Pada tanggal 29 Maret 2015, aku dengan antusias merayakan Misa Syukur atas ulang tahun ke tujuh puluh delapan tahun dari seorang nenek. Nama nenek itu adalah Lianiwati Ganda Wijaya. Aku yakin akan mendapatkan hikmat kehidupan darinya.
Benarlah yang aku yakini. Ketika aku tiba, nenek itu menyambutku dengan ramah. Kehadirannya membangkitkan rasa sayang dan kagum kepadanya. Ia tidak tertatih-tatih walaupun tulang kakinya sudah lemah. Ia bisa mengerti dan menimpali pembicaraan walaupun pendengaran jasmaninya sudah banyak berkurang. Sorotan matanya memancarkan kesabaran. Senyuman menyunggingkan ucapan syukur. Seluruh hidupnya telah menjadi lima roti dan dua ikan, yaitu mukjizat yang melimpah, bagi dirinya dan sesamanya yang mau menyelaminya
Kehidupannya yang tenang dan penuh syukur merupakan buah dari penghayatannya akan bentukan Tuhan dalam segala peristiwa kehidupannya. Ia telah menderita kanker payudara selama tiga puluh tahun, tyroid selama lima belas tahun, gangguan jantung, dan sirosis hati sejak beberapa bulan lalu. Berbagai penyakit yang ditanggungnya tidak membuatnya mengeluh : “Mengeluh hanya akan memperparah penyakit. Aku mempunyai Dokter yang hebat. Dokter itu nama-Nya adalah Dokter Agung, yaitu Tuhan sendiri. Ia tidak hanya mampu menyembuhkan, tetapi Ia meneguhkan dan turut menanggung penyakitku dalam bilur-bilur-Nya. Dokter Agung itu membuat aku menerima penyakitku dengan penuh syukur. Menerima berarti berserah kepada-Nya dan tanpa menyerah. Bersama dengan Dokter Agung itu, semua beban penyakitku terasa ringan. Aku pun senantiasa tersenyum dan hilang rasa sakitku”.
Aku bingung dan sekaligus kagum bahwa nenek itu bisa bersyukur atas berbagai penyakit yang dialaminya sehingga aku ingin mendapatkan jawabannya : “Oma, mengapa Oma bersyukur atas begitu banyak penyakit yang Oma tanggung. Orang lain pasti sudah frustasi loh… Oma”.Jawabannya sungguh menunjukkan bahwa oma itu memang manusia yang sangat rohani : “Aku mendapatkan banyak hikmat dari macam-macam penyakitku ini. Dengan mengalami berbagai penyakit ini, aku ternyata disayang Tuhan. Melalui penyakitku ini, aku menyadari diri seorang manusia yang lemah. Dengan menyadari diri sebagai manusia yang lemah, aku menjauhkan diri dari kesombongan. Aku bersandar total kepada Tuhan. Karena Tuhan adalah sandaranku, aku senantiasa datang kepadaNya untuk menimba kekuatan dariNya. Semakin aku sering datang kepadaNya, relasiku juga semakin dekat denganNya. Orang yang dekat dengan Tuhan pasti disayangiNya. Selain disayang Tuhan, aku juga sangat disayang oleh kelima anakku, cucu-cucuku, dan suamiku yang telah mendampingiku selama lima puluh dua tahun. Perhatian dan cinta mereka yang tulus sungguh aku rasakan ketika aku menghadapi berbagai penyakit ini. Mereka telah memperpanjang nafas hidupku”. Semua yang terjadi diolahnya sebagai sesuatu pesan sayang/cinta dari Tuhan sehingga hidupnya dipenuhi dengan kesabaran. Kelima anaknya mengatakan bahwa mamanya itu tidak pernah marah selama hidupnya. Pengalamannya disayang Tuhan karena dekat denganNya mengingatkanku akan Firman Tuhan :“Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7).
Hikmat yang dapat kita pelajari dari kehidupan oma ini : Ketika kita sedang terluka, terhina, atau sakit, jangan pernah frustasi. Renungkanlah kehidupan rumput di depan mata kita, maka harapan akan muncul kembali. Walapun diinjak, dipotong, dihancurkan, dan dibakar, rumput itu tidak lama lagi akan muncul lebih hijau, lebih kuat, dan lebih indah. Terimalah luka, hinaan, dan sakit dan penyakit sebagai pembentukan Tuhan, hidup akan menjadi lebih indah dan berseri karena memancarkan ketegaran, ketabahan, dan syukur :“Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya” (Yeremia 18:4).
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC