This post has many pingpacks and trackbacks.
There are a few ways to list them.
- Above the comments
- Below the comments
- Included within the normal flow of comments
This post has many pingpacks and trackbacks.
There are a few ways to list them.
Keledai kecil, keledai kecil
berjalan perlahan di jalan berdebu,
menembus kesunyian malam.
Beban tunggangan yang kudus di punggungmu,
ternaungi cahaya bintang yang bersinar di langit kelam.
Oh lihatlah, Betlehem telah nampak di hadapan,
teruslah melangkah dan jangan menyerah dulu,
hantar Bunda Maria dan Bapa Yusuf selamat sampai di tujuan.
Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin, dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Luk 2 : 6-7)
Saat mengeluarkan berbagai ornamen dari kotak penyimpanan untuk menghias kandang Natal di samping pohon natal keluarga kami, hampir terlewat oleh saya sebuah patung mungil seekor keledai, yang merupakan anggota hiasan kandang Natal yang paling kecil. Satu-satunya anggota kandang yang hampir seukuran dengannya hanyalah patung bayi Yesus dengan palungan yang ditempatiNya, di mana palungan adalah tempat makan dan minum bagi hewan ternak, terbuat dari kayu atau batu, yang biasa diletakkan di kandang. Lagu “Keledai Kecil” yang saya terjemahkan dari versi aslinya “Little Donkey” di atas, menemani saya meletakkan patung keledai itu di atas jerami, berdampingan dengan hewan lain yang mengelilingi palungan, yang sudah lebih dulu terpasang rapi di tempatnya masing-masing. Perasaan saya tercekat oleh keputusan Tuhan untuk bersama-sama dengan manusia yang begitu dikasihiNya, keputusan-Nya untuk hadir di tengah-tengah kita dalam kondisi yang sedemikian sederhana. “Tuhan….”, pikir saya dengan sendu, “Engkau memilih datang dalam kesunyian malam, di tengah berbagai kesulitan dan keterbatasan, dikelilingi figur-figur yang begitu lemah, polos, dan sederhana. Siapakah aku sehingga Engkau sudi datang bagiku dalam keadaan seperti ini. Sesaat saya merasa segala kebanggaan saya sebagai pribadi, yang senantiasa ingin dihargai dan dipandang, terkoyak runtuh, tertunduk malu di hadapan palungan Raja segala raja, yang memilih meninggalkan semua gemilang kuasaNya, menjadi bukan siapa-siapa, supaya Ia bisa bersama-sama dengan saya dan menjadi pembela saya.
Peristiwa kelahiran Tuhan Yesus Kristus di tengah-tengah manusia, bagi saya bagaikan sebuah pembelajaran bagi dunia, yang serba ingin mudah dan senang, bahwa kesulitan dan ketidakpastian bukanlah sesuatu yang harus selalu dianggap akhir dari segala harapan. Pun tantangan dan hambatan tidak selalu merupakan sebuah aib untuk dihindari. Ketika Bunda Maria memilih untuk mengatakan “ya” kepada Allah untuk mengandung dan melahirkan Juruselamat dunia, sesungguhnya kesulitan dan ketidakpastian yang begitu besar membayanginya. Kemungkinan diceraikan oleh Yusuf tunangannya, kemungkinan dirajam sampai mati akibat dianggap melakukan dosa perzinahan. Kebingungan Yusuf tunangannya, yang harus menikahi Maria dalam keadaan sudah mengandung, pun tak kalah mencekam, sampai akhirnya Yusuf berserah dan melangkah maju dengan iman setelah malaikat Tuhan meyakinkannya melalui mimpi.
Perjalanan mereka dari Nazaret menuju Betlehem untuk melakukan pendaftaran diri dalam memenuhi perintah Kaisar Agustus, membuat mereka harus mencari tempat bermalam dadakan, karena Bunda Maria ternyata harus segera bersalin. Tidak lagi tersedianya tempat yang layak di rumah penginapan, membuat Bunda Maria melahirkan Puteranya (yang kelahirannya telah diberitahukan sebelumnya oleh malaikat Allah sendiri), di sebuah kandang hewan. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan Bunda Maria pada saat itu, seorang Putera yang kata Malaikat Tuhan akan menjadi raja keturunan Yakub sampai selama-lamanya, Anak Allah Yang Maha Tinggi, ternyata Tuhan ijinkan lahir di tempat seperti itu. Tetapi Bunda Maria tidak merasa bergeming atau gentar, ia hanya menyimpan semua peristiwa itu dengan lembut dan penuh iman di dalam hatinya.
Lihatlah, pengunjung-pengunjung pertama dari peristiwa kelahiran Pewaris Tahta Daud yang akan menyelamatkan Israel itu. Semuanya berkaki empat. Wajah-wajah polos dan lugu dari kambing, sapi, domba, dan keledai, menyambut senyum pertama Sang Bayi yang baru saja hadir di dunia. Saya tersenyum membayangkan indahnya kepolosan dan penyerahan yang total kepada Sang Pencipta, betapa beruntungnya mereka boleh menjadi tamu kehormatan pertama dari kelahiran Sang Raja.
Tamu-tamu berikutnya yang kemudian menyusul tetap membuat mata hati tercengang. Pada masa itu, gembala adalah golongan masyarakat kelas bawah. Tetapi Tuhan memilih mereka untuk menjadi orang-orang pertama yang menerima kabar gembira itu, melalui berita dari malaikat dan puji-pujian sejumlah besar bala tentara surgawi. Kesederhanaan hati mereka membuat mereka segera berangkat mencari Sang Bayi, tanpa banyak berargumentasi. Sikap hati tanpa prasangka negatif dan penghakiman, memungkinkan manusia dan mahluk ciptaan berkesempatan melihat kemuliaan Allah.
Walau secara mata manusiawi, peristiwa kelahiran Tuhan nampak begitu penuh rintangan, kesulitan, dan kontroversi, ternyata Allah telah merancang dengan sempurna kedatangan Putera Manusia ke dunia. Menolong manusia menemukan apa yang terpenting di dalam perjalanan kehidupan ini dan menemaninya sampai akhir dalam kerendahan hati yang tak terbatas, supaya manusia mampu mencapai keselamatan sejati dalam kekudusan dan kerendahan hati yang sempurna. Semangat kesederhanaan dan tidak anti kepada kesukaran adalah dasar dari sikap penyerahan total kepada Allah, sikap terbuka untuk dipakai Allah bagi pekerjaan-pekerjaan agung-Nya. Sikap tanpa prasangka dan tanpa penghakiman yang merendahkan sesama atau situasi kehidupan, membuka jalan bagi pengakuan akan martabat manusia yang luhur. Sikap itu memanggil kita untuk terus mengarahkan hati kepada peningkatan kesejahteraan sesama manusia, dengan segenap cinta kasih yang dapat kita berikan kepada orang lain, cinta kasih yang sudah selalu kita terima dengan berlimpah dan cuma-cuma dari Allah, setiap saat.
Akhirnya, ornamen kandang Natal yang terakhir saya pasang adalah sebuah bintang besar berwarna keperakan yang saya letakkan di atap bangunan kandang itu. Di dalam gelapnya kepedihan hidup, dinginnya ketidakberdayaan melawan kuasa dosa, ego, dan penderitaan akibat godaan si jahat, manusia amat merindukan hadirnya Terang yang membawa kehangatan dan harapan. Kehadiran Kristus di antara kita sebagai manusia dengan semangat cinta dan solidaritas yang tak terhingga, menjadi jawaban yang dinanti-nantikan manusia dalam peziarahannya di dunia. Nyanyian bala tentara surgawi di malam yang kudus itu adalah sukacita untuk kita karenaTuhan tidak pernah meninggalkan kita. Ia selalu dekat, terang-Nya selalu hangat, dan dalam segala bentuk kesukaran hidup, kasih-Nya justru hadir semakin lekat. Sikap rendah hati dan percaya sepenuhnya akan kasih Allah memampukan kita untuk mengalami kehangatan Terang itu. Bahkan kita dapat turut memantulkan Terang itu, melalui hidup sehari-hari, dengan kerendahan hati seperti Sang Bayi Yesus, mewartakan kepastian kasih Allah itu kepada dunia di sekitar kita. Sebab Allah yang telah berfirman: “Dari dalam gelap akan terbit terang!”, Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus. (2Kor 4:6)
Terima kasih Yesus, bila Engkau ada di sisiku, malam yang tergelap sekalipun tak lagi pekat, karena cahaya cinta-Mu menerangi hatiku, membuatku tetap tersenyum memandang dunia di dalam kerahiman-Mu.
Selamat merayakan Natal, semoga kehangatan cinta dan damai dari Bayi Yesus yang rendah hati, membungkus hati kita dan mengiringi perjalanan hidup kita di dunia menuju kepada Bapa. (Triastuti)
Karena Kristus tidak terpisahkan dengan Gereja, sama seperti kepala tidak terpisah dari tubuh (lih. Ef 5:22-33) dan Kristus hanya mendirikan satu Gereja di bawah pimpinan Rasul Petrus, dan yang kini dilanjutkan oleh Paus sebagai penerus Rasul Petrus di dalam Gereja Katolik, maka kesatuan dengan Kristus sesungguhnya merupakan juga kesatuan dengan Gereja Katolik. Kesatuan ini dapat dinyatakan sebagai:1) kesatuan penuh secara eksplisit, dengan dibaptis dan resmi menjadi anggota Gereja Katolik; namun juga 2) kesatuan yang tidak secara penuh dan implisit, jika karena bukan kesalahan sendiri tidak tergabung dengannya, yaitu mereka yang dibaptis namun tidak secara resmi menjadi anggota Gereja Katolik, 3) maupun mereka yang karena bukan kesalahannya sendiri tidak sampai mengenal Kristus dan Gereja-Nya.
Tentang hal ini, baiklah kita membaca apa yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, Redemptoris Missio (Misi Sang Penebus), yang menyebutkan bahwa Gereja [yaitu Gereja Katolik yang didirikan Kristus] adalah Tanda dan Sarana Keselamatan, demikian:
“9. Pihak penerima yang pertama dari keselamatan adalah Gereja. Kristus memenangkan Gereja bagi diri-Nya sendiri dengan darah-Nya sendiri sebagai harga tebusan, dan membuat Gereja sebagai kawan sekerja-Nya di dalam penyelamatan dunia. Sungguh, Kristus hadir di dalam Gereja. Ia (Gereja) adalah Mempelai-Nya. Adalah Kristus yang menyebabkan Gereja bertumbuh. Kristus melanjutkan misi-Nya melalui dia [Gereja].
Konsili [Konsili Vatikan II] berkali- kali mengacu kepada peran Gereja di dalam penyelamatan umat manusia. Sementara mengakui bahwa Tuhan mencintai semua orang dan menjamin kepada mereka kemungkinan untuk diselamatkan ((lih. 1Tim 2:4, Konstitusi Tentang Gereja Lumen Gentium 14-17, Dekrit tentang Kegiatan Misionaris Gereja Ad Gentes 3)), Gereja percaya bahwa Tuhan telah menentukan Kristus sebagai satu-satunya Pengantara dan bahwa Gereja sendiri telah ditentukan sebagai sakramen umum keselamatan. ((lih. Konstitusi Tentang Gereja Lumen Gentium 48, Konstitusi Tentang Gereja di Dunia Modern Gaudium et Spes 43, Dekrit tentang Kegiatan Misionaris Ad Gentes 7,21)) “Kepada kesatuan katolik dari umat Allah inilah, maka, …. semua orang dipanggil, dan mereka menjadi anggotanya atau diarahkan kepadanya dengan berbagai cara, entah mereka adalah umat Katolik, atau mereka yang lain yang percaya kepada Kristus [dari gereja non- Katolik] atau akhirnya semua orang di manapun berada yang oleh rahmat Allah dipanggil kepada keselamatan.” ((Lumen Gentium, 13)) Adalah harus untuk dijaga kedua kebenaran ini bersama- sama, yaitu kemungkinan yang nyata untuk keselamatan di dalam Kristus untuk semua manusia, dan keharusan Gereja bagi keselamatan. Kedua kebenaran ini membantu kita memahami misteri keselamatan yang satu-satunya, sehingga kita dapat mengetahui belas kasihan Tuhan dan tanggungjawab kita sendiri. Keselamatan, yang selalu tetap adalah kasih karunia Roh Kudus, mensyaratkan kerjasama manusia, baik untuk menyelamatkan diri sendiri dan untuk menyelamatkan sesama. Ini adalah kehendak Tuhan, dan karena inilah mengapa Ia mendirikan Gereja dan membuatnya bagian dari rencana keselamatan-Nya. Mengacu kepada “bangsa yang mesianis ini”, Konsili mengatakan, “telah didirikan oleh Kristus sebagai persekutuan hidup, kasih dan kebenaran; oleh-Nya juga, ia telah dijadikan sakramen keselamatan bagi semua orang, dan diutus untuk misi kepada seluruh dunia sebagai terang dunia dan garam dunia.” ((Ibid., 9))
Keselamatan di dalam Kristus ditawarkan kepada semua orang
10. Keselamatan secara universal berarti bahwa keselamatan ditawarkan tidak hanya kepada mereka yang secara eksplisit percaya kepada Kristus dan telah menjadi anggota Gereja. Karena keselamatan ditawarkan kepada semua, maka keselamatan harus dibuat nyata tersedia bagi semua orang. Tetapi jelaslah bahwa dewasa ini, sebagaimana di masa lalu, banyak orang tidak mempunyai kesempatan untuk dapat mengenal dan menerima Injil keselamatan atau untuk masuk/ bergabung dengan Gereja. Keadaan-keadaan sosial dan budaya di mana mereka hidup tidak mengizinkan hal ini, dan seringkali mereka telah dibesarkan di dalam tradisi-tradisi religius yang berbeda. Bagi orang- orang seperti ini, keselamatan di dalam Kristus menjadi mungkin diperoleh karena rahmat yang, sementara mempunyai hubungan yang rahasia (mysterious relationship) dengan Gereja, tidak membuat mereka secara resmi menjadi bagian di dalam Gereja, tetapi menerangi mereka dengan cara yang diharuskan di dalam kondisi rohani dan jasmani mereka. Rahmat ini datang dari Kristus; yang dihasilkan dari Kurban-Nya dan dikomunikasikan oleh Roh Kudus. Hal ini [rahmat] memampukan setiap orang untuk memperoleh keselamatan melalui kerjasama dari orang tersebut.
Dengan alasan ini, Konsili, setelah meneguhkan posisi sentral Misteri Paskah Kristus, selanjutnya menyatakan bahwa “hal ini tidak hanya ditujukan bagi orang- orang Kristen, tetapi untuk semua orang yang berkehendak baik yang di dalam hatinya rahmat Tuhan bekerja secara rahasia. Sebab Kristus telah wafat bagi setiap orang dan karena panggilan terakhir dari setiap kita datang dari Tuhan dan karena itu secara universal satu, kita diharuskan untuk berpegang bahwa Roh Kudus menawarkan kepada setiap orang kemungkinan untuk mengambil bagian di dalam Misteri Paska ini dengan cara yang diketahui oleh Tuhan.” ((Gaudium et Spes, 22))
Dengan berpegang kepada uraian Bapa Paus Yohanes Paulus II, kita mengetahui bahwa kesatuan dengan Kristus, sesungguhnya juga merupakan kesatuan dengan Gereja Katolik, yang dipimpin oleh Bapa Paus. Kesatuan ini dapat merupakan kesatuan secara eksplisit maupun implisit, dan kesatuan dengan Kristus dan Gereja-Nya inilah yang dapat membawa kita kepada kehidupan kekal bersama-Nya di Surga. Dengan demikian, Gereja Katolik adalah tanda dan sarana keselamatan bagi seluruh umat manusia, karena Kristuslah yang mendirikannya dan karena Kristus melanjutkan misi-Nya melalui Gereja.
Ada tertulis “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.” (Kel 20:7). Gereja Katolik menempatkan perintah ini sebagai perintah ke-dua dari kesepuluh perintah Allah, sedangkan gereja-gereja non-Katolik menempatkannya sebagai perintah ke-tiga. Perintah ini mengingatkan kepada kita bahwa nama adalah mencerminkan pribadi dan bukanlah hanya sekedar formalitas. Perintah ini melarang orang untuk: (1) menggunakan nama Allah untuk janji yang tidak ditepati; (2) janji atau sumpah yang mempertaruhkan nama Allah; (3) sumpah serapah kepada Allah, Gereja, Bunda Maria, para Kudus, baik sengaja maupun tidak sengaja yang dilakukan di dalam hati atau di dalam perkataan dan perbuatan.
Dalam Kitab Suci, kita melihat bahwa nama adalah mencerminkan pribadi, yang merefleksikan martabat orang yang memakainya. Allah sendiri memanggil orang dengan namanya (lih. Yes 43:1; Yoh 10:3) Dengan demikian, kita tidak dapat memanggil nama seseorang, termasuk nama orang-orang kudus, apalagi nama Allah dengan tidak hormat. Dengan demikian, perintah ini melarang penyalahgunaan nama Allah, baik Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Kudus, beserta dengan Perawan Maria dan semua orang kudus. (lih. KGK, 2146) Pelanggaran tentang hal ini diterangkan di dalam KGK 2147-2149, yang menuliskan sebagai berikut:
KGK, 2147. Janji yang diberikan kepada seseorang atas nama Allah mempertaruhkan kehormatan, kesetiaan, kebenaran, dan wewenang Allah. Mereka harus dipatuhi tanpa syarat. Siapa yang tidak mematuhinya, menyalahgunakan nama Allah dan seakan-akan menyatakan Allah seorang pendusta (Bdk. 1 Yoh 1:10).
KGK, 2148. Menghujat Allah adalah pelanggaran langsung terhadap perintah kedua. Menghujat Allah berarti orang – secara batin atau secara lahir – mengeluarkan kata-kata kebencian, celaan, tantangan terhadap Allah, berbicara yang buruk tentang Allah, kurang hormat dalam pembicaraan tentang Allah, dan menyalahgunakan nama Allah. Santo Yakobus menegur mereka “yang menghujah nama yang mulia, yang olehnya kamu menjadi milik Allah” (Yak 2:7). Larangan menghujah Allah mencakup juga kata-kata terhadap Gereja Kristus, orang-orang kudus, atau benda-benda kudus. Yang menyalahgunakan nama Allah untuk menutup-nutupi perbuatan yang jahat, memperhamba bangsa-bangsa, menyiksa manusia, atau, membunuhnya, juga menghujah Allah. Penyalahgunaan nama Allah untuk melakukan kejahatan menyebabkan kebencian terhadap agama. Menghujah Allah bertentangan dengan penghormatan yang harus diberikan kepada Allah dan nama-Nya yang kudus. Dengan sendirinya ia adalah dosa berat (Bdk. KHK, kan. 1369).
KGK, 2149. Sumpah serapah yang menyalahgunakan nama Allah tanpa maksud menghujah Allah adalah kekurangan penghormatan kepada Tuhan. Perintah kedua juga melarang penggunaan nama Allah secara magis.
“Nama Allah diagungkan, kalau orang mengucapkannya dengan hormat, pantas untuk keluhuran-Nya dan kemuliaan-Nya. Nama Allah itu dikuduskan, kalau orang mengucapkannya dengan hormat dan dengan rasa takut untuk menghinanya” (Agustinus, serm. Dom. 2,45,19).
Dari uraian di atas, maka kita melihat bahwa walaupun seseorang tanpa bermaksud menghujat Allah, namun menyebutkan nama Allah karena ungkapan terkejut atau lainnya yang tidak ditujukan untuk penghormatan kepada Allah, termasuk perbuatan dosa. Walaupun ketidaksengajaan dapat mengurangi bobot dosa, namun sudah selayaknya kita berusaha untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini.
Kita juga tidak boleh berjanji atas nama Allah dengan mempertaruhkan nama Allah, apalagi janji atau sumpah palsu. Dengan perbuatan ini, kita mencoreng muka Allah, mempergunakan nama Allah untuk keuntungan dan kebohongan yang kita lakukan.
Dosa terberat dari perintah ke-2 ini adalah terutama berhubungan dengan penghujatan seseorang – baik di dalam hati maupun dalam perkataan – yang secara sengaja menghina nama Allah, tempat kudus-Nya, Gereja-Nya, para malaikat, Bunda Maria dan seluruh para kudus.
Mari, kita mengingat untuk menyebut dan menggunakan nama Allah dengan semestinya, yaitu untuk memberikan kekuatan kepada kita, untuk mengingat dan memaklumkan kasih, kebaikan dan keadilan-Nya, serta memuliakan dan menyembah-Nya.
Tuhan itu kekal, tidak berubah, Sebab dari segala sesuatu, Pribadi yang tidak diciptakan dan Pencipta segala sesuatu. Ia adalah kebenaran, kebaikan, keindahan dan kasih. Kita dapat mengetahui keberadaan-Nya melalui akal budi kita dan dari wahyu ilahi.
Dalam syahadat para rasul kita memulai dengan “Aku percaya akan Allah …” atau dalam syahadat panjang /Nicea-Konstantinopel dituliskan “Aku percaya akan satu Allah…” Setelah kita membahas tentang “Aku Percaya” di pertemuan sebelumnya, maka kini kita akan membahas tentang mengapa kita mempercayai satu Allah, yang merupakan pengakuan iman yang paling mendasar, di mana semua artikel iman yang lain senantiasa merujuk kepada Allah. ((KGK, 199)) Pengakuan akan Allah yang satu dan sifat-sifat Allah yang lain dapat dapat dibuktikan dari akal budi dan dari wahyu Allah. Meskipun akal budi mempunyai keterbatasan pengetahuan, namun tidak bertentangan dengan wahyu Allah. Dengan kata lain wahyu Allah dapat menyempurnakan akal budi.
Manusia diciptakan oleh Tuhan menurut gambar Allah (Kej 1:27), sehingga mempunyai kemampuan untuk mengetahui dan mengasihi Allah. Walaupun manusia telah berdosa, namun manusia tidaklah rusak secara total, namun masih menjadi gambar Allah, sehingga dengan akal budinya, manusia juga dapat sampai pada pengetahuan tentang keesaan Allah melalui ciptaan, ((D 1806; cf. 1785, 1391)) seperti yang juga ditegaskan dalam PL “Sebab orang dapat mengenal Khalik dengan membanding-bandingkan kebesaran dan keindahan ciptaan-ciptaan-Nya.” (Keb 13:5) dan PB “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” (Rm 1:20)
St. Thomas membuktikan bahwa dengan akal budi manusia, maka manusia tidak mempunyai dalih untuk tidak mempercayai keberadaan Tuhan yang satu. Untuk membuktikan kebenaran akan eksistensi dari Tuhan, maka St. Thomas Aquinas di dalam bukunya “Summa Theology,” ((St. Thomas Aquinas, Summa Theology, I, q.2., a.3.)) memberikan lima metode, yang terdiri dari: 1) prinsip pergerakan, 2) prinsip sebab akibat, 3) ketidakkekalan dan kekekalan, 4) derajat kesempurnaan, dan 5) desain dunia ini.
Prinsip ini mengajarkan bahwa semua benda yang bergerak atau berubah disebabkan oleh sesuatu. Atau, sesuatu berubah dari keadaan bakal ke keadaan nyata karena digerakkan oleh sesuatu yang sudah dalam keadaan nyata. St. Thomas mengambil contoh dari pergerakan, karena pergerakan terjadi di mana saja, kapan saja, dan bisa diamati. Sebagai contoh, gerbong kereta api bergerak karena ditarik oleh lokomotif, namun lokomotif bergerak, karena ada tangan manusia yang mengoperasikannya. Tangan digerakkan oleh sistem kerja tubuh yang melibatkan miliaran sel, yang dikoordinasikan oleh otak. Otak berfungsi karena ada kehidupan; ada jiwa yang tinggal di dalam tubuh manusia. Siapa yang membuat kehidupan dan jiwa tetap bertahan?… Pertanyaan akan sampai pada suatu titik, bahwa ada penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain, karena ada Satu yang menjadi Sumber dari pergerakan itu. Sumber pergerakan inilah yang dinamakan “Tuhan”.
Semua orang tahu bahwa sesuatu terjadi dikarenakan oleh sesuatu. Sepasang suami istri menikah karena mengasihi satu sama lain. Komitmen untuk membentuk rumah tangga disebabkan karena keduanya ingin hidup bahagia. Dan kebahagiaan, kalau ditelusuri terus-menerus akan sampai pada suatu titik, yang disebabkan oleh penyebab yang tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Sumber dari penyebab inilah yang disebut “Tuhan“.
Dapatkah terjadi bahwa segala pergerakan atau sebab akibat ini berlangsung tanpa batas sehingga tak dapat ditelusuri awalnya?“. Nampaknya tidak, jika kita membagi semua pergerakan dan sebab akibat menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah “keadaan saat ini” Bagian kedua adalah deretan yang tak terhingga dari gerak dan sebab akibat, atau yang disebut “keadaan di bagian tengah“. Dan kemudian bagian yang terakhir adalah “keadaan awal“. Nah, keadaan awal inilah yang disebut “Tuhan, Sang Alfa.”
Di dunia ini, tidak mungkin semuanya bersifat sementara, karena kalau demikian maka ada suatu waktu semuanya akan lenyap. Contoh: orang tua kita hidup sekitar 80 tahun. Lalu kakek kita mungkin 90 tahun. Kakek dari kakek kita mungkin 100 tahun. Berapapun panjang usia nenek moyang kita, mereka pada akhirnya meninggal. Jika ditelusuri terus, maka garis keturunan kita akan sampai pada manusia pertama. Pertanyaannya adalah, bagaimana manusia pertama itu dapat ada dan hidup? Tidak mungkin ia terjadi begitu saja dari ketidak-adaan. Sebab sesuatu yang tidak ada tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang ada. Jadi disimpulkan bahwa kalau semua mahluk tidak kekal, maka harus ada “Sosok lain” yang keberadaannya kekal. Sesuatu yang kekal ada dua macam, yaitu 1) kekekalan yang diperoleh dari yang lain, sebagai contoh: jiwa manusia, para malaikat – setelah mereka diciptakan, maka mereka menjadi kekal; 2) Kekekalan yang kedua adalah kekekalan yang tidak tergantung dari yang lain, dan ini hanya ada satu, yaitu Tuhan. KekekalanNya membuat mahluk yang tidak kekal terus bertahan dan memenuhi bumi, sehingga kehidupan tidak punah. Kekekalan yang tidak disebabkan oleh yang lain inilah yang disebut “Tuhan, Sang Kekal.”
Pendapat yang menyanggah keberadaan Tuhan sebagai Penggerak pertama dan Penyebab pertama adalah tidak mendasar, karena itu berarti, kita harus berasumsi bahwa sesuatu di dunia ini terjadi tanpa ada penyebabnya. Asumsi ini berlawan dengan prinsip utama yang tak perlu dibuktikan (self-evident principle), yaitu prinsip sebab akibat: bahwa sesuatu terjadi karena ada penyebabnya.
Semua yang ada di dunia ini ada tingkatannya. Ada yang miskin, ada yang kaya. Kasih, kebajikan, kebaikan, keindahan, kebenaran, semuanya ada tingkatannya. Jika semua ada tingkatannya, tentu ada yang paling tinggi tingkat kesempurnaanya. Jadi, semua tingkatan mengambil bagian dalam sesuatu yang tingkatannya paling tinggi. Sebagai contoh, kalau kita menaruh besi di dalam api, maka besi itu menjadi panas. Namun panasnya besi bukan karena akibat dari besi itu sendiri, melainkan karena partisipasi besi itu dalam api.
Contoh di atas membuka suatu prinsip yang sangat penting, yaitu “seseorang atau sesuatu tidak dapat memberi apa yang dia tidak punya.” Air dingin tidak bisa membuat besi menjadi panas, karena air dingin tidak mempunyai sifat panas. Semua yang di dunia ini tidaklah sempurna, namun semuanya ada karena partisipasi dalam Sesuatu yang tingkatannya paling tinggi, yaitu yang di sebut “Tuhan, Sang Maha Sempurna.”
Prinsip ini dapat dibuktikan di dalam hidup kita sehari-hari. Apapun yang ada di sekitar kita, seperti, jalan, rumah, kota, dll, ada karena ada seseorang yang mendesain dan membangunnya. Semua itu tidak ada dengan sendirinya. Kalau kita percaya bahwa rumah kita tidak terjadi dengan sendirinya, namun ada perancangnya, maka seharusnya kita dapat menerima bahwa bumi dan seluruh tata surya tidak terjadi dengan sendirinya, namun ada Perancangnya. Sebab seluruh tata surya, bumi dan segala isinya, jauh lebih rumit daripada rumah kita. Pergerakan planet-planet dan bintang-bintang, yang berjalan dengan keharmonisan tertentu tidak mungkin terjadi karena faktor kebetulan. Jika kita percaya akan adanya arsitek yang mendesain rumah kita, maka kita harus percaya bahwa ada arsitek tata surya ini, yaitu Tuhan.
Blaise Pascal (1623-1662) memberikan argumentasi dari sisi yang sangat praktis, yaitu dari kemungkinan, yang disebut argumentasi pertaruhan dari Pascal (Pascal’s Wager). Dia mengatakan bahwa jika saya bertaruh bahwa Tuhan ada dan Tuhan memang ada, maka saya mendapatkan keuntungan tanpa batas (Sorga); jika saya bertaruh bahwa Tuhan ada dan ternyata Tuhan tidak ada, maka saya tidak mengalami kerugian apapun. Jika saya bertaruh bahwa Tuhan tidak ada dan ternyata Tuhan ada, maka saya akan mengalami kerugian selamanya (neraka); jika saya bertaruh bahwa Tuhan tidak ada dan Tuhan ternyata tidak ada, maka saya tidak diuntungkan maupun tidak dirugikan. Dengan argumentasi ini, maka jelaslah bahwa mempercayai keberadaan Tuhan adalah lebih masuk akal daripada menolak keberadaan Tuhan, karena dengan mempercayai keberadaan Tuhan hanya mendatangkan keuntungan selamanya atau tidak mengalami kerugian apapun.
Selain dapat menangkap kebenaran akan keberadaan Tuhan yang satu, akal budi juga dapat menangkap beberapa sifat Tuhan. Hal ini diungkapkan dalam pernyataan Gereja pada Konsili Vatikan I, yang menuliskan “Gereja yang kudus, katolik, apostolik, katolik Roma percaya dan menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan yang sejati dan hidup, Pencipta dan Tuhan surga dan bumi. Ia adalah Maha Besar, kekal, tak dapat diukur, tak dapat dipahami, dan tak terhingga di dalam akal budi, kehendak dan di dalam setiap kesempurnaan. Sebab Ia adalah satu hakekat rohani yang unik, secara keseluruhan sederhana, tidak berubah, Ia harus dinyatakan sungguh dan pada hakekatnya berbeda dari dunia, secara sempurna bahagia di dalam Diri-Nya sendiri dan dengan kodrat-Nya, dan secara tak terkatakan ditinggikan mengatasi segalanya yang ada atau yang dapat dibayangkan selain dari Diri-Nya sendiri.” ((Vatican I, Dogmatic Constitution on the Catholic Faith, 1; Denzinger 1782 (3001).))
Konsili Vatikan I menjabarkan dan menyusun sifat-sifat Tuhan tersebut untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan ajaran sesat, yang dapat dipaparkan sebagai berikut: ((Fr. John A. Hardon, SJ, The Catholic Catechism: A Contemporary Catechism of the Teachings of the Catholic Church, Doubleday & company, Inc. Garden City, New York, 1975, p.55-58))
a. Tuhan itu Satu: Hal ini untuk membantah kepercayaan akan banyak Tuhan (polytheism), atau sidang para tuhan dengan satu Tuhan sebagai yang utama (henotheism), atau dua tuhan (dualisme dari Manichaean). Tuhan yang maha dalam segalanya hanya mungkin ada satu dan tidak mungkin ada lebih dari satu.
b. Tuhan itu Sejati: Tuhan bukanlah hanyalah sekedar gambaran atau imaginasi pikiran manusia, seperti yang sering diajarkan oleh ateisme dan materialisme.
c. Tuhan itu Hidup: Tuhan adalah Tuhan yang hidup, yang mempunyai Pribadi dan bukan satu kekuatan atau energi, seperti yang dikemukan oleh sebagian kepercayaan Timur.
d. Tuhan itu Maha Besar: Kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas dan Dia dapat melakukan apa saja, kecuali Dia tidak dapat mengkontradiksi Diri-Nya sendiri.
e. Tuhan adalah Kekal: Tuhan adalah tanpa awal dan tanpa akhir. Tidak ada masa lalu maupun masa depan di dalam Tuhan, karena semuanya adalah saat ini.
f. Tuhan adalah tak terukur: Tuhan tidak dibatasi oleh tempat. Pernyataan ini menolak paham Albigenses, yang meneruskan paham Manichaean, yang mempercayai bahwa para dewa menempati satu bagian tertentu dari bumi.
g. Tuhan adalah tak terselami: Tuhan tidak dibatasi oleh tempat dan juga keberadaannya tak terbatas, baik dalam batasan fisik maupun batasan rohani.
h. Tuhan adalah tak terhingga: Tuhan tak terhingga di dalam akal budi, kehendak, dan dalam setiap kesempurnaan. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam Tuhan sendiri terkandung seluruh kesempurnaan, baik pengetahuan, kekuatan, maupun pribadi.
i. Tuhan adalah unik: Keunikan Tuhan adalah karena terletak pada Tuhan yang satu dan maha dalam segalanya.
j. Tuhan adalah satu hakekat rohani: Menyatakan Tuhan adalah satu hakekat yang bukanlah fisik, karena dia adalah sungguh sosok rohani, yang mempunyai akal budi – sehingga dapat mengetahui dan mempunyai keinginan – sehingga dapat mengasihi. Dia adalah sosok yang unik, bukan seperti yang dimengerti oleh paham panteisme: Allah berada di dalam semua dan semua mempunyai partikel Allah.
k. Tuhan adalah sederhana (simple): Sederhana dalam hal ini harus diartikan bahwa Tuhan tidak mempunyai bagian, seperti manusia yang terdiri dari tubuh dan jiwa. Semua sifat Tuhan adalah merupakan hakekat Tuhan, sehingga kita mengatakan “Tuhan itu kasih” dan bukan “di dalam Tuhan ada kasih”.
l. Tuhan adalah tak berubah: Karena Tuhan adalah maha tahu, maha kekal, kepenuhan kesempurnaan, maka di dalam Tuhan tidak ada perubahan.
m. Tuhan di atas segalanya: Tuhan berbeda dengan semuanya, Dia ditinggikan lebih dari segala sesuatu, Dia bahagia secara absolut tanpa tergantung dari yang lain.
Kalau kita melihat, sebenarnya pembuktian akan keberadaan Tuhan sesungguhnya sangat masuk akal. Sifat-sifat Tuhan yang diuraikan di atas juga dapat dipertanggungjawabkan dengan akal budi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang tidak dapat menerima keberadaan Tuhan adalah sebagai berikut:
Kesombongan menghalangi seseorang untuk menerima keberadaan Tuhan, karena hal ini membuatnya tidak lagi menjadi fokus dari seluruh kehidupan.
Kepedihan akan kematian atau penderitaan dapat menyebabkan seseorang menjadi ragu-ragu akan keberadaan Tuhan. Dan sebaliknya ketakutan akan kehilangan milik di dunia ini atau ketakutan akan penderitaan juga dapat menyebabkan seseorang menolak keberadaan Tuhan.
Akhirnya kemungkinan yang sering dialami oleh orang-orang adalah karena takut akan konsekuensi untuk mempercayai Tuhan. Dengan mengakui keberadaan Tuhan, maka seseorang harus mengasihi Tuhan, mengikuti perintah Tuhan.
Ada banyak orang beralasan, karena ada banyaknya kejahatan di dunia ini, maka mereka berkesimpulan tidak ada Tuhan; atau dunia ini tidak diciptakan oleh Tuhan. Pendapat ini menutup mata akan adanya jauh lebih banyak hal di dunia ini yang baik, daripada yang jahat. Jika di antara 50 tanaman yang sama- sama diairi dan diberi pupuk, ada 1 tanaman yang mati; itu tidak membuktikan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan tanaman dan menumbuhkannya. Maka kejahatan bukanlah merupakan yang sesuatu hal yang positif diciptakan oleh Tuhan, melainkan adanya keadaan di mana kebaikan tidak terjadi. Jangan juga dilupakan, bahwa Allah sanggup mendatangkan kebaikan dari keadaan yang jahat.
Dewasa ini banyak orang yang dengan mengandalkan pandangan ilmu pengetahuan sampai pada kesimpulan bahwa seluruh alam semesta terjadi karena kebetulan, tidak ada Tuhan Sang Pencipta, dan manusia merupakan hasil dari evolusi (dikenal dengan istilah makro-evolusi). Namun evolusi mengacu kepada perkembangan sesuatu yang sudah ada (dikenal dengan istilah mikro-evolusi), dan bukan kepada penciptaan apa yang belum ada. Sebab sebelum sesuatu dapat berkembang, ia harus ada terlebih dahulu. Evolusi hanya menceritakan salah satu cara bagaimana Tuhan dapat bertindak, tetapi tidak dalam hal bagaimana sesuatu itu dapat tercipta dengan sendirinya. Selanjutnya, jiwa tidak dapat dihasilkan dari evolusi materi. Maka jiwa spiritual manusia tidak mungkin merupakan hasil dari evolusi binatang. Hanya Tuhan yang dapat menciptakan jiwa manusia. Lagipula, tidak terdapat bukti dari makro-evolusi; pembuktian dari DNA menyatakan bahwa makro-evolusi tidak dapat terjadi. ((lih. Gerard J. Keane, Creation Rediscovered, (Rockford, Illinois: TAN books, 1999), Publisher 2002))
Selain dari akal budi manusia pengetahuan akan Tuhan diperoleh dari wahyu Allah yang diberikan kepada manusia dengan perantaraan Sabda-Nya:
“Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” (Rom 1:20)
Tuhan adalah Roh, tidak fana (Yoh 4:24, Rom 1:23). Tidak seperti manusia yang fana, Tuhan tidak pernah berhenti untuk hidup, karena itu Ia disebut Tuhan yang hidup (Mat 16:16) dan kekal (1 Tim 1:17).
“Lalu Musa berkata kepada Allah: “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? Apakah yang harus kujawab kepada mereka?” Firman Allah kepada Musa: “AKU ADALAH AKU.” Lagi firman-Nya: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.” (Kel 3:13-14) Dengan ini Tuhan menyatakan kekekalan-Nya dan bahwa keberadaan-Nya tidak tergantung dari siapapun, namun Ia ada atas kuasa-Nya sendiri. Segala yang lain-lah yang tergantung kepada-Nya agar dapat ada; sebagaimana sang pembangun harus ada lebih dahulu daripada bangunan yang dibuatnya.
“Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dan bumi dan dunia diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah.” (Mzm 90:2) Kata Yesus kepada mereka: “Sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” (Yoh 8:58). Bagi Tuhan tidak ada masa lalu maupun masa depan, semua adalah “saat ini” bagi Tuhan. Tak ada urutan waktu bagi Tuhan, sebab Tuhan tidak terbatas oleh waktu.
Ia ada di mana- mana. “Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia (Ibr 4:13). “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada …” (Kis 17:28). “Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi? demikianlah firman TUHAN.” (Yer 23:24). Keberadaan-Nya di setiap tempat maksudnya adalah: ((lih. Spirago- Clarke, The Catechism Explained, (Rockford, Illinois: TAN Books, 1993), p. 115-117))
a. Tuhan ada di mana- mana sebab semua ciptaan dapat eksis di dalam Tuhan, sebagaimana pikiran ada di dalam kita. Di dalam Dia kita hidup, bergerak dan ada (Kis 17:28);
b. Tuhan tidak terbatas oleh tempat apapun, sebab Ia tidak terbatas (lih. 1 Raj 8:27). Tempat yang terbatas tidak mampu menampung Dia yang tidak terbatas.
c. Karena Tuhan tidak terbatas oleh ruang, maka Ia dapat berada di setiap tempat di saat yang sama. Ia tidak terbagi -sebagian di Surga, sebagian di bumi- tetapi seluruhnya di surga, dan seluruhnya di bumi.
d. Tuhan hadir secara istimewa di Surga, di sakramen Mahakudus dan di jiwa-jiwa orang benar.
e. Tidak ada suatu tempatpun di dunia di mana Tuhan tidak ada. “Mata Tuhan ada di segala tempat, mengawasi orang jahat dan orang baik.” (Ams 15:3). Tidak ada satu orangpun dapat melarikan diri dari Allah (lih. Mzm 139:7-8).
f. Tuhan selalu hadir di dalam kita. St. Efrem mengajarkan, “Ia yang mempunyai Tuhan di dalam pikiran-Nya, akan menjadi seperti malaikat di dunia.” Maka ingatan yang terus menerus akan kehadiran Tuhan, sangatlah berguna bagi kita, agar kita dapat menghindari dosa, untuk menjaga kita dalam keadaan rahmat, dan untuk mendorong kita melakukan perbuatan baik dan siap sedia melayani-Nya.
“Bahwasanya Aku, TUHAN, tidak berubah…” (Mal 3:6). Tuhan tidak pernah berubah; menjadi lebih baik atau lebih buruk, Ia tak pernah mengingkari Sabda-Nya (lih. Bil 23:19). Ia mengubah karya-karya-Nya namun tidak mengubah perintah ilahi-Nya. Dengan Inkarnasi, kemanusiaan diubah, namun keilahian-Nya tidak berubah, sebagaimana matahari tidak pernah berubah ketika ia tersembunyi di balik awan. Ketika manusia dalam persahabatan dengan Allah, Ia melihat Allah sebagai Allah yang penuh kasih; ketika manusia menjauh dari Allah dan jatuh dalam dosa, ia melihat Allah sebagai hakim yang keras. Ketika mata sehat, ia senang melihat terang, namun ketika mata sakit, terang membuat matanya sakit. Maka bukan terangnya yang berubah, tetapi keadaan mata yang melihat terang itu.
Ia mengetahui dan melihat segala sesuatu. Tuhan mengetahui segala sesuatu: masa lalu, masa kini, masa depan, dan seluruh pikiran kita. (Yer 17:10; lih. Mzm 139). Tuhan mengetahui ketika Adam dan Hawa memakan buah pengetahuan, Tuhan mengetahui lebih dahulu akan pengkhianatan Rasul Petrus; Ia mengetahui prasangka buruk Simon orang Farisi. “Dia yang menanamkan telinga, masakan tidak mendengar? Dia yang membentuk mata, masakan tidak memandang?” (Mzm 94:9)
Allah sudah tahu akan adanya orang- orang yang akan menerima-Nya ataupun menolak-Nya. Namun jika Allah sudah mengetahui bahwa orang- orang tertentu akan menolak-Nya, pengetahuan Allah ini bukan menjadi penyebab akan penolakan dan penghukuman atas mereka. Dokter dapat memperkirakan bahwa pasiennya akan wafat, namun pengetahuannya ini tidak menjadi penyebab wafatnya pasiennya itu.
Tuhan mengetahui apa yang akan terjadi pada kita, sehingga adakalanya ia mengizinkan pencobaan terjadi dalam hidup kita, untuk mencegah adanya keburukan yang lebih besar yang sedianya dapat terjadi pada kita. Contohnya, Tuhan mengetahui bahwa seseorang dapat binasa karena kekayaannya, maka Ia mengizinkan orang tersebut mengalami masalah keuangan, untuk membentuknya menjadi orang yang lebih baik, menanggung kesulitan dengan kesabaran.
Kesadaran akan kemahatahuan Tuhan membantu kita ketika sedang berada di dalam pencobaan, agar jangan sampai kita jatuh ke dalam dosa. “Tuhan melihat segala yang kulakuan”, menjadi pedoman agar kita dapat menolak godaan.
Tuhan yang Maha Tahu ini akan suatu hari nanti menyatakan segala yang tersembunyi di dalam terang (lih. Luk 8:17); dan ini terjadi di Penghakiman Terakhir.
Ia sangat bijaksana, tahu mengarahkan segalanya bagi yang terbaik menurut rencana-Nya, artinya: ((lih. Spirago- Clarke, The Catechism Explained, Ibid., p. 119-121))
a. Tuhan dapat mendatangkan yang baik dari hal yang buruk. Contoh yang jelas adalah dalam kisah Yusuf, yang dibuang kakak-kakaknya, dijual menjadi budak, namun kemudian menjadi tangan kanan raja.
b. Tuhan menggunakan cara yang paling tidak layak untuk kemuliaan-Nya. Rasul Paulus mengajarkan bahwa “yang lemah di dunia ini Tuhan pilih untuk mempermalukan yang kuat” (1 Kor 1:27). Tuhan memilih tanah Palestina yang tak menarik untuk menjadi tempat kelahiran Kristianitas. Ia memilih perawan miskin untuk menjadi Bunda Allah; dan tukang kayu yang miskin sebagai bapa angkat-Nya. Ia memilih para nelayan miskin untuk rasul dan menjadi pewarta Injil ke seluruh dunia.
c. Tuhan mengarahkan segala yang di dunia untuk mencapai maksud-Nya. Segalanya di dunia mempunyai hubungan timbal balik antara satu dan lainnya. Tak ada pergerakan di dunia ini yang tidak ada gunanya. Perubahan hujan dan panas, pergantian musim, perputaran bumi dan planet terhadap matahari, gravitasi, dst, bertujuan untuk menjadikan kehidupan di bumi menjadi baik bagi manusia. “Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu.” (Mzm 104:24)
Ia Maha Kuasa: “Tuhan, Tuhan, Raja semesta alam! Segala sesuatunya ada dalam kekuasaan-Mu dan tiada seorangpun dapat membantah Engkau” (Est 13:9). Tuhan dapat melakukan segala yang mustahil di mata manusia (lih. Mat 19:26).
a. Namun Tuhan tidak dapat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesempurnaan-Nya: Ia tidak dapat menipu, Ia tidak dapat menjadi tidak setia. Manusia hanya dapat mencipta dari apa yang sudah ada/ diciptakan Tuhan. Sedangkan Tuhan dengan kuasa-Nya mencipta atas dasar kehendak-Nya, dari ketiadaan menjadi ada (lih. 2Mak 7:28).
b. Kemahakuasaan Tuhan jelas terlihat di dalam penciptaan dunia, di dalam mujizat-mujizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, dan mujizat yang terjadi, baik sebelum maupun sesudah zaman Yesus hidup di dunia, yang meneguhkan kekristenan sebagai agama sejati.
c. Karena Tuhan Mahakuasa, kita dapat berharap kepada-Nya di dalam kesesakan kita. Ingatlah betapa Tuhan membelah Laut Merah untuk menyelamatkan bangsa Israel, Ia mengirimkan malaikat-Nya untuk membebaskan Rasul Petrus di penjara, melakukan banyak mujizat untuk menyembuhkan orang-orang sakit dst.
a. Ia sangat baik (lih. Mrk 10:18). Kebaikan Tuhan berbeda dengan kebaikan ciptaan. Mahluk ciptaan baik karena Tuhan membagikan kebaikan-Nya kepada mereka.
b. Ia adalah Kasih dan Bapa kita: “Allah adalah Kasih” (1 Yoh 4:8,16); “Bukankah Ia Bapamu yang mencipta engkau, yang menjadikan dan menegakkan engkau?” (Ul 32:6). Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa (lih. Mat 6:9, Luk 11:2). Karena kasih-Nya, Ia selalu setia menyertai kita,
“Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damai-Ku tidak akan bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau. (Yes 54:10) Karena kasih-Nya, Ia “menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1Tim 2:4).
1. Kasih Tuhan diberikan kepada semua ciptaan-Nya (lih. Keb 11:25), tak ada satupun yang dilupakan oleh Allah (Luk 12:6)
2. Tetapi Tuhan mempunyai kasih yang istimewa kepada umat manusia, sehingga mengaruniakan Putera-Nya ke dunia untuk menyelamatkan mereka. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16).
3. Di antara manusia, Tuhan menunjukkan kasih-Nya yang terbesar kepada orang- orang benar. “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.” (Rom 8:28) Tuhan membalas kebaikan yang dilakukan oleh orang- orang benar melebihi yang layak mereka terima. Ia membayarnya seratus kali lipat, bahkan di dalam hidup di dunia (lih. Mat 19:29).
4. Tuhan menyatakan kasih-Nya bahkan kepada para pendosa. Tuhan mengirimkan pencobaan agar manusia bertobat. Ia menunjukkan kasih-Nya kepada para pendosa bahkan sampai akhir hidup mereka, seperti pada kisah pencuri yang bertobat yang disalibkan di sisinya (Luk 23:40-43).
Ia memberikan waktu kepada pendosa untuk bertobat. Bukan kehendak Tuhan agar pendosa menjadi binasa, tetapi agar mereka bertobat dan hidup (lih.Yeh 18:23).
Tuhan bersabar dengan kita karena Ia berbelas kasihan atas kelemahan kita dan karena Ia menghendaki agar pertobatan menjadi mudah bagi para pendosa, “Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.” (2 Pet 3:9). Namun demikian, jangan kita berpikir bahwa karena Tuhan Mahasabar maka Ia otomatis melupakan dosa kita tanpa perlu kita bertobat. Jangan berkata, “Betul, aku sudah berdosa, tetapi apakah menimpa diriku? Sebab Tuhan panjang hati.” Jangan menyangka pengampunan terjamin, sehingga engkau menimbun dosa demi dosa. (Sir 5:4-5)
Ia Maha Pengasih dan Pengampun: Ia selalu siap mengampuni dosa- dosa kita ketika kita bertobat. Demikianlah Allah mengampuni Daud (2 Sam 12:13). Belas kasihan Tuhan tiada terbatas, jika Ia mengajarkan agar kita mengampuni tujuh puluh kali tujuh (lih. Mat 18:22), betapa lebih besarnya lagi belas kasihan-Nya. “Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya.”(Yes 63:9).
a. Belas kasihan Tuhan dinyatakan-Nya dengan mencari para pendosa, seperti gembala yang selalu mencari dombanya yang hilang sampai ditemukannya kembali (Luk 15:4). Tuhan mengirim Nabi Natan kepada Raja Daud, Ia sendiri mencari dan menemukan perempuan Samaria (Yoh 4). “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” (Yes 1:18)
b. Tuhan menyambut kembali para pendosa yang bertobat dengan sungguh, seperti pada kisah Maria Magdalena, dan pencuri yang bertobat yang disalibkan di sisi-Nya (Luk 7:47; Yoh 8:11; Luk 23:43).
c. Tuhan mengatakan bahwa ada sukacita yang lebih besar di surga atas seorang pendosa yang bertobat, daripada 99 orang benar yang tidak membutuhkan pertobatan (lih. Luk 15:7), sebab sang pendosa yang bertobat umumnya melayani Tuhan dengan semangat yang lebih berkobar dan lebih setia.
a. Ia adalah Kudus: Ia menyukai kebaikan dan membenci semua kejahatan. “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” (Im 19:2); “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (1 Pet 1:16)
b. Ia Maha Sempurna: Kekudusan Tuhan tiada lain adalah kesukaan-Nya terhadap kesempurnaan-Nya yang tiada batasnya. Ia bebas dari noda dosa, dan karena itu menghendaki semua ciptaan-Nya agar demikian juga, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (Mat 5:48).
Tuhan Maha Adil, artinya Tuhan menghargai semua kebaikan dan menghukum semua perbuatan jahat. Keadilan Tuhan identik dengan kebaikan-Nya. “Engkau adil, ya Tuhan dan hukum-hukum-Mu benar (Mzm 119:137).
a. Sebagian hukuman dan penghargaan Tuhan diberikan kepada manusia di dunia ini, namun terutama setelah kematian. Abraham, Nuh dan Yusuf diberi penghargaan di dunia; Absolom, Antiokhus Epifanes menerima hukuman di dunia ini. Tetapi di kehidupan yang akan datang, terutama setelah kebangkitan badan, setiap tubuh dan jiwa menerima semua balasan-Nya dengan penuh.
b. Tuhan menghargai perbuatan baik yang terkecil, dan menghukum dosa yang terkecil. Bahkan secangkir minum yang diberikan atas nama Tuhan akan dihargai, namun juga setiap kata- kata yang sia- sia akan diperhitungkan (lih. Mat 7:36)
c. Tuhan menghukum manusia, umumnya dengan cara yang sama di mana ia berdosa. Absolom berbangga dengan rambutnya, dan karena rambutnya ia wafat. Raja Antiokhus menyiksa ketujuh bersaudara Makabe dengan mengoyakkan tubuh mereka; namun tubuhnya sendiri kemudian dimakan ulat (lih. 2 Mak 9:6).
d. Dalam memberi penghargaan dan menghukum,Tuhan memperhatikan keadaan tiap-tiap orang, maksud hatinya dan bakatnya. Tuhan melihat hati (lih. 1Sam 16:7). Persembahan janda miskin jauh lebih berharga daripada persembahan orang- orang kaya (lih. Luk 21:4). Hamba yang mengetahui kehendak tuannya namun tidak melakukannya menerima lebih banyak pukulan daripada yang tidak mengetahuinya (lih. Luk 12:47-48).
e. Tuhan tidak memakai patokan manusia dalam menyatakan keadilan-Nya. Yang terakhir akan menjadi yang terdahulu, orang yang miskin mendahului yang kaya, orang yang terkenal di dunia belum tentu tercatat namanya di kitab kehidupan.
Karena Tuhan Maha Adil, maka kita mempunyai alasan untuk takut akan Tuhan, namun takut di sini maksudnya bukan semata takut akan hukuman Tuhan, tetapi takut menyakiti hati Tuhan. Takut akan Tuhan akan membuat kita menghindari dosa dan menghantar kita kepada kesempurnaan. “Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya.”(Mzm 112:1). Takut akan Tuhan merupakan rahmat istimewa yang diberikan kepada mereka yang mengasihi Dia.
Tuhan adalah Kebenaran, dan segala yang diwahyukan-Nya kepada manusia adalah kebenaran. Tuhan tidak mungkin salah sebab Ia Mahatahu. Ia tidak dapat menipu, sebab Ia kudus. “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta; bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal.” (Bil 23:29). Oleh karena itu kita harus percaya kepada semua yang diwahyukan/ dinyatakan oleh Tuhan, meskipun pengertian kita tidak sempurna untuk memahaminya.
Ia menepati janji-Nya dan melakukan penghukuman-Nya. Tuhan memberikan hukuman kepada Adam dan Hawa, atas pelanggaran mereka, tetapi menepati janji-Nya untuk mengutus Sang Penebus. Maka apa yang dinubuatkan oleh Allah maupun para nabi-Nya, entah telah digenapi atau akan digenapi di masa yang akan datang. Maka jika dikatakan bahwa Ia akan menyertai Gereja-Nya yang didirikan-Nya di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16-19) sampai akhir zaman (Mat 28:19-20), maka hal itu akan digenapi-Nya.
Ia adalah Satu/esa: “TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! (Ul 6:4); “Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku.” (Kel 32:39). Sebab kesempurnaan, dan segala yang “paling” baik mensyaratkan Satu Subyek saja, dan Subyek itu adalah Tuhan yang Esa.
Dari pemaparan di atas, maka kita dapat melihat bahwa kebenaran yang diungkap oleh akal budi maupun yang dinyatakan oleh wahyu sebenarnya sama. Keduanya menyatakan hakekat Tuhan yang satu, kekal, yang maha dalam segalanya, yang tidak berubah, dan sempurna. Pengetahuan akan Tuhan ini tidak ada gunanya, kalau tidak ditanggapi dalam iman. Kita harus mengimani kebenaran ini dan kemudian menempatkan diri kita sebagai makhluk ciptaan dan menempatkan Tuhan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai Pencipta dan Pusat dari segala kehidupan kita. Ya, Tuhanlah yang menciptakan kita karena kasih-Nya kepada kita yang tiada terbatas.
Dengan demikian, tepatlah jika kita juga mengasihi Tuhan. Mengasihi adalah kegiatan manusia yang tertinggi; dan tidak ada obyek yang lebih mulia untuk dikasihi selain dari Tuhan Sang Pencipta. Maka, tak mengherankan bahwa perintah Tuhan yang terutama dan pertama adalah, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat 22:37)
Kasih kita kepada Tuhan dinyatakan dengan:
1. Adorasi: Kita menyembah-Nya karena Ia adalah Sang Kebaikan itu sendiri dan kita ‘berhutang” kepada-Nya atas segala kebaikan dan kasih-Nya, sehingga kita perlu menghormati dan mengasihi-Nya.
2. Pertobatan: Jika kita berdosa, dan tidak mengasihi-Nya sebagaimana seharusnya, kita perlu memohon ampun kepada-Nya.
3. Ucapan Syukur: Kita bersyukur karena segala sesuatu yang dilakukan-Nya kepada kita.
4. Permohonan: Sebab kita secara keseluruhan tergantung kepada rahmat-Nya, kita perlu berdoa kepada-Nya memohon rahmat-Nya dan pertolongan-Nya.
Tuhan telah menanamkan keinginan di dalam hati manusia untuk mengenal dan mengasihi Pencipta-Nya. Manusia tidak akan pernah tenang, sampai ia dapat menemukan Tuhan. St. Agustinus merumuskannya demikian, “Engkau telah menciptakan kami untuk Diri-Mu sendiri, O Tuhan, dan hati kami tak dapat tenang sampai kami dapat beristirahat di dalam Engaku.” ((St. Augustine, Confession, Book 1, 1)). Maka kita harus mengarahkan akal budi dan kehendak kita kepada Tuhan: 1) dengan akal budi, kita berusaha untuk mengenal Dia, terutama melalui doa; 2) dengan kehendak, kita berusaha melakukan perintah-perintah-Nya.
1. Apakah anda pernah mengalami keinginan untuk mengenal Tuhan atau keinginan untuk mengisihi hatimu?
2. Dengan cara apakah hatimu menjawab pengetahuan akan keberadaan Tuhan?
3. Mengapa anda percaya akan keberadaan Tuhan? Apakah anda tahu seseorang yang tidak mempercayai Tuhan? Mengapa orang tersebut tidak mempercayai Tuhan?
4. Apakah pengaruh sifat-sifat Tuhan di atas terhadap hidupmu?
5. Apakah ada perbedaan ketika seseorang percaya akan Tuhan? Bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan, dosa, kebohongan, perceraian, pembunuhan, aborsi?
Template: Comments Disabled
This post has its comments, pingbacks, and trackbacks disabled.
There should be no comment reply form, but should display pingbacks and trackbacks.