Pertanyaan:
Shalom Bp Stefanus
Apakah tidak lebih pas jika kata “mengampuni” diterjemahkan dengan “memaafkan”? O, ya untuk bahasa aslinya sendiri memakai kata apa? Kalau doa Bapa Kami bhs Inggris khan pakai kata forgive yang bisa berarti mengampuni/memaafkan. Untuk bahasa Indonesia sendiri kata mengampuni dan memaafkan menurut saya artinya tidak sama persis.
GBU – Ryan09
Jawaban:
Shalom Ryan,
Dalam teks Bapa Kami dalam bahasa Latin, memang disebutkan demikian, “…et dimitte nobis debita nostra sicut et nos dimittimus debitoribus nostris” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, “and forgive us our trespasses as we forgive those who trespass against us” (or, forgive us our sins as we forgive those who sin against us) atau dalam bahasa Indonesia, “dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.”
Memang jika dilihat terjemahan bebas dari “dimitte” yang berasal dari kata “dimitto” itu adalah untuk melepaskan/ to break up, dismiss, leave, abandon, leave behind, dan yang dilepaskan itu adalah “debita” yang berkonotasi “hutang/debt”. Maka di sini konteksnya adalah perbedaan derajat antara yang memberi hutang dan yang diberi hutang. Dan memang demikianlah sesungguhnya hubungan kita dengan Tuhan, karena kita manusia tidak pernah sejajar dengan Tuhan, dan kita selalu dalam posisi ‘hutang’ karena segala dosa-dosa kita.
Saya bukan ahli bahasa, namun dari konteks di ataslah saya kira, mengapa kalimat tersebut diterjemahkan sebagai ‘mengampuni’ daripada ‘memaafkan’, karena memang ‘mengampuni’ lebih mengacu pada konteks ‘hutang’ tersebut.
Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- https://katolisitas.org
D H
Apa yang harus saya lakukan, apabila salah satu dari warga lingkungan jatuh dalam dosa, kebetulan saya adalah Ketua ibu2 lingkungan. Mohon pengarahannya.
terima kasih, Tuhan memberkati.
regina
Shalom Regina,
Jika anda mengetahui salah satu dari warga lingkungan jatuh dalam dosa, terutama jika dosa itu dapat menimbulkan skandal bagi orang banyak, maka memang sudah menjadi tanggungjawab Anda sebagai ketua ibu-ibu lingkungan, untuk memberitahukan kepadanya, asalkan tentu dengan motivasi kasih dan diungkapkan dengan kasih. Untuk hal ini kita mengacu kepada apa yang tertulis dalam Kitab Suci: “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.” (Mat 18:15). Dengan demikian jika Anda mengenal orang yang bersangkutan, baiklah jika Anda mengajaknya bicara, anggaplah dia sebagai adik/ saudara Anda. Jangan memakai orang ketiga apalagi menegur dia di hadapan umum.
Jika ia tidak mendengarkan Anda, dan ia tetap dalam perbuatannya yang dapat menimbulkan skandal itu, maka silakan Anda mengajak seorang atau dua orang lagi (sedapat mungkin yang juga mengenal dan mengasihi orang itu) untuk turut bersama dengan anda memberitahukannya perihal perbuatannya yang salah itu (lih. Mat 18:16). Jika pembicaraan dilakukan atas dasar kasih, maka moga- moga akan ada keterbukaan dari pihaknya untuk mendengarkan Anda, dan memperbaiki kesalahannya. Di atas semua itu, pentinglah peran doa, sebab hanya Tuhanlah yang mampu mengubah hati setiap orang. Anda dapat berdoa di rumah sebelum berbicara dengan dia, dan anda dapat mengajaknya berdoa bersama, sebelum anda membicarakan hal tersebut dengan dia. Jadilah sahabat dan pendengar yang baik bagi warga anda itu, namun juga tetaplah berpegang kepada ajaran Gereja Katolik, yang baginya Anda telah membaktikan diri.
Bawalah sahabat anda itu dalam doa- doa Anda pribadi setiap hari, semoga Roh Kudus memampukan dia untuk meninggalkan perbuatannya yang salah dan kembali ke jalan yang dikehendaki oleh Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Tambahan dari Triastuti :
Salam Regina, ijinkan saya menambahkan sedikit dari saran yang telah diberikan Ibu Ingrid, yang mungkin dapat berguna.
Menurut yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita di dalam Kitab Suci yaitu dalam Mat 18: 15-17, kita memang diajak untuk tidak mendiamkan saudara kita yang berbuat dosa. Sebagai saudara seperjuangan di dalam perjalanan iman dan kasih kepada Tuhan, inisiatif Anda untuk membantu sesama yang sedang jatuh dalam dosa adalah perbuatan yang baik. Membantu dalam hal ini adalah mengingatkan dia untuk kembali kepada jalan yang benar, sebab manusia yang sedang berada dalam dosa, sedang mempunyai relasi yang tidak harmonis dengan Allah dan dengan sesama, kondisi itu tidak sehat bagi jiwanya dan pada gilirannya juga menghasilkan penderitaan baginya. Dengan selalu mengingat bahwa perbuatan mengingatkan itu adalah perbuatan yang dilandasi kasih dan bukan tindakan menghakimi, kita dapat selalu percaya bahwa Tuhan juga pasti akan melakukan bagian-Nya untuk membantu usaha kita, walau usaha semacam itu umumnya tidak mudah. Sambil selalu bergantung kepada kebijaksanaan dan kasihTuhan, hal-hal berikut ini mungkin dapat menjadi pegangan Anda:
1. Pastikan bahwa apa yang Anda pahami mengenai dosa yang dilakukan saudara kita itu adalah fakta dengan bukti-bukti yang dapat Anda tangkap secara nyata, jadi bukan suatu rumor (kabar burung/gosip) atau bahan pembicaraan orang semata. Kalau Anda tidak pasti, lebih baik meluangkan waktu untuk memperoleh kepastian atau menunda dulu sampai Anda tahu benar. Selama pembicaraan, berusaha untuk selalu setia pada fakta, yang benar-benar ada buktinya, dan bukan pada kabar yang hanya pernah Anda dengar-dengar sekilas yang belum jelas kebenarannya.
2. Carilah waktu dan tempat yang nyaman dan bersahabat serta membuat saudara kita itu tidak merasa sedang dihakimi.
3. Awalilah pembicaraan dengan sesuatu yang baik dan menyenangkan, dan pilihlah kata-kata yang tidak menghakimi, lemah lembut, penuh pengertian, dan selalu siap menjadi pendengar yang rendah hati bila ia mengutarakan / mencurahkan isi hatinya.
4. Dalam berbicara secara empat mata dengan saudara kita itu, tempatkanlah diri kita sebagai sesama orang berdosa, yang juga sedang terus belajar untuk hidup kudus dan sesekali juga jatuh ke dalam kegagalan untuk tidak taat kepada Allah. Selalu menganggap bahwa ia adalah sahabat kita seperjalanan dan seperjuangan, sehingga kata-kata kita tidak menggurui.
5. Ini yang terpenting: berdoalah sebelum, selama, dan sesudah pertemuan itu, supaya Roh Kudus sendiri yang memimpin pembicaraan Anda.
6. Jika memungkinkan dan terlihat ada keterbukaan darinya, Anda juga dapat mengajaknya berdoa bersama. Dan bersama teman-teman warga lingkungan yang lain, ujud doa bagi pertobatannya bisa menjadi ujud doa bersama, namun hindarilah menjadikan saudara kita itu, atau perbuatannya, sebagai bahan pembicaraan dengan warga lingkungan yang lain. Pergumulannya adalah bahan ujud doa dan bukan bahan pembicaraan.
7. Simpanlah bagi diri Anda sendiri segala sesuatu yang Anda ketahui dari saudara Anda itu yang memang tidak perlu untuk diketahui saudara-saudara yang lain, kecuali yang bersangkutan mengijinkannya. Dan selama pembicaraan, jika tidak relevan, usahakan tidak membawa kisah orang lain atau hal-hal yang menyangkut nama baik orang lain yang bisa semakin menambah kompleks persoalan.
8. Setelah pembicaraan usai, buatlah komitmen dengan diri sendiri untuk tetap menemani warga lingkungan itu dalam perkembangannya selanjutnya. Mungkin dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan pembicaraan yang tidak satu atau dua kali melainkan beberapa kali. Bersabarlah dengan proses itu dan yakinlah bahwa Tuhan yang sangat mengasihi dia tidak pernah meninggalkan dia sendiri dalam kedosaannya.
Semoga Tuhan membimbing Anda untuk membantu warga lingkungan tersebut dalam menemaninya kembali ke jalan Tuhan dalam kasih dan cara yang sesuai dengan kehendak-Nya. Amin.
aterima kasih atas edukasi anda
saya kutip disini bagian yang menarik saya :
[quote] terjemahan bebas dari “dimitte” yang berasal dari kata “dimitto” itu adalah untuk melepaskan/ to break up, dismiss, leave, abandon, leave behind, dan yang dilepaskan itu adalah “debita” yang berkonotasi “hutang/debt” [unquote]
Pertanyaan : perihal kata dimitte ini, apakah disiratkan keharusan untuk rekonisiliasi atau sekadar menghapus hutang. Misal kawan kita berhutang dan tidak membayar – apakah cukup kita hapuskan hutang dia tetapi kita tidak mau memberi hutangan lagi ? dengan kata lain – ada maaf tetapi tidak ada rekonsiliasi?
Bagaimana dengan bagian lain dalam KS dimana disebutkan – mengampuni 70 kali tujuh – disana apa digunakan kata “dimitte” ini ?
Mohon penjelasan dan terima kasih
AMDG
Shalom Skywalker,
1) Mengampuni/ ‘dimitte’ di sini memang mensyaratkan adanya rekonsiliasi. Dengan maksud yang sama maka Sakramen Pengampunan Dosa disebut juga sebagai sakramen Rekonsiliasi.
Jika kita melihat Dictionary of the Bible karangan John L McKenzie, SJ, p. 722, (A Touchstone Book, Simon & Schuster, New York, 1995) maka Rekonsiliasi/reconciliation ini maksudnya: tidak memperhitungkan kesalahan seseorang/ ‘not reckoning against men their sins’, dan arti paralelnya adalah berdamai/ ‘making peace’. Maka memang contoh yang sempurna tentang arti ‘rekonsiliasi’ ini adalah pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menghapus dosa kita, dan dengan demikian Yesus mendamaikan manusia dengan Allah.
Maka dengan melihat definisi ini, jika kita ‘mengampuni’ orang yang berhutang pada kita, artinya memang kita melepaskan hutangnya. Namun, untuk selanjutnya, jika dia mau berhutang lagi kepada kita, kita memang harus memiliki kebijaksanaan/ prudence untuk menilai apakah kita akan memenuhi keinginannya. Sebab, bisa jadi kita malah menjadikan orang tersebut memiliki kebiasaan negatif yaitu kebiasaan berhutang, apalagi jika uangnya dipergunakan untuk hal-hal yang buruk dan merusak. Jika demikian halnya, kita berhak dan malah sebaiknya tidak memberi hutang kepadanya. Namun jika misalnya orang itu sedang benar-benar dalam kesusahan, misal anaknya sakit berat, dan jika kita memang memiliki uang untuk membantu, maka tidak ada salahnya membantu.
Apapun situasinya, keadaan mengampuni memang harus diikuti oleh rekonsiliasi, bahwa jika kita membebaskan seseorang dari hutangnya, maka kita seharusnya berdamai dengan orang itu. Jika sampai kelak kita [dengan pertimbangan yang bijak] tidak mau memberi hutang lagi kepadanya, alasannya bukan karena sudah ‘kapok’, tetapi karena demi kebaikan orang itu sendiri. Namun – ini pengajaran Tuhan- jika orang yang pernah berhutang pada kita tapi tidak bisa membayar dan sudah kita lepaskan hutangnya, namun kini sangat perlu dibantu, dan jika kita memang punya uang dan dapat membantu, maka kita selayaknya tetap membantu. Di atas semuanya ini, kita melihat, dasarnya adalah kasih.
2) Mengampuni 70 kali tujuh dalam Alkitab yang ada dalam Mat 18:21-22, juga memakai kata yang berakar dari kata ‘dimitte’ ini. Dimittam adalah turunan kata kerja (verb) dimitto.
Dari kitab Vulgate, kita ketahui demikian teksnya:
v. 21 Then came Peter unto him and said: Lord, how often shall my brother offend against me, and I forgive him? till seven times?
tunc accedens Petrus ad eum dixit Domine quotiens peccabit in me frater meus et dimittam ei usque septies
v. 22 Jesus saith to him: I say not to thee, till seven times; but till seventy times seven times.
dicit illi Iesus non dico tibi usque septies sed usque septuagies septies.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid,
Terima kasih atas penjelasannya. Kalau boleh sedikit pertanyaan lagi. Sebenarnya pertanyaan saya sebelumnya timbul setelah membaca pertanyaan dari sdr. Yohanes K khususnya tentang kalimat “seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.”. Apakah ini berarti semua orang bisa mengampuni dosa orang lain? Bukankah dalam gereja Katolik, kuasa untuk mengampuni hanya diserahkan kepada mereka yang tertahbis dalam sakramen Rekonsiliasi. Samakah arti kata mengampuni dalam doa ini dengan kuasa mengampuni yang ada dalam sakramen Rekonsiliasi? Kalau artinya sama bukankah ini kontradiksi dengan ajaran gereja sendiri yang memberikan kuasa ini pada sakramen Rekonsiliasi saja?
Terima kasih atas waktunya.
GBU
Ryan09
Shalom Ryan,
Terdapat perbadaan konotasi kata ‘mengampuni’ jika kita terapkan pada diri kita dan sesama dan kuasa mengampuni yang diberikan oleh Kristus kepada Gereja dalam sakramen Rekonsiliasi:
1) Jika kita mengampuni sesama, yang terlibat adalah kita (yang memberi ‘hutang’) dan orang yang kita ampuni (yang berhutang). Dengan demikian kita memenuhi hukum Tuhan, dan karenanya kita ‘berdamai’ dengan Tuhan. Perlu kita ingat disini yang kita ampuni adalah kesalahan orang itu terhadap kita, dan bukannya dosa orang itu terhadap Tuhan. Karena yang dapat mengampuni dosa seseorang adalah Tuhan saja. Oleh karena itu, jika kita ingat perikop Injil, orang Yahudi ‘marah’ pada Yesus sewaktu Yesus berkali-kali mengatakan ‘dosamu sudah diampuni’ pada saat menyembuhkan orang sakit dan orang lumpuh, karena mereka tidak percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Sedangkan Yesus memang mengatakan bahwa Dia mengampuni dosa seseorang, justru untuk menunjukkan bahwa Ia adalah Putera Allah.
2) Sedangkan kuasa mengampuni yang diberikan Gereja melalui sakramen Pengampunan dosa/ Rekonsiliasi, maka yang terlibat adalah kita (sebagai yang berhutang) kepada Tuhan, dan Gerejanya. Sebab dosa yang kita lakukan membawa dampak yang buruk terhadap Gereja-Nya. Analoginya seperti jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan sakit. Maka jika kita berdosa, maka itu akan berakibat buruk terhadap keseluruhan umat Allah. Contoh, jika kita marah, itu berakibat buruk bagi diri sendiri dan orang lain, dan bayangkanlah jika banyak orang berbuat demikian, tentu orang di luar Gereja dapat berpendapat bahwa orang Katolik ternyata banyak yang pemarah. Nah, di sini terlihat dosa seseorang berakibat buruk bagi keseluruhan Gereja. Nah, pada sakramen Rekonsiliasi, kita tidak saja didamaikan dengan Allah atas dosa kita, tetapi kita juga didamaikan dengan Gereja, dan kita dikembalikan ke dalam pangkuan umat Allah. Kuasa mengampuni yang semacam inilah yang hanya diberikan oleh para rasul dan para penerus mereka, yaitu para imam tertahbis.
Hal ini nyata diajarkan dalam Katekismus
KGK 1441 Hanya Tuhan dapat mengampuni dosa Bdk. Mrk 2:7.. Karena Yesus itu Putera Allah, Ia mengatakan tentang diri-Nya, "bahwa di dunia Anak Manusia mempunyai kuasa mengampuni dosa" (Mrk 2:10). Ia melaksanakan kuasa ilahi ini: "Dosamu sudah diampuni" (Mrk 2:5; Luk 7:48). Lebih lagi: berkat otoritas ilahi-Nya, Ia memberi kuasa ini kepada manusia Bdk. Yoh 20:21-23., supaya mereka pun melaksanakannya atas nama-Nya.
KGK 1443 Selama hidupnya di muka umum Yesus tidak hanya mengampuni dosa, tetapi menunjukkan juga akibat dari pengampunan: Ia menggabungkan lagi para pendosa yang telah diampuni-Nya ke dalam persekutuan Umat Allah, yang darinya dosa telah menjauhkan mereka atau malahan mengucilkan mereka. Satu tanda yang sangat terkenal untuk itu ialah bahwa Yesus mengundang para pendosa ke meja-Nya, malahan Ia sendiri duduk di meja mereka – satu tindakan yang atas cara yang mengesankan menyatakan serentak pengampunan oleh Allah Bdk. Luk 15. dan pengembalian ke dalam pangkuan Umat Allah Bdk. Luk 19:9..
KGK 1444 Tuhan memberi kepada para Rasul kuasa-Nya sendiri untuk mengampuni dosa, Ia juga memberi kepada mereka otoritas untuk mendamaikan para pendosa dengan Gereja. Aspek gerejani dari tugas ini terutama kelihatan dalam perkataan meriah Kristus kepada Simon Petrus: "Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan surga; apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di surga, dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga" (Mat 16:19). Jelaslah, bahwa "tugas mengikat dan melepaskan, yang diserahkan kepada Petrus, ternyata diberikan juga kepada Dewan para Rasul dalam persekutuan dengan kepalanya Bdk. Mat 18:18; 28:16-20." (LG 22).
Jadi kesimpulannya tidak ada kontradiksi dalam pengajaran doa Bapa Kami bahwa kita harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita, dan pengajaran bahwa kuasa pengampunan pada sakramen Rekonsiliasi hanya diberikan kepada Gereja-Nya melalui imam tertahbis.
Semoga saya menjawab pertanyaan Ryan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Comments are closed.