Home Blog Page 202

Doa Silih

4

Pertanyaan:

Trima kasih ,,,sangat berguna bagi saya

Tanya
1. Apa itu doa silih
2. Kapan dilakukan
3. contoh doa silih

Mohon jawabannya
Trima kasi….. Tuhan memberkati.

Theresia

Jawaban:

Shalom Theresia,

Silih (reparation) adalah “tindakan atau fakta memperbaiki kesalahan. Itu mencakup usaha untuk mengembalikan hal-hal kepada keadaan mereka yang normal atau baik, sebagaimana sebelum kesalahan dilakukan. Itu berkenaan terutama untuk mengganti rugi bagi kerugian/ kehilangan yang diderita atau kerusakan yang disebabkan oleh tindakan yang buruk secara moral. Berkenaan dengan Tuhan, silih berarti berusaha menyenangkanNya, dengan kasih yang lebih besar untuk kegagalan kasih karena dosa; silih berarti mengembalikan apa yang telah dengan tidak adil diambil dan mengganti/ menebus dengan kemurahan hati bagi keegoisan yang telah menyebabkan luka.”
(
Catholic Dictionary, ref: https://www.catholicculture.org/culture/library/dictionary/index.cfm?id=36047)

Selanjutnya tentang silih, berdasarkan keterangan dari link ini, silakan klik:

Silih (reparation) merupakan konsep teologis yang berkaitan dengan penebusan dan keadilan sehingga berkaitan dengan misteri terdalam dalam iman Kristiani. Iman Kristiani mengajarkan bahwa manusia telah jatuh dari keadaan asalnya (keadaan pada saat diciptakan), dan melalui penjelmaan Kristus, sengsara dan wafat-Nya, Ia telah menebus dan mengembalikan manusia kembali sampai ke tingkat tertentu keadaan asalnya tersebut. Meskipun Tuhan dapat saja mengampuni tanpa menghendaki keadilan (harga yang harus dibayar) dalam penebusan dosa manusia itu, namun kebijaksanaan-Nya tidak menentukan demikian. Ia menghendaki agar dipenuhi suatu keadilan, sesuatu yang harus dibayar untuk segala luka yang telah diperbuat oleh manusia kepada-Nya. Adalah baik bagi pendidikan manusia bahwa kesalahannya dapat berakibat bahwa sesuatu harus dilakukan untuk menebusnya. Dan penebusan ini telah dilakukan dengan adil kepada Allah Bapa, melalui penderitaan, wafat Kristus Sang Allah Putera yang menjelma menjadi manusia bagi kita. Dengan ketaatan yang dilakukan dengan sukarela untuk menderita dan wafat di kayu salib, Yesus Kristus menebus bagi kita ketidaktaatan dan dosa. Dengan demikian Ia membuat silih terhadap keagungan Tuhan yang telah terganggu oleh kekejaman manusia ciptaan-Nya. Kita dikembalikan kepada kondisi rahmat melalui jasa kematian Kristus, dan rahmat itu memampukan kita untuk menambahkan/ menggabungkankan doa- doa kita, perbuatan dan penderitaan kita kepada segala yang dialami oleh Kristus, seperti dikatakan oleh Rasul Paulus yang “menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” (Kol 1:24). Oleh karena itu kita dapat membuat silih demi keadilan Tuhan, bagi pelanggaran dosa kita sendiri, dan dengan adanya persekutuan para kudus yang tergabung dalam Tubuh Mistik Kristus, kita sebagai sesama anggota Kristus, dapat juga membuat silih bagi dosa- dosa sesama kita.

Misa Kudus, yaitu penghadiran kembali akan kurban Yesus oleh kuasa Roh Kudus, dipersembahkan untuk membuat silih dosa umat manusia. Katekismus mengajarkan:

KGK 1414     Sebagai kurban, Ekaristi itu dipersembahkan juga untuk pengampunan dosa orang-orang hidup dan mati (in reparation for the sins of the living and the dead) dan untuk memperoleh karunia rohani dan jasmani dari Tuhan.

Dengan demikian, dengan mengambil bagian di dalam kurban Ekaristi, kita mengambil pula bagian dalam kurban silih yang dilakukan Kristus demi menebus dosa umat manusia. Oleh karena itu, kita yang tergabung dalam Tubuh Mistik Kristus dapat juga mempersembahkan kepada Tuhan doa- doa silih, baik bagi pengampunan dosa- dosa kita sendiri, maupun bagi pengampunan dosa sesama, dan semuanya ini tentu mengambil sumber dari jasa pengorbanan Kristus.

Semoga penjelasan di atas menjawab pertanyaan anda tentang doa silih. Doa silih dapat dilakukan kapan saja, namun jika ingin dikaitkan dengan devosi tertentu, dapat dilakukan secara khusus setiap hari Jumat sepanjang tahun (yang  bertepatan dengan hari wafat Kristus), terutama pada setiap hari Jumat pertama setiap bulan, seperti yang dikatakan Kristus dalam wahyu pribadi St. Margaret Alacoque, tentang devosi kepada Hati Kudus Yesus. Contoh doa silih yang paling sempurna adalah Misa Kudus, selanjutnya adalah adorasi Sakramen Mahakudus, doa novena Hati Kudus Yesus, doa Koronka Kerahiman Ilahi, maupun doa- doa lainnya yang intinya mempersembahkan hidup kita dan doa pujian kepada Tuhan demi pengampunan dosa kita maupun dosa sesama kita.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Mengapa OMK perlu memahami imannya?

21

“Malu bertanya, sesat di jalan”

Pernahkah anda ‘nyasar‘ ketika sedang dalam perjalanan? Coba kita ingat- ingat, bagaimana rasanya, tentu tidak enak bukan? Bisa jadi kita sudah mempunyai peta ke tempat tujuan itu, tetapi karena satu dan lain hal, eh kita masih bisa kesasar di tengah jalan. Misalnya, jika kita terlalu asyik mengobrol dengan teman seperjalanan, tahu- tahu kita menikung, padahal seharusnya lurus. Jika ini yang terjadi, umumnya yang kita lakukan adalah bertanya kepada orang lain yang kita jumpai, agar kita memperoleh petunjuk tentang jalan mana yang harus kita tempuh agar sampai ke tujuan kita.

Dalam kehidupan kita di dunia, hal yang serupa juga terjadi. Sebab sesungguhnya hidup kita di dunia ini adalah perjalanan yang seharusnya menghantar kita ke tujuan akhir, yaitu kebahagiaan abadi di Surga. Oleh karena itu, tidak usah heran, bahwa di dalam hati setiap orang selalu ada keinginan untuk hidup bahagia. Jujur saja, bukankah semua orang, baik tua maupun muda, ingin bahagia? Tetapi, harus diakui, bahwa untuk mencapai kebahagiaan di dunia ini  gampang- gampang susah. Sebabnya adalah:  dunia di sekitar kita banyak menawarkan kebahagiaan yang palsu, yang sifatnya se-saat saja, seperti permen yang manis di luar, tetapi pahit di dalam. Sehingga ada banyak orang tertipu, dan akhirnya tidak bahagia.

Nah, supaya kita benar- benar bisa hidup bahagia, kita perlu petunjuk; dan petunjuk ini kita dapatkan dari Tuhan Yesus, yang masih terus hadir dan mengajar melalui Gereja yang didirikan-Nya, yaitu Gereja Katolik. Dengan menaati ajaran Gereja-Nya inilah kita pasti akan sampai kepada tujuan akhir kita, di mana kita akan mencapai puncak kebahagiaan yang kita rindukan, yaitu saat kita bersatu dengan Tuhan dan memandang wajah-Nya yang sesungguhnya (lih. 1 Yoh 3:2). Dunia ini boleh memberikan banyak tawaran, supaya kita lengah dan menyimpang dari tujuan akhir itu, tetapi jika kita tetap berpegang kepada ajaran iman kita yang kita peroleh dari Gereja-Nya, maka kita punya pengharapan yang besar, kita tidak akan nyasar, atau jika sekalipun nyasar, maka segera dapat kembali menemukan jalan yang benar.

Semua orang ingin hidup bahagia

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan kepada kita bahwa keinginan untuk hidup bahagia itu berasal dari Tuhan (lih. KGK 1718). Tuhanlah yang menanamkan keinginan tersebut di dalam hati setiap orang, supaya kita dapat datang mendekat kepada-Nya, sebab hanya Tuhan satu- satunya yang dapat memenuhi kebahagiaan itu dengan sempurna. Ada semacam kata- kata mutiara, yang ditulis oleh St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas, yang berbunyi demikian:

Kita semua ingin hidup bahagia; di keseluruhan umat manusia, tidak ada seorangpun yang tidak setuju dengan pendapat ini, bahkan sebelum keinginan ini sepenuhnya tercapai. ((St. Agustinus, De moribus eccl. 1,3,4: PL 32, 1312)).

Lalu, bagaimana bisa terjadi, bahwa aku mencari Engkau, ya Tuhan? Sebab dengan mencari Engkau, Tuhanku, aku mencari kebahagiaan hidup… ((St. Agustinus, Confessions, 10, 20: PL 32, 791)).

Tuhan sendirilah yang memuaskan- God alone satisfies. ((St. Thomas Aquinas, Expos. in symb. apost. I ))

Jangan memakai resep sendiri, tetapi pakailah resep Tuhan

Meskipun kita tahu bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya hanya diperoleh di dalam Tuhan, ada banyak orang berusaha mencari dan menentukan sendiri kebahagiaannya. Mungkin bagi orang muda, kebahagiaan disamakan dengan jalan- jalan bersama teman- teman, main game yang seru di komputer, sukses di sekolah maupun di pekerjaan, bisa berpenampilan OK, atau dapat pacar yang keren. Lalu, bagaimana jika semua itu tidak kita peroleh, apakah lalu kita punya alasan untuk tidak bahagia? Apakah kita akan kehilangan jati diri karenanya? Kabar baik yang Tuhan beri kepada kita adalah: kita tidak perlu takut kehilangan jati diri. Sebab kita semua diciptakan oleh Tuhan secara istimewa menurut gambaran-Nya (lih. Kej 1:26). Coba sejenak kita bayangkan seseorang yang paling mengasihi kita di dunia ini…. Nah, kasih Tuhan jauh melebihi kasih orang itu kepada kita. Buktinya, Tuhan bukan saja mengaruniakan banyak hal kepada kita dan mengabulkan permohonan kita, tetapi, lebih daripada itu: Ia menyerahkan Putera-Nya yang Tunggal demi menyelamatkan kita.

Ya, kita semua dikasihi-Nya dengan luar biasa, sehingga Allah Bapa mengutus Yesus Putera-Nya yang Tunggal untuk menjadi manusia dan wafat bagi kita, supaya oleh Dia, dosa- dosa kita diampuni dan kita semua dapat diangkat untuk menjadi anak- anak-Nya. Kasih Tuhan inilah yang menghendaki agar kita dapat bersatu dengan-Nya, baik di dunia ini, maupun di surga kelak. Oleh karena itu, kebahagiaan yang sesungguhnya sebenarnya tidak terbatas pada apa- apa yang dapat kita lihat dan rasakan di dunia ini, tetapi terutama adalah yang berkaitan dengan kehidupan kekal di surga kelak. Yesus bersabda, “….carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat 6:33). Tuhanlah yang menciptakan kita dan terlebih dahulu mengasihi kita; oleh karena itu wajarlah jika Ia ingin agar kita mengenal dan mengasihi-Nya juga. Karena kasih-Nya, Ia ingin agar kita hidup bahagia, maka jika kita ingin benar- benar bahagia, kita harus memperhatikan ‘resep‘ yang diberikan Tuhan ini, yaitu yang pertama- tama kita harus mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya. Resep berikutnya dari Tuhan adalah: sesungguhnya Ia menghendaki agar semua orang dapat masuk ke dalam Kerajaan-Nya (lih. 1 Tim 2:4). Jadi sudah menjadi kehendak Tuhan agar kita membagikan Kabar Gembira ini kepada orang- orang di sekitar kita, agar merekapun dapat masuk dalam Kerajaan-Nya.

Semua orang dipanggil untuk masuk dalam Kerajaan Allah

Setiap orang dipanggil Allah untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya (lih. KGK 543). Walaupun pertama- tama kabar ini diberikan kepada bangsa Israel, tetapi sesungguhnya Kerajaan ini dimaksudkan Allah untuk menerima semua bangsa. Untuk masuk ke dalam Kerajaan ini, pertama- tama kita harus menjadi anak-anak Allah, yang ‘dilahirkan kembali dari Allah’ (lih. KGK 526). Kelahiran kembali di dalam Tuhan Yesus kita peroleh dalam sakramen Baptis. Selanjutnya, kita harus menerima sabda Yesus dengan iman, dan dengan demikian kita menjadi seperti tanah gembur yang menerima benih, sehingga kelak menghasilkan buah yang banyak (lih. Lumen Gentium 5, Mrk 4:14, 26-29, Luk 12:32).

‘Buah yang banyak’ ini juga dijanjikan oleh Yesus kepada semua orang yang tinggal di dalam Dia (lih. Yoh 15:4-5). Artinya, jika kita ingin membuat hidup ini berarti dan membawa manfaat bagi diri kita dan orang lain, maka kita perlu hidup bersama Yesus, dan tinggal di dalam Dia, seperti ranting- ranting pohon yang bersatu dengan batang pohon. Nah, untuk itu kita perlu bertanya kepada diri kita: sejauh mana kita sebagai ranting- ranting Kristus bersatu dengan Dia, di dalam doa, membaca, merenungkan dan melaksanakan Sabda-Nya, dan dalam menerima sakramen- sakramen-Nya? Sejauh mana kita hidup saling mengasihi dengan sesama saudara di dalam Kristus?

Siapa yang memegang kunci Kerajaan Allah

Sabda Allah memberitahukan kepada kita bahwa di awal kehidupan-Nya di muka umum, Yesus memilih dua belas rasul untuk mengambil bagian dalam perutusan-Nya (lih. Mrk 3:13-19). Kristus memperbolehkan mereka mengambil bagian dalam kuasa-Nya dan mengutus mereka untuk memberitakan Kerajaan Allah dan kebenarannya, dan menyembuhkan orang sakit (lih. Luk 9:2). Melalui mereka dan para penerus merekalah Kristus memimpin Gereja-Nya. Maka, tak mengherankan, jika Sabda Tuhan mengajarkan, bahwa tiang penopang dan dasar kebenaran adalah Gereja, yaitu jemaat Allah yang hidup (lih. 1 Tim 3:15). Jangan lupa, bahwa Kristus telah memilih Rasul Petrus sebagai pemimpin Gereja-Nya, “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat 16:18-19). Jadi, kita ketahui bahwa Kristus telah memberikan kunci Kerajaan Allah ini kepada Rasul Petrus (lih. Mat 16:19), dan dengan demikian mempercayakan kepemimpinan jemaat-Nya di dunia ini kepada Rasul Petrus. Kuasa ‘mengikat dan melepaskan’ adalah kuasa mengajar umat-Nya yang diberikan kepada para rasul (lih. Mat 18:18) demikian pula dalam hal pengampunan dosa (lih. Yoh 20:21-23), namun terutama kepada Rasul Petrus, sebagai pemimpin para rasul.

Jika kita merenungkan hal ini, maka kita akan mengetahui bahwa Kristus mendirikan satu Gereja (jemaat), dan menghendaki agar jemaat-Nya bersatu di bawah pimpinan Rasul Petrus dan para rasul. Sebab Tuhan Yesus menghendaki agar Gerejanya tetap ada sampai akhir zaman (lih. Mat 28:19-20), maka kepemimpinan Rasul Petrus dan para rasul ini juga terus berlangsung melalui para penerus mereka sampai akhir zaman. Nah, sekarang, Gereja (jemaat) manakah yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus? Jawabnya lugas dan sederhana: Gereja Katolik. Gereja Katolik sekarang dipimpin oleh Paus Benediktus XVI, yang merupakan penerus Rasul Petrus, yang jika diurut dari Rasul Petrus, menempati urutan ke 266.

Mengalami Kerajaan Allah di dunia ini di dalam Gereja Katolik

Maka dengan menjadi Katolik, kita sesungguhnya sangat diberkati oleh Tuhan. Betapa tidak, kita termasuk di dalam anggota Gereja yang didirikan oleh Tuhan Yesus sendiri! Kita menerima kepenuhan rahmat Allah yang dijanjikan Tuhan Yesus melalui kehadiran-Nya di dalam Gereja-Nya. Dengan kehadiran-Nya ini, Kerajaan Allah sudah dapat kita alami di dunia ini. Sebab di mana Yesus meraja, di sanalah hadir pula Kerajaan-Nya yang tak terpisahkan dari-Nya. Kristus meraja dalam Gereja-Nya, dalam pewartaan Sabda-Nya, dalam sakramen- sakramen-Nya secara khusus dalam Ekaristi. Ekaristi merupakan cara yang unik yang dikehendaki-Nya, untuk tetap hadir di tengah- tengah Gereja-Nya. Jadi setiap kita menyambut Ekaristi, kita menyambut Yesus dan Kerajaan-Nya (lih. KGK 1380). “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” (Luk 22:19; 1 Kor 11:24) demikian pesan Yesus kepada para rasul-Nya. Jika kita menghayati makna ini, kita tidak akan malas ataupun terpaksa ikut perayaan Ekaristi/ Misa.

Dalam Ekaristi, Kerajaan Allah bukan saja hanya dekat, tetapi malah menghampiri dan bersatu dengan kita. Saat kita menerima Ekaristi, Kerajaan Allah hadir di dalam kita di sini dan sekarang (‘here and now’), yang merupakan gambaran jaminan kemuliaan Kerajaan Surgawi yang akan datang (lih. KGK 1402, 1419)  Ekaristi memampukan kita untuk tinggal di dalam kasih dan berbuat kasih, sehingga dengan demikian kita dapat menjadi saksi yang hidup tentang kehadiran Kerajaan Allah di dunia ini. Nah, mari kita memeriksa sikap dan perbuatan kita sehari- hari: Sudahkah kita melakukan panggilan Tuhan ini, yaitu untuk menyambut-Nya dalam Ekaristi dan menjadi saksi akan kasih Allah yang kita terima? Bagaimana sikap kita terhadap orang tua, kakak, adik, teman, guru, pembantu dan orang- orang di sekitar kita? Sebab setelah menerima benih kasih dan Firman Allah di dalam hati kita, kitapun dipanggil Allah untuk turut bekerja sama dengan Dia menaburkan benih tersebut di dalam hati sesama. Dengan demikian kasih Tuhan dan Kerajaan-Nya dapat dialami oleh semakin banyak orang, dan semakin banyak orang memuliakan nama-Nya.

Kesimpulan: Mari mendalami iman Katolik

Jika kita menyadari bahwa Kristus hadir di tengah- tengah kita sebagai anggota Gereja-Nya, maka hal yang harus kita lakukan selanjutnya adalah bagaimana kita mensyukurinya, menghayatinya dan mewartakannya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa kalau kita ‘tak kenal maka tak sayang’. Bukankah ini sungguh benar? Jika kita mau menghayati kehadiran Kristus, mengalami Kerajaan-Nya yang hadir di dalam hati kita dan di dalam Gereja-Nya, maka pertama- tama kita perlu mengenal atau mengetahui iman Katolik sehingga kita dapat mengasihinya. Sebab Kristus hanya mendirikan satu Gereja, dan Gereja-Nya itu didirikan di atas Rasul Petrus (Mat 16:18), yang diberi kuasa oleh Kristus untuk ‘mengikat dan melepaskan’ (lih. Mat 16:19), artinya untuk mengajar dan memimpin umat-Nya. Dengan demikian, jika kita ingin sungguh- sungguh mengalami Kristus yang hadir di tengah kita dan mengajar kita, maka kita perlu mendengarkan ajaran Gereja Katolik. Selanjutnya, yang terpenting adalah bukan hanya sekedar mendengarkan, namun juga mempelajarinya dan melaksanakannya. Dengan demikian, kita dapat sungguh- sungguh hidup dan tinggal di dalam Kristus, yang menjadikan hidup kita menghasilkan buah yang limpah. Di dalam Kristus kita tidak akan tersesat, melainkan kita akan menemukan arti hidup dan mencapai tujuan hidup kita, yaitu kebahagiaan sejati. Inilah alasannya mengapa kita semua, terutama kaum muda, perlu memahami ajaran iman kita. Jangan menunggu sampai umur kita sudah lanjut baru mau mempelajari iman kita. Mari memberikan yang terbaik kepada Tuhan, yaitu: kasih kita kepada-Nya, sejak masa muda kita, dan seterusnya!

Appendix

KGK 1718 Sabda bahagia sesuai dengan kerinduan kodrati akan kebahagiaan. Kerinduan ini berasal dari Allah. Ia telah meletakkannya di dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diri-Nya, karena hanya Allah dapat memenuhinya….

KGK 526 “Menjadi anak” di depan Allah adalah syarat untuk masuk ke dalam Kerajaan surga (Bdk. Mat 18:3-4). Untuk itu, orang harus merendahkan diri (Bdk. Mat 23:12), menjadi kecil; lebih lagi: orang harus “dilahirkan kembali” (Yoh 3:7), “dilahirkan dari Allah” (Yoh 1:13), supaya “menjadi anak Allah” (Yoh 1:12).

KGK 543 Semua orang dipanggil supaya masuk ke dalam Kerajaan. Kerajaan mesianis ini pertama-tama diwartakan kepada anak-anak Israel (Bdk. Mat 10:5-7), tetapi diperuntukkan bagi semua orang dari segala bangsa (Bdk. Mat 8:11; 28:19). Siapa yang hendak masuk ke dalam Kerajaan itu, harus menerima sabda Yesus.
“Memang, sabda Tuhan diibaratkan benih, yang ditaburkan di ladang (lih. Mrk 4:14); mereka yang mendengarkan sabda itu dengan iman dan termasuk kawanan kecil Kristus (lih. Luk 12:32), telah menerima Kerajaan itu sendiri. Kemudian benih itu bertunas dan bertumbuh atas kekuatannya sendiri hingga waktu panen (lih. Mrk 4:26-29)” (Lumen Gentium 5).

KGK 1380 Adalah sangat layak bahwa Kristus hendak hadir di dalam Gereja-Nya atas cara yang khas ini. Karena Kristus dalam rupa yang kelihatan [saat itu hendak] meninggalkan mereka yang menjadi milik-Nya, maka Ia hendak memberi kepada kita kehadiran sakramenal-Nya; karena [saat itu hendak] Ia menyerahkan diri di salib untuk menyelamatkan kita, Ia menghendaki bahwa kita memiliki tanda kenangan cinta-Nya terhadap kita, yang dengannya mengasihi kita “sampai kesudahannya” (Yoh 13:1), bahkan sampai kepada menyerahkan hidup-Nya. Di dalam kehadiran-Nya dalam Ekaristi, Ia tinggal dengan cara yang rahasia di tengah kita sebagai Dia, yang telah mengasihi kita dan telah menyerahkan diri untuk kita (Bdk. Gal 2:20), dan Ia hadir di dalam tanda-tanda yang menyatakan dan menyampaikan cinta kasih ini.

“Gereja dan dunia sangat membutuhkan penghormatan kepada Ekaristi. Di dalam Sakramen cinta ini Yesus sendiri menantikan kita. Karena itu, tidak ada waktu yang lebih berharga daripada menemui Dia di sana: dalam penyembahan, dalam kontemplasi dengan penuh iman, dan siap untuk memberi silih bagi kesalahan besar dan ketidakadilan yang ada di dunia. Penyembahan kita tidak boleh berhenti” (Yohanes Paulus II, surat Dominicae cenae, 3).

KGK 1402 Di dalam satu doa tua Gereja memuji misteri Ekaristi: “O perjamuan kudus, di mana Kristus adalah santapan kita; kenangan akan sengsara-Nya, kepenuhan rahmat, jaminan kemuliaan yang akan datang”. Karena Ekaristi adalah upacara peringatan Paska Tuhan, dan karena kita, oleh “keikutsertaan kita pada altar… dipenuhi dengan semua rahmat dan berkat surgawi” (MR, Doa Syukur Agung Romawi 96), maka Ekaristi adalah juga antisipasi kemuliaan surgawi.

KGK 1419 Oleh karena Kristus telah pergi dari dunia ini kepada Bapa-Nya, maka dalam Ekaristi, Ia memberi kepada kita jaminan akan kemuliaan-Nya yang akan datang. Keikutsertaan dalam kurban kudus membuat hati kita menyerupai hati-Nya, menopang kekuatan kita dalam peziarahan hidup ini, membuat kita merindukan kehidupan abadi, serta menyatukan kita sekarang ini dengan Gereja surgawi, Perawan Maria yang kudus, dan dengan semua orang kudus.

Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium 9:

“Sesungguhnya akan tiba saatnya – demikianlah firman Tuhan, – Aku akan mengikat perjanjian baru dengan keluarga Israel dan keluarga Yuda … (Yer 31:31-34). Perjanjian baru itu diadakan oleh Kristus, yakni wasiat baru dalam darah-Nya (lih. 1Kor 11:25). Dari bangsa Yahudi maupun non- Yahudi, Ia memanggil suatu bangsa, yang akan bersatu padu bukan menurut daging, melainkan dalam Roh, dan akan menjadi umat Allah yang baru. Sebab mereka yang beriman akan Kristus, yang dilahirkan kembali bukan dari benih yang punah, melainkan dari yang tak dapat punah karena sabda Allah yang hidup (lih. 1Ptr 1:23), bukan dari daging, melainkan dari air dan Roh kudus (lih. Yoh 3:5-6), akhirnya dihimpun menjadi “keturunan terpilih, imamat rajawi, bangsa suci, umat pusaka – yang dulu bukan umat, tetapi sekarang umat Allah”(1Ptr 2:9-10).

Kepala umat masehi itu Kristus, “yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan demi pembenaran kita” (Rom 4:25), dan sekarang setelah memperoleh nama – berdaulat dengan mulia di sorga. Kedudukan umat itu ialah martabat dan kebebasan anak-anak Allah. Roh kudus diam di hati mereka bagaikan dalam kenisah. Hukumnya adalah perintah baru untuk mengasihi, seperti Kristus sendiri telah mengasihi kita (lih. Yoh 13:34). Tujuannya [adalah] Kerajaan Allah, yang oleh Allah sendiri telah dimulai di dunia, untuk selanjutnya disebarluaskan, hingga Ia membawanya mencapai kesempurnaan pada akhir jaman, ketika Kristus, hidup kita, menampakkan diri (lih. Kol 3:4), dan “makhluk sendiri akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan memasuki kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Rom 8:21). Oleh karena itu umat masehi, meskipun kenyataannya tidak merangkum semua orang, dan tak jarang nampak sebagai kawanan kecil, namun bagi seluruh bangsa manusia merupakan benih kesatuan, harapan dan keselamatan yang kuat. Terbentuk oleh Kristus sebagai persekutuan hidup, cinta kasih dan kebenaran, umat itu oleh-Nya diangkat juga menjadi upaya penebusan bagi semua orang, dan diutus ke seluruh bumi sebagai cahaya dan garam dunia (lih. Mat 5:13-16).

Ef 5:16, “Redeeming the time”

3

Pertanyaan:

Bapak Pengasuh Katolisitas

Mohon tanya apakah Efesus 5 : 16 yang di dalam bahasa Ingris ditulis “Redeeming the time” apakah di dalam bahasa aslinya berarti “Tebus waktu” ?
Kalau memang benar : Apakah artinya tebus waktu tersebut dan bagaimana caranya menebus waktu ?

Tx / S.Ginting

Jawaban:

Shalom S. Ginting,

Ef 5:16 mengatakan, “pergunakan waktu yang ada, karena hari- hari ini adalah jahat.”

Dalam Douay Rheims Bible dan King James Version, memang tertulis, “redeeming the time….” Namun istilah ini adalah semacam idiom, sehingga tidak untuk diterjemahkan literal sebagai ‘menebus waktu/ tebus waktu’. Dalam kitab Revised Standard Version (RSV) dan New American Bible (NAB) artinya lebih jelas, “making the most of the time ….”

Demikian adalah penjelasan yang saya peroleh dari The Navarre Bible, Captivity Epistles:

“Ketika kehidupan seseorang sesuai (koheren) dengan imannya, maka hasilnya adalah kebijaksanaan sejati; dan inilah yang langsung memimpinnya untuk mempergunakan waktu yang ada semaksimal mungkin (‘make the most of the time‘, atau ‘redeeming the time‘). Faktanya, kita harus memperbaiki waktu- waktu yang terbuang percuma. St. Agustinus menjelaskan, bahwa redeeming the time “berarti berkorban saat adanya kebutuhan, menghadirkan perhatian- perhatian yang terarah kepada hal- hal yang bersifat kekal, dan dengan demikian memperoleh kekekalan dengan koin waktu (St. Agustinus, Sermon 16, 2).

Kata kairos, yang diterjemahkan sebagai ‘waktu’, mempunyai arti yang khusus dalam bahasa Yunani. Kata itu mengacu kepada isi waktu tertentu yang di dalamnya kita menemukan diri sendiri, kondisi yang diciptakannya, dan kesempatan- kesempatan yang merupakan saat- saat yang menawarkan maksud yang tertinggi/ final dari kehidupan ini. Sehingga ‘menggunakan waktu yang ada/ making the most of the time‘ adalah bukan sekedar ‘tidak membuang- buang waktu’; tetapi berarti ‘mempergunakan setiap keadaan dan setiap saat’ untuk memberi kemuliaan kepada Tuhan. Sebab “waktu adalah harta yang meleleh,” demikian dikatakan oleh Monsinyur Escriva. “Waktu berlalu dari kita, meluncur melalui jari- jari kita seperti air melalui batu- batu pegunungan. Hari esok akan segera menjadi hari kemarin. Kehidupan kita sangatlah pendek. Hari kemarin telah berlalu dan hari ini sedang lewat. Tetapi betapa besar yang dapat dilakukan demi kasih kepada Tuhan, di dalam ruang waktu yang singkat ini!” (Jose Maria Escriva, Friends of God, 52, seperti dikuti di The Navarre Bible, Captivity Epistles, Jose Maria Casciaro, (Dublin, Ireland: Four Cour Press, 1996, reprinted), p. 86-87).

Demikian tanggapan saya, semoga Tuhan membimbing kita agar menggunakan waktu di dalam hidup kita yang singkat ini untuk menjadikannya bermakna bagi kehidupan kekal, demi kemuliaan Tuhan kita.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Kerajaan Sorga Seumpama Harta, Mutiara, dan Pukat

3

I. Kerajaan Sorga adalah segalanya.

Pada minggu ke-17 tahun A ini, Gereja memberikan bacaan tiga perumpamaan terakhir tentang Kerajaan Sorga, yang diumpamakan seperti seorang yang menjual segala yang dia punyai demi memiliki harta dan mutiara yang berharga. Dengan demikian kita melihat bahwa Kerajaan Sorga adalah sesuatu yang sudah seharusnya menjadi fokus utama dan tujuan dari kehidupan kita. Hal-hal yang lain dianggap sebagai kurang penting, atau dengan kata lain, hal-hal yang bersifat kekal seharusnya dipandang lebih utama daripada hal-hal yang sementara.

II. Telaah Matius 13:44-52

44.  “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu.
45.  Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah.
46.  Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu.”
47.  “Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama pukat yang dilabuhkan di laut, lalu mengumpulkan berbagai-bagai jenis ikan.
48.  Setelah penuh, pukat itupun diseret orang ke pantai, lalu duduklah mereka dan mengumpulkan ikan yang baik ke dalam pasu dan ikan yang tidak baik mereka buang.
49.  Demikianlah juga pada akhir zaman: Malaikat-malaikat akan datang memisahkan orang jahat dari orang benar,
50.  lalu mencampakkan orang jahat ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi.
51.  Mengertikah kamu semuanya itu?” Mereka menjawab: “Ya, kami mengerti.”
52.  Maka berkatalah Yesus kepada mereka: “Karena itu setiap ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya.”

Dari ayat-ayat di atas, maka kita melihat bahwa di bagian pertama, Kristus memberikan dua perumpamaan tentang Kerajaan Allah, yaitu: (a) seperti harta yang terpendam di ladang (ay.44), (b) pedagang yang mencari mutiara yang indah. (ay.45-46) Di bagian kedua, Kristus memberikan perumpamaan lain, bahwa Kerajaan Sorga adalah seumpama pukat yang dilabuhkan ke laut, dan berbagai jenis ikan dikumpulkan dan ditangkap (ay.47-48), yang kemudian dijelaskan artinya sebagai akhir zaman, di mana yang baik akan mendapatkan kehidupan kekal di Sorga dan yang jahat akan mendapatkan ganjarannya di neraka (ay. 49-50). Dan di ayat 51-52 dijelaskan bahwa para murid juga menerima perutusan untuk menjaring manusia dengan mewartakan Injil.

III. Interpretasi ayat Matius 13:44-52

1. Tujuh perumpamaan tentang Kerajaan Sorga

Kalau kita melihat dalam konteks yang lebih luas dari ayat Matius 13:44-52, maka dalam Matius 13, kita menemukan adanya tujuh perumpamaan tentang Kerajaan Sorga, yang terdiri dari: (a) perumpamaan tentang seorang penabur, (b) perumpamaan tentang lalang di antara gandum, (c) perumpamaan tentang biji sesawi, (d) perumpamaan tentang ragi, (e) perumpamaan tentang harta terpendam, (f) perumpamaan tentang mutiara yang indah, (g) perumpamaan tentang pukat. Dalam perumpamaan tentang seorang penabur yang menaburkan benih ke pinggir jalan, tanah berbatu, semak berduri dan tanah yang subur, Kristus ingin menunjukkan kondisi. Kondisi yang memungkinkan seseorang menerima Kerajaan Sorga adalah dengan menjadikan diri kita untuk menjadi tanah yang gembur, sehingga Sabda Allah dapat bertumbuh dan berbuah seratus kali, enam puluh kali atau tiga puluh kali lipat. Dalam perumpamaan tentang lalang di antara gandum, Kristus ingin menekankan bahwa kondisi yang baik agar Sabda Allah bertumbuh tidaklah cukup, namun diperlukan sikap yang senantiasa berjaga-jaga. Perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi menunjukkan kekuatan dan keefektifan Kerajaan Allah, yaitu dapat bertumbuh sangat pesat dan luar biasa mulai dari hal yang sangat kecil. Perumpamaan tentang harta dan mutiara menunjukkan harga yang harus dibayar untuk memperoleh Kerajaan Sorga. Dan akhirnya perumpamaan tentang pukat mengulangi perumpamaan tentang lalang di antara gandum, yang menceritakan akhir zaman, di mana para malaikat akan memisahkan yang jahat dari yang  baik/benar, serta memberikan hukuman bagi orang yang jahat di neraka dan memberikan anugerah keselamatan bagi umat Allah yang setia sampai akhir. Dengan demikian, maka kita melihat bagaimana tujuh perumpamaan tentang Kerajaan Sorga memberikan gambaran akan kondisi, syarat, kekuatan dan keefektifan, harga yang harus dibayar, dan kebahagiaan yang didapat atau penderitaan kalau tidak mendapatkannya. Ke-tujuh perumpamaan ini sungguh luar biasa dan melengkapi satu sama lain, sehingga umat Allah semakin disadarkan bahwa Allah sungguh-sungguh menginginkan agar semua manusia dapat memperoleh kebahagiaan sejati di Sorga dan memperoleh pengetahuan sejati akan kebenaran. (1Tim 2:4)

2. Harta di ladang, harta yang terpendam (ay.44)

Perumpamaan pertama dalam perikop minggu ke-17 tahun A ini menceritakan bahwa Kerajaan Allah seumpama seseorang yang menemukan harta di ladang, menguburkannya kembali, dan dengan sukacita menjual seluruh harta miliknya untuk membeli ladang itu. Dalam Catena Aura, St. Thomas Aquinas mengutip St. Krisostomus yang mengatakan bahwa pemberitaan Injil adalah tersembunyi di dalam dunia ini. St. Hieronimus mengatakan bahwa harta yang tersimpan adalah Allah sendiri yang tersembunyi dalam kemanusiaan Kristus atau Kitab Suci yang membuka pengetahuan akan Sang Penyelamat.

Di ayat ini dikatakan bahwa seseorang “menemukan”. Menemukan mempunyai konotasi tidak sengaja atau tiba-tiba. Seseorang dapat saja menemukan harta terpendam melalui kejadian-kejadian yang tidak disangka-sangka, seperti: dalam penderitaan seseorang menemukan makna hidup dan Kristus; tiba-tiba merasa kosong dalam hidup, yang menuntun pada penemuan jati diri melalui Sabda Allah, dll. Orang tersebut tidak membayar ketika menemukan harta tersebut, namun harta tersebut mempunyai harga yang sangat mahal untuk dimiliki. Namun, karena harta tersebut sungguh sangat berharga melebihi segalanya, maka orang tersebut dengan sukacita menjual seluruh miliknya demi dapat memiliki harta tersebut. Dan memang menemukan Kristus dan menjalin hubungan yang intim dengan Kristus jauh lebih berharga dari apapun.

St. Agustinus menjelaskan bahwa ada empat obyek kasih manusia, yaitu: sesuatu di atas kita, kita sendiri, sesuatu yang sederajat dengan kita dan sesuatu di bawah kita. Karena mencintai diri sendiri adalah merupakan kodrat manusia dan adalah cukup jelas bahwa seseorang tidak seharusnya mencintai sesuatu yang di bawahnya, maka tidak banyak perintah tentang dua hal ini. Namun, di dalam Alkitab disebutkan banyak sekali ayat-ayat untuk mengasihi sesama kita dan terutama untuk mengasihi Tuhan, yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan (lih. Mat 22:37-40). Dengan demikian, kalau seseorang telah menemukan Tuhan, maka dengan segala risikonya dia harus menempatkan Tuhan di atas segalanya, karena memang hanya Tuhanlah yang berharga untuk dikasihi dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan kita. Apapun yang kita punyai prioritasnya harus di bawah Tuhan, karena Tuhan adalah segalanya dan apapun yang kita punyai adalah milik Tuhan. “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat 6:21; Luk 12:34).

3. Mutiara yang indah dan tak ternilai (ay.45-46)

Perumpamaan kedua yang diberikan oleh Yesus tentang Kerajaan Sorga adalah seperti seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah (ay.45) dan setelah menemukannya, dia menjual seluruh hartanya. Di sini ditekankan bahwa Kerajaan Sorga bukan hanya merupakan harta (ay.44), namun juga sesuatu yang indah. Keindahan Kerajaan Sorga ini harus dicari, seperti seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Melalui nabi Yeremia, Tuhan mengatakan “13 apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, 14 Aku akan memberi kamu menemukan Aku” (Yer 29:13-14). Bagi kita yang telah menerima Sakramen Baptis, maka sesungguhnya, kita telah menemukan mutiara yang indah. Namun, belum tentu semua orang yang dibaptis menjalankan hal yang kedua, yaitu menjual seluruh harta miliknya untuk membeli maupun mempertahankan mutiara yang indah. Apakah benar-benar maksudnya menjual seluruh harta miliknya demi mendapatkan Kristus secara penuh? Banyak santa dan santo yang melakukannya, dan para pastor dan suster juga menjalankannya. Bagaimana dengan orang-orang yang berkeluarga, hidup dalam dunia bisnis? Kita dapat menjalankan satu sikap yang juga diajarkan Kristus untuk dapat juga memiliki mutiara yang indah atau Kerajaan Sorga, yaitu sikap miskin di hadapan Allah (lih. Mat 5:3). Orang yang miskin di hadapan Allah senantiasa melihat bahwa harta, kekuasaan, kedudukan dan apapun yang dimilikinya adalah merupakan karunia Tuhan. Dan semuanya ditempatkan dengan semestinya, yaitu sebagai sesuatu yang digunakan (bukan dicintai) untuk semakin memperbesar Kerajaan Allah.

4. Pukat yang menangkap ikan yang baik dan yang tidak baik (ay.47-50)

Yesus memberikan perumpamaan terakhir tentang Kerajaan Sorga seperti pukat yang dilabuhkan ke laut, yang mengumpulkan semua jenis ikan, yang baik maupun yang tidak baik. Pukat ini tidak seperti jaring biasa. Pukat yang dipakai adalah dragnet, yang merupakan alat penangkap ikan, dengan panjang sekitar 400m (1/4 miles) dengan ketinggian sekitar 3 meter. Pukat ini biasanya ditarik oleh dua perahu, dengan masing-masing perahu memegang kedua ujung pukat. Karena ada pemberat, maka pukat ini dapat tenggelam mencapai dasar. Karena ditarik oleh perahu yang berbeda, maka pukat ini dapat mengambil semuanya dalam jangkauannya dan kemudian para nelayan menarik kedua ujung pukat ke daratan. Setelah itu, kaum nelayan di daratan, kemudian menarik pukat itu bersama-sama. Pukat akan dipenuhi dengan berbagai macam jenis ikan, yang baik dan yang tidak baik.

Ini merupakan pararel dari perumpamaan tentang lalang dan gandum. Kalau Yesus menjelaskan bahwa ladang adalah dunia (ay.38), maka dalam perumpamaan tentang pukat, lautan adalah dunia, serta pukat adalah Gereja. Sama seperti pukat harus ditebarkan ke tempat yang dalam, maka Gereja harus juga mewartakan Kristus ke tempat yang dalam atau Duc in Altum. Dan setelah penuh, maka pukat tersebut diseret ke pantai dan orang-orang kemudian memilih ikan yang baik dan membuang ikan yang tidak baik. Ini menggambarkan tentang akhir zaman, di mana para malaikat akan memisahkan manusia yang baik dari ikan yang tidak baik.  Dan bagi orang yang jahat akan mendapatkan ganjarannya di dalam neraka (ay.50).

Perumpamaan ini juga menceritakan bahwa di dalam pukat tertangkap ikan yang baik dan yang tidak baik, sama seperti di dalam Gereja terdiri dari orang kudus dan pendosa. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 867) menuliskannya sebagai berikut:

Gereja adalah kudus: Roh Kudus adalah asalnya; Kristus, Mempelainya, telah menyerahkan Diri untuknya, untuk menguduskannya; Roh kekudusan menghidupkannya. Memang orang berdosa juga termasuk di dalamnya, tetapi ia [Gereja] adalah “yang tak berdosa, yang terdiri dari orang-orang berdosa”. Dalam orang-orang kudusnya terpancar kekudusannya; di dalam Maria ia sudah kudus secara sempurna.

5. Perutusan (ay.51-52)

Setelah Yesus mengatakan perumpamaan tersebut, maka Yesus berpaling kepada para murid dan bertanya mengertikah kamu semuanya itu? Dengan kata lain, mengertikah kamu, bahwa ketika engkau Kupanggil, Aku akan menjadikan engkau penjala manusia? (lih. Mat 4:9; Mrk 1:17). Di ayat ke 52 Yesus melanjutkan tugas perutusan ini dengan mengatakan “Karena itu setiap ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya.” Menggunakan fungsi ahli taurat, yang bertugas mengajar, maka Yesus menerapkan tugas ini kepada para murid dan diteruskan oleh Paus dan para uskup dibantu oleh para imam. Dan sebagai pengajar, maka mereka juga harus menjaga keharmonisan antara harta yang lama dan harta yang baru, atau Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – seperti yang diinterpretasikan oleh St. Agustinus. Namun, tugas perutusan untuk mewartakan Kerajaan Sorga bukan hanya diberikan kepada paus, para uskup dan para imam, namun juga kepada semua umat Allah yang telah dibaptis.

IV. Pemberian diri untuk membangun Kerajaan Sorga

Dari uraian di atas, maka kita dapat melihat bahwa Kerajaan Sorga adalah begitu berharga dan begitu indah. Tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk mendapatkan Kerajaan Sorga. Oleh karena itu, kita harus mohon rahmat Allah dan karunia keberanian, sehingga kita berani untuk mengorbankan segalanya bagi Tuhan. Kita harus bersama-sama mengatakan apa yang dituliskan oleh Rasul Paulus “7 Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. 8  Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Fil 3:7-8). Kita juga ingin mengikuti St. Agustinus, yang mengatakan bahwa kita harus menukar segala yang kita punya untuk dapat menerima Kerajaan Sorga, atau menukar diri kita dengan Kerajaan Sorga. St. Agustinus melanjutkan bahwa pertukaran diri kita bukan sama berharganya dengan Kerajaan Sorga, namun karena hanya itulah yang kita punyai. Mari, kita berikan diri kita seutuhnya kepada Tuhan, sehingga Dia dapat membentuk kita dan menjadikan kita kawan sekerja Allah (1Kor 3:9), untuk membawa sesama kita kepada- Nya.

Bunda Maria, Bunda Allah, Bundaku

5

Kata Maria, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1 : 38)

“Maaf, Pak, untuk bisa membuka informasi rekening Anda di bank kami, kami harus bertanya dulu kepada Bapak sebuah pertanyaan ini: “Siapa nama ibu kandung Bapak?” Saya ikut mendengarkan percakapan gadis pegawai customer service sebuah bank itu dengan ayah saya. Saya mendengar Ayah bukannya menjawab pertanyaan itu, melainkan malah ganti bertanya (ayah saya memang sangat hobi mempertanyakan segala sesuatu), “Kenapa ya Mbak, pertanyaan yang menjadi kode rahasia itu selalu nama ibu kandung, mengapa bukan yang lainnya; nama ayah kandung, misalnya?” Gadis customer service itu menjelaskan dengan sabar, “Ya Pak, ibu kandung yang melahirkan kita itu kan pasti hanya satu ya Pak, sedangkan ayah kan tidak. Ayah bisa lebih dari satu, atau bahkan tidak diketahui,” urainya sambil tersenyum. Saya yang tidak ikut bertanya, menjadi tercenung mendengarnya, sehingga saya jadi ikut manggut-manggut menyadari kebenaran jawaban gadis pegawai bank itu. Alangkah personal dan indahnya karunia Tuhan dalam hidup manusia melalui seorang ibu. Seseorang yang tidak punya apa-apa sekalipun pasti mempunyai ibu yang melahirkan dan membesarkannya.

Beberapa waktu lalu saya sempat mengikuti sekilas di televisi, upacara pernikahan putra mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran William, dengan kekasihnya, Kate Middleton. Dalam beberapa ulasan seputar pernikahannya, dibahas pribadi Pangeran William yang sederhana dan tidak mengundang banyak kontroversi sebagaimana sering terjadi pada seorang selebriti muda dunia. Rupanya pribadinya yang santun itu tidak lepas dari pengaruh ibu dari Pangeran William yaitu mendiang Putri Diana, yang melahirkan dan membesarkannya dengan semangat kesederhanaan dan kepedulian kepada orang kecil dan sering mengajaknya melihat kehidupan orang-orang biasa di luar lingkungan kerajaan. Terutama di masa kecil Pangeran William ketika ibunya masih hidup dan dekat dengannya. Latar belakang dari cara ibunya membesarkannya itu pula yang nampaknya kemudian mendasari pilihannya kepada seorang Kate, yang bukan berasal dari keluarga bangsawan, sebagai pasangan hidupnya. Latar belakang yang mungkin Pangeran William sendiri tidak selalu menyadarinya, sesuatu yang terpendam di bawah sadarnya, namun membentuk hidupnya begitu rupa, dengan indahnya. Di balik senyumnya yang santun, baik disadarinya ataupun tidak, Pangeran William membawa semua teladan kasih dan pengajaran ibunya dalam segala keputusan hidupnya.

Walaupun banyak orang menandai hari Ibu dan merayakan secara khusus ulang tahun ibu sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap kasih dan pengabdiannya membesarkan kita, dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak selalu menyadari betapa besarnya peran hidup dan cinta seorang ibu di dalam hidup seorang manusia. Dari ibu yang melahirkan dan membesarkan kita, sesungguhnya kita belajar untuk mencintai dan menerima cinta dalam hidup ini, yang akan selanjutnya terus membentuk pribadi kita sebagai manusia dewasa seutuhnya di dalam masyarakat. Dari seorang ibu pula kita belajar mengenal berbagai fungsi-fungsi kehidupan untuk pertama kalinya, dan belajar memahami hidup dengan segala suka dukanya.

Pada bulan Maria, Ibunda Yesus Kristus Tuhan kita, yang jatuh di bulan Mei ini, saya merenungkan keputusan Allah Bapa untuk memilih Maria, seorang gadis bersahaja yang berhati lembut dan penuh iman kepada Tuhan, untuk menjadi ibu kandung dari Yesus. Betapa tidak main-mainnya keputusan itu, betapa akan cermatnya Allah memilih manusia yang akan mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mengantar Sang Anak Manusia yang diutus untuk menebus dosa seluruh dunia dari maut dan dosa kekal. Betapa seriusnya tanggung jawab itu, betapa besar dan dalamnya peran itu, betapa Allah pasti telah memilih dengan cermat agar Anak Manusia dibesarkan di dalam teladan cinta yang penuh dan pengawasan penuh kasih sayang yang akan mengantarnya menjadi manusia dewasa yang memikul tugas semulia dan seagung itu. Ya, seorang manusia, dengan segala keterbatasan seorang manusia. Karena Yesus Kristus adalah sungguh manusia dan sungguh Allah. Ibu dari Penebus dunia tidak mungkin dipilih secara acak dan dipikul oleh siapa saja yang bersedia. Ibu Sang Penebus yang dengan tanggungjawab yang demikian besar membentuk Sang Putera menjadi manusia seutuhnya, dan mengantarnya menjalani penderitaan tak terperi di Kalvari, tentu tidak dipercayakan kepada sembarang manusia. Allah telah mempersiapkan Bunda Maria dengan penuh kecermatan, penuh cinta, bahkan sebelum Bunda Maria dilahirkan, yaitu dengan menyucikannya dari dosa asal, sebagai suatu bekal agung yang akan menyertai perjalanan hidup Putera-Nya ke dunia sebagai manusia, dan menyempurnakan misi agung-Nya sampai akhir. Dan semua rencana Allah yang luar biasa indah dan mengagumkan itu hanya mungkin terlaksana, jika sang puteri bersahaja dengan kerendahan hati tak terkira, yang telah dipersiapkan Allah itu, berkata “ya”. Karena Allah harus bekerja atas dasar kehendak bebas manusia yang dikasihi-Nya. Seluruh hidup Bunda Maria adalah sebuah jawaban “ya” kepada Allah. Jawaban yang sangat teguh, walau kadang diucapkannya di tengah keraguan, kepedihan, kebingungan, dan ketakutan. Tetapi karena iman dan kasih Maria kepada Allah, ia bertekad untuk tetap dan selalu mengatakan “Ya, Allah, aku mau, aku siap, pakailah aku”. Dan demikianlah seluruh rencana Allah bagi keselamatan alam semesta dan kebahagiaan seluruh umat manusia menjadi kenyataan. Demikianlah jawaban “ya” seorang gadis bersahaja yang penuh ketaatan membuat kita mempunyai Penebus yang begitu luar biasa indah dan agung.

Dan sebagaimana kita begitu mencintai dan menghormati ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita dengan penuh pengorbanan, betapa Manusia Yesus yang bersifat jauh lebih mulia daripada kita, juga akan mencintai dan menghormati ibu kandung-Nya. Betapapun hal itu tidak sepenuhnya terungkap di dalam Kitab Suci. (Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu, Yoh 21 : 25). Bila kita mencintai seseorang, orang itu akan selalu ada di dalam pikiran kita, di dalam hati kita. Bahkan rasa cinta itu dapat membuat kita makin lama makin menyerupai orang yang kita cintai. Saya yakin Yesus sebagai Tuhan dan manusia, sangat menghormati dan mencintai ibunda-Nya. Dan tentu demikian juga sebaliknya, Bunda Maria kepada Yesus, Puteranya. Yesus menyimpan selalu di dalam hati-Nya, cinta dan penghormatan-Nya sebagai anak, kepada Bunda Maria, ibu-Nya. Seperti juga kita manusia kepada ibu kita, bahkan pasti lebih, karena Yesus adalah Manusia Cinta. Itulah sebabnya menjelang akhir hidup-Nya, saat nafas-Nya sudah tinggal satu-satu, Yesus masih ingin mengingat dan memperhatikan Bunda yang dicintai-Nya. Di sela-sela nafas-Nya yang semakin berat dan menyakitkan, Yesus menyempatkan diri berpesan dengan seluruh sisa tenaga-Nya, demi cinta-Nya kepada Bunda-Nya, demi cinta-Nya kepada manusia, demi supaya cinta Ibunda-Nya dan cinta-Nya sepenuhnya tercurah kepada manusia dengan sempurna, Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya: “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya (Yoh 19 : 26-27).

Cinta Yesus akan Bunda-Nya dan cinta-Nya akan manusia memenuhi pikiran-Nya, bahkan dan justru di saat paling kelam dan paling mencekam menjelang akhir nafas-Nya. Oh, betapa pentingnya dan berharganya bunda-Nya itu bagi-Nya. Dan Tuhan Yesus tidak hanya menyerahkan nyawa-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya, tetapi Ia juga menyerahkan bunda-Nya untuk menjadi bunda kita semua. Untuk mengasihi, mendoakan, menjadi teladan dan pelindung kita semua juga. Karena Yesus telah merasakan dan mengalami indahnya cinta bunda-Nya, ia ingin manusia yang dicintai-Nya juga mengalami dan memiliki cinta bunda-Nya itu. Itulah satu lagi bukti betapa amat sangat dalamnya cinta Yesus kepada kita, sehingga seorang ibu yang amat dikasihi-Nya pun tak lupa diberikan-Nya sebagai hadiah cinta untuk kita. Sungguh, tak ada cinta demikian besar dan sempurna yang pernah diterima oleh manusia selain dari cinta Tuhan Yesus Kristus yang total, segala-galanya, seluruh jiwa dan raga-Nya, seluruh milik-Nya yang paling berharga, untuk kita semua. Permenungan ini mencengkeram hati saya dengan keharuan yang amat sangat. Yesus yang mencintai saya dan ingin selalu saya cintai dengan lebih sungguh, amat mencintai bunda-Nya. Begitulah juga rasa cintaku kepada bunda Yesus yang kucinta. Demikianlah cinta Bunda Maria kepada Yesus Putera-Nya yang juga sangat mencintai kita, telah menyempurnakan cinta kasih Allah kepada manusia. Ya, Bunda Maria, Bunda Allah, Bundaku. (Caecilia Triastuti)

Ketika Listrik Padam

5

Sebab itu Tuhan menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasihNya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit, hendak menyayangi kamu. Sebab Tuhan Allah adalah Allah yang adil, berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia (Yesaya 30 : 18).

Semalam listrik di rumah orangtua saya padam selama kira-kira satu setengah jam. Sejak saya masih kecil, listrik PLN di kota kelahiran saya ini memang cukup sering padam. Saat listrik mati di malam hari, nyaris tidak ada sesuatu yang berarti yang bisa dilakukan. Kecuali jika ada mesin pembangkit listrik portable yang bisa memberikan energi listrik cadangan dan membuat peralatan listrik, terutama lampu, bisa menyala. Maklum hampir seluruh kegiatan hidup manusia modern ditopang oleh energi listrik. Jangankan internet, membaca buku atau koran saja kurang bisa karena tidak nyaman dilakukan dalam penerangan cahaya pengganti yang biasanya minim. Maka di rumah, satu-satunya yang bisa dilakukan dengan nyaman hanyalah duduk-duduk sambil mengobrol sekeluarga di ruang tengah dalam keremangan cahaya lampu darurat yang terangnya terbatas. Sambil menunggu lampu menyala kembali dan dengan harapan menyala dalam waktu yang tidak terlalu lama.

“Terpaksa” duduk bersama dalam keremangan tanpa bisa melakukan hal lain kecuali mengobrol, ternyata terasa sangat mengasyikkan bagi saya. Kisah-kisah kenangan masa kecil, humor-humor keluarga, dan aneka pembicaraan hangat antar anggota keluarga segera mengalir. Aneka percakapan segar yang jarang sempat menemukan momennya dalam kesibukan masing-masing anggota keluarga sehari-harinya. Kegelapan yang di waktu kecil sering membuat saya jengkel terhadap PLN, (karena di masa kecil, malam hari adalah saatnya belajar dan membuat PR), malam itu malahan nyaris saya syukuri.

Kemudian, tak lama listrik PLN pun kembali menyala. Dalam waktu singkat, momen kehangatan berkumpul tadi seketika berakhir. Setelah lampu menyala, semua kembali terserap ke kesibukan masing masing, Ibu melanjutkan melihat acara kesayangannya yang tadi sempat terputus di televisi, dan Bapak segera melanjutkan kesibukannya mengoreksi pekerjaan mahasiswanya di depan laptop. Saya terhenyak menyadari diri saya sendiri masih termangu-mangu rindu di ruang tengah, sendirian, masih ingin melanjutkan obrolan seru kenangan masa kecil yang seketika terhenti ketika lampu menyala lagi. Tetapi tidak ada siapa-siapa lagi di dekat saya. Saya menyadari dengan heran bahwa untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merindukan listrik PLN mati.

Tuntutan dunia modern yang memacu semua orang terlibat dengan aktif di dalamnya dan diiringi tuntutan ekonomi keluarga, kadang-kadang membuat anggota-anggota keluarga tanpa disadari kehilangan momen-momen penting untuk saling mendengarkan, dan saling menguatkan satu sama lain. Apalagi bila acara makan bersama bukan menjadi budaya di keluarga itu. Anak-anak dan pra-remaja merindukan untuk bisa mengobrol berlama-lama menceritakan aneka pengalaman hidupnya kepada orangtuanya; para istri atau suami rindu untuk curhat lebih banyak kepada pasangan hidupnya. Momen-momen kebersamaan dan kebiasaan untuk saling mendengarkan dan bertukar kisah, membuat hidup sebagai keluarga mempunyai makna yang dalam. Kebersamaan ini memberikan keseimbangan dalam jiwa kita, dan merawat kesehatan mental kita sebagai anggota masyarakat, yang penuh dengan tantangan dan dinamika yang kadang tidak mudah untuk dihadapi. Orangtua mempunyai banyak kesempatan emas untuk memberikan pengajaran akan nilai-nilai hidup yang berharga kepada anak-anaknya, manakala aktivitas saling bercerita dan saling mendengarkan sudah menjadi kebiasaan di dalam keluarga. Tetapi jaman sekarang, kalaupun listrik mati, mungkin para remaja masih akan sibuk ber-SMS ria dengan kawan-kawannya atau sibuk bermain-main dengan aneka games yang tersedia di telepon genggamnya dan anak-anak masih bisa sibuk dengan alat permainan anak-anak masa kini sejenis Nintendo-DS portable bertenaga baterai.

Kalau berinteraksi dengan intensif antar anggota keluarga saja sering tidak terlalu sempat, bagaimana halnya dengan membina relasi aktif interaktif dengan Tuhan? Pada saat kita sedang begitu sibuk mengerjakan aneka persiapan untuk pelayanan dan pekerjaan di Gereja, bagaimana seandainya Tuhan yang kita layani ternyata hanya duduk di sudut memperhatikan kesibukan kita sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, berkata dengan rindu kepada kita, “Martha, Martha, engkau begitu khawatir akan banyak perkara. Duduklah saja di sini di dekatKu dan marilah menyegarkan dirimu dengan aliran kasihKu yang selalu rindu untuk Kucurahkan kepadamu”. (Bdk. Lukas 10 : 38-42). Atau saat kita sedang dilanda rasa malas untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci dan enggan meluangkan waktu lebih banyak untuk berdoa, Tuhan memandang kita dengan sedih sambil berkata,” Tidak dapatkah engkau berjaga bersamaKu satu jam saja? “ (Bdk. Markus 14 : 37-38). Cinta kasih kepada sesama manusia seperti diri kita sendiri adalah sangat penting dan merupakan perintah Allah sendiri. Tetapi mencintai Allah harus tetap menjadi prioritas yang utama. Justru dari cinta yang murni kepada Allahlah, cinta kita kepada sesama menemukan motivasi yang tepat dan kekuatan yang selalu terbarui. Urutannya jelas di dalam perintahNya mengenai hukum yang pertama dan utama. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22 : 37-39). Saya teringat homili romo di gereja yang saya kunjungi hari ini: orang yang tidak peduli dengan kebutuhan sesamanya disebut egois. Orang yang peduli dan selalu membantu sesamanya tanpa memikirkan tentang Allah disebut humanis. Menjadi humanis sangat baik, tetapi belum cukup. Karena Allah yang menciptakan kita dan memelihara kita yang berhak atas kasih dan pujian serta penyembahan dan pelayanan kita yang mula-mula di atas segalanya.

Mengerjakan hal-hal yang baik bagi sesama dan keluarga serta melayani Gereja-Nya tanpa secara khusus menyediakan waktu berdiam di hadapanNya sambil membuka diri untuk mengetahui apa yang Dia sebenarnya kehendaki dari kita, bisa membuat perjalanan kita untuk sampai kepada Tuhan terbelokkan ke arah yang tidak tepat. Mungkin analoginya seperti membuat kunjungan ke sebuah panti jompo, sambil membawa aneka hidangan lezat dan mahal yang sudah kita persiapkan dengan penuh kasih dan semangat, untuk bisa dinikmati para lansia yang akan kita kunjungi. Sesampainya di sana, ternyata hidangan lezat aneka rupa yang sudah kita persiapkan tidak bisa dinikmati oleh mereka, karena ternyata sebagai lansia mereka mempunyai banyak pantangan makanan demi menjaga kesehatan mereka yang sudah semakin rawan di usia lanjut.

Ketika Yesus memperhatikan bahwa para murid sangat sibuk dan bahkan sampai tidak sempat makan, Dia berkata, “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!” (Markus 6 : 31). Setelah itu Yesus dan para murid kembali mendapatkan kekuatan untuk mengajar dan akhirnya terjadi mukjizat menggandakan roti dan ikan. Saya lantas teringat bahwa berhenti secara rutin untuk meluangkan waktu hanya bagi Tuhan dan bersama Tuhan dalam kehidupan doa dan Firman adalah sumber energi bagi hidup beriman dan pelayanan kita. Seperti saat kita tidur, kita tidak melakukan apa-apa, merelakan waktu-waktu kita yang berharga untuk berbaring diam, memejamkan mata, dan terlelap dalam tidur. Setelah bangun, kita menjadi segar kembali dan siap bekerja lagi dengan kekuatan dua kali lipat lebih efisien daripada saat kita memaksakan diri untuk terus bekerja karena merasa sayang membuang waktu untuk berhenti demi istirahat. Dalam berhenti sejenak demi relasi kita dengan Allah, kita akan mendapatkan terang untuk memurnikan motivasi-motivasi kita dan terus belajar untuk hidup dalam kerendahan hati dalam kebergantungan sepenuhnya kepada Tuhan. Demikian Allah berkata, Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah” (Mazmur 46 : 11). Tanpa diam dan berhenti, bisa-bisa kita melupakan tujuan perjalanan hidup kita yang sesungguhnya yaitu untuk melakukan kehendak Allah dan mengasihiNya dengan segenap hati tanpa mengikuti kemauan dan hikmat kita sendiri yang serba terbatas ini.

Maka jika kita mendapati diri kita dalam kemacetan lalu lintas yang menjemukan, atau terjebak dalam situasi hidup di mana segala sesuatu tidak berjalan seperti yang kita harapkan, bersyukurlah dan nikmatilah, karena mungkin itu adalah saat dimana Tuhan yang sedang rindu memanggil kita dan mengijinkan ‘listrik padam sejenak’, supaya kita mengalami kembali betapa hangatnya berdiam di hadapan Tuhan dan betapa nyamannya mendengarkan Dia berbicara dan sekali lagi menyatakan kasih dan berkatNya yang tidak berkesudahan kepada kita. (Triastuti)

Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasehat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil (Mazmur 1 : 1-3).

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab