Kesalehan Umat dan Liturgi: Kemungkinan Penyerasian

Tentang devosi dan liturgi

Kesalehan umat menurut Direktorium Tentang Kesalehan Umat dan Liturgi (Pia Populi Christiani Exercitia = PPCE) no. 9 adalah “berbagai ungkapan kultis yang bersifat perorangan atau jemaat yang – dalam konteks iman Kristiani – diilhami pertama-tama bukan oleh liturgi kudus, tetapi oleh bentuk-bentuk yang diwariskan oleh bangsa atau orang tertentu, atau oleh kebudayaan mereka”. ((Direktorium Tentang Kesalehan Umat Dan Liturgi, terjemahan oleh Komisi Liturgi KWI, dari dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Directory on Popular Piety and the Liturgy (Pia populi christiani exercitia = PPCE, Vatican City 17 Desember 2001), Obor Jakarta, 2011.)) Ini adalah harta umat Allah yang haus akan Allah sendiri dan membuat umat mencontohi Allah untuk bermurah hati dengan penuh kasih dan rela berkorban dalam memberikan kesaksian iman. Ungkapan kesalehan umat antara lain: tata gerak, teks dan rumusan, nyanyian dan musik, patung kudus, tempat kudus dan saat kudus. ((PPCE 15-20.)) Di samping kesalehan umat ada juga ulah kesalehan, devosi dan religiositas rakyat serta liturgi. ((Kalau kesalehan umat diilhami oleh bentuk-bentuk yang diwariskan bangsa atau orang tertentu atau kebudayaan mereka, maka ulah kesalehan sebagai ungkapan kesalehan Kristiani, diilhami oleh liturgi dan mengantar umat Kristiani kepada liturgi. Ulah kesalehan selalu mengacu pada Wahyu Ilahi publik dan memiliki latar belakang gerejawi (PPCE 7). Istilah devosi berarti aneka kebiasaan eksternal (doa, madah, kebiasaan yang dikaitkan dengan waktu atau tempat tertentu, panji-panji, medali, busana, atau kebiasaan) yang dijiwai oleh sikap iman dan mengungkapkan hubungan khusus umat beriman dengan Tritunggal, Santa Maria dan para kudus (PPCE  8). Religiositas rakyat adalah pengalaman rohani universal yang memiliki nilai manusiawi dan rohani yang amat tinggi dan tidak selalu harus terkait dengan wahyu kristiani (PPCE 10).))

Dalam hubungan dengan liturgi, Gereja menyatakan bahwa liturgi adalah tindakan yang kudus dan paling utama dari Kristus dan Gereja. ((Bdk. SC 7.)) Tidak ada tindakan lain yang menandingi daya dampak dari liturgi. Maka umat beriman perlu sadar bahwa liturgi jauh lebih unggul dibandingkan semua bentuk doa Kristiani. Liturgi bersifat mutlak, sedangkan berbagai bentuk kesalehan umat bersifat fakultatif. ((PPCE 11.)) Penegasan ini tidak bermaksud meremehkan atau melecehkan dan menolak bentuk-bentuk kesalehan umat. Sebaliknya haruslah diberikan penghargaan yang tepat dan bijaksana terhadap kekayaan kesalehan umat. Dalam hal ini Injil harus menjadi acuan untuk menilai ungkapan kesalehan Kristiani. Untuk liturgi dan kesalehan umat tetap berlaku pedoman yang terdapat dalam Instruksi IV, Varietates Legitimae, 48: “tidak boleh memasukkan ritus-ritus yang dirasuki oleh takhyul ke dalam Gereja, penyembahan berhala, animisme, dan balas dendam atau hal-hal yang terkait dengan seks”. Berdasarkan pedoman ini kita bisa bertanya sejauh mana kesalehan umat diresapi oleh semangat biblis, liturgis, ekumenis, dan antropologis-pedagogis? ((Lihat PPCE 12: “Kesalehan umat hendaknya diresapi oleh semangat: biblis, karena tidak mungkin membayangkan doa Kristiani tanpa terkait langsung atau tidak langsung dengan Kitab Suci; semangat liturgis, agar kesalehan umat dapat menjadi persiapan dan gema yang tepat untuk misteri-misteri yang dirayakan dalam liturgi; semangat ekumenis, dengan mempertimbangkan kepekaan dan tradisi-tradisi umat Kristen lain tanpa dibatasi oleh rintangan-rintangan yang tidak semestinya ada; semangat antropologis, yang melestarikan simbol maupun ungkapan-ungkapan yang penting bagi bangsa tertentu sambil menjauhkan diri dari arkaisme yang hambar, dan semangat antropologis yang giat mengupayakan dialog yang bersahabat dengan kepekaan masa kini. Agar berhasil, pembaruan seperti itu harus diilhami kesadaran pedagogis dan dilaksanakan secara bertahap, dengan selalu mempertimbangkan waktu dan situasi-situasi khusus.”))

Liturgi memiliki nilai keselamatan sejauh lebih diunggulkan dibandingkan dengan semua ulah kesalehan. Keunggulan itu terletak pada inti hakekat liturgi sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus demi kemuliaan Allah dan keselamatan manusia (misteri Kristus). Sedangkan olah kesalehan adalah suatu bentuk penghayatan iman yang lebih bersifat pribadi.

Devosi (ulah kesalehan, kesalehan umat ) berasal dari kata Latin devotio (devovere) yakni suatu sikap hati serta perwujudannya, yang dengannya orang secara pribadi mengarahkan diri kepada sesuatu/seseorang yang dihargai atau dijunjung tinggi, dicintai atau ditujui. Devosi mencakup keterlibatan personal yang meliputi seluruh manusia khususnya segi emosional dan afektif, tidak hanya akal budi atau nalar.

Devosi dapat dibedakan sebagai berikut:

  1. Devosi religius. Devosi ini diarahkan kepada Allah dan bersangkutan dengan Allah seperti devosi kepada Hati kudus Yesus. Ada pula yang diarahkan kepada Bunda Maria seperti  Doa Rosario. Dan ada yang diarahkan kepada orang kudus (santo atau santa).
  2. Devosi a-religius. Olah kesalehan ini tidak bersifat keagamaan.  Devosi ini diarahkan kepada manusia yang masih hidup dan tak berhubungan dengan Allah. Misalnya penghormatan kepada raja, ratu, sultan, permaisuri dan pahlawan.

Bila kegiatan puji-syukur dan penyembahan kepada Allah Tritunggal Maha Kudus serta penghormatan kepada orang-orang kudus dan para malaikat dilaksanakan dalam perayaan liturgi, maka kegiatan penyembahan dan penghormatan itu menjadi kegiatan liturgis. Bila kegiatan penyembahan dan penghormatan itu dilaksanakan di luar perayaan liturgi, maka kegiatan itu disebut devosi (ulah kesalehan dan kesalehan umat).

Dalam setiap perayaan liturgi kita mewujudkan penghormatan dan penyembahan kita kepada Allah Tritunggal Maha Kudus dan kita juga menunjukkan penghormatan khusus kepada orang kudus dan para malaikat. Misalnya dalam perayaan Ekaristi pada umumnya kita menyatakan puji-syukur dan sembah-sujud serta  permohonan kita kepada Allah Tritunggal Maha Kudus, Bapa dan Putra dan Roh Kudus, lewat doa, nyanyian, sikap tubuh, simbol, peralatan, dekorasi dll. Dalam Ekaristi yang sama kita menyatakan penghormatan kepada para kudus dan para malaikat. Puji syukur dan penyembahan kepada Allah Tritunggal kita tunjukkan juga dalam Ekaristi Hari Raya Tritunggal Maha Kudus. Dalam Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus, kita memanjatkan puji-syukur dan sembah sujud kepada Sakramen Maha Kudus Tubuh dan Darah Yesus Kristus.

Devosi religius dalam arti khusus adalah semua kegiatan puji-syukur dan penyembahan kepada Allah serta penghormatan terhadap orang-orang kudus dan para malaikat yang dilakukan manusia beriman di luar perayaan liturgis. Dalam hal ini devosi adalah bentuk kegiatan non liturgis. Misalnya doa koronka Kerahiman Ilahi, Renungan Jalan Salib, Adorasi Sakramen Mahakudus, Doa Rosario, Novena kepada Santo Antonius dari Padua yang dilaksanakan di luar perayaan liturgi.

Perbandingan Devosi (Ulah Kesalehan dan Kesalehan Umat) dengan Liturgi

Sifat liturgi adalah:

  1. Resmi. Karena liturgi merupakan kegiatan yang diakui resmi oleh Gereja. Ada ketentuan resmi yang dikeluarkan oleh pimpinan Gereja karena wewenangnya dan tugasnya untuk memelihara dan meneruskan warisan resmi liturgi sebagai salah satu unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan persekutuan beriman.
  2. Komunal. Karena Liturgi (leitos: yang berhubungan dengan banyak orang dan ergon: kegiatan atau tindakan) adalah kegiatan bersama, melibatkan banyak orang dan dibuat demi kepentingan umum (banyak orang).
  3. Obyektif. Karena tindakan liturgis dari dirinya sendiri mengandung nilai keselamatan. Seluruh perayaan yang dilaksanakan dengan pola resmi yang telah disepakati membuat umat beriman mengalami kehadiran Allah dan karya-Nya yang menyelamatkan.
  4. Mutlak untuk mengembangkan hidup dalam Kristus. ((PPCE 11.)) Dalam hal ini Gereja memandang liturgi sebagai suatu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh umat beriman agar hidupnya  dan hidup orang lain dalam persekutuan beriman bertumbuh dan berkembang dengan baik. Liturgi mesti dirasakan dan dialami sebagai kebutuhan dalam hidup rohani dan dilaksanakan dengan kebebasan sebagai anak-anak Allah dan bukan sebagai beban atau paksaan yang menindih.

Sifat Devosi adalah:

  1. Tidak resmi. Karena devosi tidak terikat pada aturan resmi Gereja dalam bidang liturgi. Orang yang melaksanakan devosi boleh memilih pola yang cocok dengan kebutuhannya. Ada fleksibilitas yang lebih besar dalam menyelenggarakan devosi. Urutan dan unsur-unsurnya bisa berubah-ubah sesuai dengan keinginan orang yang melaksanakan devosi itu. Akan tetapi dalam rangka menghindarkan penyalahgunaannya dan praktek yang menyesatkan, pimpinan Gereja (Universal dan Patikular) memberikan pedoman dan rekomendasi. ((Bdk. Bernhard Raas, SVD, Popular Devotions, Making Popular Religious Practices More Meaningful Vehicles of Spiritual Growth, Divine Word Publications, Manila, 1992, hlm. 16.))
  2. Lebih personal. Karena devosi lebih mengikuti keinginan pribadi atau sekelompok orang yang mempunyai keinginan yang sama. Devosi tidak terikat pada kebersamaan. Bisa dijalankan bersama-sama kalau orang yang ambil bagian dalam devosi mempunyai keinginan pribadi yang sama. Tidak mengherankan bila dalam devosi hasrat dan kepentingan pribadi mendapatkan pemenuhannya.
  3. Cenderung emosional. Karena devosi lebih erat berkaitan dengan rasa perasaan seseorang. Hasrat hati dan emosi pribadi dapat diungkapkan dengan baik tanpa rasa takut. Dapat saja rasa perasaan yang sama dimiliki oleh banyak orang. Maka terbentuklah kelompok devosi yang terdiri dari banyak anggota dari berbagai latar-belakang.
  4. Fakultatif karena Gereja tidak mewajibkan orang beriman untuk melaksanakan kesalehan umat meskipun kegiatan itu sungguh bernilai dan disukai banyak orang ((PPCE 11))  yang akhirnya mewajibkan dirinya sendiri untuk melaksanakannya.

Hubungan Devosi dan Liturgi

Kedua kegiatan ini berbeda tetapi keduanya tidak saling meniadakan atau tidak saling mengganti. Liturgi tidak menghilangkan devosi dan juga devosi tidak menghilangkan liturgi. Ada tradisi yang hanya memperhatikan kegiatan liturgis dan tidak memberi tempat yang luas kepada devosi (tradisi Liturgi Gereja Othodoks dan Gereja Reformasi/Protestan).

Sebaliknya dalam tradisi Gereja Katolik terdapat masa di mana devosi begitu berkembang dan hampir mengalahkan kegiatan liturgis misalnya pada abad pertengahan dan khususnya pada masa Barok. ((Bdk. PPCE 41: “Pada masa Reformasi Katolik, hubungan antara liturgi dan kesalehan umat tidak dapat dilihat hanya sebatas pertentangan antara kemapanan dan perkembangan. Kadang-kadang muncul keanehan-keanehan: ulah kesalehan kadang-kadang berlangsung di tengah-tengah kegiatan liturgis dan mendominasinya. Dalam praktik pastoral kadang-kadang kesalehan umat itu lebih penting daripada liturgi. Situasi seperti ini menampakkan ketidakterikatan pada Kitab Suci dan tidak begitu mempedulikan sentralitas misteri Paskah Kristus, dasar dan puncak seluruh ibadat Kristiani, dan ungkapan utamanya dalam liturgi pada hari Minggu.”)) Karena itu ada orang yang amat senang dengan devosi dan merasa puas hanya dengan devosi lalu tidak suka atau menolak bahkan membenci liturgi. Liturgi dirasa sangat kering dan membosankan karena tidak sesuai keinginan dan rasa perasaan pribadinya.

Di antara kedua kecenderungan yang mengarah kepada kegiatan yang ekstrim berat sebelah (hanya memperhatikan kegiatan liturgis atau hanya memperhatikan kegiatan devosional dengan akibat saling meniadakan), Gereja Katolik pada prinsipnya mengambil jalan tengah. “Oleh karena itu, penting sekali bahwa kesalehan umat tidak dipertentangkan, disamakan, atau bahkan dilihat sebagai pengganti liturgi. Kesadaran akan makna unggul liturgi dan penelitian akan ungkapan-ungkapannya yang lebih asli tidak boleh mengarah pada sikap mengabaikan kesalehan umat, atau meremehkannya, atau menganggapnya berlebihan atau bahkan membahayakan Gereja.” ((PPCE 50)) Kedua kegiatan itu diakui oleh Gereja sebagai kegiatan yang saling mempengaruhi secara positif atau saling menyuburkan. ((PPCE 58: “Liturgi dan kesalehan umat adalah dua bentuk ibadat yang saling berhubungan dan saling menyuburkan buah masing-masing. Tetapi dalam hal ini liturgi tetaplah merupakan acuan utama… Dan kesalehan umat, justru karena corak simbolis dan ekspresifnya, sering dapat melengkapi liturgi dengan pandangan-pandangan penting untuk inkulturasi dan mendorong suatu kreativitas yang dinamis dan efektif.” Bdk. Sidang Pleno III Konferensi Uskup Amerika Latin, Documento de Puebla, 465 e. Bdk. juga dengan PPCE 73: “Liturgi sedari hakikatnya, jauh mengungguli ulah kesalehan, sehingga praktik pastoral harus selalu memberikan kepada liturgi kudus ‘tempat lebih unggul yang selayaknya ia miliki dalam hubungan dengan ulah kesalehan’; liturgi dan ulah kesalehan hidup berdampingan selaras dengan hierarki nilai dan hakikat khas kedua ungkapan kultis ini.”)) Liturgi mempengaruhi devosi dan sebaliknya devosi mempengaruhi liturgi sebagai dua kegiatan yang saling melengkapi dalam mengatasi kemungkinan kekurangannya. Kedua-keduanya harus mendapat perhatian yang wajar pada waktu dan tempatnya.

Devosi yang dibuat sebelum dan sesudah kegiatan liturgis dapat sangat menyemangati dan menghidupkan orang beriman untuk  merayakan  liturgi karena devosi tersebut telah menanamkan kesadaran pribadi yang kuat untuk memuji,  memuliakan dan menyembah Allah serta memberikan penghormatan kepada para malaikat dan orang-orang kudus. Orang yang secara pribadi mempunyai penghormatan yang besar terhadap Santa Perawan Maria akan sangat dibantu untuk menyadari peran Maria sebagai Bunda, Perawan, Pendoa, Pendengar dan Pelaksana Sabda Tuhan dalam Perayaan Ekaristi dan sekaligus devosan itu mendapat dorongan dan semangat untuk berperan aktif juga dalam Ekaristi seperti Maria.

Liturgi sebagai perayaan bersama demi kepentingan umum, dapat melengkapi aspek pribadi dan subyektif dari devosi sehingga kerohanian orang yang berdevosi kuat menjadi lebih terbuka terhadap kepentingan umum dan terhindar dari egoisme rohani atau eksklusifisme dan fanatisme kelompok devosi. Dalam arti inilah liturgi dapat disebut “puncak dan sumber” kegiatan devosional umat beriman dan serentak menjadi norma yang memberi penilaian atau kritik ((Bernard Raas, SVD, op.cit. hlm. 20)) dan koreksi pada kegiatan kesalehan umat.

Jadi dibutuhkan keseimbangan dalam kegiatan devosional dan liturgis. Gereja menghargai kedua kegiatan ini karena masing-masingnya mempunyai peran khusus dalam menumbuhkembangkan iman. Untuk itu semua ulah kesalehan harus selaras dengan liturgi kudus dan sedikit banyak harus bersumber pada liturgi dan menghantar umat kepada perayaan liturgi. ((SC 13))  Keselarasan itu mengandaikan peran dari devosi sebagai kegiatan yang turut mempersiapkan dan menyemangati umat beriman untuk mengikuti dan mencintai liturgi bukan untuk menjauhkan atau membenci liturgi. Selanjutnya keselarasan itu juga menuntut agar devosi dijalankan sesuai dengan semangat dan isi yang sudah dialami dan dirayakan dalam liturgi. Lebih dari itu keselarasan dimaksud menuntut agar devosi tidak mempertahankan bentuknya di tengah perayaan liturgis tetapi rela memenuhi tuntutan liturgi ((PPCE 74: “Perhatian saksama terhadap asas-asas ini hendaknya menumbuhkan usaha nyata untuk – sedapat mungkin – menyelaraskan ulah kesalehan dengan irama dan tuntutan-tuntutan liturgi dengan menghindari setiap pemaduan atau pencampuradukan kedua bentuk kesalehan ini. Hal ini akan menjamin tidak munculnya bentuk-bentuk cangkokan atau bentuk-bentuk yang kacau-balau karena pencampuradukan liturgi dan ulah kesalehan; juga menjamin bahwa, bertentangan dengan pemikiran Gereja, ulah kesalehan dihilangkan, seringkali dengan meninggalkan kekosongan yang akan sangat merugikan kaum beriman.”)) dan dalam perayaan-perayaan liturgi mesti mengalami proses untuk beralih dari kegiatan devosional menjadi unsur kegiatan liturgis.

Tempat dan kesempatan melakukan devosi yang benar adalah sebelum dan/atau sesudah perayaan liturgi. Bukan memasukkan devosi (ulah kesalehan dan kesalehan umat) di tengah perayaan liturgi. “Perbedaan obyektif antara ulah kesalehan dan kegiatan-kegiatan devosional hendaknya selalu jelas dalam ungkapan ibadahnya. Maka dari itu, rumusan-rumusan yang khas untuk ulah kesalehan hendaknya tidak dicampuradukkan dengan kegiatan liturgis. Kegiatan devosi dan kesalehan umat hendaknya tetap di luar perayaan Ekaristi kudus dan sakramen-sakramen lain.” ((PPCE 9))

Perlu ditinjau kembali kebiasaan di tempat tertentu untuk memasukkan devosi di tengah perayaan liturgi bahkan mengganti unsur atau bagian tertentu dalam perayaan. Misalnya perlu ditinjau kembali praktek membuat adorasi kepada Sakramen Mahakudus sesudah Anak Domba Allah, sebelum komuni imam dan umat dengan alasan: umat suka membuat adorasi tetapi tidak punya waktu untuk kembali lagi ke gereja dan membuat kunjungan dan penyembahan Sakramen Mahakudus secara pribadi atau bersama. Perlu ditinjau lagi praktek membuat doa Rosario dan Renungan Jalan Salib sebagai pengganti Liturgi Sabda, dengan alasan: dalam doa Rosario, kita tidak hanya berdoa Salam Maria, tetapi juga kita mempunyai kesempatan untuk mendengarkan bacaan Kitab Suci dan merenungkan peristiwa-peristiwa Rosario (Gembira, Sedih, Terang, Mulia) yang berhubungan erat dengan hidup dan karya Yesus Kristus seperti yang ditulis dalam Kitab Suci. Demikian pula Renungan Jalan Salib semuanya berdasarkan bacaan Kitab Suci yaitu tentang derita dan kematian Yesus Kristus sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Menghadapi gejala-gejala ini kita mesti berpegang teguh pada pandangan Gereja tentang Doa Rosario dan Renungan Jalan Salib. Menurut tradisi selama ini, doa Rosario dan Renungan Jalan Salib diterima sebagai bentuk-bentuk devosi yang menjadi sarana ampuh untuk menghayati iman dengan lebih mendalam, tetapi harus diakui bahwa devosi-devosi itu tetap berbeda dari liturgi dan tidak boleh disamakan dengan liturgi atau menjadi pengganti bagian-bagian perayaan liturgi.

Kemungkinan Penyerasian

Mengakui perbedaan dan kesamaan antara liturgi dan devosi (ulah kesalehan serta kesalehan umat) tidak berarti kita kehilangan kemungkinan untuk membuat penyerasian devosi dengan liturgi. Itu berarti devosi melewati suatu proses untuk menjadi bagian utuh dari liturgi sehingga kegiatan itu tidak lagi disebut devosi di dalam liturgi tetapi telah berubah menjadi kegiatan liturgis. Ini sebenarnya sebuah proses penyesuaian (inkulturasi) kesalehan umat sebagai unsur dari kegiatan liturgis. Dalam proses ini, seperti sudah dikatakan sebelumnya, devosi mesti memenuhi tuntutan-tuntutan liturgis ((Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Instruksi Pelaksana IV atas Konstitusi Liturgi (No. 37-40), Varietates Legitimae, 45))  agar menjadi sungguh-sungguh suatu kegiatan liturgis.

Kaidah-kaidah yang selama ini menjadi pegangan untuk suatu proses inkulturasi dalam perayaan liturgi haruslah juga diperhatikan dalam proses penyerasian devosi dengan liturgi. “Sehubungan dengan pengambilalihan sejumlah unsur kesalehan umat dalam proses inkulturasi liturgi, hendaknya sungguh diperhatikan instruksi terkait yang sudah diterbitkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen.” ((PPCE 92. Bdk. PPCE 84)) Dalam instruksi itu, ulah kesalehan disebut sebagai salah satu kemungkinan untuk mengalami proses inkulturasi, tetapi tidak boleh dimasukkan di tengah liturgi, dicampur-aduk dengan liturgi atau menggeser liturgi.

Gereja mengakui bahwa inti misteri yang dirayakan dalam semua ibadat (baik dalam liturgi maupun dalam semua bentuk kesalehan umat) adalah kehadiran Tuhan dan karya-karya-Nya yang agung dan menyelamatkan atau misteri Paskah yang mencapai puncaknya dalam hidup dan karya Yesus Kristus khususnya dalam peristiwa penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Iman yang sama akan misteri keselamatan yang sama dengan semangat yang sama dapat dihayati baik dalam liturgi maupun dalam kegiatan kesalehan umat. Secara obyektif inti misteri itu hadir dan dialami dalam liturgi, dan dalam kehidupan sehari-hari di luar perayaan liturgi (sebelum atau sesudahnya) iman itu diwujudnyatakan atau diungkapkan secara pribadi (bisa juga bersama orang lain)  dalam berbagai bentuk devosi (kesalehan umat). “Dalam perayaan liturgi, tidak semua ibadat ilahi Gereja tertampung. Mengikuti teladan dan ajaran Tuhan, para murid Kristus juga berdoa secara tersembunyi dalam bilik-bilik mereka (bdk. Mat. 6:6); mereka berkumpul untuk berdoa menurut bentuk-bentuk yang telah diciptakan oleh laki-laki dan perempuan dengan pengalaman religius yang masyhur, yang telah menyemangati kaum beriman dan mengarahkan kesalehan mereka kepada segi-segi khusus tertentu dari misteri Kristus. Mereka juga berdoa menurut tata doa yang muncul secara spontan dari dasar kesadaran Kristiani kolektif, di mana tuntutan kebudayaan populer secara serasi menampilkan unsur hakiki amanat Injil.” ((PPCE 82))

Beberapa contoh upaya penyerasian:

Hari Minggu. Hari Minggu tidak dapat ditundukkan kepada kesalehan umat. “Ulah kesalehan yang acuan waktunya adalah Minggu, hendaknya tidak dianjurkan. Namun demi manfaat pastoral kaum beriman, boleh diselenggarakan pada hari Minggu Biasa pesta-pesta Tuhan, atau pesta penghormatan Santa Perawan Maria atau orang kudus, yang jatuh pada hari biasa dalam pekan, asal kelas mereka menurut Penanggalan Liturgi Romawi lebih tinggi dari hari Minggu” (PPCE 95)

Masa Adven (PPCE 97-104). Lingkaran Adven dengan penyalaan lilinnya sebagai simbol aneka tahap sejarah keselamatan mendahului kedatangan Kristus, dilaksanakan pada awal perayaan liturgi (unsur dari Ritus Pembuka). Atau prosesi Adven dengan bintang kejora sebagai ungkapan harapan yang hampir terpenuhi dalam kedatangan Tuhan yang sudah sangat dekat. Novena Maria Dikandung Tanpa Noda mengungkapkan sikap Maria yang sungguh menyiapkan dirinya untuk menerima kedatangan-kelahiran Tuhan. Novena Natal adalah contoh penyerasian kesalehan umat dengan liturgi (Ibadat Sore). Membuat kandang Natal sebagai persiapan menerima kelahiran Tuhan juga merupakan satu bentuk kesalehan umat sebelum, selama, dan sesudah perayaan liturgi.

Masa Natal (PPCE 107, 109, 114, 118). Penghormatan khusus yang diserasikan dalam liturgi misalnya penghormatan terhadap kanak-kanak tak berdosa yang menjadi martir (28 Desember), peringatan nama Yesus yang tersuci (13 Januari), perayaan Keluarga Kudus (Minggu dalam oktaf Natal atau tanggal 30 Desember). Pohon Natal diserasikan dalam liturgi, dapat disesuaikan dengan kebiasaan setempat (misalnya di Papua Selatan mulai dipakai pohon anggin yaitu pohon yang turun dari khayangan dan di mana pohon itu tumbuh entah di keliling rumah atau kebun, akan ada perlindungan, ketenangan, kesejahteraan di sekitarnya). Vigili 31 Desember malam menjelang tahun baru dengan devosi khusus kepada Sakramen Maha Kudus dan Pujian Te Deum dapat diselaraskan dengan isi liturgis oktaf Natal sebagai persembahan penuh syukur tahun baru kepada Tuhan sebagai saat keselamatan. Salah satu bentuk kesalehan umat di seputar hari raya Penampakan Tuhan adalah pemberkatan rumah dengan menandai jenang-jenang pintu dengan salib keselamatan, angka tahun yang baru, dan huruf pertama nama ketiga orang majus (C+M+B) yang juga ditafsirkan sebagai Christus Mansionem Benedicat (Semoga Kristus memberkati rumah ini), dilengkapi dengan prosesi anak-anak sebagai kesempatan mengumpulkan bingkisan untuk karya amal dan misi.

Masa Prapaskah. Penerimaan abu adalah satu contoh penyerasian simbol pertobatan dalam perayaan liturgi (Ekaristi). “Kaum beriman yang datang menerima abu hendaknya dibantu untuk memahami makna internal yang tersirat dalam kegiatan ini, yang menyiapkan mereka untuk bertobat dan membarui komitmen Paskah” (PPCE 125). Devosi-devosi kepada Kristus yang tersalib amat banyak dan terkait dengan kesalehan umat: nyanyian dan doa-doa, kegiatan membuka selubung salib, mengecup salib, prosesi dan pemberkatan dengan salib (PPCE 128). Dalam buku perayaan Jumat Suci terdapat contoh penyerasian yang tepat. Penghayatan yang tepat dari penghormatan pada salib Kristus sebagai simbol derita dan kematian Kristus harus disatukan dengan makna kemenangan dan kebangkitan mulia.

Pekan Suci. Ada banyak kemungkinan penyerasian pada hari-hari ini. Dalam Minggu Palma nampak dalam perarakan mengenangkan masuknya Yesus ke Yerusalem (Ritus Pembuka). Perarakan dengan daun-daun palma dan ranting atau dedaunan lain menjadi sebuah kegiatan liturgis dan bukan kegiatan devosional (PPCE 139). Demikian pula dalam Ritus penutup Kenangan Perjamuan Tuhan pada Kamis Putih malam, dibuat perarakan Sakramen Maha Kudus ke tempat penyimpanan (bukan simbol makam) untuk komuni umat pada Jumat Agung dan viaticum orang sakit (PPCE 141). Dalam hari Jumat Agung dapat dibuat prosesi Kristus yang wafat dan drama sengsara Tuhan, tetapi tidak boleh menjadi atraksi wisata dan tidak boleh mengganti perayaan liturgi Jumat Agung (kenangan sengsara dan kematian Yesus Kristus). “Praktik pertobatan yang mengarah kepada penyaliban diri dengan sungguh-sungguh dipaku tidak dianjurkan” (PPCE 144, 142, 143). Dalam perayaan kenangan sengsara dan kematian Yesus Kristus, terdapat penyerasian yang tepat dari kegiatan devosional yang menjadi kegiatan liturgis yaitu pada pembukaan selubung salib, perarakan salib, penyembahan salib. Begitu pula dalam perayaan malam Paskah (Sabtu Paskah) kita temukan penyerasian upacara api dan terang lilin Paskah, Sabda Allah sebagai Terang dalam kegelapan, perecikan dengan air suci (air pembaptisan). Tradisi pemberkatan telur paskah dan pemberkatan hidangan keluarga pada Minggu Paskah  dengan menggunakan air suci yang diberkati pada malam Paskah merupakan bentuk kesalehan umat yang dapat dipertahankan dan ditingkatkan (PPCE 150).

Pada masa Paskah dapat dilakukan devosi Jalan Cahaya untuk merenungkan peristiwa-peristiwa kemuliaan dan kebangkitan Tuhan. Sebuah contoh penyerasian devosi dengan liturgi adalah Minggu Paskah II sebagai Hari Minggu Kerahiman Ilahi. Doa-doa dan  semangat dari devosi Kerahiman Ilahi diserasikan dalam doa-doa liturgis pada Hari Minggu Paskah II (PPCE 153 dan 154). Penghormatan khusus kepada Roh Kudus diserasikan dalam Novena Pentakosta dan Hari Raya Pentakosta.

Devosi kepada Tritunggal Maha Kudus diserasikan dengan liturgi pada hari raya Tritunggal Maha Kudus, seperti nampak dalam doa-doa, rumus-rumus baku yang trinitaris: Tanda Salib, Doksologi, Kemuliaan, Aku Percaya, berkat dll. Contoh lain dari penyerasian dalam liturgi adalah Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Hati Yesus yang Mahakudus, Hati Maria yang Tak Bernoda, Darah Mulia Kristus, Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga (PPCE 160-181).

Penyerasian penghormatan kepada Bunda Allah, Santo-santa serta Beato-beata dan bagi orang yang sudah meninggal serta peran tempat ziarah dan ziarah dalam kaitan dengan devosi dan liturgi dapat dilihat dalam PPCE 183-287.

Untuk upaya penyerasian ini perlu katekese yang memadai. Contohnya misalnya tentang makna Salam Tahun Baru (PPCE 117) sebagai ungkapan kesalehan umat. Perhatian terhadap proses untuk penyerasian adalah suatu hal penting, terutama untuk menjamin kebenaran iman dan daya dampak yang positif bagi pertumbuhan hidup rohani umat beriman. Oleh karena itu bimbingan dari para petugas pastoral, penelitian dari orang-orang yang kompeten serta persetujuan dari pimpinan Gereja haruslah diperhatikan juga dalam proses penyerasian ini.

Contoh Proses Penyerasian

Dalam rangka memahami proses itu baiklah diberikan satu dua contoh. Yang pertama adalah Minggu Kerahiman Ilahi. Hari Minggu ini adalah Minggu Paskah II yang dulu pernah disebut juga Minggu Putih. Dengan menyandang nama Hari Minggu Kerahiman Ilahi, menjadi jelas bahwa penghormatan dan penyembahan kepada kerahiman Allah sebagai suatu kegiatan devosional telah mengalami proses penyerasian menjadi suatu kegiatan liturgis yang dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi. Awalnya penghormatan khusus kepada kerahiman Ilahi itu dilaksanakan sebagai suatu kegiatan devosional oleh seorang suster dari Polandia yang bernama Suster Faustina Kowalska.

Dalam tulisan-tulisannya Suster menulis banyak refleksi yang berisi muatan teologis tentang kerahiman Ilahi. Refleksi-refleksinya memperlihatkan bahwa Suster Faustina mempunyai rasa hormat yang tinggi dan dalam terhadap rahasia kerahiman Ilahi dan secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong banyak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Mereka bersama-sama atau secara pribadi mendoakan koronka Kerahiman Ilahi yang berisi pujian dan penyembahan serta permohonan kepada Allah Maharahim. Akhirnya banyak orang mengikuti contohnya dan menganjurkan kepada pimpinan Gereja untuk memilih salah satu hari sebagai hari Perayaan Kerahiman Ilahi. Paus Yohanes Paulus II menanggapi usul-usul itu dan memilih Hari Minggu Paskah II sebagai Hari Minggu Kerahiman Ilahi.

Kerahiman Ilahi itu adalah kerahiman Allah Bapa yang nampak secara nyata dalam hidup dan karya Yesus Kristus. Juga sebenarnya dalam semua perayaan liturgi sepanjang Tahun Liturgi kita mengenangkan misteri penyelamatan Allah, cinta kasih Allah Bapa tanpa batas dan tanpa syarat untuk menyelamatkan manusia. Juga dalam perayaan/pesta Tuhan Yesus atau Roh Kudus dan orang kudus sebetulnya kita merayakan kasih dan kebaikan Allah Bapa yang nampak dalam diri Yesus dan dalam karya Roh Kudus serta hidup para orang kudus.

Sekedar menegaskan dan memperkuat keyakinan bahwa kerahiman Ilahi itu adalah kerahiman Allah Bapa yang nampak dalam diri Yesus Kristus dan dalam karya Roh Kudus ingin saya rujuk beberapa sumber:

  1. DOMINICA II PASCHAE seu de divina Misericordia. Dalam penanggalan liturgi (diterbitkan Komlit KWI) ditulis: HARI MINGGU PASKAH II (P). Kerahiman Ilahi.
  2. Rumusan doa devosional: Koronka kepada Kerahiman Allah, ditujukan kepada Allah Bapa: Bapa yang kekal, kupersembahkan kepada-Mu Tubuh dan Darah, Jiwa dan Ke-Allahan Putera-Mu… Demi sengsara Yesus yang pedih, tunjukkanlah belas kasih-Mu kepada kami dan seluruh dunia… Allah yang kudus, kudus dan berkuasa, kudus dan kekal, kasihanilah kami dan seluruh dunia.
  3. Kerahiman Allah Bapa ini amat nampak dalam diri dan hidup serta karya Yesus Kristus seperti diungkapkan dalam rumusan lain dari doa devosional ini: Ya Yesus, Engkau telah wafat…terbukalah lautan kerahiman bagi segenap dunia… Yesus, Raja Kerahiman Ilahi, Engkaulah andalanku.
  4. Doa Pembuka MINGGU PASKAH II dimulai dengan seruan kepada Allah Bapa yang kerahiman-Nya abadi: Deus misericordiae sempiternae…
  5. Dalam buku-buku-sumber liturgi yang ditulis mulai abad V, VI, VII ungkapan misericors (yang rahim) atau misericordia (kerahiman) dalam seruan awal dari doa-doa pemimpin (doa liturgis) umumnya mengacu kepada Allah Bapa, seperti misecors deus (Sacramentarium Veronense no 194 dan 200) Deus misericordiae (Sacramentarium Gregorianum no 2079 dan 2118). Warisan ini (Allah Maharahim adalah Allah Bapa yang kerahiman-Nya nampak jelas dalam diri, hidup dan karya Yesus Kristus serta Roh Kudus) diteruskan dalam teks-teks liturgi yang terdapat dalam buku misa Paulus VI termasuk edisi ke 3 pada tahun 2002. Dengan ungkapan liturgis ini Allah Bapa itu tidak hanya mempunyai kuasa dan bersifat perkasa seperti seorang bapa, tetapi juga penuh kerahiman (punya rahim) dan kasih sayang seperti seorang ibu.

Berdasarkan rujukan-rujukan itu kita dapat memahami bahwa doa-doa devosional Kerahiman Ilahi itu tidak mengalami kesulitan besar dalam proses penyerasian dengan liturgi karena doa-doanya diarahkan kepada Allah Bapa yang Maharahim. Semua doa liturgis menurut tradisi liturgi Romawi, selalu diarahkan kepada Allah Bapa, melalui (dengan pengantaraan) Yesus Kristus dalam persatuan dengan Roh Kudus, sebagaimana nampak dalam rumus doksologi dan rumusan akhir dari doa-doa pemimpin. Ungkapan penghormatan kepada Allah yang Maharahim juga dilakukan dengan menggunakan struktur doa liturgis, sehingga doa-doa itu tidak lagi berbentuk doa devosional tetapi telah beralih menjadi doa liturgis.

Sebuah contoh lain mengenai proses penyerasian devosi dengan liturgi adalah Perayaan Tubuh dan Darah Kristus. Perayaan ini sangat populer dalam Gereja Barat. Mulanya penghormatan khusus kepada Tubuh dan Darah Kristus itu dilaksanakan berdasarkan penampakan yang dialami oleh seorang suster Agustinian, yang bernama Juliana,. Peristiwa penampakan itu terjadi di Liege tahun 1246. ((Peter G. Cobb, “The History of the Christian Year” dalam Cheslyn Jones, Geoffrey Wainwright, Edwar Yarnold, SJ (edd.), The Study of Liturgy, Williams Clowes Limited, London, 1983, hlm. 412.)) Itu berarti penghormatan khusus yang dibuat oleh suster Juliana itu mempengaruhi orang lain dan pimpinan Gereja setempat (uskup) untuk melaksanakan penghormatan yang khusus kepada Tubuh dan Darah Kristus dalam perayaan Ekaristi. Pertama perayaan itu dilaksanakan di Liege, kemudian menjadi perayaan seluruh Gereja di bawah kepausan Urbanus IV, yang sebelumnya adalah diakon di Liege.

Bagaimana penyerasian itu terjadi? Devosi terhadap Tubuh dan Darah Kristus tidak dimasukkan di tengah perayaan Ekaristi (Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi), tetapi doa-doa dan nyanyian-nyanyian liturgis diserasikan dengan isi dan semangat devosi khusus kepada Tubuh dan Darah Kristus. Struktur dari doa-doa liturgis tidak diubah tetapi tetap dipertahankan. Arah dari doa tetap ditujukan kepada Allah Bapa dengan pengantaraan Kristus dalam persatuan dengan Roh Kudus.

Perayaan Para Martir dan Bunda Maria, Bunda Allah. Penghormatan kepada para martir pada abad-abad pertama merupakan suatu devosi khusus lantaran keserupaan mereka dengan derita dan kematian serta kebangkitan Yesus Kristus. ((Peter G. Cobb, Op.cit. hlm. 421-426.)) Penghormatan khusus itu diperlihatkan melalui peletakan relikwi di atas altar, yang berarti bersatu dengan altar dan menjadi bagian dari altar yang adalah Kristus sendiri sebagai korban dan pembawa korban. Penghormatan khusus diberikan juga kepada orang-orang kudus bukan martir teristimewa kepada Santa Perawan dan Bunda Maria. Teks nyanyian dan doa-doanya diselaraskan dengan perayaan liturgi Ekaristi. Dalam doa-doa liturgis, para kudus tidak menjadi arah tujuan satu-satunya dari doa, melainkan Allah dalam Yesus Kristus. Perarakan Sakramen Maha Kudus pada akhir perayaan juga merupakan satu upaya konkrit dalam menyelaraskan devosi dengan liturgi.

Kesimpulan

Beberapa pokok pikiran dapat kita simpulkan berkaitan dengan penyelarasan kesalehan umat (devosi) dengan liturgi.

Penyelarasan dimulai dengan upaya menjalankan devosi yang mengarah kepada liturgi dan yang bersumber dari liturgi. Penyelarasan berbeda dari pemaduan atau pencampuradukan keduanya. Sebaliknya penyelarasan berarti saling mempengaruhi, saling melengkapi, saling menyuburkan dan bukan saling meniadakan atau saling mengganti.

Untuk mencapai keselarasan dituntut kerjasama yang tulus dari semua pihak dalam satu proses yang matang, yang terbuka terhadap bimbingan Roh Kudus hingga diputuskan oleh yang berwewenang, dalam hal ini oleh pimpinan Gereja.

Dalam proses mencapai penyelarasan itu, semangat devosional menjadi semangat liturgis, doa-doa devosional menjadi doa-doa liturgis dengan struktur dan isi liturgis, teks nyanyian devosional menjadi nyanyian liturgis karena memenuhi tuntutan liturgis, simbol devosional menjadi simbol liturgis dan kegiatan devosional menjadi kegiatan liturgis.

0 0 votes
Article Rating
19/12/2018
17 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Herman Jay
Herman Jay
10 years ago

Iringan Lonceng / Bel Putra Putri Altar Pada Momen Tertentu Upacara Misa 1.Mungkin di dalam peribadatan Gereja non Katolik tidak digunakan perlengkapan lonceng kecil seperti yang ada dalam gereja Katolik. (Silakan beri info kepada kami jika ada gereja non katolik yang juga menggunakannya) 2.Dalam peribadatan agama Buddha digunakan juga semacam lonceng. 3.Sebenarnya apa makna penggunaan lonceng dalam upacara Misa? 4.Mengapa lonceng hanya hanya digunakan pada momen tertentu (sanctus, konsekrasi, doksologi ) ? 5.Jika sarana lonceng tidak ada dalam upacara Misa, apakah Misa menjadi tidak afdol ? Kalau memang tidak pengaruh, buat apa menyediakan sarana lonceng? Bukankah hanya menambah-nambah asesoris yang… Read more »

Romo Bernardus Boli Ujan, SVD
Reply to  Herman Jay
10 years ago

Salam Herman Jay, Jawaban saya tuliskan dalam huruf miring di bawah pertanyaan Anda: Iringan Lonceng / Bel Putra Putri Altar Pada Momen Tertentu Upacara Misa 1.Mungkin di dalam peribadatan Gereja non Katolik tidak digunakan perlengkapan lonceng kecil seperti yang ada dalam gereja Katolik. (Silakan beri info kepada kami jika ada gereja non katolik yang juga menggunakannya) Dalam Gereja non-Katolik (Protestan) tak pernah saya dengar. Kurang tahu apakah dipakai juga dalam Gereja Anglikan dan Orthodox. Mungkin ada yang tahu pasti. Bunyi atau bunyi-bunyian dalam agama Islam juga dipakai, seperti beduk. Dalam tradisi Yahudi dipakai trompet. Dalam agama-agama asli biasanya dipakai dengan… Read more »

Yenny
Yenny
11 years ago

Halo Romo, tolong tanya, kalau misalnya ada terjadi Ibadat Jalan Salib menggantikan Ritus Pembuka dan Liturgi Sabda kemudian disambung dengan Liturgi Ekaristi ( dan memang diprakarsai oleh seorang imam )…lalu kami sebagai umat harus bagaimana? Ini pernah terjadi pada saat Misa Jumat Pertama. Kemudian ada kejadian lain, Ibadat Jalan Salib disambung dengan nyanyian Bapa Kami, tidak ada Doa Syukur Agung, dilanjutkan pembagian Tubuh Kristus dan ritus penutup ( dipimpin oleh seorang frater ). Kurang lebih kata-kata penutupnya berbunyi sbb: “…Perayaan Sabda dan Ibadat Jalan Salib sudah selesai.” Hari ini, di Ibadat Jalan Salib juga, terjadi hal yang hampir sama, cuma… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Yenny
11 years ago

Shalom Yenny, Sambil menunggu jawaban Rm. Boli, izinkan saya menanggapi pertanyaan Anda. Jika nanti jawaban Rm Boli tiba, dan jawaban beliau berbeda dengan jawaban saya, silakan mengacu kepada jawaban Rm Boli, sebab beliaulah ahlinya dalam hal liturgi. Pada hari Jumat Agung, memang tidak ada perayaan Ekaristi/ Misa. Umumnya yang diadakan adalah ibadat Jalan salib pada pagi hari, untuk mengenangkan perjalanan kisah sengsara Tuhan Yesus sejak dijatuhi hukuman mati sampai pada saat dikuburkan. Pada hari Jumat perayaan Ibadat Jalan Salib ini, umumnya tidak ada Komuni. Sedangkan pada siang hari (umumnya pada jam 3 siang, atau kadang karena untuk melayani banyaknya umat,… Read more »

Yenny
Yenny
Reply to  Ingrid Listiati
11 years ago

Syalom Bu Ingrid, saya ucapkan banyak terima kasih atas jawabannya… ada pertanyaan tambahan Bu…peristiwa yang saya ceritakan di atas itu bukan terjadi pada hari Jumat Agung…tapi Jumat pertama dan Jumat lain selama masa Prapaskah ( selain Jumat Agung ), dimana Jalan Salibnya disambung dengan Komuni Kudus dan Jalan Salib menggantikan Ritus Pembuka+Liturgi Sabda ( 2 kejadian berbeda ). Daerah kami tidak termasuk daerah terpencil. Sebenarnya saya merasa kurang pas kalau Komuni Kudus dibagikan setelah Jalan Salib, karena di luar kebiasaan ( biasanya kan dibagikan waktu Misa Kudus ), tapi kalau memang hal ini diperbolehkan oleh Gereja, saya merasa lebih lega,… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Yenny
11 years ago

Shalom Yenny, Seharusnya, pada hari Jumat Pertama dan Jumat dalam masa Prapaska, jika diadakan Jalan Salib, maka Jalan Salib diadakan di awal ibadat, lalu dilanjutkan dengan perayaan Ekaristi (lengkap, jadi bukan hanya pembagian Komuni). Jika sesudah Jalan Salib diadakan Perayaan Ekaristi, Jalan Salib juga tidak dapat menggantikan Liturgi Sabda. Romo Bosco da Cunha dari Komisi Liturgi KWI mengatakan, “Jalan Salib dapat menggantikan Ritus Pembuka, tetapi tidak dapat menggantikan Liturgi Sabda. Kegiatan devosional tidak dapat menggantikan Liturgi. Liturgi Sabda harus tetap ada dan dilanjutkan dengan Liturgi Kurban Syukur Ekaristi. Tidak pernah boleh digantikan dengan devosi Jalan Salib atau Rosario, atau model… Read more »

Romo Bernardus Boli Ujan, SVD
Reply to  Yenny
11 years ago

Salam Yenny, Saya tuliskan jawaban saya di bawah masing-masing pertanyaan Anda. Pertanyaan Anda dicetak warna biru: Halo Romo, tolong tanya, kalau misalnya ada terjadi Ibadat Jalan Salib menggantikan Ritus Pembuka dan Liturgi Sabda kemudian disambung dengan Liturgi Ekaristi ( dan memang diprakarsai oleh seorang imam )…lalu kami sebagai umat harus bagaimana? Ini pernah terjadi pada saat Misa Jumat Pertama. Dalam situasi itu, ikutilah suara hatimu, tak perlu terima komuni. Sesudah ibadat sampaikanlah dengan santun dan penuh kasih persaudaraan keberatanmu kepada yang memimpin ibadat itu, bahwa ibadat Jalan Salib adalah devosi dan tidak sama dengan (tidak dapat menggantikan) Liturgi Sabda dalam… Read more »

Yenny
Yenny
Reply to  Romo Bernardus Boli Ujan, SVD
10 years ago

Terima kasih banyak Romo Boli atas penjelasannya, maaf saya baru membacanya.
sekarang saya sudah lebih mengerti…
Semoga Tuhan Yesus memberkati Romo dan tim Katolisitas selalu..

Satriya A
Satriya A
11 years ago

Romo, dalam komunitas kami, kami sering melaksanakan Ibadat / Perayaan Sabda. Point yg ingin sy tanyakan, bolehkah, pada bagian “ritus tobat” menggunakan pola doa yang ada dalam Misa St.Pius V, yg kira-kira bunyinya “Saya mengaku, kepada Allah yang Mahakuasa, kepada Santa Perawan Maria, kepada Malaikat Agung Santo Mikael, ….”
Terima kasih Romo

Romo Bernardus Boli Ujan, SVD
Reply to  Satriya A
11 years ago

Salam Satriya,

Dalam Ibadat/Perayaan Sabda boleh saja. Hanya kemudian kalau sudah hafal dan mengikuti Misa dan mendoakan “saya mengaku” harap tidak menyebutkan tambahan tersebut.

Tks dan doa. Gbu.
Rm B.Boli Ujan, SVD.

heri
heri
11 years ago

Romo mau bertanya, mana yang benar, di gereja kami, sdh 2 tahun terakhir setelah pergantian Romo Paroki kami yang baru, dalam setiap acara Ibadat Jalan Salib disatukan dengan Ekaristi, dan Ibadat Jalan Salib sendiri ditempatkan saat homili, karena Ibadat Jalan Salib merupakan devosional, apakah benar bisa menggantikan Liturgi Sabda dari perayaan Ekaristi. Karena yang sudah-sudah, Ibadat Jalan Salib dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian, dilanjutkan dengan perayaan Ekaristi. Pernah saya bertanya kepada Romo Paroki kami, tentang tata urutannya, katanya tidak masalah. Akan tetapi kalau saya membaca Buku Pedoman Pelayanan Pastoral Liturgi, koq sepertinya tidak dibenarkan. Malah yang benar kalau tidak memungkinkan… Read more »

Romo Bernardus Boli Ujan, SVD
Reply to  heri
11 years ago

Salam Heri,   Tentang masalah ini, saya pernah memaparkan penjelasan lengkapnya di dalam artikel di atas, yaitu Kesalehan Umat dan Liturgi: Kemungkinan Penyerasian tepatnya di sub judul “Hubungan Devosi dan Liturgi” paragraf ke-tujuh. Saya tuliskan lagi di bawah ini untuk menjawab pertanyaan Anda: Tempat dan kesempatan melakukan devosi yang benar adalah sebelum dan/atau sesudah perayaan liturgi. Bukan memasukkan devosi (ulah kesalehan dan kesalehan umat) di tengah perayaan liturgi. “Perbedaan obyektif antara ulah kesalehan dan kegiatan-kegiatan devosional hendaknya selalu jelas dalam ungkapan ibadahnya. Maka dari itu, rumusan-rumusan yang khas untuk ulah kesalehan hendaknya tidak dicampuradukkan dengan kegiatan liturgis. Kegiatan devosi dan… Read more »

Ady
Ady
12 years ago

Berkat Tuhan,
Perkenankan saya bertanya berkenaan dengan Perayaan Kamis Putih.Ada rencana peringatan pembasuhan para rasul oleh imam, akan diganti dengan pembasuhan kaki pasutri, dalam hal ini bapak membasuh kaki ibu (istrinya). Apakah secara liturgis ini benar, dibenarkan atau diperbolehkan? Mohon tanggapan.

Terima kasih.
Salam dan hormat.

Ady

Romo Bernardus Boli Ujan, SVD
Reply to  Ady
12 years ago

Ya, dalam liturgi Perjamuan Malam Kamis Putih hendaknya tindakan Yesus dilakukan oleh imam yang membasuh kaki 12 orang sebagai wakil umat. Bila suami ingin membasuh kaki istri, dapat dilakukan di rumah masing-masing keluarga sesudah perayaan bersama di gereja sebagai suatu kegiatan para liturgi (yang mirip liturgi tetapi bukan liturgi).

Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.

Antonius
Antonius
12 years ago

Dear Katolisitas

Teman muslim saya bertanya, kalau kita berdosa bukankah kita sudah di tebus oleh TuhanYesus dan seharusnya tidak berdosa lagi dan tidak usah mohon ampunan Tuhan, di Islam jika berdosa mereka tinggal mohon ampunan Allah.
Jadi menurut mereka pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib doesnt make it sense, tidak berati apa2

Mohon penjelasanya saya benar2 tercengan dgn pertanyaan ini

Salam
Antonius

[dari katolisitas: silakan melihat jawaban ini – silakan klik]

Machmud
Machmud
Reply to  Antonius
12 years ago

Syalom team katolisitas

Ada ayat yang belum bisa saya pahami, mohon dijelaskan terima kasih
Yermia 30 : 9 dan Yehezkiel 34 : 23-24

Pertanyaannya :
1. Apakah DAUD akan menjadi raja lagi ?
2. DAUD menjadi raja bangsa apa ?

Terima kasih
Mac

[dari katolisitas: Dua ayat tersebut adalah merupakan gambaran akan Kristus, yang adalah gembala yang baik.]

Soliloquy
Soliloquy
Reply to  Antonius
12 years ago

Gak juga, tuch ……. coba suruh ybs bertanya pada Guru Agamanya ….. Kita semua (Muslim dan Kristiani) meyakini bahwa setiap hari kita berbuat salah / dosa, sehingga setiap detik kita selalu mohon ampunan dari Yang Maha Murah dan Maha Pengasih.

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
17
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x