Pertanyaan:
Syalom Bapak Stefanus/ Ibu Inggrid,
Saya mempunyai pergumulan mengenai masalah tehnik hubungan suami istri secara oral yaitu di satu sisi suami merasa lebih senang dengan cara tersebut karena dia lebih bergairah dengan melihat istri orgasme dan juga dilakukan dengan istri sendiri, namun saya pribadi merasa tidak benar, sehingga kadang saya menghindari hubungan ini.
Namun disisi lain saya merasa tidak enak untuk menolak suami, karena selama inipun dia tidak pernah memaksa dan juga melakukan dengan lembut (dengan foreplay lebih dulu).
Saya mengakukan hal ini dalam beberapa sakramen tobat, dan berkonsultasi dengan pastur, mereka menjawab yang penting adalah dilakukan dg hubungan kasih antara anda berdua, soal tehnik tidak masalah asal menyenangkan berdua.
Namun sampai sekarang saya merasa tidak enak/berdosa dan telah membawanya dalam doa agar Tuhan Yesus membuka pengertian kami berdua, kalau seandainya Tuhan tidak berkenan, maka suami menjadi tercelik pikirannya dan apabila ini tidak menyebabkan dosa maka saya dapat melakukan tanpa merasa berdosa/bersalah.
Bagaimana saya harus bersikap dalam menunggu jawaban dari Tuhan, karena selama ini masih berlangsung, meski saya sudah mengutarakan kepada suami tentang yang saya rasakan, namun menurut dia seperti jawaban di atas ini dilakukan dg istri sendiri dan membuat dia lebih senang, sehingga saya menjadi serba sulit.
Terima kasih, mohon sarannya, Tuhan memberkati. – Loki
Jawaban:
Shalom Loki,
Terima kasih atas pertanyaannya yang sangat terbuka, yang saya percaya banyak pasangan Katolik yang juga ingin mengetahui apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik dalam hal ini. Loki mempertanyakan apakah boleh pasangan suami-istri Katolik melakukan oral-sex.
I. Berikut ini adalah beberapa prinsip mengenai seksualitas:
1) Paus Paulus VI di dalam ensiklik “Humanae Vitae”, paragraf 12 dikatakan “This particular doctrine, often expounded by the magisterium of the Church, is based on the inseparable connection, established by God, which man on his own initiative may not break, between the unitive significance and the procreative significance which are both inherent to the marriage act.”
Dari sini kita melihat bahwa ada dua elemen penting di dalam hubungan suami istri, yaitu: 1) Elemen persatuan (the unitive) dan 2) terbuka terhadap kelahiran (the procreative).
Hubungan suami istri adalah suatu hubungan yang sakral (conjugal chastity), dimana suami istri disatukan dalam suatu kasih yang begitu indah dan sakral. Sebagai contoh: bayi tabung dilarang, karena menghilangkan dimensi kesatuan antara suami dan istri (selain itu juga karena proses bayi tabung melibatkan aborsi)
Hubungan suami istri juga harus terbuka terhadap kelahiran (the procreative), karena ini adalah bukti bahwa suami-istri saling mengasihi dengan cara memberikan dirinya secara total dan utuh tanpa ada yang “disembunyikan/ dibuang“. Oleh karena itu, penggunaan kontrasepsi melanggar prinsip ini.
2) Sacred Congregarion for the Doctrine of the Faith di dalam “Persona Humana” – deklarasi tentang etika seksual, bab IX, mengatakan “The main reason is that, whatever the motive for acting this way, the deliberate use of the sexual faculty outside normal conjugal relations essentially contradicts the finality of the faculty. For it lacks the sexual relationship called for by the moral order, namely the relationship which realizes “the full sense of mutual self-giving and human procreation in the context of true love.”
3) Secara prinsip, kasih dapat didefinisikan sebagai “eros” atau tertarik pada apa yang baik, dan “agape” atau mengharapkan yang baik terjadi pada orang yang kita kasihi. Dan ini hanya dapat dicapai dengan memberikan diri kita kepada orang yang kita kasihi. Dalam hubungan suami istri, saling memberi sebagai ungkapan kasih adalah menjadi elemen yang utama.
4) Tidak ada dokumen Gereja yang mengatur hubungan suami-istri sampai detail, namun Gereja memberikan prinsip “the unitive” dan “the procreative” sebagai dua hal yang harus terpenuhi dalam hubungan suami-istri.
II. Dengan dasar-dasar tersebut di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa:
1) Pada saat oral-sex dilakukan tanpa suatu hubungan suami istri yang sempurna/komplit, yang memungkinkan terjadinya suatu kelahiran, maka hal tersebut merupakan pelanggaran moral. Pada saat pihak suami, yang “memberikan benih” tidak memberikan benih kepada rahim sang istri, maka itu adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Namun pihak istri dapat mengalami orgasme sebelum atau setelah “hubungan yang normal” dilakukan, asal dalam konteks “complete conjugal act” atau hubungan suami-istri yang lengkap.
Maka, hubungan sex yang semata-mata hanya oral sex ataupun yang berakhir dengan cara oral-sex dan tidak membuka kesempatan untuk terjadinya kelahiran, sehingga ungkapan kasih yang total tidak terpenuhi- melanggar ketentuan kesatuan suami istri yang disyaratkan oleh Gereja dalam conjugal act. Dalam kasus ini hubungan suami istri hanya dilihat sebagai pemuas nafsu belaka. Oleh karena itu, aspek “the unitive” juga dipertanyakan.
2) Namun kalau oral-sex dilakukan dalam konteks suatu “foreplay” yang menuju pada suatu hubungan yang sempurna, maka masih dapat dibenarkan secara moral. Hal ini disebabkan karena suami-istri saling memberi dan dilanjutkan dengan suatu hubungan yang terbuka terhadap kelahiran atau hubungan suami-istri yang komplit (complete conjugal act atau normal conjugal relation). Oleh sebab itu, dua aspek “the unitive” dan “the procreative” terpenuhi.
Namun hal ini hanya dapat dibenarkan kalau dua belah pihak (suami-istri) tidak berkeberatan untuk melakukannya. Pada saat salah satu pihak berkeberatan, maka prinsip untuk “self-giving” menjadi hilang dan diganti dengan rasa terpaksa. Untuk inilah pasangan suami istri perlu mendiskusikannya secara terbuka dan tidak boleh ada salah satu pihak yang memaksa atau terpaksa.
Demikian jawaban yang dapat saya sampaikan. Karena Gereja Katolik tidak pernah memberikan suatu pernyataan tentang hal ini secara mendetail, maka mungkin ada yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan apa yang saya paparkan.
Oleh karena hal ini adalah topik yang cukup sensitive, diskusikanlah dengan suami secara terbuka dan lemah lembut dengan dasar kasih. Diskusikan bahwa seorang istri dapat menerapkan nomor 1 dan 2, namun seorang suami hanya dapat menerapkan nomor 2. Dalam hal ini, mungkin cara tersebut masih dilakukan, namun sang suami tidak dapat mencapai ejakulasi di luar rahim sang istri. Bawalah dalam doa, dan bicarakan dengan suami pada saat yang tepat.
Saya mohon maaf, kalau ada kata-kata yang terdengar kasar karena keterbatasan saya dalam mengungkapkan konsep ini, namun hal ini diperlukan agar konsep moral dan teologis dapat dicapai. Semoga dapat berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – https://katolisitas.org
shalom
mohon informasi, jika suami istri sudah tidak berencana mempunyai anak lagi karena sudah cukup anak, apakah boleh / dosa jika tetap berhubungan suami istri meskipun tidak ada tujuan untuk membuat anak lagi.
Trims
Shalom Bejo,
Gereja mengajarkan bahwa pernikahan yang dimaksudkan Tuhan bagi manusia melibatkan kesatuan yang menyeluruh antara pasangan suami istri, dengan keterbukaan sepenuhnya kepada kelahiran anak-anak di antara mereka. Sikap terbuka itu diwujudkan dalam aspek hubungan suami istri yang suci di antara keduanya, di mana hubungan suami istri merupakan salah satu sendi dasar yang membentuk perkawinan yang utuh, yang tidak dapat dihilangkan. Keterbukaan terhadap kelahiran anak-anak adalah sikap dasar yang menjadi bagian dari komitmen pernikahan berdua sejak disahkan di hadapan Tuhan dan GerejaNya melalui Sakramen Perkawinan, dan menjadi sikap yang konsisten di sepanjang kehidupan perkawinan. Sebagai respon kepada kasih Tuhan dan bentuk ketaatan yang bertanggungjawab kepadaNya, keterbukaan itu semestinya tidak dipengaruhi apakah pasutri itu sudah (cukup) mempunyai anak ataupun belum.
Kalaupun pasutri ingin mengatur jumlah kelahiran, hubungan suami istri dilakukan dengan melibatkan metode pengaturan kelahiran secara alamiah, yang tidak bertentangan dengan ajaran moral Gereja, yaitu dengan KB alamiah metode Creighton yang sudah diteliti mempunyai tingkat keberhasilan yang cukup baik. Dalam metode itu, suami istri berpantang berhubungan di sekitar masa subur istri. Karena tidak melanggar prinsip moral, maka hubungan suami istri dengan menerapkan metode KB alamiah tersebut bukan merupakan sikap menolak kemungkinan hadirnya kelahiran anak, yang tetap dapat dikaruniakan Tuhan kapan saja, menurut kebijaksanaanNya, terlepas dari kondisi apa pun dari keluarga suami istri tersebut. Dengan demikian, keterbukaan kepada kehendak Tuhan melalui kehadiran anak tidak diingkari.
Jadi, tidak lagi mempunyai tujuan untuk mempunyai anak lagi itu sendiri bukanlah dosa, asalkan tujuan itu dicapai melalui cara-cara yang diperkenankan oleh ajaran moral Gereja seperti yang disebutkan di atas. Tetapi menjadi dosa, apabila hubungan suami isteri dilakukan hanya demi hubungan itu sendiri, dengan menghilangkan sikap terbuka terhadap kehendak Tuhan atas kehadiran anak (lagi), apalagi jika tujuan supaya tidak ada anak lagi itu dicapai dengan segala cara melalui bermacam-macam sarana kontrasepsi. Aspek keterbukaan itu harus selalu ada, maka menerapkan metode KB alamiah adalah jalan untuk bisa tetap berhubungan suami istri tanpa implikasi sikap menolak kemungkinan kelahiran baru.
Berikut ini mari kita cermati ajaran Gereja mengenai tujuan ganda perkawinan yang tercantum dalam Katekismus Gereja Katolik pasal 2363 yang berbunyi :
§ 2363 Melalui persatuan suami isteri terlaksanalah tujuan ganda perkawinan: kesejahteraan suami isteri dan penyaluran kehidupan. Orang tidak dapat memisahkan kedua arti dan nilai perkawinan ini satu dari yang lain, tanpa merugikan kehidupan rohani pasangan suami isteri dan membahayakan kepentingan perkawinan dan masa depan keluarga.
Dengan demikian cinta suami isteri antara pria dan wanita berada di bawah tuntutan ganda yakni kesetiaan dan kesuburan.
Semoga pertanyaan Anda sudah terjawab sepenuhnya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Triastuti – katolisitas.org
salam damai n salam kenal,
maaf sy seorang Katolik dari kecil, ibu Katolik kolot bapak Katolik moderat.
sy sungguh tidak setuju dengan semua yg dipaparkan tentang sex suami istri di situs ini apalagi mengenai sex oral dan kontrasepsi.
1.karena menurut sy hubungan sex oleh suami istri adalah hubungan yg indah, sakral dan dibenarkan oleh tuhan dengan tujuan akhir untuk kebahagiaan dan keturunan
2. apapun model dan cara berhubungan sex yg dilakukan oleh suami istri selama itu dilakukan tanpa keterpaksaan, menurut sy adalah benar dan sah dan bukan dosa
3. sex oral menurut sy tidak dosa dan melanggar hukum tuhan, mengapa???? karena dilakukan oleh pasangan suami istri yg sah dan disahkan pula oleh gereja dan juga oleh tuhan, oleh cinta kasih pasangan berdua.
namun sekali lagi bila dilakukan dengan senang hati dan tanpa keterpaksaan
4. mempergunakan alat kontrasepsi, menurut sy juga tidak dosa dan melanggar hukum tuhan / gereja, kenapa???? bila suatu keluarga / suami istri telah memiliki min. 2 anak dan kedua2nya/salah satu tidak menjadi pastur, maka perinsip untuk melestarikan keturunan masih berlanjut.
5. bayi tabung, menurut sy juga tidak dosa dan melanggar hukum tuhan, kenapa???? bila hal tersebut dilakukan dengan persetujuan kedua pasangan dan sukarela dan demi prinsip kelansungan keturunan dan bila mana salah satu / kedua belah pihak pasangan mengalami masalah medis tentang alat reproduksinya yg menyebabkan tidak bisa menghasilkan keturunan.
sy tidak naif / sok kristen / sok moderat / munafik, sudah sepantasnya beberapa kebijakan gereja harus diselaraskan dengan teknologi / it / dunia kedokteran modern. asalkan kesakralan tetap terjaga
contohnya aja apa gereja mau menanggung akan akibatnya
kita ambil perkiraan aja
1. dalam 1 gereja mempunyai 100 jemaat pasangan muda / suami istri berumur 25 tahun. kita anggap mereka pasangan bekerja dengan pendapatan 2,5 juta sebulan. Biaya bersalin normal 3 juta dan sesar 7 juta. Masa kehamilan 9 bulan. Biaya pendidikan playgrup up. 5juta bulanan 450 ribu.
Semua jemaat teratur dan aktif berhubungan sex dengan pasangannya.
gereja melarang adanya pemasangan alat kontrasepsi
dalam 5 tahun ke depan maka gereja tersebut akan mempunyai sedikitnya
500 anak dan 100 ortu jadi total 700 orang dan 1 keluarga setidaknya mengeluarkan biaya 5x3jt bila normal dan 5x7jt sesar + 5x5jt + 5x12x450rb
secara finansial keluarga tersebut tidak akan mampu bertahan, malah akan bercerai berai karena beban finansial
kita ambil prinsip dasarnya saja yaitu untuk melanjutkan keturunan, maka 2 – 3 anak cukup, dan pasangan dapat lakukan pemakaian alat kontrasepsi.
“ANAK ITU TITIPAN TUHAN, YG HARUS KITA JAGA, PELIHARA, RAWAT DAN KASIHI”
bila kita menelantarkan anak, maka KITA DOSA, karena tidak bisa menjaga titipan TUHAN tersebut.
kita sbg manusia setidaknya tahu akan kemampuan finansial keluarga kita sendiri.
APAKAH GEREJA PIKIRKAN HAL ITU ????????????
jujur saja bila memang mau lakukan murni apa yg dikatakan Alkitab maka kita adalah mahluk yg tidak akan pernah lepas dari semua perbuatan dosa, apalagi di jaman ini, termasuk GEREJA dan hamba2nya
jadi menurut hemat saya dan yg harus dilakukan adalah
JANGAN MUNAFIK, jujur dan selaras dengan tindakan kita maksudnya katakan tidak ada bila memang tidak ada, salah katakan salah dan minta maaf akan kesalahan itu, jangan pernah punya niatan yg mengatakan “BERBOHONG DEMI KEBAIKAN” karena itulah dosa
IBLIS tidak akan pernah takut bila kita berbuat benar, tapi
IBLIS akan sangat takut bila kita sudah dekat dan mulai berhubungan intim dengan TUHAN
CAMKAN ITU.
salam damai sejahtera,
topan
Shalom Topan,
Untuk poin 1,2, dan 3 dari pernyataan Anda, apa yang diajarkan oleh Gereja tidak menyatakan bahwa apa yang Anda tuliskan ini salah, semuanya benar, hanya tidak sempurna. Kalau hubungan seks hanya ditujukan demi kepuasan fisik dan hanya berhenti sampai di situ, maka apa yang dikehendaki Tuhan melalui seks itu tidak tercapai seluruhnya, karena Tuhan menginginkan kebahagiaan itu tidak berhenti hanya sampai di aspek fisik saja, tetapi juga kedamaian batin dan kesejahteraan mental yang menyeluruh sebagai keluarga. Rencana Tuhan bagi manusia selalunya indah dan larangan-larangan Tuhan melalui ajaran Gereja semata-mata dibuat demi kebahagiaan sejati manusia, tidak hanya lahir tetapi juga batin. Karena Tuhan sangat mencintai kita, ciptaan-Nya yang paling luhur dan segambar dengan Dia. Maka dari itu, keindahan hubungan seksual itu selain dilakukan sebagai bentuk kesatuan yang utuh, juga harus senantiasa dalam kesatuan dengan keterbukaan kepada kelahiran anak-anak. Supaya lebih jelas, silahkan membaca artikel “Kemurnian di dalam perkawinan” khususnya bagian III, “Hubungan seksual dalam perkawinan”, klik di sini.
Menanggapi pernyataan Anda di poin 4 dan 5, Gereja tidak melarang pengaturan kelahiran dalam keluarga, hanya saja caranya yang harus dicermati. Gereja memperbolehkan pengaturan kelahiran dengan metode alamiah. Metoda KB alamiah yang didasari atas pengamatan tanda kesuburan istri (jadi bukan sistem kalender) sebenarnya sudah cukup akurat, contohnya adalah Metoda Creighton, silakan klik di sini untuk membacanya, di mana prinsip kesatuan dan penyerahan diri yang utuh di antara suami istri serta prinsip keterbukaan kepada kelahiran tidak dilanggar.
Metoda KB alamiah juga sudah diajarkan oleh komunitas suster-suster Missionary of Charity yang didirikan Mother Teresa di lingkungan yang sangat miskin di Calcutta, dan berhasil. Maka metoda tersebut tentu juga dapat diajarkan dan diterapkan di Indonesia, yang keadaannya sedikit lebih baik daripada keadaan masyarakat miskin di Kalkuta.
Metode pengaturan kelahiran yang melibatkan sarana kontrasepsi dilarang, karena selain tidak lagi menunjukkan keterbukaan suami istri kepada kelahiran, juga melanggar prinsip saling menyerahkan diri seutuhnya sebagai bagian dari rencana Allah yang indah terhadap suami dan istri dalam sebuah perkawinan. Di samping itu pemakaian sarana kontrasepsi secara umum ternyata tidak kondusif bagi kesehatan, demikianlah jika manusia melawan alam (yaitu apa yang diberikan Tuhan), ternyata selalu ada akibat yang harus diterima, silakan klik di sini untuk membacanya.
Jadi prinsipnya, jika ada solusi yang baik, sehat, dan sesuai dengan kehendak Tuhan, mengapa memilih jalan pintas yang sudah jelas berdampak tidak baik bagi hubungan suami istri, kesehatan istri, maupun moralitas secara umum? Mindset kita perlu diubah untuk menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan sebagaimana diajarkan oleh Gereja, dan bukan meminta Gereja untuk mengubah ajarannya. Sebab Gereja tidak mempunyai kuasa untuk mengubah ajaran Tuhan yang telah dengan setia diturunkan dari pengajaran Yesus, para rasul dan para penerus mereka.
Mengenai anak-anak akan menjadi pastur atau menjadi apapun juga, itu adalah hak anak-anak setelah mereka dapat memutuskan sendiri apa yang baik bagi mereka dan menjadi panggilan hati mereka. Orangtua bertugas membesarkan mereka dengan penuh kasih sayang dan membimbing mereka dengan kebijaksanaan hingga mereka dewasa sehingga mereka dapat menentukan pilihan-pilihan dalam hidup secara baik. Selanjutnya orangtua menyerahkan kepada anak-anak dan kepada Tuhan akan menjadi apa anak-anak mereka kelak, jadi tidak ada kaitannya dengan pengaturan kelahiran dengan alat kontrasepsi
Perihal bayi tabung, kita kembali kepada ajaran Gereja mengenai perkawinan. Gereja sangat bersimpati kepada pasangan suami istri yang tidak berketurunan karena berbagai problem medis, namun usaha untuk mengatasi keadaan itu tidak dapat melanggar prinsip penyatuan secara utuh dari suami dan istri, serta tidak dapat melibatkan aborsi, karena itu merupakan pembunuhan. Proses bayi tabung menyalahi kedua-dua prinsip itu. Silakan klik di sini untuk membaca mengapa demikian.
Pada akhirnya, Gereja senantiasa mengajak kita untuk bertumbuh dan berteguh dalam iman kepada kasih Tuhan di dalam setiap situasi kehidupan. Kita beriman bahwa Tuhan yang mengutus, Tuhan yang menyelenggarakan. Semua yang diijinkan Tuhan terjadi dalam kehidupan manusia berada dalam kendali-Nya sepenuhnya. Tuhan hanya meminta kita beriman dan percaya sepenuhnya bahwa Dia akan memegang segala sesuatu dalam tangan kerahiman-Nya (bdk. Luk 12 : 22-32 dan Luk 18:8). Dan di dalam segala keadaan, mari kita ingat dan hayati selalu bahwa Tuhan sangat mengasihi kita dengan kasih yang tak terselami.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Triastuti dan Ingrid Listiati – katolisitas.org
Mas Topan, ada solusi yang mungkin berkenan yaitu dengan cara menahan hawa nafsu, jadi masalah nafsu itu jangan diumbar, tapi diarahkan agar tidak menimbulkan hal hal yang dilarang dan lain-lain.
Dear Katolisitas,
Saya secara tidak sengaja menemukan sebuah thread salah satu aliran Kristen di Amerika yang mengharuskan wanita yang diperkosa untuk menikahi pria pemerkosanya. Jika si wanita menolak, maka ia berdosa. Mereka mendasarkan pandangan mereka kepada satu ayat kitab suci dan berpegang teguh pada ayat itu.
Bagi saya, ini sangat mengerikan karena wanita yang sudah jadi korban (menurut saya) malah dipersalahkan. Saya ingin bertanya bagaimana pandangan Gereja Katolik mengenai kasus seperti ini. Maaf bila pertanyaannya terkesan aneh. Saya rasa semua pasti menganggap pemerkosaan adalah kejahatan. Tapi saya ingin tahu apakah Gereja Katolik punya sikap resmi mengenai ini.
Terima kasih.
NB: Berikut ini adalah link thread yang saya maksud.
http://www.landoverbaptist.net/showthread.php?t=16536
Lia ybk,
Kekeliruan besar ketika ayat kitab suci dipakai untuk pembenaran tindakan yang salah dan berdosa. Maka pandangan itu keliru, ajaran yang benar selalu memberikan kebaikan bagi manusia dan Tuhan menghendaki itu. Perintahnya untuk menyelamatkan bukan untuk menghancurkan hidup manusia, Kalau begitu jangan dipakai ajaran itu.
Gereja Katolik mengajarkan jika terjadi perkosaan dari sisi hukum sipil diserahkan pihak yang berwenang, dari sisi rohani Gereja Katolik memberikan pelayanan treatment healing bagi korban dan memelihara anak yang dilahirkan.
salam
Rm Wanta
Pak Stef,
saya pernah bertanya ttg Coitus interruptus. bolehkah?
tetapi sepertinya tidak masuk ke web. jadi saya ulangi lagi disini.
http://en.wikipedia.org/wiki/Coitus_interruptus
Shalom Alexander Pontoh,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang Coitus Interruptus (CI). Secara prinsip, CI tidak dapat dibenarkan, karena mengambil aspek prokreasi dan ketulusan kasih yang memberikan diri secara total juga dipertanyakan.
Fr. John Hardon, SJ dalam Catholic Catechism pada bagian “sixth and ninth commandments – Church’s teaching authority.” menuliskan “The list of such declarations would be interminable. In country after country and in every century, bishops and councils forbid “contraceptive potions,” “herbs or other agents so you will not have children,” “spiring the seed in coitus,” “coitus interruptus,” “poisons of sterility,” “avoiding children by evil acts,” “putting material things in the vagina,” and “causing temporary or permanent sterility.” These and similar statements occur in ecclesiastical documents before the end of the thirteenth century.“
Semoga keterangan singkat ini dapat membantu. Silakan juga membaca diskusi antara saya dengan Paulus Prana (silakan klik) dan FXE (silakan klik).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear all;
Diskusi sdr Paulus Prana (PP) dan sdr Stefanus (ST) ini sungguh menarik. Baik PP maupun ST setuju bahwa HSI harus bertujuan prounion dan procreation. Perbedaan ada pada titik : “Tindakan seperti apakah yang dapat dianggap memisahkan prounion dan procreation?”. Bila saya mengikuti alur pemikiran PP maka: “Selama sebuah keluarga tidak resisten / anti thd kelahiran anak, maka TIDAK SETIAP aktifitas HSi harus bertujuan prounion & procreation, ada sekali waktu HSI untuk prounion dan di lain waktu untuk prounion dan procreation.”. Sedangkan argumentasi ST lebih tegas: “SETIAP aktifitas HSI harus bertujuan procreation & prounion.”.
Bila sebuah keluarga ANTI terhadap kelahiran anak, lalu menggunakan kontrasespsi, maka HSI dengan MOTIFASI spt ini hanya bertujuan prounion. Tentu ST maupun PP setuju bahwa HSI dgn motifasi ini tidak benar. Ajaran GK bahwa: “HSI harus bertujuan procreation dan prounion” dapat dimengerti dan diterima semua pihak. Perbedaan ada pada level teknis pelaksanaan ajaran tsb., seperti tafsiran ST atau seperti tafsiran PP. Analogi dgn aktifitas makan oleh PP, maka bila konsisten dgn tafsiran ST: kita hanya boleh makan bila butuh energi (3x sehari saja). Dgn tafsiran PP: ada kalanya kita makan hanya untuk kesenangan (ngemil, fine-dining, etc) tetapi kita tetap tidak boleh lupa untuk makan teratur agar mendapat energi untuk bekerja. Sebenarnya bila pasangan melakukan HSI dalam siklus steril istri, bukankah saat itu HSI jg mengesampingkan tujuan procreation nya? Jadi…. , bagaimana ini… ?
Shalom Fxe,
Terima kasih atas tanggapannya. Dalam jawaban saya terhadap Paulus Prana, maka saya ingin menekankan bahwa HSI, harus mempunyai dua unsur, yaitu prounion dan procreation. Procreation dalam hal ini adalah bukan berarti bertujuan untuk melahirkan anak-anak, namun tidak menghalangi atau terbuka terhadap kelahiran. Bagi umat yang memang mempunyai keterbatasan ekonomi, maka mereka dapat melakukan KB alamiah, sehingga HSI dapat terjadi, dan unsur prounion dan procreation tetap ada. Dalam contoh yang diberikan oleh Paulus Prana – yaitu makan, maka jangan sampai kita ngemil tanpa memperhatikan fungsi utama dari makanan, yaitu untuk menjaga kesehatan tubuh. Bahkan ngemil yang tidak memperhatikan kesehatan tubuh – misal: makan coklat terus menerus – dapat merusak kesehatan tubuh. Dalam kasus yang anda tanyakan, kalau istri dalam keadaan steril dan terjadi HSI, maka suami istri tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi pembuahan. Dengan demikian HSI yang dilakukan tetap mempunyai dua aspek, yaitu prounion dan procreation. Semoga, keterangan tambahan ini dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Mas Stef & Mas Fxe,
Terima kasih atas penjelasannya. Saya ingin menyatakan kembali pada prinsipnya mas Stef dan saya are on the same page.
Keterangan saya sebelumnya justru menunjukkan konsistensi sudut pandang tentang pemenuhan aspek pro-creation dan pro-union secara komprehensif dan integral, sebab;
1. Kesakralan HSI ditentukan antara lain oleh faktor libido, yang juga merupakan karunia Tuhan kepada ciptaannya, termasuk kepada hewan & tumbuhan. Sehingga libido / nafsu (termasuk nafsu seks, nafsu makan, nafsu belajar, nafsu untuk maju, nafsu berkompetisi, dll) merupakan hal yang alamiah, mulia & fisiologis, serta tidak perlu dikonotasi negatif (peyoratif), sejauh dalam rentang equilibrium tertentu yang disepakati.
Pendapat saya, justru proses penetrasi penis ke vagina yang TANPA dilandasi libido dan kasih BUKAN-lah sebuah HSI, melainkan hanya sebuah “pelacuran” (mohon maaf dengan pilihan kata saya ini – tdk berhasil ketemu istilah lainnya), yang tentu jauh dari konsep sakral, sebab tidak ada proses dialog yang equal (take-and-give, sebagai hakikat dasar komunikasi & kasih sayang), karena barangkali yang ada hanya proses take-and-take atau give-and-give, walaupun bisa jadi salah satu atau kedua pihak tidak menyadari-nya.
2. Sehubungan dengan KB Alamiah dan Pro-creation yang berarti TIDAK MENUTUP TERHADAP TERJADINYA PEMBUAHAN, maka pendapat saya sbb:
a. KB atau family planning pada hakikatnya adalah me-rencana-kan agar waktu kehamilan dapat disesuaikan dengan pertimbangan medis, ekonomis, dll.
b. Kita sepakat bahwa point di atas HANYA berlaku pada pasangan suami-istri, sehingga bila hubungan seks itu adalah pre-marital atau extra-marital, maka TIDAK termasuk topik bahasan ini.
c. Family Planning seperti apa yang dikategorikan alamiah? yang berarti memenuhi syarat Tidak Menutup Kemungkinan Pembuahan TETAPI Dapat Menunda Pembuahan. Nah lho? hehe….
(i) HSI pada masa steril istri, kalau IMHO, Justru MENUTUP KEMUNGKINAN PEMBUAHAN sebab sudah tahu memang dilakukan pada saat probabilitas pembuahannya nol. Jadi kegiatan inipun bersifat KONTRASEPTIF (kontra=melawan, sepsi=pembuahan).
(ii) HSI yang benar-benar Tidak Menutup Kemungkinan Pembuahan justru bila dilakukan saat istri masa fertil (alias mungkin terjadi kehamilan), sebab toh bisa terbuahi dan bisa juga Tidak Terbuahi. Tapi kalau demikian, namanya bukan Family Planning kan ya? Jadi, sbnearnya ada / tidak ya Family Planning yg benar-benar sesuai dengan interpretasi tsb, tetapi agar kita tetap konsisten?
d. Bila konsisten dengan logika di point c. di atas, maka cara family planning yang lain, seperti: coitus interuptus (ejakulasi sperma di luar), alat kontrasepsi, non-penetration-sexual-encounter, dll., harusnya dikategorikan alami juga.
Yang tidak alami adalah bila telah terjadi pembuahan, kemudian dilakukan eksresi zigot / embrio secara paksa, dll (jadi tergolong aborsi juga ya?)
e. dari sudut pandang saya, Tuhan yang Maha Agung telah menciptakan manusia sedemikian kompleksnya, dengan siklus menstruasinya, komposisi hormon, daya imajinasi, emosi, libido, dll,
Barangkali, Tuhan pun memberikan ruang bagi manusia untuk memanfaatkan akal budinya (karunia-Nya pada manusia) untuk mengembangkan pengelolaan ciptaannya, termasuk dalam konteks reproduksi dan hormonal-emosional.
Jadi, aneka bentuk alat dan cara kontrasepsi adalah hal yang ALAMIAH, sebagai hasil karya cipta dan rekayasa manusia, untuk tujuan peningkatan kualitas hidup keluarga (jumlah anak sesuai kemampuan –> perkembangan anak optimal –> pemenuhan amanah orang tua atas titipan Tuhan)
f. Akalbudi manusia sebagai karunia Tuhan harus dapat dimanfaatkan untuk mengisi ruang rentang interpretasi atas firman Tuhan, sebab sekali lagi TIDAK ada satu orang pun, satu dokumen pun, yang mampu menerjemahkan secara 100% komprehensif firman Tuhan, karena betapa terbatasnya pemahaman kita sebagai manusia jika membandingkan diri dengan Tuhan.
Consequently, TIDAK ada satu orang pun, satu dokumen pun, yang berhak memegang klaim sebagai kebenaran absolut, kecuali Tuhan sendiri yang maha Komprehensif.
Hence, merupakan suatu keniscayaan bahwa akan selalu ADA RUANG untuk Interpretasi yang berbeda, yang belum tentu tidak benar, karena sekomprehensif-komprehensifnya kebenaran yang mampu kita (manusia) pahami tetaplah parsial relatif terhadap kebenaran absolut milik-Nya.
Salam,
Shalom Paulus Prana,
Terima kasih atas tanggapannya. Dari tanggapan anda, maka sebenarnya saya dapat menyimpulkan bahwa pandangan kita justru tidak sama. Mari kita lihat satu persatu:
1. Memang benar bahwa Tuhan telah memberikan “kesenangan” dalam proses procreation. Dengan demikian tidak ada yang salah dengan libido, karena memang ini menjadi bagian dari kodrat manusia dan juga hewan. Namun bukan berarti bahwa libido dapat digunakan sebebas mungkin, sehingga memberikan justifikasi untuk melakukan apapun dengan alasan bahwa libido adalah bagian dari kodrat manusia. Sebaliknya procreation yang tidak didasari oleh prounion memang merupakan suatu aktifitas yang kehilangan kesakralannya dan juga dapat berdosa (walaupun dilakukan oleh pasangan yang telah menikah). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah prounion dapat terpisah dari procreation dalam HSI?
2. KB Alamiah bukanlah menutup pembuahan, karena tidak menghalangi proses terjadinya pembuahan. Adalah dua hal yang sungguh sangat berbeda antara KB alamiah (KBA) dengan KB buatan (KBB seperti: kontrasepsi, dll), karena KB buatan menghalangi terjadinya procreation. Sedangkan dalam proses KBA, maka HSI tetap berjalan sebagaimana adanya tanpa adanya penghalang, yang berarti tetap terbuka terhadap kelahiran. Jadi, kalau anda berargumentasi bahwa KBA adalah sama dengan KBB, maka sebenarnya justru menjadi tidak obyektif, karena hal ini adalah jelas dua hal yang berbeda, yaitu dari sisi keterbukaan terhadap kelahiran (procreation). Jadi, dengan demikian, beberapa contoh yang anda kemukakan, seperti coitus interuptus tidak dapat dikatakan KBA, karena perbuatan ini menutup terjadinya proses pembuahan. Coba kita melihat secara obyektif, apakah dengan KBA, maka tetap terbuka terhadap proses pembuahan? “Ya”. Apakah dengan coitus interuptus ada keterbukaan terhadap proses pembuahan? Secara obyektif, maka kita dapat menjawab “tidak”. Oleh karena itu, coitus interuptus tidak dapat dibenarkan.
3. Sebenarnya, pada akhirnya, kita harus memutuskan apakah kita akan mengikuti apa yang telah diputuskan oleh Magisterium Gereja atau tidak. Dan kita tahu, bahwa keputusan Magisterium Gereja adalah sungguh membantu umat Allah untuk terus bertumbuh dalam kekudusan. Sikap yang mencoba untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk menurut pertimbangan pribadi tanpa memandang ajaran Gereja adalah sikap yang memilih-milih, yang mempunyai bahaya untuk menempatkan pendapat pribadi atau pendapat umum dibandingkan ajaran Gereja.
4. Anda memberikan argumentasi: “Akalbudi manusia sebagai karunia Tuhan harus dapat dimanfaatkan untuk mengisi ruang rentang interpretasi atas firman Tuhan, sebab sekali lagi TIDAK ada satu orang pun, satu dokumen pun, yang mampu menerjemahkan secara 100% komprehensif firman Tuhan, karena betapa terbatasnya pemahaman kita sebagai manusia jika membandingkan diri dengan Tuhan.
Consequently, TIDAK ada satu orang pun, satu dokumen pun, yang berhak memegang klaim sebagai kebenaran absolut, kecuali Tuhan sendiri yang maha Komprehensif.
Hence, merupakan suatu keniscayaan bahwa akan selalu ADA RUANG untuk Interpretasi yang berbeda, yang belum tentu tidak benar, karena sekomprehensif-komprehensifnya kebenaran yang mampu kita (manusia) pahami tetaplah parsial relatif terhadap kebenaran absolut milik-Nya.“
a. Argumentasi yang anda berikan di atas sebenarnya adalah salah satu bentuk relativism. Argumentasi tersebut ingin mengatakan kebenaran yang tidak pernah absolut namun senantiasa bersifat relatif, yang tergantung interpretasi masing-masing pribadi akan suatu kebenaran. Kalau ada balon berwarna merah (secara obyektif berwarna merah), maka tidaklah benar kalau ada orang yang mengatakan bahwa orang yang berkata
bahwa balon tersebut berwarna biru dan yang lain mengatakan berwarna merah, kemudian dikatakan bahwa keduanya benar. Dalam hal ini, harus ada yang benar dan tidak mungkin kedua-duanya benar. Kalau dikatakan bahwa keduanya benar dan keduanya adalah saling bertentangan, maka sebenarnya ini membuat suatu kontradiksi.
b. Argumentasi yang anda berikan sebenarnya juga mempunyai kontradiksi. Kalau dikatakan secara tegas dan jelas, serta absolut, bahwa tidak ada kebenaran absolut, maka pada saat yang bersamaan sebenarnya argumentasi tersebut ingin mengatakan bahwa ada satu kebenaran absolut, yaitu: “tidak ada kebenaran absolut”.
5. Sebagai kesimpulan, saya telah mencoba untuk memaparkan apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang prinsip procreation dan prounion yang harus ada dalam HSI. Saya tahu bahwa ini adalah hal yang sulit. Namun, sebagai umat Allah, kita seharusnya mendahulukan kebenaran di atas kepentingan pribadi. Dan kebenaran adalah absolut dan bukan relatif, karena kebenaran yang relatif tidak lagi menjadi sebuah kebenaran. Dan manusia mempunyai kemampuan untuk menangkap kebenaran yang obyektif (objective truth), karena manusia diciptakan menurut gambaran Allah atau gambaran kebenaran – karena Allah adalah kebenaran.
Tanpa ada pijakan atau referensi yang menjadi tolak ukur kebenaran, maka kebenaran menjadi senantiasa dipertanyakan dan tidak mungkin diyakini bahwa itu adalah suatu kebenaran. Untuk itulah, Magisterium Gereja menjadi pilar kebenaran, sehingga kebenaran absolut dapat dinyatakan. Semoga penjelasan ini dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Terima kasih Katolisitas.
Setuju bahwa prounion artinya adalah “terbuka terhadap kelahiran”. Setuju bahwa HSI harus mempunya dua tujuan yaitu prounion dan procreation. Perbedaan kita adalah: Anda menafsirkan bahwa setiap hubungan sex (coitus) suami-istri harus bertujuan prounion dan procreation. Sedangkan saya menganggap: ada kalanya coitus suami-istri untuk prounion saja, dan di lain waktu untuk prounion dan procreation. Dengan syarat pasangan tsb tetap terbuka thd kelahiran. Maka menurut saya, MOTIFASI keluarga itu yg penting, apakah terbuka thd kelahiran, ataukah seperti trend keluarga di Eropa, Tokyo, dan megapolitan lain yg dari awal nikah tidak mau punya anak (tertutup thd kelahiran).
Argumen saya selanjutnya, mengutip Humanae Vitae diatas: “This particular doctrine, often expounded by the magisterium of the Church, is based on the inseparable connection, established by God, which man on his own initiative may not break, between the unitive significance and the procreative significance which are both inherent to the marriage act.”. Disini ditulis “marriage act” bukan “marriage acts”. Kenyataan bahwa “marriage act” ditulis dalam single-noun berarti memandang bahwa hubungan suami-istri dari sejak sacrament matrimony s/d kematian yg memisahkan adalah SATU KESATUAN TINDAKAN. Maka sekali lagi, sebagai SATU KESATUAN hubungan suami-istri, maka MOTIFASI yang melatarbelakangi lah yg terpenting. Apakah perkawinan itu motifasinya terbuka thd kelahiran atau motifasinya menolak kelahiran. Kita tidak dapat mereduksi HSI yg sebenarnya SATU KESATUAN dari matrimony s/d kematian, lalu direduksi menjadi coitus di hari senin, coitus di hari selasa, dst. Kita tidak bisa menilai per coitus dilakukan dalam suatu hubungan suami-istri. Analogi argumen ini adalah argumen Anda, dimana: “oral sex sebagai foreplay boleh dilakukan asalkan diselesaikan dengan penetrasi sempurna”. Disini Anda memandang rangkaian flirting-foreplay-oral-penetrasi adalah satu kesatuan hubungan sex. Saya malah melihat lebih luas: hubungan sex di tahun 2009, 2010, senin, selasa, etc selama dilakukan dalam sacrament matrimony adalah SATU KESATUAN “marriage act”. Maka sah saja coitus di hari Senin, krn buru-buru mau kerja, dilakukan sekedar untuk kenikmatan / prounion. Tetapi coitus di weekend dgn suasana yg lebih mendukung, romantis, tidak buru-buru, dilakukan untuk prounion dan procreation.
Submitted on 2010/08/26 at 1:59pm
Maaf tambahan;
Saya setuju dgn Katolisitas bahwa Gereja mempunya peran untuk menyatakan kebenaran secara absolut. Setuju bahwa kebenaran tidak boleh relatif. Tetapi dalam melihat dokumen ajaran Gereja, kita punya ruang untuk berdiskusi ttg mana ajaran yg defide, mana yg credenda, dan mana yg masih ada dalam ruang interpretasi walaupun kita tetap patuh kepada pimpinan Gereja.
Shalom Fxe,
Terima kasih atas tanggapannya. Secara prinsip kita berdua setuju bahwa kita harus menempatkan kebenaran yang telah dinyatakan oleh Magisterium Gereja melebihi pendapat dan kepentingan pribadi kita. Dan ini adalah sikap yang memang sudah seharusnya, karena dengan demikian kita mempunyai iman yang bersifat adi kodrati (supernatural), di mana kita mempunyai ketaatan iman (obedience of faith). Mari kita melihat dokumen Humanae Vitae 12:
12. This particular doctrine, often expounded by the magisterium of the Church, is based on the inseparable connection, established by God, which man on his own initiative may not break, between the unitive significance and the procreative significance which are both inherent to the marriage act.
Anda menginterpretasikan bahwa unsur unitive dan procreation adalah dilakukan bersama-sama namun dalam kerangka waktu marital act yang dipandang adalah merupakan suatu kesatuan dari sebuah perkawinan – yang tidak terbatas waktunya. Argumentasi ini tidak dapat dibenarkan berdasarkan dua alasan sebagai berikut:
1. Pertama, interpretasi tersebut bertentangan dengan paragraf lain dalam dokumen yang sama. Dari paragraf 11 Humanae Vitae dikatakan bahwa aspek unitive dan procreation adalah pada setiap (each and every) marital act. Dan hal yang sama ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2366). Each and every adalah merupakan suatu penekanan bahwa unsur terbuka terhadap kelahiran adalah pada setiap hubungan suami istri. Dikatakan:
HV, 11. The sexual activity, in which husband and wife are intimately and chastely united with one another, through which human life is transmitted, is, as the recent Council recalled, “noble and worthy.” (11) It does not, moreover, cease to be legitimate even when, for reasons independent of their will, it is foreseen to be infertile. For its natural adaptation to the expression and strengthening of the union of husband and wife is not thereby suppressed. The fact is, as experience shows, that new life is not the result of each and every act of sexual intercourse. God has wisely ordered laws of nature and the incidence of fertility in such a way that successive births are already naturally spaced through the inherent operation of these laws. The Church, nevertheless, in urging men to the observance of the precepts of the natural law, which it interprets by its constant doctrine, teaches that each and every marital act must of necessity retain its intrinsic relationship to the procreation of human life. (12)
KGK, 2366. Kesuburan adalah satu anugerah, satu tujuan perkawinan, karena cinta suami isteri dari kodratnya bertujuan supaya subur. Anak tidak ditambahkan dari luar pada cinta suami isteri yang timbal balik ini, ia lahir dalam inti dari saling menyerahkan diri itu, ia merupakan buah dan pemenuhannya. Karena itu Gereja yang “membela kehidupan”, mengajar “bahwa tiap persetubuhan harus tetap diarahkan kepada kelahiran kehidupan manusia” (HV 11). “Ajaran ini yang sering dikemukakan oleh magisterium Gereja, bersumber pada satu hubungan yang tidak terpisahkan yang ditentukan oleh Allah, antara kedua tujuan – kesatuan penuh cinta dan pembiakan – yang kedua-duanya terdapat dalam persetubuhan” (HV 12)Bdk. Pius XI, Ens. “Casti connubii”.
2. Ketidaklogisan dalam menginterpretasikan dokumen. Kalau memang benar bahwa aspek procreation tidak selalu ada dalam setiap HSI, maka sebenarnya tidak ada yang perlu dibicarakan dalam dokumen ini. Tidak ada kesulitan besar yang timbul dari dokumen ini. Justu dokumen ini menjadi kontroversial, karena melihat bahwa perkawinan yang sesuai dengan kodrat (natural law) dan rencana Allah (divine law) adalah yang senantiasa terbuka terhadap kelahiran.
Semoga dengan pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa Humanae Vitae mengajarkan sesuatu yang jelas, di mana pesan terakhir dalam dokumen tersebut kepada para pastor adalah: “For it is your principal duty—We are speaking especially to you who teach moral theology—to spell out clearly and completely the Church’s teaching on marriage. In the performance of your ministry you must be the first to give an example of that sincere obedience, inward as well as outward, which is due to the magisterium of the Church. ” Semoga keterangan ini dapat memperjelas. Dan, mari dalam keterbatasan kita masing-masing, kita mengikuti apa yang telah diajarkan oleh Gereja melalui Magisterium Gereja. Dan mari kita menempatkan kebenaran ini di atas pendapat maupun kepentingan pribadi kita masing-masing.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear pak Stefanus;
Saya memahami posisi GK dalam hal kontrasepsi. Memang – seperti kata Anda, posisi GK ini menimbulkan kontroversi. Bahkan sebelum ensiklik dipromulgasikan, banyak teolog kepausan mengambil posisi berbeda. Apalagi disamping penolakan GK akan artifisial kontrasepsi banyak pihak menilai GK dgn KB alamiah nya belum dianggap alternatif solusi dan tindakan yg memadai / efektif. Itulah sebabnya ketika Paus Benedictus XVI homili ttg kontrasepsi banyak kepala pemerintahan tidak menyambut positif.
Mengingkari bahwa posisi GK tidak kontroversial, atau bahkan menyangkal bahwa GK berposisi demikian – tentu ini tindakan yg tidak logis. Dan saya juga tidak bermaksud demikian.
Maksud saya adalah: Apakah Anda berpendapat bahwa SEMUA artikel dalam ensiklik HV adalah esensial dogmatik yg bersifat infalible? Bila jawaban “ya” maka tertutup ruang diskusi.
Menurut saya dlm ensiklik kita dapat memilah (bukan memilih!) bagian mana yang esensi dogmatik & infalible, dan bagian mana yang adalah efek-efek dari dogma tersebut (yg bersifat lebih praktis). Dan hal inilah yang dapat didiskusikan.
Semoga Tuhan memberkati kita.
Shalom Fxe,
Anda benar bahwa apa yang disampaikan dalam Humane Vitae merupakan ajaran yang tidak mudah. Ada banyak orang yang mempertanyakan apakah ajaran Humane Vitae ini merupakan ajaran yang bersifat infallible atau bukan. Maka mari kita lihat persyaratan suatu pengajaran yang bersifat infallible: 1) dikeluarkan secara definitif, perihal iman dan moral; 2) dinyatakan oleh Paus dalam kapasitasnya sebagai penerus Rasul Petrus; 3) berlaku untuk seluruh Gereja universal, seperti telah dibahas di sini, silakan klik.
Sekarang, mari kita melihat apakah tiga kriteria tersebut terpenuhi dalam apa yang diajarkan dalam Humane Vitae:
1) Ajaran ditujukan untuk Gereja Universal di seluruh dunia, bahkan untuk semua orang, yang berkehendak baik.
Pada awal dokumen Humane Vitae, dikatakan demikian:
ENCYCLICAL LETTER
HUMANAE VITAE
OF THE SUPREME PONTIFF
PAUL VI
TO HIS VENERABLE BROTHERS
THE PATRIARCHS, ARCHBISHOPS, BISHOPS
AND OTHER LOCAL ORDINARIES
IN PEACE AND COMMUNION WITH THE APOSTOLIC SEE,
TO THE CLERGY AND FAITHFUL OF THE WHOLE CATHOLIC WORLD, AND TO ALL MEN OF GOOD WILL,
ON THE REGULATION OF BIRTH
Jadi di sini kita mengetahui bahwa ajaran ini ditujukan kepada seluruh Gereja universal
2&3) Ajaran definitif tentang iman dan moral, dikeluarkan dalam kapasitas Paus sebagai seorang penerus Rasul Petrus:
Memang sebelum surat ensiklik tersebut dikeluarkan, Paus Paulus VI membentuk komisi yang terdiri dari para ahli dan pasangan suami istri dalam berbagai bidang keahlian untuk memberi masukan tentang hal ini (perihal pengaturan kelahiran). Namun kemudian setelah hasil komisi tersebut disampaikan, Paus menilai bahwa pernyataan itu tidak definitif dan pasti, sehingga Paus sendiri mengambil keputusan untuk menyelidiki soal ini yang menyangkut tentang hal moral. Paus tidak dapat menerima hasil yang disampaikan komisi ini karena selain tidak adanya kata kesepakatan, namun juga karena sebagian pendekatan yang diambil bertentangan dengan ajaran moral yang selalu diajarkan oleh Magisterium Gereja sepanjang jaman.
Demikian kutipan yang disebutkan dalam Humane Vitae 6:
Sedangkan pada pernyataan berikutnya, Paus menyebutkan bahwa adalah ajaran Gereja [bukan ajarannya secara pribadi] yang mengatakan tentang adanya dua prinsip utama dalam hubungan suami istri. Paus mengatakan bahwa ajaran ini ditentukan oleh Tuhan sendiri (lihat HV 12), sehingga hal ini tidak dapat diingkari oleh manusia. Ungkapan “Gereja mengajarkan ….”, atau “Kami, dengan kuasa mandat yang diberikan kepada kami oleh Kristus….” itu menunjukkan bahwa Paus tidak sedang berbicara atas nama pribadi; namun sebagai seorang pemimpin Gereja, penerus rasul Petrus yang menjalankan tugas Wewenang Mengajar Gereja (Magisterium). Ini adalah salah satu ciri penting suatu penyataan ajaran disebut sebagai infallible.
11. ….
“The Church, nevertheless, in urging men to the observance of the precepts of the natural law, which it interprets by its constant doctrine, teaches that each and every marital act must of necessity retain its intrinsic relationship to the procreation of human life. (12)
Union and Procreation
12. This particular doctrine, often expounded by the magisterium of the Church, is based on the inseparable connection, established by God, which man on his own initiative may not break, between the unitive significance and the procreative significance which are both inherent to the marriage act.
The reason is that the fundamental nature of the marriage act, while uniting husband and wife in the closest intimacy, also renders them capable of generating new life—and this as a result of laws written into the actual nature of man and of woman. And if each of these essential qualities, the unitive and the procreative, is preserved, the use of marriage fully retains its sense of true mutual love and its ordination to the supreme responsibility of parenthood to which man is called. We believe that our contemporaries are particularly capable of seeing that this teaching is in harmony with human reason…”
Ungkapan “Gereja mengajarkan….”, “Kami, berdasarkan prinsip doktrin Kristiani wajib untuk menyatakan….” atau “Kami sebagai magisterium Gereja telah meneguhkan bahwa….” itu jelas disebutkan di banyak bagian dalam Humanae Vitae, dan ini merupakan indikasi bahwa pengajaran tersebut bersifat infallible. Berikut contoh kutipannya:
Unlawful Birth Control Methods
14. Therefore We base Our words on the first principles of a human and Christian doctrine of marriage when We are obliged once more to declare that the direct interruption of the generative process already begun and, above all, all direct abortion, even for therapeutic reasons, are to be absolutely excluded as lawful means of regulating the number of children. (14) Equally to be condemned, as the magisterium of the Church has affirmed on many occasions, is direct sterilization, whether of the man or of the woman, whether permanent or temporary. (15)
Similarly excluded is any action which either before, at the moment of, or after sexual intercourse, is specifically intended to prevent procreation—whether as an end or as a means. (16)
Neither is it valid to argue, as a justification for sexual intercourse which is deliberately contraceptive, that a lesser evil is to be preferred to a greater one, or that such intercourse would merge with procreative acts of past and future to form a single entity, and so be qualified by exactly the same moral goodness as these. Though it is true that sometimes it is lawful to tolerate a lesser moral evil in order to avoid a greater evil or in order to promote a greater good,” it is never lawful, even for the gravest reasons, to do evil that good may come of it (18)—in other words, to intend directly something which of its very nature contradicts the moral order, and which must therefore be judged unworthy of man, even though the intention is to protect or promote the welfare of an individual, of a family or of society in general. Consequently, it is a serious error to think that a whole married life of otherwise normal relations can justify sexual intercourse which is deliberately contraceptive and so intrinsically wrong.
Selanjutnya, kita harus juga melihat secara obyektif, bahwa memang tidak semua yang disampaikan dalam Humanae Vitae itu infallible. Namun walau demikian, bukan berarti ada pernyataan ajaran yang salah dalam surat ensiklik itu. Pernyataan disebut sebagai tidak infallible, karena tidak memenuhi syarat untuk disebutkan sebagai ajaran yang infallible dengan ketiga syarat di atas (pernyataan definitif tentang iman dan moral, berlaku untuk Gereja universal, dinyatakan oleh Paus sebagai penerus Rasul Petrus). Contohnya adalah:
18. It is to be anticipated that perhaps not everyone will easily accept this particular teaching. There is too much clamorous outcry against the voice of the Church, and this is intensified by modern means of communication….
Nah, kalimat ini tidak mengandung ajaran definitif tentang iman dan moral; tidak dinyatakan oleh Paus dalam kapasitasnya sebagai penerus Rasul Petrus (tidak ada ungkapan “…. Kami selaku penerus Rasul Petrus…” ataupun penyebutan tentang ajaran Gereja/ Magisterium); namun yang disampaikannya tetap mengandung kebenaran (bukan sesuatu yang salah).
Akhirnya Fxe, saya mengakui bahwa ajaran HV ini tidaklah mudah, namun bukannya karena tidak mudah, lalu dapat kita ‘sesuaikan’ dengan pemahaman kita sendiri. Paus Paulus VI telah dengan jelas menuliskan pernyataan definitif tentang iman dan moral pada dokumen itu, dalam kapasitasnya sebagai penerus Rasul Petrus. Himbauan yang cukup jelas untuk melaksanakan HV ini disampaikan oleh Bapa Paus bukan saja kepada umat (termasuk pasangan, para pemimpin negara, para dokter), tetapi juga kepada para Uskup dan para imam. Maka jelas terlihat di sini, penjelasan yang sifatnya dogmatik, maupun yang tidak. Maka pemilahan (jika anda ingin menganalisa keseluruhan dokumen) bukan didasari atas mana yang dogmatik mana yang hanya sekedar efeknya; tetapi silakan dilihat mana pernyataan yang mempunyai ketiga unsur infalibilitas, dan mana yang tidak. Karena jika pernyataan tersebut mengemukakan efek pelaksanaan suatu doktrin, namun mengandung ketiga unsur infalibilitas, maka tetap saja pernyataan tersebut infallible/ tidak mungkin salah.
Semoga Roh Kudus membimbing kita semua agar kita dapat dengan rendah hati menerima ajaran Humanae Vitae, sebagai ajaran yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Bapa Paus tidak kuasa mengubahnya, dan sebaiknya kitapun tidak mengubahnya atau menyesuaikannya dengan pemahaman kita sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih Katolisitas atas jawaban Anda. Berdiskusi detail dalam hal iman & implikasinya serta mendapat feedback yg credible sungguh sebuah kemewahan bagi umat Katolik, yg telah disajikan dgn sangat baik oleh Katolisitas. Bila Katolisitas berkenan, saya ingin melanjutkan diskusi ini. Agar lebih jelas, kita sepakati dulu bahwa kontrasepsi yg didiskusikan disini adalah yg NON-abortive. Pengetahuan teologi saya sangat terbatas, mohon maaf bila yg akan saya sampaikan ini kurang jelas.
Sejauh saya tahu, infalibilitas HV masih disputable. Sejak sebelum promulgasi, sesaat setelah, dan sampai sekarang nyatanya dispute ini masih belum mereda. Paling tidak demikianlah pendapat Grisez — seorang proponent utama HV — dalam wawancara EWTN (http://www.zenit.org/article-7791?l=english); “In my judgment, the overall situation today is no better than it was when Paul VI died.”. Di dalam Komisi, 9 dari 16 Kardinal berada dalam posisi berbeda dengan HV. Setelah promulgasi banyak dissent, sebagian diantaranya openly dissent, dan yg lebih banyak silent dissent atau mengambil jalan tengah; yaitu mengajak umat untuk “to discover & re-discover highest moral value”, dan meletakkan personal conscience sebagai final judgment. Posisi inilah yg banyak diambil dalam ketekese lokal oleh banyak Konferensi Uskup negara / wilayah. Misal, Kardinal Leger of Montreal berpendapat; “the duty to bearing children should be a duty pertaining to the state of matrimony as a whole rather than to an individual act.”.
Karena janji Tuhan Yesus, Gereja sebagai Tubuh Kristus memiliki infalibilitas. Terlebih Paus sebagai Kepala Tubuh (yg kelihatan di dunia ini ) mempunyai infalibilitas itu secara istimewa. Tentunya Kepala tidak menyatakan kebenaran yang terpisah/diluar dari Tubuhnya. Karena Kepala berusaha mencari & menemukan Tradisi & Iman yg hidup di dalam Tubuhnya untuk menyatakannya secara definitif. Karena seluruh Tubuh — termasuk didalamnya Uskup & awam — adalah kesaksian hidup dari Tradisi dan Iman yang hidup itu sendiri.
Kalau saya tidak salah mengerti, ada sedikitnya 3 point dalam HV: 1) Kasih dalam marriage adalah partisipasi dalam Kasih Allah; 2) partisipasi dalam Kasih Allah dalam marital act adalah berpartisipasi dalam prounion dan procreation. Hal ini adalah “natural-law” dari marital act; 3) Bapa Paus menilai contraception adalah intrisically evil karena menghalangi manusia berpartisipasi penuh dalam Kasih Allah, yaitu dgn sadar memisahkan procreation dari prounion, melawan natural-law. Doktrin no.1) dan 2) diterima dgn baik. Masalah di point 3) adalah apakah moral teologi telah cukup menilai kontrasepsi yg telah berkembang baik dari aspek scientific methods maupun konteks dan tujuannya. Dalam hal ini Kardinal Suenens comments; “whether moral theology took sufficient account of scientific progress, which can help determine, what is according to nature. I beg you my brothers let us avoid another Galileo affair. One is enough for the Church.”. Berikut ini informasi yg saya dapat ttg alasan Inquisition menjatuhkan sanksi heresy kepada Galileo: 1) sistem geosentris telah dipegang sebagai “kebenaran” oleh Gereja selama ribuan tahun sampai dgn saat itu (geosentris = natural law?); 2) Sabda Allah dalam KS mendukung geosentris dan bertentangan dgn heliosentris; 3) karena Tuhan Yesus Putra Allah telah lahir di dunia, maka fitting bila bumi adalah pusat semesta (natural law?)
Saya tidak dalam posisi berdebat teologis apakah HV infalible atau tidak, tetapi saya merujuk fakta bahwa hal itu disputable hingga saat ini. Maka konsekuensinya: 1)Lepas dari infalible atau tidak, saya dan semua awam berkewajiban “berusaha sepenuhnya” untuk mematuhi sesuai konstitusi LG. Tetapi melihat kondisi sekarang, sulit membuat “simple Amen” atau “blind comformity”. 2)Dalam advokasi HV, sebaiknya di-explore seluas dan sedalam mungkin aspek-aspek positif bila HV point 3) ini dituruti, “to form consciences, free of coercion”.
Hal-hal yg menurut saya menarik untuk di-explore adalah:
*A// Argumentasi “natural-law” dalam HV. Sejauh saya mengerti, precepts dari natural-law dalam GK adalah Dekalog. Dlm KGK saya amati HV berada dibawah perintah Dekalog: “Jangan berzinah”. Dekalog disempurnakan oleh Tuhan Yesus menjadi 2 perintah kasih: kasihilah Tuhan Allah dgn segenap hati, pikiran, dan dayamu ; dan kasihilah sesamau seperti dirimu sendiri atau golder rule: apa yang kamu ingin saudaramu perbuat untuk kamu, perbuatlah itu bagi mereka. Jadi kalau saya memakai kontrasepsi (non-abortive)… apakah artinya saya tidak mengasihi sesama atau tidak melakukan sesuatu yg saya harap orang lain lakukan untuk saya? Kalau tujuan kontrasepsi saya untuk melindungi keluarga saya (saya sudah punya banyak anak dari satu istri, dan saya sudah tua untuk punya anak lagi) dari sisi sosial-ekonomi, apakah saya tidak mengasihi Allah? Walaupun kontrasepsi tetapi saya menjaga chastity, apakah saya berzinah? Sejauh mana hubungan kontrasepsi non-abortive dengan Wahyu Illahi / natural-law? Jauh sekali rasanya…. *B// Di dalam HV dikatakan bahwa setiap kelahiran anak adalah kebaikan baru. Dalam konteks masyarakat agraris awal abad 20 ini lebih mudah dipahami. Kelahiran anak baru artinya menambah tenaga-kerja baru di ladang, potensi memperluas ladang, dan akhirnya meningkatkan kontribusi kepada kebaikan masyarakat. Di zaman industrialis & kapitalis sekarang ini; dimana biaya-hidup keluarga sepenuhnya tergantung pada gaji bulanan, termasuk cicilan rumah & asuransi pendidikan+kesehatan, maka kebobolan melahirkan anak ketika usia sudah di atas 35 tahun; maka kelahiran anak adalah kebaikan tetapi sekaligus masalah kritis. Ketika anak masih butuh biaya kesehatan dan pendidikan sedangkan orang tua sudah pensiun kerja. Memang HV tidak menentang birth-control tetapi hanya bertumpu kepada metode alamiah yg butuh subjective judgment bagi banyak masyarakat not sufficiently educated dan bagi suami-istri pekerja yg bertemu saja jarang dan waktunya tidak teratur, maka efektifitas metode ini rendah. Bila jumlah masyarakat menggelembung, maka “natural law” dalam HV memang akan berperan dalam arti primitif-nya sebagai “natural-selection”. Hanya anak-anak dari keluarga yg berkecukupan akan semakin tambah banyak, sementara anak2 dari keluarga kurang educated atau strata sosial bawah lambat laun akan berkurang baik karena epidemi atau sebab lain.
Sekian dulu yg saya sampaikan. Semoga Katolisitas sabar untuk terus membimbing.
Semoga Tuhan setia membimbing kita semua. Amen.
Shalom Fxe,
1. Tentang wawancara Zenit dengan Germain Grisez perihal Humanae Vitae
Agaknya ada keliru menginterpretasikan apa yang disampaikan oleh Germain Grisez tentang Humanae Vitae. Sebab dalam wawancara itu ia jelas mengatakan:
Terjemahannya demikian:
Memang selanjutnya, Grisez menjelaskan adanya kesalahpahaman umum tentang Humanae Vitae (HV) ini. Kita mengetahui bahwa sebelum HV dikeluarkan oleh Paus Paulus VI, pendahulunya, Paus Yohanes XXIII membentuk suatu komite untuk meneliti hal konntrasepsi, apakah dapat dibenarkan secara moral, untuk menyikapi pertemuan- pertemuan internasional dalam hal kependudukan, keluarga dan kelahiran pada saat itu. Pada tahun 1963 setelah Paus Yohanes XXIII wafat, Paus Paulus VI menambah jumlah anggota komisi (termasuk para ahli) untuk menyelidiki hal itu. Sementara itu, pada saat itu ada banyak teolog yang menulis artikel yang menyatakan bahwa selama ini ajaran Gereja yang menentang kontrasepsi adalah keliru, atau mereka mengemukakan adanya kondisi kekecualian, atau mengatakan penggunaan pil KB secara moral berbeda dengan metoda kontrasepsi lainnya. Maka Kardinal Octaviani (Perfect Kongregasi Tahta Suci) mempersiapkan dokumen untuk menolak pandangan- pandangan tersebut. Namun demikian para penasihat teologis Paus Paulus VI ada yang berpendapat bahwa penggunaan pil itu menyerupai metoda KB alamiah. Adanya perbedaan pendapat ini menyebabkan ditundanya keputusan dari pihak Magisterium, dan Paus Paulus VI memutuskan untuk menyelidiki sendiri akan hal itu.
Sementara itu, laporan hasil akhir dari komisi kemudian diberikan kepada Paus Paulus VI. Isu yang beredar sesudahnya adalah bahwa mayoritas komisi setuju bahwa kontrasepsi dapat diterima secara moral, seperti yang dikatakan dalam laporan bulan Juni 1966, yang konon “bocor” kepada pihak press. Padahal sesungguhnya, laporan akhir hasil kerja komite ini, menurut Grisez, tidak pernah diterbitkan. Yang disebut- sebut sebagai dokumen yang “bocor” tersebut adalah laporan tambahan/ “appendix”, dan tidak ada satupun dari dokumen- dokumen tersebut yang disetujui oleh mayoritas dari 16 kardinal dan uskup yang tergabung dalam komisi tersebut setelah bulan Februari 1966.
Benar bahwa sebagian besar teolog yang menjadi penasihat para kardinal dan uskup mengatakan bahwa kontrasepsi dapat diterima secara moral, dan sembilan dari 16 kardinal setuju dengan posisi mereka. Tetapi semua teolog dan semua kardinal dan uskup (kecuali seorang) setuju bahwa penggunaan pil tidak ada bedanya secara moral dengan penggunaan alat kontrasepsi lainnya, yang sejak dulu dikecam Gereja. Selanjutnya, Paus Paulus VI kemudian mempelajari sendiri kasus- kasus yang diajukan yang dipergunakan untuk mendukung pandangan para teolog ini.
Setelah kurang lebih empat bulan, 29 Oktober 1966, dan menemukan bahwa ada hal- hal dalam sebagian besar kasus tersebut yang benar- benar menyimpang. Maka ia akhirnya setuju pada pendapat bahwa secara moral, penggunaan pil tidak berbeda dengan metoda lainnya pada kontrasepsi. Namun penemuan ini tidak langsung diumumkan, karena HV baru resmi dikeluarkan pada tanggal 25 Juli 1968. Sementara itu para pendukung kontrasepsi banyak yang menggunakan kesempatan ‘menunggu keputusan’ ini dengan mengeluarkan artikel- artikel yang menunjukkan ketidaksetujuan/ dissent mereka. Maka, ketika HV resmi diterbitkan, terjadi semacam dua kelompok, yaitu mereka yang menerima dan mereka yang menolak. Keadaan inilah yang menurut Grisez masih terjadi sekarang, bahkan di kalangan umat Katolik sendiri.
Namun demikian, Grisez tidak pesimis. Sebab walaupun ia mengatakan bahwa situasi sekarang tak lebih baik daripada jaman Paus Paulus VI, namun situasi ini juga tidak bertambah buruk, “the overall situation has not improved since Paul VI died, neither has it grown worse. The message of “Humanae Vitae” — which is the message of the whole Christian tradition — is still being heard.” Kini setelah sekitar 40-an tahun berlalu dari pertama kali HV ditulis, namun prosentase umat Katolik yang menerima pengajaran HV tidak berkurang. Ini sesungguhnya membesarkan hati, mengingat bahwa tak seorangpun yang berusia di bawah 40 tahun sekarang ini dapat membaca berita- berita tentang HV ketika surat ensiklik tersebut diluncurkan.
Maka, jika anda mengutip tulisan Grisez, seharusnya anda mengutip pandangannya secara keseluruhan, dan jangan hanya sebagian saja. Sebab walaupun Grisez mengakui adanya pihak- pihak yang tidak menyetujui pesan HV, namun ia tidak meragukan bahwa ajaran yang disampaikan oleh HV adalah infallible. Sebab, seperti telah saya paparkan di jawaban terdahulu, jika kita memahami persyaratan suatu ajaran disebut sebagai infallible dan kemudian melihatnya apakah ada persyaratan tersebut dalam ajaran HV, kita dapat secara obyektif melihat bahwa ketiga syarat pengajaran infallible itu dipenuhi dalam sebagian besar ajaran dalam Humanae Vitae, terutama paragraf no. 14.
2. HV 14: pemakaian alat kontrasepsi (apapun jenisnya) dilarang.
Tentang Humanae Vitae 14 ini disebutkan dengan jelas menyebutkan bahwa pemakaian kontraseptif (tidak saja yang sifatnya abortif) dilarang, karena perinsipnya bukan apakah alat kontraseptif itu bersifat abortif atau tidak, tetapi karena penggunaan alat kontrasepsi itu mencegah prokreasi, dan dengan demikian tidak sesuai dengan kehendak Allah.
“…..Juga tidak termasuk adalah segala perbuatan, baik sebelum, pada saat, ataupun sesudah hubungan seksual, yang secara khusus dimaksudkan untuk mencegah prokreasi, apakah sebagai tujuan ataukah sebagai cara.
Juga tidak perlu dipertanyakan, sebagai pembenaran bagi hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif, bahwa kejahatan yang lebih kecil adalah untuk dipilih jika dibandingkan dengan kejahatan yang lebih besar, atau bahwa suatu hubungan seksual adalah untuk digabungkan dengan tindakan pro-kreasi dari kejadian lampau ataupun yang akan datang sebagai satu kesatuan, dan untuk dinilai memenuhi syarat dengan kebaikan moral seperti ini. Walaupun itu benar, bahwa seringkali dibenarkan untuk mentolerir kejahatan moral yang lebih kecil untuk menghindari kejahatan yang lebih besar ataupun untuk mendorong kebaikan yang lebih besar, adalah tidak pernah dibenarkan, bahkan untuk alasan- alasan yang besar, untuk melakukan kejahatan agar kebaikan dapat dihasilkan darinya- dengan perkataan lain, untuk melakukan sesuatu secara langsung dengan sengaja, yang dengan sendirinya secara kodrati bertentangan dengan hukum moral, dan karena itu harus dinilai sebagai sesuatu yang tidak layak bagi manusia, meskipun maksudnya adalah untuk melindungi ataupun memajukan kesejahteraan individu, keluarga ataupun masyarakat secara umum. Akibatnya, adalah sebuah kesalahan serius untuk menganggap bahwa sebuah kehidupan berkeluarga yang tidak menjalani hubungan- hubungan normal dapat membenarkan hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif dan karena itu salah secara mendasar.
3. Jalan tengah: terserah hati nurani?
Memang diakui, bahwa ada banyak pihak yang akhirnya mengatakan hal pelaksanaan pengaturan kelahiran ini “diserahkan kepada hati nurani” masing- masing. Tetapi sesungguhnya bukan ini yang diajarkan dalam HV. Ditambah lagi kenyataan bahwa “hati nurani” seseorang bisa salah (lihat KGK 1790-1791), dan kalau kesalahan ini disebabkan oleh ketidakpedulian dirinya untuk mencari tahu mana yang benar maka ia bertanggung jawab sepenuhnya atas kesalahan yang dilakukannya.
Katekismus sendiri memberikan jalan bagaimana agar hati nurani kita tidak salah, yaitu, kita harus berpegang pada Sabda Allah, dibantu oleh terang Roh Kudus, kesaksian/ nasihat orang lain dan dibimbing oleh pimpinan Gereja, dalam hal ini Magisterium:
KGK 1785 “Dalam pembentukan hati nurani, Sabda Allah adalah terang di jalan kita. Dalam iman dan doa kita harus menjadikannya milik kita dan melaksanakannya. Kita juga harus menguji hati nurani kita dengan memandang ke salib Tuhan. Sementara itu kita dibantu oleh anugerah Roh Kudus dan kesaksian serta nasihat orang lain dan dibimbing oleh ajaran pimpinan Gereja (Bdk. Dignitatis Humanae 14)“
Dengan demikian, setiap kita harus berjuang untuk mempelajari apakah sebenarnya yang diajarkan oleh Tuhan melalui Magisterium Gereja Katolik, dan alasannya mengapa demikian.
Kami di Katolisitas, tidak dapat menyuarakan sesuatu yang lain daripada apa yang telah disampaikan oleh Magisterium Gereja Katolik, seperti yang tertera dalam Humanae Vitae. Fakta secara obyektif sudah menunjukkan ajaran tersebut infallible, dan kami tidak dapat mengatakan sebaliknya. Kami tidak bisa setuju dengan anda yang mengatakan bahwa HV masih disputable (masih dapat dipertanyakan atau didiskusikan) karena istilah tersebut hanya disampaikan sepihak oleh pihak- pihak yang tidak mau menerima ajaran HV. Bagi yang menerima, tidak ada yang disputable di sini, sebab ajarannya sudah sangat jelas, dan hanya diperlukan kerendahan hati untuk menerima dan melaksanakannya.
4. Tentang pemakaian alat kontrasepsi non- abortif.
Saya tidak tahu apakah anda sudah pernah membaca artikel- artikel ini:
Humanae Vitae itu benar! dan Seks dan perkawinan menurut ajaran Gereja Katolik. Jika belum silakan anda membacanya. Di sana disebutkan mengapa segala bentuk kontrasepsi (baik yang abortif ataupun tidak abortif) tidak dapat dibenarkan secara moral.
Jadi janganlah kita mencari “pembenaran” dengan motto, “meskipun saya menggunakan alat kontrasepsi non- abortif, tetapi toh saya masih mengasihi Tuhan dan sesama, jadi rasanya tidak apa-apa.” Prinsip ini didasari oleh kehendak sendiri daripada mencari kehendak Tuhan. Sebab definisi “mengasihi Tuhan dan sesama”nya, juga dibuat menurut pemahaman sendiri, dan bukan seperti yang sesungguhnya dikehendaki Tuhan. Jika seseorang mendahulukan kehendak Tuhan, dan percaya bahwa Tuhan mengajarkan kehendak-Nya melalui Magisterium, maka ia seharusnya menerima ajaran Allah yang menolak pemakaian segala jenis alat kontrasepsi. Mengapa? Karena semua alat kontrasepsi bersifat kontra-konsepsi, artinya menolak kemungkinan kehidupan baru. Padahal kehendak Allah jelas: hakekat kasih suami istri adalah kasih yang total (tidak ada yang dibuang/ di sia- siakan; dan Ia menghendaki dua tujuan hubungan suami istri: pro-union dan pro-creation, dan keduanya tak boleh dipisahkan.
Mengapa kedua sifat tersebut tidak boleh dipisahkan? Sebab Kristus menghendaki agar hubungan suami istri menjadi gambaran akan kasih-Nya sendiri kepada Gereja; dan kasih ini selain mempersatukan, juga menghasilkan buah/ melahirkan anggota- anggota-Nya melalui Baptisan. Suami dan istri yang mengambil bagian dalam kasih Allah ini tidak berhak ‘mengganti’ maksud Allah dengan mengambil hanya satu segi saja dan menolak yang lain. Setiap kali mereka melakukan hubungan suami istri, yang dimaksudkan juga sebagai pembaharuan janji perkawinan dengan ungkapan kasih yang melibatkan rohani dan jasmani di hadapan Allah; maka kedua tujuan pro-creation dan pro-union tidak boleh dipisahkan.
5. Mengapa tidak boleh? Apakah kalau saya melakukannya saya berzinah?
Paus Paulus VI menjelaskan, bahwa jika kedua tujuan tersebut dipisahkan, maka yang terjadi adalah: kasih yang diberikan tidak lagi bersifat memberikan diri secara total kepada pasangan, tetapi untuk menyenangkan diri sendiri. Akibat langsungnya mungkin tidak terasa, tetapi akibat jangka panjang akan terlihat kemudian. Fokus dalam berhubungan tidak lagi kepada ingin meniru teladan Kristus, yang menyerahkan segala- galanya kepada Mempelai-Nya (Gereja), melainkan berhubungan semata- mata demi kepuasan jasmani. Pasangan suami istri tidak lagi terbiasa ‘menahan diri’ dalam hal seksual karena terbiasa melakukan hubungan kapanpun. Tanpa disadari, sedikit demi sedikit hal ini akan mengurangi kesakralan makna hubungan suami istri tersebut; karena tidak lagi dilakukan menurut kehendak Tuhan, tetapi dorongan keinginan daging, yang seolah harus selalu dipuaskan.
Memang ada saja pasangan yang menggunakan kontrasepsi semacam ini nampak langgeng hubungannya; tetapi fakta survey menunjukkan bahwa ada banyak perkawinan hancur karena mental kontraseptif macam ini. Karena mereka yang tidak terbiasa mengendalikan diri secara seksual di rumah, akan juga tidak terbiasa mengendalikan diri di luar rumah, termasuk jika godaan datang. Hal ini sudah dinubuatkan dalam HV, dan betapa nubuat ini sungguh terpenuhi! Selanjutnya, mental kontraseptif ini juga mengakibatkan seseorang tidak terbiasa mengendalikan keinginan seksualnya, sehingga ia dengan mudah melakukan dosa seksual dengan pikiran- pikiran yang tidak murni, setiap kali melihat lawan jenisnya yang ‘menarik’ secara seksual. Hal inilah yang dikecam oleh Yesus, dan disebut-Nya sebagai perbuatan zinah dalam Mat 5:27-28. Silakan kita menilai sendiri apakah jika seseorang melakukan perbuatan demikian itu, apakah masih dapat dikatakan ia “mengasihi” Allah dengan segenap hati, jiwa dan kekuatannya (Mrk 12:30)?
Seseorang yang mendahulukan pemahamannya sendiri dan mengeraskan hati, tidak mau menerima ajaran Gereja yang satu ini, dapat saja mempunyai sikap yang sama terhadap ajaran Gereja yang lainnya. Sikap seperti ini sesungguhnya tidak lagi menunjukkan ketaatan iman yang ilahi/ divine faith, melainkan human faith. Mengapa? Sebab ia memilih- milih sendiri ajaran iman sesuai dengan kehendak hatinya; dan bukannya berusaha untuk memahami apakah sebenarnya yang diajarkan Tuhan, dan mengapakah demikian.
Saya percaya bahwa Paus Paulus VI sungguh diterangi Roh Kudus ketika menuliskan Humanae Vitae. Ajaran HV sesungguhnya bukan ajaran baru, namun relevan di sepanjang jaman. Silakan pula membaca di bagian akhir artikel Seks dan perkawinan menurut ajaran Gereja Katolik, silakan klik, dan temukan di sana bahwa sejak dari abad awal, hal kontraseptif non- abortif sudah dilarang oleh para Bapa Gereja. Seorang Paus tidak kuasa mengubahnya, dan sebaiknya kitapun tidak mengubahnya. Keadaan globalisasi dunia yang mengekspos keluarga ke situasi materialisme dan hedonisme, justru menjadikan ajaran ini semakin relevan, karena mendidik kita untuk dapat menahan diri dan menerapkan kasih sejati tanpa mementingkan diri sendiri, sesuai dengan kehendak Tuhan. Jika kita melakukan hal ini, kita akan memetik buahnya: yaitu adanya kasih yang murni antara suami dan istri, dan anak- anak dapat terdorong untuk mengikuti teladan ini.
6. Adakah jalan keluar untuk menaati HV namun tetap sesuai dengan kemampuan dan bertanggungjawab merencanakan jumlah anak ?
Tentu ada! Jika untuk alasan yang dapat dipertanggungjawabkan suami dan istri memutuskan untuk tidak menambah jumlah anak, maka silakan menggunakan metoda KB Alamiah; bukan dengan sistem kalender yang kurang akurat, tetapi dengan metoda lendir Billings ataupun metoda Creighton. Untuk melaksanakan metoda ini memang diperlukan pengorbanan, baik dari pihak istri maupun suami, namun metoda ini sangat baik dan efektif (tingkat efisiensinya 95- 99%). Silakan anda mempelajari Metoda Creighton yang sudah kami tayangkan di sini, silakan klik.
7. Apakah KB alamiah hanya dapat diterapkan oleh suami istri yang “berada” secara ekonomi?
Tidak juga. Mother Teresa dan para biarawati di Kalkuta, India, memberikan pengajaran tentang metoda KB alamiah ini kepada para wanita di sana, dan terbukti dapat berhasil. Padahal kondisi masyarakat di Kalkuta sangatlah miskin. Jika mereka bisa melakukannya, maka seharusnya kita di Indonesia juga dapat melakukannya.
Fxe, demikian yang dapat saya tuliskan untuk menanggapi pertanyaan anda. Saya akan menutup diskusi tentang topik ini sampai di sini, karena kita sudah membicarakan hal ini dalam 3 kali putaran (satu kali dengan Stef, dua kali dengan saya). Kami tidak dapat membahasnya lebih lanjut, karena akan menjadi pengulangan dari apa yang sudah pernah kami sampaikan. Prinsipnya kami tidak dapat mengubah posisi kami yang meyakini bahwa ajaran HV bersifat infallible, karena fakta obyektif menunjukkan demikian. Bahwa ada orang- orang yang tidak bisa menerima, itu bukan lagi menjadi kuasa kami, namun kami di Katolisitas tidak dapat menyampaikan apa yang sudah nyata dijelaskan dalam HV.
Semoga ulasan di atas berguna bagi kita semua yang sedang berusaha semampu kita untuk mengetahui kehendak Tuhan bagi kita dan melaksanakannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih bu Ingrid. Saya dapat memahami poin-poin yg Anda sampaikan, dan saya akan merenungkannya kembali. Semoga Tuhan berkenan membimbing hati dan pikiran saya.
Baiklah kalau memang tidak ada lagi sisi baru, kita akhiri diskusi HV ini.
Namun sedikit meluruskan; saya tidak keliru mengerti pendapat Grisez, karena di awal tulisan saya, saya mengaui bahwa Grisez adalah proponent (= advocate / supporter) utama HV. Dan justru karena Grisez adalah proponent utama HV inilah maka saya menganggap pandangan dia bahwa “In my judgment, the overall situation today is no better than it was when Paul VI died.” menjadi lebih berarti karena saya anggap lebih objective. Dan tentu Grisez tidak sama-sekali pesimis atas HV.
Dan menurut saya, setuju untuk menolak kontrasepsi karena “dampak/akibat buruk” nya belumlah cukup, karena HV mengatakan bahwa kontrasepsi “intrisically evil” jadi bukan karena “dampak” yg akan ditimbulkannya.
Sekian dan sekali lagi terima kasih. Semoga Tuhan selalu memberkati Katolisitas. Amen.
Shalom Fxe,
Ini adalah jawaban terakhir saya untuk anda pada topik ini. Saya mengatakan anda keliru dalam memahami makna keseluruhan wawancara dengan Grisez, karena anda mengatakan demikian (berikut ini saya kutip tulisan anda):
“Sejauh saya tahu, infalibilitas HV masih disputable. Sejak sebelum promulgasi, sesaat setelah, dan sampai sekarang nyatanya dispute ini masih belum mereda. Paling tidak demikianlah pendapat Grisez — seorang proponent utama HV — dalam wawancara EWTN (http://www.zenit.org/article-7791?l=english); “In my judgment, the overall situation today is no better than it was when Paul VI died.”.
Di sini, seolah anda mengutip perkataan Grisez untuk mendukung pemahaman anda bahwa infalibilitas HV masih disputable (masih dapat dipertanyakan/ diperdebatkan). Ini yang saya katakan keliru. Grisez selaku pendukung HV, tidak pernah menyatakan bahwa HV itu masih disputable. Dan saya juga sudah menunjukkan bukti- buktinya pada jawaban saya terdahulu, bahwa syarat infalibilitas telah terpenuhi dalam beberapa pernyataan di HV. HV sudah dengan sangat jelas menyampaikan pengajaran Magisterium Gereja Katolik tentang pengaturan kelahiran, dan ini tidak dapat dipertanyakan/ diperdepatkan lagi. Magisterium Gereja Katolik tidak akan mengubah prinsip ajaran HV ini.
Yang dikatakan oleh Grisez hanyalah suatu fakta, bahwa walaupun ajarannya sudah jelas, namun faktanya ada banyak pihak yang tidak dapat menerima ajaran HV. Dan pihak- pihak yang tidak setuju ini jumlah prosentasenya tidak jauh berbeda dengan pada masa HV dikeluarkan (sekitar tahun 1968-1970-an). Mohon diketahui, bahwa meskipun ada pihak- pihak yang tidak setuju, tidak mengakibatkan bahwa suatu ajaran yang infallible boleh dikatakan belum tentu benar atau masih dapat didiskusikan.
Benar pandangan anda, bahwa penggunaan kontrasepsi itu harus ditolak, bukan hanya karena dampaknya buruk, tetapi karena pada dasarnya merupakan perbuatan yang buruk (intrinsically evil).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear all,
Semuanya diatas saya bisa lihat poin2nya. Asal sama2 ada konsensus, tidak ada pemaksaan, hubungan makin mesra, toh tdk diatur oleh gereja..dll..Sayapun pernah berfikir demikian.
Tapi saya punya suatu skenario yang sederhana saja. Semoga bisa diterima.
Begini skenarionya: “Hari Minggu. Kita suami-istri di gereja merayakan Ekaristi. Tibalah saatnya kita menyambut Tubuh Kristus. Kita maju ke depan, antri untuk menerima komuni. Di kepala tiba2 teringat, oh iya ya, tadi malam, ini mulut yg sama yang sebentar lagi menerima Tubuh Kristus, sudah melakukan fellatio/cunilingus ke suami/istri…” Bagaimana rasanya?
Hendaknya direnungkan masing2… Fakta bahwa tidak ada hukum gereja yang mengatur, bukan berarti oke-oke saja kan? Toh hati kita yg diterangi Roh Kudus pasti memberikan suatu perasaan, entah apa itu gelisah, ragu atau apapun yang ujungnya, silahkan kita suami-istri simpulkan sendiri.
Tuhan memberkati.
Thomas
Dear Katolisitas;
Bila mengingat bahwa yg akses situs ini ada dalam berbagai status sosial, umur, dan macam2 culture, apakah sebaiknya hal-hal yg membahas hubungan suami-istri , termasuk yg technically specific ada di forum khusus … sehingga yg tidak bermaksud membaca, tidak menemukannya secara KEBETULAN di forum umum.
Demikian sekedar saran. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Shalom Fxe,
Terima kasih atas sarannya. Kami akan mempertimbangkan usulan anda. Hanya memang pada saat ini, saya belum menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi hal ini, tanpa memberikan beban tambahan akan administrasi dan teknikal-nya. Mohon kesabarannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,stef – katolisitas.org
saya sering sekali melakukan oral sex dengan istri saya,melihat secara intim hal ini membuat kami menjadi lebih dekat dalam berhubungan. maka saya berfikir kenapa tidak saya lakukan hal ini, toh kami berdua cukup senang melakukan oral sex, bahkan saya tak sungkan untuk mengeluarkan sperma saya di mulut istri saya. karena istri saya pun senang dengan hal yg kita lakukan.
jadi intinya lakukanlah dengan benar tanpa paksaan dan hanya dengan pasangan anda.
GBU
Shalom Stigma,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang hubungan seksual. Tindakan oral sex yang tidak berakhir pada hubungan suami istri yang lengkap – yang mempunyai unsur: a) prounion (meningkatkan keintiman antara suami dan istri) dan b) procreation (terbuka terhadap kelahiran), tidak dapat dibenarkan. Saya pikir artikel di atas – silakan klik, telah menjawab pertanyaan anda. Semoga hal ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saya sependapat dengan point mas Stigma dan point mas Stef.
1. Setuju bahwa hubungan suami istri adalah Prounion dan Procreation
2. Setuju juga bahwa harus ada kesediaan bersama (tanpa paksaan) dan konsensus “Batasan” yang disepakati suami istri dalam aktifitas seksual.
3. Walau demikian, bukan berarti bahwa setiap hubungan seksual selalu HARUS bertujuan pro-creation. Sebab, masih banyak pendapat bahwa Fungsi utama aktifitas itu adalah menghasilkan keturunan, sehingga kalau sudah jumlah anak cukup, jadinya tidak perlu-perlu amat lah melakukan kegiatan tersebut.
Maka, hasilnya malahan meng-ingkar-i fungsi Prounion dari Hubungan Suami Istri (HSI).
4. Karena pemenuhan aspek Pro-creation tidak dapat sering-sering (alias punya anak sebanyak-banyaknya.. hehe..), maka fungsi Pro-union dari HSI lah yang seringkali berperan pada saat, sebelum, dan sesudah aktifitas tsb berlangsung.
5. Tuhan telah menciptakan anatomi dan fisiologi manusia, sedemikian rupa sehingga ada Siklus Biologis Pria & Wanita (termasuk siklus pada organ seksual-nya).
a. Pada pria, setiap beberapa hari sekali, terjadi proses Spermatogenesis (pembentukan sel sperma) di testis (buah zakar), dan perlu untuk di-eksresikan (dikeluarkan).
Saat sudah waktunya dibuang, maka secara alami pria merasa libidonya meningkat, dan setelah dibuang, libido akan menurun.
Pada orang yang tidak melakukan HSI, sperma tetap akan terbuang melalui wet-dreams atau bersama air seni, untuk memberi tempat kpd sperma yang baru jadi.
b. Pada wanita, siklus menstruasi menyebabkan perubahan komposisi beberapa hormon penting (misal LH, FSH, dll) dalam tubuhnya. Hal ini secara natural menyebabkan pada waktu-waktu tertentu, wanita memiliki libido yang meningkat & waktu tertentu libido menurun.
c. Konsep semacam ini baru dimengerti pada abad ke 12-13an di ilmu kedokteran timur (Cina & India) serta abad ke 18-19an di ilmu kedokteran barat.
Sampai hari ini pun belum seluruh fisiologinya dapat dipahami 100%, apalagi 2.000 tahun yang lalu.
Hal itu lah yang menyebabkan jaman dahulu angka kematian bayi & ibu amat tinggi, sebab konsep ini belum ter-reveal, serta frekuensi, higiensitas, dan tujuan HSI masih dianggap sebatas sebagai PROSES REPRODUKSI, dan tubuh wanita hanya sebagai MESIN PRODUKSI BAYI.
d. Dengan konsep medis di atas, maka HSI (atau alasan untuk HSI atau libido) dapat dipahami tidak melulu hanya Pro-creation, tetapi juga:
(i) Manifestasi Pemenuhan (fulfillment) dari kebutuhan alami psiko-fisiologis manusia, baik PRIA maupun WANITA.
Harap diingat, ke-DUA-nya sama-sama memiliki kebutuhan tsb (libido) dan berhak untuk dipenuhi (fulfilled).
(ii) Salah satu dari banyak Bentuk Komunikasi non-Verbal dalam keluarga
(iii) Meningkatkan kualitas hubungan pasangan alias Pro-Union
(iv) Pada kondisi yang sesuai dapat terjadi pembuahan ovum oleh sperma (pro-creation)
6. Maka, dari point 5d, sebenarnya HSI JANGAN HANYA di-reduksi sebatas “Proses Penetrasi Penis ke Vagina sampai tercapainya Orgasme” (kebanyakan Suami saja, yang Istri-nya tidak wajib ya? how unfair!), tetapi kegiatan dibawah ini jg tmsk HSI:
(i) aneka bentuk Komunikasi non-verbal (stimulasi dengan tangan, mulut, & organ-organ lainnya) yang disepakati & disukai bersama.
(ii) Aneka Komunikasi verbal (pillow talk, romantic dinner, & bahkan dirty talk)
(iii) Eksplorasi aneka bentuk “kesenangan” yang dapat disepakati oleh suami istri, sehingga memberi dampak positif pada aspek Pro-Union-nya.
(iv) dan kegiatan lain.
7. Jadi, IMHO, Oral seks oleh suami istri, yang tanpa paksaan dan disenangi kedua pihak adalah salah satu bentuk HSI, sebab telah memenuhi aspek sbb:
(i) Fulfillment of psycho-phisiological needs dari suami istri
(ii) Bila disenangi bersama, maka ada kontribusi positif terhadap relasi & komunikasi suami istri (pro-union)
(iii) Bila memang sedang family planning, oral seks dapat sebagai foreplay atau post-play (pro-creation)
(iv) Bila tidak ada family planning, maka selain fulfillment of needs, oral seks juga berfungsi sama seperti terbuangnya sperma melalui air seni atau wet-dream.
8. Demikian pula sebaliknya, HSI TIDAK HARUS selalu ada oral seks, tanpanya pun atau bahkan hanya satu jenis posisi-pun selama-lamanya, sejauh KEDUANYA memiliki PERASAAN POSITIF dan MENYEPAKATI KONSENSUS “batasan” bersama, tentu sudah memenuhi seluruh aspek diatas.
9. Terakhir, Kalau misalnya suami istri dalam HSI sudah melakukan sampai tahap penetrasi, tetapi bila suami atau istri (salah satu):
(i) berada dalam paksaan
(ii) tidak menikmati sama sekali, karena diangap tabu, menjijikkan, atau malu kalau kelihatan sedang sexually-aroused.
(iii) sekedar merasa kewajiban yg harus dilakukan, atau
(iv) merasa sekedar dalam proses produksi bayi & biar cepat selesai, & cepat hamil
maka IMHO, aspek Pro-Union sudah dilanggar, walaupun bisa berhasil terjadi pembuahan ovum.
Nah, kalau menurut saya, kasus-kasus semacam ini yang perlu didiskusikan apakah dapat dianggap DOSA atau tidak.
10. Yuk, kita analogikan dengan proses MAKAN, singkat aja ya…
a. Prinsip utama: sumber energi, dan diperoleh dengan cara yang baik, serta diolah dengan baik
b. Jadi: selama ayam/sapi/babi nya sehat, disembelih dengan benar, dimasak sampai matang, disajikan di piring bersih, dimakan sampai kenyang. Habis perkara, toh sudah memenuhi semua prinsip makan.
c. Nah, kalau ada babi panggang saos lemon, ada babi goreng tepung, ada ayam rica-rica, ada lawar, ada pepes udang, semuanya kan hanya sekedar memenuhi nafsu psikologis manusia, yang bila melihat makanan ber-VARIASI, disajikan dgn TAMPILAN BAGUS, rasanya ENAK, kadang-kadang makan di LOKASI yang baru / pemandangan indah, maka MAKAN jadi lebih semangat & fungsinya sudah melebar, tidak sekedar point a.
d. Bagi yang tertarik, silakan didiskusikan:
(i) apakah masak & menyajikan aneka makanan bervariasi & aneka bentuk konsep resto/bistro/lesehan/pancingan/dll ini juga dibahas di alkitab & ada yang dosa atau tidak dosa
(ii) apakah kalau Tujuan utama MAKAN di-BELOK-kan jadi menikmati pemandangan puncak pass sambil ngemil, atau makan fine-dining yang tidak mengenyangkan, atau berpindah restoran sebab di sebelah rasanya lebih enak, itu termasuk perbuatan dosa atau tidak ya, padahal yang penting cukup sebagai sumber energi saja kan?
Maaf, panjang sekali….
Salam,
Shalom Paulus Prana,
Terima kasih atas komentarnya. Kalau anda setuju bahwa hubungan suami istri (HSI) adalah harus ada unsur prounion dan procreation, seperti yang telah dijabarkan di dalam dokumen Gereja, Humanae Vitae, maka pemaparan anda justru bertentangan dengan prinsip ini. Yang saya tangkap dari argumentasi anda adalah, anda ingin memisahkan antara prounion dan procreation dalam hubungan suami istri. Kalau kita lihat, maka dua elemen ini, sebenarnya adalah elemen yang tak terpisahkan. Dan pasangan suami istri dapat melakukan prinsip ini, dengan tetap bertanggung jawab terhadap masa depan anak, yaitu dengan menerapkan KB alamiah – salah satunya telah dijabarkan di sini – silakan klik. Yang menjadi masalah di sini, adalah banyak pasangan yang mencari mudahnya, yaitu ingin mendapatkan kesenangan tanpa mau terbuka terhadap kelahiran. KB Alamiah adalah salah satu cara yang bijaksana, cara yang tidak berdosa namun pada saat yang bersamaan hubungan suami istri tetap dapat terjalin dengan baik, dan bertanggung-jawab terhadap keluarga.
Pada saat hubungan suami istri terjadi hanya menuruti libido, maka sebenarnya kita telah menurunkan kesakralan dalam hubungan suami istri dan menurunkannya kepada tingkat “binatang” – yang hanya mengikuti dorongan sense appetite, yang mempunyai prinsip “ketika waktunya datang, maka harus dipenuhi“. Dengan prinsip ini, maka kita melihat pasangan sebagai obyek pemuas nafsu dan melepaskan diri dari hubungan suami istri yang sakral. Walaupun orang-orang di jaman awal tidak tahu secara persis kerja hormonal, namun mereka tahu efek dari hormon sebelum dan setelah hubungan suami istri. Dengan demikian, mereka dapat mengamati dari efek-efek yang terjadi. Jadi, tidaklah benar, karena masalah ini, maka hubungan manusia hanya dilihat sebagai proses reproduksi pada jaman dulu. Kalau kita mau melihat sejarah, maka alat-alat kontrasepsi bahkan telah dipakai ribuan tahun sebelum masehi (lihat sumber ini – silakan klik). Dengan demikian, terlihat bahwa ada sebagian dari orang-orang yang telah berusaha untuk mendapatkan kepuasan namun tidak ingin mendapatkan keturunan.
Secara prinsip, saya tidak berusaha untuk mereduksi hubungan suami istri hanya untuk procreation. Justru di argumentasi yang saya berikan sebelumnya, saya telah memaparkan bahwa Gereja mengajarkan bahwa HSI mempunyai dua unsur, yaitu procreation dan prounion. Kalau anda ingin menitikberatkan HSI pada aspek prounion, maka tidak menjadi masalah selama tidak menghilangkan aspek procreation dalam HSI. Namun, akan menjadi masalah kalau HSI hanya dilihat sebagai dari aspek prounion tanpa mau melihat aspek procreation. Procreation di sini harus dilihat sebagai keterbukaan terhadap kelahiran. Dengan demikian, bukan berarti bahwa setiap HSI hanya untuk procreation, namun setiap pasangan Katolik harus terbuka terhadap kelahiran, yang artinya tidak menghalangi kemungkinan kelahiran dengan menggunakan kontrasepsi.
Jadi, dari argumentasi yang anda berikan, maka yang perlu didiskusikan adalah apakah prounion dapat terpisah dari procreation dalam HSI. Kalau anda memberikan justifikasi akan seks sebagai suatu prounion terpisah dari procreation, maka sebenarnya alasan prounion menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan. Karena dengan demikian, prounion telah direduksi menjadi suatu kesenangan dan bukan saling memberikan diri secara total (kasih dalam pengertian self-giving). Prounion lebih daripada hanya sekedar saling memuaskan libido. Prounion adalah suatu tindakan nyata dari saling memberi tanpa ada cadangan. Dengan menyingkirkan aspek procreation, maka seolah-olah pasangan ingin mengasihi namun dengan cadangan dan tidak melakukannya secara total. Dengan demikian aspek prounion sebenarnya telah direduksi menjadi aspek kesenangan belaka.
Dan point ke-9 yang anda berikan tidak akan terjadi, selama pasangan mendapatkan pemahaman yang benar akan HSI yang sebenarnya. Dengan pemahaman yang benar, maka hubungan suami istri justru menjadi hubungan yang kudus, seperti yang direncanakan oleh Tuhan, di mana suami istri turut berpartisipasi dalam proses kelahiran manusia, yang menjadi suatu hubungan Tritunggal Maha Kudus. Dengan demikian HSI bukanlah sekedar pemuas libido yang dibalut dengan alasan prounion, namun juga termasuk dengan keterbukaan terhadap kelahiran, yang menjadikan prounion menjadi tindakan kasih yang memberikan diri (self-giving love). Semoga jawaban ini dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saya merasa sedih, ingin menangis membacanya. Apakah banyak orang yg melakukan praktek spt ini? Menurut saya pribadi, ini tdk sesuai dgn cinta kasih, dan lebih mengedepankan nafsu. Itu sebabnya hati kecil ibu L menolak.
Menurut saya mulut utk mulut, bawah utk bawah, bukan dibalik-balik. Entah sy belum ketemu ayat yg cocok, tapi yg teringat baru ayat ini: “Kuduslah kamu, sebab Aku (Tuhan) kudus.”
Maaf, menurut saya jika dgn kasih sayang, mulut utk ciuman saja sdh bisa memuaskan. Suami yg mengasihi (dan bisa menguasai diri) pasti akan merasa cukup. Org berkhayal/ ingin macam2 gaya itu krn pasti pernah membaca majalah, film, & mendengar dokter, psikolog yg mengatakan itu sah-sah saja, supaya kehid. ranjang jadi hot, dll. Tapi buat kami, sdh terbukti, hanya Tuhan Yesus sendiri yang membuat kita melakukan itu dgn kasih (antara suami istri), sehingga puas, bukan krn gaya ini atau gaya itu (usaha manusia). Ingat ada ayat di Yeremia: Terkutuklah mereka yg mengandalkan manusia, yang mengandalkan kuda-kudanya (usaha maksudnya), dst itu.
[Juga ingat ayat ini: “buah-buah Roh adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan (hati), kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, dan penguasaan diri”. Jadi kalau ibu tdk merasa sreg, berarti tindakan suami minta oral sex itu telah bertentangan dgn salah satu/ salah dua itu, misalnya berarti ini tdk baik, tdk lemah lembut (walaupun pakai foreplay yg nampaknya lembut, tapi ini tetap penindasan HARGA DIRI dari orang yg 1 thdp pasangannya), tdk menguasai diri (tdk mau cukup puas dgn cara yg terhormat, sehingga tdk sadar sex telah menjadi berhalanya.
Sy ingat wkt kami baru menikah (di KPP dikatakan yg boleh KB alamiah & kondom, ternyata salah ya?) dan suami berbaik hati pakai kondom, tapi hati kecil sy mengatakan ADA YG SALAH, sehingga stop kondom. Terserah lah, mau jadi anak/ tdk terserah Tuhan. Nyatanya, dgn KB alamiah sebisanya, jarak anak 8 thn lebih !!]
Kalau kita mau jujur thdp diri sendiri & Tuhan, jangankan utk lihat BF, ketika kt pertama nonton film yg eh tdk sengaja ada adegan cium atau hub. intim walau cuma digambarkan seolah-olah aktris & aktornya begituan, tapi kan hati kecil kita MALU, sekaligus ada keinginan liat (krn terbawa nafsu), sebagian hati kita bilang JANGAN!!!, tapi toh mata kita melihatnya & pikiran kita cari2 excuse/ alasan pembenaran. Intinya, ini pasti tidak disukai oleh Tuhan. Yg bilang JANGAN itu pasti Roh Kudus Nya. Tapi “daging” mmg lemah. Dan kita musti berusaha melawan keinginan daging.
Tapi beginilah cara kerja setan yg hrs diwaspadai, dikemas dgn sangat menarik & bekerja dg perlahan/ membuai. Dimulai dgn film2 Hollywood era 80-an (?) yang nyinggung2 area sex, akhirnya gamblang (bukan nyinggung2 lagi). Sama dgn orang kecanduan narkoba. Mulai dgn sedikit, ada perasaan bersalah, lalu pelan2 meningkat dosis & jadi nagih. Akhirnya orang tdk merasa bersalah lagi bicara/ membahas ttg Kamasutra, hub. sex, dll.
Padahal jelas2 ini melawan perintah Allah yg “jangan berzinah” & “jangan ingin berbuat cabul”.
Karena dgn memandang wanita/ pria di dalam film itu & menginginkannya ataupun menginginkan perbuatan cabul seperti itu kita sudah melanggar perintah Allah tsb. Spt Sabda Yesus yg ini: jika seseorang memandang seorg wanita & menginginkannya dia sdh berzinah (aduh, maaf lupa tepatnya.)
Demikian dari saya, semoga berguna, maaf kalau terlalu plas plos, karena waktunya singkat utk sy mengetik ini.
Shalom Eveline,
Saya pribadi setuju dengan anda, bahwa oral sex kelihatannya terlalu mengedepankan nafsu.
Memang tidak ada dokumen Gereja yang secara tertulis melarangnya. [Namun tentu saja, apa yang tidak tertulis belum tentu baik untuk dilakukan]. Yang dilarang secara tertulis memang adalah hubungan seksual yang dilakukan demi memuaskan dorongan seksual semata (seks sebagai tujuan akhir) yang tidak terbuka terhadap kemungkinan kelahiran. Ini secara tegas tertulis dalam Humanae Vitae. Maka di sini kami hanya dapat menuliskan apa yang kami ketahui tentang pengajaran Gereja Katolik menanggapi pertanyaan tersebut, yaitu bahwa jika oral sex dilakukan oleh sepasang suami istri terpisah dengan hubungan seksual yang total (yang terbuka terhadap kemungkinan kelahiran) itu tidak dapat dibenarkan, namun jika oral sex berakhir dengan hubungan seksual yang total, maka hal itu masih dapat diperbolehkan secara moral.
Namun demikian, saya setuju, bahwa sebenarnya keangungan hubungan suami istri tidak memerlukan oral sex.
Memang Allah menginginkan agar sebagai suami istri kita dapat belajar melihat pasangan dengan hati yang murni. Karena dengan demikian kitapun dapat menghargai seksualitas kita masing-masing, dan agar juga tidak terjebak dengan dosa ‘perzinahan’ di dalam pikiran. Sebab Kristus pernah berkata, “Kamu telah mendengar firman jangan berzinah. Tetapi aku berkata kepadamu: setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28).
Semoga Tuhan memberikan kepada kita semua rahmat kekudusan agar kita dapat melihat seksualitas sesuai dengan yang direncanakan Allah bagi kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Hubungan intim memang didasari oleh hubungan yg dulu (atau mungkin sampai sekarang) yang disebut cinta, tetapi kenapa tuhan memberi kita hawa nafsu (dalam hal ini nafsu sex) tidak hanya untuk sesuatu yang negatif,bahkan dalam rumah tangga sangat diperlukan nafsu sex, sangat berguna untuk mempererat hubungan suami istri dan banyak hal yg secara medis dapat dibuktikan bahwa hubungan sex itu menyehatkan (bila dilakukan dengan pasangan saja) bahwa kesimpulan saya lakukanlah apapun yang ingin anda lakukan dalam hubungan sex anda tanpa ragu.
GBU
Shalom Stigma,
Terima kasih atas tanggapannya. Tuhan sebenarnya tidak memberikan kepada kita hawa nafsu yang terlepas dari akal budi (reason) yang benar. Hawa nafsu adalah merupakan akibat dosa asal, yang membuat manusia sering terlena dalam dosa, karena keinginan daging tidak sepenuhnya dapat mengikuti akal budinya. Keinginan daging yang tidak disertai dengan reason tidaklah sesuai dengan maksud dari penciptaan wanita dan pria dan kesakralan hubungan antara suami istri. Atau dengan kata lain, hubungan suami istri yang berdasarkan nafsu tanpa cinta maupun nafsu dan cinta tanpa terbuka terhadap kelahiran tidaklah sesuai dengan apa yang diinginkan Tuhan sejak awal mula. Jadi, marilah pasangan suami istri dapat benar-benar melihat hubungan suami istri tidak hanya sebagai kesenangan belaka, namun menjadi sesuatu yang sakral, di mana pasangan suami istri turut berpartisipasi dalam penciptaan manusia. Semoga keterangan singkat ini dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
saya dan suami juga melakukan oral sex. tapi kami melakukannya atas dasar kami saling mengasihi. kami tidak merasa terpaksa satu sama lain. kami melakukan bukan sebagai final suatu persetubuhan tapi sebagai foreplay. sehingga saya dan suami tidak memaksakan dan tidak mementingkan pemuasan secara egois. tapi bagaimana bisa saling memberikan kepuasan secara seksual. saya merasa diberkati sekali dengan artikel ini. setidaknya apa yang saya dan suami lakukan dalam persetubuhan selama ini bukan sesuatu yang dosa dan penjelasan artikel ini ada dasarnya (firman Tuhan).
terima kasih juga yang telah secara terbuka menanyakan hal ini sehingga dapat membagi pengetahuan seperti ini. setidaknya saya merasa pertanyaan-pertanyaan ini ada dalam benak banyak wanita tapi malu untuk menanyakannya.
semoga teman-teman yang membaca artikel ini merasakan berkat yang sama. amin.
Syalom Bapak Stefanus/ Ibu Inggrid,
Saya mempunyai pergumulan mengenai masalah tehnik hubungan suami istri secara oral yaitu di satu sisi suami merasa lebih senang dengan cara tersebut karena dia lebih bergairah dengan melihat istri orgasme dan juga dilakukan dengan istri sendiri, namun saya pribadi merasa tidak benar, sehingga kadang saya menghindari hubungan ini.
Namun disisi lain saya merasa tidak enak untuk menolak suami, karena selama inipun dia tidak pernah memaksa dan juga melakukan dengan lembut (dengan foreplay lebih dulu).
Saya mengakukan hal ini dalam beberapa sakramen tobat, dan berkonsultasi dengan pastur, mereka menjawab yang penting adalah dilakukan dg hubungan kasih antara anda berdua, soal tehnik tidak masalah asal menyenangkan berdua.
Namun sampai sekarang saya merasa tidak enak/berdosa dan telah membawanya dalam doa agar Tuhan Yesus membuka pengertian kami berdua, kalau seandainya Tuhan tidak berkenan, maka suami menjadi tercelik pikirannya dan apabila ini tidak menyebabkan dosa maka saya dapat melakukan tanpa merasa berdosa/bersalah.
Bagaimana saya harus bersikap dalam menunggu jawaban dari Tuhan, karena selama ini masih berlangsung, meski saya sudah mengutarakan kepada suami tentang yang saya rasakan, namun menurut dia seperti jawaban di atas ini dilakukan dg istri sendiri dan membuat dia lebih senang, sehingga saya menjadi serba sulit.
Terima kasih, mohon sarannya, Tuhan memberkati.
Shalom Loki,
Silakan melihat jawaban di atas (silakan klik)
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Terima kasih atas jawabannya, semoga pak Stef dan bu Inggid terus berkarya melalui web ini, dipakai Tuhan lebih dan lebih lagi, membawa umatNya ke tanah terjanji surgawi tempat tujuan kita semua yaitu kehidupan kekal bersama Yesus Kristus, Tuhan, Raja dan Pengantara kita. Amin
Comments are closed.