[Hari Minggu Biasa ke XIX: 1Raj 19:4-8; Mzm 34:2-9; Ef 4:30-5:2; Yoh 6:41-51]
Hari Minggu ini kita mendengarkan kisah Nabi Elia yang melarikan diri ke padang gurun, untuk menghindar dari kejaran para suruhan Ratu Izebel yang ingin membunuhnya. Dalam kelelahan dan keputusasaannya, Nabi Elia berseru kepada Tuhan, agar ia dibiarkan mati saja (lih. 1Raj 19:4). Namun Allah mengutus malaikat-Nya untuk memberi Elia makan dan minum, untuk melanjutkan perjalanannya. Dari makanan itu, Nabi Elia dapat bertahan dalam perjalanan empat puluh hari empat puluh malam sampai ke gunung Tuhan.
Suatu saat dalam hidup ini, kitapun dapat mengalami pengalaman seperti yang dialami oleh Nabi Elia. Kita dapat merasa lelah—karena kesibukan rutin, permasalahan hidup atau karena kelemahan diri kita sendiri—yang mendorong kita menyerah. Namun Tuhan mengutus malaikat-Nya, yaitu Gereja, yang memberikan kita santapan rohani—yaitu Ekaristi—untuk membuat kita bertahan dan dapat melanjutkan perjalanan, sampai ke gunung Tuhan, yaitu Surga. Tak mengherankan, Gereja di abad-abad awal menyebut Ekaristi sebagai Viaticum, artinya: bekal bagi perjalanan jauh. Namun demikian, istilah Viaticum kini lebih dihubungkan sebagai bekal terakhir bagi seseorang di saat ajal, yaitu ketika hendak beralih dari hidup di dunia ini ke kehidupan selanjutnya. Maka bacaan hari ini juga mengingatkan kita pentingnya Ekaristi bagi kita, terutama di saat menjelang kematian. Saat itu kita sungguh membutuhkan kekuatan dari Tuhan sendiri, agar kita dapat mengalahkan godaan untuk menyerah dalam keadaan keputusasaan, seperti yang dialami oleh Nabi Elia. Di saat ajal itulah, kita akan menghadapi godaan terbesar, akankah kita tetap percaya kepada Kristus Juruselamat kita, sementara kita mengalami puncak penderitaan ataupun rasa kesendirian yang tak terungkapkan. “Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal…. Akulah roti yang turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya…” (Yoh 6:47,51). Betapa ini adalah janji Tuhan yang layak kita pegang teguh sampai akhir! Jika kita percaya akan sabda Yesus ini, layaklah kita berusaha sedapat mungkin untuk mengusahakan penerimaan sakramen Ekaristi bagi mereka yang sedang dalam sakrat maut. Betapa luhurnya pengabdian seorang imam yang mau berkorban melakukan apa saja, untuk memberikan Komuni Viaticum ini kepada umat yang membutuhkannya! Betapa sepantasnya kita bersyukur kepada Tuhan Yesus atas pemberian diri-Nya melalui Gereja-Nya, para imam-Nya, dan sakramen Ekaristi!
Namun Ekaristi bukan hanya Roti hidup yang layak diterima saat menjelang ajal. Tuhan Yesus menghendaki kita menyambut Dia secara teratur dalam kehidupan kita: setiap Minggu, atau jika memungkinkan, setiap hari. Dengan demikian, kita dapat mengambil bagian di dalam hidup-Nya sendiri, agar kita dapat mengalahkan godaan dan dapat senantiasa hidup dalam rahmat Allah, seturut panggilan kita sebagai anak-anak-Nya. “Melalui penerimaan Komuni setiap hari, kehidupan rohani menjadi lebih penuh dan jiwa diperkaya dengan kebajikan- kebajikan. Orang yang menerima Komuni menerima tanda yang pasti akan kehidupan kekal” (Paus Paulus VI, Eucharisticum Mysterium, 37). Tentu perkataan ini didasari oleh janji Kristus sendiri, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal…, [ia] akan hidup oleh Aku…, ia akan hidup selama-lamanya” (Yoh 6:54,56,58). Sebab dengan mengambil bagian dalam Tubuh dan Darah Kristus, kita diubah oleh-Nya menjadi semakin menyerupai Dia yang kita sambut itu. Hal ini jelas kita lihat dalam kehidupan para orang kudus—yaitu para Santo-Santa—namun juga dalam kehidupan kita di masa ini, asalkan kita mau menyambut Kristus dengan sikap batin yang baik, sebagaimana yang dilakukan oleh para orang kudus itu.
Ketika Hosti diangkat oleh tangan imam, dan yang melalui perkataan Sabda Tuhan, telah diubah menjadi Tubuh Kristus Sang Roti hidup, mari kita memandang-Nya, sambil berkata, “Tuhan, aku mau menerima Engkau, sebagai Roti hidup yang turun dari surga… Biarlah ini menjadi santapan dan bekal bagiku untuk sampai kepada hidup yang kekal dalam kebahagiaan abadi bersama-Mu…” Dan saat Roti Hidup itu kita terima, biarlah kidung Anima Christi ini bergema di hati kita:
“Jiwa Kristus, kuduskanlah aku
Tubuh Kristus, selamatkanlah aku
Darah Kristus, sucikanlah aku
Air lambung Kristus, basuhlah aku
Sengsara Kristus, kuatkanlah aku
Yesus yang murah hati, luluskanlah doaku
Dalam luka-luka-Mu sembunyikanlah aku.
Jangan aku dipisahkan daripada-Mu, ya Tuhan.
Terhadap seteru yang curang, lindungilah aku.
Di waktu ajalku, terimalah aku.
Supaya bersama para kudus, aku memuji Engkau,
selamanya.”