Home Blog Page 200

Tuhan tak henti-hentinya menyentuh hidupku dengan rahmat-Nya.

17

Pengantar dari editor: Kisah yang menyentuh di bawah ini adalah pengalaman bagian kedua dari kisah pelayanan pastoral rumah sakit oleh Romo Andi Suparman, MI, setelah kisah pelayanannya yang pertama yang berjudul “Kebahagiaanmu adalah Kekuatanku”. Dalam kisahnya yang kedua ini, Romo Andi mengajak kita semua, untuk memberikan perhatian kasih bagi para imam, khususnya para imam yang sakit dan berusia lanjut. Dalam keadaan sakit atau purna tugas, seringkali para imam berjuang seorang diri dalam penderitaannya, setelah pelayanan dan pengorbanan yang dipersembahkannya seumur hidupnya bagi kepentingan umat Tuhan di berbagai tempat dan bidang pelayanan. Semoga kisah indah dari Romo Andi ini menggerakkan hati kita untuk memberikan perhatian cinta dan doa yang tulus di setiap kesempatan yang kita miliki, bagi para imam yang telah melayani kita, khususnya di saat mereka sakit atau dalam usia lanjut setelah purna tugasnya. Terima kasih Romo Andi, Tuhan memberkati selalu pelayanan Romo Andi dan rekan-rekan bagi sesama yang menderita.

Hendaklah bertakwa dengan segenap jiwamu, dan junjunglah tinggi para imam Tuhan. Kasihilah Penciptamu dengan segala kekuatanmu, dan para pelayanNya jangan kauabaikan. Takutilah Tuhan dan hormatilah para imam, dan bayarlah bagian mereka seperti yang menjadi kewajibanmu: buah bungaran, korban penebus salah dan bahu binatang korban, korban pengudus serta bagian pertama dari barang kudus. (Sirakh 7 : 29-31)

Hari ini, salah satu pasien yang kulayani adalah imam Tuhan yang jatuh sakit berat. Ketika aku melalui lorong kamar ICU di mana aku dipanggil untuk memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit, aku dikejutkan dengan pemberitahuan suster, bahwa ada juga seorang imam yang dirawat di ICU ruangan khusus.  Setelah memberikan pelayanan sakramen kepada pasien untuk menerimakan Sakramen Orang Sakit, aku menyempatkan diriku untuk mengunjungi imam yang sakit itu.

Dia terbaring  sakit karena gangguan jantung dan beberapa organ tubuh lainnya. Badannya semakin kurus, suaranya lembut, dan di matanya tersirat sebuah harapan akan disembuhkan dari penderitaan dan dilepaskan dari salib yang sedang dipikulnya. Dia hanya berbaring lesu di tempat tidurnya, menyerahkan semuanya pada para suster dan dokter dan siapa saja yang menolongnya. Hatiku tersentak menyaksikan kondisinya yang menyedihkan ini.

Dia hanya dikelilingi beberapa anggota keluarga dan umat yang sempat menemaninya di rumah sakit. Keluarganya yang lain berada jauh di kampung halamannya. Umat yang pernah dilayaninya juga berada jauh dari hadapannya. Ada yang jauh di luar negeri, di tanah misi di mana dia telah mengabdi selama 5 tahun hidup imamatnya.  Ada yang di dalam negeri, di pulau Flores, di paroki yang jauh, di institusi yang jauh, di mana dia telah melayani dalam enam tahun terakhir sebelum dia jatuh sakit. Mungkin ada yang mengetahui keadaannya dan mendoakan dia dari jauh di tengah kesibukan mereka; tetapi tentunya lebih banyak yang tidak tahu, kalau sang pastor mereka, yang pernah memberikan waktu, tenaga, keahlian, kasih, dan bahkan mungkin hidupnya bagi mereka, sedang berbaring sakit di rumah sakit.

Tak banyak kata yang diucapkan, selain sapaan, “Selamat datang, Pater” ketika aku memperkenalkan siapa diriku. Dipegangnya tanganku erat-erat dengan menggunakan sedikit tenaga yang dimilikinya. Dipegangnya tanganku semakin panjang, sambil mata kami bertatapan tanpa kata. Seolah-olah kami pernah bertemu lama dan menjadi sahabat karib. Padahal kami baru bertemu pada saat  itu untuk pertama kalinya. Tetapi itulah kehidupan seorang imam Tuhan. Tak banyak yang tahu liku-liku kehidupan pribadi imam. Namun dengan sesama imam, hidup kami tak jauh  berbeda, dan tentunya sudah saling memahami dan mengerti bagaimana liku-liku kehidupan kami secara umum. Ada perasaan ikatan yang mendalam di antara kami, walaupun bukan karena kami pernah bertemu sebelumnya atau sudah saling mengenal dan menjadi sahabat karib, tetapi hanya karena kehidupan panggilan imamat yang kami miliki dan lalui bersama, walaupun di tempat dan waktu yang berbeda.

Aku merasakan, betapa besar kebahagiaannya ketika kami bertemu. Dipegangnya tanganku erat dan aku pun membalasnya demikian. Kuberikan senyumku yang ikhlas dan dia pun tersenyum lebar, seakan mengatakan, “Aku merasa bahagia, karena kamu datang, Saudaraku.” Sepertinya bukan sekedar jabatan tangan dan pertukaran senyuman yang terjadi di sana, tetapi ada aliran kasih yang lewat dari hati kami masing-masing dan bertemu menjadi satu. Itulah kira-kira sumber kekuatan yang dia terima. Di kala banyak hati dan kehidupan yang telah disentuhnya sebagai imam berada jauh dari padanya, sang imam ini dihibur dengan kehadiran saudara imamnya dalam panggilan. Ya, kami adalah saudara terhadap satu sama lain. Walaupun kami datang dari keluarga dan tempat yang berbeda, dan juga dari kongregasi yang berbeda dan menghayati spiritualitas yang berbeda, tetapi kami tetap satu dalam pelayanan kasih Tuhan di ladang-Nya yang luas dan tak terbatas.

Dengan tenaga tersisa, dia memperkenalkan dirinya dan juga tempat misi yang pernah dilayaninya. “Saya Pater Lorens, mantan misionaris di Rusia selama lima tahun.” Aku tak sadar mengangguk, merasa kagum dengan perjalanan misi imam saudaraku ini. Ada sebuah kebahagiaan dan kepuasan yang tersirat di wajahnya, serasa mau berkata, “Terima kasih Tuhan, aku telah Kau panggil dan pilih, dan Kau utus untuk melayani umat-Mu di tanah misi dan memberikan kesaksian tentang cinta-Mu kepada semua saja yang telah kulayani. Tak ada kekecewaan yang kualami, tapi hanyalah ucapan syukur dan terima kasih, karena telah Kau percayakan hamba-Mu yang hina ini untuk menjadi alat dan tanda bagi kehadiran-Mu di tengah umat-Mu. Aku telah memberikan apa yang kumiliki dan kuterima daripada-Mu.” Dan aku pun merasa bangga dengan semangat misionernya itu. Akupun hanya mampu mengatakan , “Saya Pater Andi, pelayan pastoral healthcare di rumah sakit ini.” Aku merasa kecil di hadapan saudara imamku ini yang telah bekerja dan melayani sebagai  imam Tuhan selama 11 tahun. Aku hanyalah seorang imam muda, yang masih bayi dalam pengalaman dan juga tidak ada apa-apanya ketimbang dia. Lalu ia berkata, “Terima kasih, Pater, telah mengunjungiku. Aku merasa senang, Pater datang menjengukku. Semoga sukses dalam pelayanan Pater.” Hatiku tersentak. Ada sebuah kehangatan kasih yang menyelimuti hatiku, tetapi aku bukanlah siapa-siapa. Aku pun tidak memberikan suatu yang istimewa kepada saudara imamku yang sakit ini, selain kehadiranku dan salamku dari lubuk hati yang dalam.

Lama aku duduk di samping tempat tidurnya. Dia berusaha berbicara sedikit demi sedikit. Aku merasa ada semangat yang timbul dari dirinya untuk hidup dan kemauan keras untuk sembuh kembali dan melanjutkan misi pelayanan terhadap umat. Seolah-olah penderitaan sakit tidak melumpuhkan semangatnya, dia tetap tegar. Dan aku pun setia mendampinginya, mendengarkan kata-katanya, serta memberikan dukungan, apresiasi, dan pengertian terhadap perkataannya.

Kemudian, tiba-tiba dia memintaku untuk mendoakannya, ” Pater, tolong doakan untuk aku sekarang juga.” Hatiku tersentuh mendengar permintaannya itu. Aku kembali bertanya dalam hatiku, “Siapakah aku ini sampai imam seniorku ini meminta doaku?” Lalu aku menyadari bahwa aku adalah imam Tuhan, yang diutus Tuhan ke hadapan saudara imamku yang sakit ini. Firman Tuhan dalam  Yak 5 : 15 menguatkan aku, “Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni.”  Lalu kuajak dia berdoa bersamaku, memohon kesembuhan baginya kepada Tuhan, sambil menumpangkan tanganku ke atasnya. Aku berdoa dengan penuh ketekunan, dan aku menyaksikan dan merasakan keseriusan dan ketekunannya, berdoa mohon pertolongan Allah kepadanya.  Aku merasakan, Tuhan sungguh-sungguh hadir di tengah kami. Sungguh benarlah sabda Tuhan dalam Mat 11 : 28, Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Juga janji Tuhan, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu sampai akhir zaman” (Mat 28 : 20b). Inilah pesan istimewa yang diberikan Tuhan kepada kaum pilihan-Nya, dan pada hari ini Dia menyatakan dan membuat hal itu nyata dalam pengalaman kami berdua.

Air mataku menetes ketika dia mengucapkan “Terima kasih Pater, atas doanya, dan juga kunjungannya. Semoga Tuhan selalu memberkati Pater dan semoga selalu sukses dalam pelayanan.” Aku merasakan bahwa dia telah mengajarkan suatu hal yang luar biasa kepadaku di tengah penderitaannya, yaitu ketabahan dan penyerahan diri kepada Tuhan di tengah penderitaan, dalam doa-doa kepada-Nya. Dia  menunjukkan bahwa kita menyadari kebergantungan kita kepada Tuhan, dan tanpa DIA, seorang  imam tidak bisa selamat dari penderitaannya. Sebab Tuhan telah memanggil dan memilih, dan tentunya Dia tidak akan meninggalkan kaum pilihannya, asalkan kita tidak meninggalkan Dia. Inilah kehidupan imam Tuhan. Ketika dia telah memberikan seluruh hidupnya kepada Tuhan dengan melayani umat-Nya, mungkin hanya sedikit yang peduli dan mengetahui bagaimanakah kabar hidup selanjutnya dari imam ini. Di kala penderitaan menimpa dia, mungkin hanya sedikit yang tahu dan ingat akan dia serta semua pengorbanannya bagi orang lain, tetapi Tuhan pasti tidak akan meninggalkan dia, sebab kasih setia-Nya tetap untuk selama-lamanya. Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. (Mzm 107:1)

Pengalaman ini merupakan pengalaman berahmat bagiku. Di tengah kesibukan dan berbagai tantangan yang harus kulalui, Dia mengagetkan aku dengan berbagai rahmat melalui pengalaman-pengalaman iman yang sederhana. Dalam kesederhanaan pengalaman itu, Tuhan hadir menyentuh hati dan hidupku. Bahwasanya pekerjaan Tuhan adalah baik semuanya dan pada waktu tepat memenuhi setiap keperluan. (Sir 39:33)

Marilah kita senantiasa mengingat para imam di dalam doa-doa kita kepada Tuhan. Amin.
Romo Andi Suparman, MI

Mari kita bersatu dalam doa mempersembahkan doa kepada Bapa bagi para imam, khususnya para imam yang sedang dalam penderitaan sakit, usia lanjut, atau kesepian dalam purna tugas mereka:

Allah Bapa yang Maha Memelihara, kami berlutut di hadapanMu, hendak mengucap syukur atas karunia para imam di dunia ini, yang telah Engkau persiapkan dengan indah sejak semula, Engkau urapi dan lengkapi dengan curahan karunia cinta-Mu, untuk melayani dan memberikan hidup mereka bagi kami dan pekerjaan-pekerjaan di kebun anggur-Mu. Ampunilah kami, bila kami sering melupakan untuk merawati mereka, dengan segala doa dan upaya yang baik. Ampuni kami, bila kami sering melewatkan kesempatan untuk menyatakan syukur dan terima kasih kami atas pelayanan dan pengorbanan mereka yang selalu mendampingi kami dalam perjalanan iman kami kepadaMu. Mohon gerakkan hati kami, untuk sungguh menjadi sahabat yang mendukung para imam dalam suka duka mereka, khususnya dalam doa dan amal kasih kami. Secara khusus, kami hendak memohon berkat perlindungan, kekuatan iman, penghiburan, dan kesembuhan, bagi para imam yang sedang menderita sakit, juga bagi para imam yang sudah lanjut usia dan kadang merasa kesepian dalam masa-masa purna tugas mereka. Bantulah kami agar sungguh mau menyediakan diri hadir bagi mereka, memberikan kasih, doa, dan dukungan kami, hingga mereka boleh tetap berbesar hati dan mengalami karunia-Mu yang sempurna dari awal hingga akhir kehidupan ini. Dalam nama Yesus Kristus, Putra-Mu, Imam Agung-Mu yang kudus dan Tuhan kami.  Amin.

Dilema pemimpin negara soal RH bill

9

Pertanyaan:

Salam ibu, saya mau menyambung pertanyaan yang berkenaan dengan moral, saya membaca di berita, para uskup di Filipina menolak RH bill. Sebagai seorang Katolik, posisi presiden sangat dilematis, di satu sisi dia seorang Katolik yang dalam ajaran Katolik harus pro life, tetapi di sisi lain, dia seorang negarawan yang juga harus memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Tidak jarang, kita juga dalam posisi-posisi dilematis antara ajaran moral dengan realitas kehidupan. Mohon pencerahannya, terima kasih.

-feliz-

Jawaban:

Jawaban dari Caecilia Triastuti:

Shalom Feliz,

Terima kasih atas pertanyaannya. Dilema antara ajaran moral yang berhadapan dengan realitas hidup memang berat, dan cukup sering kita lihat dan alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari, walau dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda. RH Bill (Reproductive Health Bill, atau undang-undang kesehatan reproduksi) memang menjadi perdebatan serius di Filipina. Sebenarnya, dalam terang iman dan kejujuran hati, kita dapat melihat bahwa justru  dilema antara moral dan kenyataan hidup  merupakan kesempatan kita untuk menyatakan iman, kasih, dan kesetiaan manusia kepada Tuhan, karena kita mencintai jalan-jalan-Nya dan mempercayai sepenuhnya penyelenggaraan-Nya dalam hidup ini. Betapapun sulitnya itu di mata manusiawi kita. Gereja Katolik sepanjang jaman dengan jelas dan konsisten menyatakan keberpihakannya kepada kehidupan, dari sejak konsepsi hingga kematiannya secara alami. Kehidupan adalah otoritas Allah sepenuhnya dan merupakan anugerah Allah dalam menyelenggarakan alam semesta ini, di mana manusia yang diciptakan secitra denganNya, diberiNya mandat untuk menjadi mitra-Nya dalam mengelola alam ciptaan.

KGK 2270 Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak saat pembuahannya. Sudah sejak saat pertama keberadaannya, satu makhluk manusia harus dihargai karena ia mempunyai hak-hak pribadi, di antaranya hak atas kehidupan dari mahkluk yang tidak bersalah yang tidak dapat diganggu gugat.

KGK 2271 Sejak abad pertama Gereja telah menyatakan abortus sebagai kejahatan moral. Ajaran itu belum berubah dan tidak akan berubah. Abortus langsung, artinya abortus yang dikehendaki baik sebagai tujuan maupun sebagai saran, merupakan pelanggaran berat melawan hukum moral.

“Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindakan kejahatan yang durhaka (Gaudium et Spes 51,3)

Hukum-hukum Ilahi tidak mungkin menyalahi kelangsungan penyelenggaraan hidup yang dirancangNya mulia sejak awal. Melanggar hukum-hukum-Nya dengan kesadaran penuh dan kesengajaan adalah penyangkalan yang mendasar terhadap kemampuan Allah memegang kendali atas hidup ini dengan segala tantangan dan suka dukanya. Maka dihadapkan kepada dilema antara mematuhi ajaran moral Gereja dan realitas hidup yang nyata, sikap hati kita sebagai orang beriman seharusnya senantiasa diarahkan pertama-tama kepada keputusan untuk tetap mengikuti kehendak Allah. Jika kita menilai dengan jujur, realitas kehidupan yang mengikuti itu sebenarnya seringkali terjadi akibat ulah manusia sendiri, yang seringkali gegabah dalam menggunakan kehendak bebas yang diperolehnya sebagai karunia Allah. Penyelesaiannya bukan dengan cara mengingkari ajaran moral, tetapi dengan menelusuri akar dari permasalahan yang terjadi dan mengatasinya secara menyeluruh dengan segala upaya yang mungkin. Beriman kepada Allah adalah berarti memilih untuk mengedepankan hidup dan kehendak Allah, walaupun seringkali pilihan itu merupakan pilihan yang sulit dan memerlukan perjuangan. Namun perjuangan hidup adalah partisipasi kita dalam penderitaan salib Kristus yang membawa keselamatan kepada dunia.

Misalnya, dihadapkan pada realita hidup berupa ledakan jumlah penduduk yang mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran, seharusnya para pemimpin negara menyadari bahwa penyelesaiannya bukan dengan membatasi kelahiran dengan segala cara, yang mudah dan murah tetapi melanggar ajaran moral serta memicu terjadinya pelanggaran moral yang lebih serius lagi dalam berbagai bidang kehidupan. Penyebab kemiskinan akibat ledakan penduduk seringkali adalah sistem pemerintahan yang korup, dan pengelolaan ekonomi yang kurang berpihak pada rakyat, sehingga pengangguran meluas. Solusi yang dilakukan seharusnya lebih dari sekedar solusi sesaat yang cepat dan praktis tetapi tidak menyentuh persoalan dasarnya. Melainkan dengan pembenahan mendasar di berbagai sektor, yang tentu saja merupakan perjuangan yang penuh pengorbanan. Tetapi itu adalah pilihan yang membawa kepada perbaikan yang lebih permanen tanpa harus mengorbankan nilai moral yang berkaitan dengan pembatasan kelahiran dan aborsi. Manusia selalu punya pilihan untuk mengatasi persoalan-persoalan hidupnya. Dan Gereja tidak diam saja melihat semua beban yang ada dalam masyarakat. Gereja banyak terjun dalam masalah-masalah real untuk membantu memberikan solusi secara nyata.  Kita sebagai anggota Gereja juga dipanggil untuk turut menjadi pelaku-pelaku pemberi solusi dengan tindakan kasih yang nyata.

Belum lagi kalau penerapan undang-undang yang mengijinkan aborsi dan KB non-alamiah itu misalnya ternyata dilatarbelakangi desakan para pemilik modal raksasa, yang mendapat keuntungan raksasa pula dari maraknya industri alat-alat KB atau pendirian klinik-klinik aborsi. Keputusan mengikuti Allah sering sekali bukan merupakan keputusan populer di dalam dunia, yang memang adalah suatu tempat tinggal yang asing bagi pengikut-pengikut sejati dari Kerajaan Surga. Tetapi saat kita mengikuti Allah, sesungguhnya kita adalah orang yang lepas bebas, memiliki kebebasan yang sejati yang dunia ini tidak dapat memberi, kebebasan yang dialami baik sekarang saat sedang dalam dunia, maupun nanti ketika kita sudah berada dalam kekekalan.

Tambahan jawaban dari Ingrid Listiati:

Shalom Feliz,

Ijinkan saya menambahkan jawaban Triastuti, dengan menyampaikan kutipan surat ensiklik Paus Benediktus XVI, Caritas in Veritate (Kasih dan kebenaran), yang sekilas juga membahas tentang permasalahan yang anda tanyakan. Untuk membaca keseluruhan surat ensiklik tersebut, silakan klik di sini:

“28. Salah satu yang aspek yang paling menonjol dari perkembangan pada saat ini adalah persoalan penting tentang penghormatan terhadap kehidupan, yang tidak dapat dilepaskan sama sekali dari persoalan tentang perkembangan bangsa-bangsa. Hal ini adalah sebuah aspek yang telah memperoleh keutamaan secara meningkat belakangan ini, yang mengharuskan kita untuk memperluas konsep kita tentang kemiskinan [66] dan kurangnya perkembangan, untuk melibatkan persoalan-persoalan yang terkait dengan penerimaan kehidupan, terutama di dalam kasus-kasus di mana kehidupan dihalangi dengan berbagai cara.

Tak hanya keadaan kemiskinan yang masih mempengaruhi tingkat kematian bayi di banyak kawasan, tetapi beberapa bagian dunia masih mengalami praktek-praktek untuk mengendalikan kependudukan, di pihak pemerintah-pemerintah yang sering mendorong kontrasepsi dan bahkan sampai sejauh menentukan aborsi. Di negara-negara yang telah berkembang secara ekonomi, peraturan yang bertentangan dengan kehidupan sangat tersebar luas, dan hal itu telah membentuk sikap-sikap moral dan praktek, yang menyumbangkan penyebaran mental anti-kelahiran; seringkali usaha-usaha dibuat untuk meng-ekspor mentalitas ini ke Negara-negara lain seperti seolah-olah hal itu adalah sebuah bentuk kemajuan budaya.

Beberapa Organisasi non-pemerintah bekerja aktif untuk menyebarkan aborsi, seringnya mendukung praktek- praktek sterilisasi di negara-negara miskin, di beberapa kasus bahkan tidak memberitahukan para wanita yang terlibat. Lagipula, terdapat alasan untuk menduga bahwa bantuan perkembangan seringkali dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan khusus pemeliharaan kesehatan (health- care) yang secara de facto melibatkan penekanan pengukuran pengontrolan kelahiran dengan kuatnya. Hal-hal selanjutnya yang memprihatinkan adalah hukum-hukum yang memperbolehkan euthanasia, dan juga tekanan dari kelompok-kelompok lobby, secara nasional maupun internasional, yang condong kepada pengakuan euthanasia secara yuridis.

Keterbukaan terhadap kehidupan terletak di pusat perkembangan sejati. Ketika masyarakat bergerak menuju penolakan atau penekanan terhadap kehidupan, ia akan berakhir dengan tidak lagi menemukan motivasi dan energi yang diperlukan untuk mengusahakan kebaikan sejati bagi manusia. Jika sensitivitas pribadi dan sosial menuju penerimaan sebuah kehidupan hilang, maka bentuk-bentuk lainnya tentang penerimaan yang berharga bagi masyarakat juga layu. [67] Penerimaan terhadap kehidupan memperkuat jaringan moral dan membuat orang-orang dapat saling membantu. Dengan mengusahakan keterbukaan terhadap kehidupan, bangsa-bangsa yang kaya dapat memahami kebutuhan bangsa-bangsa yang miskin dengan lebih baik, mereka dapat menghindari penggunaan sumber-sumber daya intelektual dan ekonomi secara besar-besaran untuk memuaskan keinginan-keinginan yang egois dari para warga mereka sendiri, dan sebaliknya mereka dapat memajukan kegiatan-kegiatan kebajikan dalam perspektif produksi yang baik secara moral dan ditandai dengan solidaritas, yang menghormati hak fundamental untuk hidup dari setiap bangsa dan setiap pribadi.” (Paus Benediktus XVI, Caritas in Veritate (Kasih dan kebenaran), 28)

Sesungguhnya melalui surat ensiklik tersebut, Paus Benediktus XVI hendak menghimbau para pemimpin negara untuk berpikir lebih luas daripada sekedar mencari solusi yang kelihatannya mudah, namun sesungguhnya tidak menyelesaikan masalah. Reproductive Heath bill tidak menjadi solusi problema kependudukan, karena kebijakan untuk menolak kehidupan (seperti yang umumnya menjadi akibat penerapan RH bill), sesungguhnya akan menimbulkan masalah lain yang tak kalah besar dan pelik dalam masyarakat, di mana akhirnya masyarakat akan kehilangan motivasi dan energi yang diperlukan untuk mengusahakan kebaikan sejati bagi masyarakat itu sendiri. Efek jangka pendek yang dapat langsung terlihat adalah penurunan moral generasi muda, dan kurangnya penghargaan terhadap nilai- nilai luhur perkawinan dan keluarga. Dan jika keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat sudah lemah fondasinya, maka tak mengherankan jika keseluruhan masyarakat juga akan menerima akibat negatifnya. Demikian pula efek jangka panjang juga perlu diperhitungkan, seperti yang terjadi di negara- negara Eropa sekarang ini, yang dengan mendukung kontrasepsi dan aborsi (sejak tahun 60/70-an), kini sudah terlanjur mempunyai angka kelahiran yang sangat minim, yang mengakibatkan pertumbuhan jumlah penduduk negatif, sehingga kontribusi dari golongan usia produktif sudah nyaris tidak dapat lagi mendukung golongan usia lanjut. Di sini terlihat bahwa solusi kontrasepsi dan aborsi sebenarnya mewariskan problema yang tidak sederhana, bagi generasi bangsa selanjutnya. Melihat fakta-fakta ini, maka selayaknya kita sebagai umat Katolik tidak ikut latah berpikir bahwa menjadi ‘pro-life‘ artinya tidak memikirkan kesejahteraan rakyat. Justru sebaliknya, jika kita memihak kehidupan, maka kita semakin terdorong untuk memperjuangkan kesejahteraan dan masa depan yang baik, demi kasih kita kepada anak- anak kita. Dan sebagai kesatuan umat manusia, kita dipanggil untuk saling membantu untuk mencapai tujuan ini, untuk bersama mengoptimalkan sumber daya yang ada.

Agaknya para pemimpin negara perlu mempertimbangkan masukan dari Paus Benediktus XVI dalam Caritas in Veritate ini, untuk mengusahakan pertumbuhan masyarakat yang lebih menyeluruh demi kebaikan semua bangsa di setiap generasi.

Demikianlah tanggapan kami atas pertanyaan anda, semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati- katolisitas.org

1 Kor 2:16, The Mind of Christ

1

Pertanyaan:

Bapak pengasuh Katolisitas

Terima kasih atas pencerahannya mengenai redeeming the time
Ada satu lagi yang ingin saya tanyakan tentang : “THE MIND OF CHRIST”seperti yang tertulis di dalam 1Kor 2 : 16. Apa pula itu artinya ?

Tx / S.Ginting

Jawaban:

Shalom Superiadi,

1 Kor 2:16 tentang ‘pikiran Kristus’/ the mind of Christ, berkaitan dengan ayat- ayat sebelumnya yaitu ayat 14 dan 15.

“Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani. Tetapi manusia rohani menilai segala sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh orang lain. Sebab: “Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia?” Tetapi kami memiliki pikiran Kristus.” (1Kor 2:14-16)

Berikut ini adalah keterangan yang saya sarikan dari penjelasan The Navarre Bible:

Dikatakan di sana “manusia duniawi”, yang maksudnya adalah orang yang bertindak hanya mengandalkan kemampuan manusiawinya (akal dan kehendak) dan yang oleh karena itu hanya dapat bijaksana di dalam hal- hal dunia. Sedangkan manusia rohani adalah umat Kristiani tang dilahirkan kembali di dalam Tuhan; di mana rahmat Allah mengangkat kemampuan manusia dan memampukannya melakukan perbuatan- perbuatan yang mempunyai nilai adikodrati, yaitu iman, harapan dan kasih. Seseorang yang berada dalam kondisi rahmat dapat merasakan hal- hal ilahi sebab ia membawa serta Roh Kudus di dalam jiwanya, dan ia memiliki pikiran Kristus dan sikap Kristus, yang artinya pikiran dan sikap yang sesuai dengan kehendak Allah.

St. Thomas Aquinas menjelaskan tentang hal bagaimana seseorang yang duniawi tidak dapat memahami hal-hal rohani, sedangkan seseorang yang rohani dapat menilai segala sesuatu (ay. 15), demikian: “Seseorang yang sadar dengan benar merasakan bahwa ia bangun dan orang yang lain [yang sedang tidur] adalah orang yang tidur; tetapi orang yang tidur tidak dapat mempunyai penilaian yang benar tentang dirinya sendiri ataupun orang lain yang bangun. Oleh karena itu, hal- hal yang ada tidak sesuai dengan apa yang dilihat oleh orang yang tidur; tetapi hanya oleh orang yang bangun/ sadar …. Sehingga Rasul Paulus mengatakan, ‘manusia rohani menilai segala sesuatu’: sebab seorang yang pengertiannya dicerahkan dan yang perhatian kasihnya diarahkan oleh Roh Kudus dapat membentuk penilaian yang benar tentang hal- hal khusus yang menyangkut keselamatan. Seseorang yang tidak rohani mempunyai pemahaman yang redup dan perhatian kasihnya tidak teratur jika dipandang dari sudut pandang hal- hal rohani; dan oleh karena itu, seseorang yang rohani tidak dapat dinilai oleh seseorang yang tidak rohani, sama seperti orang yang tidur tidak dapat menilai orang yang bangun.” (St. Thomas Aquinas, Commentary on 1 Cor, ad loc.).

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Tentang Mimpi

29

Pertanyaan:

Di kisah Yusuf… kita mengetahui bahwa Yusuf mampu menafsirkan mimpi…

Di 1 Raja-Raja 3:5 dikatakan bahwa TUHAN menampakkan diri kepada Salomo dalam mimpi

Apakah ada lagi di Alkitab yang berhubungan dengan mimpi? Jika ya… ada apakah dengan mimpi? apakah tidak ada apa-apa?

Alexander

Jawaban:

Jawaban dari Caecilia Triastuti:

Shalom Alexander,

Pada dasarnya, seperti tertulis dalam KS, Tuhan dapat saja menggunakan mimpi untuk menyampaikan pesan-Nya kepada manusia, karena Tuhan Maha Hadir, Maha Kuasa, dan Ia mencintai manusia. Ia dapat menggunakan segala macam cara baik cara alamiah maupun yang bersifat super natural untuk menyatakan rencana-Nya yang agung kepada manusia. Dalam Perjanjian Lama misalnya yang dialami oleh Abimelek dalam Kej 20:3, kemudian dialami Yakub di Kej 28:12 dan Kej 31:10, Raja Salomo dalam 1 Raj 3: 5-15, oleh Raja Nebukadnezar dalam Dan 2:19 dan oleh Daniel dalam Dan 7:1. Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan juga menyampaikan petunjuk-Nya kepada Yusuf melalui mimpi (Mat 1:20; 3:13) dan kepada Rasul Paulus (Kis. 23:11; 27:23), walau dalam dua kisah yang terakhir ini dapat juga diartikan Paulus memperoleh penglihatan saat dia dalam keadaan bangun.

Di antara mimpi-mimpi biasa yang umumnya disebabkan karena proses-proses psikis manusiawi, diperlukan proses discernment apakah sebuah mimpi  berasal dari Tuhan. Pada peristiwa-peristiwa mimpi dalam Kitab Suci yang disebutkan di atas, Tuhan dapat memberikan hikmat khusus kepada si penerima mimpi sehingga yang bersangkutan sepenuhnya yakin bahwa mimpinya adalah dari Tuhan (Berdasarkan pengajaran St Thomas Aquinas (ST II-II: 95, 6).

Tambahan jawaban dari Ingrid Listiati:

Shalom Alexander,

Memang tertulis dalam kitab Ulangan 18:10: “Neither let there be found among you any one that … observeth dreams” (“Di antaramu janganlah didapati seorangpun yang… menjadi  seorang peramal, seorang penelaah…”). Namun di banyak ayat dalam Kitab Suci, kita ketahui bahwa Tuhan dapat memakai mimpi untuk menyampaikan kehendak-Nya ataupun kejadian- kejadian yang akan datang kepada orang yang bermimpi, seperti dituliskan oleh Triastuti di atas.

Ketika St. Thomas ditanya apakah menafsirkan sesuatu yang akan terjadi melalui mimpi dapat diperbolehkan, ia menjawab demikian:

“Hal menafsirkan sesuatu yang akan terjadi melalui mimpi adalah tahayul dan tidak diperkenankan ketika dasarnya adalah pendapat yang salah. Karena itu, kita harus melihat apa yang benar dalam hal menafsirkan hal- hal yang akan datang dari mimpi…. Kita harus mempertimbangkan apa yang menjadi penyebab mimpi dan apakah itu dapat merupakan penyebab peristiwa yang akan datang, atau apakah hal- hal itu dapat diketahui.

Maka harus diamati bahwa penyebab mimpi kadang ada di dalam diri kita dan kadang di luar diri kita. Penyebab mimpi dari dalam diri kita ada dua macam: yang pertama berkenaan dengan jiwa, yang mana hal- hal tersebut telah menguasai pikiran seseorang dan perhatiannya saat ia dalam keadaan sadar dan hal ini terjadi dalam imajinasinya ketika ia tidur. Penyebab yang sedemikian bukanlah karena penyebab suatu kejadian yang akan datang. Maka mimpi- mimpi yang macam ini tersangkut dengan kejadian masa datang secara tidak disengaja, dan jika benar- benar terjadi itu hanya karena kebetulan. Namun kadang penyebab mimpi yang datang dari dalam ini berkaitan dengan tubuh: sebab disposisi tubuh memimpin kepada pembentukan pergerakan di dalam imajinasi yang sesuai dengan disposisi; sehingga seseorang yang dingin rasa humornya akan bermimpi bahwa ia berada di air atau salju: dan untuk alasan ini dokter mengatakan bahwa kita harus memperhatikan mimpi untuk menemukan disposisi internal [tubuh].

Demikian pula, penyebab mimpi dari luar diri kita juga terdiri dari dua macam, berhubungan dengan tubuh (jasmani) dan dengan jiwa. Berkaitan dengan tubuh jika imajinasi orang yang tidur dipengaruhi entah oleh udara sekitar, atau melalui kesan adanya sosok surgawi, sehingga gambaran- gambaran tertentu muncul kepada yang tidur, sesuai dengan disposisi sosok surgawi tersebut. Penyebab spiritual ini sering diperkirakan adalah Tuhan, yang menyatakan hal- hal tertentu kepada manusia di dalam mimpi- mimpi mereka dengan perantaraan para malaikat, menurut Bil 12:6… Namun kadang- kadang, karena perbuatan iblis, gambaran- gambaran tertentu muncul di waktu mereka tidur, dan dengan cara ini mereka, seringnya menyatakan hal- hal yang akan terjadi kepada mereka yang telah masuk dalam hubungan erat yang terlarang, dengan mereka.

Oleh karena itu, kita harus berkata bahwa tidak dilarang untuk menggunakan mimpi untuk mengetahui hal- hal di masa datang, asalkan mimpi- mimpi itu disebabkan oleh pernyataan ilahi [dari Tuhan], atau oleh beberapa penyebab kodrati baik dari dalam maupun luar, asalkan kemanjuran dari penyebabnya diberikan. Tetapi akan menjadi tidak diperkenankan (unlawful) dan tahayul, jika hal itu disebabkan oleh pernyataan iblis, yang telah dibuat berdasarkan perjanjian, entah secara eksplisit melalui permohonan kepada mereka untuk maksud tersebut, ataupun secara implisit, melalui penafsiran yang diberikan melampaui batas- batas yang mungkin.” (Summa Theologica (ST) II-II, q.95, a.6)

Untuk membaca selengkapnya, silakan klik di link ini.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati – katolisitas.org

Tenanglah! Aku Ini, Jangan Takut!

2

I. Jangan takut!

Jangan Takut! Itulah perkataan Yesus kepada para murid yang ketakutan karena perahu mereka terombang-ambing badai (lih. Mat 14:27). Ketakutan membuat seseorang tidak dapat melihat segala sesuatunya dengan jelas, dan bahkan dapat mengaburkan iman. Namun, pandangan yang terus-menerus kepada Yesus dapat menguatkan iman, serta dapat memberikan pengharapan yang pasti kepada kita. Iman yang teguh membuat kita dapat melangkah dengan pasti dan pengharapan di dalam Yesus membuat kita terus bertahan untuk mencapai tujuan akhir. Oleh karena itu, mari kita menghadapi tantangan hidup maupun tantangan dalam karya kerasulan dengan memusatkan pandangan kita kepada Yesus, yang terus-menerus berkata, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!

II. Teks Matius 14:22-33 (Minggu ke-19, tahun A)

22.  Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.
23.  Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.
24.  Perahu murid-murid-Nya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal.
25.  Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air.
26.  Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu!“, lalu berteriak-teriak karena takut.
27.  Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!
28.  Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.
29.  Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus.
30.  Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!
31.  Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?
32.  Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah.
33.  Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.

III. Telaah dan interpretasi Matius 14:22-33

1. Latar belakang perikop

Perikop dari Mat 14:22-23 menceritakan Yesus berjalan di atas air, yang juga diceritakan di dalam Injil yang lain, yaitu: Mrk 6:45-52 dan Yoh 6:16-21. Peristiwa Yesus berjalan di atas air terjadi setelah penggandaan roti dan terjadi ketika perahu yang ditumpangi para murid tertimpa badai topan di danau Galilea. Danau Galilea atau danau Genesaret (lih. Luk 5:1) atau disebut juga laut Tiberias (lih. Yoh 6:1; Yoh 21:1) adalah danau yang cukup luas, yang kurang lebih lebarnya hampir mencapai 10 km dengan panjang hampir mencapai 26 km. ((lih. Josephus, Bell. Jud. 3, 18.)) Kalau sebelumnya, banyak karya Yesus terjadi di sekitar danau Galilea, maka pada perikop ini, kita melihat bagaimana Yesus melakukan sesuatu yang melawan hukum alam, yaitu dengan berjalan di atas danau Galilea.

2. Karya kerasulan dan kehidupan doa adalah berbanding lurus (ay.22-23)

Menarik sekali, kalau kita simak, bahwa setelah Yesus melayani orang banyak, memberikan kesembuhan kepada mereka, serta mengadakan mukjizat penggandaan roti (lih. Mat 14:13-21), Dia menyuruh semua orang pergi termasuk juga para murid. Kemudian, Yesus pergi ke atas bukit, mengasingkan diri dan berdoa seorang diri. Ini berarti doa adalah merupakan unsur yang penting dalam pelayanan. Namun, pertanyaannya adalah mengapa Yesus, yang sungguh Allah perlu berdoa? Pertama, karena selain Kristus mempunyai kodrat sungguh Allah, Dia juga sungguh manusia. Kalau doa dapat didefinisikan sebagai “membuka keinginan kita kepada Tuhan, sehingga Dia dapat memenuhinya” ((Thomas Aquinas, Summa Theology, q. II-II, 83, a.1-2)), maka sungguh menjadi hal yang wajar, kalau Kristus yang juga sungguh manusia (di samping sungguh Allah) menyatakan keinginan-Nya kepada Allah Bapa. Kita dapat melihat bagaimana Yesus mengungkapkan keinginan-Nya dalam kodrat-Nya sebagai manusia, ketika Dia berdoa, “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” (Mat 26:42; bdk. Mrk 14:36; Luk 22:42).

Alasan kedua bahwa Yesus berdoa adalah untuk kepentingan manusia. Yesus dapat saja berdoa dalam hati, namun Dia ingin menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya sebagai manusia kita berdoa, yaitu bahwa kita harus senantiasa tunduk kepada kehendak Allah Bapa, meskipun di dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Yesus berdoa tanpa henti, untuk mengajar manusia senantiasa berdoa di dalam segala kesempatan tanpa henti (lih. Mt 26:36; Mk 14:32; Lk 3:21; 6:12;Lk 9:18, 28; Lk 11:1-2; Lk 18:1). Yesus mengajarkan kepada manusia bahwa di dalam doa yang terpenting adalah untuk mengikuti kehendak Tuhan, seperti yang dikatakan-Nya dalam doa-Nya di Taman Getsemani, dimana Dia berkata “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” (lih. Mt 26:36; Mk 14:32-36). Yesus mengajarkan doa yang sempurna, yaitu doa Bapa Kami, yang terdiri dari tujuh petisi (lih. Mt 6:9-13). Yesus menunjukkan bahwa di dalam setiap percobaan, Tuhanlah yang menjadi kekuatan, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus di dalam drama penyaliban (Mt 27:46; Mk 15:34; Lk 23:46). Yesus juga mengajarkan pentingnya untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus dengan berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (lih. Lk 23:34) Dan masih begitu banyak contoh yang lain, yang mengajarkan kita, para murid Kristus agar mengetahui bagaimana caranya untuk berdoa, karena Tuhan sendiri – melalui Kristus – telah menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya berdoa.

Yang menjadi bahan permenungan kita adalah, Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia menunjukkan pentingnya doa. Yesus ingin menunjukkan kepada kita bahwa doa adalah merupakan sumber kekuatan bagi kehidupan umat beriman. Dan terutama doa harus menjadi sumber kekuatan bagi umat Allah yang melakukan karya kerasulan. Dapat dikatakan bahwa relasi antara kegiatan pastoral dan spiritualitas adalah tak terpisahkan dan dapat dibandingkan seperti kodrat manusia, yang terdiri dari tubuh dan jiwa, di mana kegiatan pastoral adalah seumpama tubuh dan spiritualitas adalah seumpama jiwanya. Sama seperti tubuh tunduk terhadap jiwa, maka setiap karya pastoral harus mengalir dari spiritualitas. Karya pastoral yang tidak berakar pada spiritualitas atau kehidupan rohani adalah sama seperti tubuh tanpa jiwa. Tanpa ada kehidupan rohani di dalamnya, hanya tinggal menunggu waktu, maka kegiatan pastoral akan mati dengan sendirinya. Jadi, karya pastoral mensyaratkan kehidupan rohani para pelakunya, sehingga dapat menghasilkan buah- buah yang limoah, dan menghantar semua yang terlibat di dalamnya kepada kekudusan.

3. Gelombang kehidupan (ay.24)

Kehidupan rohani yang terbangun dari kehidupan doa dan sakramen menjadi sangat penting, karena begitu banyak gelombang yang menimpa kehidupan kita. Tanpa kehidupan doa yang baik, maka perahu kehidupan kita juga akan goncang. Tanpa kehidupan doa yang baik, maka perahu karya kerasulan kita juga akan tergoncang. Bahkan, kalau perahu adalah lambang Gereja, tanpa kehidupan doa yang baik dari anggota Gereja, maka Gereja juga akan tergoncang. Dan inilah yang terjadi ketika terjadi masa-masa sulit dalam sejarah Gereja. Namun, Tuhan yang telah berjanji untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir zaman (lih. Mat 16:18; Mat 28:19-20), tidak pernah meninggalkan Gereja Katolik, sehingga pada saat-saat yang sulit, Tuhan mengirimkan santa-santo yang turut membangun Gereja dari dalam.

4. Dalam badai, Yesus datang menyapa “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (ay.25-27)

Cara Tuhan untuk menyelamatkan seseorang dalam kesulitan atau Gereja yang dalam krisis sering dengan cara yang tidak disangka-sangka. Dalam perikop ini diceritakan bahwa Yesus datang kepada para murid yang sedang panik karena terjangan badai, pada waktu dan cara yang tidak tidak umum. Yesus datang pada jam tiga (the fourth watch of the night) dan dengan cara berjalan di atas air. Sistem jam Yahudi kuno adalah dibagi tiga, yang setiap bagiannya terdiri dari empat jam (lih. Rat 2:19; Hak 7:19; Kel 14:24). Namun, Matius 14 menceritakan bahwa Yesus datang pada “the fourth watch of the night“, yang mengindikasikan sistem waktu bangsa Romawi. Pada petang hari, mulai jam 6 sore sampai jam 9, adalah masa jaga pertama, yang disusul dari jam 9-12, dan jam 12 malam – 3 pagi, dan masa jaga ke-empat adalah mulai jam 3 sampai jam 6 pagi. Dari perhitungan ini, Kitab Suci Bahasa Indonesia menterjemahkan “the fourth watch of the night” sebagai jam tiga malam. Dengan kata lain, Yesus datang pada saat waktu jaga terakhir.

Bayangkan bahwa para murid mungkin berjuang semalam suntuk di kapal dari terjangan ombak dan badai. Mungkin mereka menyadari bahwa guru mereka tidak bersama mereka, sehingga mereka tidak dapat meminta tolong kepada-Nya (lih. Luk 8:22-25). Pada saat gawat seperti ini dan pada waktu yang sungguh sulit dan tak terduga, mereka melihat sosok yang berjalan di atas air, sehingga mereka mengira bahwa itu adalah hantu (ay.26). Namun, kemudian Yesus berkata kepada mereka, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (ay.27) Kata “tenang” atau tharséō sering dipakai Yesus ketika Dia menguatkan orang-orang sakit yang datang kepada-Nya. Dia mengatakan kepada orang lumpuh (lih. Mat 9:2) dan kepada perempuan yang telah dua belas tahun menderita pendarahan (lih. Mat 9:22) agar mereka tenang, percaya, sehingga mereka dapat memperoleh kesembuhan. Bahkan Yesus mengatakan lebih lanjut, “Imanmu telah menyelamatkan engkau.” Dari sini kita dapat belajar, bahwa dalam kondisi tanpa harap, kita dapat terus berharap kepada Yesus. Yang diperlukan adalah kepercayaan bahwa Yesus akan membantu kita, dan tidak akan pernah membiarkan kita untuk menghadapi permasalahan hidup sendirian. Kata tharséō juga digunakan oleh Yesus ketika Dia mengatakan kepada para murid bahwa jangan sampai mereka takut kalau terjadi penganiayaan di dunia ini (lih. Yoh 16:33); serta dipakai ketika Yesus mengatakan kepada Rasul Paulus agar jangan takut untuk bersaksi (lih. Kis 23:11). Ini berarti dalam menghadapi masalah kehidupan, masalah kesehatan, dan juga masalah-masalah yang harus dihadapi dalam menjalankan karya-karya kerasulan, seseorang harus terus bersandar kepada Yesus, sehingga Yesus dapat terus memberikan kekuatan. Kita harus senantiasa mengingat perkataan Yesus, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”

5. Mata yang tertuju kepada Yesus (ay.28-32)

Mendengar perkataan Yesus serta mengenali sosok dan suara Yesus, para murid mendapatkan ketenangan. Namun, bagi orang yang mengasihi, ketenangan saja tidaklah cukup. Orang yang mengasihi senantiasa ingin bersatu dengan orang yang dikasihinya. Petrus, yang mengasihi Yesus mengatakan, “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” (ay.28) Sungguh pernyataan yang terdengar berani dan mungkin cenderung terburu-buru. Namun, St. Hilarius dan St. Krisostomus melihat dari sisi yang berbeda, yaitu Petrus dipenuhi dengan kasih dan iman akan Kristus. Kasihnya membuat Petrus ingin cepat bersama dengan Yesus yang saat itu masih berjalan di atas air dan imannya membuat Petrus percaya bahwa Yesuslah yang berjalan di atas air, serta percaya bahwa Yesus dapat memberikan kekuatan yang sama kepada orang lain.

Melihat kedalaman hati Petrus, maka Yesus menjawab “Datanglah!” (ay.29), sama seperti Kristus melihat kedalaman iman dari orang lumpuh dan wanita yang sakit pendarahan. Terhadap orang yang sakit ini, Yesus lebih lanjut mengatakan “Imanmu telah menyelamatkan engkau”, “dosamu telah diampuni”. Namun, terhadap Petrus, Yesus berkata “Datanglah”. Dan dengan mata yang terus tertuju kepada Yesus, Petrus turun dari perahu, menapakkan kakinya dan kemudian berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Imanlah yang membuat seseorang berani untuk meninggalkan apa yang dia punyai, melepaskan apa yang dia pegang, meninggalkan daerah nyamannya, dan kemudian melangkah ke sesuatu yang mungkin lebih sulit, lebih tidak nyaman, namun, dengan mata terus tertuju kepada Yesus. Karena imanlah Abraham mau meninggalkan yang dia miliki untuk menuju tanah terjanji; dan karena imanlah Musa mau pergi menghadap ke Firaun dan memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Tokoh-tokoh Kitab Suci ini mau melakukan perintah Tuhan, karena mereka berpegang pada Sabda Allah. Demikian juga dengan Petrus, yang dengan berani menapakkan kakinya ke luar perahu, untuk berjalan di atas air, karena Yesus, yang adalah Sang Sabda, telah berkata kepadanya, “Datanglah!” Dengan demikian, selama seseorang memusatkan perhatian pada Sabda atau Kristus, maka dia akan dapat mengarungi badai kehidupan.

Ketika Petrus tidak lagi berfokus pada Yesus, namun pada apa yang terjadi di sekitarnya, pada tiupan angin, maka hatinya dipenuhi dengan kebimbangan dan ketakutan. St. Thomas Aquinas mendefinisikan takut sebagai penarikan diri dari kejahatan yang mengancam yang sulit diatasi. ((St. Thomas Aquinas, Summa Theology, I-II, q.23, a.4)) Dengan demikian, ketakutan dari Rasul Petrus bersumber pada kejahatan atau ancaman yang terjadi di sekelilingnya. Dan pada saat seseorang berfokus pada ancaman serta melupakan apa yang baik yang berada di depannya, maka iman dan harapan seolah-olah menjadi kabur. Dia melupakan apa yang menjadi dasar dari langkah kehidupannya dan tidak lagi melihat bahwa sesuatu yang baik adalah mungkin untuk dicapai. Karena ancaman sekitarnya, Rasul Petrus melupakan bahwa dasar dia berjalan di atas air adalah karena kekuatan dari Sabda Kristus, dan tujuan dari dia berjalan di atas air adalah untuk mendekat dan bersatu dengan Kristus. Kehilangan dasar (iman) dan tujuan (harapan), membuat Rasul Petrus ketakutan dan kemudian mulai tenggelam.

Lawan dari ketakutan adalah keberanian (audacity), yaitu sikap berani untuk menghadapi tantangan atau ancaman. Keberanian dalam menghadapi tantangan kehidupan bukanlah bersumber pada diri kita, namun pada Kristus sendiri. Inilah sebabnya, ketika kita takut, maka kita perlu membangkitkan kembali sumber kekuatan kita, yaitu Kristus sendiri. Inilah yang dilakukan oleh rasul Petrus, ketika dia berteriak, “Tuhan, tolonglah aku!” (ay.30)  Dan pada saat kita meminta tolong kepada Tuhan, ketika kita mengangkat tangan kita, maka Tuhan menghampiri kita, memegang tangan kita dan menarik kita dari keterpurukan kita, sama seperti Kristus kemudian mengulurkan tangan-Nya (ay.31). Ketika Kristus mengulur tangan-Nya, Dia menghapus semua kebimbangan dan ketakutan Petrus, dan kemudian Kristus membawa Petrus naik ke perahu (ay.32). Sungguh menarik bahwa ketika Yesus menghapus ketakutan dan kemudian naik perahu bersama mereka, maka dikatakan bahwa anginpun reda. Hanya ketenangan di dalam Tuhanlah yang dapat meredakan ketakutan kita.

6. Pengakuan akan Kristus sebagai Anak Allah (ay. 33)

Pengalaman akan Kristus yang sungguh mampu untuk melakukan mukjizat baik yang mampu melakukan kesembuhan-kesembuhan, memperbanyak roti, menguasai kekuatan alam, serta membuat Petrus dapat berjalan di atas air serta menolongnya ketika dia tenggelam, membuat para rasul menyembah Yesus dan mengatakan, “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.” Sebelumnya, para murid kebingungan akan identitas Yesus ketika Yesus meredakan angin ribut, sehingga mereka terheran-heran dan bertanya, “Orang apakah Dia ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?” Namun, pada kejadian ini, mereka menyadari bahwa guru mereka adalah Anak Allah. Pernyataan akan ke-Allahan Kristus ini juga diulangi oleh Petrus di Matius 16:16, yang dilanjutkan dengan pemberian kuasa oleh Kristus kepada Rasul Petrus untuk memegang kunci Kerajaan Sorga.

IV. Mengarungi hidup dengan penuh iman dan pengharapan

Perikop Yesus berjalan di atas air memberikan pelajaran kepada kita, agar kita senantiasa menaruh kepercayaan kita kepada Yesus, sehingga kita dapat mengarungi gelombang kehidupan dengan penuh iman dan pengharapan. Tanpa iman dan pengharapan di dalam Kristus, kehidupan kita akan terpusat pada masalah dan gelombang. Namun dengan iman dan pengharapan, kita akan dapat melalui gelombang kehidupan dengan ketenangan dan damai.

Yesus tidak benar- benar mati di salib?

24

Pertanyaan:

salam…….@admin
1. Bahwa Yesus tidak mencontohkan pada masa hidupnya tentang tanda salib. Bahkan pasca “kebangkitan”nya belum ada tanda salib yang dia contohkan. Yah, karena memang Yesus tidak mati disalib. Silahkan BACA DISINI

2. Para pengarang Kitab Suci tidak dapat membuat distorsi atas Wahyu Allah yang ditulisnya. Itulah sebabnya, walaupun ditulis oleh orang yang berbeda- beda, pada waktu dan tempat yang berbeda juga, namun dapat menyampaikan inti pengajaran yang sama. Fakta ini malah menjadi bukti nyata bagi keotentikan Kitab- kitab tersebut,,,,,
Jadi adakah termasuk LUPA pada LUKAS.Bagian tesebut = bagi saya adalah bukti tidak otentik=.

3. Sebab kedudukan Kitab Suci tidak lebih tinggi dari Gereja. Gereja (jemaat) adalah Tubuh Kristus, dan Kristus adalah Kepalanya
Gereja adalah rumah ibadah.
Kristus adalah imam/pemimpin.
Keduanya berjalan dengan tuntunan KITAB SUCI. Karena Kitab Suci adalah dari Tuhan baik dari sisi mana saja.
Kitab Suci = Gereja dan Kristus maka jika ada perbedaan pendapat dalam suatu perkara, mana yang akan digunakan?
1.Gereja
2.Kitab Suci
3.Gereja yang menafsirkan KS
4.KS berdasarkan tafsir Gereja?
5.Berpikir dalam kerangka KS?
Seperti kasus perceraian. Musa membolehkan, Yesus melarang. Jika saya berselingkuh, maka hukum KS/Gereja mana yang berlaku?
salam

Jawaban:

Shalom Abu Hanan,

1. Yesus tidak benar- benar mati?

Anda memberikan argumen bahwa Tanda Salib tidak diajarkan Yesus karena Yesus sendiri tidak mati di salib, namun Ia hanya ‘mati suri’/ koma. Dalam argumen anda, anda mengatakan hal yang menyebabkan Ia tidak mati adalah karena diberi minum anggur asam (Yoh 19:29), yang mempunyai efek narkotik dan menjadikan Dia koma. Ramuan ini (anda sebut juice tanaman Asclepias Acida) menurut anda adalah buatan kaum Essenes yang mahir dalam hal pengobatan. Selain ini anda juga menyebutkan bahwa orang yang dihukum salib biasanya meninggal perlahan, namun jika ingin dipercepat maka korban dipatahkan kakinya, dan hal ini tidak diperbuat atas Yesus. Prajurit hanya menikam lambungnya dan dari situ keluar air yang deras mengalir, yang menandakan bahwa Ia masih hidup. Maka menurut anda, pada saat Injil mengatakan Yesus ‘kelihatan’ sudah mati, namun sebenarnya belum mati. Jenazah kemudian diturunkan dan diberi rempah- rempah oleh Yusuf Arimatea, Nikodemus dan Magdalena yang sebenarnya adalah obat, sehingga dapat membuatnya bangun/ siuman.

Namun argumen ini sesungguhnya merupakan hipotesa, yang tidak sejalan dengan fakta-fakta berikut ini:

1. Injil Yohanes mengatakan, “Di situ ada suatu bekas penuh anggur asam. (Now there was a vessel (σκεῦος, skeúos) set there, full of vinegar (Douay Rheims Bible). Maka mereka mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus.”

Pertanyaannya, mengapa sampai ada bejana anggur asam di tempat para prajurit itu yang menyalibkan Yesus, sehingga mereka mencucukkan bunga karang pada hisop untuk mengunjukkannya ke mulut Yesus? Walau tidak tertulis dalam Injil, sehingga dapat saja orang menduga banyak hal (seperti bahwa minuman itu dibuat dan dibawa ke sana oleh orang- orang Essenes), namun hipotesa yang lebih kuat adalah karena minuman anggur asam (Posca) tersebut merupakan minuman populer bagi para orang Romawi dan Yunani kuno. Minuman itu adalah campuran antara anggur asam/ cuka dengan air dan sari tumbuh- tumbuhan. Sumber yang netral Wikipedia juga mengatakan demikian, bahwa posca yang berasal dari Yunani aslinya adalah campuran untuk obat, namun kemudian menjadi mimuman sehari- hari bagi prajurit Romawi dan orang- orang kelas bawah, sejak abad 2 SM sampai sepanjang sejarah Romawi dan Byzantin. Dalam campuran ini, digunakan kembali anggur yang sudah rusak karena penyimpanan yang kurang baik. Dengan sifatnya yang asam, anggur ini mengandung vitamin C, dapat membunuh bakteri dan aromanya mengatasi bau air bersih lokal. Maka hipotesa bahwa anggur asam ini mempunyai efek membuat orang koma, nampaknya berlebihan. Mengingat bahwa cara memasukkan minuman ke dalam tubuh Yesus juga hanya melalui cucukan bunga karang, sehingga praktis hanya membasahi mulut, nampaknya tidak banyak efek yang bisa diharapkan dari cairan tersebut.

2. Mengapa air dan darah mengalir dengan kuatnya dari lambung Yesus yang ditikam?

Dikatakan dalam Injil Yohanes, “tetapi ketika mereka sampai kepada Yesus dan melihat bahwa Ia telah mati, mereka tidak mematahkan kaki-Nya, tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air. Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya kamu juga percaya. Sebab hal itu terjadi, supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci: “Tidak ada tulang-Nya yang akan dipatahkan. Dan ada pula nas yang mengatakan: “Mereka akan memandang kepada Dia yang telah mereka tikam.” (Yoh 19:33-37)

Maka prajurit tersebut menikam lambung Yesus (kemungkinan untuk menikam jantungnya), untuk memastikan agar Dia benar- benar mati. Dari sanalah segera mengalir air dan darah. Fenomena ini memang tidak biasa pada orang- orang yang sudah meninggal, dan ini juga dicatat oleh saksi mata yang melihat sendiri dan memberikan kesaksian itu (lih. Yoh 19:35). A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Orchard, ed., menjelaskan tentang hal ini sebagai berikut: “Ada banyak pandangan untuk menjelaskan hal itu, dan kebanyakan mengatakan bahwa air tersebut merupakan serum tubuh yang terkumpul di pericardium, karena penderitaan yang sangat intens yang diterima Yesus [akibat cambukan, siksa dan aniaya hukuman salib]. Namun apakah alirannya yang keras merupakan mukjizat ataupun dapat dijelaskan secara alami, sebagaimana dikatakan para ahli fisiologis, tidak menjadi penting. Sebab kenyataannya demikian, dan ini dicatat di kitab Injil. Para Bapa Gereja mengajarkan bahwa kedua cairan itu melambangkan Baptisan dan Ekaristi, dan melihat adanya rahmat Tuhan yang mengalir melalui kedua aliran yang dan menghidupkan kembali dan memberi hidup ini, yang melahirkan Hawa yang baru (yaitu Gereja) dari rusuk/ lambung Adam yang baru, yang ‘tertidur’ [sleep of death] di kayu salib.”

3. Rempah- rempah adalah obat dari kaum Essenes yang membangunkan Yesus dari koma?

Wikipedia, mengutip Kittle Gerhardt, mengatakan bahwa ritual pemurnian adalah praktek yang umum dilakukan oleh bangsa- bangsa di Palestina pada abad- abad awal, dan bukan hanya menjadi kebiasaan orang Essenes. (Kittle, Gerhardt. Theological Dictionary of the New Testament, Volume 7. pp. 814, note 99).

Menurut adat orang Yahudi, orang yang wafat harus segera dikubur. Orang Yahudi umumnya menguburkan jenazah dalam kubur batu. Umumnya jenazah dimandikan dan dibungkus dengan kain pengikat. Minyak wangi dan rempah- rempah dapat dikenakan pada jenazah. Injil Yohanes mengatakan bahwa Nikodemus datang ke kubur dengan membawa campuran minyak mur dan minyak gaharu (myrrh and aloes, lih. Yoh 19:39). Khasiat minyak mur pertama tama adalah sebagai pewangi, sedangkan gaharu adalah untuk mengobati luka. Walaupun ada pula efek medisinalnya, namun adalah suatu hipotesa yang masih harus dibuktikan untuk mengatakan bahwa minyak tersebut dapat membangunkan orang dari koma/ mati suri, apalagi jika diandaikan harus memberi efek relatif segera.

4. Kitab Suci jelas menyatakan bahwa Yesus mati.

Kami umat Kristiani menerima apa yang disampaikan oleh keseluruhan Kitab Suci, dan tidak hanya menerima sebagian ayat dan menolak ayat yang lain. Hal kematian Yesus dicatat di dalam Injil dengan jelas. Sebab walaupun di ayat Mrk 15: 39 memang dikatakan bahwa kepala pasukan “melihat” mati-Nya Yesus, namun ayat sebelumnya mengatakan, “Lalu berserulah Yesus dengan suara nyaring dan menyerahkan nyawa-Nya.” (Mrk 15:37, lih. Mat 27:50, Luk 23:46, Yoh 19:30). ‘Menyerahkan nyawa’ adalah perkataan lain (sinonim) dari kata ‘mati’. Injil Lukas mencatat bahwa sebelum menyerahkan nyawa-Nya, Yesus berkata, “Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk 23:46).

Banyak Bapa Gereja yang mengartikan teriakan nyaring ini pada saat kematian-Nya sebagai indikasi bahwa Ia adalah Tuhan dan bahwa Ia wafat atas kehendak bebas-Nya sendiri. Perkataan yang diucapkan sedemikian menunjukkan bahwa Ia tetap mempunyai kesadaran penuh dan pengendalian diri yang sempurna sampai pada akhir hidup-Nya. Kematian Kristus adalah kematian yang dikehendaki oleh Diri-Nya sendiri: Ia mempunyai kuasa untuk menyerahkan nyawa-Nya dan memperoleh-Nya kembali (lih. Yoh 10:17-), namun Ia memberikannya demi menyelesaikan rencana Ilahi untuk keselamatan manusia. Kata- kata terakhir-Nya merupakan pernyataan kehendak bebas-Nya untuk menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib demi menyelamatkan umat manusia. Pada saat jam tiga petang, pada saat anak domba paska dikorbankan di bait Allah (yang hanya beberapa yard dari tenpat penyaliban Yesus) menurut ritual Perjanjian Lama, Anak Domba Allah telah wafat (lih. 1 Kor 5:7).

Maka hipotesa yang menyatakan Yesus hanya mati suri ataupun pingsan (tidak sungguh- sungguh wafat) tidak cocok dengan banyak ayat dalam Kitab Suci yang menyatakan bahwa Kristus sungguh wafat/ menyerahkan nyawa-Nya.

“Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci…” (1Kor 15:3)

“Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.” (1Kor 15:20)

“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan…” (1Ptr 1:3)

“Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh…” (1 Ptr 3:18)

Di atas semua itu, hal kematian Yesus telah berkali- kali dikatakan oleh Yesus sendiri (lih. Mat 17: 22; Mat 20:19; Mat 26:2; Mrk 9:30; Mrk 10:33-34; Luk 18:32).

“Ia [Yesus] berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.” (Mat 17:22)

“Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” (Mrk 9:30)

… kata-Nya: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, dan Ia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh, dan sesudah tiga hari Ia akan bangkit.” (Mrk 10:33-34)

“Sebab Ia akan diserahkan kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, diolok-olokkan, dihina dan diludahi, dan mereka menyesah dan membunuh Dia, dan pada hari ketiga Ia akan bangkit.”

Maka seseorang yang mengatakan bahwa Yesus hanya mati suri, sama saja ia menuduh Yesus berdusta. Bagi kami umat Kristiani, argumen tersebut tidak berdasar, justru karena bertentangan dengan perkataan Yesus yang adalah Sang Kebenaran. Sebab yang mempunyai hipotesa tersebut adalah manusia yang tak luput dari kesalahan, sedangkan yang mengatakan bahwa Yesus wafat dibunuh adalah Tuhan Yesus sendiri, yang tidak mungkin salah. Maka argumen yang mengatakan bahwa Yesus pingsan (yang biasanya didahului gejala berangsur kehilangan kesadaran), juga tidak sesuai dengan kenyataan, karena justru sampai akhirnya, Yesus dengan sadar berseru, bahkan dengan suara lantang, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk 23:46).

Bahwa setelah wafat-Nya, ketika lambung Yesus ditusuk oleh tombak, lalu memancarlah air dan darah, juga tidak dapat dikatakan bahwa itu merupakan tanda bahwa Ia masih belum wafat. Sebab keadaan tersebut walaupun langka, dapat diterangkan secara medis, dan dapat pula merupakan tanda supernatural sebagai pemenuhan nubuat yang samar- samar digambarkan dalam Perjanjian Lama. Para Bapa Gereja mengajarkan bahwa seperti Hawa terbentuk dari tulang rusuk Adam, maka Gereja (sebagai Hawa yang baru, Mempelai Kristus) terbentuk dari air dan darah yang keluar dari lambung Kristus (Adam yang baru), seperti dikatakan juga oleh Rasul Paulus dalam Ef 5: 24-27.

2. Lukas keliru sewaktu mengatakan bahwa ada nubuatan tentang kebangkitan Yesus di kitab Mazmur?

Tidak, St. Lukas tidak keliru. Ada ayat- ayat dalam kitab Mazmur yang memang menyampaikan nubuat tentang wafat dan kebangkitan Kristus Sang Mesias. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

3. Tentang kaitan Kitab Suci, Gereja dan Kristus

Nampaknya harus diketahui terlebih dahulu, bahwa ada perbedaan antara Gereja dan gereja. Sebab Gereja (dengan huruf besar) artinya adalah jemaat/ ekklesia, sedangkan gereja (dengan huruf kecil) adalah gedungnya. Maka dalam artian Gereja sebagai jemaatlah, kita mengatakan bahwa Kristus adalah Kepalanya. Dengan Kristus sebagai Kepala Gereja, maka tidak dapat dikatakan bahwa kedudukan Kitab Suci berada di atas Kristus dan Gereja, sebab Kristus sebagai Allah Putera itu sendiri lebih tinggi dari Kitab Suci dan tidak terbatas oleh Kitab Suci. Bahwa selama penjelmaan-Nya menjadi manusia, Yesus menaati ajaran yang tertulis dalam Kitab Suci, itu benar, tetapi secara keseluruhan, dalam kodrat-Nya sebagai Allah, Kristus tidak dibatasi atau terbatas dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci. Kitab Suci sendiri mengajarkan bahwa tiang penopang dan dasar kebenaran adalah Gereja (jemaat) dan bukan Kitab Suci itu sendiri, seperti diajarkan oleh Rasul Paulus, “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1 Tim 3:15).

Oleh karena itu, Gereja Katolik melestarikan semua Wahyu Ilahi yang disampaikan baik dalam Kitab Suci maupun yang diajarkan dalam Tradisi Gereja. Sebab dikatakan di dalam Injil Yohanes bahwa Kitab Suci tidak memuat semua ajaran Yesus, “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” (Yoh 21:25). Hal- hal lain/ ajaran yang tidak tertulis dalam Kitab Suci tersebut tetap diteruskan oleh para murid Kristus kepada para penerus mereka untuk dilestarikan. Sebab Rasul Paulus mengajarkan agar Gereja berpegang kepada ajaran- ajaran para rasul baik yang tertulis dalam Kitab Suci, maupun yang tidak tertulis/ lisan (dalam Tradisi Suci), “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15). Maka Sabda-Nya dipercayakan Kristus kepada Gereja, dan Gerejalah yang paling berhak untuk menginterpretasikan Sabda-Nya dengan benar. Keempat Injilpun ditulis berdasarkan ajaran lisan (Tradisi Suci) yang diberikan oleh Kristus kepada para murid-Nya (Gereja), yang kemudian dituliskan oleh Rasul Matius dan Rasul Yohanes, St. Lukas (murid Rasul Paulus) dan St. Markus (murid Rasul Petrus). Itulah sebabnya Gereja Katolik memegang baik Tradisi Suci maupun Kitab Suci, karena keduanya berasal dari sumber yang sama.

Kristus tidak menulis Kitab Suci, namun mendirikan Gereja di atas Rasul Petrus, demikian Sabda-Nya, “Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat (Gereja)-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18); dan Ia berjanji menyertai Gereja-Nya sampai akhir jaman (Mat 28:19-20). Dengan demikian, Kristus mempercayakan kepemimpinan umat-Nya kepada Petrus dan para penerusnya, yang kini disebut sebagai Magisterium Gereja, yang diberi kuasa untuk mengajar dan mengampuni dosa, yang disebut kitab suci “kuasa untuk mengikat dan melepaskan” (Mat 16:19, Mat 18:18). Kuasa mengajar dalam hal ini adalah dalam hal iman dan moral, sehingga jika terdapat perbedaan pandangan yang berhubungan dengan iman dan moral, yang menjadi acuan adalah ajaran yang berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi Suci, seperti yang telah ditentukan oleh Magisterium Gereja, yang diberi kuasa oleh Kristus untuk memimpin Gereja. Selanjutnya Magisterium mengeluarkan ketentuan/ peraturan/ hukum Gereja yang sifatnya lebih praktis untuk melaksanakan ajaran iman dan moral tersebut. Jadi di sini terlihat adanya tiga pilar dalam Gereja yang tidak terpisahkan: yaitu Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Keterangan tentang hal ini, silakan klik di sini.

Selanjutnya, dalam kehidupan menggereja, para penerus rasul itu adalah Paus dan para Uskup, dan mereka dibantu oleh para imam. Para Uskup memimpin wilayahnya yang disebut keuskupan. Dan untuk penyelesaian praktis yang menyangkut pelanggaran ataupun perkara hukum Gereja, hal itu dapat diputuskan oleh Tribunal keuskupan.

4. Dasar untuk menyikapi perceraian dan perselingkuhan

Dalam Gereja Katolik, tidak diperbolehkan adanya perceraian, (lih. Mat 19:6). Namun adakalanya, perkawinan diadakan padahal tidak memenuhi persyaratan perkawinan yang sah seperti yang disyaratkan oleh hukum Gereja. Jika ini kejadiannya, maka perkara tersebut dapat diajukan ke pihak Tribunal keuskupan, dan jika hal ini dapat dibuktikan, maka Tribunal dapat memberikan ijin pembatalan perkawinan, artinya menyatakan bahwa perkawinan tersebut batal, karena tidak memenuhi syarat sebagai perkawinan yang sah. Pembatalan perkawinan tidak sama artinya dengan perceraian, sebab pembatalan artinya perkawinan itu sudah tidak sah sejak awal (karena halangan/ cacat yang sudah ada sebelum atau sejak hari H perkawinan), dan bukannya sudah sah awalnya, tetapi cerai kemudian karena alasan yang baru terjadi setelah perkawinan. Tentang hal ini, prinsipnya sudah pernah dibahas di sini, silakan klik, dan di sini, silakan klik. Sedangkan jika perkawinan sudah sah diberikan, maka tidak dapat diceraikan. Jika toh ada pihak yang meninggalkan pasangannya yang sah, maka ketentuan yang berlaku adalah keduanya tidak dapat menikah lagi. Hal bahwa dikatakan dalam Kitab Suci bahwa Musa memperbolehkan perceraian, itu sudah dijelaskan oleh Tuhan Yesus, bahwa hal itu diberikan karena ketegaran hati umat Israel, sedangkan bukan demikian yang pada awalnya ditentukan Allah (lih. Mat 19:8). Dengan demikian, Gereja Katolik mengacu kepada ajaran yang dikehendaki oleh Allah sejak awal mula, seperti yang diajarkan oleh Yesus, yaitu, perkawinan adalah antara seorang laki- laki dan perempuan, dan setelah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia (lih. Mat 19:5-6).

Sedangkan untuk perselingkuhan, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Perselingkuhan adalah tindakan yang melanggar moral namun bukan yuridis, oleh karena itu tidak dikaitkan dengan Tribunal. Kitab Hukum Kanonik mengatur tindakan yuridis, bukan moral baik atau buruk. Pelanggaran moral diselesaikan antara sang peniten di hadapan Tuhan dalam sakramen Pengakuan dosa, dan tentu ia memiliki kewajiban moral untuk tidak mengulanginya lagi ataupun bertanggungjawab untuk perbuatannya jika perselingkuhan itu sampai melahirkan kehidupan yang baru. Dalam menyelesaikan perkara- perkara di atas, baik hal perkawinan, perselingkuhan atau perkara- perkara lainnya, acuan dasarnya tetap Kitab Suci, Tradisi Suci dan ajaran Magisterium Gereja.

Kata ‘Gereja’ memang mempunyai dua makna, yaitu jemaat (dengan huruf besar: Gereja) dan gedung gereja (dengan huruf kecil: gereja). Jika dikatakan Kristus adalah Kepala Gereja, ini adalah dalam pengertian bahwa Yesus adalah Kepala jemaat. ‘Gereja’ yang menafsirkan Kitab Suci juga adalah jemaat, dan bukan bangunan. Gereja Katolik adalah Gereja (jemaat) yang didirikan oleh Tuhan Yesus sendiri, dan karena Gereja diberi kuasa oleh Kristus untuk mengajar, maka apa yang diajarkan oleh Gereja tidak mungkin bertentangan dengan Kitab Suci.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab