Home Blog Page 201

Bertumbuh bersama TYTC (Truly Youth Truly Catholic)

15

[Dari Katolisitas:

Kami di katolisitas.org sangat mendukung kegiatan orang muda Katolik yang ingin mendalami ajaran iman Katolik, seperti pada komunitas TYTC (Truly Youth Truly Catholic) ini. Rubrik ini disediakan untuk memuat diskusi mereka tentang iman Katolik, yang rencananya akan diadakan setiap Jumat di paroki Regina Caeli, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Semoga apa yang dituliskan di sini dapat berguna bagi sekalian pembaca].

Pengantar

Seiring berkembangnya jaman, orang muda Katolik sering mendapatkan label yang menggambarkan bahwa mereka tidak peduli terhadap iman mereka. Pernyataan tersebut ada benarnya, namun hal ini bukan berarti bahwa mereka tidak perlu memahami iman mereka. Di samping itu, katekese (pengajaran) terhadap orang muda di Gereja Katolik pun berangsur-angsur mulai pudar, sehingga banyak sekali ketidaktahuan orang muda Katolik terhadap “identitas” mereka, yang pada akhirnya membuat iman mereka mudah terguncang oleh serangan-serangan dari luar. Seperti peribahasa “tak kenal maka tak sayang”, banyak orang muda Katolik yang sebelum mengenal keindahan iman mereka, sudah berpaling ke gereja lain. Telah menjadi hal yang biasa bila kita mendengar orang muda Katolik berpendapat bahwa Gereja Katolik itu kuno dan membosankan, serta merasa tidak bertumbuh dalam iman.

Sekarang ini, Gereja Katolik pun sudah melihat permasalahan tersebut dan mulai mengambil langkah dalam hal katekese orang muda ini. Menjelang World Youth Day 2011, Paus Benediktus XVI mengatakan, “Beberapa orang mengatakan bahwa orang muda sekarang ini tidak tertarik terhadap katekese, tetapi saya tidak percaya terhadap pernyataan tersebut dan saya yakin bahwa saya benar. Mereka tidak seburuk apa yang dipikirkan orang; orang muda sebenarnya ingin tahu tentang kebenaran hidup mereka.” Dari pernyataan ini, kita dapat melihat bahwa semua orang muda Katolik memang perlu menyadari akan pentingnya mengenal dan mengasihi iman Katolik.

Duc in altum, yang artinya “bertolaklah ke tempat yang dalam” memberitahukan kita bahwa dengan bantuan Tuhan segala sesuatu bisa terpenuhi. Seperti ketika Kristus memerintahkan Simon, “bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu,” Simon segera melakukan itu dan tertangkaplah sejumlah besar ikan (Luk 6). Truly Youth Truly Catholic Community pun terbentuk dari keputusan untuk duc in altum atas perintah Kristus supaya kita mewartakan segala sesuatu yang Ia ajarkan melalui Gereja-Nya (Mt 28:19-20). Dengan ini, Truly Youth Truly Catholic Community ingin menyediakan wadah bagi orang muda Katolik dari seluruh paroki untuk berkumpul bersama sambil menemukan keindahan-keindahan iman Katolik melalui katekese atau ajaran-ajaran Gereja.

Pada akhirnya, semoga kita sebagai orang muda Katolik yang tetap berjiwa muda (truly youth) memiliki kerinduan untuk mengetahui iman Katolik lebih dalam, sehingga membentuk kita menjadi anak muda yang sungguh Katolik (truly Catholic), dan bermuara pada keinginan untuk membagikan kebenaran ajaran Gereja Katolik ini kepada sesama.

(ditulis oleh Kevin Ang, TYTC)

Kebahagiaanmu Adalah Kekuatanku

6

Pengantar dari Editor:

Tidak sering dalam keseharian, kita mengetahui mengenai pelayanan pastoral untuk orang sakit, walaupun sesama yang sakit selalu saja ada di sekitar kita dalam kehidupan kita sehari-hari. Terima kasih Romo Andi Suparman, MI, yang telah berkenan berbagi suka duka pengalamannya melayani aneka kebutuhan pastoral dan pendampingan pasien serta keluarganya di Rumah Sakit Umum Daerah Maumere, Flores. Sebagai imam muda yang baru sepuluh bulan ditahbiskan, Romo Andi bergumul dengan tantangan pelayanannya yang memerlukan kesungguhan, kerendahan hati, ketegaran, kesetiaan, dan iman. Kisah yang dituturkannya di bawah ini tak pelak lagi menyaksikan kepada kita semua, betapa indah karunia penyelenggaraan Allah, yang selalu menyediakan semua yang diperlukan oleh anak-anak-Nya, baik dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit. Terpujilah Allah yang senantiasa memelihara dan menyelenggarakan hidup yang berkelimpahan rahmat bagi semua yang selalu mengandalkan Dia.

Dan oleh sebab kamu telah tahan uji dalam pelayanan itu, mereka memuliakan Allah karena ketaatan kamu dalam pengakuan akan Injil Kristus dan karena kemurahan hatimu dalam membagikan segala sesuatu dengan mereka dan dengan semua orang,  sedangkan di dalam doa mereka, mereka juga merindukan kamu oleh karena kasih karunia Allah yang melimpah di atas kamu.  Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu! (2 Kor 9 : 13 -15)

Duniaku di sekitar rumah sakit

Hari pertama saya masuk pelayanan di rumah sakit setelah absen beberapa minggu untuk mengikuti kegiatan di luar Flores, sungguh mengharukan. Pagi itu, badanku masih terasa capai, karena perjalanan yang cukup melelahkan dari Jakarta di hari sebelumnya. Apalagi penundaan pesawat dari Bali ke Maumere yang tidak jelas penyebabnya, membuatku merasa gerah dan bertambah lelah. Setiba di rumah, masih ada banyak hal yang harus kubereskan, padahal hari sudah malam.

Tetapi pagi itu saya merasa ada dorongan dari dalam untuk tetap pergi mengunjungi pasien di rumah sakit. Apalagi kurang lebih sebulan saya tidak berjumpa dengan mereka. Biasanya selalu ada semangat baru yang kuterima selepas kunjungan harian di rumah sakit. Senyum tawa kebahagiaan pasien yang kudampingi di tengah penderitaannya karena sakit, selalu saja memberikan semangat dan kekuatan baru kepadaku.

Para rekan kerjaku, para staf dan pelayan medis rumah sakit, memberikan banyak ucapan kepadaku, seperti  ‘selamat datang’, ’selamat berjumpa kembali’, ‘sudah lama tidak ketemu’, dan tentunya, ‘mana oleh-oleh dari luar Flores’. Demikian juga para pasien dan keluarga pasien yang sering keluar-masuk rumah sakit, yang sudah kujumpai sebelumnya, memberikan ucapan  yang sama. Semuanya itu tentunya mengungkapkan arti kehadiranku di tengah-tengah mereka. Ada kebahagiaan tersendiri yang kurasakan saat menerima ucapan-ucapan kegembiraan mereka. Sambutan hangat mereka membuatku selalu merasa, bahwa kehadiranku berarti bagi mereka. Walaupun aku menyadari bahwa seringkali aku tidak memberikan apa-apa kepada mereka sesuai dengan kebutuhan mereka, seperti materi, uang, dll.

Kegiatan harianku berkisar sekitar kebutuhan orang sakit. Aku selalu hadir di tengah-tengah mereka, memberikan apa yang bisa kuberi dan kumiliki, seperti mendoakan, melayani Sakramen Orang Sakit, rekonsiliasi dan Ekaristi, memberikan konseling, menghibur yang bersusah. Selebihnya hanyalah menghadirkan diri secara utuh di tengah-tengah mereka, walaupun hanya menjadi pendengar setia terhadap berbagai masalah dan persoalan yang mereka hadapi atau alami.

Aku hanyalah seorang pelayan Tuhan yang biasa, yang memberikan pelayanan pastoral terhadap orang sakit, keluarga orang sakit, para dokter dan perawat, dan siapa saja yang kujumpai di rumah sakit, yang membutuhkan pelayananku. Aku tahu, bahwa aku bukanlah siapa-siapa yang mempunyai segudang ilmu tentang kesehatan atau spiritualitas. Apalagi aku masih terlalu muda dalam kehidupan imamat (baru 10 bulan). Walaupun pengalamanku dengan orang sakit dari berbagai latar belakang, jenis penyakit, dan penderitaan sudah tidak sedikit lagi sejak aku menjalankan tahap pembinaanku di Filipina sejak tahun 2000, namun hal itu tidak pernah membuatku merasa cukup dan puas untuk menimba pengalaman baru demi memperkaya pelayananku di rumah sakit.  Sumber pengetahuanku  yang paling berarti ialah dari pengalaman pertemuan dan interaksi dengan orang-orang yang kulayani. Pengalaman itu tetap menjadi guru terbaik bagiku. Apa yang kuperoleh dari buku-buku, dari kegiatan-kegiatan rohani, seringkali hanya melengkapi dan memperkuat apa yang kualami di tempat pelayanan. Sungguh, pengalaman masih merupakan guru yang terbaik.

 

Pagi yang berahmat

Pagi itu cukup berbeda dengan hari-hari lainnya. Orang pertama yang kujumpai di lorong rumah sakit adalah bekas pasien yang kulayani, yang kini sudah sembuh. Begitu banyak pasien yang telah kulayani setiap  hari, dan aku mengakui bahwa aku merasa sulit untuk mengingat mereka satu persatu serta jenis penderitaan yang mereka derita. Kecuali kalau kejadiannya sangat unik, baru bisa kuingat terus menerus. Itupun kalau sering bertemu. Tetapi yang pasti bahwa selama berada bersama mereka di kamar pasien atau di mana saja dalam pelayanan, saya sungguh bersatu dengan mereka secara fisik, mental, dan spiritual.

Saya tidak ingat lagi apa jenis penyakit ibu ini. Tetapi dia sempat dirawat di rumah sakit bersama anaknya yang masih duduk di sekolah dasar ketika saya bertemu dan melayani dia. Seperti biasanya saya mendoakan semua pasien yang saya layani di tempat tidur mereka. Banyak juga yang merasa tidak cukup kalau hanya berdoa dan diberkati, tetapi juga meminta diberkatkan air dan garam untuk konsumsinya selama sakit. Demikian juga ibu ini, selain meminta doa, dia juga meminta diberikan air dan garam. Semuanya itu kulakukan dengan iman dan harapan yang teguh bahwa Tuhan akan memberikan apa yang terbaik bagi mereka dan mengabulkan segala doa dan harapan hati mereka.

Ketika kami bertemu di lorong rumah sakit, dia menyapaku dengan semangat. Ada perasaan bahagia dan senang terpancar di wajahnya. “Selamat pagi Romo. Anakku sudah sembuh dan sekarang sudah masuk sekolah lagi. Aku juga sudah sehat; sekarang sudah masuk kerja lagi,” katanya dengan gembira. Serentak, pikiranku mencoba mengingat kembali siapa sesungguhnya ibu ini. Dan akhirnya aku bisa ingat kembali bahwa dia dan juga anaknya pernah aku kunjungi dan doakan sewaktu mereka dirawat di rumah sakit sebelumnya. “Terimakasih untuk doa-doanya bagi kami. Tuhan mendengarkan doa-doa kami dan juga doa-doa Romo bagi kami,” lanjutnya.

“Oh ok, Bu. Bersyukurlah kepada Tuhan untuk kesembuhannya,” jawabku kepadanya. Saat itu juga hatiku berdebar-debar penuh kegembiraan. “Siapakah aku ini sampai dia harus berterima kasih kepadaku?  Bukankah Tuhan yang sudah membuat semuanya indah baginya?” kataku dalam hati. “Tetapi itu karena doa Romo juga untuk kami”, lanjutnya.

Tak lama kemudian, dia memintaku untuk memberkati rosario besar yang telah disiapkannya setelah sembuh dan menantiku untuk memberkatinya. Aku merasa aneh, mengapa harus menungguku, karena masih banyak romo lain selama aku di luar daerah.  “Aku sudah lama mempersiapkan rosario ini untuk diberkati oleh Romo. Aku mau menggantungkan rosario besar ini di pintu masuk rumah kami, supaya selalu dilindungi oleh Tuhan”, katanya. Aku merasa tersanjung ketika mendengarkan perkataannya, dan hanya bisa tersenyum. Lalu meyakinkan dia, akan melayani permintaannya andaikan dia bawa rosarionya ke rumah sakit. “Ok Romo, aku akan bawa esok. Aku yakin sekali pada keampuhan doa Romo, makanya aku menunggu sampai Romo tiba” katanya lagi.  Aku hanya tersenyum, lalu berpamitan untuk  melanjutkan kunjunganku ke kamar pasien.

Pagi itu merupakan suatu pagi yang berahmat bagiku. Tak pernah kuduga bahwa aku harus menerima kabar sukacita itu dari mantan pasien yang kulayani. Tubuhku yang letih serentak dikuatkan kembali, dan semangat baru muncul dalam diriku untuk melanjutkan kegiatanku hari itu di rumah sakit.

Keesokan harinya, aku menemuinya lagi untuk memenuhi janjiku. Benar memang, dibawanya rosario besar dari kayu, yang panjangnya kurang lebih 1 meter. Kuberkati rosarionya sambil lalu berjanji akan terus mendoakan dia dan keluarganya agar selalu diberkati Tuhan. Betapa besar kegembiraan yang terpancar di wajahnya usai pemberkatan itu. Tentu semua harapan dan impiannya terpenuhi setelah lama menunggu sampai aku tiba di rumah sakit lagi.

Kesembuhan datangnya dari Tuhan

Tentunya ini bukanlah pengalaman pertama yang kualami di mana seseorang memperolah rahmat kesembuhan dari penyakitnya. Sewaktu aku di Filipina, di beberapa rumah sakit yang kulayani, ada juga yang sembuh dari penyakitnya setelah kami berdoa bersama. Demikian juga di rumah sakit yang kulayani sekarang. Ada banyak kisah penyembuhan yang kualami. Ada yang sembuh secara fisik, ada yang sembuh secara psikologis, dan juga secara spiritual. Pengalaman – pengalaman itu tentunya adalah karya agung Tuhan. Kesembuhan itu datangnya dari Tuhan. Aku atau siapapun juga, hanyalah perantara atau medium untuk terjadinya rahmat penyembuhan itu. Kuingat Rasul Petrus bersaksi dalam Kis 3 : 16 Dan karena kepercayaan dalam Nama Yesus, maka Nama itu telah menguatkan orang yang kamu lihat dan kamu kenal ini; dan kepercayaan itu telah memberi kesembuhan kepada orang ini di depan kamu semua.

Aku selalu mengatakan kepada pasienku bahwa rahmat kesembuhan itu berasal dari Tuhan, dan sesungguhnya Tuhan ada dan berdiam di dalam hati setiap orang. Karena itu, rahmat kesembuhan itu seharusnya datang dari dalam diri setiap orang, bukan dari luar. Apa yang datang dari luar, seperti sentuhan, kata-kata hiburan, doa-doa, perawatan, dll,  hanyalah melengkapi dan memfasilitasi proses terjadinya rahmat penyembuhan di dalam diri pasien.

Karena itu, untuk memperoleh kesembuhan, seorang pasien harus mampu menciptakan kondisi bathin yang aman dan damai, serta membangkitkan semangat dan kekuatan, a fighting spirit, dari dalam dirinya untuk bisa bangun dan keluar dari penderitaan, baik fisik maupun psikologis, yang sedang dideritanya. Sebab di dalam diri setiap orang ada kekuatan yang memampukan tubuhnya untuk bekerja memulihkan dirinya sendiri. Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Kemampuan tubuh itu bisa bekerja dengan efektif kalau ada aspek–aspek lain yang mendukung, seperti kondisi psikologis/emosional, spiritual, bathin, dan juga sosialnya. Kondisi emosional yang selalu diliputi stress, bathin yang tidak tenang, kehidupan sosial yang tidak mendukung dan juga kehidupan rohani yang lumpuh, membuat kemampuan tubuh untuk menyembuhkan dirinya terhambat. Sebaliknya, kondisi emosional, bathin, spiritual, dan sosial yang stabil akan mendukung tubuh manusia untuk bekerja secara sempurna dan mampu memperbaiki dirinya sendiri.

Di samping itu, pengalaman saya sendiri mengatakan bahwa keyakinan pasien itu sendiri juga sangat penting, yaitu Tuhan bisa membantu dia dengan segala cara yang paling tepat, terutama lewat apapun bantuan, apakah pengobatan, therapy, doa, dll, yang diberikan kepadanya;  bahwa dia bisa disembuhkan dari penderitaannya melalui berbagai bantuan yang diberikan kepadanya. Sebab kayakinan itu akan membantu cara tubuhnya bekerja. Hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan manusia dari penderitaannya, dari penyakitnya. Hal-hal lain hanyalah perantara atau sarana, yang dalam mata iman, adalah bagaimana Tuhan bekerja dalam diri pasien.

Hal itu sajalah yang saya bantu terhadap pasien dalam pelayanan saya di rumah sakit. Saya hanyalah manusia biasa, yang membantu pasien untuk mencapai kestabilan aspek-aspek dalam dirinya. Kerjasama dan keterbukaan pasien terhadap dirinya ditambah bantuan yang kuberikan, sangatlah berguna dan efektif demi tercapainya kesembuhan dirinya.

Pengalaman akan rahmat kesembuhan yang diperoleh ibu tadi bersama anak-anaknya, dan juga orang orang lain dalam pelayananku, merupakan bentuk nyata rahmat Tuhan dalam hidup mereka. Rahmat itu datangnya dari Tuhan. Kebanyakan mereka berterimakasih kepadaku setelah disembuhkan, tetapi aku selalu menasehati mereka untuk bersyukurlah kepada Tuhan, sebab rahmat itu datang dari Tuhan, bukan daripadaku.  Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu (2 Kor 9 :10)

Tuhan yang kelihatan

Namun aku harus jujur, bahwa kebahagiaan mereka adalah kekuatanku. Kalau aku mencoba menoleh ke belakang dan mengingat kembali semua liku-liku perjalanan panggilanku ini, aku jujur mengatakan bahwa melayani orang sakit itu sangat susah dan melelahkan. Apa yang orang sering katakan “burn out”, adalah sebuah kenyataan. Pelayan orang sakit mudah sekali mengalami burn out, seperti capai, lelah, bosan, dan patah semangat. Karena hampir setiap hari kita berhadapan dengan penderitaan, dan seringkali penderitaan di  rumah sakit berakir dengan kematian. Dan karena itu seringkali pelayan orang sakit merasa bahwa semua perjuangan dan kerja kerasnya tidak membawa hasil. Kalau hasilnya tidak bisa tercapai, apalah gunanya melanjutkan pelayanan itu?

Bergelut dengan pengalaman ini, aku dihadapkan dengan pertanyaan dasar yang selalu melintasi bathin sejak awal mengikuti panggilan Tuhan untuk menjadi imam pelayan orang sakit:  Mengapa saya berada di sini, di dalam pelayanan ini? Semua jawabanku bisa disatukan dalam satu jawaban utama: semuanya kerana Tuhan. Tuhan yang memanggil aku dan Dia juga yang telah menetapkan aku. Dia juga telah mempersiapkan dan membuat segala sesuatu baik bagiku. Sebab sebagaimanapun susahnya jalan ini, aku selalu memperoleh kekuatan baru dalam kelemahanku dan penghiburan dalam kesusahan. Tuhan tahu apa yang kubutuhkan, dan Dia menyediakannya bagiku kalau memang itu diperlukan sekali, melalui banyak pihak di sekelilingku. Ya TUHAN, Engkau akan menyediakan damai sejahtera bagi kami, sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami. (Yes 26 : 12)

Aku dipanggil untuk melayani DIA melalui saudara-saudariku yang sakit. Apapun yang kulakukan untuk mereka, aku melakukannya untuk Tuhan. Mereka adalah Tuhan yang kelihatan bagiku. Dan sesungguhnya, pada penghakiman terakhir, inilah yang dikatakan Tuhan kepada mereka yang berhak masuk ke dalam Kerajaan Allah, “Sebab ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. “ (Mat 25 : 36). Maka melayani Tuhan yang kelihatan di dalam diri sesama yang sakit dan menderita, sesungguhnya adalah panggilan bagi masing-masing dari kita.

Bagaimana aku menjaga diri sendiri

Karya pelayananku cukup menguras emosi dan menuntut ketegaran mental dalam menghadapi pasien yang sakit, seringkali tidak hanya jasmaninya tetapi juga mental spiritualnya. Tak jarang kami berhadapan dengan keluarga pasien yang juga mengalami kelelahan fisik dan mental. Kami juga harus tegar saat mendampingi pasien yang sedang di ambang ajal. Aku wajib menjaga kestabilan dan kesehatan mentalku sendiri agar Tuhan dapat terus memakai aku dengan optimal. Aku mencoba untuk tidak membawa pengalamanku dengan orang sakit di dalam rumah sakit bersamaku. Apapun yang kualami di ruang pasien, sedapat mungkin kulupakan atau kuhilangkan dari bayanganku kalau aku keluar dari rumah sakit. Ini caraku untuk mengurangi negative energy yang terpancar dari  pasien ketika mendengarkan masalah mereka. Salah satu efek negatif dari pelayanan kami ini adalah pengalaman terbawa emosi dengan orang sakit. Saking terbawa emosi dengan penderitaan mereka, diri kita juga bisa sampai berpikir aneh-aneh dan tidak bisa tidur. Maka cara untuk menjaga diri ialah dengan melupakan apa saja yang dialami di tempat pelayanan dan menghirup udara baru di luar yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan orang yang kami layani. Itu sebabnya aku tidak ingat lagi penyakit ibu tadi. Aku sengaja melupakannya sejak awal, sehingga aku tiidak bisa ingat secara detail sakit ibu itu dan anaknya.

 

Tak henti mensyukuri penyelenggaraan Allah dalam karya pelayananku

Pengalaman kesembuhan yang ibu tadi ungkapakan sungguh merupakan sumber kekuatan bagiku. Sebab di tengah kesulitan menjalani pelayanan ini, ungkapan kebahagiaannya memberikan kekuatan baru kepadaku, untuk melanjutkan pelayanan yang telah kumulai sejak lama. Aku merasa bahwa Tuhan telah memakai aku sebagai sarana untuk menyembuhkan ibu itu. Bukan aku yang menyembuhkan dia, tetapi Tuhan menggunakan aku agar ibu itu menerima rahmat penyembuhan. Sehingga sekecil apapun yang telah kulakukan terhadap ibu itu dan anaknya, karena datang dari hati yang ikhlas dan iman, harap dan kasih yang tulus, itu sangat berarti baginya dan bagiku juga. Kehadiranku tetaplah berarti bagi Tuhan dan bagi kebahagiaan ibu dan anaknya itu. Sadar akan arti kehadiranku, aku semakin dikuatkan untuk melangkah maju dalam pelayananku, kendatipun berbagai tantangan yang kuhadapi. Hanya kepada Tuhan aku mengadu. Sungguh Tuhan telah menggunakan dia untuk menguatkan aku dalam panggilanku. Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan. (2 Kor 9 : 8)

July 17, 2011

Romo Andi Suparman, MI

Refleksi setelah Misa Pesta St. Kamilus dan penyembuhan orang sakit

di Rumah Sakit Dr. T.C. Hiller, Maumere.

Kisah Yusuf: Tujuan Menghalalkan Cara?

1

Pertanyaan:

Tujuan Menghalalkan Cara:
Kisah Yusuf dan saudara-saudaranya yang dibaca selama misa harian dalam Minggu Biasa XIV (Tahun A/1) menunjukkan bahwa penjualan Yusuf akibat kebencian saudara-saudaranya membawa hikmat di kemudian hari. Ketika terjadi paceklik di Israel, keluarga besar Yakub justru diselamatkan oleh Yusuf.
Dari kisah di atas , dapatkah disimpulkan bahwa cara yang tidak benar dan amoral justru direstui Tuhan untuk kepentingan yang lebih luas di masa mendatang? Kalau demikian halnya, kisah Yusuf ini dapat dijadikan dasar justifikasi bagi prinsip tujuan menghalalkan segala macam cara.

Jawaban:

Shalom Herman Jay,

Nampaknya cara berpikir sedemikian kurang tepat. Bukan Allah yang ‘merestui’ cara yang tidak benar, tetapi bahwa meskipun manusia jatuh ke dalam dosa dan melakukan perbuatan/ cara- cara yang tidak baik sekalipun, namun Tuhan tetap dapat mendatangkan kebaikan di balik semuanya itu. Sebab Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia, sehingga manusia dapat, dengan keputusannya sendiri memilih untuk melakukan hal- hal yang tidak baik, seperti yang terjadi pada saudara- saudara Yusuf, yang menjual Yusuf kepada para saudagar- saudagar Midian yang membawanya ke Mesir. Dalam Kitab Suci tidak dikatakan bahwa Tuhanlah yang menyuruh para saudara Yusuf untuk menjual Yusuf ke Mesir. Tetapi Tuhan, oleh karena ke-MahaTahu-annya, sudah mengetahui bahwa kelak para saudara Yusuf akan melakukan hal itu oleh karena iri hati; dan meskipun demikian, Tuhan tetap dapat mempergunakan keadaan yang tidak benar itu untuk menjadi bagian dari rencana-Nya mendatangkan kebaikan bagi orang- orang pilihan-Nya. Yaitu pertama- tama kepada Yusuf (yang mengasihi Tuhan, terbukti dengan kehidupannya yang ‘lurus’ di hadapan Tuhan- lih. Kej 39), Yakub yang kepadanya Tuhan telah berjanji akan memberkati keturunannya (lih. Kej 28:15); dan kepada saudara- saudara Yusuf. Dengan demikian, dipenuhilah ayat Rom 8:28, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”

Ketika Yusuf berkata, “Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir” (Kej 45:8); Yusuf menjelaskan bahwa segala sesuatunya merupakan bagian dari rencana Allah [dengan pengertian seperti yang dijabarkan di atas]. Melalui peristiwa tersebut kita ketahui bahwa dalam keadaan apapun Tuhan dapat menunjukkan kerahiman-Nya kepada manusia.

Berikut ini adalah penjelasan dari The Navarre Bible, tentang perikop Kej 45 tersebut:

“Kemurahan hati Firaun juga adalah tanda kerahiman Tuhan, namun kerahiman Tuhan yang terbesar dinyatakan adalah bahwa Yakub, dapat menemukan anaknya yang dipikirnya telah hilang (lih. ay. 28)

Selain menunjukkan tentang kerahiman Tuhan, kisah Yusuf juga menunjukkan kebesaran jiwa dari Yusuf yang tidak menyimpan dendam, mengarahkan segala tindakannya untuk memperoleh kembali saudara- saudaranya, memimpin mereka sedikit demi sedikit agar bertobat dari dosa yang mereka perbuat, mengampuni mereka sejak awal, dan memperlakukan mereka sebagai saudara. Sikap Yusuf menjadi teladan bagi kita …. pengampunan harus selalu ada di dalam hubungan kita dengan sesama.” (The Navarre Bible, Pentateuch, p. 210)

Paus Yohanes Paulus II yang Terberkati, juga menuliskan tentang pentingnya pengampunan yang menjadi inti pesan Injil, dalam kehidupan kita. “Pengampunan menunjukkan adanya di dunia ini, kasih yang lebih berkuasa daripada dosa. Pengampunan juga adalah keadaan yang mendasar bagi rekonsiliasi, tidak saja di dalam hubungan antara Tuhan dan manusia, tetapi juga di antara manusia dengan manusia yang lain.” (Paus Yohanes Paulus II, Dives in misericordia 14)

Dengan demikian, kisah Yusuf sesungguhnya bukan kisah ‘Tujuan Menghalalkan Cara’, namun adalah kisah nyata tentang Belas Kasih Allah dalam sejarah umat manusia, di mana Allah tetap dapat menjadikan keadaan yang buruk sekalipun akibat dosa manusia, untuk menyatakan kerahiman-Nya kepada umat manusia; dan agar manusia belajar untuk mengampuni satu sama lain, sama seperti Allah telah mengampuni kita.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Mukjizat Penggandaan Roti Adalah Gambaran Akan Sakramen Ekaristi

25

I. Pemberian diri, Mukjizat dan Ekaristi

Kita mungkin sering mendengar ulasan tentang mukjizat penggandaan roti dan ikan. Tulisan ini mencoba mengupas bahwa mukjizat ini terjadi karena peran serta para murid dan orang-orang yang hadir, yang mau menyediakan apa yang ada pada diri mereka, sehingga Kristus dapat mengambil dan menyempurnakannya, yang pada akhirnya dapat dipergunakan untuk kebaikan bersama serta menyatakan kemuliaan Tuhan. Mukjizat ini juga menjadi gambaran akan apa yang terjadi pada Perjamuan Terakhir, yang juga terjadi sampai saat ini dalam Sakramen Ekaristi. Pemberian diri inilah yang juga dituntut dari semua umat Allah yang berpartisipasi dalam setiap perayaan Ekaristi, sehingga setiap orang dapat menyatukan persembahan dirinya dengan korban Kristus.

II. Teks Matius 14:13-21

Dalam minggu ke-18 masa biasa tahun A ini, bacaan liturgi memberikan bacaan dari: Yes 55:1-3; Mzm 145:8-9,15-18; Rom 8:35,37-39; dan Mat 14:13-21. Mari sekarang kita melihat teks dari Injil Matius yang diberikan [penekanan dari saya]:

13.  Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka.
14.  Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.
15.  Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.
16.  Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.
17.  Jawab mereka: “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan.
18.  Yesus berkata: “Bawalah ke mari kepada-Ku.”
19.  Lalu disuruh-Nya orang banyak itu duduk di rumput. Dan setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak.
20.  Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, dua belas bakul penuh.
21.  Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.

III. Telaah dan interpretasi Matius 14:13-21

1. Yesus menyingkir ke tempat yang sunyi (ay.13)

Kalau kita melihat konteksnya, maka perikop ini terjadi setelah Yohanes Pembaptis dipenjara dan kemudian dibunuh oleh Herodes, sang raja di wilayah itu (lih. Mat 14:1-12; Mrk 6:14-29; Luk 9:7-9; Luk 3:19-20). Di dalam Injil, disebutkan ada empat Herodes: (a) Herodes Agung atau Raja Herodes (Mat 2:1), (b) Herodes Antipas, yang membunuh Yohanes Pembaptis (Mat 14:1-12) dan yang mengolok-olok Yesus yang menderita (Luk 23:7-11), (c) Herodes Agripa I – keponakan dari Herodes Agung, yang membunuh Yakobus, saudara Yohanes (Kis 12:1-3) dan yang memenjarakan rasul Petrus (Kis 12:4-7) serta yang meninggal secara mendadak dan misterius (Kis 12:20-23), (d) Herodes Agripa II – yaitu anak Herodes Agripa I, yang kepadanya Paulus dihadapkan untuk menjawab tuduhan dari kaum Yahudi ketika Paulus dipenjara di Kaisaria (Kis 25:23).

Herodes Antipas inilah yang membunuh Yohanes Pembaptis. Dia adalah anak dari Herodes Agung dan dia diberi kekuasaan untuk memerintah daerah Galilea dan Perea dari tahun 4 SM sampai tahun 39. Walaupun dia telah menikah dengan puteri Raja Arab, namun dia hidup bersama dengan selirnya yang bernama Herodian, istri dari saudaranya, Herodes Filipus. ((Flavius Josephus, Jewish Antiquities, XVIII, 5,4, – yang dikutip oleh The Navarre Bible, St. Matthew)) Dan karena mengkritik kehidupan moral dari Herodes Antipas yang mengawini istri saudaranya, serta jebakan licik dari Herodian, maka Yohanes Pembaptis dipenjara dan akhirnya dipenggal kepalanya (lih. Mat 14:1-12; Mrk 6:16-29). Disebutkan juga bahwa Herodes ingin bertemu dengan Yesus, karena berpikir bahwa Yesus adalah penjelmaan Yohanes Pembaptis yang telah dibunuhnya, atau penjelmaan Elia, atau penjelmaan salah satu nabi dari Perjanjian Lama (lih. Luk 9:7-9). Dalam keadaan setelah Yohanes Pembaptis dibunuh dan Herodes mencoba bertemu dengan Yesus, dikatakan bahwa Yesus menyingkir ke tempat yang sunyi (lih. Mat 14:1).

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Yesus harus menyingkir? Apakah Yesus takut untuk dibunuh? Beberapa interpretasi dari Bapa Gereja mungkin dapat membantu. Alasan mengapa Yesus menyingkir adalah karena memang waktu yang ditetapkan oleh Bapa atau kematian Yesus belum tiba, seperti yang dikemukakan oleh St. Yohanes Krisostomus. Dan alasan ini juga dikemukakan oleh rasul Yohanes yang menuliskan “Mereka berusaha menangkap Dia, tetapi tidak ada seorangpun yang menyentuh Dia, sebab saat-Nya belum tiba.” (Yoh 7:30, lih. Yoh 8:20) Santo Hieronimus memberikan tambahan penjelasan bahwa menyingkirnya Yesus merupakan bentuk belas kasih Yesus kepada musuhnya, sehingga Dia tidak menambah dosa Herodes yang telah membunuh Yohanes Pembaptis dan kemudian nantinya harus membunuh Yesus. ((lih. St. Thomas Aquinas, Catena Aurea, commentary on the Gospel of Matthew 14:13-14)) Alasan yang lain adalah karena Yesus ingin menghindari paksaan umat Yahudi yang ingin menjadikan Dia seorang raja (lih. Yoh 6:15). Kemungkinan yang lain adalah karena Yesus dan para murid-Nya memang membutuhkan istirahat, karena mereka sama sekali tidak mempunyai waktu untuk makan (lih Mrk 3:20) dan beristirahat (lih. Mrk 6:31). Dan memang walaupun Yesus dan para murid-Nya menyingkir ke tempat yang sunyi, namun orang-orang mendengar tentang hal ini dan mencoba menemukan mereka. Dan orang-orang yang melihat ke mana mereka pergi, kemudian menyusul mereka lewat jalan darat (lih. Mrk 6:33).

2. Seperti domba tanpa gembala (ay. 14)

Ketika Yesus dan para murid-Nya sampai di tempat tujuan dan mendarat, Dia melihat sejumlah besar orang, sehingga tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan. Yesus melihat bahwa mereka tercerai berai, sama seperti domba-domba tanpa gembala (lih. Mat 9:36; bdk. Bil. 27:17; 1Raj 22:17). Tergerak oleh belas kasihan, maka tanpa diminta, Yesus menyembuhkan mereka yang sakit (ay.14) dan tanpa kenal lelah Yesus dan para murid-Nya membantu orang- orang itu sampai menjelang malam. Hal ini menjadi peringatan kepada para pelayan umat agar tanpa lelah melayani umat.

3. Kamu harus memberi mereka makan (ay.15-16)

Menyadari bahwa hari telah menjelang malam dan mereka semua berada di tempat yang sunyi, maka para murid meminta kepada Yesus untuk menyuruh orang-orang pergi dan membeli makanan di desa-desa (ay.15; bdk. Mrk 6:36; Luk 9:12).  Namun kemudian Yesus membuat jawaban yang sungguh mengejutkan para murid, karena Dia berkata, “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” (ay.16) Para murid terbiasa untuk menyaksikan Yesus membuat mukjizat dan merasa aman akan posisi mereka. Namun, tiba-tiba dalam kondisi yang sungguh tidak memungkinkan untuk memberi makan lebih dari 5.000 orang, Yesus justru mengatakan bahwa merekalah yang harus memberi makan orang banyak itu. Para murid yang telah mengikuti Yesus dan melihat bagaimana Yesus telah melakukan banyak mukjizat, kini dihadapkan untuk menangani keadaan yang sulit ini. Berapa sering dalam situasi paroki, seseorang dapat merasa diri tidak siap, ketika harus menjadi seorang ketua lingkungan, ketua wilayah, ketua seksi maupun bidang, atau harus menjadi koordinator untuk acara tertentu. Mereka tiba-tiba berhadapan dengan perkataan Yesus, “Kamu harus memberi mereka makan“.

Di Injil Yohanes, Yesus bertanya kepada Filipus, di manakah mereka dapat membeli roti supaya semua orang yang berkumpul dapat makan (lih. Yoh 6:5). Dan Filipus menimbang apa yang mereka punyai, lalu mengatakan “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.” (lih. Yoh 6:7) Menjawab perkataan Yesus agar para murid yang memberi makan orang-orang, St. Markus melaporkan hal yang sama dengan menuliskan, “Jadi haruskah kami membeli roti seharga dua ratus dinar untuk memberi mereka makan?” (Mrk 6:37) Jawaban yang seolah-olah merupakan pertanyaan yang mempunyai konotasi tidak yakin.

4. Mengakui keterbatasan dan membawanya kepada Yesus (ay.17-18)

Dalam kondisi kebingungan ini, kini mereka mulai melihat apa yang mereka punyai pada saat itu. Injil Matius dan Lukas melaporkan bahwa para murid mengatakan bahwa mereka hanya mempunyai lima roti dan dua ikan (Lih. Mat 14:17; Luk 9:13). Injil Yohanes menuliskan bahwa Andreas, saudara Petrus melaporkan bahwa ada seorang anak kecil yang membawa lima roti dan dua ikan (lih. Yoh 6:9). Namun, di ayat yang sama, Rasul Andreas berkata, “tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?

Para murid tidak yakin, bahwa apa yang mereka punyai cukup untuk memberi makan begitu banyak orang. Kita juga dapat melihat bagaimana para nabi di dalam Perjanjian Lama melakukan hal yang sama: mereka tidak yakin ketika Tuhan mempercayakan suatu tugas kepada mereka. Ketika Tuhan menyuruh Musa menghadap Firaun, maka Musa menjawab, “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?” (Kel 3:11) Bahkan ketika Tuhan telah membuktikan bahwa Dia dapat membuat mukjizat melalui Musa, Musa masih meragukan dirinya dan berkata, “Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulupun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mupun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah.” (Kel 4:10) Dan bahkan ketika Tuhan menyatakan bahwa Dia akan menyertai dan mengajar Musa akan apa yang harus dikatakan, Musa tetap ragu dan menjawab, “Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulupun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mupun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah.” (Kel 4:13) Kita juga melihat bahwa Gideon merasa terlalu muda untuk melawan orang Midian. (lih. Hak 6:15). Bahkan nabi Yeremiah merasakan keterbatasan seperti musa dan Gideon, sehingga dia mengatakan “Ah, Tuhan Allah! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda.” (Yer 1:6)

Dengan demikian, janganlah kita merasa rendah diri akan keterbatasan kita. Justru Tuhan memilih orang-orang yang terbatas kemampuannya, sehingga kemuliaan dan kuasa Tuhan menjadi sempurna (lih. 2Kor 12:9). Namun, satu hal yang harus kita lakukan agar mukjizat dapat terjadi adalah membawa semua yang ada pada diri kita, baik waktu, harta, talenta dan juga semua kelemahan kita di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, Yesus berkata, “Bawalah kemari kepada-Ku….” (Mat 14:18)

5. Lihat, mukjizat itu nyata! (ay. 19-21)

Pada saat para murid membawa membawa lima roti dan dua ikan atau pada saat kita membawa apa yang ada pada diri kita kepada Yesus, maka mukjizat akan terjadi. Ada dua mukjizat penggandaan roti dan ikan. Mukjizat penggandaan roti dan ikan yang pertama diberikan dalam Mat 14:13-21; Mrk 6:30-44; Luk 9:10-17; dan Yoh 6:1-13. Setelah itu mukjizat penggandaan roti dan ikan yang kedua dituliskan dalam Mat 15:32-39; Mrk 8:1-10. Ada perbedaan jumlah orang yang diberi makan serta sisa roti antara mukjizat pertama dan kedua, yaitu yang pertama 5,000 orang laki-laki, belum termasuk perempuan dan anak-anak, sisa dalam mukjizat itu adalah 12 bakul, sedangkan yang kedua berjumlah 4,000 dan sisanya adalah 7 bakul.

Di salah satu diskusi dalam situs katolisitas, seorang pembaca menuliskan bahwa dia pernah mendengar bahwa ada sebagian umat Katolik yang mengatakan bahwa mukjizat tersebut tidaklah benar-benar terjadi, karena mereka berpendapat bahwa yang terjadi hanyalah orang-orang tersebut saling berbagi, yang dimulai oleh anak kecil yang memberikan lima roti dan dua ikan (lih. Yoh 6:9). Dalam dialog ini, saya memberikan beberapa argumentasi sebagai berikut:

1. Dalam kaitan dengan makna literal. Kalau kita mau tetap setia terhadap teks, maka yang pertama kali yang harus kita lihat adalah makna literal. Ini berarti apakah dengan mengatakan bahwa kejadian ini hanyalah “saling berbagi” merupakan manifestasi bahwa kita tidak percaya bahwa Kristus dapat melakukan hal ini. Apakah dengan demikian, kita ingin menghilangkan dimensi mukjizat yang dilakukan oleh Kristus? Di satu sisi, dari teks juga tidak dapat disimpulkan secara pasti bahwa kejadian penggandaan roti dan ikan hanyalah merupakan peristiwa berbagi dalam komunitas.

Bahkan dari teks “14 Ketika orang-orang itu melihat mujizat yang telah diadakan-Nya, mereka berkata: “Dia ini adalah benar-benar nabi yang akan datang ke dalam dunia.”
“Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.
” (Yoh 6:14-15) maka kita melihat bahwa orang-orang yang hadir mengganggap bahwa kejadian penggandaan roti dan ikan adalah suatu mukjizat, sehingga mereka ingin menjadikan Yesus sebagai raja. Kalau hanya peristiwa berbagi dalam komunitas, mungkin reaksi dari orang-orang tidak akan sampai ingin menjadikan Yesus sebagai raja dan hanya menganggap bahwa kejadian tersebut adalah hal yang biasa saja.

2. Dalam kaitannya dengan komentar dari Bapa Gereja. Dalam Catena Aurea, St. Thomas mengutip St. Agustinus dan Bede yang mengatakan:

“AGST. Dia memperbanyak lima roti di tangan-Nya, sebagaimana Dia menghasilkan panen dari beberapa bulir. Ada kekuatan di tangan Kristus; dan yang terjadi pada lima roti itu, seolah-olah, biji, yang tidak jatuh ke bumi, namun menjadi berlipat ganda oleh-Nya, yang menciptakan bumi.

BEDE. Ketika orang banyak melihat mukjizat yang dilakukan oleh Tuhan kita, mereka kagum; karena mereka belum tahu bahwa Dia adalah Allah. Kemudian orang-orang, Penginjil menambahkan, yaitu orang-orang duniawi, yang pemahamannya adalah duniawi, ketika mereka telah merasakan keajaiban bahwa Yesus, mengatakan, ini adalah kebenaran bahwa seorang Nabi telah datang ke dalam dunia.

Dari dua kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa mereka menangkap bahwa peristiwa ini adalah suatu mukjizat dan bukan hanya sekedar kejadian berbagi dalam komunitas.

3. Dalam kaitan dengan Ekaristi. Kalau kita melihat konteks dari Yoh 6, maka kita akan melihat kaitan antara mukjizat penggandaan roti (Yoh 6:1-13) dan mukjizat penggandaan Roti Hidup, yaitu Yesus sendiri dalam Sakramen Ekaristi (Yoh 6:25-68). Dengan mereduksi mukjizat penggandaan roti menjadi sekedar kejadian berbagi di dalam komunitas, menjadi sulit untuk melihat konteks Ekaristi sebagai suatu mukjizat, di mana Kristus hadir secara nyata (Tubuh, Jiwa dan ke-Allahan) dalam setiap partikel roti dan anggur, serta menggandakan Diri-Nya, sehingga Dia dapat tinggal dan bersatu dengan seluruh umat beriman.

6. Lihat, mukjizat itu adalah gambaran dari Ekaristi. (ay.19)

Sebelum Yesus melakukan mukjizat penggandaan roti dan ikan, maka disuruh-Nya  orang banyak itu untuk duduk di rumput. Injil Markus dan Lukas menerangkan bahwa orang-orang dibagi dalam kelompok-kelompok berjumlah lima puluh atau seratus, serta duduk di rumput (lih. Mrk 6:40; Luk 9:14). Ini menunjukkan keteraturan dan juga Kristus menginginkan suasana perjamuan yang formal.

Setelah semua berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, maka dituliskan “diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak.” (Mat 14:19). Kita melihat beberapa kata kunci di ayat ini, seperti: mengambil, mengucap syukur, memecah-mecah dan memberikan atau membagikan. Kita dapat melihat apa yang terjadi dalam Perjamuan Suci, di mana dituliskan, “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” (Mat 26:26) Bahkan ketika Kristus wafat, Dia melakukan hal yang sama kepada dua orang murid yang mengadakan perjalanan ke Emaus. Dituliskan, “Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka.” (Luk 24:30) Di ayat berikutnya, dikatakan bahwa pada saat itulah mata mereka terbuka dan mengenal Kristus. Mengapa mata mereka terbuka pada saat Kristus mengambil, mengucap berkat, memecah-mecah, dan memberikannya kepada mereka? Karena kata-kata itulah yang diucapkan oleh Kristus pada saat Dia masih hidup, yaitu ketika Kristus mengadakan mukjizat penggandaan roti, yang tidak hanya dilakukan sekali namun dua kali.

Menarik untuk disimak, bahwa kata-kata yang sama -mengambil roti, mengucap berkat, memecah- mecahkannya dan memberikannya- diucapkan juga oleh Yesus pada saat Perjamuan Terakhir. Namun, pada saat Perjamuan Terakhir, Kristus memberikan makna yang lebih dalam lagi. Pada saat Perjamuan Terakhir, Kristus tidak hanya memperbanyak roti dan mengenyangkan perut, namun Dia memberikan Diri-Nya sendiri, sehingga Dia mengatakan, “Ambillah, makanlah, inilah Tubuh-ku” (Mat 26:26). Dan orang yang makan Tubuh-Nya dan minum Darah-Nya akan mendapatkan kehidupan yang kekal dan akan dibangkitkan pada akhir zaman (lih. Yoh 6:54). Dan perkataan dan makna yang sama terjadi dalam setiap perayaan Ekaristi.

Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1335) menegaskan bahwa mukjizat penggandaan roti adalah merupakan gambaran akan Sakramen Ekaristi.

KGK, 1335.    Mukjizat perbanyakan roti menunjukkan lebih dahulu kelimpahan roti istimewa dari Ekaristi-Nya (Bdk. Mat 14:13-21; 15:32-39.): Tuhan mengucapkan syukur, memecahkan roti dan membiarkan murid-murid-Nya membagi-bagikannya, untuk memberi makan kepada orang banyak. Tanda perubahan air menjadi anggur di Kana (Bdk. Yoh 2:11.) telah memaklumkan saat kemuliaan Yesus. Ia menyampaikan penyempurnaan perjamuan pernikahan dalam Kerajaan Bapa, di mana umat beriman akan minum (Bdk. Mrk 14:25.) anggur baru, yang telah menjadi darah Kristus.

7. Lihat, mereka makan sampai kenyang (ay.20-21)

Dituliskan bahwa para murid membantu membagi-bagikan roti tersebut kepada orang banyak yang telah duduk dalam kelompok-kelompok kecil. Dan di ayat 20 disebutkan bahwa mereka semua yang berjumlah 5.000 pria ditambah dengan wanita dan anak-anak, makan sampai kenyang. Roti dan ikan yang telah diberkati Kristus bukan hanya cukup mengenyangkan semua orang, bahkan tersisa 12 bakul penuh. Mukjizat yang sama terjadi setiap hari di seluruh dunia dalam setiap perayaan Ekaristi. Kalau jumlah umat Katolik seluruh dunia adalah 1,2 milyar, dan kalau yang mengikuti misa harian adalah satu persen dari total umat, maka setiap hari terjadi penggandaan roti sebanyak 12 juta. Pada hari Minggu, terjadi lebih banyak lagi penggandaan roti. Dan mereka semua dikenyangkan dengan makanan rohani, yaitu Kristus sendiri.

IV. Mari kita memperbaharui iman kita akan Sakramen Ekaristi

Dari ulasan di atas, maka kita dapat melihat adanya kaitan yang sangat erat antara mukjizat penggandaan roti, Perjamuan Terakhir dan Sakramen Ekaristi. Hal ini seharusnya memperkuat iman kita akan Kristus yang sungguh-sungguh hadir (Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan) dalam setiap perayaan Ekaristi. Bahkan kalau Kristus sendiri menyediakan Diri-Nya untuk bersatu dengan umat-Nya dalam setiap perayaan Ekaristi, maka sudah seharusnya umat Allah dapat datang kepada Kristus serta berpartisipasi secara aktif, bukan hanya saat Misa Minggu, namun juga berusaha untuk hadir dalam misa harian. Mari, kita menyediakan diri kita, menyisihkan waktu kita, membawa beban dan sukacita kita, serta menyatukannya dengan Kristus dalam Sakramen Ekaristi.

Pandangan Iman Katolik terhadap Hedonisme

2

Pertanyaan:

Apa pandangan iman katolik terhadap HEDONISME ?
Berto

Jawaban:

Shalom Berto,

Hedonisme, paham yang mengejar kesenangan/ kenikmatan dunia (yang sifatnya sementara) sebagai tujuan hidup, tidak sejalan dengan iman Kristiani, yang mengajarkan akan kebahagiaan kekal sebagai tujuan hidup.

Berikut ini adalah pengertian tentang hedonisme yang kami terjemahkan dari link ini, silakan klik:

Hedonisme

Ajaran bahwa kesenangan adalah tujuan hidup dan kebaikan manusia yang tertinggi. Dengan kesenangan, para hedonis sejati berpegang pada pengakuan kenikmatan- kenikmatan yang tidak sempurna di dunia ini.

Hedonisme pertama kali diformulasikan oleh filsuf Yunani Aristippus (c. 435-360 B.C.). Salah paham terhadap ajaran Socrates (470-399 B.C.), yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir kehidupan, Aristippus menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan. Ia berpegang bahwa kesenangan intelektual adalah lebih tinggi daripada kesenangan indera, tetapi yang terpenting adalah kesenangan yang dapat diperoleh di sini dan sekarang. [Menurut Aristippus], suatu perbuatan adalah baik, dan karena itu merupakan kebajikan, sepanjang itu memberikan pemuasan pada saat ini.

[Prinsip] Hedonisme disempurnakan oleh Epicurus (c. 341-270 B.C.), yang menggabungkannya dengan teori fisik dari Demokritus (c. 460-370 BC)…. Bagi Epicurus, tujuan hidup bukanlah kesenangan intensif tetapi kedamaian pikiran yang tetap, suatu tingkatan ketenangan yang ceria. Di atas semua itu seseorang harus menghindari ketakutan terhadap Tuhan dan ketakutan terhadap kematian. Orang bijak tersebut menetapkan bahwa sebelum kematiannya ia telah mempunyai sebanyak mungkin jumlah kesenangan dan sesedikit mungkin kesakitan/ penderitaan. Moderasi dianjurkan namun bukan atas dasar pertimbangan moral namun atas kesanggupan seseorang untuk menikmati kesenangan di masa mendatang dalam hidupnya. Keinginan/ hasrat harus dibatasi kepada batas- batas yang didalamnya hal tersebut dapat dipuaskan. Apapun yang meningkatkan kesenangan ataupun kedamaian pikiran secara umum adalah baik, dan apapun yang menguranginya adalah buruk. Hedonisme modern adalah filosofi moral yang dipilih oleh mereka yang mengingkari atau meragukan keberadaan hidup yang akan datang. (Diterjemahkan dari Fr. John Hardon’s Modern Catholic Dictionary).

Melihat pengertian di atas, maka prinsip hedonisme sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik. Katekismus mengajarkan bahwa manusia diciptakan dengan kerinduan untuk mencapai kebahagiaan, namun kebahagiaan yang dimaksud di sini adalah kebahagiaan yang tidak terbatas oleh kesenangan duniawi, tetapi kebahagiaan yang tak terukur yang hanya dapat dipenuhi oleh Tuhan.

KGK 1718     Sabda bahagia sesuai dengan kerinduan kodrati akan kebahagiaan. Kerinduan ini berasal dari Allah. Ia telah meletakkannya di dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diri-Nya, karena hanya Allah dapat memenuhinya:

“Pastilah kita semua hendak hidup bahagia, dan dalam umat manusia tidak ada seorang pun yang tidak setuju dengan rumus ini, malahan sebelum ia selesai diucapkan” (Agustinus, mor. eccl. 1,3,4).

“Dengan cara mana aku mencari Engkau, ya Tuhan? Karena kalau aku mencari Engkau, Allahku, aku mencari kehidupan bahagia. Aku hendak mencari Engkau, supaya jiwaku hidup. Karena tubuhku hidup dalam jiwaku, dan jiwaku hidup dalam Engkau” (Agustinus, conf. 10,29).

“Allah sendiri memuaskan”/ God alone satisfies. (Tomas Aquinas, symb. 1)

Mengagungkan kesenangan dunia/ kesenangan daging malahan dikecam oleh Rasul Petrus (lih. 1 Ptr 2:11), Paulus (lih. Gal 5:19-21) dan Yohanes (lih. 1 Yoh 2:16). Jika dihubungkan dengan prinsipnya, hedonisme termasuk dalam dosa kerakusan, yaitu salah satu kebiasaan buruk yang menjadi dosa pokok (capital sin).

KGK 1866    Kebiasaan buruk dapat digolongkan menurut kebajikan yang merupakan lawannya, atau juga dapat dihubungkan dengan dosa-dosa pokok yang dibedakan dalam pengalaman Kristen menurut ajaran santo Yohanes Kasianus dan santo Gregorius Agung (Bdk. mor 31,45). Mereka dinamakan dosa-dosa pokok, karena mengakibatkan dosa-dosa lain dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang lain. Dosa-dosa pokok adalah kesombongan, ketamakan, kedengkian, kemurkaan, percabulan, kerakusan, kelambanan, atau kejemuan [acedia].

Demikian, semoga uraian di atas menjawab pertanyaan anda.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

The Golden Rule, Mat 7:12

6

Pertanyaan:

Mat 7:12″ Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. Ada yang mengatakan firman ini adalah peraturan Emas. Mohon penjelasan?

Lacius Dalius

Jawaban:

Shalom Lacius,

Memang Mat 7:12 yang mengatakan, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”, sering disebut peraturan emas/ the Golden Rule; mengingat bahwa prinsipnya sungguh sederhana namun begitu indah dan penting dalam membina hidup kebersamaan dengan sesama kita.

Berikut ini adalah keterangan yang saya terjemahkan dari penjelasan dalam The Navarre Bible:

“Peraturan emas ini memberikan kepada kita sebuah patokan untuk menyadari kewajiban kita terhadap sesama, dan kasih yang harus kita berikan kepada sesama. Namun demikian, jika diinterpretasikan secara superfisial, peraturan ini dapat menjadi peraturan yang egois. [Padahal] peraturan ini tidak berarti, “Saya memberi kamu sesuatu supaya kamu memberiku sesuatu”, tetapi bahwa kita harus berbuat baik kepada sesama tanpa pamrih: kita cukup pandai untuk tidak memberi batas dalam hal sebanyak apa kita mengasihi diri sendiri. Peraturan ini disempurnakan oleh “perintah Yesus yang baru” (lih. Yoh 13:34), ketika Ia mengajar kita untuk mengasihi sesama sebagaimana Ia telah mengasihi kita.” (The Navarre Bible, St. Matthew, Jose Maria Casciaro, ed.,(Dublin, Ireland: Four Courts Press, reprint 1993), p. 82)

Sedangkan penjelasan dari A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Orchard ed.  adalah:

“Peraturan emas (lih. Luk 6:31)- Pesan keseluruhan Kitab suci yang digenapi oleh Tuhan Yesus dirangkum dengan ini: Di dalam segala sesuatu yang menyangkut sesama (cinta kasih, pengampunan, dst) tolok ukur sikap yang terbaik bagi kita adalah perlakuan yang kita inginkan untuk kita terima (meskipun tidak/ belum kita terima) dari sesama kita. Hal ini menghilangkan keinginan yang kita miliki di dalam diri sendiri atau lebih tepatnya membaginya dengan sesama sehingga memperbaiki suatu keseimbangan. Injil Matius mengajarkan kasih kepada sesama yang melibatkan kasih kepada Tuhan sebagai motivasinya (lih. Mat 22:34-40). Untuk rumusan negatif tentang the Golden Rule, lihat Tob 4:15: “Apa yang tidak kausukai sendiri, janganlah kauperbuat kepada siapapun.”

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab