Penulis tertarik dengan fokus pastoral Keuskupan Agung Semarang tahun 2014 yaitu “Beriman dengan cerdas, tangguh, misioner”. Tulisan ini merupakan pandangan penulis mengenai fokus pastoral tersebut, yang sebenarnya juga merupakan ide yang universal bagi umat Katolik di manapun berada.

Gereja Kristus yang Satu-Kudus-Katolik-Apostolik yang sering dikenal dengan nama ringkas Gereja Katolik, telah lama merumuskan ajaran imannya yang konsisten sepanjang zaman itu secara sistematik. Ajaran itu secara lengkap bisa kita baca dalam buku berjudul ”Katekismus Gereja Katolik” (KGK). Telaah mengenai iman, serta bagaimana beriman dengan cerdas, tangguh dan misioner telah ada dalam ajaran tersebut. Karena itu, penulis tak bisa lepas dari ajaran resmi Gereja Katolik mengenai hal ini sejauh termaktub dalam KGK.

1. Beriman dengan Cerdas

KGK artikel 155 menyatakan: “Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama dengan rahmat ilahi: ”Iman adalah suatu kegiatan akal budi yang menerima kebenaran atas perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah dengan pengantaraan rahmat. (Thomas Aquinas, 2-2, 2,9) bdk. Konsili Vatikan I: DS 3010”. Jelas bahwa ada dua instansi yang bekerja mengarahkan hidup manusia menurut KGK 155 tersebut yaitu: akal budi dan kehendak. Keduanya bisa berfungsi jika bekerja sama dengan“rahmat ilahi” yang ada di luar ketiganya. Kerja sama itu mungkin jika ada iman. Kehendak manusia, dengan pertimbangan akal budi dalam imannya akan Allah, mengarah ke tindakan nyata tertentu, keputusan tertentu yang membimbing manusia kepada keselamatan. Setiap keputusan dan tindakan manusia, mesti mempertimbangkan imannya akan Allah. Tindakan dan keputusan manusia yang benar, mesti berdasarkan pertimbangan akal budi yang ada dalam iman dan disebabkan oleh terbukanya si manusia akan rahmat ilahi. Orang yang demikian akan memutuskan dan bertindak dengan pertimbangan iman: manakah tindakanku yang sesuai dengan kehendak Allah yang harus dilakukan dan manakah tindakan yang bukan kehendak Allah dan seyogyanya tidak dilakukan. Jadi, kecerdasan (akal budi) sejati selalu melibatkan iman. ”Orang cerdas” pertama-tama ialah orang beriman, dan orang beriman pastilah ”cerdas” karena mencari kesetujuan akal budi akan imannya. Fides quaerens intellectum, iman mencari pemahaman, kata St Thomas Aquinas.

Saya ambil contoh nyata dari keterlibatan saya di web yang berisi tanya jawab iman Katolik yaitu https://katolisitas.org/ ini. Di website katolisitas ini, ada banyak pertanyaan dari pembaca, dan kami para kontributor dan pengelola website (Stef dan Ingrid) harus menjawabnya dengan benar, dengan kata-kata yang mudah dipahami berdasar ajaran dan dokumen Gereja Katolik (termasuk dokumen kesaksian iman Gereja Katolik yang disebut Alkitab) agar bisa dipertanggungjawabkan di hadapan akal budi. Dari sekian banyak penanya, ada yang bertanya mengenai benar tidaknya ajaran-ajaran Gereja Katolik. Ia menyangsikan kebenaran dan keutuhan ajaran Gereja Katolik dan berkeinginan untuk pindah agama. Rencananya itu, selain mengusik perasaannya, juga mengusik akal budinya yang menuntutnya untuk mencari jawaban atas pertanyaannya itu. Salah satu usahanya ialah bertanya di website tersebut. Setelah bertanya-jawab beberapa waktu, ia mengambil keputusan bahwa tidak jadi meninggalkan Gereja Katolik, karena akal budinya bisa menerima penjelasan dari ajaran Gereja Katolik. Benarlah KGK 156 yang menyatakan: ”Alasan untuk percaya tidak terdapat dalam kenyataan bahwa kebenaran yang diwahyukan itu kelihatan benar dan jelas dalam cahaya budi kodrati kita. Kita percaya “karena otoritas Allah yang mewahyukan, yang tidak dapat keliru dan tidak dapat menyesatkan” (Konsili Vatikan I: DS 3008). Namun, “supaya ketaatan iman kita sesuai dengan akal budi, maka Allah menghendaki agar bantuan batin Roh Kudus dihubungkan dengan tanda bukti lahiriah bagi wahyu-Nya. (DS 3009)”. Maka mujizat Kristus dan para kudus menunjukkan bahwa penerimaan iman sekali-kali bukanlah dari gerakan hati yang buta”. Bagi orang itu, yang kemudian mantap menghayati iman Katoliknya melebihi sebelumnya, berlaku kebenaran KGK 176: ”Iman adalah satu ikatan pribadi manusia seutuhnya kepada Allah yang mewahyukan Diri. Di dalamnya terdapat persetujuan akal budi dan kehendak terhadap wahyu Diri Allah melalui perbuatan dan perkataan-Nya”. Ia dengan akal budinya menyetujui kebenaran iman Katolik seutuhnya.

Begitulah beriman dengan cerdas, yaitu selalu kritis terhadap rencana, keputusan dan tindakannya sendiri, mengujinya dengan akal budi berdasar ajaran iman. Ia pun mesti kritis pula terhadap paham-pahamnya sendiri. Hal ini tidak hanya mengenai keputusan moral, misalnya apakah sebaiknya melakukan KB dengan cara alamiah ataukah dengan alat kontrasepsi, mau membuat bayi tabung ataukah tidak usah, dsb, namun juga dalam hal keputusan iman itu sendiri. Dalam perkara ini, contoh jelas ada dalam website www.chnetwork.org. Di situ, banyak orang pencari kebenaran, menemukan kecocokan akal budi dan kehendaknya dalam ajaran Gereja Katolik. Maka, cara pembentukan diri agar agar beriman dengan cerdas tiada lain ialah mengenal dan bertanya-tanya mengenai ajaran imannya sendiri. Orang Katolik, hendaknya selalu mempertimbangkan prinsip ajaran iman Katolik sebelum memutuskan sesuatu. Khasanah yang kaya sudah tersedia dalam KGK dan aneka dokumen pendukungnya. Rajin belajar mengenai iman sendiri tentu akan sangat membantu memberi tuntunan untuk mengambil keputusan yang tepat.

2. Beriman dengan Tangguh

Rasul St. Paulus menyatakan: ”Kamu telah menerima Kristus Yesus Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur ” (Kol 2:1-2). Menurut Santo Paulus, keteguhan atau ketangguhan iman itu merupakan proses bisa makin ”bertambah teguh”. Ketangguhan ini terjadi karena hidup yang berakar dalam Kristus, dibangun di atas pondasi Kristus, dan karena itu melimpah dengan ucapan syukur. Santo Paulus mengalami deraan dari luar karena imannya. Ia justru tangguh dari dalam. ”Harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2 Kor 4: 7).

Sebenarnyalah tantangan dan serangan dari luar tidak akan menggoyahkan kita asalkan kita tetap berpegang pada iman kepada Allah. ”Kami tidak tawar hati. Tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari hari ke hari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang jauh melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.” (2Kor 4:16-17). Justru ketangguhan iman sejati berasal dari dalam. Jika dari dalam rapuh, tak usah digoda dari luar pun akan runtuh dengan sendirinya. Yesus Tuhan kita menyindir hal ini dengan perumpamaan membangun rumah di atas batu dan di atas pasir (Mat 7:24-27). Orang yang mendengar Dia dan melaksanakan sabda-Nya itulah yang kuat dari dalam, bagaikan rumah yang didirikan di atas batu.

Rasul St Paulus menjadi martir di kota Roma seperti halnya ribuan martir lain di sana, termasuk Rasul St. Petrus, paus pertama kita. Kehidupan dan kematian para martir awal Gereja itu memberi pengertian kepada kita akan arti beriman dengan tangguh. Ketangguhan iman para martir kota Roma sejak abad I kelak berbuah menjadikan kota Roma menjadi pusat Kekristenan dunia. Beriman dengan tangguh berarti mengarahkan diri pada hidup yang akan datang, yang lebih sejati, yang dianugerahkan kepada kita berkat ketangguhan iman sampai akhir. KGK 202 mengutip Konsili Lateran menyatakan: “Kami percaya dengan teguh dan mengakui dengan jujur bahwa ada hanya satu Allah yang benar, kekal, tidak terbatas, dan tidak berubah, tidak dapat dimengerti, maha kuasa, dan tidak terkatakan yaitu Bapa, Putera, dan Roh Kudus: meskipun tiga Pribadi, tetap satu hakikat, substansi atau kodrat yang sama sekali tak tersusun dari bagian-bagian” (Konsili Lateran IV: DS 800). Sedangkan KGK 84 menyatakan: “Pusaka Suci Iman (bdk. 1tim 6:20, 2Tim 1:12-14) [depositum fidei] yang tercantum di dalam Tradisi Suci dan di dalam Kitab Suci dipercayakan oleh para Rasul kepada seluruh Gereja. Dengan berpegang teguh padanya seluruh Umat Suci bersatu dengan para Gembala mereka dan tetap bertekun dalam ajaran para Rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti dan doa-doa (lih. Kis 2:42 ss). Dengan demikian dalam mempertahankan, melaksanakan, dan mengakui iman yang diturunkan itu timbullah kerukunan yang khas antara para Uskup dan kaum beriman” (DV 10). Keteguhan iman itu tampak secara lahir dan objektif dalam komunitas dan praktek tradisi iman yang sejak para rasul taat menjalankannya hingga Kristus sendiri datang kembali. KGK 93 menyatakan: ”Dengan perasaan iman yang dibangkitkan dan dipelihara oleh Roh Kebenaran, umat tanpa menyimpang berpegang teguh pada iman, yang sekali telah diserahkan kepada para kudus (Yud 3); dengan pengertian yang tepat umat semakin mendalam menyelaminya, dan semakin penuh menerapkannya dalam hidup mereka” (LG 12). Berteguh dalam iman sudah merupakan hakikat orang Katolik.

Secara lebih pribadi, ketangguhan iman itu diuji dalam kesetiaan suami-isteri yang mengucapkan janji setia di depan altar, kesetiaan para imam yang berjanji setia dalam merasul di dunia modern ini sampai mati, kesetiaan anggota-anggota Gereja dalam melakukan tugas sehari-hari di rumah, di kantor dan dalam masyarakat. Sejauh mana tahan terhadap godaan harta, kekuasaan, kenikmatan badani, kemalasan, hidup tidak teratur? Sejauh mana tetap mengarahkan diri pada Kristus Sang Kebenaran dan Hidup? Kalau perlu menjadi martir, maka memang haruslah demikian. Pada akhir doa Pengakuan Iman dalam buku ”Kompendium Katekismus Gereja Katolik” edisi bahasa Latin, ada kalimat ”In hac fide vivere et mori statuo” yang terjemahan bebasnya ialah, ”Dalam iman yang beginilah saya hidup dan mati”.

3. Beriman dengan Misioner

Misioner berarti melaksanakan misi atau perutusan. Mazmur 116:10 dikutip oleh St. Paulus dalam 2Kor 4:13: ”Namun karena kami memiliki roh iman yang sama seperti ada tertulis ”Aku percaya sebab itu aku berkata-kata”, maka kami juga percaya dan sebab itu kami juga berkata-kata”. Menjadi utusan terjadi karena iman. Setelah pembaptisan, orang Katolik menjadi utusan-Nya. Menjadi utusan di zaman ini tetaplah sama hakikatnya dengan menjadi misionaris di abad para rasul yaitu ”berkata-kata”. Namun, kata-kata mesti menghujam jauh ke hati dan berdaya ubah. Tentu saja kata-kata demikian merupakan kata-kata berkat. Kata ”berkat” dalam bahasa Latin ialah ”benedictio” yang berasal dari kata dasar ”bercakap” (dicere) dan ”yang baik” (bene). Kita diutus menyampaikan berkat dengan menyampaikan percakapan yang baik. Maka, kata-kata berkat hendaknya menjadi kata dasar bagi para misionaris zaman ini. Kita-lah misionaris kabar gembira bahwa Allah menyelamatkan manusia dengan berbela rasa dalam diri Yesus Kristus.

Menjadi misionaris ialah hakikat kita sebagai anggota Gereja Kristus. Gereja hanya menjadi Gereja jika melakukan misi atau perutusan, menyebarkan keselamatan yang telah ia terima. Tanpa misi, kita hanyalah segerombolan orang, bukan Gereja. KGK 868 menyatakan: ”Gereja itu Katolik. Ia mewartakan seluruh iman; ia mempunyai dan membagi-bagikan kepenuhan sarana keselamatan; ia diutus kepada semua bangsa; ia berpaling kepada semua manusia; ia merangkum segala waktu; ia adalah “misionaris menurut hakikatnya ” (AG 2). Kata ”Katolik” yang berarti keseluruhan, kepenuhan, semua, segala, secara jelas menyatakan bahwa Gereja yang penuh dengan Kristus menjadi utusan-Nya sepenuhnya untuk menjangkau keseluruhan manusia.

Mewujudkan diri sebagai misionaris di zaman digital ini lebih mudah secara teknis: kita ketik kata-kata yang baik dan kita sebarkan ke kontak-kontak yang ada dalam alat komunikasi kita. Kita bisa memberikan ayat kutipan Kitab Suci, kutipan tulisan para bapa Gereja, kutipan dokumen Gereja, tulisan para kudus Gereja, ataupun para penulis rohani. Atau bisa pula menyebarkan rekaman suara atau video kita sendiri atau orang lain mengenai topik-topik motivasi dan hidup rohani. Tantangan tidak semudah mengetik dan menyebarkannya. Kadang-kadang ada sebaran berita yang memerosotkan kegembiraan, seperti berita bohong (hoax), pesan berantai yang mengandung ancaman, dll. Namun kita bisa memberikan jawaban balik dengan berita yang jelas yang merupakan kebenaran. Tantangan justru muncul dari dalam diri sendiri. Setelah kata-kata yang baik, bagaimanakah agar diriku menjadi ”pelaksana sabda”? Karena sebenar-benarnya misionaris pewarta Injil, ialah mereka yang melaksanakan apa yang ia wartakan itu sendiri.

4. Formasi Iman Berdimensi Cerdas-Tangguh-Misioner

Seperti Kristus memberi perumpamaan mengenai penabur, maka setelah benih disemai, harus dirawat, dijaga dari hama dan burung, dipupuk, diberi pelindung, diberi penguat, dijaga pembungaan dan pembuahannya, dipanen dengan tertib. Pembentukan orang-orang beriman yang cerdas-tangguh-misioner tak lepas dari perumpamaan itu. Dimulai dari keluarga yang didasari kesetiaan suami-isteri, penaburan benih iman dimulai. Anak pertama-tama bertumbuh dengan meniru apa yang diperbuat orangtuanya. Kemudian ia akan bertanya-tanya mengenai kebiasaan imannya: mengapa ayah dan ibu membuat tanda salib? Apa isi cerita Kitab Suci? Siapakah Yesus, siapakah paus, siapakah uskup, siapakah imam, apa itu sakramen? Dan seterusnya. Dalam hal ini, KGK 2226 menyatakan: ”Pendidikan iman oleh orang-tua sudah harus mulai sejak usia anak-anak. Ia mulai dengan kebiasaan, bahwa anggota-anggota keluarga saling membantu, supaya dapat tumbuh di dalam iman melalui kesaksian hidup yang sesuai dengan Injil. Katekese keluarga mendahului semua bentuk pelajaran iman yang lain, menyertainya dan memperkayanya. Orang-tua menerima perutusan untuk mengajar anak-anaknya berdoa dan mengajak mereka menemukan panggilan mereka sebagai anak-anak Allah (bdk LG 11). Bagi keluarga-keluarga Kristen, paroki adalah persekutuan Ekaristi dan hati kehidupan liturgi. Ia adalah tempat yang sangat cocok untuk katekese anak-anak dan orang-tua”. KGK 2252: ”Orang-tua adalah orang-orang pertama yang bertanggung jawab atas pendidikan iman, doa, dan semua kebajikan pada anak-anaknya. Mereka berkewajiban supaya sejauh mungkin memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anak-anaknya”.

Setelah itu, secara berjenjang dan berkelanjutan, paroki dan keuskupan membentuk iman mereka dengan komunitas OMK, kewajiban menyiapkan diri untuk komuni I, persiapan penerimaan Sakramen Krisma, persiapan menikah. Bersama-sama sebagai keluarga Allah, hendaknya kita saling mengingatkan akan pentingnya penumbuhan iman yang cerdas-tangguh-misioner. Misalnya setiap kali bertemu kita saling memberi informasi mengenai pelatihan atau seminar dan diskusi yang baik, bacaan yang inspiratif, website sumber iman Katolik yang terjamin mutunya. Kita saling memberi informasi pula mengenai kegiatan doa dan devosi serta perayaan-perayaan iman sakramental maupun non-sakramental, rekoleksi, retret dan sebagainya. Secara pribadi dan bersama, kita rutin belajar ajaran iman Katolik, dan mendoakan sesama yang susah serta mengunjungi saudara-saudara yang kecil-lemah-miskin-tersingkir-difabel. Lebih lanjut, akan makin menggembirakan hati kita sebagai umat beriman, jika di paroki, sekolah, campus ministry, dan komunitas secara sengaja diprogramkan aneka pendalaman topik-topik iman tertentu. Semoga dengan demikian, nama-Nya makin dimuliakan dan makin banyak orang mendengar warta keselamatan itu melalui Gereja-Nya.

Penulis: Romo Yohanes Dwi Harsanto Pr, Imam Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang, kini Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) periode Januari-Desember 2014, tinggal di Jakarta. Naskah ini diolah dari naskah yang sama yang telah dimuat pada majalah bulanan Kristiani INSPIRASI – Lentera yang Membebaskan no 115 th X Maret 2014.

4 COMMENTS

  1. Salam sejahtera,

    Saya ingin bertanya, apakah sengaja hidup selibat demi cita cita dan melayani sesama (bukan menjadi imam), diperbolehkan?

    • Salam Hans,

      Nasehat Apostolik “Christifideles Laici” dari Paus St Yohanes Paulus II artikel 55 menyatakan: “Semua anggota Umat Allah – para klerus, biarawan-biarawati, kaum awam beriman – merupakan pekerja-pekerja di kebun anggur Tuhan. Serentak mereka itu sasaran dan subjek persekutuan Gereja maupun peserta dalam tugas penyelamatan. Masing-masing kita memiliki karisma-karisma dan pelayanan-pelayanan, berbeda-beda namun saling melengkapi, bekerja di dalam kebun anggur Tuhan yang satu dan sama”. Sedangkan pada artikel 56, disebutkan bentuk-bentuk panggilan dalam situasi kaum awam. “Spiritualitas kaum awam ini hendaknya memperoleh cirinya yang khas dari status hidup seseorang: sudah menikah, daam hidup berkeluarga, selibat, janda/duda, dari keadaan kesehatan seseorang dan dari kegiatan profesional dan sosial…”. karena itu Selibat awam selalu mendapat tempat dalam Gereja untuk mewartakan Injil dan melayani dengan cara yang khas. Setiap pribadi dipanggil Tuhan dengan nama masing-masing untuk melayani pertumbuhan Gereja dan Kerajaan Allah.

      Di Keuskupan Agung Jakarta, misalnya, ada awam perempuan selibat. Mereka bertemu rutin untuk berdoa, merefleksikan hidup dalam terang Sabda Tuhan, dan ‎menyambut Sakramen Tobat dan Ekaristi rutin. Pekerjaan mereka ialah pekerja LSM, guru dosen, pebisnis, karyawan, dan sebagainya khas awam, namun mereka dipersatukan dalam panggilan selibat.

      Salam,
      RD. Yohanes Dwi Harsanto

  2. Dear katolisitas,
    maaf sebelumnya saya ingin bertanya, ini menyangkut iman saya. Saya sering browsing tentang hal2 yg berkenaan dengan iman dan saya menemukan hal menarik, yaitu: Kitab gnostik (injil thomas, yudas, dsb) yang isinya tentang 40 hari kehidupan rasul dan Yesus sebelum ke surga dan banyak berkata bahwa itu adalah benar dan disembunyikan. Mohon bantuannya untuk menjawab kegelisahan saya, terima kasih.
    Djiko, 18 tahun.

    [dari Katolisitas: silakan membaca uraian yang berkaitan dengan pertanyaan Anda dalam artikel-artikel berikut ini, silakan klik pada judulnya:

    Tentang Injil Thomas

    Tentang The Lost Gospel

    Ada Berapa Jumlah Injil?]

  3. Shalom,
    saya mendengar berita akhir-akhir ini banyak bangsa-bangsa yang merindukan gereja yang turun dari sorga. Apakah ini pertanda bahwa gereja yang ada sekarang ini kering, sehingga gereja masa kini tidak dapat memuaskan kehausan bangsa-bangsa akan sorga yang ditawarkan oleh gereja ?

    Mohon penjelasan.

    Salam,
    Pardohar

    [dari katolisitas: Terus terang saya tidak pernah mendengar gereja yang turun dari Surga. Kita jangan terpengaruh terhadap pengajaran-pengajaran yang tidak sesuai dengan iman Katolik.]

Comments are closed.