Home Blog Page 188

Kesalehan Umat dan Liturgi: Kemungkinan Penyerasian

17

Tentang devosi dan liturgi

Kesalehan umat menurut Direktorium Tentang Kesalehan Umat dan Liturgi (Pia Populi Christiani Exercitia = PPCE) no. 9 adalah “berbagai ungkapan kultis yang bersifat perorangan atau jemaat yang – dalam konteks iman Kristiani – diilhami pertama-tama bukan oleh liturgi kudus, tetapi oleh bentuk-bentuk yang diwariskan oleh bangsa atau orang tertentu, atau oleh kebudayaan mereka”. ((Direktorium Tentang Kesalehan Umat Dan Liturgi, terjemahan oleh Komisi Liturgi KWI, dari dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Directory on Popular Piety and the Liturgy (Pia populi christiani exercitia = PPCE, Vatican City 17 Desember 2001), Obor Jakarta, 2011.)) Ini adalah harta umat Allah yang haus akan Allah sendiri dan membuat umat mencontohi Allah untuk bermurah hati dengan penuh kasih dan rela berkorban dalam memberikan kesaksian iman. Ungkapan kesalehan umat antara lain: tata gerak, teks dan rumusan, nyanyian dan musik, patung kudus, tempat kudus dan saat kudus. ((PPCE 15-20.)) Di samping kesalehan umat ada juga ulah kesalehan, devosi dan religiositas rakyat serta liturgi. ((Kalau kesalehan umat diilhami oleh bentuk-bentuk yang diwariskan bangsa atau orang tertentu atau kebudayaan mereka, maka ulah kesalehan sebagai ungkapan kesalehan Kristiani, diilhami oleh liturgi dan mengantar umat Kristiani kepada liturgi. Ulah kesalehan selalu mengacu pada Wahyu Ilahi publik dan memiliki latar belakang gerejawi (PPCE 7). Istilah devosi berarti aneka kebiasaan eksternal (doa, madah, kebiasaan yang dikaitkan dengan waktu atau tempat tertentu, panji-panji, medali, busana, atau kebiasaan) yang dijiwai oleh sikap iman dan mengungkapkan hubungan khusus umat beriman dengan Tritunggal, Santa Maria dan para kudus (PPCE  8). Religiositas rakyat adalah pengalaman rohani universal yang memiliki nilai manusiawi dan rohani yang amat tinggi dan tidak selalu harus terkait dengan wahyu kristiani (PPCE 10).))

Dalam hubungan dengan liturgi, Gereja menyatakan bahwa liturgi adalah tindakan yang kudus dan paling utama dari Kristus dan Gereja. ((Bdk. SC 7.)) Tidak ada tindakan lain yang menandingi daya dampak dari liturgi. Maka umat beriman perlu sadar bahwa liturgi jauh lebih unggul dibandingkan semua bentuk doa Kristiani. Liturgi bersifat mutlak, sedangkan berbagai bentuk kesalehan umat bersifat fakultatif. ((PPCE 11.)) Penegasan ini tidak bermaksud meremehkan atau melecehkan dan menolak bentuk-bentuk kesalehan umat. Sebaliknya haruslah diberikan penghargaan yang tepat dan bijaksana terhadap kekayaan kesalehan umat. Dalam hal ini Injil harus menjadi acuan untuk menilai ungkapan kesalehan Kristiani. Untuk liturgi dan kesalehan umat tetap berlaku pedoman yang terdapat dalam Instruksi IV, Varietates Legitimae, 48: “tidak boleh memasukkan ritus-ritus yang dirasuki oleh takhyul ke dalam Gereja, penyembahan berhala, animisme, dan balas dendam atau hal-hal yang terkait dengan seks”. Berdasarkan pedoman ini kita bisa bertanya sejauh mana kesalehan umat diresapi oleh semangat biblis, liturgis, ekumenis, dan antropologis-pedagogis? ((Lihat PPCE 12: “Kesalehan umat hendaknya diresapi oleh semangat: biblis, karena tidak mungkin membayangkan doa Kristiani tanpa terkait langsung atau tidak langsung dengan Kitab Suci; semangat liturgis, agar kesalehan umat dapat menjadi persiapan dan gema yang tepat untuk misteri-misteri yang dirayakan dalam liturgi; semangat ekumenis, dengan mempertimbangkan kepekaan dan tradisi-tradisi umat Kristen lain tanpa dibatasi oleh rintangan-rintangan yang tidak semestinya ada; semangat antropologis, yang melestarikan simbol maupun ungkapan-ungkapan yang penting bagi bangsa tertentu sambil menjauhkan diri dari arkaisme yang hambar, dan semangat antropologis yang giat mengupayakan dialog yang bersahabat dengan kepekaan masa kini. Agar berhasil, pembaruan seperti itu harus diilhami kesadaran pedagogis dan dilaksanakan secara bertahap, dengan selalu mempertimbangkan waktu dan situasi-situasi khusus.”))

Liturgi memiliki nilai keselamatan sejauh lebih diunggulkan dibandingkan dengan semua ulah kesalehan. Keunggulan itu terletak pada inti hakekat liturgi sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus demi kemuliaan Allah dan keselamatan manusia (misteri Kristus). Sedangkan olah kesalehan adalah suatu bentuk penghayatan iman yang lebih bersifat pribadi.

Devosi (ulah kesalehan, kesalehan umat ) berasal dari kata Latin devotio (devovere) yakni suatu sikap hati serta perwujudannya, yang dengannya orang secara pribadi mengarahkan diri kepada sesuatu/seseorang yang dihargai atau dijunjung tinggi, dicintai atau ditujui. Devosi mencakup keterlibatan personal yang meliputi seluruh manusia khususnya segi emosional dan afektif, tidak hanya akal budi atau nalar.

Devosi dapat dibedakan sebagai berikut:

  1. Devosi religius. Devosi ini diarahkan kepada Allah dan bersangkutan dengan Allah seperti devosi kepada Hati kudus Yesus. Ada pula yang diarahkan kepada Bunda Maria seperti  Doa Rosario. Dan ada yang diarahkan kepada orang kudus (santo atau santa).
  2. Devosi a-religius. Olah kesalehan ini tidak bersifat keagamaan.  Devosi ini diarahkan kepada manusia yang masih hidup dan tak berhubungan dengan Allah. Misalnya penghormatan kepada raja, ratu, sultan, permaisuri dan pahlawan.

Bila kegiatan puji-syukur dan penyembahan kepada Allah Tritunggal Maha Kudus serta penghormatan kepada orang-orang kudus dan para malaikat dilaksanakan dalam perayaan liturgi, maka kegiatan penyembahan dan penghormatan itu menjadi kegiatan liturgis. Bila kegiatan penyembahan dan penghormatan itu dilaksanakan di luar perayaan liturgi, maka kegiatan itu disebut devosi (ulah kesalehan dan kesalehan umat).

Dalam setiap perayaan liturgi kita mewujudkan penghormatan dan penyembahan kita kepada Allah Tritunggal Maha Kudus dan kita juga menunjukkan penghormatan khusus kepada orang kudus dan para malaikat. Misalnya dalam perayaan Ekaristi pada umumnya kita menyatakan puji-syukur dan sembah-sujud serta  permohonan kita kepada Allah Tritunggal Maha Kudus, Bapa dan Putra dan Roh Kudus, lewat doa, nyanyian, sikap tubuh, simbol, peralatan, dekorasi dll. Dalam Ekaristi yang sama kita menyatakan penghormatan kepada para kudus dan para malaikat. Puji syukur dan penyembahan kepada Allah Tritunggal kita tunjukkan juga dalam Ekaristi Hari Raya Tritunggal Maha Kudus. Dalam Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus, kita memanjatkan puji-syukur dan sembah sujud kepada Sakramen Maha Kudus Tubuh dan Darah Yesus Kristus.

Devosi religius dalam arti khusus adalah semua kegiatan puji-syukur dan penyembahan kepada Allah serta penghormatan terhadap orang-orang kudus dan para malaikat yang dilakukan manusia beriman di luar perayaan liturgis. Dalam hal ini devosi adalah bentuk kegiatan non liturgis. Misalnya doa koronka Kerahiman Ilahi, Renungan Jalan Salib, Adorasi Sakramen Mahakudus, Doa Rosario, Novena kepada Santo Antonius dari Padua yang dilaksanakan di luar perayaan liturgi.

Perbandingan Devosi (Ulah Kesalehan dan Kesalehan Umat) dengan Liturgi

Sifat liturgi adalah:

  1. Resmi. Karena liturgi merupakan kegiatan yang diakui resmi oleh Gereja. Ada ketentuan resmi yang dikeluarkan oleh pimpinan Gereja karena wewenangnya dan tugasnya untuk memelihara dan meneruskan warisan resmi liturgi sebagai salah satu unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan persekutuan beriman.
  2. Komunal. Karena Liturgi (leitos: yang berhubungan dengan banyak orang dan ergon: kegiatan atau tindakan) adalah kegiatan bersama, melibatkan banyak orang dan dibuat demi kepentingan umum (banyak orang).
  3. Obyektif. Karena tindakan liturgis dari dirinya sendiri mengandung nilai keselamatan. Seluruh perayaan yang dilaksanakan dengan pola resmi yang telah disepakati membuat umat beriman mengalami kehadiran Allah dan karya-Nya yang menyelamatkan.
  4. Mutlak untuk mengembangkan hidup dalam Kristus. ((PPCE 11.)) Dalam hal ini Gereja memandang liturgi sebagai suatu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh umat beriman agar hidupnya  dan hidup orang lain dalam persekutuan beriman bertumbuh dan berkembang dengan baik. Liturgi mesti dirasakan dan dialami sebagai kebutuhan dalam hidup rohani dan dilaksanakan dengan kebebasan sebagai anak-anak Allah dan bukan sebagai beban atau paksaan yang menindih.

Sifat Devosi adalah:

  1. Tidak resmi. Karena devosi tidak terikat pada aturan resmi Gereja dalam bidang liturgi. Orang yang melaksanakan devosi boleh memilih pola yang cocok dengan kebutuhannya. Ada fleksibilitas yang lebih besar dalam menyelenggarakan devosi. Urutan dan unsur-unsurnya bisa berubah-ubah sesuai dengan keinginan orang yang melaksanakan devosi itu. Akan tetapi dalam rangka menghindarkan penyalahgunaannya dan praktek yang menyesatkan, pimpinan Gereja (Universal dan Patikular) memberikan pedoman dan rekomendasi. ((Bdk. Bernhard Raas, SVD, Popular Devotions, Making Popular Religious Practices More Meaningful Vehicles of Spiritual Growth, Divine Word Publications, Manila, 1992, hlm. 16.))
  2. Lebih personal. Karena devosi lebih mengikuti keinginan pribadi atau sekelompok orang yang mempunyai keinginan yang sama. Devosi tidak terikat pada kebersamaan. Bisa dijalankan bersama-sama kalau orang yang ambil bagian dalam devosi mempunyai keinginan pribadi yang sama. Tidak mengherankan bila dalam devosi hasrat dan kepentingan pribadi mendapatkan pemenuhannya.
  3. Cenderung emosional. Karena devosi lebih erat berkaitan dengan rasa perasaan seseorang. Hasrat hati dan emosi pribadi dapat diungkapkan dengan baik tanpa rasa takut. Dapat saja rasa perasaan yang sama dimiliki oleh banyak orang. Maka terbentuklah kelompok devosi yang terdiri dari banyak anggota dari berbagai latar-belakang.
  4. Fakultatif karena Gereja tidak mewajibkan orang beriman untuk melaksanakan kesalehan umat meskipun kegiatan itu sungguh bernilai dan disukai banyak orang ((PPCE 11))  yang akhirnya mewajibkan dirinya sendiri untuk melaksanakannya.

Hubungan Devosi dan Liturgi

Kedua kegiatan ini berbeda tetapi keduanya tidak saling meniadakan atau tidak saling mengganti. Liturgi tidak menghilangkan devosi dan juga devosi tidak menghilangkan liturgi. Ada tradisi yang hanya memperhatikan kegiatan liturgis dan tidak memberi tempat yang luas kepada devosi (tradisi Liturgi Gereja Othodoks dan Gereja Reformasi/Protestan).

Sebaliknya dalam tradisi Gereja Katolik terdapat masa di mana devosi begitu berkembang dan hampir mengalahkan kegiatan liturgis misalnya pada abad pertengahan dan khususnya pada masa Barok. ((Bdk. PPCE 41: “Pada masa Reformasi Katolik, hubungan antara liturgi dan kesalehan umat tidak dapat dilihat hanya sebatas pertentangan antara kemapanan dan perkembangan. Kadang-kadang muncul keanehan-keanehan: ulah kesalehan kadang-kadang berlangsung di tengah-tengah kegiatan liturgis dan mendominasinya. Dalam praktik pastoral kadang-kadang kesalehan umat itu lebih penting daripada liturgi. Situasi seperti ini menampakkan ketidakterikatan pada Kitab Suci dan tidak begitu mempedulikan sentralitas misteri Paskah Kristus, dasar dan puncak seluruh ibadat Kristiani, dan ungkapan utamanya dalam liturgi pada hari Minggu.”)) Karena itu ada orang yang amat senang dengan devosi dan merasa puas hanya dengan devosi lalu tidak suka atau menolak bahkan membenci liturgi. Liturgi dirasa sangat kering dan membosankan karena tidak sesuai keinginan dan rasa perasaan pribadinya.

Di antara kedua kecenderungan yang mengarah kepada kegiatan yang ekstrim berat sebelah (hanya memperhatikan kegiatan liturgis atau hanya memperhatikan kegiatan devosional dengan akibat saling meniadakan), Gereja Katolik pada prinsipnya mengambil jalan tengah. “Oleh karena itu, penting sekali bahwa kesalehan umat tidak dipertentangkan, disamakan, atau bahkan dilihat sebagai pengganti liturgi. Kesadaran akan makna unggul liturgi dan penelitian akan ungkapan-ungkapannya yang lebih asli tidak boleh mengarah pada sikap mengabaikan kesalehan umat, atau meremehkannya, atau menganggapnya berlebihan atau bahkan membahayakan Gereja.” ((PPCE 50)) Kedua kegiatan itu diakui oleh Gereja sebagai kegiatan yang saling mempengaruhi secara positif atau saling menyuburkan. ((PPCE 58: “Liturgi dan kesalehan umat adalah dua bentuk ibadat yang saling berhubungan dan saling menyuburkan buah masing-masing. Tetapi dalam hal ini liturgi tetaplah merupakan acuan utama… Dan kesalehan umat, justru karena corak simbolis dan ekspresifnya, sering dapat melengkapi liturgi dengan pandangan-pandangan penting untuk inkulturasi dan mendorong suatu kreativitas yang dinamis dan efektif.” Bdk. Sidang Pleno III Konferensi Uskup Amerika Latin, Documento de Puebla, 465 e. Bdk. juga dengan PPCE 73: “Liturgi sedari hakikatnya, jauh mengungguli ulah kesalehan, sehingga praktik pastoral harus selalu memberikan kepada liturgi kudus ‘tempat lebih unggul yang selayaknya ia miliki dalam hubungan dengan ulah kesalehan’; liturgi dan ulah kesalehan hidup berdampingan selaras dengan hierarki nilai dan hakikat khas kedua ungkapan kultis ini.”)) Liturgi mempengaruhi devosi dan sebaliknya devosi mempengaruhi liturgi sebagai dua kegiatan yang saling melengkapi dalam mengatasi kemungkinan kekurangannya. Kedua-keduanya harus mendapat perhatian yang wajar pada waktu dan tempatnya.

Devosi yang dibuat sebelum dan sesudah kegiatan liturgis dapat sangat menyemangati dan menghidupkan orang beriman untuk  merayakan  liturgi karena devosi tersebut telah menanamkan kesadaran pribadi yang kuat untuk memuji,  memuliakan dan menyembah Allah serta memberikan penghormatan kepada para malaikat dan orang-orang kudus. Orang yang secara pribadi mempunyai penghormatan yang besar terhadap Santa Perawan Maria akan sangat dibantu untuk menyadari peran Maria sebagai Bunda, Perawan, Pendoa, Pendengar dan Pelaksana Sabda Tuhan dalam Perayaan Ekaristi dan sekaligus devosan itu mendapat dorongan dan semangat untuk berperan aktif juga dalam Ekaristi seperti Maria.

Liturgi sebagai perayaan bersama demi kepentingan umum, dapat melengkapi aspek pribadi dan subyektif dari devosi sehingga kerohanian orang yang berdevosi kuat menjadi lebih terbuka terhadap kepentingan umum dan terhindar dari egoisme rohani atau eksklusifisme dan fanatisme kelompok devosi. Dalam arti inilah liturgi dapat disebut “puncak dan sumber” kegiatan devosional umat beriman dan serentak menjadi norma yang memberi penilaian atau kritik ((Bernard Raas, SVD, op.cit. hlm. 20)) dan koreksi pada kegiatan kesalehan umat.

Jadi dibutuhkan keseimbangan dalam kegiatan devosional dan liturgis. Gereja menghargai kedua kegiatan ini karena masing-masingnya mempunyai peran khusus dalam menumbuhkembangkan iman. Untuk itu semua ulah kesalehan harus selaras dengan liturgi kudus dan sedikit banyak harus bersumber pada liturgi dan menghantar umat kepada perayaan liturgi. ((SC 13))  Keselarasan itu mengandaikan peran dari devosi sebagai kegiatan yang turut mempersiapkan dan menyemangati umat beriman untuk mengikuti dan mencintai liturgi bukan untuk menjauhkan atau membenci liturgi. Selanjutnya keselarasan itu juga menuntut agar devosi dijalankan sesuai dengan semangat dan isi yang sudah dialami dan dirayakan dalam liturgi. Lebih dari itu keselarasan dimaksud menuntut agar devosi tidak mempertahankan bentuknya di tengah perayaan liturgis tetapi rela memenuhi tuntutan liturgi ((PPCE 74: “Perhatian saksama terhadap asas-asas ini hendaknya menumbuhkan usaha nyata untuk – sedapat mungkin – menyelaraskan ulah kesalehan dengan irama dan tuntutan-tuntutan liturgi dengan menghindari setiap pemaduan atau pencampuradukan kedua bentuk kesalehan ini. Hal ini akan menjamin tidak munculnya bentuk-bentuk cangkokan atau bentuk-bentuk yang kacau-balau karena pencampuradukan liturgi dan ulah kesalehan; juga menjamin bahwa, bertentangan dengan pemikiran Gereja, ulah kesalehan dihilangkan, seringkali dengan meninggalkan kekosongan yang akan sangat merugikan kaum beriman.”)) dan dalam perayaan-perayaan liturgi mesti mengalami proses untuk beralih dari kegiatan devosional menjadi unsur kegiatan liturgis.

Tempat dan kesempatan melakukan devosi yang benar adalah sebelum dan/atau sesudah perayaan liturgi. Bukan memasukkan devosi (ulah kesalehan dan kesalehan umat) di tengah perayaan liturgi. “Perbedaan obyektif antara ulah kesalehan dan kegiatan-kegiatan devosional hendaknya selalu jelas dalam ungkapan ibadahnya. Maka dari itu, rumusan-rumusan yang khas untuk ulah kesalehan hendaknya tidak dicampuradukkan dengan kegiatan liturgis. Kegiatan devosi dan kesalehan umat hendaknya tetap di luar perayaan Ekaristi kudus dan sakramen-sakramen lain.” ((PPCE 9))

Perlu ditinjau kembali kebiasaan di tempat tertentu untuk memasukkan devosi di tengah perayaan liturgi bahkan mengganti unsur atau bagian tertentu dalam perayaan. Misalnya perlu ditinjau kembali praktek membuat adorasi kepada Sakramen Mahakudus sesudah Anak Domba Allah, sebelum komuni imam dan umat dengan alasan: umat suka membuat adorasi tetapi tidak punya waktu untuk kembali lagi ke gereja dan membuat kunjungan dan penyembahan Sakramen Mahakudus secara pribadi atau bersama. Perlu ditinjau lagi praktek membuat doa Rosario dan Renungan Jalan Salib sebagai pengganti Liturgi Sabda, dengan alasan: dalam doa Rosario, kita tidak hanya berdoa Salam Maria, tetapi juga kita mempunyai kesempatan untuk mendengarkan bacaan Kitab Suci dan merenungkan peristiwa-peristiwa Rosario (Gembira, Sedih, Terang, Mulia) yang berhubungan erat dengan hidup dan karya Yesus Kristus seperti yang ditulis dalam Kitab Suci. Demikian pula Renungan Jalan Salib semuanya berdasarkan bacaan Kitab Suci yaitu tentang derita dan kematian Yesus Kristus sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Menghadapi gejala-gejala ini kita mesti berpegang teguh pada pandangan Gereja tentang Doa Rosario dan Renungan Jalan Salib. Menurut tradisi selama ini, doa Rosario dan Renungan Jalan Salib diterima sebagai bentuk-bentuk devosi yang menjadi sarana ampuh untuk menghayati iman dengan lebih mendalam, tetapi harus diakui bahwa devosi-devosi itu tetap berbeda dari liturgi dan tidak boleh disamakan dengan liturgi atau menjadi pengganti bagian-bagian perayaan liturgi.

Kemungkinan Penyerasian

Mengakui perbedaan dan kesamaan antara liturgi dan devosi (ulah kesalehan serta kesalehan umat) tidak berarti kita kehilangan kemungkinan untuk membuat penyerasian devosi dengan liturgi. Itu berarti devosi melewati suatu proses untuk menjadi bagian utuh dari liturgi sehingga kegiatan itu tidak lagi disebut devosi di dalam liturgi tetapi telah berubah menjadi kegiatan liturgis. Ini sebenarnya sebuah proses penyesuaian (inkulturasi) kesalehan umat sebagai unsur dari kegiatan liturgis. Dalam proses ini, seperti sudah dikatakan sebelumnya, devosi mesti memenuhi tuntutan-tuntutan liturgis ((Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Instruksi Pelaksana IV atas Konstitusi Liturgi (No. 37-40), Varietates Legitimae, 45))  agar menjadi sungguh-sungguh suatu kegiatan liturgis.

Kaidah-kaidah yang selama ini menjadi pegangan untuk suatu proses inkulturasi dalam perayaan liturgi haruslah juga diperhatikan dalam proses penyerasian devosi dengan liturgi. “Sehubungan dengan pengambilalihan sejumlah unsur kesalehan umat dalam proses inkulturasi liturgi, hendaknya sungguh diperhatikan instruksi terkait yang sudah diterbitkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen.” ((PPCE 92. Bdk. PPCE 84)) Dalam instruksi itu, ulah kesalehan disebut sebagai salah satu kemungkinan untuk mengalami proses inkulturasi, tetapi tidak boleh dimasukkan di tengah liturgi, dicampur-aduk dengan liturgi atau menggeser liturgi.

Gereja mengakui bahwa inti misteri yang dirayakan dalam semua ibadat (baik dalam liturgi maupun dalam semua bentuk kesalehan umat) adalah kehadiran Tuhan dan karya-karya-Nya yang agung dan menyelamatkan atau misteri Paskah yang mencapai puncaknya dalam hidup dan karya Yesus Kristus khususnya dalam peristiwa penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Iman yang sama akan misteri keselamatan yang sama dengan semangat yang sama dapat dihayati baik dalam liturgi maupun dalam kegiatan kesalehan umat. Secara obyektif inti misteri itu hadir dan dialami dalam liturgi, dan dalam kehidupan sehari-hari di luar perayaan liturgi (sebelum atau sesudahnya) iman itu diwujudnyatakan atau diungkapkan secara pribadi (bisa juga bersama orang lain)  dalam berbagai bentuk devosi (kesalehan umat). “Dalam perayaan liturgi, tidak semua ibadat ilahi Gereja tertampung. Mengikuti teladan dan ajaran Tuhan, para murid Kristus juga berdoa secara tersembunyi dalam bilik-bilik mereka (bdk. Mat. 6:6); mereka berkumpul untuk berdoa menurut bentuk-bentuk yang telah diciptakan oleh laki-laki dan perempuan dengan pengalaman religius yang masyhur, yang telah menyemangati kaum beriman dan mengarahkan kesalehan mereka kepada segi-segi khusus tertentu dari misteri Kristus. Mereka juga berdoa menurut tata doa yang muncul secara spontan dari dasar kesadaran Kristiani kolektif, di mana tuntutan kebudayaan populer secara serasi menampilkan unsur hakiki amanat Injil.” ((PPCE 82))

Beberapa contoh upaya penyerasian:

Hari Minggu. Hari Minggu tidak dapat ditundukkan kepada kesalehan umat. “Ulah kesalehan yang acuan waktunya adalah Minggu, hendaknya tidak dianjurkan. Namun demi manfaat pastoral kaum beriman, boleh diselenggarakan pada hari Minggu Biasa pesta-pesta Tuhan, atau pesta penghormatan Santa Perawan Maria atau orang kudus, yang jatuh pada hari biasa dalam pekan, asal kelas mereka menurut Penanggalan Liturgi Romawi lebih tinggi dari hari Minggu” (PPCE 95)

Masa Adven (PPCE 97-104). Lingkaran Adven dengan penyalaan lilinnya sebagai simbol aneka tahap sejarah keselamatan mendahului kedatangan Kristus, dilaksanakan pada awal perayaan liturgi (unsur dari Ritus Pembuka). Atau prosesi Adven dengan bintang kejora sebagai ungkapan harapan yang hampir terpenuhi dalam kedatangan Tuhan yang sudah sangat dekat. Novena Maria Dikandung Tanpa Noda mengungkapkan sikap Maria yang sungguh menyiapkan dirinya untuk menerima kedatangan-kelahiran Tuhan. Novena Natal adalah contoh penyerasian kesalehan umat dengan liturgi (Ibadat Sore). Membuat kandang Natal sebagai persiapan menerima kelahiran Tuhan juga merupakan satu bentuk kesalehan umat sebelum, selama, dan sesudah perayaan liturgi.

Masa Natal (PPCE 107, 109, 114, 118). Penghormatan khusus yang diserasikan dalam liturgi misalnya penghormatan terhadap kanak-kanak tak berdosa yang menjadi martir (28 Desember), peringatan nama Yesus yang tersuci (13 Januari), perayaan Keluarga Kudus (Minggu dalam oktaf Natal atau tanggal 30 Desember). Pohon Natal diserasikan dalam liturgi, dapat disesuaikan dengan kebiasaan setempat (misalnya di Papua Selatan mulai dipakai pohon anggin yaitu pohon yang turun dari khayangan dan di mana pohon itu tumbuh entah di keliling rumah atau kebun, akan ada perlindungan, ketenangan, kesejahteraan di sekitarnya). Vigili 31 Desember malam menjelang tahun baru dengan devosi khusus kepada Sakramen Maha Kudus dan Pujian Te Deum dapat diselaraskan dengan isi liturgis oktaf Natal sebagai persembahan penuh syukur tahun baru kepada Tuhan sebagai saat keselamatan. Salah satu bentuk kesalehan umat di seputar hari raya Penampakan Tuhan adalah pemberkatan rumah dengan menandai jenang-jenang pintu dengan salib keselamatan, angka tahun yang baru, dan huruf pertama nama ketiga orang majus (C+M+B) yang juga ditafsirkan sebagai Christus Mansionem Benedicat (Semoga Kristus memberkati rumah ini), dilengkapi dengan prosesi anak-anak sebagai kesempatan mengumpulkan bingkisan untuk karya amal dan misi.

Masa Prapaskah. Penerimaan abu adalah satu contoh penyerasian simbol pertobatan dalam perayaan liturgi (Ekaristi). “Kaum beriman yang datang menerima abu hendaknya dibantu untuk memahami makna internal yang tersirat dalam kegiatan ini, yang menyiapkan mereka untuk bertobat dan membarui komitmen Paskah” (PPCE 125). Devosi-devosi kepada Kristus yang tersalib amat banyak dan terkait dengan kesalehan umat: nyanyian dan doa-doa, kegiatan membuka selubung salib, mengecup salib, prosesi dan pemberkatan dengan salib (PPCE 128). Dalam buku perayaan Jumat Suci terdapat contoh penyerasian yang tepat. Penghayatan yang tepat dari penghormatan pada salib Kristus sebagai simbol derita dan kematian Kristus harus disatukan dengan makna kemenangan dan kebangkitan mulia.

Pekan Suci. Ada banyak kemungkinan penyerasian pada hari-hari ini. Dalam Minggu Palma nampak dalam perarakan mengenangkan masuknya Yesus ke Yerusalem (Ritus Pembuka). Perarakan dengan daun-daun palma dan ranting atau dedaunan lain menjadi sebuah kegiatan liturgis dan bukan kegiatan devosional (PPCE 139). Demikian pula dalam Ritus penutup Kenangan Perjamuan Tuhan pada Kamis Putih malam, dibuat perarakan Sakramen Maha Kudus ke tempat penyimpanan (bukan simbol makam) untuk komuni umat pada Jumat Agung dan viaticum orang sakit (PPCE 141). Dalam hari Jumat Agung dapat dibuat prosesi Kristus yang wafat dan drama sengsara Tuhan, tetapi tidak boleh menjadi atraksi wisata dan tidak boleh mengganti perayaan liturgi Jumat Agung (kenangan sengsara dan kematian Yesus Kristus). “Praktik pertobatan yang mengarah kepada penyaliban diri dengan sungguh-sungguh dipaku tidak dianjurkan” (PPCE 144, 142, 143). Dalam perayaan kenangan sengsara dan kematian Yesus Kristus, terdapat penyerasian yang tepat dari kegiatan devosional yang menjadi kegiatan liturgis yaitu pada pembukaan selubung salib, perarakan salib, penyembahan salib. Begitu pula dalam perayaan malam Paskah (Sabtu Paskah) kita temukan penyerasian upacara api dan terang lilin Paskah, Sabda Allah sebagai Terang dalam kegelapan, perecikan dengan air suci (air pembaptisan). Tradisi pemberkatan telur paskah dan pemberkatan hidangan keluarga pada Minggu Paskah  dengan menggunakan air suci yang diberkati pada malam Paskah merupakan bentuk kesalehan umat yang dapat dipertahankan dan ditingkatkan (PPCE 150).

Pada masa Paskah dapat dilakukan devosi Jalan Cahaya untuk merenungkan peristiwa-peristiwa kemuliaan dan kebangkitan Tuhan. Sebuah contoh penyerasian devosi dengan liturgi adalah Minggu Paskah II sebagai Hari Minggu Kerahiman Ilahi. Doa-doa dan  semangat dari devosi Kerahiman Ilahi diserasikan dalam doa-doa liturgis pada Hari Minggu Paskah II (PPCE 153 dan 154). Penghormatan khusus kepada Roh Kudus diserasikan dalam Novena Pentakosta dan Hari Raya Pentakosta.

Devosi kepada Tritunggal Maha Kudus diserasikan dengan liturgi pada hari raya Tritunggal Maha Kudus, seperti nampak dalam doa-doa, rumus-rumus baku yang trinitaris: Tanda Salib, Doksologi, Kemuliaan, Aku Percaya, berkat dll. Contoh lain dari penyerasian dalam liturgi adalah Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Hati Yesus yang Mahakudus, Hati Maria yang Tak Bernoda, Darah Mulia Kristus, Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga (PPCE 160-181).

Penyerasian penghormatan kepada Bunda Allah, Santo-santa serta Beato-beata dan bagi orang yang sudah meninggal serta peran tempat ziarah dan ziarah dalam kaitan dengan devosi dan liturgi dapat dilihat dalam PPCE 183-287.

Untuk upaya penyerasian ini perlu katekese yang memadai. Contohnya misalnya tentang makna Salam Tahun Baru (PPCE 117) sebagai ungkapan kesalehan umat. Perhatian terhadap proses untuk penyerasian adalah suatu hal penting, terutama untuk menjamin kebenaran iman dan daya dampak yang positif bagi pertumbuhan hidup rohani umat beriman. Oleh karena itu bimbingan dari para petugas pastoral, penelitian dari orang-orang yang kompeten serta persetujuan dari pimpinan Gereja haruslah diperhatikan juga dalam proses penyerasian ini.

Contoh Proses Penyerasian

Dalam rangka memahami proses itu baiklah diberikan satu dua contoh. Yang pertama adalah Minggu Kerahiman Ilahi. Hari Minggu ini adalah Minggu Paskah II yang dulu pernah disebut juga Minggu Putih. Dengan menyandang nama Hari Minggu Kerahiman Ilahi, menjadi jelas bahwa penghormatan dan penyembahan kepada kerahiman Allah sebagai suatu kegiatan devosional telah mengalami proses penyerasian menjadi suatu kegiatan liturgis yang dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi. Awalnya penghormatan khusus kepada kerahiman Ilahi itu dilaksanakan sebagai suatu kegiatan devosional oleh seorang suster dari Polandia yang bernama Suster Faustina Kowalska.

Dalam tulisan-tulisannya Suster menulis banyak refleksi yang berisi muatan teologis tentang kerahiman Ilahi. Refleksi-refleksinya memperlihatkan bahwa Suster Faustina mempunyai rasa hormat yang tinggi dan dalam terhadap rahasia kerahiman Ilahi dan secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong banyak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Mereka bersama-sama atau secara pribadi mendoakan koronka Kerahiman Ilahi yang berisi pujian dan penyembahan serta permohonan kepada Allah Maharahim. Akhirnya banyak orang mengikuti contohnya dan menganjurkan kepada pimpinan Gereja untuk memilih salah satu hari sebagai hari Perayaan Kerahiman Ilahi. Paus Yohanes Paulus II menanggapi usul-usul itu dan memilih Hari Minggu Paskah II sebagai Hari Minggu Kerahiman Ilahi.

Kerahiman Ilahi itu adalah kerahiman Allah Bapa yang nampak secara nyata dalam hidup dan karya Yesus Kristus. Juga sebenarnya dalam semua perayaan liturgi sepanjang Tahun Liturgi kita mengenangkan misteri penyelamatan Allah, cinta kasih Allah Bapa tanpa batas dan tanpa syarat untuk menyelamatkan manusia. Juga dalam perayaan/pesta Tuhan Yesus atau Roh Kudus dan orang kudus sebetulnya kita merayakan kasih dan kebaikan Allah Bapa yang nampak dalam diri Yesus dan dalam karya Roh Kudus serta hidup para orang kudus.

Sekedar menegaskan dan memperkuat keyakinan bahwa kerahiman Ilahi itu adalah kerahiman Allah Bapa yang nampak dalam diri Yesus Kristus dan dalam karya Roh Kudus ingin saya rujuk beberapa sumber:

  1. DOMINICA II PASCHAE seu de divina Misericordia. Dalam penanggalan liturgi (diterbitkan Komlit KWI) ditulis: HARI MINGGU PASKAH II (P). Kerahiman Ilahi.
  2. Rumusan doa devosional: Koronka kepada Kerahiman Allah, ditujukan kepada Allah Bapa: Bapa yang kekal, kupersembahkan kepada-Mu Tubuh dan Darah, Jiwa dan Ke-Allahan Putera-Mu… Demi sengsara Yesus yang pedih, tunjukkanlah belas kasih-Mu kepada kami dan seluruh dunia… Allah yang kudus, kudus dan berkuasa, kudus dan kekal, kasihanilah kami dan seluruh dunia.
  3. Kerahiman Allah Bapa ini amat nampak dalam diri dan hidup serta karya Yesus Kristus seperti diungkapkan dalam rumusan lain dari doa devosional ini: Ya Yesus, Engkau telah wafat…terbukalah lautan kerahiman bagi segenap dunia… Yesus, Raja Kerahiman Ilahi, Engkaulah andalanku.
  4. Doa Pembuka MINGGU PASKAH II dimulai dengan seruan kepada Allah Bapa yang kerahiman-Nya abadi: Deus misericordiae sempiternae…
  5. Dalam buku-buku-sumber liturgi yang ditulis mulai abad V, VI, VII ungkapan misericors (yang rahim) atau misericordia (kerahiman) dalam seruan awal dari doa-doa pemimpin (doa liturgis) umumnya mengacu kepada Allah Bapa, seperti misecors deus (Sacramentarium Veronense no 194 dan 200) Deus misericordiae (Sacramentarium Gregorianum no 2079 dan 2118). Warisan ini (Allah Maharahim adalah Allah Bapa yang kerahiman-Nya nampak jelas dalam diri, hidup dan karya Yesus Kristus serta Roh Kudus) diteruskan dalam teks-teks liturgi yang terdapat dalam buku misa Paulus VI termasuk edisi ke 3 pada tahun 2002. Dengan ungkapan liturgis ini Allah Bapa itu tidak hanya mempunyai kuasa dan bersifat perkasa seperti seorang bapa, tetapi juga penuh kerahiman (punya rahim) dan kasih sayang seperti seorang ibu.

Berdasarkan rujukan-rujukan itu kita dapat memahami bahwa doa-doa devosional Kerahiman Ilahi itu tidak mengalami kesulitan besar dalam proses penyerasian dengan liturgi karena doa-doanya diarahkan kepada Allah Bapa yang Maharahim. Semua doa liturgis menurut tradisi liturgi Romawi, selalu diarahkan kepada Allah Bapa, melalui (dengan pengantaraan) Yesus Kristus dalam persatuan dengan Roh Kudus, sebagaimana nampak dalam rumus doksologi dan rumusan akhir dari doa-doa pemimpin. Ungkapan penghormatan kepada Allah yang Maharahim juga dilakukan dengan menggunakan struktur doa liturgis, sehingga doa-doa itu tidak lagi berbentuk doa devosional tetapi telah beralih menjadi doa liturgis.

Sebuah contoh lain mengenai proses penyerasian devosi dengan liturgi adalah Perayaan Tubuh dan Darah Kristus. Perayaan ini sangat populer dalam Gereja Barat. Mulanya penghormatan khusus kepada Tubuh dan Darah Kristus itu dilaksanakan berdasarkan penampakan yang dialami oleh seorang suster Agustinian, yang bernama Juliana,. Peristiwa penampakan itu terjadi di Liege tahun 1246. ((Peter G. Cobb, “The History of the Christian Year” dalam Cheslyn Jones, Geoffrey Wainwright, Edwar Yarnold, SJ (edd.), The Study of Liturgy, Williams Clowes Limited, London, 1983, hlm. 412.)) Itu berarti penghormatan khusus yang dibuat oleh suster Juliana itu mempengaruhi orang lain dan pimpinan Gereja setempat (uskup) untuk melaksanakan penghormatan yang khusus kepada Tubuh dan Darah Kristus dalam perayaan Ekaristi. Pertama perayaan itu dilaksanakan di Liege, kemudian menjadi perayaan seluruh Gereja di bawah kepausan Urbanus IV, yang sebelumnya adalah diakon di Liege.

Bagaimana penyerasian itu terjadi? Devosi terhadap Tubuh dan Darah Kristus tidak dimasukkan di tengah perayaan Ekaristi (Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi), tetapi doa-doa dan nyanyian-nyanyian liturgis diserasikan dengan isi dan semangat devosi khusus kepada Tubuh dan Darah Kristus. Struktur dari doa-doa liturgis tidak diubah tetapi tetap dipertahankan. Arah dari doa tetap ditujukan kepada Allah Bapa dengan pengantaraan Kristus dalam persatuan dengan Roh Kudus.

Perayaan Para Martir dan Bunda Maria, Bunda Allah. Penghormatan kepada para martir pada abad-abad pertama merupakan suatu devosi khusus lantaran keserupaan mereka dengan derita dan kematian serta kebangkitan Yesus Kristus. ((Peter G. Cobb, Op.cit. hlm. 421-426.)) Penghormatan khusus itu diperlihatkan melalui peletakan relikwi di atas altar, yang berarti bersatu dengan altar dan menjadi bagian dari altar yang adalah Kristus sendiri sebagai korban dan pembawa korban. Penghormatan khusus diberikan juga kepada orang-orang kudus bukan martir teristimewa kepada Santa Perawan dan Bunda Maria. Teks nyanyian dan doa-doanya diselaraskan dengan perayaan liturgi Ekaristi. Dalam doa-doa liturgis, para kudus tidak menjadi arah tujuan satu-satunya dari doa, melainkan Allah dalam Yesus Kristus. Perarakan Sakramen Maha Kudus pada akhir perayaan juga merupakan satu upaya konkrit dalam menyelaraskan devosi dengan liturgi.

Kesimpulan

Beberapa pokok pikiran dapat kita simpulkan berkaitan dengan penyelarasan kesalehan umat (devosi) dengan liturgi.

Penyelarasan dimulai dengan upaya menjalankan devosi yang mengarah kepada liturgi dan yang bersumber dari liturgi. Penyelarasan berbeda dari pemaduan atau pencampuradukan keduanya. Sebaliknya penyelarasan berarti saling mempengaruhi, saling melengkapi, saling menyuburkan dan bukan saling meniadakan atau saling mengganti.

Untuk mencapai keselarasan dituntut kerjasama yang tulus dari semua pihak dalam satu proses yang matang, yang terbuka terhadap bimbingan Roh Kudus hingga diputuskan oleh yang berwewenang, dalam hal ini oleh pimpinan Gereja.

Dalam proses mencapai penyelarasan itu, semangat devosional menjadi semangat liturgis, doa-doa devosional menjadi doa-doa liturgis dengan struktur dan isi liturgis, teks nyanyian devosional menjadi nyanyian liturgis karena memenuhi tuntutan liturgis, simbol devosional menjadi simbol liturgis dan kegiatan devosional menjadi kegiatan liturgis.

Aku Percaya

16

I. Iman menurut Kitab Suci

  • Ibr 11:1 – Tanpa iman, tidak seorangpun dapat berkenan kepada Allah.
  • Mk 9:17-27 – Dengan iman segala sesuatu mungkin; kita perlu memohon agar Tuhan menambahkan iman kita.
  • Mat 16:17 – Iman adalah karunia pemberian Tuhan
  • Yoh 3:16 – Iman kepada Yesus memimpin kepada kehidupan kekal.
  • Mrk 16:16 – Kita diselamatkan dalam iman dan baptisan.
  • Yoh 3:36 – Iman mensyaratkan ketaatan.
  • Yoh 6:40 – Tuhan memberikan kita keinginan untuk beriman.
  • Ef 1:18 – Iman yang mencari pengertian.
  • Ef 2:1-10 – Kita diselamatkan oleh iman, dan ini adalah karunia Allah.
  • Ef 6:16 – Iman adalah pelindung terhadap Setan.
  • Kol 1:23 – Berpeganglah pada iman yang dikaruniakan kepadamu.
  • Yak 1:3-8 – Kita harus berteguh dalam iman.
  • Luk 1:26-45 – Bunda Maria adalah teladan dalam beriman.

II. Iman menurut Katekismus Gereja Katolik

  • KGK 143-167 – Tentang iman
  • KGK 153, 179, 234 – Iman adalah karunia, rahmat Allah
  • KGK 157, 161 – Iman adalah pasti dan perlu untuk keselamatan
  • KGK 153, 156-159 – Iman mencari pengertian, iman dan akal budi bersatu
  • KGK 29, 162, 1003 – Iman dapat bertumbuh, dapat hilang dan didapat kembali
  • KGK 163-153 – Iman adalah permulaan kehidupan kekal

III. Iman menurut Para Kudus

  • St. Tomas Rasul (abad ke-1): Saat melihat Yesus yang bangkit menunjukkan bekas luka- luka-Nya, Tomas percaya dan berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28).
  • St. Ambrosius (abad ke-4): “Ketika seseorang percaya, murka Tuhan beranjak darinya, dan kehidupan menghampirinya” (On Penitence, I, 51)
  • St. Tomas Aquinas (abad ke-13) “Pencipta iman adalah Dia yang menghasilkan persetujuan dari orang yang percaya kepada kebenaran yang dinyatakan. Sekedar pendengaran bukanlah penyebab yang cukup. Persetujuan disebabkan oleh kehendak, bukan hanya dengan akal budi semata. Oleh karena itu, seorang pewarta atau pengkotbah tidak dapat menghasilkan iman. Tuhan adalah penyebab dari iman, karena hanya Dia yang dapat mengubah kehendak kita.” (Disputations concerning Truth, 27,3.)

IV. Makna Iman

Dalam credo/ syahadat, kita memulai dengan perkataan “Aku Percaya” atau “Kami Percaya”. Iman adalah syarat untuk mendapatkan keselamatan, karena tanpa iman, tidak seorangpun dapat berkenan kepada Allah (Ibr 11:1). Kita dapat menjabarkan makna “Aku percaya”  dalam tiga hal (KGK, 35):

1. Manusia mempunyai kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Allah. Hal ini dapat kita lihat dari tingkah laku religius seperti kurban, doa, upacara, meditasi dari semua budaya manusia, walaupun tidak sempurna. Inilah sebabnya manusia disebut mahkluk religius ((KGK, 28)). Dapat dikatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui dan mengasihi Pencipta-Nya, dan ini menandakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej 1:27).

2. Tuhan datang kepada kita untuk mewahyukan Diri-Nya. Karena pengetahuan manusia tidak sempurna untuk mencapai Tuhan, maka terdorong oleh kasih-Nya, Allah mewahyukan Diri-Nya kepada manusia, agar manusia dapat memperoleh pengetahuan akan kebenaran.

3. Manusia harus menanggapi wahyu Allah. Karena pengetahuan manusia akan Allah tidaklah sempurna sedangkan wahyu Allah adalah sempurna, maka sudah seharusnya manusia menanggapi wahyu yang diberikan oleh Allah.

V. Manusia mempunyai kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Allah

1. Manusia terbuka terhadap kebenaran, kebaikan dan keindahan

Manusia merindukan kebahagiaan yang bersifat kekal, yang tidak dapat diberikan oleh materi yang bersifat sementara. ((KGK, 33; GS, 18,1; GS, 14,2)) Hal ini diperkuat dengan kemampuan manusia yang terbuka terhadap kebenaran, di mana manusia mengenali nilai-nilai moral di dalam hati nuraninya, seperti: jangan melakukan apa yang tidak ingin orang lain perbuat kepadamu. Manusia juga dapat menghargai keindahan dan kebaikan, yang menjadi benih untuk mengenal Tuhan yang adalah indah dan baik secara absolut. ((KGK, 41; bdk. Keb 13:5))

2. Manusia mengenali Tuhan lewat dunia

Kalau manusia mau mengamati dunia sekelilingnya, maka manusia dapat melihat bahwa tidak mungkin dunia dan seluruh alam raya terjadi secara kebetulan, karena tertata secara teratur. Keindahan dunia ini dapat menuntun manusia kepada Sang Pencipta. ((KGK, 32; bdk. Rm 1:19-20; bdk St. Agustinus dari Serm. 241,2))

VI. Allah menyatakan diri-Nya

Walaupun manusia dengan akal budinya mempunyai kemampuan untuk mengenal Pencipta-Nya, ((KGK, 36)) namun tanpa Allah menyatakan Diri-Nya, manusia tidak dapat memahami Pribadi Allah secara lengkap.

1. Kitab Suci

Allah telah memberikan inspirasi Roh Kudus kepada para penulis Kitab Suci untuk menuliskan Sabda Allah (2Tim 3:16), sehingga manusia dapat melihat rencana keselamatan Allah, yang dimulai dari Perjanjian Lama (PL) sampai Perjanjian Baru (PB) dan manusia dapat memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Rencana keselamatan ini dimulai dari Adam dan Hawa (satu keluarga), kemudian nabi Nuh (beberapa keluarga), Abraham (suku), Yakub (bangsa Israel), Daud (kerajaan), dan Kristus yang mendirikan Gereja-Nya (seluruh dunia).

2. Tradisi Suci

Tradisi Suci adalah Tradisi yang berasal dari para rasul yang meneruskan apa yang mereka terima dari ajaran dan contoh Yesus dan bimbingan dari Roh Kudus. Oleh Tradisi, Sabda Allah yang dipercayakan Yesus kepada para rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya dalam pewartaannya, mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. ((KGK, 81; DV, 9)) Tradisi Suci ini tidak dapat bertentangan dengan Kitab Suci, bahkan mendukung kejelasan akan makna dari Kitab Suci yang sebenarnya.

3. Magisterium Gereja atau Wewenang mengajar Gereja

Dari uraian di atas, kita mengetahui pentingnya peran Magisterium yang “bertugas untuk menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu yang kewibawaannya dilaksanakan dalam nama Yesus Kristus.” ((KGK, 85; DV, 10) Magisterium ini tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, supaya dapat diturunkan sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian, oleh kuasa Roh Kudus, Magisterium yang terdiri dari Bapa Paus dan para uskup pembantunya [yang dalam kesatuan dengan Bapa Paus]  menjaga dan melindungi Sabda Allah itu dari interpretasi yang salah.

VII. Iman adalah tanggapan manusia atas wahyu Allah

1. Iman sebagai tanggapan kita kepada Allah yang mewahyukan Diri-Nya.

Allah telah mewahyukan Diri-Nya kepada manusia secara bertahap, sejak Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru dan kemudian diwariskan oleh Gereja dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena wahyu Allah dapat memenuhi kerinduan kita akan kebahagiaan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan, maka sudah seharusnya kita menanggapi pewahyuan ini.

2. Iman sebagai pemberian Allah

Walaupun iman merupakan tanggapan manusia, namun sisi lain dari iman adalah pemberian Allah, yang diberikan pada saat baptisan. Bantuan Allah ini membantu kita untuk menjawab panggilan Allah untuk menjadi anak-anak Allah dan mengambil bagian di dalam kehidupan Allah. Tuhan membantu kita, agar kita mampu untuk untuk menjalankan iman kita dan setia sampai pada akhirnya. Semua tawaran dan bantuan Allah diberikan secara cuma-cuma kepada manusia, yang juga menuntut tanggapan secara bebas dari manusia.

3. Iman adalah kepastian

Iman bukanlah masalah perasaan atau loncatan emosi sesaat, namun iman adalah sesuatu yang pasti karena kebenarannya diberikan oleh Allah sendiri, yang tidak mungkin berdusta. Iman juga tidak bertentangan dengan akal budi, karena keduanya diciptakan oleh Tuhan. Jadi kepastian iman adalah berdasarkan otoritas Allah sendiri.

4. Tahapan iman adalah mendengar, mempertimbangkan, mempercayai dan mentaati (Kis 8:27-39).

Tahap pertama adalah mendengar, yang berarti perlu ada yang memberitakan dan perlu ada yang menanggapi. Dikatakan “Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” (Kis 8:31) Setelah mendengar, diperlukan pertimbangan akal budi. Akal budi tidak bertentangan dengan iman, karena keduanya berasal dari Tuhan. Dan setelah mempertimbangkan tentang iman yang diberikan, seseorang dapat mempercayai kebenaran. Setelah menerima kebenaran iman, seseorang harus mentaati kebenaran yang diberitakan, baik dalam perkara yang mudah maupun dalam perkara yang sulit.

5. Ketaatan iman adalah cermin dari kedewasaan iman

Kedewasaan iman seseorang terlihat dari ketaatan imannya, yang berarti menempatkan kebenaran iman di atas kepentingan pribadi. Kalau Tuhan telah menyatakan kebenaran, maka selayaknya kita tidak memilih-milih kebenaran yang kita percayai, melainkan kita mempercayainya secara menyeluruh. Mentaati [Latin: ob-audire] bukanlah sekedar mendengar, namun mendengarkan. Ketaatan iman berarti penyerahan yang total dari akal budi dan keinginan kita kepada kebenaran yang diwahyukan oleh Allah, yang kebenaran-Nya dijamin oleh Allah sendiri. Sikap ini membuat seseorang menjadi saksi Allah, karena hidupnya dijalankan sesuai dengan perintah Allah.

6. Manfaat dari iman.

a. Iman menyatukan jiwa kita dengan Tuhan.

Persatuan dengan Allah terjadi dalam baptisan, sehingga baptisan disebut sakramen iman yang pertama, yang menuntun seseorang pada keselamatan (lih. Mrk 16:16). Inilah sebabnya Rasul Paulus menegaskan bahwa tanpa iman tidak ada seorangpun yang berkenan kepada Allah (lih. Ibr 11:6).

b. Iman memperkenalkan kita pada kehidupan kekal.

Kitab Suci mengajarkan, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yoh 17:3)

c. Iman menuntun kehidupan kita.

Untuk dapat hidup baik, maka seseorang harus mengetahui bagaimana untuk hidup dengan baik. Cara untuk hidup baik tidak dapat dicari sendiri oleh setiap individu, karena untuk mencapainya diperlukan waktu yang lama dan dapat salah. Dikatakan “Orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya (imannya).” (Hab 2:4)

d. Iman membantu kita untuk mengalahkan pencobaan.

Pencobaan dapat datang dari setan, dari dunia, maupun dari kedagingan kita.

1. Setan dapat mencobai kita untuk melawan Allah. Pencobaan ini dapat dikalahkan oleh iman, karena iman mengatakan bahwa Dia adalah Allah dari semua, yang harus ditaati. Dikatakan “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama.” (1 Pet 5:8-9)

2. Dunia dapat menggoda kita dengan menawarkan gemerlapnya kekayaan maupun ketakutan akan penderitaan. Iman dapat mengalahkan godaan tersebut, karena iman mengajarkan bahwa ada kehidupan yang yang lebih baik di Sorga, sehingga kita dapat menyingkirkan gemerlapnya dunia dan tidak takut dalam menghadapi percobaan dunia. Rasul Yohanes menuliskan “Inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.”(1Yoh 5:4) Iman juga membantu kita untuk mengerti bahwa ada kejahatan yang lebih ditakuti dari semua ancaman dunia ini, yaitu neraka. Kristus berkata, “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” (Mat 10:28)

3. Kedagingan menggoda kita dengan kenikmatan dunia ini. Karena iman mengatakan bahwa hamba nafsu dapat kehilangan keselamatan kekal (lih. Gal 5:19-21), maka kita dapat menghindari godaan ini dengan iman. Sabda Tuhan mengatakan, “dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman.” (Ef 6:16)

7. Bagaimana bertumbuh dalam iman?

Karena iman adalah karunia Tuhan untuk membantu kita menuju keselamatan, maka sudah seharusnya kita memelihara dan menjaga iman kita dengan bijaksana setiap saat. Agar kita dapat hidup, bertumbuh dan setia pada iman kita sampai akhir, maka kita perlu: (a) disegarkan dengan Firman Allah dan doa; (b) minta kepada Tuhan untuk menambah iman kita; (c) terus bertumbuh dalam perbuatan kasih yang berdasarkan iman. Pertumbuhan dan kemantapan iman perlu didukung dengan pengertian yang benar tentang iman, sehingga diperlukan sikap iman yang mencari pengertian.

8. Kehilangan iman atau dosa melawan iman

Ada kalanya, seseorang dapat kehilangan karunia yang paling berharga yang diberikan oleh Tuhan, yaitu iman. Kehilangan iman adalah sama saja dengan kehilangan hubungan kasih mesra dengan Allah, sehingga dapat berakibat sangat fatal. Beberapa hal yang menyebabkan seseorang dapat kehilangan iman adalah:

a. Ketidakperdulian. Ketidakperdulian akan hal-hal yang bersifat rohani, akan tujuan akhir (yaitu Sorga) dapat menyebabkan akibat fatal, karena akan membuat seseorang tidak melihat pentingnya iman.

b. Terjebak oleh jeratan dunia ini. Orang yang terfokus pada apa yang terjadi di dunia ini dapat kehilangan fokus akan kehidupan kekal.

c. Skandal dari umat dan Gereja. Seseorang dapat kehilangan iman karena batu sandungan yang diakibatkan oleh umat beriman yang hidup tidak sesuai dengan apa yang diimaninya. Lebih lanjut kekecewaan terhadap Gereja juga dapat menyebabkan seseorang kehilangan iman. Orang ini gagal untuk melihat bahwa fokus dari iman bukanlah pada orang-orangnya namun pada pengajaran dan kebenaran yang diberikan. Namun demikian, adalah tantangan bagi seluruh umat beriman dan Gereja untuk dapat memancarkan kebenaran dan kasih Kristus.

d. Kejahatan di dunia. Orang sering kehilangan iman karena melihat kejahatan di dunia ini, sehingga seseorang bertanya-tanya, di manakah Tuhan. Orang dalam kategori ini gagal melihat bahwa ada keadilan yang akan ditegakkan pada saat akhir zaman. Kejahatan tidak membuktikan bahwa kebaikan tidak ada, karena kebaikan juga dapat dilihat di dunia ini.

e. Tekanan budaya dan sosial terhadap iman. Seseorang yang hidup dalam tekanan sosial dan budaya yang memandang sinis terhadap agama dapat menyeret seseorang yang kurang kuat imannya kepada arus budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai kristiani.

VIII. Penutup

Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa iman adalah tindakan Allah yang memberikan karunia kepada umat-Nya dan sekaligus tindakan manusia, yaitu tanggapan manusia akan Allah yang mewahyukan Diri-Nya. Karena Allah tidak mungkin berdusta, maka wahyu Allah terjamin kebenarannya.

Oleh iman yang dinyatakan dengan Baptisan, kita memperoleh keselamatan, karena melalui iman kita disatukan dengan Tuhan, dituntun di dalam hidup kita untuk mengalahkan godaan, agar sampai kepada kehidupan kekal.

IX. Diskusi

  1. Apakah arti iman bagimu dan berikan beberapa contoh.
  2. Apakah dasar dari iman?
  3. Kapankah anda menyadari bahwa iman adalah pemberian?
  4. Apa yang perlu anda lakukan agar iman anda bertumbuh?
  5. Apakah yang dapat memperlemah iman?
  6. Bagaimana doa dapat membantu pertumbuhan iman?

Perjuangan Adven, Keindahan Natal

3
Crop of original painting "Anbetung der Hirten"

Salah satu ciri suasana menjelang penghujung tahun adalah datangnya musim buah-buahan khas bumi pertiwi. Menjelang bulan September dan Oktober, pohon-pohon mangga yang tampak di jalan-jalan perumahan penduduk atau di wilayah pedesaan menampilkan buah-buahnya yang bergelantungan menarik mata siapa saja yang melihatnya. Demikian juga penjual buah nangka dan durian muncul berderet-deret di sepanjang jalan. Sementara itu, memasuki bulan November, pohon rambutan akan tampak mulai berbunga, memunculkan bulatan-bulatan mungil berwarna hijau berambut yang mengelompok di ujung dahan. Hal yang sama terjadi dengan pohon kelengkeng.

Saya tidak pandai bercocok tanam. Kalau pun saya memiliki pohon buah-buahan, saya hanya tahu menikmati pemandangan indah saat buah-buah yang bergelantungan siap untuk dipetik dan dinikmati. Tidak demikian halnya dengan suami saya. Sebagai orang yang tidak berlatar belakang pertanian, ia mempunyai pemahaman yang cukup baik tentang bercocok tanam, dan “bertangan dingin” bila berurusan dengan tanaman. Baginya, pohon buah-buahan tidak hanya menyajikan keasyikan yang berkaitan dengan saat memetik buah dan menikmatinya. Dengan ketelatenan yang besar, ia mengawali keasyikan sejak memilih bibit yang baik, dengan cara menyisihkan biji dari buah yang manis dan bagus, lalu menebar benih itu di sebuah pot atau polybag, merawatinya dengan pupuk kompos dan menyiraminya dengan teratur. Biji itu pun bertunas dan mulai terbentuk badan tanamannya. Ia rajin membuang tanaman liar yang mengganggu pertumbuhan tanaman mungil itu. Setelah cukup besar dan akarnya mulai kuat, ia memindahkan tanaman itu ke tanah yang lebih luas untuk melanjutkan perawatannya di tempat yang permanen. Akhirnya ketika tanaman buah itu cukup dewasa dan mulai menghasilkan buah yang bisa kami nikmati bersama, saya menyadari bahwa kegembiraan saya menikmatinya tidak sebesar kegembiraan dan kepuasan suami saya, yang mengusahakan pohon buah itu sejak masih berupa biji, merawatinya dengan cermat, dan menjaganya supaya selalu sehat. Saya percaya bahwa kepuasan tersendiri saat menikmati buahnya tidak dapat dibandingkan dengan kelelahan kerja saat menanam dan membesarkannya.

Penghujung tahun juga selalu identik dengan Adven. Minggu ini Gereja sedang memasuki minggu Adven yang ketiga. Peringatan peristiwa kelahiran Kristus Juru Selamat kita sudah semakin mendekat. Saya teringat tahun-tahun di mana masa Adven bagi saya sekedar datang dan kemudian berakhir tanpa saya sadari, dan tahu-tahu hari Natal tiba dengan segala kemeriahannya. Lagu-lagu natal yang meriah, kue-kue berhias yang memikat mata, pusat perbelanjaan dengan semua atributnya yang sangat menarik, dan daftar barang untuk dibeli sebagai hadiah bagi keluarga dan kerabat. Semua kemeriahan itu memang indah dan memberi nuansa tersendiri seputar perayaan Natal, dan saya menikmatinya. Tetapi ketika saya mengamati kandang Natal di altar gereja di mana patung bayi Yesus diletakkan pada malam Natal, tiba-tiba hati saya terasa sepi. Semua kemeriahan menjelang perayaan Natal itu terasa tidak sinkron dengan keheningan keluarga kudus Nazareth di kandang hewan itu. Saya bertanya-tanya dalam hati, apa dan siapa yang sebenarnya sedang saya rayakan.

Adven datang dan pergi, Natal tiba dan berlalu, saya tidak ingat apakah saya sudah menjadi lebih baik dan lebih mengasihi dibandingkan tahun-tahun yang berlalu, sementara Yesus sudah datang berkali-kali mengetuk hati saya dengan pesan kerinduan untuk lahir dan menetap di hati saya. Teringat oleh saya keindahan merawati tanaman sampai menghasilkan buah yang bisa dinikmati bersama, yang sering dilakukan oleh suami saya. Saya tidak merasakan kepuasan dan kegembiraan sebesar seperti yang ia alami, karena saya hanya sekedar memetik buah yang sudah jadi dan memakannya, tidak merasakan seninya memilih bibit, capeknya mencabuti rumput liar, dan kedisiplinan memberi pupuk dan menyiram. Rasa buah itu memang manis di lidah, enak dan memuaskan di perut, tetapi saya melewatkan saat-saat penuh usaha yang menghasilkan semua kemanisan itu. Karena saya hanya menjadi penonton, tidak terlibat dalam pengusahaan yang membuat bernilai keberhasilan dari sebuah usaha. Masa Adven sepertinya berlalu begitu saja dengan hambar, jika saya hanya menjadi penonton, tidak terlibat aktif di dalam menanggapi kesempatan indah yang diberikan Tuhan melalui Gereja-Nya, untuk menelisik apa yang masih harus saya benahi di hadapan Tuhan, melalui kegigihan merenungkan Firman-Nya setiap pagi, meluangkan waktu lebih banyak untuk berdoa dan merayakan Misa harian, serta berkumpul dengan saudara seiman untuk saling menguatkan komitmen kasih kita kepada-Nya. Melakukan semua usaha yang perlu, agar buah-buah kasih dan pertobatan yang memberi saya hidup, dapat saya petik dengan manis di hari kelahiran Yesus Tuhanku. Santo Yohanes Pemandi bahkan mengingatkan dengan keras, “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Luk3:9)

Hadiah Natal terindah tidak saja berupa benda-benda yang dibungkus dengan cantik, atau hidangan lezat yang disiapkan dengan segenap jerih payah, tetapi bahwa hati saya sudah menjadi palungan yang paling empuk dan nyaman untuk Tuhan berbaring di hari kedatangan-Nya dan berdiam di sana, memberikan saya kekuatan untuk menghasilkan buah-buah kasih yang paling manis yang bisa dinikmati sesama di sekitar saya dan lebih khusus lagi, yang bisa dinikmati oleh Tuhan. Bahagianya bila kita bisa mempersembahkan hadiah paling indah bagi bayi Yesus. Hadiah persembahan hati yang rindu dan siap dibentuk oleh hikmat-Nya, hadiah khusus hasil kerja keras dan usaha pertobatan yang tak kenal lelah, bagi Dia yang telah sudi menjadi seperti kita dan hadir di tengah-tengah kita. Itulah sukacita yang dimaksudkan Tuhan untuk saya hayati di hari kelahiran-Nya, sukacita karena kemenangan atas segala godaan egoisme dan cinta diri. Sukacita karena berusaha mengasihi Tuhan dan sesama dengan lebih sungguh. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihKu itu. Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah Bapaku dan tinggal di dalam kasihNya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” (Yoh 15: 9-12).

Akhirnya, hari Natal tetap akan tiba, baik saya mempersiapkan diri atau tidak. Tuhan tetap akan datang ke dunia, datang untuk kedua kalinya dengan segala kemuliaan-Nya, dan datang di saat kematian menjemput kita (yang kita tidak pernah tahu kapan), baik kita siap atau tidak. Rahmat dan karunia-Nya telah senantiasa dicurahkanNya dengan berlimpah untuk menopang niat pertobatan kita dan menuntun kita pada jalan kekudusan. Kini pilihan ada di tangan Anda dan saya. Selamat menyongsong Adven minggu ketiga. (Triastuti)

Program Katekese Dewasa

29

Pendahuluan

Dalam tiga tahun kehadiran situs katolisitas.org, kami telah menerima begitu banyak pertanyaan-pertanyaan dari umat Katolik. Dari pertanyaan-pertanyaan yang masuk, kami melihat bahwa banyak umat Katolik yang kurang mendapatkan pendidikan iman Katolik secara memadai, sehingga mudah terombang-ambing oleh pengajaran yang sering bertentangan dengan ajaran iman Katolik.

Maka pertanyaannya adalah, mengapa banyak umat Katolik kurang memahami iman Katolik walaupun sebelum dibaptis telah mendapatkan katekese selama kurang lebih satu tahun? Dari banyak masukan di sini – silakan klik, ada cukup banyak orang yang memandang bahwa bahan katekese yang ada kurang memadai. Dengan pemikiran ini dan tanpa mengurangi rasa hormat akan bahan-bahan yang sudah ada, maka katolisitas.org mencoba untuk menyusun program katekese dewasa yang berfokus pada isi. Hal ini sesuai dengan seruan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), yang pada tanggal 7-17 November 2011 bersidang dan menyerukan untuk berfokus pada katekese, yang menekankan isi.

Dalam memberikan pokok-pokok iman Katolik, sudah seharusnya katekese menempatkan isi sebagai prioritas utama, walaupun cara menyampaikannya juga tidak dapat dipandang remeh. Kita dapat belajar dari katekese pada masa-masa awal sampai sekarang, yang menekankan empat pilar dalam menjabarkan iman Katolik, yang juga dipakai dalam Katekismus Gereja Katolik. Empat pilar ini terdiri dari: (1) Apa yang kita percayai – penjabaran pernyataan iman “Aku Percaya”; (b) Bagaimana merayakan apa yang kita percayai – liturgi dan sakramen; (3) Bagaimana hidup sesuai dengan apa yang kita percayai – kehidupan dalam Kristus; (4) Bagaimana untuk mendapatkan kekuatan agar dapat hidup sesuai dengan apa yang kita percayai – penjabaran doa “Bapa Kami”.

Penyusunan materi ini akan mengacu kepada empat pilar di atas serta bersumber pada dokumen-dokumen Gereja, seperti: dokumen-dokumen Vatikan II, Katekismus Gereja Katolik, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, ensiklik dan surat dari para Paus, terutama Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI, tulisan-tulisan para Santa-Santo, The Aquinas Catechism dan program katekese dari keuskupan La Crosse, Wisconsin – USA.

Menjadi harapan kami agar materi-materi ini dapat berguna untuk memberikan kontribusi pada program katekese. Kami juga mengundang para katekis untuk dapat memberikan masukan untuk membuat materi ini menjadi lebih baik, serta menceritakan pengalaman ketika menggunakan materi ini. Lebih lanjut, para katekis juga dapat mensharingkan apa yang menjadi kendala dalam menerapkan masing-masing topik serta pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul pada saat terjadinya proses belajar mengajar, sehingga kita dapat membahasnya bersama-sama.

Bagian Satu – Pengakuan Iman

[catlist ID=1235 order=ASC numberposts=100 order=desc]

Makna mengambil air suci sebelum masuk gereja

25

Pertanyaan:

Shalom Tim katolisitas,

Saya ingin bertanya tentang pengambilan air suci di pintu masuk gereja dan kemudian membuat tanda salib.. Apakah seperti wudhu pada agama islam?

Bagaimanakah sejarah, referensi Alkitab, tata cara yg benar, dan makna dari tradisi ini?

Terimakasih, Semoga Berkat Tuhan beserta Tim Katolisitas..

-Adrian-

Jawaban:

Shalom Adrian,

Berikut ini adalah ulasan tentang makna pengambilan air suci sebelum memasuki gedung gereja, yang disadur dari tulisan karya Scott Hahn yang berjudul “Tanda-tanda Kehidupan, 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya” terbitan Dioma Publishing, 2011, hal.35 :

Pengambilan air suci sebelum kita memasuki gereja tidak terlepas dari penghayatan akan pentingnya air di dalam hidup manusia, karena air merupakan simbol penting yang menggambarkan kehidupan. Ya, sebab hidup jasmani kita dimulai di dalam air, demikian pula hidup rohani kita.

Air merupakan awal kehidupan. Dalam Kitab Kejadian penciptaan alam semesta dimulai dengan “Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” (Kej 1:2). Demikian pula yang terjadi dalam kehidupan setiap manusia, kita memperoleh wujud insani kita di dalam kantung cairan, “air ketuban” dalam rahim ibu; dan ketika kantung air ini pecah, kelahiran dimulai.

Demikian pula, kita mengawali kunjungan kita ke gereja dengan mencelupkan air ke dalam bejana air suci, dan dengan air itu kita membuat tanda salib, yang mengingatkan kita akan Allah Tritunggal Mahakudus: Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, yang di dalam-Nya kita dibaptis dan memperoleh kehidupan ilahi.

Sudah sejak jaman Gereja awal, air digunakan dalam doa Kristiani. Bapa Gereja abad ke-2, Tertulianus, mencatat kebiasaan simbolis membasuh tangan sebelum menadahkannya dalam doa (Tertullian, On Prayer, p. 13). Kebiasaan ini juga sudah ada di kalangan Yahudi, dan kemungkinan ini yang dicatat oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada Timotius dalam 1 Tim 2:8. Sejarahwan Eusebius (320) mencatat bahwa sebuah gereja di Tirus memiliki air mancur pada pintu masuknya sebagai tempat kaum beriman membasuh tangan mereka.

Namun penggunaan air di pintu masuk gereja bukan sekadar sebagai tempat membasuh tangan, tetapi lebih kepada makna simbolis akan kehidupan itu sendiri, penyucian/ pertobatan dan kelahiran kembali. Air itu mengingatkan kepada air bah di zaman Nabi Nuh, yang olehnya kemudian keluarga Nabi Nuh memperoleh kehidupan baru (lih. Kej 8-9). Air itu juga mengingatkan kita kepada Laut Merah yang dilintasi oleh bangsa Israel saat dibebaskan dari perbudakan Mesir (lih. Kel 14:15-31). Namun terutama, air itu mengingatkan kita kepada Pembaptisan kita di mana kita telah dikuburkan bersama Kristus (lih. KGK 1220) dan dibangkitkan bersama Dia dan memperoleh kehidupan baru “di dalam air dan Roh” (Yoh 3:5) sebagai anak- anak angkat Allah (lih. KGK 1265).

Menurut St. Thomas Aquinas, air “menandakan rahmat Roh Kudus…karena Roh Kudus adalah sumber yang tak kunjung kering dari mana mengalir segala karunia rahmat.”(St. Thomas Aquinas, Commentary on St. John, p. 577). Kitab Wahyu meneguhkan hubungan antara air dan Roh Kudus dengan menggambarkan rahmat Roh Kudus sebagai suatu “sungai air kehidupan, yang jernih bagaikan kristal, yang mengalir dari tahta Allah dan tahta Anak Domba” (Why 2:1). Kita yang sudah dibaptis, lahir oleh air dan Roh, dan pengambilan air suci mengingatkan kita akan karunia rahmat Allah yang menguduskan kita, yang kita terima di dalam Pembaptisan.

Maka tindakan mengambil air suci sebelum memasuki gereja merupakan peringatan dan pembaruan pembaptisan kita. Juga, penggunaan air suci merupakan suatu penyegaran, yang membebaskan kita dari penindasan si jahat. St. Theresia dari Avila mengajarkan, “tidak ada suatu pun yang membuat roh-roh jahat lari tunggang langgang – tanpa memalingkan muka – kecuali air suci.” (St Theresia Avila, The Book of Her Life).

Jadi jika disimpulkan, pengambilan air suci di pintu gereja adalah untuk mengingatkan kita akan makna Pembaptisan kita (yaitu pertobatan, pengudusan, kehidupan baru di dalam Kristus dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, dan partisipasi kita sebagai anak- anak angkat Allah di dalam misi Kristus) dan pengusiran roh-roh jahat.

Selanjutnya, kebanyakan gereja juga memiliki persediaan air suci sehingga warga paroki dapat mengambil air suci untuk dibawa pulang. Sejumlah keluarga Katolik menyiapkan wadah air suci kecil pada pintu masuk rumah/ setiap kamar; dan olehnya keluarga diingatkan akan rahmat pembaptisan yang menguduskan dan menyelamatkan.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati- katolisitas.org

Tradisi Suci

15

Pertanyaan:

Salam damai,
Bu Inggrid, maaf sy belum paham. Tradisi gereja contohnya seperti apa ya? Tolong diperjelas untuk sy. Terima kasih.
Maria Angela Selly

Jawaban:

Shalom Maria Selly,

Tradisi Gereja atau Tradisi Suci yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah Tradisi Apostolik, yaitu Tradisi yang diperoleh dari para rasul, yang diperintahkan oleh Kristus untuk mewartakan semua perintah-Nya (lih. Mat 28:19-20). Para rasul mewartakan Injil dengan dua cara, yaitu secara lisan dan tertulis, dan yang lisan ini disebut Tradisi Suci. Katekismus mengajarkan demikian tentang Tradisi Suci, yang tidak terpisahkan dari Kitab Suci:

KGK 75    “Maka Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah yang Maha tinggi, memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya sendiri, mereka wartakan kepada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan, dan dengan demikian dibagi-bagikan karunia-karunia ilahi kepada mereka” (DV 7).

KGk 76    Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan Injil atas dua cara:
secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari”;
secara tertulis “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga membukukan amanat keselamatan” (DV 7).

KGK 77    “Adapun, supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup di dalam Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-Uskup sebagai pengganti-pengganti mereka, yang ‘mereka serahi kedudukan mereka untuk mengajar'” (DV 7). Maka, “pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantian, penggantian yang tiada putusnya” (DV 8).

KGK 78    Penerusan yang hidup ini yang berlangsung dengan bantuan Roh Kudus, dinamakan “Tradisi”, yang walaupun berbeda dengan Kitab Suci, namun sangat erat berhubungan dengannya. “Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya dilestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya yang seutuhnya” (DV 8). “Ungkapan-ungkapan para Bapa Suci memberi kesaksian akan kehadiran Tradisi ini yang menghidupkan, dan yang kekayaannya meresapi praktik serta kehidupan Gereja yang beriman dan berdoa.” (DV 8). 174, 1124, 2651.

KGK 79    Dengan demikian penyampaian Diri Bapa melalui Sabda-Nya dalam Roh Kudus tetap hadir di dalam Gereja dan berkarya di dalamnya: “Demikianlah Allah, yang dahulu telah bersabda, tiada henti-hentinya berwawancara dengan Mempelai Putera-Nya yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang menyebabkan suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui Gereja dalam dunia, menghantarkan Umat beriman menuju segala kebenaran, dan menyebabkan Sabda Kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (lih. Kol 3:16)” (DV 8).

KGK 80    “Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan terpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama” (DV 9). Kedua-duanya menghadirkan dan mendaya-gunakan misteri Kristus di dalam Gereja, yang menjanjikan akan tinggal bersama orang-orang-Nya “sampai akhir zaman” (Mat 28:20).

KGK 81    “Kitab Suci adalah pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi”.”Dan Tradisi Suci, menyalurkan secara keseluruhan Sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul. Tradisi menyalurkan Sabda Allah kepada para pengganti Rasul, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka, memelihara, menjelaskan, dan menyebarkannya dengan setia” (DV 9).

KGK 82    “Dengan demikian maka Gereja”, yang dipercayakan untuk meneruskan dan menjelaskan wahyu, “menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya [baik Tradisi maupun Kitab Suci] harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama” (DV 9).

KGK 83    Tradisi yang kita bicarakan di sini, berasal dari para Rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum mempunyai Perjanjian Baru yang tertulis, dan Perjanjian Baru itu sendiri memberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu. Tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis atau religius, yang dalam gelindingan waktu terjadi di Gereja-gereja setempat, bersifat lain. Mereka merupakan ungkapan-ungkapan Tradisi besar yang disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dalam terang Tradisi utama dan di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, tradisi-tradisi konkret itu dapat dipertahankan, diubah, atau juga dihapus.

Maka contoh Tradisi Suci adalah: 1) Doktrin- doktrin yang diajarkan Gereja Katolik melalui Konsili- konsili; 2) Doktrin/ ajaran yang diajarkan oleh Bapa Paus, selaku penerus Rasul Petrus, dan yang juga diajarkan oleh para uskup dalam kesatuan dengan Bapa Paus; 3) Tulisan pengajaran dari para Bapa Gereja dan para orang kudus (Santo/ Santa) yang sesuai dengan pengajaran Magisterium; 4) Katekismus Gereja Katolik; 5) Liturgi dan sakramen-sakramen.

Selanjutnya, silakan melihat daftar dogma dan doktrin yang diajarkan secara definitif (de fide) oleh Gereja Katolik, yang merupakan butir- butir pengajaran yang mengambil dasar dari Tradisi Suci dan Kitab Suci, silakan klik.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab