Dari sejumlah murid Sekolah Minggu di paroki Katedral Sacred Heart of Jesus, Keuskupan Galveston-Houston di mana saya membantu mengajar, Kristen, dengan rambut ikalnya yang dikepang kecil-kecil, memang tampak berbeda. Bukan karena dia satu-satunya anak berkulit hitam di kelas usia 7-9 tahun itu, tetapi keceriaannya yang sangat spontan selalu membuat saya betah mengajaknya mengobrol di sela-sela waktu kosong, sambil menunggu orangtuanya datang menjemput sesudah kelas usai.
Suatu hari saya bertanya kepada Kristen apa warna kesukaannya. “Green”, jawabnya segera, sambil memamerkan senyum cerianya yang khas. Ketika saya bertanya lebih lanjut, mengapa dia suka warna hijau, Kristen dengan spontan nyaris tanpa berpikir, menjawab, karena warna itu mengingatkannya pada uang. “I looovee money…” sambungnya lagi dengan penuh semangat. Ya, uang dollar Amerika memang berwarna kehijauan, terutama lembaran satu dollar, yang tentu lebih banyak dilihat dan dipegang anak seusia Kristen daripada lembaran dengan nilai yang lebih tinggi.
Saya agak terhenyak mendapat jawaban yang tidak terduga itu. Seorang anak 7 tahun yang mencintai uang. Saya bertanya kembali apa istimewanya uang baginya sehingga ia mencintai uang. Ia menjawab sambil memandang saya dengan mata polosnya yang berbinar-binar, “Because we can have everything we want with money”. Saya tersenyum, “smart girl”, pikir saya. Saya belum sempat bercakap-cakap lebih jauh dengan Kristen, ketika ibunya yang sedang hamil datang menjemputnya sambil menggandeng adiknya yang baru berumur 2 tahun. Setelah mengucapkan selamat tinggal, Kristen segera menghilang di balik pintu kelas dengan langkah melompat-lompat seperti seekor kelinci yang kegirangan. Saya tercenung menyadari tingkahnya yang penuh kegembiraan itu, sambil membayangkan apa yang dilakukan kedua orangtuanya dalam kehidupan keluarga sehari-hari, walau mungkin bukan sesuatu yang mereka sadari, sehingga di usia sedini itu Kristen mempunyai disposisi khusus kepada uang?
Betapa antusiasnya jiwa seorang kanak-kanak memandang kehidupan. Baginya segala sesuatu adalah baik adanya dan penuh dengan kemungkinan. Saya membayangkannya seperti mata Tuhan sendiri ketika pertama kali menciptakan kita. Semuanya baik, semuanya mungkin, semuanya mulia, karena Tuhan menciptakan dengan tujuan yang indah dan mulia sejak semula.
Usia kanak-kanak, terutama di saat usia dini sekitar usia 2-10 tahun, sangat ideal untuk memperkenalkan segala yang baik dan mulia yang diajarkan Tuhan, yang sangat penting sebagai landasan bagi manusia untuk menjalani hidup yang penuh tantangan ini. Karena kepolosan dan rasa percayanya yang besar kepada kehidupan terutama kepada orang-orang dewasa yang menjadi figur panutannya, anak-anak akan mengikuti dengan sendirinya definisi yang kita berikan kepada mereka tentang kebahagiaan, tentang kesedihan, tentang nilai kehidupan, tergantung apa yang kita berikan kepadanya untuk dipercayai. Jika itu sesuatu yang luhur, maka seringkali jika hanya diungkapkan sekedar dalam kata-kata, nilai itu tidak menjadi miliknya. Tetapi bila hal itu dilihat dan dialaminya sendiri melalui perbuatan nyata, maka nilai itu menetap dan menjadi bagian dari diri mereka.
Pikiran saya melayang kepada keponakan saya di tanah air, yang seusia dengan Kristen. Pada Natal dua tahun lalu, saya mengajaknya merayakan kelahiran bayi Yesus dengan merelakan satu atau dua mobil-mobilan dari koleksi mobil mainannya yang sangat banyak, untuk diberikan kepada tetangga atau anak pembantu kami yang diketahuinya ingin mempunyai mainan tetapi tidak mempunyai uang untuk membelinya. Melihatnya lama menimbang-nimbang, tiba-tiba saya berkesempatan menegur diri saya sendiri, relakah saya sendiri juga melepaskan satu atau dua pasang sepatu saya dari kumpulan sepatu kesayangan saya untuk orang lain yang saya lihat sedang memerlukan? Bukan yang sudah mulai pudar warnanya atau yang sudah tidak muat lagi di kaki saya, tetapi yang masih bagus dan utuh, serta indah warnanya. Kalau saya meminta keponakan saya mempunyai nilai yang luhur untuk menjadi nilai yang diyakininya, saya harus mulai dengan diri sendiri dulu dan memberinya contoh nyata yang tidak akan dilupakannya. Oleh karena itu, mengajar nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak sesungguhnya adalah mengajar diri kita sendiri. Saya tidak dapat memberikan pengajaran nilai yang saya sendiri tidak mempraktekkannya. Jika hanya sekedar kata-kata dan nasehat yang saya sendiri belum tentu melakukannya, maka bukan hanya saya akan akan jatuh dalam dosa kemunafikan, anak-anak pun tidak akan menganggapnya cukup serius untuk dijadikan nilai hidup yang harus diperjuangkan.
Nilai-nilai takut akan Tuhan dan selalu berdoa untuk senantiasa dekat kepada Tuhan, mampu diserap dengan baik oleh anak-anak bila orangtua, sanak saudara, dan guru-gurunya juga senantiasa mempunyai sikap takut akan Tuhan dalam kehidupan nyata dan selalu berdoa dengan tekun siang dan malam. Sebaliknya, ketika saya mengajar mereka bahwa bergosip itu tidak baik dan menyedihkan hati Tuhan, tetapi saya masih membicarakan kelemahan pribadi tetangga atau membicarakan kesalahan orang lain di belakang punggungnya, maka anak-anak di sekitar saya akan menganggapnya sesuatu yang biasa dan lumrah untuk dilakukan.
Saya masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk Kristen, pekerjaan rumah bagi diri saya sendiri. Kelak Kristen akan mengerti bahwa tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dengan uang, dan tidak semua yang bisa didapatkan dengan uang akan membuat kita bahagia. Karena uang hanyalah sarana yang dikaruniakan Tuhan. Sebagaimana semangat kasih Tuhan yang mengaruniakannya sebagai suatu sarana, uang hanya akan benar-benar indah jika ia menjadi sarana untuk meringankan penderitaan dan kesusahan sesama manusia dan menyatakan kasih kita kepada Tuhan, dan bukan hanya untuk memuaskan kesenangan diri kita sendiri. Itulah tujuan sebenarnya dari uang, sama seperti sarana-sarana lainnya dalam hidup. Namun proses seperti apa yang akan membuat Kristen mengerti, juga tergantung dari bagaimana orang-orang dewasa di sekitarnya menunjukkan jalan kepada pemahaman itu, dan orang terdekat itu adalah orangtua dan guru-gurunya, termasuk saya.
Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 19:14)
renungan yg jadi pedoman yg membantu bagi hidup kita.
Terimakasih atas tulisannya Ibu Uti… :)
ini menyadarkan saya, untuk lebih aware lagi dalam mendidik putra-putri saya. Bukan hanya teori saja…tapi juga praktek dan teladan hidup buat mereka.
Terimakasih!
[dari Katolisitas: sama-sama, Ibu Caecilia, kita saling mendoakan dan saling menyemangati, semoga Tuhan memberkati usaha Ibu memberikan teladan iman dan kasih untuk anak-anak Ibu –Triastuti-]
Syalom ibu Caecilia/Ibu Inggrid,
Sangat menarik renungan dari ibu, sungguh menambah wawasan & semangat saya sebagai orang tua (terutama sbg ayah). Mohon sharingnya bagi saya untuk dapat memperkenalkan (mengkomunikasikan) segala kebaikan Tuhan kpd anak saya (usia 2 thn) atau link website Katolik yang dpt mendukung perkembangan iman anak saya, karena jujur saya masih terus bergumul dengan kesulitan saya untuk dapat mengajak anak saya berdoa dan menanamkan prinsip iman Katolik kpd anak saya.
Terimakasih kpd Tim Pengasuh katolisitas.
semoga kasih & doa Bunda Maria akan membawa kita semua pada Sang Putra.
Comments are closed.