Jumat lalu, aku baru saja mengikuti visualisasi kreatif Jalan Salib bersama komunitas Katolik. Di antara 14 Pemberhentian, ada satu Pemberhentian yang sangat berkesan untukku, Pemberhentian IV : Yesus bertemu dengan ibu-Nya.
Dalam visualisasi tersebut, diputarkan video klip dari film “Passion of The Christ”. Di sana, digambarkan bagaimana Bunda Maria merawat Yesus dari kecil, bagaimana ia selalu menemani Yesus ketika Yesus ditahan dan ditanyai di rumah Imam Agung Yahudi, bagaimana ia mengikuti Yesus dengan setia selama Jalan Salib-Nya ke Golgota, dan akhirnya ia berdiri tegar di bawah salib Yesus di Golgota hingga Yesus wafat dan dimakamkan. Lagu yang mengiringi ibarat lagu Pastor yang mengisi renungan Jalan Salib, menjelaskan betapa besar cinta Bunda Maria pada Yesus, dan menghubungkan betapa Bunda Maria dan ibuku mencintai aku. Aku bersyukur Allah memberikan wanita-wanita sebagai figur ibu dalam hidupku.
1) Ibu kandungku adalah pejuang yang tangguh. Empat tahun yang lalu, ayahku terkena stroke sehingga kemampuan fisiknya tidak lagi sempurna. Sejak saat itu, ibuku yang mengerjakan sebagian besar pekerjaan di toko. Walau ayahku masih bisa ikut membantu di toko, stroke menyebabkan temperamennya kurang bisa dikendalikan. Oleh sebab itu, kami empat bersaudara bergantian ikut membantu di toko untuk menolong meredam amarah yang terkadang tidak perlu.
Ibuku adalah pejuang salib. Di tengah tekanan pekerjaan dan tekanan dari ayahku, beliau masih harus berjuang untuk memahami rencana Allah dalam panggilan-Nya kepadaku untuk menjadi seorang imam. Salib ibuku tidaklah mudah. Yang aku bisa lakukan untuk membantunya adalah menghidupi panggilanku sebaik mungkin. Seperti Abraham yang mempersembahkan Ishak, Hanna yang mempersembahkan Samuel, dan Bunda Maria yang mempersembahkan Yesus di Bait Allah, ibuku berjuang memanggul salibnya untuk mempersembahkan aku. Semoga suatu hari nanti, ibuku bisa berbahagia karena ia telah memberikan persembahan pada Allah yang lebih dari kebanyakan orang.
2) Ibu rohaniku juga adalah seorang pejuang tangguh. Beliau berjasa memberikan pupuk untuk pertumbuhan iman Katolikku hingga saat ini. Bertahun-tahun menikah dengan pasangannya, ia tidak kunjung memiliki anak. Betapa sedihnya beliau ketika tahu bahwa ternyata mereka berdua tidak memiliki kesempatan menggendong anak kandung karena keterbatasan biologis. Namun, ibuku ini tidak menjadi kecewa pada Allah maupun pada ayah rohaniku. Dengan penuh iman, beliau melangkah keluar dari kesedihan dan bersama dengan ayah rohaniku mencari rencana Allah untuk mereka. Akhirnya mereka bersama memutuskan untuk melayani Allah seumur hidup melalui pelayanan katekese.
Hari ini, aku yakin bahwa mereka memiliki anak rohani yang dikuatkan imannya berkat pelayanan mereka. Salah satunya adalah aku. Bahkan, anak rohani mereka lebih banyak dari anak kandung yang bisa dimiliki pasangan lain. Ibu rohaniku juga masih sedang berjuang dalam pelayanan, yang tentu saja tidak pernah surut akan tantangan. Ia juga memanggul salibnya bersama Kristus dengan bahagia. Semoga suatu hari nanti, aku bisa menunjukkan melalui panggilanku bahwa ibu rohaniku tidak sia-sia merawat iman biji sesawi yang kecil ini.
3) Ibu Surgawiku adalah pejuang paling tangguh. Persembahan hidupnya pada Allah sungguh luar biasa. Kasihnya pada Kristus dan Allah adalah inspirasi. Ketegarannya menanggung derita adalah semangat. Ketaatannya pada rencana Allah adalah teladan. Kemuliaan yang ia terima dari Putranya adalah harapan. Ia menjadi contoh bagi semua umat Kristiani dalam hal hidup menurut Roh Kudus dan mencintai Yesus demi Allah Bapa. Sedari usia dini Gereja, ia selalu menjadi tokoh yang dihormati secara khusus. Walaupun saat ini tidak semua orang melihat perannya sebagai ibu, ia tetap sabar mengasihi dan mendoakan semua orang pada Putranya. Ia menuntun mereka yang dengan tulus meminta,”Tolong tunjukkan Yesus, Putramu, padaku”.
Perjalanan panggilanku juga tidak lepas dari doa dan penghiburannya sebagai seorang ibu. Ia memberikan penghiburan ketika aku sedih, mendoakanku ketika imanku goyah, dan memintakan petunjuk dari Yesus ketika aku ragu. Oleh sebab itu, sama seperti pesannya, ”Apa yang dikatakanNya padamu, perbuatlah itu”(Yoh 2:5), menjadi pelayan Putranya adalah satu-satunya cara terbaik untuk membalas jasanya. Seperti doa ibu kandungku dan ibu rohaniku yang akan selalu menyertaiku, doa ibu Surgawiku akan selalu menolongku di saat sulit dan berat. Ia telah menjadi pejuang unggul dalam memanggul salib bersama Kristus. Sekarang, ia menolong semua orang, termasuk aku, dalam perjuangan memanggul salib Kristus.
Di balik seorang pria yang sukses, ada wanita yang mendukungnya. Memintal gulali hidupku memang tidak mudah. Namun, aku percaya Allah menempatkan orang-orang yang selalu mau mendukungku. Seperti Yesus yang diikuti oleh para wanita kudus, aku percaya bahwa panggilanku ini tidak lepas dari dukungan doa para wanita kudus ini. Terutama, Bunda Maria yang selalu menyertai aku dalam perjalanan salibku mengikuti Yesus. Di doa ibuku, namaku disebut. Para ibuku, mohon doakanlah aku!
“Sungguh membahagiakan saat ingat bahwa Bunda Maria adalah ibu kita! Karena ia mencintai kita dan tahu kelemahan kita, apa yang perlu kita takutkan?” – St. Theresa dari Lisieux.
Dear Katolisitas,
Mohon penjelasan tentang penulisan keempat Injil.
Karena keempat injil ditulis dalam kurun waktu yang berbeda dan oleh 4 penulis yang berbeda, maka apakah ada kemungkinan, misalnya, Yohanes sudah membaca Injil Markus baru menuliskan Injilnya; atau Markus sudah membaca Injil Matius lalu menuliskan injilnya, dan seterusnya?
Ataukah ada pernyataan dari Gereja bahwa keempat penulis Injil menuliskan injilnya tanpa pernah membaca ketiga Injil yang lain?
terima kasih
Salam, Yusup Sumarno
Terima kasih atas pertanyaan anda. Maaf agak lama menjawab karena saya masih berusaha mencari jawaban untuk pertanyaan anda.
Sejauh yang saya cari, saya belum menemukan pernyataan Gereja yang menyatakan pembaca Injil pernah atau tidak membaca penulis Injil lainnya. Namun, dari pernyataan St. Clemens yang pernah saya kutip untuk jawaban sebelumnya, kita bisa mellihat bahwa Gereja mengenal Injil yang dituliskan. Jadi, setelah Injil Matius atau Injil Markus ditulis, Injil tersebut digunakan untuk pewartaan sehingga menyebar luas di kalangan umat. Selain itu, penulisan Injil tersebut juga diketahui oleh St. Petrus selaku penjaga iman. Oleh sebab itu, kita dapat menduga bahwa para penulis Injil juga setidaknya mengetahui mengenai adanya Injil yang ditulis oleh saudara-saudara mereka dalam iman.
Selain itu, kita juga dapat menduga dari struktur penulisan Injil sinoptik. Kesamaan dan urutan yang hampir serupa dari ketiga Injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas) bisa menjadi indikasi bahwa para penulis Injil saling mengenal Injil satu sama lain. Pembukaan Injil Lukas juga menjadi tanda bahwa “banyak orang menulis mengenai peristiwa yang terjadi” dan hal tersebut disampaikan oleh “mereka, yang semula adalah saksi mata dan pelayan dari Firman” (Luk 1:1-2).
Inilah sejauh yang dapat saya simpulkan dari apa yang saya cari. Mungkin Tim Katolisitas lain dapat memberikan pembahasan dan informasi yang mendalam mengenai hal ini. Semoga berguna.
Pacem,
Ioannes
Pak Ioannes,
Banyak terima kasih. Saya bisa memahami kalau tidak ada referensi yang lengkap.
Shalom Yusup,
Dari tulisan para Bapa Gereja, kita mengetahui bahwa Rasul Yohanes kemungkinan telah membaca ketiga Injil Sinoptik, atau setidaknya mengetahui secara garis besar apakah yang dituliskan oleh ketiga Injil Sinoptik yang telah ditulis sebelum ia menuliskan Injilnya. Itulah antara lain sebabnya, mengapa Injil Yohanes ditulis dengan cara penyampaian yang berbeda dari ketiga Injil Sinoptik, dengan menyampaikan detail-detail maupun ajaran-ajaran yang belum dituliskan dalam ketiga Injil Sinoptik yang telah ditulis lebih dahulu daripada Injil Yohanes. Dengan demikian keberadaan Injil Yohanes melengkapi ketiga Injil yang sudah ada.
Berikut ini adalah tulisan para Bapa Gereja yang memberikan kesaksian tentang hal ini:
1. Kesaksian St. Papias (+120).
Kesaksian St. Papias penting, karena ia adalah murid langsung Rasul Yohanes. St. Irenaeus mengatakan bahwa St. Papias adalah “seorang pendengar Rasul Yohanes, rekan Polikarpus, seorang dari zaman dulu.” St. Irenaeus (+202) sendiri adalah murid dari St. Polikarpus (69-155), dan karena itu kesaksian ini mempunyai bobot yang yang kuat untuk dipercaya.
Kata St. Papias:
“Dan presbiter [Rasul Yohanes] mengatakan ini. Markus, yang adalah penerjemah dari Rasul Petrus, menuliskan dengan akurat tetang apapun yang dapat diingatnya. Walaupun demikian, tulisannya tidak dibuat dengan urutan yang tepat tentang apa yang dikatakan maupun dilakukan oleh Kristus. Sebab ia tidak mendengar Tuhan ataupun mengiringi Dia. Tetapi sesudahnya, seperti telah kukatakan, ia mengiringi Rasul Petrus, yang memberikan pengajaran-pengajaran menurut kepentingan [para pendengarnya], tetapi tanpa maksud untuk untuk memberikan kisah narasi yang biasa tentang perkataan-perkataan Tuhan Yesus. Sebab tentang satu hal ia [Markus] sungguh sangat teliti, [yaitu] untuk tidak menghilangkan apapun yang telah ia dengar, dan tidak memasukkan apapun yang hanya fiksi/dongeng ke dalam pernyataan-pernyataannya.” (Papias, An Exposition of the Oracles [Scriptures] of the Lord, dalam fragmen tentang komposisi Injil Markus, sebagaimana dikutip dalam catatan sejarawan Eusebius).
Kesaksian ini penting, sebab menyatakan, bahwa menurut kesaksian Rasul Yohanes, St. Markus mencatat kesaksian langsung dari Rasul Petrus tentang Kristus -yaitu tentang pengajaran-Nya dalam pelayanan publik-Nya, dan kisah Sengsara dan Kebangkitan-Nya. Injil Markus sendiri memberikan kesaksian ini, sebab dalam Injilnya terdapat banyak detail khusus seperti yang umumnya diberikan oleh seorang saksi mata, yang dalam hal ini adalah Rasul Petrus sendiri. Rasul Yohanes juga memberikan kesaksiannya, bahwa tulisan St. Markus tersebut dibuat “tidak dengan urutan yang tepat”, artinya, Rasul Yohanes kemungkinan sudah pernah membaca tulisan St. Markus ataupun mendengar tentangnya, sehingga ia dapat berkomentar demikian.
2. Kesaksian St. Klemens (150-215)
“Ketika Petrus berada di Roma berkhotbah di depan publik tentang Sabda Allah dan mewartakan Injil dengan Roh, mereka yang hadir, yang banyak itu, mempercayakan kepada Markus, sebagai seorang yang telah mengikutinya [Petrus] sejak lama dan mengingat apa yang telah dikatakan, untuk mencatat apa yang telah diucapkan; tetapi setelah ia [Markus] menyusun Injilnya dan membagikannya dengan siapapun yang menginginkannya; ketika Petrus mengetahui hal itu, ia tidak secara aktif melarang ataupun mendorongnya. Tetapi akhirnya Rasul Yohanes, sadar bahwa fakta-fakta fisik telah dinyatakan di dalam Injil-injil, didorong oleh rekan-rekan, dan diinspirasikan oleh Roh Kudus, menyusun sebuah Injil rohani (spiritual gospel).” (St. Clement of Alexandria, Hypotyposeis apud Eusebius, Hist. eccl. 6.14.5-7)
Kesaksian St. Klemens ini juga menunjukkan kemungkinan yang kuat bahwa Rasul Yohanes telah membaca/ mengetahui secara garis besar apa yang telah dituliskan dalam ketiga Injil lainnya, dan ia melengkapinya dengan ajaran-ajaran maupun perbuatan-perbuatan Yesus yang belum disampaikan di dalam ketiga Injil sinoptik tersebut.
Namun tentang apakah para penginjil sinoptik (Matius, Markus Lukas) itu saling membaca satu sama lain, atau membaca Injil yang lebih dahulu ditulis, sepanjang pengetahuan kami, tidak secara eksplisit tertulis dalam catatan para Bapa Gereja. Para Bapa Gereja hanya mencatat bahwa Injil pertama yang ditulis adalah Matius, dan kemudian diikuti oleh Markus dan Lukas, baru terakhir Yohanes. Kesaksian St. Irenaeus tentang keempat Injil penting, karena St. Irenaeus adalah murid St. Polikarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam bukunya yang terkenal Against the Heresies, St. Irenaeus (180) menggarisbawahi asal usul apostolik kitab Injil, sebagai berikut:
“Kita telah mengetahui bukan dari siapapun tentang rencana keselamatan kita kecuali dari mereka yang melaluinya Injil telah diturunkan kepada kita, yang pada suatu saat mereka ajarkan di hadapan publik, dan yang kemudian, sesuai dengan kehendak Tuhan, diturunkan kepada kita di dalam Kitab Suci, untuk menjadi dasar dan tonggak dari iman kita…. Sebab setelah Tuhan kita bangkit dari mati [para rasul] diberikan kuasa dari atas, ketika Roh Kudus turun [atas mereka] dan dipenuhi oleh semua karunia-Nya, dan mempunyai pengetahuan yang sempurna: mereka berangkat menuju ujung-ujung bumi, mengajarkan kabar gembira yang diberikan oleh Tuhan kepada kita…. Matius… menuliskan Injil untuk diterbitkan di antara orang Yahudi di dalam bahasa mereka, sementara Petrus dan Paulus berkhotbah dan mendirikan Gereja di Roma…. Markus, murid dan penerjemah Petrus, juga meneruskan kepada kita secara tertulis, apa yang biasanya dikhotbahkan oleh Petrus. Dan Lukas, rekan sekerja Paulus, juga menyusun Injil yang biasanya dikhotbahkan Paulus. Selanjutnya, Yohanes, murid Tuhan Yesus ….juga menyusun Injil ketika tinggal di Efesus, Asia Kecil.” (St. Irenaeus, Against the Heresies, book III, ch. 1,1)
Selanjutnya tentang pandangan bahwa Injil Matius adalah Injil yang pertama ditulis, sudah pernah diulas di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bu Ingrid,
Banyak terima kasih atas tambahan penjelasan yang sangat lengkap ini.
Saya sangat menghargai totalitas Ibu dalam mencari jawaban atas pertanyaan pembaca, termasuk saya.
Jalan Salib, Perhentian ke 4: Yesus berjumpa dengan Ibu-Nya.
Namu dalam ke empat Injil tidak pernah disebutkan, hanya dalam Yoh 19:25 diceritakan Ibu-Nya berdiri didekat salib. Dan di ketiga Injil lain nama Maria, Ibu-Nya tidak disebutkan sama sekali, lebih banyak disebutkan Maria yang lain. bahkan dalam Mk 15:47 Maria Magdalena dan Maria ibu Yoset yang melihat tempat dimana Yesus akan dimakamkan.
Dari manakah Gereja Katolik mengutip perikop diatas?
Salam, Adhi Sukmono
Terima kasih atas pertanyaan anda dan syukur pada Allah atas rasa ingin tahu anda terhadap Jalan Salib. Semoga melalui salib Kristus, kita turut mati bersamaNya terhadap dosa dan turut bangkit bersama –Nya dalam kehidupan yang baru di dalam Dia.
Sebelum menjawab pertanyaan Adhi, ada beberapa hal yang perlu dipahami:
Pertama, kita semua tahu bahwa Kitab Suci memang mengandung nilai sejarah. Namun, Kitab Suci bukanlah kitab sejarah. Artinya, penulisan kitab suci tidak pernah dimaksudkan untuk memberikan catatan sejarah lengkap. Penulisan kitab suci dituliskan sejauh “supaya kita kita percaya bahwa Yesuslah Mesias, anak Allah, dan supaya kita oleh iman kita memperoleh hidup dalam namaNya (Yoh 20:31)”. Maka, wajar bila Kitab Suci tidak mencangkup semua detail mengenai hidup Yesus karena “jikalau semua itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.(Yoh 21:25)”
Kedua, kita percaya bahwa keempat Injil menceritakan kebenaran, sekalipun beberapa detail mungkin hadir di satu Injil tapi tidak disebutkan di Injil satunya. Kita tahu bahwa penulisan Injil Yohanes terletak di urutan terakhir dibandingkan dengan tiga Injil lainnya. Oleh sebab itu, wajar bila St. Yohanes melengkapi detail penting yang belum disebut dalam ketiga Injil lainnya. Ini sesuai juga dengan kesaksian St. Clemens dimana :
“Injil-Injil yang memuat silsilah Yesus [yaitu Matius dan Lukas], ditulis lebih dahulu. Injil Markus ditulis sedemikian, “Ketika Petrus telah berkhotbah di hadapan umum di Roma, dan mewartakan Injil oleh Roh Kudus, banyak orang yang hadir meminta agar Markus, yang telah mengikuti dia [Petrus] untuk waktu yang lama dan mengingat perkataannya, agar menuliskan perkataan-perkataan tersebut. Dan setelah menyusun Injil itu, ia memberikannya kepada mereka yang memintanya. Ketika Petrus mengetahui hal ini, ia tidak secara langsung melarang ataupun mendukungnya. Tetapi, pada akhirnya, Yohanes, merasa bahwa fakta- fakta yang nampak dari luar telah dinyatakan dengan jelas di Injil, [karena] didorong oleh teman-temannya, dan diilhami oleh Roh Kudus, menyusun Injil rohani.” – St. Clemens dari Alexandria (150-215 AD) sebagaimana dikutip Eusebius dalam Historica Ecclesiae.
Ketiga, Jalan Salib (Via Crucis) adalah tradisi religius, bukan Tradisi Suci. Artinya, Jalan Salib bukanlah ajaran dogmatik Gereja, melainkan tradisi religius dalam sense sebagai “kebiasaan yang dilakukan turun-temurun”. Asal mula Jalan Salib sendiri adalah berasal dari Kristus sendiri ketika Ia berjalan memanggul salibNya dari praetorium Pontius Pilatus ke bukit Golgota. Menurut tradisi, perjalanan ini dilakukan kembali oleh Bunda Maria di hari Sabtu Suci (Sehari setelah Yesus disalib) dan merenungkan semua peristiwa yang telah terjadi. Perbuatan Bunda Maria ini kemudian diikuti oleh para murid dan wanita-wanita kudus sehingga menjadi suatu kebiasaan.Setelah St. Helena menemukan Salib Kristus yang asli dan dibangunnya gedung gereja di Yerusalem, banyak peziarah yang mengunjungi Yerusalem. St. Jerome (340-420 AD) mengatakan hal serupa, dimana kumpulan peziarah dari berbagai negara mengunjungi Tanah Suci.
Perhentian yang ada dalam Jalan Salib juga berasal dari tradisi tersebut. Dipercaya, perhentian tersebut adalah kejadian yang disaksikan oleh Bunda Maria sendiri selama mengiringi Putranya menuju ke Kalvari. Dalam Injil Yohanes, kita lihat bahwa St. Yohanes dan Bunda Maria berdiri di bawah salib Yesus di Golgota. Oleh sebab itu, cukup masuk akal bila mereka juga menyertai Yesus selama perjalanan ke Golgota. Jalan Salib sendiri adalah devosi yang bebas dipilih untuk dihayati atau tidak. Namun, penghayatan Jalan Salib tentunya mengandung nilai spiritualitas tersendiri.
Mengenai siapa yang melihat tempat dimana Yesus akan dimakamkan, tidak mengubah kenyataan bahwa St. Yohanes dan Bunda Maria berada di lokasi penyaliban. Tulisan bahwa Maria Magdalena dan Maria ibu Yoses melihat tempat Yesus akan dimakamkan memang disebutkan di Injil Markus dan Matius. Namun, ayat tersebut juga tidak menyebutkan bahwa tidak ada orang lain selain mereka yang ikut melihat. Injil tidak menyebutkan bahwa tidak ada wanita lain yang ikut. Injil Lukas malah menuliskan bahwa yang ikut melihat dimana Yesus dimakamkan adalah “perempuan-perempuan yang datang bersama-sama dengan Yesus dari Galilea” (Luk 23:55). Kita tahu bahwa perempuan-perempuan yang bersama-sama dengan Yesus dari Galilea tidak hanya Maria Magdalena dan Maria ibu Yoses.
Kesimpulannya, Kitab Suci memang tidak menyebutkan beberapa Pemberhentian yang ada dalam Jalan Salib. Namun, Kitab Suci juga tidak menegaskan bahwa hal tersebut tidak terjadi. Cukup masuk akal bagi seorang ibu untuk mendampingi Putranya yang sedang mengalami penderitaan besar. Jalan Salib adalah devosi yang bisa kita lakukan secara bebas dan bermanfaat membantu kita merenungkan derita Yesus. Ini sungguh bernilai, terutama karena kemuliaan dan kebangkitan Yesus lebih disukai orang daripada penderitaan dan sengsara. Semoga kita semakin berani mengikuti Yesus, tidak hanya dalam kemuliaanNya, namun juga dalam salibNya.
Pacem,
Ioannes
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Adhi,
Sebagaimana telah disampaikan, Jalan Salib bukanlah merupakan Tradisi Suci (mengandung ajaran yang mengikat umat beriman), tetapi tradisi religius, artinya suatu kebiasaan yang telah dilakukan Gereja sejak abad-abad awal. Walaupun berasal dari abad-abad awal, devosi Jalan Salib yang kita kenal sekarang baru mulai berkembang secara pesat di Gereja pada Abad Pertengahan (abad 12-13), sebagaimana diajarkan oleh St. Bernardus, St. Fransiskus dan Asisi dan St. Bonaventura. Saat itu bertumbuh rasa syukur yang sangat mendalam umat Kristiani, atas diperolehnya kembali dari penguasaan tentara muslim, gedung gereja Holy Sepulchre yang memperingati lokasi penyaliban dan kubur Tuhan Yesus. Maka tradisi prosesi religius menuju lokasi yang sakral ini kemudian dihidupkan kembali.
Sebagai suatu bentuk devosi, rumusan perhentian Jalan Salib tidak termasuk dalam katagori ajaran iman yang mengikat dan tidak dapat diubah. Paus Yohanes Paulus II di tahun 1991 mengeluarkan rumusan Jalan Salib yang baru, dengan perhentian-perhentian yang merenungkan peristiwa-peristiwa jalan salib Yesus sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci. Rumusan ini tidak untuk dianggap menggantikan atau menggeserkan rumusan perhentian Jalan Salib tradisional yang sudah lama dikenal Gereja, namun sebagai suatu cara lain untuk merenungkan Jalan Salib Yesus, agar dapat semakin dihayati. Dan karena rumusan perhentian ini dibuat berdasarkan apa yang tertulis dalam Kitab Suci, maka rumusan ini dapat digunakan juga oleh umat Kristen non- Katolik, jika mereka ingin merenungkan Jalan Salib Yesus. Perhentian-perhentian tersebut adalah:
1. Yesus di Taman Getsemani
2. Yesus dikhianati oleh Yudas dan ditangkap
3. Yesus dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agama
4. Yesus diingkari oleh Petrus
5. Yesus diadili oleh Pontius Pilatus
6. Yesus didera dan dimahkotai duri
7. Yesus memanggul salib-Nya
8. Yesus dibantu oleh Simon dari Kirene untuk memikul salib-Nya
9. Yesus bertemu dengan wanita-wanita Yerusalem
10. Yesus disalibkan
11. Yesus menjanjikan Kerajaan-Nya kepada pencuri yang bertobat
12. Yesus berbicara kepada ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya
13. Yesus wafat di salib.
14. Yesus dikuburkan
Demikianlah sedikit tambahan dari saya tentang Jalan Salib, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.