[Hari Minggu Biasa ke XXIII, Minggu Kitab Suci Nasional:
Yes 35:4-7; Mzm 146:8-10; Yak 2:1-5; Mrk 7:31-37]
Hatiku terharu melihat video-clip yang yang dikirim oleh seorang sahabat. Di sana terekam suasana suatu persekutuan Kristiani di negara komunis, ketika ada seseorang yang membuka sebuah koper yang ternyata penuh berisi Kitab Suci. Begitu dibuka, sontak koper itu diserbu, sebab setiap orang yang hadir di sana sangat ingin mendapat Kitab Suci. Mereka berebut mengambil kitab-kitab itu dan kemudian dengan berurai air mata, mereka menciumnya…. Tercermin di sana, rasa syukur tak terhingga, “Terima kasih Tuhan, kami memperoleh kitab ini yang berisi sabda-Mu!” Mungkin demikianlah yang terucap di batin mereka. Tak terasa, air mataku pun ikut menetes sebab hatiku turut merasakan luapan sukacita mereka. Tayangan yang kurang dari semenit itu sekaligus mengingatkan aku, yang telah lebih dahulu memiliki Kitab Suci, untuk lebih lagi membacanya dan meresapkannya di dalam hati….
Bacaan Injil di hari Minggu Kitab Suci Nasional ini mengisahkan tentang Tuhan Yesus yang menyembuhkan seseorang yang tuli dan gagap. Yesus memisahkannya dari orang banyak. Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu; dan dengan ludah-Nya Ia meraba lidah orang itu. Kemudian, Yesus berkata, “Efata!” yang artinya, “Terbukalah”. Dan seketika itu sembuhlah orang itu dan ia dapat berbicara. Yesus dapat saja hanya berkata-kata untuk menyembuhkan orang itu, namun nyatanya Yesus juga menggunakan sarana yang dapat dilihat untuk menyampaikan rahmat-Nya. Kejadian ini membantu kita memahami mengapa digunakan tanda/sarana dalam sakramen-sakramen Gereja. Yesus mengalirkan rahmat-Nya melalui sakramen yang memberikan pengaruh yang besar bagi jiwa orang yang menerimanya. Telah sejak abad-abad awal, Gereja menggunakan perkataan ini ketika berdoa bagi orang yang dibaptis: “Semoga Tuhan Yesus, yang membuat orang tuli mendengar dan orang bisu bicara, mengaruniakan agar pada saat yang tepat engkau dapat mendengarkan Sabda-Nya dan mewartakan Imanmu” (Ritual Pembaptisan Bayi). Demikianlah melalui Baptisan, Tuhan Yesus melepaskan kita dari ikatan dosa. Ia membuka telinga kita untuk mendengarkan Sabda-Nya dan melepaskan kekeluan lidah kita untuk memuji dan mewartakan kebaikan Tuhan kepada dunia sekitar kita. Selanjutnya jamahan Tuhan ini dapat terus terjadi dalam hidup kita.
Mungkin kita perlu merenungkan sendiri dalam hati, terutama di awal bulan Kitab Suci ini. Adakah kita sudah tidak tuli dan gagap secara rohani? Apakah kita sebagai orang tua sudah meneruskan ajaran iman kepada anak cucu kita? Apakah kita telah membacakan Kitab Suci kepada mereka, mengajari mereka berdoa dan pergi menghadiri Misa bersama? Apakah kita berani mewartakan iman kita, jika kesempatan itu datang, atau bahkan jika perlu, kita mengadakan kesempatan itu? Apakah kita telah dapat menjadi orang yang dengan gembira mewartakan iman kita, baik dengan perbuatan maupun dengan perkataan? Sungguh, ada banyak orang di sekitar kita yang memerlukan Kristus dan perlu mendengar Kabar Gembira keselamatan Allah. Semoga kita tidak menjadi orang yang gagap dan tak bisa mewartakan Kristus!
Namun agar kita dapat fasih dalam mewartakan Kristus dan ajaran-Nya, kita harus lebih dahulu mendengarkan dan memahaminya. Bersyukurlah, kini kita memiliki banyak cara untuk mempelajari ajaran iman kita. Ada yang memulai dengan membaca dan merenungkan bacaan Kitab Suci setiap hari sesuai dengan bacaan liturgi Misa Kudus. Ada pula yang mulai membaca keseluruhan Kitab Suci, mulai dari Perjanjian Baru terlebih dahulu dan baru kemudian Perjanjian Lama. Atau ada yang senang menyimak EWTN dan situs-situs Katolik di internet. Namun sebenarnya ada juga cara lain, yang lebih sederhana, yang dapat dilakukan setiap umat Katolik. Yaitu, membaca Kitab Suci yang dibarengi dengan membaca Katekismus. Mengapa? Karena dengan membaca Katekismus Gereja Katolik kita membaca rangkuman ajaran iman yang bersumber pada Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Dengan demikian, kita mempelajari sabda Allah dalam kesatuan dengan Gereja, dan kita membaca sabda-Nya dalam pimpinan Roh Kudus yang sama dengan Roh Kudus yang telah menyertai Gereja-Nya selama sekitar 2000 tahun!
Namun sejujurnya, selain niat, dibutuhkan juga kerendahan hati untuk membaca Katekismus. Sebab selain bahwa buku tersebut cukup tebal, ada juga hambatan yang datang karena suatu paham tertentu. Yaitu, kecenderungan yang menganggap bahwa untuk memahami sabda Tuhan itu, hanya “saya dan Roh Kudus” saja sudah cukup. Semoga ada saatnya Tuhan akan membuat kita menyadari bahwa Roh Kudus yang sama itu sesungguhnya telah lebih dahulu bekerja atas para rasul dan para penerusnya, dan dalam Gereja sampai sekarang. Sehingga jika kita ingin sampai pada pemahaman yang lengkap dan utuh, kita mesti memiliki kerendahan hati untuk terus belajar dan mendengarkan apa yang diajarkan oleh Gereja. Dengan demikian kita tidak menjadikan diri sendiri menjadi seorang yang “tuli” secara rohani–yaitu menganggap diri sudah mendengar sabda Tuhan dengan jelas padahal sesungguhnya belum.
Ironisnya, kantin rohani di paroki belum tentu menjual buku Katekismus. Sekalipun sudah ada, tak sedikit umat Katolik malah lebih memilih untuk mendengarkan pengajaran dari komunitas-komunitas non-Katolik, sehingga akhirnya malah memiliki pengertian yang tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik sendiri. Walaupun kekayaan rohani dan perbendaharaan ajaran iman sudah dengan demikian indah dan lengkapnya tersedia di dalam Gereja Katolik, namun umat malah mencari di tempat-tempat lain. Mungkin kita perlu bersama-sama meneruskan pesan St. Paus Yohanes Paulus II yang mengatakan, “Katekismus ini diberikan…. supaya dapat menjadi teks referensi yang pasti dan otentik bagi pengajaran ajaran Katolik” (Fidei Depositum, 3). Dalam Katekismus itulah terbentang sumber perbendaharaan ajaran iman Kristiani yang berdasarkan sabda Tuhan yang tertulis dalam Kitab Suci, yang dihidupi dalam Tradisi Suci para rasul dan yang telah diteruskan oleh Gereja sampai sekarang. Karena itu, dengan mempelajari Katekismus, kita semakin dapat bertumbuh dalam pemahaman akan sabda Tuhan. Pemahaman ini akan membuat kita semakin haus untuk terus membaca Kitab Suci, merenungkannya dalam kesatuan dengan seluruh Gereja-Nya, dan melaksanakannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Di hari Minggu Kitab Suci ini, mari kita memohon agar Tuhan menjadikan kita berani memberi kesaksian iman kepada orang-orang di sekitar kita. Tentang ini, St. Agustinus berkata, “Jika kamu mengasihi Allah, tariklah kepadamu semua orang yang hidup di sekitarmu atau di dalam rumahmu, supaya mereka semua pun dapat mengasihi Dia. Jika kamu mengasihi Tubuh Kristus, yaitu kesatuan Gereja, doronglah setiap dari mereka untuk bersukacita dalam Tuhan dan katakanlah kepada mereka bersama dengan Daud, “Muliakanlah Tuhan bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyurkan nama-Nya” (Mzm 34:4). Dan untuk ini, jangan membuat perhitungan atau menjadi kikir. Tapi menangkanlah bagi Tuhan, sedapat mungkin semua orang, dengan cara yang memungkinkan, seturut kemampuanmu: dengan menganjurkan mereka, mendukung dan menanggung mereka, memohon bersama mereka, berdialog dengan mereka, dan memberikan alasan-alasan sehubungan dengan iman, dengan kemurahan hati dan kebijaksanaan” (St. Augustine, Commentary on the Psalms 34). Dan di atas semuanya itu, dalam keheningan pagi ataupun malam hari, semoga kita dengan lebih setia, membaca dan merenungkan sabda Tuhan, agar sabda-Nya itu meresap dalam jiwa kita dan memimpin hidup kita.
“Tuhan, jadikanlah aku semakin mencintai sabda-Mu, supaya aku dapat semakin mengenal dan mencintai Engkau.”