Pertanyaan:
Syalom Ibu Ingrid
Agama kita melarang seseorang berbuat zinah, tapi bagaimana kalau ada laki-laki Katolik menikahi seorang pelacur boleh tidak ?
Saya pernah baca juga di Alkitab saya lupa dimana : bahkan Tuhan menyuruh seorang nabinya untuk mengawini seorang pelacur,untuk melahirkan anak-anak pelacur.
Juga Simson bahkan ber-ulang2 berbuat zinah dengan pelacur,namun Allah masih menyertai hidupnya, bahkan se-akan2 itu adalah kehendak Tuhan untuk menghancurkan bangsa Filistin (seperti yang tertulis di kitab Hakim-hakim).
Apakah sebab mereka hidup di zaman sebelum Yesus maka kawin dengan pelacur masih boleh, atau sampai sekarangpun seseorang masih boleh menikahi seorang pelacur,asal perempuan tsb menjadi seorang Katolik ?
Laras
Jawaban:
Shalom Laras,
1. Agama kita melarang zinah, tetapi bolehkah menikahi seorang pelacur?
YA, Kitab Suci melarang kita berbuat zinah (ada dalam perintah ke-6 dalam kesepuluh perintah Allah, Kel 20:14).
Nah, tentang bolehkah seorang pria menikahi wanita pelacur, nampaknya jawabannya tidak sesederhana itu. Sebab jika sang pelacur itu sudah bertobat, dan sang pria itu sudah mengetahui keadaan wanita tersebut apa adanya, namun tetap dapat menerimanya, maka sang pria itu dapat saja menikahinya. Jadi dalam hal ini, perkawinan dapat dilakukan saat sang wanita telah berhenti menjadi pelacur.
Pertanyaannya,bagaimana jika sang wanita belum bertobat dan masih menjadi seorang pelacur? Jika ini keadaannya, sesungguhnya ia tidak siap sama sekali untuk menikah; sebab pernikahan menurut ajaran iman Katolik mensyaratkan kesetiaan suami istri yang total dan tidak melibatkan pihak ketiga (PIL/ WIL). Kesetiaan antara seorang suami dan seorang istri tersebut merupakan syarat multak dalam perkawinan Katolik, karena perkawinan menjadi gambaran akan hubungan kasih setia antara Kristus dan Gereja-Nya yang adalah Mempelai-Nya (dan Mempelai ini hanya satu).
Katekismus Gereja Katolik (KGK) jelas mengajarkan:
KGK 1646 Dari kodratnya cinta Perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak boleh diganggu gugat oleh suami isteri. Itu merupakan akibat dari penyerahan diri dalamnya suami isteri saling memberi diri. Cinta itu sifatnya definitif. Ia tidak bisa berlaku hanya “untuk sementara”. “Sebagaimana saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami isteri yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu” (Gaudium et Spes 48, 1).
KGK 1647 Alasan terdalam ditemukan di dalam kesetiaan Allah dalam perjanjian-Nya dan dalam kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya. Oleh Sakramen Perkawinan suami isteri disanggupkan untuk menghidupi kesetiaan ini dan untuk memberi kesaksian tentangnya. Oleh Sakramen, maka Perkawinan yang tak terceraikan itu mendapat satu arti baru yang lebih dalam.
2. Mengapa ada nabi- nabi Perjanjian Lama yang menikah dengan pelacur?
Kita harus selalu membaca Perjanjian Lama dalam terang Perjanjian Baru. Artinya Perjanjian Lama (PL) tidak terlepas dari Perjanjian Baru (PB), dan cara memahaminya, adalah dengan melihatnya dalam konteks keseluruhan Kitab Suci. Kisah- kisah dalam PL harus dilihat dalam konteks rencana keselamatan Allah, yang memang disingkapkan secara bertahap. Ini terlihat juga dalam hal perkawinan. Sejak awalnya Tuhan menentukan perkawinan adalah antara satu orang pria dan satu orang wanita, dan keduanya menjadi satu daging (Kej 2: 24). Namun pada masa berikutnya, pada jaman patriarkh dan para nabi, poligami belum secara eksplisit dilarang; perceraian dapat diberikan menurut hukum Musa, karena ketegaran hati orang- orang pada saat itu (lih. Mat 19:8). Oleh karena itu, Tuhan Yesus meluruskan ajaran tersebut sesuai dengan kehendak Allah sejak awal mula, yaitu tentang perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang sifatnya eksklusif, dan tak terceraikan.
Nah, pada jaman para nabi, tepatnya pada jaman hakim- hakim Israel, ada salah seorang hakim yang bernama Simson. Simson menjadi seorang nazir Allah dan melalui dia, Allah merencanakan penghancuran bangsa Filistin (lih. Hak 13:5).
Dikatakan dalam kitab Hakim- hakim bahwa Simson tertarik kepada seorang gadis Filistin di Timna dan kemudian menikahinya. Selanjutnya dikisahkan adanya perkara yang disebabkan oleh istri Simson dan juga oleh ayahnya, yang mengakibatkan Simson membalas perlakuan mereka; dan bagaimana Allah menyertai Simson sehingga dapat mengalahkan orang- orang Filistin (lih. Hak 14 dan 15). Nah, pada Hak 16: 1, memang dikatakan demikian, “Pada suatu kali, ketika Simson pergi ke Gaza, dilihatnya di sana seorang perempuan sundal, lalu menghampiri dia.” Di ayat itu disebut ‘perempuan sundal’/ atau bahasa aslinya zânâh. Namun kata ini selain dapat diartikan sebagai perempuan sundal/ harlot dapat juga diartikan sebagai seorang perempuan pemilik penginapan/ innkeeper, sebab kata zânâh tersebut dapat mengacu kepada dua arti tersebut (menurut Haddock’s Commentary on Sacred Scripture).
Jadi ayat ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa Allah menyuruh/ setuju dengan Simson untuk menikahi pelacur. Selanjutnya, seperti kita ketahui Simson jatuh cinta kepada seorang perempuan, yang bernama Delila yang kisah lengkapnya dapat kita baca di Hak 16 dan 17.
Ini berbeda dengan kisah Nabi Hosea, yang memang diperintahkan oleh Allah untuk menikahi seorang zânâh/ perempuan sundal, demi memberi pengajaran kepada bangsa Israel yang telah bersundal hebat dan berpaling dari Tuhan karena berhala- berhala mereka (lih. Hos 1:2). Maka perkawinan Nabi Hosea dengan Gomer ini tidaklah untuk diinterpretasikan terpisah dari maksud Allah untuk mengajar umat-Nya, yaitu walaupun umat-Nya tidak setia, Allah tetap setia. Oleh sebab itu Allah mengutus nabinya, Nabi Hosea, untuk menampakkan kasih setia Allah kepada umat-Nya, sama seperti Ia memerintahkan Hosea untuk tetap setia kepada Gomer istrinya.
Maka inti dari kitab Hosea tersebut adalah bahwa Allah memanggil bangsa pilihan-Nya untuk bertobat dari berhala mereka yang merupakan perbuatan sundal di hadapan Allah; sambil mengingatkan kepada mereka, bahwa jika mereka bertobat, Allah akan mengampuni mereka. Hal ini jelas disebutkan dalam Hos 14.
Dengan melihat makna ini, maka tidaklah benar jika seseorang menyimpulkan bahwa secara umum Allah memperbolehkan atau bahkan menyuruh seseorang menikah dengan pelacur. Karena yang terjadi pada kasus Hosea itu adalah kasus yang khusus, dan sungguh menuntut pengorbanan dan kelapangan hati dari pihak Nabi Hosea. Namun secara umum untuk semua orang, Allah tidak menghendaki hal tersebut. Ini terlihat bahwa Allah dengan jelas melarang perzinahan (lihat perintah 6 dan 9 dari kesepuluh perintah Allah, Kel 20: 14, 17).
3. Jadi, bolehkah kawin dengan pelacur?
Dengan melihat uraian di atas, maka menikahi pelacur yang belum bertobat bukanlah tindakan yang sesuai dengan perintah Tuhan. Jadi masalahnya di sini bukan apakah sang pelacur itu Katolik atau tidak. Sebab jika ia seorang Katolik yang taat, pastilah ia mau meninggalkan kehidupannya yang lama sebagai seorang pelacur, untuk hidup baru bersama Yesus -dengan pekerjaan yang lebih sesuai dengan ajaran iman Kristiani. Artinya jika ia seorang Katolik yang baik, ia tidak lagi mau hidup dalam dosa dengan bekerja sebagai pelacur. Baik untuk diingat adalah perkataan Yesus kepada perempuan yang berzinah itu, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yoh 8:11)
Demikian tanggapan saya, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
soal “Karma” & “Reinkarnasi”…..saya ingin menanyakan bagaimana jika dihubungkan dengan kepercayaan & adat-budaya (misalkan budaya jawa) ??
dan bukankah agama katholik itu sejatinya menyatu dengan adat-budaya ditempat dimana agama katholik itu berada ??
misalkan seorang pelacur bertobat kemudian menikah dan mempunyai anak yang kebetulan jenis kelaminnya perempuan….ataupun serang wanita yang melakukan aborsi (akibat sex-pra nikah) maka dalam ilmu budaya jawa, anak ini dapat mewariskan dominasi ibu-nya (ada peluang besar terjadi seperti ibu nya, jadi pelacur ataupun melakukan sex-pranikah juga & aborsi)…apalagi dalam ilmu budaya jawa terkenal dengan “bibit-bebet-bobot” yang tidak bisa dipungkiri “MANJUR”…. terbukti ces-pleng gitu.
nah, jika dikaitkan dengan “karma & reinkarnasi” hal ini sangat erat kaitannya, maka dari itu bagaimana sebaiknya sebagai orang katholik kita menyikapi hal ini ??
terima kasih semoga bermanfaat bagi semua pembaca & menambah wawasan ke imanan kita bersama.
ohja, satu lagi… dalam sebuah seminar agama.. pernah saya menanyakan ke Romo pembicara “apakah dibenarkan menikahi perempuan nakal dgn tujuan mengentas dia dari lembah nista”…maka saat itu dijawab “TIDAK sebaiknya”…dengan alasan yang kurang bisa saya pahami (karena mengaitkan dengan konsili2 yang saya kurang pahami).
apakah orang berdosa selamanya berdosa (pintu ampun dimana ..dimana…??..)
bagaimana dengan maria magdalena….?? nabi Hosea (malah mendapat mandat khusus dari Tuhan).
terimakasih…GBU.
Salam Lumen,
Karma dan reinkarnasi bukan ajaran Kejawen dan bukan budaya Jawa. Reinkarnasi tidak pula sesuai dengan ajaran iman Katolik, silakan klik
Karma tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik, silakan klik.
Mengenai inkulturasi dan kejawen, silakan klik pada tanya jawab di bawah artikel, diterangkan pula mengenai unsur kejawen yang tidak sesuai dengan Ajaran katolik. Gereja Katolik menghargai unsur-unsur budaya yang tidak bertentangan dengan iman Katolik, termasuk memakai unsur yang baik dari budaya Jawa untuk penginjilan membawa orang Jawa pada Kristus dan membawa Kristus pada orang Jawa. Namun Gereja memurnikan atau mengkritisi unsur budaya yang tidak sesuai dengan iman dan moral Katolik.
Bibit-bobot-bebet berbeda dari konsep karma-reinkarnasi. Bibit-bobot-bebet adalah ajaran Jawa kuno untuk mencari jodoh bagi pasangan yang mau menikah. Jodoh yang mau dinikahi haruslah memperhatikan faktor bibit, yaitu leluhur (penurun genetik) termasuk di dalamnya kesehatan dan penyakit keturunan, dan kesetaraan status sosial dengan calon pasangan. Bobot ialah mutu kedewasaan pribadi dan pendidikan. Bebet ialah pekerjaan atau kekuatan untuk menghidupi keluarga secara ekonomi. Untuk zaman sekarang, ada istilah “beauty-behaviour-brain” sebagai kriteria pula untuk mencari jodoh. Intinya ialah sebanyak mungkin ada kecocokan walaupun ketidakcocokan selalu ada, dan karena itu jelas mutlak harus ada komitmen.
Namun demikian, tidak bisa disimpulkan bahwa anak pelacur pasti akan menjadi pelacur. Jika ia dipindahkan dari suasana pelacuran ke suasana yang lain sama sekali, hasilnya juga lain. Ikan sakit jika dipindahkan ke kolam yang segar dan sehat, akan menjadi segar dan sehat pula. Misalnya, anak dari seorang ibu yang kelakuan hidupnya kurang baik setelah dipindahkan dari lingkungan yang buruk, dididik secara baik, akan menjadi pribadi yang lain sama sekali dari ibu biologisnya. Jadi, masih ada penentu lain, yaitu pendidikan, pembimbing, dan lingkungan. Banyak kisah pertobatan karena faktor-faktor lingkungan, pendidikan, dan pembimbing.
Motivasi untuk menikahi pelacur dengan tujuan membuatnya menjadi orang baik bukanlah motivasi perkawinan yang tepat. Walaupun demikian, seorang pelacur berhak untuk menikah dengan seorang lelaki yang mengasihinya dan berkomitmen setia setiap detik sampai mati. Mulia sekali jika seorang lelaki mau mencintai sepenuh hati (mantan) pelacur, dan mulia sekali jika pelacur mau bertobat dan mencintai seorang lelaki sebagai suaminya seumur hidup dengan tulus, bukan karena motivasi egoisme (memburu kenikmatan seksual maupun uang), namun karena motivasi luhur saling menguduskan, seperti ajaran Katolik mengenai perkawinan. Namun harus diingat bahwa yang ideal itu tidak mudah, mengenai hal ini silakan klik di sini
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Tetapi romo soal reinkarnasi….kenapa kita sering suatu ketika mengalami suatu kejadian yang seperti kita merasa pernah alami sebelumnya, ataupun ketika kita berjumpa dengan seseorang kita merasa kita pernah mengenalnya (padahal baru pertama kali bertemu)…istilah nya “DEJAVU”….apakah ini bukan termasuk reinkarnasi ??
mengenai bibit-bebet-bobot…..kita sering melihat di masyarakat tentang adanya gen ataupun keturunan yang misalnya gila, hamil di luar nikah…dan setelah ditelusuri ternyata berkaitan dengan silsilah keluarganya….apakah hal ini diakui oleh gereja katolik ??
(misal dulu keturunannya ada yang hamil di luar nikah, ada juga yang gila, bercerai, …seperti halnya penyakit kanker & serangan jantung, diabetes yang diturunkan ke generasi berikutnya)
oh ya, saya mau bertanya juga apakah jika suami-istri bercerai kemudian masing-masing menikah lagi dengan orang yang berbeda,…dapat dikatakan berzinah ??
bagaimana status anaknya…haramkah anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut ??
bolehkah menerima komuni kudus ??
trims (^-^)v
Kasus-kasus yang Anda sampaikan itu merupakan pernyataan yang masih harus dibuktikan, atau masih asumsi. Dalam hal ini, harus dihadapkan pada argumen akan adanya kebebasan. Manusia dianugerahi kebebasan oleh Allah. Ada orang yang melaksanakan kebebasannya dengan penuh tanggung jawab, ada yang melaksanakan kebebasannya dengan tidak bertanggung jawab, misalnya dengan mencelakai orang lain dan dirinya sendiri. Pilihan untuk mau berbuat baik atau jahat selalu tersedia di depan kita, tak peduli leluhur kita dulu memilih apa. Pilihan untuk mau berbuat zina sehingga hamil di luar nikah, dan pilihan untuk berpacaran secara hormat dan bertanggung jawab, ada di hadapan orang dari zaman ke zaman. Kita memiliki kebebasan untuk memilih saat ini juga untuk berbuat egois, walaupun leluhur kita orang suci. Walaupun leluhur kita berdosa, namun kita bisa memilih dengan kebebasan kita, untuk memilih kekudusan. Orang bebas untuk memilih perilakunya dan menanggung konsekuensi dari perilakunya. Kebebasan kita sebagai orang yang beriman ialah, mengarahkan kebebasan itu demi memenuhi kehendak Allah. Lihatlah Tuhan Yesus Kristus. Beliau dengan kebebasan-Nya, bersedia dengan rela untuk menjalani hukuman salib. Dalam Dia, teori reinkarnasi gugur demi kebenaran, yaitu Dia sendiri, Sang Jalan, Kebenaran dan Hidup.
Jika suami atau istri menceraikan pasangannya lalu menikah lagi, maka perkawinan yang kedua itu tidak sah. Yang tidak sah ialah perkawinannya, yang berdosa ialah kedua orang itu, sedangkan anak yang terlahir dari mereka berdua tetaplah anak biologis sah objektif dari kedua orang itu. Maka, dalam akta kelahiran tetap bisa diurus secara legal-formal, bahwa anak tersebut merupakan anak kandung dari ayah dan ibunya itu. Seorang anak tetaplah ciptaan Allah melalui perjumpaan sel sperma ayahnya dan sel telur ibunya. Mencap anak yang demikian sebagai anak haram merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan kasih dan melukai Allah yang menghendaki ia ada di dunia. Yang disesali bukanlah anak yang terlahir itu, namun dosa kedua orang dewasa ayah ibunya yang mutlak harus bertobat. Caranya, kembali kepada keluarganya namun juga tetap mengasihi anak yang dari hasil hubungan tidak sah itu. Di sinilah makna pengampunan dan kasih berdasar kebenaran dan tanggung jawab sesuai kehendak Tuhan. Orang-orang yang terkait dengan kasus itu, dituntut kedewasaan dan kedalaman iman, dan pasti bisa melaksanakannya jika mau rendah hati di hadapan Tuhan dengan mengikuti bimbingan Gereja-Nya..
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Hi Lumen,
Saya ingin meyampaikan sedikit pandangan saya mengenai dejavu, syukur-syukur segaris dengan ajaran Gereja. Dejavu bukanlah sebuah bukti dari reinkarnasi. Saya sendiri sering mengalami dejavu, setiap kali mengalami dejavu saya menikmati dan mencoba menganalisa mulai dari kejadian apa sampai apa yang bagian dari dejavu. Kemudian tempat kejadian saat dejavu, bangunan di sekitar, pepohonan, dan kalau berkaitan dengan orang tertentu ya di amati juga.
Contoh dejavu yang saya alami saat saya sedang ujian di lantai atas di sebuah gedung tinggi di bilangan Sudirman, Jakarta. Dari tempat duduk saya, saya bisa melihat pohon – pohon yang diletakkan di pot di balkon gedung tersebut dan menikmati awan tersebut juga menikmati langit – langit gedung yang indah. Saat itu saya berusia 18 tahun. Gedung tersebut usianya tidak sampai 18 tahun dan saat itu adalah pertama kalinya saya berada di ruangan tersebut. Sangat tidak logis kalau ini dijadikan bukti reinkarnasi.
Yang saya yakini dari setiap dejavu yang saya alami adalah penguatan dari Tuhan bahwa saya berada di tempat yang benar dan di saat yang benar. Kalau berkaitan dengan seseorang, berarti itu rencana Tuhan untuk bertemu dengan orang tersebut. Balik ke contoh di atas, ujian yang saya maksud di atas ialah ujian masuk perguruan tinggi di Australia. Sedangkan waktu itu saya punya banyak pilihan lain seperti Cina, Belanda, atau Jerman. Tetapi setelah dejavu itu saya merasa Tuhan punya rencana yang baik bagi saya untuk ke Australia.
Salam,
Edwin ST
Shaloom ibu Ingrid
saya mau bertanya, saya pernah melakukan aborsi beberapa tahun yang lalu,…dan saya merasa sangat berdosa, bahkan saya merasa kalau dosa yg saya lakukan tdk akan pernah diampuni, dan juga dosa berzinah boleh dibila ng,hukum yg ada 10 firman Tuhan yg terhadap manusia sudah saya lakukan, tapi saya tidak pernah henti2 meminta ampun kepada Tuhan Yesus, saya tidak pernah meninggalkan gereja, bahkan saya sering ikut ibadah lain, berdoa, membaca Alkitab tapi tetap aja saya merasa berdosa, dan saat ini saya merencanakan untuk menikah dengan orang asing (German) sementara ini kami sedang mengurus surat2 kami di German, dan saya akan menikah secara Katholik di German saya sendiri Kristen Protestan, saya mau bersedia menikah secara Katolik, dan ingin jadi pengikut Kristen Katholik, yang saya ingin tanyakan:
1. Apa yg harus saya lakukan sebelum menikah, saya ingin bersih dari dosa2 saya sebelum menikah
2. Bolehkah menikah di gereja Katolik tanpa ada orang tua yang mendampingi saya.
Saya mohon petunjuknya trimakasih
TUHAN YESUS memberkati kita
Shalom Marlim,
1. Apa yang harus dilakukan agar bersih dari dosa aborsi?
Bagi umat Katolik, jika mau menerima rahmat pengampunan dosa terutama untuk dosa yang berat, kami mengaku dosa kepada Tuhan di hadapan imam-Nya dalam sakramen Pengakuan Dosa. Pengakuan dosa di hadapan imam adalah cara pengakuan dosa yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus, seperti yang diajarkan-Nya di Injil Yoh 20:22-23. Maka walaupun kita dapat mengaku dosa dalam doa-doa pribadi, kita dapat dilepaskan dari keterikatan terhadap dosa dan dari perasaan bersalah oleh rahmat Allah dalam sakramen Pengakuan Dosa. Tuhan Yesus telah memberikan kuasa kepada Gereja-Nya untuk memberikan rahmat pengampunan-Nya melalui sakramen ini. Lebih lanjut tentang hal ini, anda dapat membaca di artikel ini:
Masih perlukah Pengakuan Dosa, bagian 2, silakan klik
Masih perlukah Pengakuan Dosa, bagian 3, silakan klik
Nah khusus untuk dosa aborsi, terdapat ketentuan khusus, karena termasuk katagori dosa berat yaitu membunuh, dan sayangnya sering tidak terlalu disadari gravity-nya bahkan oleh pihak- pihak yang melakukannya. Dosa aborsi, menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK), kan. 1398, memang secara langsung/ dengan sendirinya (latae sententia) membuat seseorang yang melakukannya terkena sangsi ekskomunikasi, sehingga hanya dapat menerima pengampunan dari Bapa Uskup atau para imam tertentu yang telah mendapat delegasi dari Bapa Uskup untuk memberikan pengampunan dosa aborsi ini. Maksud Gereja menentukan demikian, tentu baik, yaitu untuk memberikan pendidikan kepada umat tentang beratnya dosa aborsi ini, supaya umat tidak dengan ‘mudah’ melakukan dosa ini dengan berpikiran, “nanti kan tinggal mengaku dosa kepada pastor.” Namun, saya percaya, tidak demikian halnya dengan anda, karena dari surat anda, sayapun dapat menangkap bahwa anda sungguh sudah bertobat, dan sepenuhnya menyadari beratnya dosa aborsi ini.
Karena anda bukan Katolik, maka memang ketentuan mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa ini tidak mengikat anda. Hanya karena anda bertanya kepada kami, maka kami memberitahukannya kepada anda, dengan mengandaikan jika kasus anda terjadi pada seorang perempuan Katolik. Sebab absolusi dalam sakramen Pengakuan Dosa hanya dapat diberikan kepada peniten yang telah menerima sakramen Baptis di Gereja Katolik. Jika absolusi dan rahmat Tuhan sudah diterima, maka seseorang dapat yakin bahwa ia tidak lagi terikat oleh dosa tersebut.
2. Bolehkah menikah tanpa orang tua yang mendampingi?
Syarat perkawinan yang sah menurut Gereja Katolik adalah bahwa perkawinan itu harus diberkati oleh imam atau diakon tertahbis yang ditugasi untuk itu, dan dihadiri oleh dua orang saksi, yang memberi kesaksian bahwa tidak ada halangan terhadap perkawinan tersebut. Saksi ini tentulah harus orang yang mengenal pasangan dengan baik, untuk dapat memberikan kesaksian di hadapan Tuhan dan Gereja, bahwa tidak ada halangan untuk melaksanakan pemberkatan perkawinan tersebut. Katekismus mengajarkan:
KGK 1630 Imam atau diaken yang bertugas dalam upacara Perkawinan, menerima kesepakatan kedua mempelai atas nama Gereja dan memberi berkat Gereja. Kehadiran pejabat Gereja dan saksi-saksi Perkawinan menyatakan dengan jelas bahwa Perkawinan adalah satu bentuk kehidupan Gereja.
KGK 1631 Karena alasan ini Gereja biasanya menuntut dari umat berimannya, bahwa mereka mengikat Perkawinan dalam bentuk Gereja (Bdk. Konsili Trente: DS 1813-1816; KHK, kan. 1108). Untuk ketentuan ini terdapat beberapa alasan:
– Perkawinan sakramental adalah satu kegiatan liturgi. Karena itu pantas bahwa ia dirayakan dalam liturgi resmi Gereja.
– Perkawinan mengantar masuk ke dalam suatu status Gereja; ia menciptakan hak dan kewajiban antara suami isteri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja.
– Karena Perkawinan adalah status hidup di dalam Gereja, harus ada kepastian mengenai peresmian Perkawinan
– Karena itu kehadiran para saksi sungguh mutlak perlu.
– Sifat publik dari kesepakatan melindungi perkataan Ya yang pernah diberikan dan membantu agar setia kepadanya.
Dengan demikian kehadiran orang tua mempelai, walaupun memang penting, namun tidak menjadi syarat ke- sah- an suatu perkawinan Katolik.
Selanjutnya Romo Wanta mengatakan demikian:
“Perkawinan tanpa kehadiran orang tua juga tetap sah. Mungkin dalam bahaya maut, atau perkawinan rahasia karena ada ancaman yang membahayakan jiwa calon pengantin dari pihak tertentu, maka ketidakhadiran orang tua dimungkinkan. Jadi sepanjang perkawinan dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau imam atau diakon yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi maka perkawinan tersebut sah seperti dalam KHK kan 1108.”
Demikian tanggapan kami untuk pertanyaan anda. Semoga dapat menjadi masukan bagi anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Romo Wanta dan Ingrid Listiati- katolisitas.org
kalau memang sudah terjadi perceraian, dan pasangan kita kembali ke agama aslinya ( muslim) dan sdh menikah lagi. bagaimana mengurus perceraian tersebut? apakah dr pihak gereja bisa? atau ke pengadilan negeri sesuai aturan negara? sdh 5 th sy menunggu hal ini cepat ada keputusan dr gereja. klo toh saya urus di pengadilan apakah dr pihak gereja menyetujuinya? dan bisakah nanti saya menikah lagi di Gereja? terima kasih,
dwi
Dwi Yth
Persoalan perceraian sipil bukanlah ranah kerja dari Gereja. Gereja Katolik hanya urusan spiritual (rohani). Maka silakan diurus secara sipil tentang perceraian, jika rujuk tidak mungkin; dan itu bisa dilakukan sendiri dengan pengacara. Tidak perlu menunggu pihak Gereja Katolik. Gereja Katolik hanya mengurusi pembatalan perkawinan, jika memang terdapat dasar halangan/ cacat yang membatalkan perkawinan, sejak sebelum perkawinan itu terjadi. Gereja menyetujui perceraian sipil sebagai bentuk pisah ranjang, jika rujuk/ jalan damai rekonsiliasi tidak bisa dilakukan. Soal menikah lagi di Gereja Katolik saya kira bisa tergantung dari materi perkara perkawinan yang anda alami, dan jika ijin pembatalan perkawinan terdahulu sudah diperoleh.
salam
Rm Wanta
Kalau boleh menambahkan. Misalnya pelacurnya seorang katolik dan sudah pernah menikah secara katolik, tentu tidak boleh dinikahi , bukan? Thx
[dari katolisitas: Semua orang – baik pelacur maupun bukan – kalau mempunyai halangan perkawinan tidak dapat menikah secara Katolik.]
Syalom Ibu Ingrid
Agama kita melarang seseorang berbuat zinah, tapi bagaimana kalau ada laki-laki Katolik menikahi seorang pelacur boleh tidak ?
Saya pernah baca juga di Alkitab saya lupa dimana : bahkan Tuhan menyuruh seorang nabinya untuk mengawini seorang pelacur,untuk melahirkan anak-anak pelacur.
Juga Simson bahkan ber-ulang2 berbuat zinah dengan pelacur,namun Allah masih menyertai hidupnya, bahkan se-akan2 itu adalah kehendak Tuhan untuk menghancurkan bangsa Filistin (seperti yang tertulis di kitab Hakim-hakim).
Apakah sebab mereka hidup di zaman sebelum Yesus maka kawin dengan pelacur masih boleh, atau sampai sekarangpun seseorang masih boleh menikahi seorang pelacur,asal perempuan tsb menjadi seorang Katolik ?
Laras
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Syalom
Ibu Larasati.
Coba ingat perkataan Tuhan berikut ini tentang pelacur :
Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan MENDAHULUI kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Dimata Tuhan pelacur atau bukan tidak ada bedanya jika mereka BERTAUBAT dan kembali ke jalan yang benar. Anak yang terhilang disambut oleh Bapaknya dan dipestakan, setelah menghabiskan hartanya dengan pelacur.
Jadi jika ada teman anda yang mungkin akan menikahi seorang pelacur itu sah-sah saja , asalkan dia mau membimbing pelacur tsb yang akan jadi istrinya kembali ke jalan Tuhan.
Saya tidak mengerti tentang jawaban Ibu Ingrid terhadap Pak Saulus berikut ini :
dari katolisitas: Semua orang – baik pelacur maupun bukan – kalau MEMPUNYAI HALANGAN PERKAWINAN tidak dapat menikah secara Katolik.
Sedangkan Paus saja mengizinkan memakai kondom untuk mencegah penularan penyakit AID.
Yunita
Shalom Yunita,
Perihal hal- hal apa yang menjadi halangan pernikahan, sudah pernah dibahas dalam artikel ini, silakan klik. Maka siapapun yang terhalang oleh salah satu dari halangan ini, sesungguhnya tidak dapat menikah dengan sah secara Katolik, atau jika menikah, ia memasuki pernikahan dengan kondisi yang sebenarnya tidak sah/ memenuhi syarat pernikahan Katolik.
Selanjutnya, anda keliru jika mengatakan bahwa Paus Benediktus XVI memperbolehkan kondom. Silakan anda membaca kedua artikel ini, yang memuat klarifikasinya (silakan klik di judul berikut):
Paus bicara apa soal kondom?
Klarifikasi Vatikan perihal pernyataan Paus tentang kondom
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.