, [yang telah disalibkan dan wafat bagi kami]

Santa Maria….. dst

e. Entah apa cara doa yang dipilih, jangan lupa untuk hening di hadapan Tuhan; karena Allah dapat memberikan inspirasi kepada kita di dalam keheningan ini. Tuhan dapat menegur kita jika kita telah berbuat salah, atau dapat pula mendorong kita untuk melakukan sesuatu perbuatan baik; atau dalam keheningan ini Tuhan dapat menghibur dan memberikan kekuatan kepada kita.

f. Setelah selesai berdoa, sepanjang hari sampai di akhir hari, usahakanlah untuk selalu mengingat Tuhan dan menyadari kehadiran-Nya. Doa- doa kecil yang sederhana, dapat membantu, seperti, “Tuhan Yesus, kasihanilah aku”, atau “Tuhan Yesus, aku memuji kebaikan-Mu”, atau “Tuhan Yesus, terima kasih”. Dengan demikian kita melatih pikiran kita untuk berpusat kepada Tuhan.

Demikian, Fxe, yang dapat saya tuliskan tentang pertanyaan anda. Sesungguhnya apa yang saya tuliskan ini tidak hanya berlaku buat anda, namun juga buat semua pembaca yang lain, dan juga saya sendiri. Semoga Tuhan membantu kita semua untuk terus bertumbuh dalam membina komunikasi kita dengan Tuhan. Perlu kita ingat bersama bahwa keinginan kita untuk berdoa itu sendiri adalah karunia Tuhan (the desire to pray is in itself a gift). Semoga Tuhan memampukan kita untuk dapat bekerjasama dengan rahmat -Nya ini.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Untuk apa Allah menguji Abraham?

4

Pertanyaan:

Dear Ingrid,
terima kasih melalui situs ini saya semakin mengerti iman katolik dan sangat bermanfaat. Sehubungan dgn topik ini, bagaimana halnya dgn Tuhan yg menguji Abraham untuk mempersembahkan Ishak anaknya, bukankah Tuhan sudah tahu apa yg akan terjadi. Lalu apa gunanya?.
Terima kasih, GB

Jawaban:

Shalom Veronica,

Memang Allah yang Maha Tahu sejak awal mula telah mengetahui bahwa Bapa Abraham akan dapat membuktikan ketaatan imannya, dengan mempersembahkan anaknya Ishak kepada Allah. Maka Allah menguji Abraham bukan demi kepentingan Allah, tetapi terlebih demi kepentingan kita; yaitu untuk memberikan pengajaran kepada kita umatnya. Kisah Perjanjian Lama ini merupakan pre-figurasi/ penggambaran akan pemenuhannya di dalam Perjanjian Baru.

1. Kesediaan Abraham untuk mempersembahkan Ishak merupakan gambaran akan kerelaan Allah Bapa untuk mengorbankan Yesus Putera Tunggal-Nya.

Abraham yang bersedia mengorbankan Ishak putera tunggal-nya dari Sara istrinya itu, merupakan gambaran (prefigurasi) dari Allah Bapa sendiri yang rela mengorbankan Putera Tunggal-Nya yaitu Yesus Kristus, sebagai korban penghapus dosa umat manusia. Menarik untuk direnungkan adalah bahwa Allah menyuruh Abraham untuk mempersembahkan Ishak di tanah Moria (Kej 22:2); dan penggenapan makna prefigurasi ini adalah pada Kristus Allah Putera, yang dikorbankan di kayu salib, di bukit Golgota, yang merupakan puncak tanah Moria.

2. Ketaatan iman Abraham juga merupakan gambaran akan ketaatan Bunda Maria.

Ketaatan iman Abraham yang mempersembahkan puteranya Ishak dalam PL, merupakan tanda awal dimulainya perjanjian antara Allah dengan Abraham, yang dijanjikan Allah akan menjadi bapa umat beriman dan bapa banyak bangsa (Rom 4:17, Kej 15:5; 17:5). Ketaatan iman Abraham ini juga merupakan gambaran dari ketaatan Bunda Maria dalam PB, yang juga dengan setia berdiri di bawah kaki salib, untuk mempersembahkan Putera tunggalnya, Yesus Kristus, kepada Allah Bapa. Oleh ketaatan Bunda Maria ini, tergenapilah rencana keselamatan Allah untuk menyelamatkan manusia.

3. Ketaatan iman Bapa Abraham itu menjadi teladan bagi kita umat beriman, yang adalah keturunan Abraham.

Kitapun dipanggil untuk melakukan hal yang sama dengan dia, yaitu dengan mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan, oleh karena ketaatan iman kita kepada-Nya. Ketaatan iman Bapa Abraham tersebut juga mengajarkan kepada kita untuk selalu berharap walaupun sepertinya tidak ada dasar untuk berharap (Rom 4:18). Dalam hal ini, Abraham secara implisit telah juga percaya bahwa Allah dapat membangkitkan anaknya Ishak dari maut, sebab ia percaya bahwa meskipun Allah meminta Ishak untuk dikorbankan (Kej 22:2), namun Allah juga berjanji bahwa ia akan memperoleh banyak keturunan melalui Ishak anaknya itu, sesuai dengan janji Allah yang telah dinyatakan sebelumnya (Kej 17:5; 17:21).

Jadi bahwa kisah Abraham tersebut dituliskan oleh ilham Allah, itu terutama adalah demi kita manusia, sebab tulisan itu dapat bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik kita dalam kebenaran (lih. 2 Tim 3:16).

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab