Kesederhanaan hidup seorang imam adalah bagian integral dari hidup panggilannya secara utuh. Kesederhanaan pula yang menjadi semangat hidup dan karya Bapa Paus Fransiskus selama karya imamatnya. Beliau mengambil nama St Fransiskus karena teladan kesederhanaan hidup dari St. Fransiskus dari Asisi dalam segala aspek kehidupan tokoh kudus Gereja tersebut. Kesederhanaan hidup para imam ini secara jelas memantulkan kekudusan dan Terang Kristus kepada umat di sekitar-Nya, sebab mereka secara istimewa mengambil gaya hidup Kristus sebagai gaya hidup mereka sendiri.
Maka semua imam, baik imam anggota suatu Ordo religius, maupun imam Diocesan (RD) yang juga sering dikenal dengan sebutan imam ‘projo’, dipanggil untuk hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang pelayan Tuhan. Imam-imam dari Ordo religius memang umumnya terikat oleh kaul ketaatan, kemurnian dan kemiskinan, sesuai dengan spiritualitas pendiri Ordo tersebut. Maka para imam dari Ordo religius ini terikat ketentuan untuk menjadikan hampir semua harta miliknya menjadi milik komunitas Ordo tersebut, hanya ada kekecualian untuk barang-barang pribadi. Namun imam-imam diocesan tidak terikat kaul kemiskinan, artinya diperbolehkan mempunyai kepemilikan tertentu, untuk menunjang pelayanannya. Maka ada sejumlah orang mengira bahwa karena para imam projo tidak terikat kaul kemiskinan, maka mereka boleh hidup seperti kaum awam dan boleh hidup dalam ‘kemewahan’. Benarkah demikian? Berikut ini adalah jawaban dari Rm. Santo:
Projo itu bukan ordo. Projo ialah terjemahan Jawa dari Pr, yang sebenarnya berarti Priest atau imam. Projo sendiri dalam bahasa Jawa berarti “rakyat’. Maka, imam ialah orang yang ditahbiskan untuk melaksanakan tugas imamat bersama rakyat. Jangan sampai imam membuat sandungan karena gaya hidup mewah. Imam wajib hidup berpenampilan wajar sebagai imam di tengah rakyat. (Bdk. Pedoman Imam, KWI). Imam di tengah kota di Singapura akan hidup sesuai dengan gaya hidup gaya Singapura, yang terbiasa ada alat-alat hidup di kota itu. Imam di sebuah distrik pedalaman Papua, hidup dengan alat-alat yang dibutuhkan di sana.
Seorang imam terikat kewajiban untuk hidup murni selibat, taat dan hidup sederhana demi pelayanan dan pewartaan Injil. Gaya hidup dan sikap “lepas bebas” ini sudah dibina sejak seminari sebagai calon imam. Imam (Priest) Pr. (RD) tidak mengucapkan kaul tetapi mengucapkan janji karena kasihnya pada Kristus dan Gereja-Nya sesuai tuntutan hukum Gereja. Karena keterikatan kewajiban untuk hidup selibat, taat, dan sederhana, maka seorang selibater yang kaya bagaikan seorang gendut yang ingin menang lomba lari cepat 100 m, pastilah gagal mencapai tujuannya (menurut penulis buku rohani Henri JM Nouwen).
Nah, maka jika Anda menemukan seorang Romo Pr/ RD yang nampaknya hidupnya tidak sesuai dengan panggilan hidup seorang imam (selibat, taat, sederhana), maka Anda dapat mengingatkan beliau, tentu dengan motivasi kasih. Jika keuskupan sudah menegur, maka Anda ikut mengingatkan agar imam tersebut dan Dewan Paroki memfungsikan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Sementara ini, Anda bisa bertanya kepada bendahara jika merasa terdesak untuk mengetahui keuangan paroki. Keuangan pastoran adalah keuangan rumah tangga pastoran, dikelola oleh pastor-pastor di rumah pastoran. Hal ini berbeda dari keuangan paroki. Keuangan paroki terpisah dari keuangan pastoran. Paroki memberi subsidi kepada pastoran dan pastoran memberi pertanggungjawaban laporan. Hal ini diatur dalam Tata Keuangan Paroki yang diterbitkan oleh Keuskupan. Lagi pula, imam bisa dan biasanya dipindahkan oleh uskup, setelah mencapai jangka waktu tertentu. Jika pindah, imam membawa barang yang menjadi milik/hak pribadinya saja yang adalah penunjang kehidupan dan pelayanannya. Harta milik pastoran menjadi milik pastoran itu (inventaris pastoran) dan harus tetap tinggal di pastoran itu, tak boleh dibawa pindah. Barang paroki pun tak boleh dibawa. Karena itu, sebagai umat yang baik, Anda harus berdoa dan sekaligus ikut mengingatkannya dengan kasih.
Sikap terhadap uang kolekte selalu sama dari abad ke abad yaitu sukarela. Dari pihak pemberi kolekte, sikap yang dituntut ialah sukarela. Dari pihak yang mengelola, sikap yang dituntut ialah mengelolanya sesuai maksudnya.
Artikel mengenai kolekte, iura stolae dan stipendium dapat diikuti lebih lanjut dalam artikel ini:
Kolekte sebagai kegiatan liturgis: Bawa Pasar ke Altar dan Altar ke Pasar?
Dear Romo,
Saya mau menanyakan,ada seorang calon Imam PR/RD. Saat ini memasuki tahun terakhir dan akan melanjutkan ke tahap pentahbisan. Jika Ada masalah akan melaporkan ke pimpinan seminari,berikutnya ke Uskup dan berikutnya ke Paus? Di daerah pulau Jawa,Ada seorang pimpinan seminari yang otoriter. Semua kaum biarawan,biarawati dan Imam sudah tahu mengenai sifat dan sepakterjang pemimpin seminari tersebut. Segala keputusan pimpinan seminari sangat bertolak belakang dengan ajaran Yesus dan Konsili Vatikan. Singkat cerita, sekelompok frater (calon imam) akan mengundurkan diri karena kepemimpinan tersebut. Sudah menyampaikan surat ke Uskup tapi Uskup lebih percaya dengan dengan pimpinan seminari sehingga keputusan tetap di pimpinan seminari. Bagaimana cara yang terbaik untuk menyampaikan keluhan terhadap pimpinan seminari tersebut?
Felix Yth,
Permasalahan di seminari hendaknya diselesaikan oleh rektor dan pembina seminari. Jika tidak bisa diselesaikan maka para uskup pembina/pendiri seminari akan ikut bertanggungjawab. Pada umumnya jika sudah sampai sangat berat masalahnya. Kalau pimpinan otoriter tentu bukan masalah seminari melainkan cara pimpinan memimpin. Ada kalanya dibutuhkan kepemimpinan yang otoriter demi tegaknya disiplin dan hidup seminaris. Tapi tidak selalu cocok memimpin dengan otoriter. Ada pembina lain yang diajak bicara sehingga pembinaan lebih mengutamakan dialog komunikasi dengan para calon imam. Uskup lebih percaya pada pimpinan dan pembina lainnya memang benar karena pimpinan seminari adalah tangan kanan kepercayaan uskup (masuk akal). Seminaris bisa menyampaikan keluhannya ke pembina seminari bukan langsung ke uskup. Mulailah belajar berdialog-berkomunikasi dengan elok dan etis serta damai. Semua persoalan bisa diselesaikan tanpa mencederai satu dengan yang lain. Saya belum yakin keputusan pimpinan seminari bertolak belakang dengan ajaran Yesus dan KV II. Rektor dipilih pasti ada kualifikasi dan macam-macam seleksi, jadi tidak sembarang orang.
salam
Rm Wanta
Ketika seorang pastur diundang berbicara, di tv misalnya, apakah ia boleh meminta jumlah upah yang spesifik, ataukah ia
harus menerima berapa pun jumlahnya yang ditawarkan?
Misalnya, ada seorang pastur memiliki hobi menulis dan senang membuat buku dan pada suatu saat, buku yang ditulisnya meledak di pasaran dan ia pun menjadi kaya raya. bolehkah pastur itu memiliki kekayaannya itu? atau ia harus menyerahkan semuanya pada Gereja?
Kemudian bagaimana dengan paus yang hidup dengan nyaman dan banyak fasilitas? Bukankah itu jauh dari kesederhanaan?
Plastik yth,
Tidak dibenarkan pastor meminta jumlah upah spesifik, dia melayani dan menerima apa adanya, kecuali orang yang menentukan demikian tapi bukan dari dirinya.
Pastor jika memiliki royalti diberikan pada tarekatnya atau pada karya sosial karitatif untuk parokinya (keuskupan). Paus hidup sederhana, layak dan pantas seorang pimpinan Negara dan Gereja mendapat fasilitas yang orang lainpun memiliki, tidak berlebihan. Yang penting hati dan sikapnya tidak rakus, melainkan semua barang, uang, dan fasilitas hanya sarana, bukan tujuan hidup.
salam
Rm Wanta
Marilah kita semua selalu berdoa agar semakin banyak kaum muda terpanggil jadi imam krn imam sangat kurang.
Saya di Timika yg di “kota” aja kekurangan imam, apalagi yg di pedalaman.
Krn kurang imam, hri Kamis Putih misa dimulai pukul 21.30, padahal harusnya pukul 19.00. Itu krn menunggu imam selesai pimpin misa di katedral. Bayangkan, sebuah stasi katedral harus nunggu imam yg sedang pimpin misa di katedral agar bisa merayakan Ekaristi.
Jumat Agung dan malam Paskah benar benar sebuah kemewahan krn dapat bantuan romo projo dari Flores (seperti dulu Romo Santo membantu ke Timika).
Buat para seminaris yg baca tulisan ini, semoga semakin meneguhkan panggilan anda. Di kota kota memang tidak ada masalah perayaan Ekaristi. Namun di pedalaman, Ekaristi adalah kemewahan yg menggembirakan.
Dear Romo,
Mohon penjelasan; apakah yg dimaksud dengan “kaul”, apakah signifikansi/konsekuensi pada orang yg mengucapkan kaul?
Misalnya mengenai “kemurnian”. Semua orang yg sudah di-Baptis harus menjaga kemurnian dirinya sesuai janji Baptis. Dan bila dia jatuh dalam usahanya menjaga kemurnian, maka dia berdosa dan perlu mohon pengampunan Tuhan.
Tetapi, ada orang yang mengangkat “kemurnian” sebagai “kaul”. Apakah artinya bila dia terjatuh, maka dosanya lebih berat daripada yg tidak berkaul? Apa makna “kaul” bagi mereka, bukankah “dengan kaul” atau “tanpa kaul” semua orang yg di-Baptis wajib menjaga kemurnian dirinya?
Pertanyaan yg sama juga untuk “kaul ketaatan” dan “kaul kemiskinan”.
Terima kasih.
Salam Fxe,
Setiap orang Katolik wajib menjaga kemurnian, wajib taat pada ajaran Gereja Katolik, dan wajib menghayati kemiskinan. Namun demikian ada orang-orang yang secara khusus mau secara sukarela menghayati ketiga nasihat Injili itu dengan jalan hidupnya yang khas. Mereka ialah kaum biarawan/wati. Panggilan khas mereka diatur khusus dalam Kitab Hukum Kanonik dan Regula Biara. Karena itu, jika ada pelanggaran, maka konsekuensi dan cara perbaikan/pemulihan sosial-teologisnya pun khas. Istilah Anda “lebih berat”. Namun semangat tobat sejauh dilandasi cinta kasih tidak mengenal ukuran berat dan lebih berat. Jika tolok ukur mengasihi ialah Allah sendiri, maka ukuran kasih ialah tanpa ukuran, seperti kata St. Fransikus de Sales. Artinya, konsekuensi pertobatan seberat apapun jika didasari motif tobat sejati yaitu kasih, maka akan ditanggung dengan tabah.
Bapa Pengakuan akan memberikan hukuman setimpal dengan dosa yang dibuat oleh pengucap kaul sesuai dengan kesalahannya dan keadaan peniten. Bapa Pengakuan yang sama akan memberi pula hukuman bagi pengucap janji baptis dan janji perkawinan sesuai dengan tingkat kesalahannya dan keadaan peniten. Pengucap Kaul jika melakukan pelanggaran kaul secara publik pasti akan berhadapan pula dengan konsekuensi publik sesuai pelanggarannya. Demikian pula Pengucap Janji Baptis dan Janji Perkawinan yang melanggar norma publik/ melakukan dosa publik, maka konsekuensinya beratnya tergantung tingkat pelanggarannya. Konkretnya: Jika pengucap kaul kemurnian berhubungan gelap dengan orang lain secara publik, maka ia harus menanggung segala akibatnya secara riil, berhadapan dengan keluarga, dengan komunitas, pembesar dan umat serta masyarakat. Sebaliknya jika seorang Pengucap Janji Perkawinan berhubungan gelap dengan seorang lain secara publik, maka ia pun akan menanggung akibatnya secara publik di hadapan pasangannya, keluarga, masyarakat, bahkan pembesar di kantornya. Jadi, walaupun secara moral-teologis sama, namun secara sosial, orang-orang yang dengan niat sendiri telah berakaul secara publik untuk hidup miskin taat murni tentu secara publik akan kena konsekuensi mengalami kemerosotan kepercayaan jika melanggar sumpahnya secara publik, lebih merosot daripada kemerosotan kepercayaan seorang yang tidak mengucap kaul jika melanggarnya.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Romo Santo,
Bagaimana jika sebuah keuskupan berbisnis properti? Apakah itu dapat dibenarkan? Di keuskupan saya, keuskupan mempunyai bisnis properti (perumahan dengan lahan yang sangat luas, tidak kurang dari 10 hektar). Belum lagi bisnis menyewakan tempat untuk jualan (KFC dan Gelael). mohon tanggapan. terima kasih.
Salam Yusup Sumarno,
Boleh, dengan mengindahkan ketentuan negara dan Gereja itu sendiri. Negara menjamin setiap orang atau sekelompok orang, serikat atau asosiasi atau yayasan atau perkumpulan untuk berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri. Hak untuk berusaha dijamin oleh UU.
Gereja pun memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengelola harta milik Tuhan yang dipercayakan kepadanya dengan bertanggungjawab dan bertanggunggugat. Salah satunya ialah untuk memenuhi kebutuhan pelayanan pastoral atau missi pewartaan Injil. Maka lembaga dalam Gereja yang melakukan usaha, mesti melaksanakannya sesuai UU dan semua ketentuan yang berlaku di negara tersebut, dan mesti sesuai pula dengan ketentuan Gereja.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Romo Santo,
Banyak terima kasih atas tanggapan ini. Ini menyadarkan saya bahwa saya tidak perlu berburuk sangka karena Gereja setempat (keuskupan) juga harus menghidupi dirinya sendiri, seperti Biara Trappist Rawaseneng juga “berbisnis” kopi, susu dan lain lain. Sehat selalu buat Romo.
Salam damai Kristus Romo,
“Imam di tengah kota di Singapura akan hidup sesuai dengan gaya hidup gaya Singapura, yang terbiasa ada alat-alat hidup di kota itu. Imam di sebuah distrik pedalaman Papua, hidup dengan alat-alat yang dibutuhkan di sana.”
saya rasa kurang tepat pernyataan di atas, menurut sy dimanapun Imam berada HARUS lah hidup dgn GAYA(yg diajarkan)YESUS ( (selibat, taat, sederhana),
dan bukan hanya Imam yg harus hidup sederhana
Bukankah kita semua ( Imam / Umat ) di perintahkan oleh Yesus untuk hidup “Sederhana” ?
Mazmur 116:6 TUHAN memelihara orang-orang sederhana; aku sudah lemah, tetapi diselamatkan-Nya aku.
Roma 12:16 Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!
1 Timotius 2:9 Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal,
Titus 2:2 Laki-laki yang tua hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan.
GBU
Salam Kent,
Saya setuju. Imam di Singapura akan memiliki HP, dan hal ini merupakan kesederhanaan yang wajar di sana. Sederhana sejauh tujuan dan prakteknya ialah demi mudahnya dihubungi dan menghubungi umat untuk pelayanan. Imam di suatu tempat di Papua yang tidak terjangkau signal telpon selular, tidak perlu menggunakan HP, karena tiada berguna. Mobil pun tidak berguna. Sebaliknya, ia memerlukan pesawat terbang tipe baling-baling. Anda tahu, Keuskupan-keuskupan se-Papua memiliki maskapai penerbangan missi untuk menunjang pelayanan mereka. Pesawat-pesawat baling-baling dan radio HT lebih berguna daripada mobil dan HP karena menjangkau pedalaman hutan pebukitan dan gunung-gunung, dengan membawa bantuan logistik, dan sarana-sarana lain. Mahal sekali biaya untuk missi di Papua. Hal ini tidak terpikirkan oleh seorang imam di sebuah paroki di tengah kota Singapura.
Kesederhanaan dalam pelayanan artinya, memanfaatkan sarana yang tepat agar tujuan pastoral tercapai.
Namun seorang imam secara pribadi sebenarnya tak punya apa-apa. Jika ia pindah, maka sarana milk paroki/keuskupan akan ditinggal. Hanya barang pribadi yang diperlukan saja di tempat baru yang dibawa.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Kesederhanaan dalam pelayanan artinya, memanfaatkan sarana yang tepat agar tujuan pastoral tercapai.
_________________________
Yang artinya kesederhanaan dalam pelayanan relatif, tergantung dari siapa yang menilai dan dari kacamata mana… dan tingkat kesederhanaan pelayanan berbanding lurus dengan perkembangan jaman.
Itu yang saya tangkap dari pernyataan di atas
Shalowm,
mohon ijin, kalau boleh sy mengambil tokoh imam Indonesia dr Ibukota DKI Jakarta sbg contoh imam yg sederhana, paling mewakili, sosoknya familier karena beliau sering muncul di media masa, adalah Romo Antonius Benny Susetyo.
:) Tetap Semangat.
Comments are closed.