[Minggu Prapaskah V: Yes 43:16-21; Mzm 126:1-6; Flp 3:8-14; Yoh 8:1-11]
Ada pepatah yang mengatakan, “Kita tak kuasa mengubah masa lalu kita. Namun kita dapat belajar dari masa lalu kita, dan dengan demikian, mengubah masa depan kita.” Cara pandang sedemikian diajarkan oleh sabda Tuhan hari ini, seperti yang disampaikan oleh Nabi Yesaya. Nabi Yesaya menubuatkan bahwa bangsa Israel akan mengalami pembuangan di Babel (lih. Yes 43:14). Namun Nabi Yesaya tidak hanya menubuatkan tentang pembuangan tersebut, melainkan juga sesudahnya, yaitu bahwa Babel akan runtuh; mereka menerima penghakiman Allah atas apa yang telah mereka perbuat terhadap bangsa Israel (lih. Yes 47). Namun sebelum itu terjadi, memang Babel adalah bangsa yang besar dan berkuasa. Maka tak mengherankan jika umat Israel berkecil hati membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka dijadikan tawanan bangsa itu. Namun Allah memahami kekhawatiran umat-Nya. Allah mengingatkan mereka, bahwa sama seperti Allah telah melepaskan mereka dari penjajahan Mesir di masa lalu, demikianlah, Allah akan membebaskan umat-Nya dari penjajahan Babel dan mendatangkan penghukuman kepada bangsa itu. Segera setelah mengingatkan umat-Nya akan perbuatan tangan-Nya di masa lalu, ketika Ia membuka jalan di Laut Merah, dan melepaskan umat-Nya dari pengejaran bangsa Mesir, Allah mengatakan agar mereka jangan mengingat-ingat hal-hal yang dahulu. Ada peralihan drastis di sini: dari disuruh mengingat pengalaman yang lalu, menjadi disuruh “melupakan hal-hal yang dahulu”. Nampaknya, Allah menghendaki umat-Nya selektif dalam mengingat masa lalu. Allah tak mau kita terpuruk dalam rasa bersalah atas segala dosa yang telah kita perbuat di waktu yang dulu. Sebab jika demikian, kita tidak mampu melihat bahwa Allah hendak membuat sesuatu yang baru (lih. Yes 43:18-19). Yaitu, bahwa Allah mempersiapkan rahmat keselamatan, bagi kita yang bertobat dan mau dilepaskan dari belenggu dosa kita.
Minggu lalu kita telah diajak untuk bertobat dan meninggalkan dosa-dosa kita. Kita menjadi seperti anak yang hilang yang kembali kepada bapanya. Kini tibalah saatnya kita bermazmur dan merenungkan karya keselamatan Allah bagi kita. Di hari Minggu Sengsara (Passion Sunday) ini, kita merenungkan karya Allah Bapa yang telah mengutus Yesus Putera-Nya. Yang melalui sengsara, wafat-Nya dan kebangkitan-Nya, Ia melepaskan kita dari dosa-dosa kita dan memulihkan jiwa kita. Saat itu kita seperti orang-orang yang bermimpi. Tuhan telah melakukan perkara besar pada kita, maka kita bersukacita (lih. Mzm 126:1-6).
Sungguh, kita diampuni dan dipulihkan bukan karena jasa kita sendiri, namun oleh jasa pengorbanan Kristus, yang sebentar lagi kita rayakan secara istimewa dalam Pekan Suci. Kita diselamatkan, bukan oleh kebenaran diri sendiri karena melakukan berbagai hukum dan aturan hukum Taurat, tetapi oleh “kebenaran karena iman kepada Yesus Kristus”. Itulah sebabnya Rasul Paulus menganggap rugi segala sesuatu, setelah ia mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya (lih. Flp 3:8-11). Ini juga suatu peringatan bagi kita untuk memandang hukum-hukum Taurat dalam terang Kristus. Bukan berarti bahwa hukum Taurat dalam Perjanjian Lama semuanya tidak berguna. Tetapi bahwa semuanya itu adalah persiapan bagi penggenapannya di dalam Kristus. Maka layaklah misalnya, bahwa Gereja sejak abad pertama, beribadah pada hari Tuhan, yaitu hari Minggu, yang merupakan perayaan akan kuasa kebangkitan Kristus. Ini menggenapi makna perayaan Sabat, yang maknanya adalah hari yang dikuduskan bagi Tuhan (lih. Kel 16:23). Sebab Allah menyatakan kekudusan-Nya melalui kebangkitan Putera-Nya, Yesus Kristus (lih. Rm 1:4); dan menguduskan kita yang mendapat bagian dalam kebangkitan-Nya itu (lih. Why 20:6). Sayangnya, ajaran yang telah sedemikian jelas ini, tak serta merta diterima oleh semua umat Kristen. Sebab masih ada saudara-saudari kita, yang mengartikan hukum Taurat tanpa melihat kaitannya dengan penggenapannya di dalam Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya. Semoga saja sabda Tuhan hari ini memantapkan pemahaman kita akan cara pandang Gereja Katolik tentang hukum Taurat dalam kaitannya dengan penggenapannya di dalam Kristus, seperti yang diajarkan oleh para rasul, secara khusus oleh Rasul Paulus. Ia telah meninggalkan segalanya, setelah ia mengenal Kristus.
Bacaan Injil hari ini kembali menegaskan bahwa hal meninggalkan segalanya, paling jelas dinyatakan dengan pertobatan. Kisah wanita yang berdosa ini mengingatkan kita akan kasih Kristus yang tak terpisah dari keadilan-Nya. Ia mengampuni wanita itu, namun memperingatkan agar ia jangan berbuat dosa lagi (Yoh 8:11). St. Agustinus berkata, “Maka Tuhan kita mengecam dosa, tetapi tidak mengecam orang yang berdosa. Sebab seandainya Ia menyokong dosa, Ia akan berkata, ‘Pergilah, dan hiduplah sesuka hatimu: [hanya] bergantunglah pada penebusan-Ku. Betapapun besar dosamu, itu tidak masalah: Aku akan membebaskan kamu dari neraka dan para penyiksanya’. Tetapi Ia tidak berkata demikian. Biarlah mereka memperhatikan, yang mengasihi kerahiman Tuhan, dan takutilah kebenaran-Nya. Sungguh murah hati dan benar-lah Tuhan.” (St. Augustine, Catena Aurea, John 8:1-11)
Perkataan Yesus, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi….” hendaknya mengingatkan kita untuk senantiasa bertobat, setiap kali kita jatuh ke dalam dosa. Sebab ada kemungkinan, bahkan besar kemungkinannya, bahwa setelah diampuni Tuhan, kita tetap jatuh ke dalam dosa, entah dosa yang sama atau berbeda. Itulah sebabnya Rasul Paulus tidak menganggap dirinya sempurna. Namun untuk dapat bangkit, Rasul Paulus tidak mau mengingat-ingat jerat dosanya di masa lalu. Ia mengarahkan diri kepada apa yang di hadapannya, yaitu “panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Flp 3:14). Marilah kita mengikuti teladan Rasul Paulus, untuk tidak mengikatkan diri pada masa lalu—entah karena terus menyalahkan diri sendiri atau keadaan. Masa lalu sudah tidak dapat kita ubah. Namun yang bisa kita ubah adalah masa depan, yang penuh harapan jika kita menjalani hari ini bersama Kristus. Yaitu, dalam tuntunan belas kasih-Nya, kita berjuang untuk mawas diri dan berjalan dalam kebenaran-Nya.
“Belas kasihan tidak bertentangan dengan keadilan. Sebaliknya, belas kasihan menunjukkan cara Allah menghampiri orang berdosa, sembari menawarkan kepadanya kesempatan baru untuk mawas diri, bertobat dan percaya.” (Paus Fransiskus, Misericordiae Vultus, 21).