Pesan Paus Benediktus XVI pada penutupan pertemuan keluarga internasional di Mexico, 18 Januari 2009 yang lalu sangat menarik untuk disimak. Paus Benediktus XVI mengajak keluarga-keluarga merefleksikan dan melakukan introspeksi atas identitas dan tugas perutusannya sebagai pendidik nilai-nilai kemanusiaan dan iman dengan tolok ukur Keluarga Kudus, pelindung keluarga kristiani.
“Keluarga Nazareth menyambut kehadiran-Nya, dan melindungi-Nya dengan cinta kasih, keluarga itu memasukkan Dia ke dalam ketaatan tradisi keagamaan dan hukum masyakarat, mereka mendampingi dan membimbingnya bertumbuh dalam kedewasaan manusiawi dan tugas perutusan yang sudah ditetapkan bagi-Nya”
Bapa Suci menunjukkan bagaimana bapa Yosef dan bunda Maria sebagai orangtua mempersiapkan Yesus dalam lingkungan yang diwarnai kasih dan ketaatan pada tradisi keagamaan dan norma-norma hukum, sehingga Ia berkembang dalam kebijaksanaan, dan dikasihi Allah dan manusia (bdk. Luk. 2: 52). Dengan menegaskan hal ini, Paus mengingatkan kita semua bahwa keluarga adalah sekolah kemanusiaan dan kehidupan kristiani bagi semua anggota.
Sebagai manusia, setiap pribadi mempunyai kebutuhan manusiawi, yakni mengasihi dan dikasihi, memperhatikan dan diperhatikan, dan bertumbuh secara holistik: jasmani dan rohani. Maka tidak boleh dilupakan bahwa sebagai manusia yang diciptakan dalam citra wajah-Nya, setiap pribadi juga mempunyai kecenderungan kepada yang transenden: berelasi dengan Bapa, Penciptanya. Inilah kebutuhan paling fundamental dan konstitutif dari setiap pribadi. Pribadi-pribadi yang terpenuhi kebutuhan dasarnya ini akan menjadi pewarta-pewarta kasih Allah yang sejati dalam membangun kehidupan bersama dalam masyarakat.
Refleksi ini sangat penting bagi keluarga-keluarga yang hidup di zaman modern ini, di mana perkembangan dan kemajuan tekhnologi sangat mempengaruhi perilaku setiap pribadi dalam keluarga. Salah satu tantangan serius yang dihadapi dan dialami oleh keluarga-keluarga zaman ini adalah situasi dan kondisi lingkungan yang diwarnai oleh sarana komunikasi modern. Keluarga-keluarga harus melaksanakan tugas perutusannya memberikan pendidikan nilai kemanusiaan dan iman kepada anak-anak yang mau tidak mau pribadinya sudah dipengaruhi dan bahkan “dibentuk” oleh sarana komunikasi itu, yang seringkali menyampaikan berita dan program acara yang bertentangan atau menyimpang dari nilai-nilai yang ingin kita hayati dalam keluarga. Demikian dikatakan oleh Uskup Agung Claudio Maria Celli dalam pesannya yang disampaikan melalui Catholic.net TV.
Namun demikian bukan berarti bahwa kita harus menolak dan ketakutan terhadap keberadaan sarana komunikasi yang semakin berkembang pesat. Keluarga-keluarga harus memanfaatkan media komunikasi tersebut untuk mewartakan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan iman kepada anak-anak. Mereka harus dididik supaya dapat menggunakan sarana komunikasi tersebut untuk mempertajam dan mendewasakan kemanusiaan dan imannya. Misalnya film yang bagus dapat menjadi bahan pembinaan kepribadian anak dalam menyadari tugas perutusannya sebagai citra wajah Allah dalam keluarga dan masyarakat di zaman budaya digital ini.
Jadi, seluruh refleksi teologis dalam pertemuan keluarga sedunia ini sangat penting dan perlu diletakkan dalam kerangka pikir himbauan Gereja kepada keluarga-keluarga untuk kembali pada jatidirinya sendiri dan tugas perutusannya. “Keluarga, jadilah sebagaimana seharusnya!” Demikian himbauan Paus Yohanes Paulus II beberapa puluh tahun yang lalu melalui Himbauan apostoliknya Familiaris Consortio. Sebagai pendidik dan sekolah nilai-nilai kemanusiaan dan iman, keluarga harus membangun kerjasama dengan komunitas sekolah, Negara, dan Gereja. Tiga lembaga itu menurut kodratnya, juga mempunyai tugas dan tanggungjawab memberikan pendidikan kepada anak-anak. Tetapi pelaksanaan tugas dan hak ketiga lembaga itu bersifat kontributif. Karena orangtua adalah pendidik yang utama dan pertama bagi anak-anak.
Penegasan bahwa orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak dalam kehidupan iman dan moral bukanlah suatu pengajaran yang tanpa dasar. Dasar-dasar tersebut dapat kita temukan dalam Kitab Suci dan beberapa ajaran Gereja.
A. Pendidikan Anak dalam Keluarga Menurut Kitab Suci
1. Perjanjian Lama
Dalam kitab Amsal kita temukan banyak ayat yang berbicara tentang pendidikan anak dalam keluarga. Di sana termuat banyak nasehat orang tua kepada anak-anak. Pada bab pembukaan ditekankan adanya wewenang orang tua untuk mendidik anak-anak mereka (lih. Ams. 1: 8-9). Wewenang itu tampaknya diilhami kitab Ulangan 6 : 6-7, yang menekankan bahwa para bapa keluarga harus mengajar anak-anaknya, terutama dalam hal kepercayaan dan praktek religius.
Anak-anak tidak boleh melawan atau menentang orang tua. Sebaliknya, mereka harus mentaatinya tanpa syarat. Sebab pendidikan dari orang tua bertujuan untuk membantu anak-anak menemukan jalan hidup dan memperoleh kesuksesan dalam hidup mereka. Dengan mentaati ajaran orang tua, anak-anak memiliki kepekaan dan cepat tanggap terhadap hidup dan lingkungannya.
Menurut kitab Amsal, isi ajaran dari orang tua dapat digolongkan menjadi tiga nasehat. Nasehat pertama berupa peringatan untuk melawan teman-teman jahat, nasehat kedua berupa perintah agar menjauhi isteri orang lain, dan nasehat ketiga berupa ajakan untuk hidup dalam kebijaksanaan. Nasehat pertama: peringatan untuk melawan teman-teman jahat (lih. Ams. 1:8-19; 2:12-15; 4:10-19; 6:12-15.16-19). Orang tua memperingatkan agar anak-anak tidak mudah dibujuk untuk terlibat dalam tindak kejahatan. Yang dimaksudkan dengan tindak kejahatan itu antara lain adalah kekerasan, penindasan, dan pembunuhan, yang bertujuan untuk mencari keuntungan pribadi. Dalam menyampaikan peringatan-peringatan itu, orang tua juga harus memperlihatkan akibat dari tindak kejahatan tersebut terhadap diri mereka sendiri. Dengan berbuat jahat, sebetulnya orang mengancam keselamatannya sendiri (bdk. Ams. 1:18). Selain itu perbuatan yang jahat sangat dibenci Tuhan dan “menjadi kekejian bagi hati-Nya” (lih. Ams. 6:16). Kalau anak mendengarkan dan mentaati ajaran ayahnya, ia pasti menempuh “jalan hikmat” dan akan menghindari “jalan orang fasik” (lih. Ams. 11:14).
Nasehat kedua: peringatan untuk menjauhi isteri orang lain (Ams. 2:16-22; 5:1-23; 6:20-35; 7:1-27). Peringatan ini diberikan kepada mereka yang sudah memasuki usia dewasa. Orang tua menasehati anaknya yang sudah memasuki usia nikah, agar tidak mudah terkena bujukan dari wanita yang sudah bersuami. Bila pemuda terkena bujukan dan melakukan perzinahan dengannya, maka ia akan mengalami penderitaan dan kesengsaraan dalam hidupnya. Perbuatan zinah juga menunjukkan bahwa orang yang melakukannya adalah orang yang tidak berakal budi. Akhir dari perzinahan adalah kematian. Oleh karena itu ia harus hidup bijaksana (Ams. 4:6-9) dan setia kepada isterinya sendiri (Ams. 5:15-19), agar tidak mudah jatuh dalam perzinahan.
Nasehat ketiga: ajakan dan saran supaya hidup dalam kebijaksanaan (Ams. 2:1-22; 3:1-26; 4:1-27; 7:1-5). Kebijaksanaan adalah harta yang tak ternilai harganya. Anak yang hidup dengan bijaksana akan terhindar dari kedua bahaya yang disebut di atas. Sebab kebijaksanaan akan memimpin, menjaga, dan mengarahkan hidup ke jalan hikmat. Hanya kebijaksanaanlah yang menjadi jaminan hidup bahagia. Kebijaksanaan menuntun anak kepada pengenalan akan Allah dan takwa kepada-Nya (Ams. 2:1-8; 3:1-35). Kebijaksanaan itu diperoleh melalui nasehat-nasehat dan pendidikan orang tua.
Menurut kitab Amsal, tujuan pendidikan adalah membantu anak mencapai kebijaksanaan. Sebab mencapai kebijaksanaan berarti hidup; sedangkan kegagalan dalam mencapainya berarti kematian. Kebijaksanaan dan pendidikan ke arah kebijaksanaan membentuk pribadi manusia seutuhnya, yang mahir dan mampu dalam segala bidang, termasuk dalam relasi dengan Tuhan. Agar tujuan itu tercapai, pendidikan harus dilaksanakan dengan disiplin. Oleh karena itu orang tua diperbolehkan menggunakan cara yang tegas dalam mendidik anak, misalnya dengan hukuman (bdk. Ams. 19:18). Maksud dari hukuman itu adalah agar anak-anak tidak masuk ke jalan yang salah. Sebab hidup di jalan yang salah berarti berjalan menuju kematian. Pendidikan itu didasarkan pada tradisi, termasuk tradisi iman, tetapi tidak berarti pewarisan rumusan-rumusan tradisi leluhur saja. Lebih dari itu, pendidikan menyampaikan pengalaman hidup dan iman para leluhur yang telah mencapai kebijaksanaan. Oleh karenanya, yang berhak menjadi pendidik adalah orang yang telah menghayati tradisi tersebut dalam hidupnya.
2. Perjanjian Baru
Dalam keempat injil tidak ditemukan ajaran Yesus tentang pendidikan. Tetapi harus diingat bahwa Yesus sendiri dididik dalam keluarga Yusuf dan Maria di Nazareth. Dari kisah masa kanak-kanak dapat disimpulkan bahwa Ia, sebagai seorang anak dari suatu keluarga, memperoleh pendidikan yang baik. Keluarga Kudus hidup di lingkungan adat Yahudi. Dan keluarga itu digambarkan sebagai keluarga yang taat dan patuh terhadap peraturan dan hukum adat Yahudi. Maka dikisahkan bahwa Yusuf dan Maria selalu pergi ke Yerusalem setiap tahun untuk merayakan Paskah.
Yesus hidup dan bertumbuh dalam sebuah keluarga di Nazareth, dalam asuhan Yusuf dan Maria. Yesus dilukiskan sebagai anak yang mengasihi dan patuh kepada orang tua-Nya. Ia tumbuh dan berkembang dalam kasih dan iman yang benar. Sebelum memulai karya publik-Nya, selama kurang lebih tiga puluh tahun, Ia hidup tersembunyi di dalam keluarga Nazareth. Selama itu Ia hidup dan dididik oleh Yusuf dan Maria, seperti anak-anak Yahudi lainnya. Ia membutuhkan waktu selama tiga puluh tahun untuk bertumbuh menjadi dewasa, sehingga siap mewartakan injil.
Para orang tua Yahudi mendidik anak-anak mereka pertama-tama di rumah. Bapa keluarga mempunyai kewajiban untuk mendidik iman anak-anaknya. Pertama-tama ia harus mengajarkan semua perintah dan hukum keagamaan. Pada usia lima tahun anak-anak dimasukkan ke sekolah dasar untuk belajar membaca Taurat (bdk. II Tim. 3:15). Sekolah dasar itu biasanya berhubungan dengan sinagoga. Anak-anak yang berusia sepuluh tahun harus belajar Mishnah atau hukum yang diajarkan secara lisan. Pada umur tiga belas tahun mereka harus mengerti seluruh isi hukum Yahwe dan melaksanakannya ((B.J. Boland, dalam Tafsir Lukas jilid I, BPK Gunung Mulia Jakarta, 1977, halaman 66, menjelaskan bahwa anak berumur 13 tahun di lingkungan Yahudi adalah “anak Taurat”. Ia sudah dianggap dewasa, maka wajib melaksanakan seluruh perintah hukum Taurat. Pada usia-usia sebelumnya, peraturan dan hukum agama diajarkan kepada mereka dan membiasakan mereka untuk mentaati hukum itu)). Dan pada usia lima belas tahun mereka harus menyempurnakan pengetahuannya. Inti dari kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah Yahudi itu adalah pelajaran Kitab Taurat.
Kiranya Yesus juga memperoleh pendidikan yang sama seperti anak-anak Yahudi lainnya. Di dalam keluarga-Nya Ia dibimbing dan diajar tentang peraturan dan hukum keagamaan, sebelum menjadi “anak Taurat”. Sebab “anak Taurat” mempunyai kewajiban mendoakan doa shema sehari tiga kali dan selalu pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Pada usia dua belas tahun, Yesus dipersiapkan untuk menjadi “anak Taurat” itu. Karenanya Ia diajak oleh orang tua-Nya pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Hal ini menunjukkan bahwa Ia dididik supaya menjadi anak yang saleh, taat dan patuh kepada hukum agama. Kemungkinan besar Yesus tidak menerima pendidikan formal dari seorang guru yang termasyhur. Kiranya Ia hanya memperoleh pendidikan di sekolah sinagoga desa. Tetapi Ia dapat membaca dan memahami isi kitab Perjanjian Lama dengan sangat baik. Melalui pendidikan di dalam keluarga dan sekolah sinagoga desa itulah Yesus bertumbuh dewasa, penuh hikmat dan kasih karunia Allah (bdk. Luk. 2:40). Ia tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan pendidikan moral, intelektual, kultural, dan religius.
B. Menurut Ajaran-ajaran Gereja
1. Paus Pius XI
Pendidikan bagi kaum muda merupakan tanggungjawab tiga lembaga, yakni keluarga, Gereja, dan negara. Sebab dalam ketiga lembaga itulah manusia dilahirkan dan hidup. Tempat yang pertama-tama dimasuki manusia adalah keluarga. Ia diciptakan Allah dalam dan melalui keluarga. Menurut kodratnya keluarga merupakan pendidik pertama bagi anak-anak, sebab keluarga diberi kemampuan oleh Allah untuk melahirkan dan mengasuh mereka.
Mendidik adalah hak dan kewajiban mutlak keluarga, yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Negara-negara yang menghormati hukum kodrat, harus mengakui hak dan kewajiban keluarga tersebut. Menurut kodratnya, anak-anak bukanlah ciptaan dan milik negara. Oleh karena itu negara tidak berhak menentukan dan memaksakan bentuk pendidikan tertentu. Orang tualah yang berhak dan berkewajiban menentukan pendidikan anak, sebab merekalah yang melahirkan dan membesarkan.
Gereja terpanggil untuk membela dan mempertahankan hak dan kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Tetapi Gereja sekaligus menuntut orang tua untuk mempermandikan dan mendidik anak-anak secara kristiani.
Anak, menurut hukum kodrat, adalah “berasal” dari ayahnya. Oleh karena itu sudah selayaknyalah anak berada dalam perawatan dan pemeliharaan ayahnya, sebelum ia akil baliq. Maka tidak dapat dibenarkan bahwa anak, sebelum akil baliq, diambil dari pengawasan orang tuanya ((Mengutip dari Thomas Aquinas, Summa Theologia II-IIae Q.X,art. 12: “The child is naturally something of the father … so by natural right the child, before reaching the use of reason, is under the father’s care. Hence it would be contrary to natural justice if the child, before the use of reason, were removed from the care of its parents, or if any disposition were made concerning him against the will of the parents.”)). Anak adalah sesuatu dari ayahnya dan merupakan perluasan dari ayahnya. Ayah berhak memperanakkan, mendidik dengan disiplin, dan membimbing anak-anaknya kepada hidup yang sempurna ((Mengutip Thomas Aquinas, Summa Theologia II-IIae, Q.CII, art. 1: “The Father according to the flesh has in a particular way a share in that principle which in a manner universal is found in God … The father is the principle of generation, of education and discipline and of everything that bears upon the perfecting of human life.”)). Oleh sebab itu kekuasaan ayah dalam mendidik anaknya adalah mutlak, tidak dapat dihapus atau direbut oleh negara. Kekuasaan itu berdasar atas asas-asas yang sama dengan hidup manusia sendiri. Namun hal itu tidak berarti bahwa orang tua dapat mendidik anak dengan sewenang-wenang. Sebab kesewenang-wenangan seperti itu tidak sesuai dengan hukum kodrat dan hukum ilahi. Orang tua justru diharapkan untuk menjaga agar pendidikan anak-anak itu sesuai dengan kehendak Allah. Orang tua harus mendidik anak secara kristen dan berusaha sekeras mungkin menjauhkan anak-anak dari sekolah-sekolah yang dapat membawa anak menjadi acuh tak acuh terhadap agama.
Adapun inti sari pendidikan adalah penanaman nilai-nilai hidup berdasarkan sabda Tuhan. Dengan demikian anak-anak akan terhindar dari bahaya penyimpangan dari jalan Tuhan. Pendidikan itu mencakup dua aspek, yaitu jasmani dan rohani. Kedua aspek itu harus dikembangkan secara berimbang, supaya pendidikan itu mengembangkan manusia seutuhnya. Maka pendidikan dalam keluarga kristiani tidak boleh terbatas pada pendidikan agama dan kesusilaan saja, tetapi juga meliputi pendidikan jasmani dan kewarganegaraan.
2. Konsili Vatikan II dan Paus Yohanes Paulus II
Setiap anak mempunyai hak untuk mengembangkan kemampuan fisik, moral, dan intelektualnya, sehingga dia dapat mencapai hidup yang bahagia dan sungguh-sungguh manusiawi. Melalui pendidikanlah pengembangan berbagai kemampuan itu dapat mengarah kepada kesejahteraan masing-masing anak, dan kesejahteraan masyarakat.
Keluarga adalah tempat meletakkan dasar-dasar pendidikan. Maka tugas menyelenggarakan pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga yang utama (GE. 3). Keluarga mempunyai hak dan kewajiban untuk membentuk anak-anak menjadi pribadi yang dewasa. Di samping itu, sebagai suatu lembaga, keluarga wajib mempersiapkan anak-anak menjadi pribadi yang peduli terhadap masyarakat. Maka keluarga merupakan jembatan antara setiap anak dan masyarakat. Keluarga harus menjadi “sekolah keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan masyarakat”(FC. 36), tempat anak-anak dapat belajar tentang tata nilai dalam masyarakat. Semua anggota keluarga, masing-masing menurut kemampuan dan kharismanya, mempunyai rahmat dan tanggung jawab untuk membimbing anak-anak. Tetapi pendidik yang paling utama dan pertama bagi anak-anak adalah orang tua. Mereka telah menyalurkan kehidupan baru kepada anak-anak. Maka mereka jugalah yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak (GS. 50, GE 3). Mereka mempunyai kewajiban untuk membantu anak-anak agar berkembang sebagai pribadi sepenuh-penuhnya. Suami isteri dipanggil dan diangkat menjadi mitra kerja Allah, Sang Pencipta.
Unsur yang paling mendasar dalam pendidikan anak adalah cinta kasih orang tua. Cinta kasih itu merupakan sumber, semangat, dan norma yang mengilhami dan mengarahkan pendidikan. Di tengah-tengah kehidupan modern ini, orang tua dituntut untuk menanamkan nilai-nilai dasar kepada anak-anak. Melalui pendidikan itu hendaknya anak-anak dibantu untuk merasakan cinta kasih Allah, dan dibimbing untuk menanggapinya. Selain itu mereka perlu dilatih dan dibimbing agar melakukan dan memperjuangkan nilai keadilan dan cinta kasih sejati. Bila diperkaya dengan nilai-nilai tersebut, anak-anak akan mau dan mampu menghormati martabat setiap pribadi dan senang melayani tanpa pamrih.
Keluarga adalah tempat pendidikan yang utama dan pertama bagi anak-anak. Tetapi bukan berarti seluruh tugas mendidik anak hanya dilaksanakan oleh keluarga sendiri. Bagaimanapun juga keluarga mempunyai keterbatasan. Maka negara dan Gereja mempunyai kewajiban untuk membantu tugas keluarga tersebut, walaupun bantuan negara dan Gereja itu harus dilaksanakan dengan prinsip subsidiaritas.
Konsili Vatikan II melihat adanya perubahan sosial yang menggoncangkan nilai-nilai dasar itu. Maka tugas orang tua yang paling mendesak dan sangat penting adalah membimbing anak-anak melalui pendidikan nilai-nilai dasar. Mendidik itu lebih daripada mengajar. Sebab mendidik adalah usaha memanusiakan manusia. Melalui pendidikan para pendidik membantu anak didik untuk memahami nilai-nilai dasar dan melaksanakannya.
Pada dasarnya hakekat pendidikan dalam keluarga kristiani tidak berbeda dengan hakekat pendidikan semacam itu. Pendidikan dalam keluarga kristiani pun bertujuan untuk mengembangkan pribadi anak-anak menuju kepada kedewasaan yang seutuhnya. Pendidikan dalam keluarga bersifat formatif dan transformatif. Bersifat formatif, karena dalam pendidikan terjadi usaha untuk mewujudkan kemampuan-kemampuan secara nyata. Pendidikan tersebut menghasilkan kemampuan dan kemahiran lahiriah. Bersifat transformatif, karena yang dikembangkan juga mengubah kepribadian. Dalam proses pendidikan tersebut terjadi perubahan kepribadian secara mendasar. Keluarga kristiani tidak boleh puas diri bila anak-anak mencapai kedewasaan pribadi saja. Lebih dari itu, keluarga kristiani harus membantu anak-anak untuk memahami dan merasakan cinta kasih Allah yang menyelamatkan, serta membimbing mereka agar hidup takwa kepada Allah. Pendidikan dalam keluarga kristiani harus mengarahkan anak-anak pada tujuan akhir, yakni persatuan dengan Allah sendiri.
Dalam pendidikan kristiani itu harus terjadi pemberian diri timbal balik antara orang tua dan anak-anak, yakni dengan mengkomunikasikan kemanusiaan masing-masing. Pemberian diri terjadi karena cinta kasih. Maka pendidikan merupakan sebagian dari peradaban kasih, dan sekaligus membangun peradaban kasih itu sendiri.
Daftar pusataka
PAUL S. PUDUSSERY, CMI, Jesus’ Teaching on Family Life, dalam majalah Bible Bhashyam, September 1991, halaman 203 – 241.
Ensiklik Divini Illius Magistri, tahun 1929
MICHAEL J. WRENN (ed.), Pope John Paul II And The Family – A Theological And Catechetical Commentary With Discussion Questions on The Apostolic Exhortation Familiaris Consortio, Franciscan Herald Press, 1983
YOHANES PAULUS II, Surat Kepada Keluarga-Keluarga, 1994
Romo, saya ingin tanya apa saja yang harus terjadi dalam sebuah keluarga, yang dikatakan keluarga adalah gereja kecil. terimakasih atas jawabannya.
[Dari Katolisitas: Arti bahwa keluarga adalah gereja kecil (ecclesia domestica) sudah pernah diulas di sini, silakan klik]
Shallom,
Karena saya tidak tahu bagaimana caranya mengajukan pertanyaan pada kolom Tanya Jawab, maka saya ingin bertanya disini. Dan mohon untuk ditanggapi, karena saya membutuhkan pandangan iman Katolik dalam kasus yang saya hadapi.
Saat ini saya sedang berpacaran jarak jauh dengan (sebut saja) I, dia di Australia, saya di Jakarta. Hubungan kami sudah hampir 2tahun, dan dia berencana untuk kembali menetap di Jakarta karena ingin membangun hubungan yang lebih serius dengan saya. Akan tetapi ada kekhawatiran dalam hati saya apakah dia pasangan yang sesuai dengan Kehendak Tuhan dan apakah saya dapat membangun hubungan berlandaskan iman dan cinta Kasih yang di ajarkan Kristus. Karena dia dan keluarga beragama Buddha dari kakek moyang mereka. Dan mereka pun mempunyai kepercayaan yang teguh terhadap ajaran mereka.
Sebelum saya berpacaran dengan I, saya memohon kepada Tuhan untuk dipertemukan dengan lelaki yang baik, dewasa, bertanggung jawab dan takut akan Tuhan. Saya merasa doa saya di Jawab dengan secara tidak sengaja bertemu dengan I, karena saya berteman dengan adiknya dan juga hubungan ini berjalan dengan baik (saya yakin karena Tuhan). Keluarga I merupakan keluarga yang baik, orang tua I juga mendidik mereka dengan sopan dan baik, sehingga saya bisa katakan bahwa I adalah pria yang baik, dan taat akan ajaran agamanya, serta takut akan Allah.
Akan tetapi karena perbedaan agama dan hubungan jarak jauh (tidak terlalu mengenal pribadi secara mendalam), kami sempat tidak yakin satu sama lain. Kemudian hal lain yang mengganjal didalam hati saya bahwa, orang tua I setiap tahunnya pergi ke Gunung Kawi (saya tidak tahu secara pasti mereka melakukan penyugihan atau hanya sekedar ke Vihara yang juga ada di sana), saya pernah dengar dari I, bahwa orang tuanya kesana sempat berdoa di bawah pohon untuk menunggu buah jatuh, yang mereka anggap sebagai berkat (yg saya tahu, hal seperti itu merupakan penyugihan dan tidak dibenarkan oleh iman Katolik). Dan orang tua I setiap tahunnya melakukan pemberkatan tempat usaha dengan mengadakan pengajian dengan mengundang Pak Ustad setempat, karena menurut mereka untuk menghormati para karyawan yang mayoritas beragama Muslim. Ritual yang diadakan yaitu doa, makan bersama dan yang menurut saya bertentangan dengan iman Katolik saya, mereka juga membakar sesajian. Dengan kebiasaan yang keluarga mereka lakukan, saya takut ada kutuk dan keterikatan yang kuat yang mereka buat dengan ritual-ritual tersebut. Apalagi I anak pertama dan pria satu-satunya yang menjadi penerus usaha keluarganya.
I pun mengatakan bahwa jika kami menikah, saya mengajarkan ajaran Katolik dan ia mengajarkan ajaran Buddha. Saya juga jadi ragu, bagaimana kelak rumah tangga saya nanti kalau didalam satu rumah seperti berdiri diatas dua perahu. Saya jadi bingung bagaimana harus mengambil sikap. Saya yakin saya dapat bertahan dengan hubungan ini krn Tuhan, dan apa yang terjadi di dalam hidup saya bukan hanya sebuah kebetulan. Dan Tuhan juga mengajarkan bahwa kita harus mengasihi sesama dan mengikuti kehendakNya. Saya jadi sering bertanya, bagaimana jika ini kehendak Tuhan, agar saya bisa menjadi perpanjangan Tuhan untuk membawa keluarganya menuju keselamatan yang di tawarkan Yesus Kristus? Tapi, apakah saya sanggup?
Saya ingin bertanya, bagaimana menurut tanggapan Romo/ Bapa/ Ibu, atas kasus yang saya hadapi, apakah saya sebaiknya mundur dari hubungan ini atau tetap lanjut. Dengan pertimbangan perbedaan agama dan juga ritual yang dilakukan oleh orang tua I. Saya sering berdoa kepada Tuhan, akan tetapi karna kelemahan dan ketidakmampuan saya, saya terkadang sulit mengerti kehendak Tuhan dalam hidup saya, yang saya yakini hubungan saya bertahan krn Tuhan. Hidup saya sekarang krn Tuhan.
Apa tanggapan gereja mengenai pernikahan beda agama (non-Kristiani)? Sikap apa yang harus saya bangun, jika saya berrumah tangga dengannya. Saya tidak mau jauh dari Tuhan dan melanggar perintahNya.
Mohon ditanggapi.
Tuhan Memberkati
– Dewi-
Sdr. Dewi,
Salah satu halangan perkawinan (yang membuat tidak sah) adalah jika seorang baptis katolik menikah dengan non baptis (KHK 1086). Hanya karena ada alasan yang masuk akal dan wajar lah Gereja akan memberikan dispensasi untuk peneguhan perkawinan campur beda agama ini, bila pihak katolik memenuhi syarat (KHK 1125).
Syarat 1: berjanji setia pada iman katolik dan mendidik serta membaptis anaknya secara katolik
Syarat 2: janji tersebut diberitahukan kepada pihak non baptis, sehingga ia sadar sesadar-sadarnya akan tugas tanggungjawab pihak katolik
Keduanya diberi pengajaran mengenai hakekat perkawinan katolik (jadi mengikuti kursus persiapan perkawinan).
Juga perlu diketahui bahwa dilarang melakukan peneguhan ganda atas sebuah perkawinan.
Oleh karena itu, silahkan Dewi memikirkan rencana perkawinan itu lebih serius dan matang apakah, Dewi akan menikah atau tidak dengan sdr. I. Keputusan pada akhirnya di tangan anda sendiri. Gereja mengingatkan kesulitan-kesulitan yang timbul dari perkawinan campur. Maka tentu sangat tidak ideal bila suatu saat anda berdua mempunyai anak, lalu diajarkan dua agama. Juga hal itu akan membuat anak menjadi bingung.
maka ketika anda bertemu dengan sdr I, silahkan membicarakan hal tersebut. dari hasil pembicaraan dengan sdr I itulah silahkan anda membuat keputusan. Akan sangat baik dan lebih matang bila anda berkonsultasi dengan pastor paroki anda atau pastor yang anda kenal.
In amore Sacrae Familiae
Agung P. MSF
Comments are closed.