Home Blog Page 242

Kelinci memamah biak dan haram?

5

Pertanyaan:

Setahu saya dalam dunia biologi, kelinci tidak termasuk hewan pemamah biak. Tapi mengapa Imamat 11:6 mengatakan seperti itu? Pertanyaan ini muncul dr teman saya non Katolik dan dia meminta saya menjawabnya.
Mohon bantuan jawabannya segera.
Terima kasih

[Dari Katolisitas: pertanyaan ini digabungkan karena satu topik]

Saya ingin mengetahui makna dari Imamat 11, terutama ayat 6 dan 7. Jika diharamkan, mengapa masih ada org yg memakannya?

Jawaban:

Shalom Thia,

Apakah kelinci termasuk hewan memamah biak atau tidak, itu tergantung dari definisi yang anda pakai untuk menjelaskan arti kata “memamah biak”. Sebab jika anda memakai definisi bahwa hewan memamah biak itu mempunyai empat bilik dalam perutnya, maka memang kelinci tidak termasuk katagori ini; tetapi jika definisi yang diambil adalah hewan yang “mengunyah kembali apa yang sudah ditelannya” atau “to chew again that which has been swallowed” (Webster’s Dictionary), maka kelinci termasuk di dalamnya. Dari riset baru- baru ini terlihat bahwa kelinci mempunyai dua tipe kotoran, yaitu kotoran yang normal, dan kotoran yang disebut ‘caecotroph‘, yang kemudian dikunyah kembali oleh kelinci tersebut, seperti dikatakan demikian:

“In addition to normal waste, they pass a second type of pellet known as a caecotroph. The very instant the caecotroph is passed, it is grabbed and chewed again…. As soon as the caecotroph is chewed thoroughly and swallowed, it aggregates in the cardiac region of the stomach where it undergoes a second digestion (Morton, Jean Loat, 1978, Science in the Bible, (Chicago, IL: Moody) pp. 179-181).

Kelinci memang termasuk hewan yang terlihat selalu mengunyah, seperti halnya pada hewan pemamah biak lainnya. Arti kata asli “gerah” yang dipergunakan di sini menurut umat Yahudi mengacu kepada kata mengunyah/ menggerakkan rahang. Dalam hal ini Kitab Suci memakai bahasa fenomenologi, yang berdasarkan ciri- ciri yang terlihat dari luar, dan memang tidak harus persis dengan ciri- ciri klasifikasi yang ditetapkan oleh para ahli biologi. Ini seperti halnya bagaimana Kitab Suci menyebutkan kelelawar dalam urutan burung- burung dalam Imamat 11; yang bukan karena keduanya adalah binatang mamalia, tetapi karena keduanya dapat terbang. Atau sewaktu Yesus mengatakan bahwa biji sesawi merupakan biji yang terkecil, maka Yesus berbicara dalam konteks kehidupan orang- orang di tanah Palestina saat itu, dan bukan sebagai seorang ahli botanika.

Silakan anda klik di link ini untuk mengetahui penjelasan selengkapnya tentang hal ini. Dengan melihat penjelasan ini maka tidak dapat dikatakan bahwa Kitab Suci itu keliru pada saat mengatakan bahwa kelinci termasuk hewan memamah biak, karena pijakan definisi yang digunakan untuk kata ‘memamah biak’ tidak sama dengan definisi teknis yang dibuat oleh manusia pakar ilmu biologi.

2. Imamat 11:6-7: memang mengharamkan daging kelinci dan babi. Prinsip penjelasan tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Silakan anda membaca terlebih dahulu di link tersebut, dan jika masih ada yang belum jelas, silakan bertanya kembali.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Roti Hidup dan Perjamuan Kudus

4

Pertanyaan:

Pak Stef & Bu Inggrid,

saya pernah membaca di katolisitas tentang perikop roti hidup di Yohanes yang digunakan sebagai dasar dari ekaristi (benar tidak ya?)

kemudian saya juga membaca perikop roti hidup di injil Yohanes dari buku Tafsir Alkitab Perjanjian Baru terbitan LBI. dimana perikop itu dibagi menjadi 3 bagian. bagian ke 3 adalah tentang ekaristi (Yoh 6:48-59) dimana berubahnya kata kerja operatif dari percaya menjadi makan dan minum.

saya juga menyadari bahwa perikop roti hidup ini hanya ada di injil Yohanes. sedangkan di injil yang lain tidak ada (kurang) penjelasan mengenai perkataan Yesus diperjamuan terakhir tentang roti dan anggur, tubuh dan darah.

Di Lukas :
Lukas 22:19 Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.”
Lukas 22:20 Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu.

Begitu juga dengan :
Markus 14:22 Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Ambillah, inilah tubuh-Ku.”
Markus 14:23 Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu.
Markus 14:24 Dan Ia berkata kepada mereka: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang.

Maupun :
Matius 26:26 Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.”
Matius 26:27 Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini.
Matius 26:28 Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.

apakah perikop roti hidup di Yohanes adalah untuk menjelaskan maksud perjamuan terakhir Yesus di ketiga injil yang lainnya?

sedangkan dari si B (pandangan dari Protestan) mengatakan [dari Katolisitas: diedit]

….. bahwa Yoh 6:48-59 tidak berhubungan dengan Perjamuan Kudus.

————————————————————————————————————————————–
Alasannya:

• Tak mungkin Yesus membicarakan Perjamuan Kudus yang pada saat itu belum ada.

• Kalau ini menunjuk pada Perjamuan Kudus, maka:

* ay 50,51,54,57b,58b menunjukkan bahwa orang harus ikut Perjamuan Kudus untuk mendapatkan hidup yang kekal.

* ay 53 menunjukkan bahwa orang yang tidak ikut Perjamuan Kudus tidak akan mendapatkan hidup yang kekal.

Dengan kata lain, kalau ini menunjuk pada Perjamuan Kudus, maka Perjamuan Kudus adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan hidup yang kekal. Ini menjadi ajaran sesat Salvation by works!

• Yesus menggunakan istilah ‘daging’ (Inggris: flesh; Yunani: SARX) bukan ‘tubuh’ (Inggris: body; Yunani: SOMA). Padahal dalam membicarakan Perja­muan Kudus, selalu digunakan kata ‘tubuh’ (body / SOMA). Bdk. Mat 26:26 Mark 14:22 Luk 22:19 1Kor 11:24,27.

• Kata-kata ‘makan’ dan ‘minum’ dalam ay 50,51,53 dalam bahasa Yunaninya menggunakan aorist tense yang menunjuk pada satu tindakan tertentu di masa lampau. Kalau menunjuk pada Perjamuan Kudus, yang merupakan tindakan makan dan minum secara berulang-ulang, maka seharusnya digunakan bentuk present tense.

Catatan:

Tetapi ay 54,56,57 menggunakan bentuk present participle, sehingga terjemahannya adalah: ‘the one (who is) eating / drinking My flesh / blood’.
————————————————————————————————————————————–

Sekarang pendapat saya adalah mungkin saja dan bisa saja, memang Yesus membicarakan Perjamuan Kudus/Terakhir/Ekaristi meskipun saat itu belum ada. Karena setelah perjamuan itu, Yesus mengalami masa sengsara sehingga tidak bisa mengajar tentang Perjamuan Kudus/Terakhir/Ekaristi jika tidak mengajarkan pada waktu itu (waktu itu ya waktu di Yoh 6:48-59). Juga karena Yesus adalah Tuhan, meskipun saat itu belum ada Perjamuan Kudus/Terakhir/Ekaristi tetapi Yesus sudah merencanakan-Nya sehingga perikop roti hidup itu membicarakan tentang Perjamuan Kudus/Terakhir/Ekaristi.

Sekarang pertanyaan saya adalah :
1. Haruskah mengikuti perjamuan Ekaristi agar bisa hidup kekal?
2. Bagaimana dengan penjahat yang di Lukas 23:43 (Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”)
Apakah ini berarti penjahat itu cukup dengan iman saja tanpa ekaristi dan perbuatan baik (memperjuangkan keselamatan) untuk mendapatkan keselamatan?

Si B membuat kesimpulan :
Kesimpulannya, keselamatan hanya dari iman. Baptisan, perjamuan kudus, pertobatan, perbuatan baik, dll itu ga perlu disuruh, karena semua akan timbul dari iman yang benar. Semuanya itu adalah manifestasi dari iman yang benar. Segala hal itu tidak akan manifestasi dari iman yang salah.

Kemudian untuk istilah ‘daging’ dan ‘tubuh’ serta ‘makan’ dan ‘minum’ menurut Pak Stef & Bu Inggrid, bagaimana pengajaran Gereja Katolik?

Seperti biasa, jika berguna untuk ditampilkan, silakan saja.

Alexander

Jawaban:

Shalom Alexander,

Kita ketahui bahwa di antara ke-empat Injil, kitab Injil Yohanes merupakan kitab yang terakhir ditulis, yaitu sekitar tahun 90- 100 an, sedangkan ketiga kitab lainnya dituliskan sekitar tahun 50-60 an. Maka memang ada beberapa kisah/ perikop yang sudah dijabarkan pada ketiga Injil, tidak lagi diulangi secara persis oleh Rasul Yohanes dalam Injilnya, namun Yohanes menyampaikannya dari sisi yang berbeda, atau melengkapinya. Salah satu kisah yang dilengkapi oleh Rasul Yohanes adalah pengajaran tentang Roti Hidup (Yoh 6), dan kisah Perjamuan Terakhir yang dilengkapi oleh Yohanes dengan peristiwa pembasuhan kaki para murid oleh Yesus (lih. Yoh 13)

Gereja Katolik selalu menginterpretasikan suatu ayat Kitab Suci, dengan memperhatikan arti literal dan spiritual, tanpa dilepaskan dari konteks keseluruhan pesan dalam Kitab Suci. Dengan prinsip inilah, maka kita mengetahui bahwa istilah Roti Hidup yang diajarkan oleh Yesus berkaitan dengan Perjamuan Kudus, di mana dalam kedua ajaran tersebut Ia menyatakan diri-Nya sebagai “roti” untuk dimakan.

1. Tak mungkin dibicarakan jika belum terjadi/ ada?

Alasan yang mengatakan bahwa “tak mungkin Yesus membicarakan Perjamuan Kudus yang pada saat itu belum ada,” itu mengingkari arti literal yang jelas- jelas tertulis di sana. Sebab di ke-empat Injil jelas dijabarkan bahwa Perjamuan Kudus itu benar- benar diadakan oleh Yesus dan murid- murid-Nya, pada malam sebelum sengsara-Nya. Kalau dikatakan bahwa Yesus tidak mungkin membicarakan tentang Perjamuan Kudus sebelum Ia mengadakannya, [karena khotbah tentang Roti hidup terjadi sebelum Perjamuan Kudus], maka itu juga tidak berdasar. Karena justru kalau seorang pemimpin ingin mengadakan sesuatu event yang penting, maka sangat umum, jika ia mempersiapkan para muridnya untuk memahaminya terlebih dahulu. Kita melihat di sini, peristiwa Perjamuan Kudus merupakan salah satu ajaran inti dari Kristus, karena merupakan satu kesatuan dengan pengorbanan-Nya di kayu salib. Ia hadir dalam rupa roti, untuk dimakan oleh kita para murid-Nya, agar kita mengenang kasih-Nya yang terbesar yang rela wafat di salib untuk menebus dosa- dosa kita (lih. Mat 26:26-28; Luk 22:19-20; Mrk 14: 22-24). Oleh sebab itu, ke-empat Injil menuliskan tentang Perjamuan Kudus ini, yang didahului oleh kisah mukjizat perbanyakan roti, yang juga dicatat oleh ke-empat Injil.

Argumen yang mengatakan kalau belum terjadi tidak mungkin dibicarakan, itu bertentangan dengan fakta yang terjadi yang tercatat dalam Kitab Suci. Misalnya, sebelum wafat dan kebangkitan Kristus terjadi, Kristus sudah membicarakannya dengan para murid; misalnya dalam perikop Tanda Yunus (lih. Mat 12: 38-42; Luk 11: 29-32), atau pemberitaan tentang sengsara-Nya (lih. Mat 16: 21-18; 17: 22-23; 18:31-34). Bahkan peristiwa- peristiwa tersebut juga sudah dinubuatkan oleh para nabi, seperti telah dibahas di sini, silakan klik. Justru karena merupakan inti dari rencana keselamatan Allah, maka peristiwa- peristiwa itu diajarkan, sebelum hal-hal tersebut terjadi, agar kita semua dapat memahami maknanya dan menghayatinya.

2. Jika Roti Hidup mengacu pada Perjamuan Kudus maka “Salvation by works”?

Argumen teman anda demikian:

Kalau ini [Roti Hidup Yoh: 6] menunjuk pada Perjamuan Kudus, maka:

– ay 50,51,54,57b,58b menunjukkan bahwa orang harus ikut Perjamuan Kudus untuk mendapatkan hidup yang kekal.

– ay 53 menunjukkan bahwa orang yang tidak ikut Perjamuan Kudus tidak akan mendapatkan hidup yang kekal.

…. maka Perjamuan Kudus adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan hidup yang kekal. Ini menjadi ajaran sesat Salvation by works!

Argumen ini keliru, karena tidak melihat kaitan ayat ini dengan ayat- ayat lainnya dalam Kitab Suci, bahkan dalam perikop Roti hidup itu sendiri. Sebab, orang yang mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus itu juga harus mengimani Kristus. Percaya kepada Kristus yang diutus Allah ini merupakan ‘pekerjaan yang dikehendaki Allah’ (Yoh 6: 29); dan oleh kepercayaannya kepada Kristus inilah maka orang itu diselamatkan (Yoh 6: 40, 47). Sekarang, mari kita lihat ayat 47 dan ayat 50, yang menyebutkan kedua hal yang paralel, yaitu:

ay. 47 menyebutkan bahwa barangsiapa percaya [mempunyai iman akan Kristus] ia mempunyai hidup yang kekal.

ay. 50, 51, 54 menyebutkan bahwa barangsiapa makan roti ini [Roti Hidup] ia mempunyai hidup yang kekal.

Maka kita ketahui bahwa Kristus menghendaki bahwa hal percaya tersebut berhubungan atau bahkan identik dengan makan Roti Hidup tersebut, agar seseorang memperoleh hidup yang kekal. Kedua hal tersebut, yaitu mengimani/ percaya kepada Kristus berkaitan erat juga dengan: 1) mengimani apa yang diajarkan-Nya tentang kehadiran-Nya dalam rupa roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus, dan 2) menyantapnya, sesuai dengan pesan Kristus, sebagai bukti bahwa kita mengimani ajaran Kristus ini.

Jadi tepatlah yang diajarkan oleh Rasul Paulus, bahwa untuk mengambil bagian/ menyantap Perjamuan Kudus, seseorang harus mengimaninya, sebab jika tidak, malah mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri (lih 1 Kor 11: 27-30). Dari sini kita ketahui bahwa “perbuatan” menyantap Perjamuan Kudus, tidak terpisah dari iman. Maka ini bukan “salvation by works” seperti yang dituduhkan, sebab memang kalau seseorang hanya makan roti itu tanpa mengimaninya, maka bukan keselamatan yang didapatkannya.

Gereja Katolik mengajarkan pentingnya mengambil bagian dalam Perjamuan Ekaristi, karena tidak memisahkan iman dengan perbuatan, sebab itulah yang diajarkan oleh Kristus baik dalam perikop Roti Hidup, maupun juga ajaran para rasul, seperti yang jelas diajarkan oleh Rasul Yakobus (lih Yak 2:24,26). Perbuatan saja memang tidak menyelamatkan, seperti dikatakan oleh Rasul Paulus, sebab kita diselamatkan oleh kasih karunia/ rahmat Allah (lih. Rom 11:6; Tit 3:5), oleh iman (Flp 2:8). Namun tentu saja, iman ini harus disertai perbuatan, sebab tanpa perbuatan, iman itu mati (Yak 2:26). Maka menyambut Kristus dalam Perayaan Ekaristi bukan merupakan perbuatan semata, namun perbuatan menerima kasih karunia Allah, atas dasar iman, sebab dengan imanlah kita menyambut Kristus yang hadir dalam rupa roti tersebut; dan dengan imanlah kita melakukan apa yang diperintahkan oleh Kristus agar dapat memperoleh kehidupan yang kekal seperti yang diajarkan oleh Kristus (Yoh 6).

3. Mengenai istilah daging dan (Inggris: flesh; Yunani: SARX) ‘tubuh’ (Inggris: body; Yunani: SOMA)

Hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

Justru dengan digunakannya istilah “sarx”/ flesh dalam perikop Roti Hidup ini, maka semakin menguatkan arti literalnya bahwa memang kehendak Yesus adalah agar kita menyantap/ mengunyah makanan rohani tersebut, yaitu Diri-Nya sendiri, sebab Ia adalah Sang Roti Hidup yang memberi hidup kepada dunia. Jadi “tubuh” ini tidak untuk diartikan simbolis, sebab Yesuspun tidak mengatakan “Inilah lambang tubuh-Ku” tetapi, “Inilah tubuh-Ku.” Kata “sarx“/ flesh ini yang juga dipakai pada Yoh 1:14, yang mengatakan, “The Word became flesh and dwelt among us” [diterjemahkan oleh LAI: Firman itu telah menjadi manusia].

4. Mengenai masalah tenses.

Tata bahasa Ibrani dan Yunani memang tidak sama dengan tata bahasa Inggris, sehingga pemahamannya tidak dapat disamakan dengan pengertian tata bahasa Inggris. Dalam tata bahasa Yunani bentuk lampau (past tense) dapat diartikan sebagai sesuatu yang sudah terjadi maupun sesuatu yang pasti terjadi (with certainty). Maka bentuk lampau yang ada pada ay. 50, 51, 53 tersebut adalah untuk menyatakan sesuatu yang pasti terjadi.

Pemikiran anda benar, yang mengatakan bahwa mungkin dan bisa saja Tuhan Yesus membicarakan tentang Perjamuan Kudus/ Ekaristi (dalam Yoh 6) meskipun hal itu belum terjadi karena Yesus adalah Tuhan, dan Ia sudah merencanakan tentang Perjamuan Kudus, dan Ia harus mengajarkan maknanya terlebih dahulu kepada para murid-Nya.

5. Jawaban pertanyaan anda:

a) Haruskah mengikuti perjamuan Ekaristi agar bisa hidup kekal?
Dari perikop Roti Hidup, kita ketahui bahwa Tuhan Yesus menghendaki agar kita makan roti hidup yang turun dari sorga ini, yaitu Kristus sendiri, untuk memperoleh hidup yang kekal. Ini dikatakan dengan jelas dalam Yoh 6: 51, 53, 54. Maka jika kita mengimani Kristus, selayaknya kita mengimani pula apa yang diajarkan-Nya ini. Memang Tuhan Yesus tidak mengatakan secara literal bahwa seseorang “harus” mengikuti perjamuan Ekaristi agar memperoleh hidup kekal, tetapi kita mengetahui bahwa Ia menghendaki demikian; dan Ia sangat menghendaki agar kita memakan roti hidup ini [yaitu Kristus sendiri]; sebab kita melihat Ia mengulangi firman ini sampai tiga kali. Angka “tiga” sendiri menunjukkan kesempurnaan, sehingga kita mengetahui bahwa firman ini merupakan sesuatu yang sangat penting; dan sangat dikehendaki oleh Kristus.

Kata “harus” sendiri tidak muncul dalam perintah Kristus yang terutama, yaitu “Kasihilah Tuhan Allahmu dan sesamamu manusia” (lih. Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31; Luk 10:27), maka tidaklah mengherankan kalau kata “harus” juga tidak muncul dalam perikop Roti Hidup ini. Tuhan Yesus tidak pernah memaksa seseorang untuk percaya kepada-Nya ataupun kepada apa yang diajarkan-Nya. Yang dilakukan-Nya adalah mengajarkan dan menyatakan kehendak-Nya, dan memang tiap- tiap manusia mempunyai kebebasan untuk menaatinya atau tidak. Tentu jika kita mengaku percaya dan mengasihi-Nya, selayaknya kita menaati dan memenuhi apa yang menjadi kehendak-Nya. Dan inilah yang dilakukan oleh Gereja Katolik dalam hal perayaan Ekaristi.

b) Bagaimana dengan penjahat yang di Lukas 23:43 (Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”)

Dalam pengajaran Gereja Katolik, penjahat tersebut memang diselamatkan, karena dia telah menerima baptisan rindu (baptism of desire). Selanjutnya tentang baptisan rindu ini silakan klik di sini. Penjahat itu telah bertobat dengan sungguh-sungguh dengan mengatakan “40 Tetapi yang seorang menegor dia, katanya: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? 41 Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.” (Lk 23:40-41) Dan dia mempunyai iman, dengan mengatakan “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” (Lk 23:42). Dan iman ini memang menyenangkan hati Allah (lih. Ibr 11:6). Dan sampai mati dia menunjukkan pertobatan dan iman, serta menunjukkan kasih kepada Yesus, karena sang penjahat tersebut mengalami semuanya pada waktu yang singkat. Oleh karena itu, keselamatan yang merupakan suatu proses terlihat merupakan satu kejadian, yang melibatkan iman dan kasih. Namun, tetap saja keselamatan adalah suatu proses, hanya dalam kasus ini, prosesnya begitu cepat.

Keselamatan penjahat tersebut tidak terikat oleh Sakramen Baptis, karena pada waktu itu Sakramen Baptis belum sepenuhnya diinstitusikan oleh Yesus, dalam pengertian bahwa rahmat dari Sakramen Baptis adalah bergantung dari misteri Paskah: penderitaan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Tuhan Yesus. Hal ini sama seperti orang-orang yang meninggal di dalam Perjanjian Lama. Mereka tidak mungkin dituntut untuk mempertanggungjawabkan iman mereka berdasarkan iman kepada Yesus, karena mereka tidak tahu. Namun, kalau mereka diberitahu akan Yesus, mereka akan percaya. Demikian juga dengan penjahat tersebut, kalau seandainya dia diterangkan bahwa baptisan adalah mutlak untuk keselamatan, maka dia akan mau menerimanya. Dan inilah prinsip dari baptisan rindu. Jadi, tetap saja penjahat tersebut menerima baptisan – yaitu baptisan rindu -, namun bukan secara sakramental. Tentang apakah seseorang menerima baptisan rindu, hanya Tuhan saja yang tahu, karena Tuhanlah yang menilik hati setiap orang.

Bahwa si penjahat yang bertobat itu tidak “mengikuti Perjamuan Kudus” namun diselamatkan, itu bukan untuk dijadikan patokan bagi setiap orang, karena kasusnya yang khusus. Lagipula, hal keselamatan memang bukan hanya terbatas oleh Perjamuan Kudus; melainkan oleh iman kepada Kristus, perbuatan kasih yang membuktikannya, dan terutama oleh kasih karunia/ rahmat Tuhan yang diterima, dan ini diterima pertama- tama melalui Baptisan, dan sakramen- sakramen lainnya, khususnya Perjamuan Ekaristi.

Dengan demikian, tidak benar kalau dikatakan hanya oleh iman saja seseorang diselamatkan. Kitab Sucipun tidak pernah menyatakan bahwa hanya iman saja yang menyelamatkan seseorang. Hal ini sudah pernah dibahas panjang lebar dalam dialog di sini, silakan klik, dan juga Paus Benediktus XVI dan Sola Fide, silakan klik.

Maka walaupun “makan” dan “minum” dalam Perjamuan Kudus merupakan suatu tindakan/ perbuatan, namun hal itu tidak terpisah dari kasih karunia/ rahmat Allah yang mengalir di dalam-Nya [karena yang disambut adalah Kristus sendiri], dan tak terpisah dari iman akan Kristus, karena dilakukan atas perintah Kristus, “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” (Luk 22:19). Tentu ini menjadi sangat berbeda konteksnya dengan perbuatan melakukan hukum taurat yang tanpa didasari iman akan Kristus, dan perbuatan inilah yang dimaksud oleh Rasul Paulus, pada saat mengatakan bahwa manusia tidak diselamatkan oleh perbuatan (lih. Rom 3:20).

Demikian jawaban saya untuk pertanyaan anda, semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Post Format: Audio

0

Link:

St. Louis Blues

Audio shortcode:

Menunda

20

Adalah baik untuk menyanyikan syukur kepada Tuhan, dan untuk menyanyikan mazmur bagi nama-Mu, ya yang Mahatinggi, untuk memberitakan kasih setia-Mu di waktu pagi, dan kesetiaan-Mu di waktu malam, dengan bunyi-bunyian sepuluh tali dan dengan gambus. Dengan iringan kecapi. Sebab telah Kaubuat aku bersukacita, ya Tuhan, dengan pekerjaan-Mu, karena perbuatan tangan-Mu aku akan bersorak sorai (Mazmur 92 : 2 – 5)

Terlambat memang tidak enak, karena efek negatifnya bisa sambung menyambung. Pagi tadi saya terlambat mengejar bis nomor 26 yang berangkat setiap pukul delapan lebih dua puluh tujuh menit, walau saya sudah berlari-lari dengan tas bergantung di pundak. Bis nomor 26 adalah bis yang akan membawa saya ke tempat kursus saya sehari-hari. Keterlambatan itu sebenarnya akibat berantai dari keterlambatan saya keluar dari rumah, untuk menaiki trem pukul delapan lebih duapuluh yang akan membawa saya sampai di stasiun bis tepat pukul delapan dua puluh lima. Dalam keadaan tidak terlambat, saya masih punya dua menit untuk berjalan ke platform bis nomor 26, dan saya akan sampai di kelas saya sebelum dimulai pukul sembilan tepat.  Kelas saya memang selalu dimulai sangat tepat waktu. Bila sejak keluar rumah saya sudah terlambat, saya harus naik trem di jadwal lima menit berikutnya dan saya hanya bisa berdoa bis no 26 berangkat sedikit terlambat, yang sayangnya hal itu jarang terjadi. Terlambat masuk ke dalam kelas menimbulkan rasa jengah bagi diri sendiri dan mengusik konsentrasi teman-teman yang sudah berada di dalam kelas. Saya juga akan kehilangan petunjuk-petunjuk penting dari pembicara berkaitan sistem yang akan dipakainya saat mengajar atau tugas yang nanti akan diberikan. Dan rentetan kerugian ini masih bisa saya lanjutkan. Bekal makan siang yang saya siapkan secara terburu-buru tidak sempat saya tutup dengan baik di dalam kotaknya, sehingga ketika saya mengejar bis yang melaju, sebagian isinya tumpah di dalam tas dan mengotori tas kesayangan saya. Semuanya berawal dari terlambat keluar dari rumah.

Tentu saja waktu yang tersedia bagi saya tidak perlu sesempit itu, bila saya melakukan antisipasi waktu yang cukup sejak berangkat dari rumah, yaitu selalu mengusahakan untuk keluar rumah sejak pukul delapan tepat atau kurang. Ada sesuatu yang membuat antisipasi yang seharusnya saya lakukan itu gagal, yaitu kebiasaan menunda. Menunda untuk melakukan hal yang penting dan kegagalan memprioritaskan hal yang paling penting. Menunda, terutama hal-hal yang bersifat rutinitas dan kewajiban, apalagi bila hal itu sebuah pekerjaan yang memerlukan pengorbanan, memang godaan yang sering saya hadapi. Sebuah kegiatan yang kita sukai seringkali membuat kita menunda melakukan hal lain yang penting yang seharusnya kita prioritaskan untuk dikerjakan.  Kecenderungan ini ditangkap di dalam Amsal 6 : 10, “Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring”.

Memang bukan mengantuk atau berlambat-lambat bangun dari tempat tidur yang membuat saya terlambat. Menempatkan prioritas kegiatan sangat berperan. Bila saya memilih untuk tidak membuka email atau Facebook, melihat foto teman-teman masa SMA yang baru saja mengadakan reuni, dan memilih segera mematikan komputer untuk segera bersiap berangkat, kemungkinan besar tidak akan ada adegan mengejar bis yang sudah terlanjur bergerak meninggalkan stasiun. Keputusan untuk bangkit dari kursi dan mematikan komputer atau menunda membuka internet di pagi hari adalah sebuah keputusan besar yang harus dibuat kebanyakan manusia di jaman komunikasi maya ini. Bila saya tidak segera mengambil keputusan tentang hal ini, waktu-waktu bersama keluarga dan bahkan waktu-waktu yang seharusnya menjadi milik Tuhan dalam doa pribadi menjadi taruhannya. Kemampuan mengatur waktu dan menempatkan prioritas perlu terus menerus saya pelajari di dalam pergerakan tekonologi komunikasi dan pergaulan dunia maya yang berkembang dengan luar biasa pesat selama sepuluh tahun terakhir. Facebook dan email dengan cepat telah menggantikan waktu-waktu doa pribadi di awal hari, atau merenggut kebersamaan bercengkerama bersama suami dan anak-anak. Sebuah terobosan teknologi komunikasi yang nyaris memutus komunikasi dengan orang terdekat di dalam keluarga. Ia mendekatkan teman yang terpisah waktu dan jarak. Tetapi kalau tidak hati-hati, ia juga sekaligus menjauhkan orang-orang yang berada di samping kita, yang seharusnya menjadi perhatian kita yang paling utama.

Bila hal-hal yang kita sukai atau yang kita anggap penting lebih mendominasi perhatian dan waktu kita daripada hal-hal yang seharusnya kita kerjakan dan itu menyangkut waktu-waktu doa, maka kebiasaan menunda menjadi serius. Mungkin ada kesalahan menempatkan prioritas di sana. Beberapa teman yang saya jumpai dalam sebuah kelompok doa bercerita bahwa mereka seringkali “merasa” tidak punya waktu untuk berdoa dan sejenak merenungkan Firman Tuhan sekalipun mereka ingin. Rasanya sulit sekali memasukkan waktu doa rutin ke dalam jadwal harian yang telah begitu padat dan mereka mengharapkan ada lebih dari 24 jam per hari supaya mereka lebih bisa mempunyai waktu luang untuk berdoa. Itulah masalahnya,mencari  waktu luang untuk berdoa. Menunda sampai kita merasa semua pekerjaan sudah selesai untuk mulai berdoa. Tidakkah seharusnya berdoa dan menyediakan waktu khusus untuk Tuhan menjadi prioritas nomor satu  yang mendahului kegiatan yang lain ? Kedekatan relasi yang kita bangun bersama Tuhan akan berbeda bila kita berdoa dan membaca FirmanNya di saat seluruh tubuh masih segar dan kondisi prima, dibandingkan kalau kita menempatkannya di waktu yang tersisa dari kegiatan rutin kita saat mata telah berat dan badan telah lunglai siap untuk tidur. Maka waktu untuk berdoa sesungguhnya bukan dicari, tetapi diciptakan. Bentuk lain dari menunda adalah mengatakan pada diri sendiri, besok saya akan berdoa lebih baik dan menyediakan waktu khusus, karena hari ini saya sudah lelah sekali dan saya berjanji besok akan lebih baik. Bandingkan jika saya mengatakan demikian, hari esok belum menjadi milik saya, satu-satunya yang saya miliki adalah hari ini, saat ini. Maka saya akan berdoa sekarang juga, saat ini juga, dan begitulah kita katakan hal itu setiap hari, sehingga kita menjadikannya kebiasaan. Jika kita memilih sikap yang kedua,kita akan mendapati diri kita telah berhasil mempunyai waktu doa yang khusus sambil merenungkan FirmanNya di setiap hari.

Tuhan tidak pernah menunda-nunda berkatNya karena cintaNya kepada kita. Tuhan yang memberi kita hidup, Dia yang mengajarkan arti hidup karena cinta, oleh cinta, dan dalam cinta. Sesungguhnya Dia jugalah Pihak yang pertama kali menangis bersama kita saat kita menghadapi kepedihan dan penderitaan hidup.  Dia sudah sepantasnya mendapat waktu yang terbaik dari seluruh hari, karena Dia jugalah yang telah memberikan kita hari dan kesehatan untuk melaluinya. Namun itulah cinta Tuhan. Dia tidak pernah menuntut. Dia menunggu kita memutuskan untuk memberikan waktu kita kepadaNya dengan kesadaran, kebebasan, dan cinta. Bukan dengan terpaksa atau karena sekedar merasakannya sebagai kewajiban dan rutinitas.

Seberapa pentingnya Tuhan dalam hidup saya juga tercermin dalam menghadiri perayaan Ekaristi. Alangkah baiknya berusaha untuk datang beberapa menit sebelum Misa dimulai, supaya bisa berdoa dan menyapaNya terlebih dulu secara cukup. Bahkan meluangkan waktu khusus di rumah sebelum berangkat untuk bersiap-siap secara rohani supaya saya sungguh siap dan layak berjumpa denganNya. Maka tidak menunda dan cermat menempatkan prioritas menjadi sangat penting dalam relasi saya dengan Tuhan. Seperti halnya penundaan saya berangkat ke tempat kursus membuat saya mengalami berbagai kerugian berantai, menunda waktu-waktu doa dan menunda membangun relasi yang intim dengan Tuhan membuahkan kerugian berantai yang mungkin tidak saya duga sebelumnya. Jika tiba-tiba saya mendapati hati dipenuhi iri hati, dendam, kurang belaskasihan, menghakimi, malas, korupsi waktu dan uang, hilangnya damai sejahtera dalam relasi dengan sesama, maka itulah saatnya saya perlu mengenali  mungkin ada suatu penundaan serius yang sedang saya lakukan. Itulah saatnya saya datang kepada Tuhan tanpa menunda lagi. Saya jadi teringat kata-kata dari seorang kudus, saya lupa nama beliau, ini pesannya: “Orang-orang yang selalu berdoa sulit untuk jatuh ke dalam dosa. Sebab doa yang tak jemu-jemu menghindarkan kita dari kecenderungan untuk berbuat dosa.” (uti)

Tentang Suara Hati

14

Pertanyaan:

Shalom segenap penulis dan pengurus katolisitas.org,

Saya ingin mengajukan pertanyaan seputar suara hati nurani. Saya mengetahui tentang hati nurani sejak kurang lebih 8 tahun yang lalu dan saya sudah merasakan banyak sekali yang berubah dalam diri saya sejak saya mengenal suara hati saya , namun saya memiliki sejumlah perdebatan.

1. Hingga kini, saya selalu dapat berkomunikasi dengan suara hati saya tidak hanya dalam doa tetapi dalam aktifitas sehari – hari. Apakah ini wajar ?
2. Saya ingin mengetahui lebih jelas tentang bagaimana bentuk dari suara hati itu sendiri. Suara hati yang saya dengar menyerupai suara saya, dan dia membicarakan dan memberikan pengetahuan seputar segala sesuatu dalam hidup saya .Apakah benar suara hati dapat membimbing pengembangan kepribadian seseorang atau dia hanya terbatas ke moralitas saja?
3. Apakah suara hati mempunyai tingkatan – tingkatan? Jika ada, bagaimana cara supaya saya dapat meningkatkannya?
4. Saya selalu ragu dan hingga saat ini saya tidak pernah membiarkan suara hati saya memberikan keputusan dan mengikutinya dengan yakin karena takut tersesat. Apa yang mesti saya lakukan?

Sebagai gambaran, saya mendapatkan semua hal ini dari hasil diskusi saya dengan suara hati: kasih (waktu pertama kali saya mengenal suara hati), tentang iman, harapan, rajin, keberanian, kerendahan hati, berdoa, dan membantu saya memahami tentang apa yang biasanya diajarkan dalam kitab suci, hingga membuat saya dapat mengendalikan emosi saya, mengubah pola pikir saya menjadi lebih dewasa, membantu saya menetapkan tujuan dan mandiri serta membantu saya mengenal tahap – tahap rencana yang diberikan Tuhan lewat penggalian pengalaman yang saya dapatkan.

Terima kasih atas tanggapannya.
Yosh

Jawaban:

Shalom Yosh,

Sebelum saya menjawab pertanyaan anda, saya menganjurkan anda untuk membaca Katekismus Gereja Katolik, yang menjabarkan tentang suara hati, yaitu KGK nomor 1776 sampai dengan 1802.

Berikut ini saya sertakan beberapa kutipannya:

1. Pengertian suara hati/ hati nurani:

KGK 1778 Hati nurani adalah keputusan akal budi, di mana manusia mengerti apakah satu perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang laksanakan, atau sudah laksanakan, baik atau buruk secara moral. Dalam segala sesuatu yang ia katakan atau lakukan, manusia berkewajiban mengikuti dengan seksama apa yang ia tahu, bahwa itu benar dan tepat. Oleh keputusan hati nurani manusia mendengar dan mengenal penetapan hukum ilahi.

2. Hati nurani merupakan hukum yang diberikan oleh Allah dalam hati manusia.

KGK 1776 “Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu,… Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya” (Gaudium et Spes 16)

3. Gunanya suara hati adalah untuk memimpin manusia untuk berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.

KGK 1777 Di dalam lubuk hati seseorang bekerjalah hati nurani (Bdk. Rm 2:14-16). Pada waktu tertentu ia memberi perintah untuk melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat. Ia juga menilai keputusan konkret, di mana ia menyetujui yang baik dan menolak yang jahat (Bdk. Rm 1:32). Ia memberi kesaksian tentang kebenaran dalam hubungan dengan kebaikan tertinggi, yaitu Allah, oleh siapa manusia ditarik, dan hukum-hukum Siapa manusia terima. Kalau ia mendengar hati nuraninya, manusia yang bijaksana dapat mendengar suara Allah, yang berbicara di dalamnya.

4. Hati nurani itu dibentuk oleh pengetahuan yang kita dapat, sehingga pendidikan hati nurani merupakan tugas seumur hidup. Sabda Tuhan merupakan Terang yang membentuk suara hati, yang harus kita terapkan dalam hidup kita dalam iman dan doa, oleh bimbingan Roh Kudus, dibantu oleh kesaksian ataupun nasihat orang lain dan juga oleh pengajaran Gereja.

KGK 1783 Hati nurani harus dibentuk dan keputusan moral harus diterangi. Hati nurani yang dibentuk baik dapat memutuskan secara tepat dan benar. Dalam keputusannya ia mengikuti akal budi dan berorientasi pada kebaikan yang benar, yang dikehendaki oleh kebijaksanaan Pencipta. Bagi kita manusia yang takluk kepada pengaruh-pengaruh yang buruk dan selalu digoda untuk mendahulukan kepentingan sendiri dan menolak ajaran pimpinan Gereja, pembentukan hati nurani itu mutlak perlu.

KGK 1784 Pembentukan hati nurani adalah suatu tugas seumur hidup. Sudah sejak tahun-tahun pertama ia membimbing seorang anak untuk mengerti dan menghayati hukum batin yang ditangkap oleh hati nurani. Satu pendidikan yang bijaksana mendorong menuju sikap yang berorientasi pada kebajikan. Ia memberi perlindungan terhadap dan membebaskan dari perasaan takut, dari cinta diri dan kesombongan, dari perasaan bersalah yang palsu, dan rasa puas dengan diri sendiri, yang semuanya dapat timbul oleh kelemahan dan kesalahan manusia. Pembentukan hati nurani menjamin kebebasan dan mengantar menuju kedamaian hati.

KGK 1785 Dalam pembentukan hati nurani, Sabda Allah adalah terang di jalan kita. Dalam iman dan doa kita harus menjadikannya milik kita dan melaksanakannya. Kita juga harus menguji hati nurani kita dengan memandang ke salib Tuhan. Sementara itu kita dibantu oleh anugerah Roh Kudus dan kesaksian serta nasihat orang lain dan dibimbing oleh ajaran pimpinan Gereja (Bdk. Dignitatis Humanae 14)

5. Prinsip utamanya: Apa yang kamu ingin agar orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. (Mat 7:12)

KGK 1789 Dalam segala hal berlaku peraturan-peraturan berikut:

Tidak pernah diperbolehkan melakukan hal yang jahat, supaya hal yang baik dapat timbul darinya.

“Kaidah emas”: “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, berbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat 7:12).
Cinta kasih Kristen selalu menghargai sesama dan hati nuraninya. “Jika engkau berdosa terhadap saudara-saudaramu… dan melukai hati nurani mereka yang lemah engkau pada hakikatnya berdosa terhadap Kristus” (1 Kor 8:12).

“Tidak baik? melakukan sesuatu yang menjadi batu sandungan bagi saudaramu” (Rm 14:21).

6. Hati nurani bisa salah karena ketidaktahuan yang tak terhindari; dalam keadaan ini orang tersebut tidak bersalah. Namun ketidaktahuan juga dapat disebabkan oleh ketidakpedulian orang itu sendiri; dan dalam kondisi ini orang itu bersalah.

KGK 1790 Manusia selalu harus mengikuti keputusan yang pasti dari hati nuraninya. Kalau ia dengan sengaja bertindak melawannya, ia menghukum diri sendiri. Tetapi dapat juga terjadi bahwa karena ketidaktahuan, hati nurani membuat keputusan yang keliru mengenai tindakan yang orang rencanakan atau sudah lakukan.

KGK 1791 Sering kali manusia yang bersangkutan itu sendiri turut menyebabkan ketidaktahuan ini, karena ia “tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta” (Gaudium et Spes 16). Dalam hal ini ia bertanggungjawab atas yang jahat, yang ia lakukan.

7. Agar dapat mendengarkan suara hati, kita harus mengenal hatinya sendiri dan rajin memeriksa batin.

KGK 1779 Supaya dapat mendengarkan dan mengikuti suara hati nurani, orang harus mengenal hatinya sendiri. Upaya mencari kehidupan batin menjadi lebih penting lagi, karena kehidupan sering kali mengalihkan perhatian kita dari setiap pertimbangan, dari pemeriksaan diri atau dari introspeksi. “Masuklah ke dalam hati nuranimu dan tanyakanlah dia! … Masuklah ke dalam batinmu saudara-saudara! Dan di dalam segala sesuatu yang kamu lakukan, berusahalah agar Allah adalah saksimu” (Agustinus, ep. Jo. 8,9).

Sekarang setelah membaca beberapa prinsip di atas, berikut ini saya menjawab pertanyaan anda:

1. Apakah wajar untuk berkomunikasi dengan suara hati dalam aktivitas sehari- hari, tidak hanya pada saat berdoa?

Jawabnya adalah ya. St. Agustinus mengajarkan bahwa agar dalam bertindak dan memutuskan segala sesuatu, kita dapat bertanya kepada hati nurani. Ini seolah bertanya kepada diri sendiri: jika Tuhan Yesus sekarang ada di hadapan kita, apakah yang akan kita lakukan/ putuskan/ katakan? Dengan demikian kita mempunyai kesadaran bahwa kita melakukan segala sesuatu dengan Allah sebagai saksinya.

Pemeriksaan batin ini memang dapat dilakukan kapan saja, namun minimal dilakukan sekali pada malam hari pada doa malam. Pemeriksaan batin ini adalah untuk melihat kembali apakah hal- hal negatif dan positif yang telah kita lakukan, dan perbaikan apakah yang akan kita lakukan di waktu yang akan datang jika kita telah melakukan kesalahan, atau apakah yang dapat ditingkatkan, jika yang dilakukan sudah baik.

2. Seperti apakah suara hati?

Suara hati/ hati nurani, itu merupakan keputusan akal budi untuk menentukan hal yang baik/ benar dan buruk dari setiap tindakan kita. Sedangkan moralitas, dari bahasa Latin, ‘moralities’ artinya cara, karakter, tingkah laku yang wajar, sehingga berkaitan dengan sistem tingkah laku yang mempunyai nilai kebajikan. Nah, sekarang, kepribadian seseorang terbentuk dari segala sikap dan tindakan yang sejalan dengan nilai- nilai kebajikan atau yang malah bertentangan dengan nilai- nilai kebajikan tersebut. Jadi, sebenarnya tidak bisa kita memisahkan kepribadian dengan moralitas. Karena keduanya berhubungan erat, sebab kita dapat dikatakan mempunyai kepribadian yang baik jika perbuatan- perbuatan kita menunjukkan kualitas moral yang baik. Untuk mencapai hal ini, peran suara hati sangatlah penting, yaitu untuk membantu kita memutuskan segala hal sesuai dengan akal sehat dan sesuai dengan hukum Tuhan.

3. Apakah suara hati memiliki tingkatan? Bagaimana meningkatlannya?

Tidak ada tingkatan dalam suara hati; yang ada adalah tingkatan pada kemampuan dari kita masing- masing untuk memahami suara hati/ hati nurani. Karena jika seseorang tidak pernah meluangkan waktu untuk memeriksa batin, maka akan sulit baginya untuk mengenal suara hatinya. Atau, jika seseorang tidak mempunyai kepedulian untuk membentuk suara hatinya agar sesuai dengan Sabda Tuhan, maka hati nuraninya dapat salah, sehingga walaupun ia mengikuti suara hatinya, namun keputusannya dapat menjadi keputusan yang keliru dan belum tentu baik secara moral.

Maka untuk meningkatkan kemampuan untuk mengenal hati nurani, yang terbaik adalah dengan meningkatkan frekuensi pemeriksaan batin (lebih dari sekali sehari), dan meningkatkan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari- hari. Ini dapat dicapai melalui: 1) kehidupan rohani yang baik, dalam doa dan merenungkan Sabda Tuhan, 2) pengajaran Magisterium Gereja Katolik; dan 3) bimbingan dari pembimbing rohani yang telah dewasa imannya dan mempunyai pengetahuan yang benar tentang Sabda Tuhan dan ajaran Gereja.

4. Apa yang mesti dilakukan supaya tidak tersesat jika mengikuti suara hati?

Yang pertama- tama harus dilakukan adalah membentuk hati nurani kita agar sesuai dengan Sabda Tuhan, sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus dan para Rasul. Untuk ini, kita perlu: 1) membaca Kitab Suci dan merenungkannya; 2) mempelajari ajaran Gereja, sehingga kita dapat yakin bahwa interpretasi akan ajaran tersebut tidak didasari atas pandangan manusia yang dapat salah/ sesat, tetapi atas Kebenaran Allah yang tidak mungkin salah/ sesat.

Kedua, luangkan waktu untuk memeriksa batin dalam suasana doa dengan pimpinan Roh Kudus. Sebab tanpa pemeriksaan batin yang baik, seseorang dapat salah menyangka, bahwa suara hati itu dari Allah, padahal berasal dari keinginan diri sendiri. Peran pembimbing rohani sangat penting; carilah seorang bapa pengakuan, sedapat mungkin, imam yang sama, yang di hadapannya anda mengaku dosa kepada Tuhan secara teratur dalam Sakramen Tobat.

Ketiga, belajarlah dari pengalaman para orang kudus. Silakan membaca kisah riwayat hidup orang kudus, untuk belajar bagaimana caranya mengikuti suara hati/ hati nurani, yang menghantar kepada kesempurnaan iman, pengharapan dan kasih.

Adalah sesuatu yang baik jika semenjak anda rajin memeriksa batin dan mendengarkan hati nurani, kehidupan rohani maupun kepribadian anda menjadi semakin baik. Selanjutnya, tingkatkanlah pengenalan akan kehendak Tuhan dalam hidup anda, dengan semakin mengenal hati nurani anda sendiri yang akan membantu anda untuk melaksanakannya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Tidak bawa Alkitab pada saat Misa Kudus?

12

Pertanyaan:

salam kasih

mengikuti misa lebih dari empat tahun saya memperhatikan dan saya pun melakukannya, mengapa tidak ada satu jemaat pun yang bawa alkitab? apakah jemaat sudah mempercayakan perkatan firman Tuhan kepada magisterium? sehingga tidak perlu bawa alkitab?kenapa kotbah misa selalu membicarakan tentang kasih, tolong menolong atau lebih banyak kepada pemberitaan moral? saya masih beruntung bangun pagi atau malamnya masih membaca alkitab sehingga saya lebih puas.

Riswan Adrian

Jawaban:

Shalom Riswan,
1. Kalau anda mau membawa Kitab Suci ke gereja pada saat Misa Kudus, itu adalah sesuatu yang baik. Silakan anda melakukannya. Kalau di gereja saya, Kitab Suci disediakan di belakang gereja, jadi umat dapat turut ‘meminjam’ dan membacanya, pada saat liturgi Sabda. Tetapi sebenarnya, yang terbaik adalah anda membaca dan merenungkan bacaan Kitab Suci yang akan dibacakan dalam Misa Kudus, sebelum anda mengikuti Misa Kudus. Misalnya, sebelum anda mengikuti Misa hari Minggu anda sudah membaca dan merenungkan bacaan Misa Kudus pada hari Sabtu malam atau dalam doa pribadi anda di pagi hari Minggu sebelum Misa. Ini adalah salah satu cara mempersiapkan diri untuk mengikuti Misa Kudus, supaya anda dapat lebih menghayatinya. Cara membaca dan merenungkan Kitab Suci yang diajarkan oleh Gereja Katolik di antaranya adalah dengan Lectio Divina, seperti yang pernah dituliskan di sini, silakan klik.

Sungguh, jika anda sudah melakukan hal ini, maka pada hari Minggu, walaupun anda tidak membawa Alkitab ke Misa, namun Sabda Tuhan itu sudah meresap di dalam hati anda. Homili yang akan anda terima akan jadi semacam peneguhan atupun tambahan yang memperkaya pemahaman anda akan teks Kitab Suci yang sudah anda renungkan. Tentang langkah selanjutnya untuk mempersiapkan diri sebelum mengikuti Misa Kudus, silakan klik di sini.

Untuk mengetahui bacaan Misa Kudus untuk setiap hari, silakan klik di kalender liturgi. Atau di situs ini, silakan klik.

2. Jadi jika umat Katolik tidak membawa Alkitab pada Misa Kudus, tentu bukan karena Alkitab itu tidak penting bagi umat, ataupun karena firman Tuhan itu hanya untuk Magisterium. Lha, ini pandangan yang keliru. Sebab Gereja Katolik dalam Katekismus mengajarkan:

KGK 133 Gereja “menasihati seluruh umat Kristen dengan sangat, agar melalui pembacaan Kitab Suci Ilahi yang kerap dilakukan, sampai kepada ‘pengenalan Yesus Kristus secara menonjol’ (Flp 3:8). ‘Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus’ (Hieronimus, Is. prol.)” (Dei Verbum 25).

Mungkin terjemahan bahasa Inggrisnya lebih jelas, demikian:

CCC 133 The Church “forcefully and specifically exhorts all the Christian faithful…. to learn ‘the surpassing knowledge of Jesus Christ,’ by frequent reading of the divine Scriptures. ‘Ignorance of the Scriptures is ignorance of Christ’ ” (Dei Verbum 25).

Maka umat diajarkan untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci. Kalau ada orang Katolik yang tidak rajin membaca Kitab Suci, itu adalah kesalahan di pihak orang tersebut; dan bukan karena Gereja Katolik menyetujui demikian. Bahwa kerinduan untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci itu harus ‘digalakkan’ di tengah umat, itu benar. Dan untuk ini perlu didorong juga oleh pastur paroki dan seksi Kitab Suci dan Katekese di paroki maupun wilayah, ataupun kegiatan komunitas yang lain seperti Pendalaman Kitab Suci, Kursus Evangelisasi ataupun Persekutuan Doa.

Jika umat tidak membawa Kitab Suci pada saat Misa, namun ia sudah merenungkannya di rumah, itu malah efeknya terhadap kehidupan kerohanian lebih besar daripada membawa Kitab Suci ke gereja, tapi sebelumnya belum membacanya. Silakan anda terapkan anjuran ini, dan alamilah perbedaannya. Selanjutnya, memang Gereja Katolik menganjurkan agar umat Katolik membaca Kitab Suci dengan terang Roh Kudus yang sama dengan terang Roh Kudus pada saat kitab itu dituliskan, sehingga di sini bimbingan dari Magisterium sangatlah penting; karena Magisterium menjelaskan segala ajaran yang berkaitan dengan iman dan moral sesuai dengan pengajaran para Rasul dan para Bapa Gereja dari abad- abad awal. Ini penting, supaya ajaran Gereja tidak didasari oleh pemahaman pribadi, karena pemahaman pribadi bisa salah atau tidak sesuai dengan maksud Yesus dan para rasul.

Jika anda membaca artikel Romo Wanta tentang homili, maka anda ketahui bahwa memang fokus dari homili adalah mengaitkan pesan Kitab Suci dengan kehidupan sehari- hari. Jadi memang fokus utamanya tentang penerapan hukum kasih. Walau kedengarannya klise, tetapi sejujurnya, meskipun sudah diingatkan terus setiap minggu kita masih sering gagal berbuat kasih (dalam setiap perbuatan dan perkataan kita), apalagi kalau tidak diingatkan.

3. Jadi kalau anda sudah membaca dan merenungkan Kitab Suci tiap pagi dan malam hari, itu adalah sesuatu yang sangat baik. Silakan anda mengajak istri (dan anak anda juga) untuk membaca Alkitab bersama anda. Belilah buku Kitab Suci bergambar untuk anak- anak, dan mulailah membacakan kisah Kitab Suci kepada anak anda sebelum tidur. Kecintaan anak terhadap firman Tuhan dimulai saat masih kecil, dan anda sebagai kepala keluarga dipercaya oleh Tuhan untuk melakukan hal ini. Selanjutnya, laksanakanlah peran anda sebagai ‘imam’ dalam keluarga anda, dengan berdoa bersama dengan istri dan anak anda, minimal satu kali sehari (misal pada malam hari sebelum tidur), namun alangkah baik juga di saat pagi, maupun sebelum dan sesudah makan. Biasakanlah untuk berdoa bersama sebagai keluarga, di samping anda berdoa secara pribadi.

Mother Teresa pernah mengajarkan demikian, “A family who prays together will stay together.” Jadikanlah doa sebagi pondasi dalam kehidupan rohani keluarga anda, maka anda dapat yakin, bahwa walau ada ‘badai’ melanda bahtera rumah tangga, namun anda sekeluarga akan kuat menghadapinya, dan selalu bersatu, karena Tuhan ada di pihak anda.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab