Home Blog Page 106

Sejuta Kenangan

0

Sakramen Perminyakan Suci yang aku berikan kepada  seorang bapak yang menderita kanker stadium final pada tanggal 15 Desember 2012  mengubah hati dan pikirannya.

Ia menerima penyakitnya dengan tegar walaupun hatinya menangis.

Ia mengatakan  tanpa sebuah kata kepada istri dan anaknya  untuk tidak gundah :

“Lihatlah  aku tegar,

Aku masih tersenyum,

Aku masih bisa bercanda,

Aku tidak bersedih,

Aku tidak mengeluh.

Semuanya karena ada Tuhan dan kamu, istri dan anakku”.

Hidupnya semakin bersemangat sehingga ia bisa bekerja kembali selama delapan bulan karena penyakitnya tiba-tiba tak terdeteksi  lagi.

Ia menulis sejuta kenangan dalam hari-hari penantiannya.

Kenangan yang indah karena hidupnya semakin mencintai Tuhan dan keluarganya.

Setiap malam dihabiskannya dengan doa bersama.

Tuhan memang akhirnya memanggilnya dengan bibir tersenyum indah pada Pesta Maria Ratu Surgawi pada tanggal 22 Agustus 2013.

Senyuman bibirnya menjadi sebuah prasasti kenangan kekal selepas kepergiannya sebagaimana kesaksian istrinya yang aku rumuskan  :

“Aku telah mengukir kebahagiaan dalam cerita kehidupan.

Kini aku telah menghargai waktu yang singkat dalam kehidupan.

Apapun yang terjadi harus  aku maknai sepenuh hati dalam waktu yang masih ada.

Tuhan semakin bermakna dan Kitab Suci benar-benar menjadi jalan Tuhan yang membimbing pada kebenaran.

Pengorbananku  yang ikhlas  akan menghangatkan cinta yang ada”.

 

Tangisan berubah menjadi tangisan damai karena makna kehidupannya yang  indah yang terpatri di dalam jiwa orang-orang yang ditinggalkannya.

Pesan indah untuk dihidupi : hidup yang singkat  akan bermakna bila ucapan dan sikap kita mencerahkan.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS,CC

Sejuta Harap

0

Bintang berkedip menghiasi malam yang sunyi.

Rembulan tersenyum  menyapa  umat  dalam Misa dan Adorasi di Gereja Santo Yakobus Rasul-Kelapa Gading, Jakarta Utara, 01 Agustus  2013.
Rmbulan dengan ramah  menawarkan sejuta harap dan cinta.

Kemuraman terangkat ke hadirat Tuhan dalam bait-bait syair “Kubawa hidupku sekarang, ke tempat kudus-Mu Tuhan” yang disenandungkan sangat indah oleh para singers yang rendah hati.

Seorang nenek, usia tujuh puluh tahunan, duduk di sampingku dengan senyuman yang tersungging di bibirnya.

Walaupun sudah tua, ia masih kuat dan mempunyai semangat hidup.

Ia menyetir sendiri mobilnya yang sederhana ke mana saja.

Ia mengatakan suatu pengalaman iman yang mendalam :

“Aku tidak mau hidupku menjadi buram  karena tidak nampak kedalamannya walaupun kadang-kadang banyak hal  yang aku temui tidak seindah dengan mimpiku.

Kedekatan dengan Tuhan memberikan kegembiraan hati yang tiada bisa dirampok oleh kesepian dan kesendirian.

Menemani anak dan cucu dalam Misa hari Minggu membuat hidupku berarti sebagai sebuah pelayanan yang dapat aku lakukan dengan ketulusan hati saat ini”.

Tuhan menaburkan benih-benih kebahagiaan dalam relung-relung pikiran kita.

Ketidakbahagiaan terjadi bukan dari pihak Tuhan, tetapi kita sendiri yang menimbun pikiran dan hati kita dengan banyak kerisuan sehingga kebahagiaan tidak mampu menggeliat.

Kebahagiaan akan bersemi kembali ketika kita sanggup melemparkan jauh-jauh segala kerisauan.

 

Beriman kepada Tuhan merupakan kunci menaklukkan kerisauan.

Kita pun  merasa aman ketika memandang mata Tuhan yang mengetahui segala isi hati kita.

Muka kita pun akan berseri karena percaya bahwa  Tuhan tidak akan membuat kita malu :

“Tujukkanlah pandanganmu kepadaNya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu” (Mzm. 34:6).

Hati pun teguh sekokoh gunung dan penuh kasih yang tulus selembut embun karena adanya sejuta harapan yang berasal dari iman.

Tuhan Memberkati

 

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Detik Sejuta Arti

0

Perjumpaan dengan seorang pria bersama anak dan istrinya menyampaikan pesan.
Ia datang dari Paroki Santa Monika Serpong untuk berdiskusi tentang masa depan puteri bungsunya.
Pesannya akan ditangkap dalam kisah panggung kehidupan selanjutnya.

Wajahnya menghitam karena penyakit diabetes yang semakin parah karena kelelahan.
Usaha spareparts mobil dijalankannya di Lampung karena belum banyak saingannya.
Jauh dari keluarga merupakan konsekuensinya.
Teki-teki di otak banyak orang tentang ketidakbersamaannya setiap saat dengan keluarga dipendam di dalam hatinya.
Jauh dari keluarga merupakan penderitaan hatinya yang tak terselami.
Semua itu dilakoninya karena tiada pilihan lain untuk menghidupi keluarga.

Ketika anak bungsunya menyampaikan pertanyaan “Kapan Bapak mempunyai waktu lebih lama bersama kami”, ia menatapnya dengan mata yang berlinang.
Ucapannya sangat lirih karena mulutnya seakan-akan terkunci : “Bapak tidak perlu membela diri. Engkau tidak memahaminya sekarang. Ketika saatnya tiba, engkau akan mengerti bahwa ini adalah resiko dari kasih.
Ia kemudian mengatakan bahwa sebentar lagi akan pensiun sehingga bisa berkumpul dengan keluarga setiap hari.
Tatapan matanya yang penuh arti terkuak tidak lama setelah percakapan dari hati ke hati.

Pagi hari, tanggal 16 Agustus 2013, ia bersama istri dan puteri bungsunya menjemput puteri sulungnya yang datang dari magang di luar negeri.
Ia kemudian memimpin doa di Gua Maria Gereja Trinitas Cengkareng untuk mensyukuri bahwa keluarganya telah berkumpul.

Kerinduannya itu diungkapkannya dalam telepon kepadaku pada tanggal 15 Agustus 2013.
Setelah makan bersama, ia menghembuskan nafas kehidupannya.

Ia menyudahi kehidupannya dengan memecahkan misteri selama ini.
Detik akhir kehidupannya memberikan makna dan sejuta arti.

Istri dan anak-anaknya berterimakasih kepada Tuhan karena telah dianugerahi suami dan ayah yang telah rela menderita, sakit, dan mati demi sebuah kasih.

Kini ia menikmati jerih payahnya di dalam kemuliaan surgawi.

Pesan yang indah untuk diresapi :

“Setiap keindahan tidak selamanya tersembunyi, tetapi senantiasa ada mata yang memandangnya. Setiap kebenaran tidak selamanya terlewati, tetapi pasti ada telinga yang mendengarnya. Setiap kasih yang tercurah dari hati yang murni senantiasa ada yang menerimanya”.

Tuhan Memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Sudahkah Kita Rendah Hati?

1

Di suatu halaman Facebook, ada tertulis: “Jangan biarkan orang lain merendahkan kamu ..….” Ya, ada begitu banyak pesan di sekitar kita, yang intinya mendorong agar jangan sampai orang merendahkan kita. Maka tak heran, ada banyak orang, mungkin termasuk kita juga, yang tidak senang direndahkan, mudah sakit hati kalau orang merendahkan kita. Tapi apa pesan Yesus hari ini?

Kerendahan hati. Itulah pesan sederhana di awal Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2013 ini. Bacaan Injil hari ini mengisahkan saat Yesus mengamati bagaimana sikap orang-orang yang datang ke suatu perjamuan orang Farisi. Mereka berlomba-lomba menduduki tempat yang terpenting. Maka Yesus mengatakan perumpamaan ini, “Kalau engkau diundang ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan….” (Luk 14: 8). Artinya, janganlah kita mencari penghormatan di mata manusia. Dunia mungkin mendorong kita untuk mencapai ketenaran ataupun pengakuan dari banyak orang. Namun hari ini Tuhan Yesus mengajarkan kita hal sebaliknya, yaitu agar kita tidak mengejar ambisi untuk terlihat hebat atau terkenal di hadapan orang banyak. Mengapa? Sebab itu bukan jalan Tuhan yang membawa kita kepada kebahagiaan sejati. Ada banyak orang yang terkenal di mata dunia, tidak merasa bahagia, dan bahkan ada yang mengakhiri hidupnya dengan tragis.

Maka tak berlebihan, jika St. Agustinus mengatakan, “Kalau kamu bertanya kepadaku apa itu jalan Tuhan, aku akan menjawab bahwa yang pertama adalah kerendahan hati, yang kedua adalah kerendahan hati, dan yang ketiga adalah kerendahan hati. Bukan berarti tidak ada lagi ajaran untuk diberikan, tetapi jika kerendahan hati tidak mendasari semua perbuatan kita, maka semua perbuatan kita menjadi tidak berarti….” Wow! Kalau begitu, apakah arti kerendahan hati? Kerendahan hati adalah hasil dari pengenalan akan diri sendiri dan pengenalan akan Tuhan, sehingga kita dapat mengakui bahwa kita ini bukan apa-apa di hadapan Tuhan, namun dikasihi oleh-Nya dan dilimpahi-Nya dengan rahmat. Maka, segala yang baik yang ada pada kita adalah pemberian Tuhan, dan tak perlu membuat kita menjadi tinggi hati. Kita mensyukuri setiap talenta pemberian Tuhan itu, dan menyadari bahwa semua itu adalah untuk kita kembangkan demi kemuliaan Tuhan. Oleh karena itu, kerendahan hati yang sejati tidak bertentangan dengan kehendak yang sepantasnya untuk memperoleh kemajuan dalam kehidupan sosial ataupun perlakuan yang wajar seturut martabat manusia. Namun orang yang rendah hati tidak suka pamer ataupun mencari penghargaan dari orang lain. Sebab sesungguhnya kita ini hanya alat saja di hadapan Tuhan, yang dipercayakan oleh-Nya untuk membawa harta ilahi-Nya yang tiada ternilai. Sudahkah kita menjadi orang yang rendah hati?

Sapaan Allah di kesunyian Waghete

12

 

[Dari Editor: Terima kasih kepada Br. Dieng SJ, atas kesaksian yang indah ini. Sungguh, di hari peringatan Kemerdekaan Indonesia yang ke-68 hari ini, baik jika kita mengarahkan perhatian kepada saudara-saudari kita di Papua, yang jauh dari hiruk pikuk dan kemajuan ibu kota, namun yang juga memerlukan uluran tangan dan doa-doa kita. Terima kasih atas karya kerasulan yang Bruder lakukan untuk masyarakat Papua, semoga Tuhan selalu memberkati Bruder. Teriring doa kami di katolisitas.org]

Ceritaku di Papua

Saat ini saya mempunyai nama panggilan baru, yaitu Bludel. Itulah nama yang diteriakkan anak-anak kecil ketika mereka bertemu dengan saya. Tanpa mempedulikan ingus mereka yang mengalir seperti angka sebelas, berulang-ulang mereka memanggil dengan meneriakkan bludel daa… Mereka juga tidak begitu peduli dengan lumpur yang berlepotan di kaki, bahkan tanpa mengenakan celana, hanya koteka.

Entah mengapa, ketika mengalami suasana itu, hati saya diliputi kegembiraan, senyum pun menghias di bibir. Saya merasakan penghiburan atas kepolosan, keceriaan dan keadaan apa adanya anak-anak itu. Saya juga merasa bahagia ketika mereka menyerukan ‘bludel’ dengan lidah mereka yang masih cedal. Seharusnya mereka memanggil saya ‘bruder’!  Tak apalah.

Ketika saya mengamati lebih dekat, wajah-wajah mereka tidaklah asing. Mereka adalah anak-anak TK Komugai di mana saat ini saya sebagai kepala sekolahnya. Mengurus anak-anak kecil ini bukanlah hal yang mudah. Mereka seperti lembaran-lembaran kertas putih yang siap untuk digoresi tinta masa depan. Melalui TK Komugai, anak-anak kecil itu telah mengambil langkah dini untuk maju dalam bidang pendidikan. Semoga, mereka nantinya menjadi generasi baru yang terdidik dan berpikiran maju.

Papuaisme

Saat ini, saya bersama dengan seorang teman Jesuit berkarya di sebuah paroki terpencil di pedalaman Papua. Tepatnya, kami berkarya di Paroki St. Yohanes Pemandi, Waghete. Paroki ini berada di wilayah Dekenat Paniai. Dekenat Paniai sendiri berada di bawah naungan keuskupan Timika. Paroki Waghete terletak 255 km dari kota Nabire. Kota Nabire ini terletak di Teluk Cendrawasih.

Seperti apakah Papua itu? Anda tidak akan pernah tahu persis yang sebenarnya hingga Anda berada di sana. Apalagi, ketika kita berbicara tentang Papua di daerah pedalaman. Rasanya, ada banyak hal jika dibicarakan tidak akan pernah selesai.

Sebagian orang menyebut bahwa karya di Papua itu adalah karya frontier. Kenyataannya memang demikian. Salah satu tanda ke-frontier-an itu bisa ditandai dengan adanya aneka tantangan dan keterbatasan yang ada, entah itu dari medan perutusan yang sulit, fasilitas kehidupan yang terbatas, komunikasi dengan dunia luar yang hampir tidak ada dan berhadapan dengan umat yang memiliki budaya yang sungguh berbeda.

Hanya sebagai gambaran kecil; mungkin, ini hanya terjadi di Papua, ketika kita harus naik pesawat hanya untuk membeli mie instan atau minyak goreng. Mungkin, ini juga hanya di Papua ketika kita harus menempuh jarak 70 km hanya untuk mengirim short messege service (SMS) atau menelepon. Mungkin hanya ada di Papua ucapan kartu Natal tiba pada saat masa Paskah dan sebaliknya. Dan, mungkin ini juga hanya di Papua ketika kita berjumpa dengan umat yang mengenakan koteka, moge (pakaian untuk perempuan) dan tarian susu.

Adanya tantangan dan keterbatasan-keterbatasan yang ada bagi kami bukan menjadi alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Justru sebaliknya, apa yang bisa kita buat dalam aneka tantangan dan keterbatasan tersebut. Saya sendiri merasakan bahwa kualitas pribadi dan keaslian diri saya justru tampak dengan jelas dalam situasi yang sulit. Apakah dalam situasi yang tidak mudah itu saya mampu keluar dan berbuat baik bagi sesama yang saya layani? Apakah dalam berbagai keterbatasan itu saya bisa tetap kreatif dan produktif?

TK Komugai

Sejak awal kehadiran Paroki Waghete di tengah-tengah suku Mee di Waghete 64 tahun yang lalu, bidang pendidikan telah menjadi perhatian utama. Maka sejak saat itu dibangunlah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di kompleks gereja. Berbagai macam usaha pendidikan pun dilakukan oleh para petugas gereja, bahkan oleh pastor, bruder dan suster yang ada. Namun, tantangan di bidang pendidikan ini serasa tidak pernah ada habisnya, entah itu karena sarana pendidikan yang terbatas, gedung-gedung sekolah yang tidak memadai dan tenaga pengajar yang kurang berkompeten. Perbaikan di sana-sini pun terus dilakukan.

Sejak tahun 2003 muncul inovasi baru di bidang pendidikan di Paroki Waghete, yaitu didirikannya TK Komugai. TK ini didirikan oleh Br. Norbert Mujiana, SJ, dan Rm. Eddy Anthony, SJ bersama umat. TK ini bisa disebut sebagai bentuk inovasi sebab kehadirannya berusaha menjawab salah satu kebuntuan bidang pendidikan saat itu. Atas keprihatinan bahwa kebanyakan anak-anak SD dan SMP belum bisa membaca, menulis dan menghitung.

Sejak tahun 2010, saya menerima tongkat estafet kepemimpinan di TK Komugai itu. Komugai sendiri berarti mengumpulkan atau memanfaatkan suatu hal atau barang-barang yang sudah ada dan menggunakannya dengan baik.

Dalam arti tertentu, mendampingi TK Komugai ini terasa menggembirakan, sebab setiap kali saya datang ke TK, saya bisa melihat keceriaan dan kepolosan anak-anak yang hitam kulitnya dan berambut keriting (seperti lagu yang sering dinyanyikan di sana,” hitam kulitku dan keriting rambutku…”) yang penuh semangat untuk belajar.

“Neng neng neng, neng neng neng dengarlah lonceng itu. Neng neng neng, neng neng neng itulah tanda waktu. Marilah kawan bentuk barisan di muka pintu. Masuk ruangan perlahan lahan bersama bu guru…”

Sebelum lagu di atas dinyanyikan dan anak-anak TK mulai masuk ke dalam kelas untuk belajar biasanya kami mengajukan beberapa pertanyaan: Siapa yang sudah mandi? Siapa yang belum mandi? Siapa yang tidak punya ingus di hidungnya? Siapa yang hidungnya masih beringus? Anak-anak pun di minta membersihkan dulu ingusnya—ini adalah pelajaran paling awal di muka kelas. Bagi yang belum mandi, mereka diminta untuk mencuci mukanya di bak air yang tersedia di samping kelas. Dengan kaki telanjang tanpa mengenakan apa pun, anak-anak masuk ke dalam kelas untuk belajar.

Menangkap Rahmat Tuhan

“Bludel daa” adalah ungkapan yang begitu sederhana, namun ungkapan tersebut menjadi sumber kegembiraan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Dalam arti tertentu, menjadi gembira dan merasa bahagia bagi saya adalah sebuah pilihan. Bisa saja situasi di sekitar saya sungguh-sungguh tidak memberikan ruang atau suasana yang menggembirakan, namun bukan berarti kegembiraan itu absen dengan juga darinya. Dalam situasi itu saya diajak untuk menjadi sungguh-sungguh peka, peka untuk melihat kehadiran Allah dalam bentuk apa pun. Ini adalah pilihan. Kehadiran anak-anak kecil di sekitar saya menjadi bukti bahwa kegembiraan itu tidaklah absen. Ketika kegembiraan hati semacam ini saya dapati, saya juga merasa bahagia.

Jika dirasakan lebih jauh, rasanya memang tidak mudah berkarya di tanah Papua dengan aneka keterbatasan dan tantangannya. Namun, di dalamnya saya justru merasakan bisa belajar banyak hal. Hal pertama yang masuk dalam permenungan saya adalah tentang keaslian diri. Dalam keadaan yang sulit dan penuh tantangan, kualitas pribadi menjadi taruhan. Apakah saya ini tipe orang yang tangguh? Apakah saya ini seorang yang dewasa? Apakah saya ini tipe orang yang setia dan kreatif, dan seterusnya? Membandingkan kehidupan di pedalaman Papua dengan kehidupan di Jawa tentulah tidak sepadan. Dalam keadaan ini saya belajar untuk mengenali diri lebih jauh, apa kekurangan dan kelebihan saya. Pengalaman ini pelan-pelan saya tangkap sebagai salah satu rahmat yang ditawarkan Tuhan kepada saya. Saya dituntun untuk mengenali diri lebih dalam.

Hal kedua yang saya kira tak kalah menariknya adalah perjumpaan saya dengan Allah secara pribadi. Hal seperti ini tidak pernah saya temukan sebelumnya pada saat di sekitar saya ada banyak sahabat, keluarga dan orang-orang yang saya kenal. Ketika berada di pedalaman Papua, mereka semua seperti hilang dan tercerabut. Di samping itu, saya juga cukup sering mengalami pengalaman hidup sendiri di tempat perutusan ini ketika teman Jesuit saya pergi. Ketika malam, gelap, sepi dan sendiri, saya menemukan bahwa pada akhirnya hidup ini adalah antara diri saya dengan Allah. Dalam gelap malam, kesepian dan kesendirian, sebagai orang yang beriman, saya hanya bisa bertumpu pada Allah semata. Rasanya, tidak ada tempat lain untuk berlabuh.

Berangkat dari pengalaman di atas, saya mencoba lebih peka dan atentif atas berbagai pengalaman harian saya. Saya pun kemudian diajak untuk tidak hanya bisa menemukan Allah dalam keadaan kegelapan, kesepian dan kesendirian, namun dalam keadaan apa pun adanya. Saya juga diajak untuk menemukan Allah melalui wajah dan tatapan anak-anak berkulit hitam dan berambut keriting. Kegembiraan berjumpa dengan mereka yang begitu polos dengan apa adanya diri mereka rupanya adalah sapaan Allah tersendiri dalam kehidupan harian saya.

Kepolosan dan sikap apa adanya di atas sebenarnya adalah gambaran hampir menyeluruh dari kehidupan umat di pedalaman Waghete. Mereka adalah manusia-manusia “telanjang” dari peradaban yang masih polos dan apa adanya—serba terbatas—yang hidup bersama dengan kita—yang lebih suka disebut sebagai manusia-manusia modern. Mengenali mereka adalah memahami tanpa memberikan jeda terhadap pemahaman kita. Karena mereka begitu berbeda. Untuk hal yang satu ini, saya secara khusus memohon rahmat kepada Allah.

Br Dieng SJ

Doa Puitis Menjelang Rosario Bumi: Peristiwa Gembira Ketiga

0

Pakaian Allah

Allah Bapa yang Mahakasih,

Engkau ternyata bukan Pribadi yang sulit untuk dikenal.

Pakaian keagungan-Mu terhampar dalam alam semesta.

Indahnya langit menjelang mentari tenggelam.

Tari-tarian dari gulungan ombak lautan lepas menambah cantiknya cakrawala.

Sungguh mengagumkan bahwa Engkau sudi berpakaian keindahan alam semesta

agar setiap mata mudah mengenalMu sebagai Bapa.

Keindahan pakaian-Mu merupakan sebuah percikan dari keindahan kasih-Mu yang tak terurai dengan kata.

Semoga kami dapat bermenung ditemani semilirnya angin sepoi-sepoi.

Sosok diri-Mu sebagai Sang Pencipta, yang penuh kasih, yang ingin menyelamatkan dunia

akan memenuhi alam pikiran kami.

Hati kami pun berbisik dalam doa :

Ya, Allah Bapa, betapa indah alam ciptaan-Mu.

Ia mengungkapkan kesempurnaan kasih-MU kepada kami.

Kami akan mengasihi sesama kami, yaitu manusia dan alam semesta, yang merupakan kilauan indah-Nya kasih-Mu yang hanya terselami dengan hati yang murni”.

Amin.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab