Sumber gambar: https://breadhere.wordpress.com/tag/bread-of-life/

[Hari Minggu Biasa ke XVIII: Kel 16:2-4, 12-15; Mzm 78:3-4, 23-25, 54; Ef 4:17, 20-24; Yoh 6:24-35]

Bacaan Injil Minggu ini merupakan kelanjutan dari bacaan Injil minggu lalu. Mukjizat pergandaan roti menjadi persiapan bagi pengajaran Tuhan Yesus tentang diri-Nya sebagai Sang Roti Hidup. Demikian pula, Bacaan Pertama hari ini mengisahkan akan gambaran samar-samar akan Roti hidup yang turun dari surga. Di padang gurun itu, Allah melakukan mukjizat bagi bangsa Israel, ketika bangsa itu bersungut-sungut kepada nabi Musa untuk meminta makan daging dan roti. Menjawab keluhan bangsa ini, Allah memberikan roti manna dari langit setiap pagi dan burung puyuh di sore hari. Hal ini berlangsung selama sekitar 40 tahun saat mereka mengembara di padang gurun sebelum bangsa itu memasuki Tanah Terjanji. Tentunya ini adalah mukjizat besar yang dikenang oleh bangsa Israel, sampai kepada zaman Yesus. Orang-orang itu bahkan menggunakan kisah ini untuk menguji Yesus: akankah Ia lebih besar daripada Nabi Musa? Mungkinkah Yesus mengadakan mukjizat yang lebih besar daripada mukjizat manna di padang gurun selama 40 tahun? Terpaku dengan mukjizat manna, mereka bahkan tidak menyadari bahwa Yesus baru saja melakukan mukjizat yang tak kalah besar, yaitu memberi makan ribuan orang hanya dari lima roti dan dua ikan. Seperti orang bangun kesiangan namun tidak menyadarinya, orang-orang itu meminta tanda kepada Yesus yang baru saja membuat tanda besar di hadapan mata mereka! Perhatian orang-orang itu hanyalah kepada tanda jasmani yang mendatangkan akibat sementara, sedangkan perhatian Tuhan Yesus adalah kepada tanda rohani yang mendatangkan akibat yang kekal, walaupun tidak berarti bahwa Tuhan tidak peduli dengan kebutuhan jasmani kita. Sebab seringkali, kekuatan rohani yang kita terima dari Tuhan memampukan kita mengatasi berbagai masalah jasmani; dan membantu kita menghadapi hidup dengan semangat yang baru. Dengan demikian, tepatlah apa yang dikatakan oleh St. Teresa dari Avila: “Siapapun yang memiliki Allah tidak kekurangan apapun. Allah sendiri cukup.”

Namun nampaknya, mukjizat jasmani yang terlihat kasat mata lebih menarik perhatian orang daripada mukjizat rohani yang bernilai ilahi. Bukankah hal ini juga masih terjadi di saat ini? Orang datang ke gereja mengharapkan dapat melihat mukjizat yang dapat terlihat oleh mata. Atau, seandainya saja setiap minggu di gereja dibagikan berbagai hadiah dan uang kepada semua umat, maka orang akan berbondong-bondong datang. Jika demikian, benar lah  perkataan Rasul Paulus yang meminta agar kita menanggalkan manusia lama, agar dapat diperbaharui dalam roh dan pikiran, dan mengenakan manusia baru (lih. Ef 4:22-24) agar dapat melihat kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya. Yaitu bahwa mukjizat dalam Perjanjian Lama merupakan gambaran samar-samar akan penggenapannya di dalam Perjanjian Baru. Bukan Nabi Musa yang memberikan roti dari surga, tetapi Allah Bapa, dan roti dari surga yang sesungguhnya, adalah Kristus. St. Yohanes Krisostomus mengatakan, “Yesus tidak berkata, bukan Musa yang memberikan roti manna kepadamu tetapi Aku: namun Ia mengatakan bahwa Bapa-Ku lah yang memberikan roti yang benar dari surga. Ia meletakkan Allah Bapa di tempat Musa, dan diri-Nya sebagai sang manna.” Manna, yang secara literal berarti: “apakah ini?”; juga digenapi dalam diri Kristus. Sebab tentang Dia, orang juga bertanya: apakah ini? Bagaimana mungkin Anak Allah dapat menjadi Anak Manusia? Bagaimana Kristus dapat memiliki kodrat Allah dan kodrat manusia? Bagaimana Allah dapat mengambil rupa roti agar dapat menjadi santapan rohani bagi umat-Nya? Kristus, Sang Putera Allah itulah Sang Roti Hidup dari surga yang memberi hidup kekal kepada kita. Setiap hari kita dapat menerima Roti itu dalam Ekaristi kudus. Sebagaimana Allah dulu memberi makan umat-Nya setiap hari sampai mereka dapat masuk ke Tanah Terjanji, demikianlah kini Allah pun menyediakan santapan rohani, agar kita dapat sampai ke Tanah Terjanji yang sesungguhnya, yaitu Surga. Sebab Allah tidak hanya berkehendak agar kita dapat hidup di dunia ini saja, namun juga agar kita beroleh hidup yang kekal dan berbahagia bersama-Nya, selamanya.

Kini pertanyaannya adalah, seberapa besarkah kerinduan kita untuk menerima Kristus Sang Roti Hidup itu? Apakah kita telah melakukan persiapan batin yang memadai untuk menyambut Dia? Apakah kita mau meluangkan waktu untuk sedapat mungkin menyambut Dia dalam Ekaristi setiap hari? Sudahkah kita sungguh bersyukur setiap kali menyambut Ekaristi? Atau apakah kita malah disibukkan oleh pikiran kita sendiri? Dalam buku hariannya, St. Maria Faustina mencatat perkataan Yesus, “Ketika Aku datang ke dalam hati manusia dalam Komuni Kudus… tangan-Ku penuh dengan berbagai rahmat yang ingin Ku-berikan kepada jiwa itu. Tetapi jiwa-jiwa manusia tidak memberi perhatian kepadaKu. Mereka meninggalkan Aku sendirian dan mereka menyibukkan diri mereka sendiri dengan berbagai hal lain…. Mereka memperlakukan Aku seperti benda mati.” (Buku Harian St. Faustina, 1385).

Mari kita menilik ke dalam hati kita, bagaimana sikap batin kita saat menerima Kristus dalam Komuni kudus? Sebab mungkin saja pikiran kita tertuju kepada-Nya, namun dengan begitu mudahnya, perhatian kita terpecah untuk suatu hal yang sepele. Contohnya, jika di gereja banyak nyamuk, udaranya panas, koornya sumbang, yang duduk di sekitar kita mengobrol, atau kalau yang duduk di depan kita memakai pakaian yang terlalu pendek. Atau kalau tidak ada yang salah di sekitar kita, hanya suasana hati kita sendiri yang sedang galau dan pikiran kita yang tercampur baur, sehingga tak sungguh-sungguh merasakan dan mengalami, Siapa yang kita sambut dalam rupa Hosti suci itu. Mungkin kita perlu memohon rahmat, agar apapun yang terjadi di sekitar kita dan di hati kita, kita tetap dapat memberikan penghormatan dan ucapan syukur yang tak terhingga kepada Tuhan Yesus yang kita sambut dalam Ekaristi. Betapa tidak, Ia yang di dalam-Nya kita diciptakan, diselamatkan dan dikuduskan, kini masuk ke dalam tubuh dan hati kita. O Tuhan, betapa tidak ada yang lebih indah di dunia ini, selain daripada menyambut Engkau dalam Ekaristi!

“Tuhan Yesus, bantulah aku untuk memberikan penghormatan yang semestinya kepada-Mu dalam Komuni Kudus. Ampunilah aku jika aku kerap disibukkan oleh banyak hal, dan gagal memberi perhatian yang sepenuhnya kepada-Mu. Bantulah aku menyadari bahwa hanya Engkaulah yang mampu memuaskan jiwaku.  Engkaulah Penopang hidupku yang menghantarkan aku kepada hidup yang kekal. Tuhan Yesus, terima kasih atas begitu besarnya kasih-Mu kepadaku. Tambahkanlah kasihku kepada-Mu. Amin.”