Pendahuluan

Pada artikel “Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik” telah dijabarkan tentang dasar Alkitabiah dan beberapa tulisan para Bapa Gereja yang mendasari pengajaran Gereja tentang Sakramen Perkawinan. Selanjutnya, mari kita lihat surat ensiklik Paus Paulus VI yang paling terkenal: Humanae Vitae (HV) yang dikeluarkan tahun 1968, tentang Pengaturan Kelahiran yang berdasarkan atas keluhuran makna Sakramen Perkawinan. Kekurang-pahaman akan makna luhur Perkawinan dalam kaitannya dengan rencana Allah untuk tujuan akhir hidup manusia menyebabkan banyak orang menilai pengajaran Humanae vitae sebagai pengajaran yang sulit diterapkan. Namun jika dengan hati terbuka kita mau mendengarkan dan meresapkannya, kita akan bersyukur dan mengakui keindahan ajaran ini, yang ditujukan untuk kebahagiaan suami istri, yang dapat dialami di dunia ini sambil menantikan kepenuhannya di surga.

Makna luhur Sakramen Perkawinan sebagai latar belakang Humanae Vitae

Perkawinan memiliki arti luhur karena merupakan gambaran tujuan akhir hidup manusia yang adalah persatuan yang erat antara manusia dengan Tuhan dan sesama ((Lihat Lumen Gentium, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, 1)) Persatuan ini sungguh luhur dan tak terbayangkan oleh pemikiran kita. St. Yohanes Salib bahkan mengatakan, persatuan tersebut merupakan ‘perkawinan mistik’ dengan Allah. Kitab Suci sendiri menyatakan hal ini dengan Allah berkali-kali menyebutkan umat-Nya sebagai mempelai-Nya, yang diwujudkan dengan sempurna oleh Yesus yang telah menyerahkan diri kepada mempelai-Nya yaitu Gereja-Nya. Dengan melihat Yesus di kayu salib, kita melihat gambaran kasih Allah yang tak terbatas, yang sekaligus mengajarkan kepada kita jalan untuk mencapai kebahagiaan: yaitu dengan memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama. Dengan pemberian diri ini, kita mengambil bagian di dalam kasih Allah yang sejati, yang secara khusus terwujud di dalam hubungan suami istri. ((Juga dengan cara pandang demikian, kita semakin menghargai makna panggilan hidup membiara, karena kehidupan membiara merupakan gambaran pemberian diri yang total kepada Allah dan sesama.))

Oleh karena Sakramen Perkawinan adalah gambaran kasih Allah, maka kita dapat memahami betapa Allah menguduskan hubungan suami istri. Melalui hubungan ini manusia diingatkan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah keselamatan yang merupakan persatuan yang mendalam dengan Allah. Maka, hubungan suami istri yang merupakan ‘persiapan’ untuk persatuan yang sempurna dengan Allah itu merupakan tanda kehadiran Allah di dunia. Begitu dalamnya makna persatuan suami istri ini, sebab Allah hadir di dalamnya dengan Roh Kudus-Nya yang memberi hidup (lih. Yoh 6:63); dan sesuai dengan kehendakNya Ia dapat mengikutsertakan suami istri di dalam karya penciptaanNya mendatangkan suatu kehidupan baru. Maka hubungan suami istri menjadi cerminan kasih Allah yang total dan setia, atas misteri penciptaan dan keselamatan. Karena Allah-lah yang menjadi Sumber penciptaan dan keselamatan, maka sudah selayaknya manusia tunduk kepada kehendak Tuhan di dalam perwujudan hubungan suami istri, dan ya, termasuk di dalam pengaturan kelahiran, karena hal itu tidak terlepas dari hubungan tersebut.

Sekilas sejarah tentang Humanae Vitae

Gambaran kasih Allah dalam Perkawinan ini ternyata mendapat tantangan yang cukup besar dengan adanya penemuan alat-alat kontrasepsi, yang pada dasarnya ingin mengambil peran Allah dalam hal pengaturan kelahiran. Diperlukan kerendahan hati untuk mengakui, bahwa dengan mengambil kontrol ini, sesungguhnya manusia jaman sekarang bersikap seperti Adam dan Hawa, yang tidak mau mengikuti kehendak Tuhan, tetapi ingin mengikuti kehendak sendiri. Dengan demikian, manusia menolak salah satu karunia Allah yang terbesar dalam perkawinan, yaitu keikutsertaan mereka dalam misteri penciptaan kehidupan baru, yang dipercayakan Tuhan kepada mereka.

Sebenarnya sejak jaman abad awal sampai tahun 1930, semua Gereja baik non Katolik maupun Katolik selalu bersepakat bahwa kontrasepsi adalah perbuatan dosa. Namun pada tahun 1930, gereja Anglikan pertama kali menyetujui kontrasepsi. Dan gereja-gereja lain mulai mengubah posisi mereka, kecuali Gereja Katolik. Pada tahun yang sama Paus Pius XI mengeluarkan surat ensiklik Casti Connubii (=Tentang Perkawinan) yang pada prinsipnya menegaskan kembali pengajaran Gereja sejak awal, bahwa kontrasepsi adalah perbuatan yang salah. ((Casti Connubii menyatakan, “Tidak ada alasan betapapun besarnya, yang dapat dikemukakan yang melaluinya apapun yang pada dasarnya bertentangan dengan alam dapat sesuai dengan alam dan baik secara moral. Dengan demikian, karena hubungan suami istri ditujukan terutama oleh alam untuk menghasilkan keturunan, maka mereka yang dengan sengaja mengacaukan kekuatan dan maksud alam ini, berdosa melawan alam dan melakukan perbuatan yang memalukan dan pada dasarnya keji…. Pelaksanaan perkawinan yang sedemikian sehingga dengan sengaja mengacaukan kekuatan alam untuk mendatangkan kehidupan adalah suatu perbuatan yang menentang hukum Tuhan dan hukum alam, dan mereka yang terus menerus melakukan hal ini melakukan dosa yang berat.”)) Maka, seperti yang terlihat dalam survey, umat Katolik pada saat itu tetap berpegang pada pengajaran Gereja.

Keadaan berubah pada sekitar akhir tahun 1950-an sampai awal 60-an, saat pertama kali pil KB marak digunakan. Banyak orang berpikir, bahwa penggunaan pil ini kelihatannya secara moral dapat diterima, sebab tidak seperti alat KB lainnya, pil tidak memutuskan/ mengganggu hubungan seksual antara suami istri. Maka Paus Yohanes XXIII menunjuk enam orang Teolog yang bertugas untuk meneliti hal ini, untuk membantunya membuat keputusan. Setelah Paus Yohanes XXIII wafat, Paus Paulus VI melanjutkan tugas tersebut. Ia menambah jumlah anggota komite dengan melibatkan para ahli dari segala bidang terkait, termasuk beberapa pasangan suami istri. Mayoritas dari komite mengatakan bahwa Gereja harus mengubah ajarannya, dan hanya minoritas yang mengatakan bahwa Gereja tidak seharusnya mengubah, atau lebih tepatnya tidak dapat mengubah ajaran mengenai kontrasepsi, sebab hal itu berkaitan dengan hukum Tuhan. Apa yang dilarang oleh Tuhan tidak dapat diubah oleh seseorang, ataupun oleh Gereja.

Sebagian dari laporan kerja komite ini yang seharusnya hanya untuk diketahui oleh Paus Paulus VI- akhirnya bocor dan beredar ke kalangan luas. Mereka menyelesaikan laporan tersebut sekitar tahun 1967, yang tadinya diperkirakan akan dimasukkan oleh Paus ke dalam dokumen tentang pengajaran hal kontrasepsi. Pada saat itu banyak tulisan beredar, yang arahnya setuju dengan pemakaian kontrasepsi, sehingga berkembanglah harapan bahwa Gereja akan mengubah ajarannya. Maka, ketika Paus Paulus VI mengeluarkan surat ensiklik Humanae vitae pada bulan Juli 1968, yang isinya menentang pemakaian kontrasepsi, banyak orang tercengang, sebab hal itu sama sekali di luar dugaan!

Reaksi terkeras datang dari para Theolog seperti Fr. Robert Fuchs, Fr. Bernard Haering, Fr. Charles Curran, dan Fr. Karl Rahner. Sejak saat itu mulai banyak terdapat perbedaan-perbedaan pendapat antara para Teolog dengan ajaran Gereja dalam hal-hal seperti perceraian, masturbasi, homoseksualitas, dst. Namun demikian, Gereja tetap menegaskan kembali ajarannya sejak semula: bahwa praktek kontrasepsi adalah perbuatan dosa karena tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena bertentangan dengan hakekat ‘pemberian diri (self-giving) yang total’ kepada pasangan. Terima kasih kepada Paus Yohanes Paulus II, yang kemudian secara jelas dan mendalam menjelaskan alasannya kenapa demikian, seperti yang dipaparkannya dalam Theology of the Body (=Teologi Tubuh). Sekilas mengenai Theology of the Body akan dibahas pada artikel terpisah.

Prinsip Pengajaran Humanae Vitae

Secara garis besar, Humanae Vitae (HV) menegaskan bahwa karena Perkawinan adalah institusi yang ditetapkan oleh Tuhan untuk mewujudkan rencana kasihNya, maka cara perwujudannya haruslah disesuaikan dengan kehendakNya. Tuhan berkehendak agar suami istri dapat saling membantu untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, dan dapat bekerjasama dengan-Nya dalam mendatangkan kehidupan baru.

Gereja menyadari bahwa peran serta manusia dalam menurunkan kehidupan baru, merupakan sumber suka cita yang besar bagi suami istri, namun dapat juga disertai dengan kesulitan dan tantangan (HV 1). Misalnya, tantangan bagaimana menghidupi/ membesarkan keturunan, yang dalam skala negara akhirnya dapat menghasilkan kekuatiran apakah sumber alam dapat cukup mendukung manusia. Maka dalam hal ini negara ikut turun tangan mengatur kelahiran. Juga ada tuntutan lain, misalnya, para feminis, yang ingin membatasi jumlah anak atau tidak menginginkan anak, karena ingin mencapai jenjang karir yang sama dengan kaum pria. Di sini terlihat bahwa ada usaha untuk mengatur kelahiran berdasarkan akal dan kehendak manusia, dan ‘mencoret’ keterlibatan ritme biologis (HV 3), yang merupakan hukum alam yang sudah ditanamkan oleh Tuhan di dalam tubuh manusia. Singkatnya, manusia mau turut andil mengatur urusan penciptaan, bukannya bekerjasama dengan Tuhan Sang Pencipta.

Menyikapi hal ini, Paus mengingat mandat yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para rasul sebelum Ia naik ke surga, yaitu untuk mengajar semua bangsa segala perintah-Nya (Yoh 21:15-17; Mat 28:18-20). Maka Paus selaku penerus Rasul Petrus, bertanggung jawab untuk mempertahankan kebenaran seluruh ajaran Tuhan, termasuk mengenai Perkawinan. Jika tidak demikian, berarti Paus melanggar perintah Yesus. Jadi, walaupun Paus mengakui kontribusi dari komite yang membuka wawasan akan kompleksitas masalah ini dan iapun berterimakasih kepada mereka, namun pada akhirnya, ia tetap mengumumkan kebenaran Tuhan tentang larangan kontrasepsi, berdasarkan atas mandat yang dipercayakan Kristus kepadanya (HV 6).

Untuk memahami pengaturan kelahiran, seseorang harus mempunyai gambaran yang total tentang manusia. Jadi, haruslah dilihat dimensi kerohanian dan kekekalan manusia, dan bukan hanya dimensi jasmani manusia di dunia (HV 7). Hubungan suami istri harus dilihat sebagai sesuatu yang luhur karena bersumber dari Allah Bapa. Bahkan oleh partisipasinya dalam penciptaan manusia baru, para suami di dunia dipanggil pula sebagai ‘bapa’. ((Justru panggilan ‘bapa’ ini mengandung tugas yang sangat penting untuk menghadirkan peran kebapakan (‘Fatherhood’) Tuhan di dunia. Dengan dasar ini, kita juga dapat lebih memahami peran yang dijalankan oleh para pastor, ‘romo’ dan Paus, yang juga menjadi ‘bapa rohani’ bagi kita.))

Allah menginginkan agar di dalam Perkawinan, suami dan istri saling memberikan diri secara total, agar mereka dapat saling menguduskan dan bekerjasama untuk mendatangkan kelahiran. Dengan demikian mereka dapat menjadi gambaran kasih Allah sendiri. Maka untuk kedua orang yang sudah dibaptis, Perkawinan merupakan sakramen tanda rahmat Allah, yang melambangkan persatuan Kristus dengan Gereja (HV 8).

Kasih antara suami istri dalam Perkawinan memiliki lima ciri, yaitu manusiawi (fisik dan spiritual), total, setia dan eksklusif/monogami, dan menghasilkan buah/ ‘fruitful‘ (HV 9). Kasih manusiawi suami istri yang dimaksud di sini tidak hanya berdasarkan naluri dan perasaan, tetapi atas perbuatan kehendak bebas yang ditujukan untuk terus bertahan di dalam suka duka sehingga suami istri dapat bertumbuh sempurna menjadi satu hati dan satu jiwa. Kasih semacam ini adalah total, yang tidak menahan sebagian, dan tidak melibatkan perhitungan untung rugi. Kasih ini tidak berdasarkan apa yang dapat ia terima dari pasangan, tetapi atas kebahagiaan untuk memperkaya pasangan dengan memberikan diri seutuhnya. Karena itu, kasih suami istri adalah kasih yang setia dan ekslusif, yaitu satu suami, satu istri. Tidak dapat dipungkiri, kesetiaan yang sedemikian dapat sulit diterapkan, namun selalu mungkin; luhur dan mulia, yang akhirnya menghantar pada kebahagiaan yang sejati. Yang terakhir, kasih suami istri harus ‘berbuah‘ (fruitful), yang artinya terbuka pada kelahiran anak-anak.

Penting di sini disebutkan juga bahwa suami istri perlu memahami pengertian Responsible Parenthood ((Responsible Parenthood yang dijabarkan di sini adalah menyangkut beberapa hal. Dalam hal biologis, berarti mengetahui dan menghormati fungsi-fungsi proses regenerasi ini, dengan mempelajari hukum biologis tubuh manusia untuk meneruskan keturunan. Dalam hal menyangkut naluri dan nafsu, responsible parenthood berarti penguasaan diri di mana akal dan kehendak dapat mengatasi dorongan nafsu. Dalam hal fisik, ekonomi, psikologi dan sosial, responsible parenthood ini dapat dinyatakan dengan kesediaan untuk menerima anak-anak yang dipercayakan Tuhan, atau dengan pengaturan yang alamiah untuk membatasi jumlah kelahiran jika itu sungguh diperlukan. Di atas semuanya itu, responsible parenthood melibatkan kesadaran akan ketentuan moral yang berasal dari Tuhan.)) yang pada prinsipnya melibatkan kesadaran akan ketentuan moral yang berasal dari Tuhan (HV 10). Jadi dalam hal meneruskan keturunan ini, pasangan tidak sepenuhnya mempunyai otonomi sesuai kehendak sendiri, melainkan mereka harus menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan. Ibaratnya, karena peran ‘pro-creation’ ini datang dari Tuhan, maka manusia yang menerima peran ini harus menggunakannya sesuai dengan kehendak Dia yang memberi.

Persatuan suami istri yang dapat mendatangkan kehidupan manusia dipandang Gereja sebagai sesuatu yang baik dan luhur, dan kesatuan ini tetap berlaku meskipun pasangan tidak dikaruniai keturunan, yang bukan disebabkan karena kesalahan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang berkuasa menentukan, dan bahwa tidak semua hubungan suami istri pasti menghasilkan keturunan. Dalam kebijaksanaan-Nya. Tuhan mengatur hukum alam dan ritme kesuburan yang membawa pemisahan pada kelahiran yang satu dengan yang lain (HV 11).

Dalam Perkawinan ini terdapat dua aspek yang tak terpisahkan, yaitu Union dan Procreation (HV 12), artinya, Perkawinan direncanakan Tuhan untuk mempersatukan suami dan istri, dan persatuan itu selayaknya harus terbuka bagi kelahiran kehidupan baru. Jadi, suami dan istri yang saling mengasihi dengan tulus harusnya bersedia untuk menjadi orang tua jika Tuhan mengaruniakan anak sebagai buah kasih mereka. Dalam hal ini, kesuburan dan anak harus dilihat sebagai berkat dari Tuhan (lih. Kej 1:28), dan bukannya kutuk yang harus dihilangkan.

Jika hubungan suami dan istri dilakukan demi memuaskan sebelah pihak, maka hal itu bukan merupakan tindakan kasih yang sejati. Juga tindakan yang mencegah sebagian atau seluruh bakal kehidupan baru merupakan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, termasuk di dalamnya sterilisasi ((Dewasa ini di Amerika Serikat, sterilisasi bahkan sudah semakin tidak populer, karena terlalu banyaknya kasus penunutan ke pihak produsen karena terlalu banyak menimbulkan efek samping.)) (HV 13, 14), karena hal tersebut menolak pro-creation dan menolak karunia Tuhan. Maka, yang diizinkan Gereja untuk mengatur kelahiran adalah perencanaan secara alamiah, yang melibatkan penguasaan diri dan pantang berkala dengan maksud mewujudkan kasih, perhatian dan kesetiaan timbal balik, sebagai bukti kasih sejati (HV 16). Namun demikian, Gereja tidak menganggap segala tindakan terapi sebagai ‘dosa’, dan pada kasus tertentu untuk menyembuhkan penyakit, Gereja memperbolehkan tindakan tersebut, asalkan tidak secara langsung dimaksudkan untuk mencelakakan janin (HV 15).

Cara KB alamiah bukanlah kontrasepsi, karena melalui cara ini suami dan istri mempergunakan kondisi alamiah dengan berpantang pada saat subur untuk menghindari kelahiran, dan bukannya merintangi kesuburan tubuh (HV 16). Walaupun ajaran ini sulit diterapkan, namun bukannya tidak mungkin; dan jika diterapkan, akan mendatangkan buah yang baik bagi suami istri dan komunitas. Kekerasan hati manusia untuk menolak ajaran ini hanya akan membuahkan kondisi negatif yang sudah ‘dinubuatkan’ oleh Paus Paulus VI, yaitu naiknya angka perceraian dan ketidaksetiaan dalam perkawinan, dan pemerosotan moral. Sebab dengan mental kontraseptif, sedikit demi sedikit suami cenderung menjadikan istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang terkasih. Lama kelamaan respek kepada istri akan hilang, dan suami akan menjadi kurang/ tidak peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri (HV 17). Hal ini nyata sekali terjadi saat ini, misalnya saja di Amerika, dengan angka perceraian 50% pada pernikahan pertama, 67% pada pernikahan kedua, dan 74% pada pernikahan ketiga. ((Data diambil dari internet http://www.divorcerate.org/ menurut survey yang diadakan oleh Jennifer Baker dari the Forest Institute of Professional Psychology in Springfield, Missouri.)) Dan survey mengatakan hampir semua dari pasangan yang bercerai itu menggunakan kontrasepsi. Penggunaan alat kontrasepsi juga mengakibatkan pemerosotan moral generasi muda, sehingga lama kelamaan mereka tidak lagi menjunjung tinggi makna Perkawinan.

Untuk maksud melindungi Perkawinan inilah, Gereja mengajarkan pengaturan kelahiran dengan cara alamiah, dan bukan dengan kontrasepsi. Ajaran ini bertentangan dengan pendapat media dan dunia, namun Paus tetap mengajarkannya; dengan kesadaran akan konsekuensi bahwa Gereja, seperti Kristus, dapat dianggap sebagai ‘tanda pertentangan/ ‘sign of contradiction’ (HV 18). Hal ini bahkan menunjukkan ‘keaslian’ ajaran ini, yang mengakibatkan Gereja menjadi semakin serupa dengan Kristus yang mendirikannya. Pendapat dunia menghalalkan segala bentuk kenikmatan daging, sedangkan Tuhan mengajarkan kita untuk mengatasinya, dengan penguasaan diri. Dalam Perkawinan penguasaan diri dinyatakan oleh suami dan istri dengan menghilangkan rasa saling mementingkan diri sendiri -‘musuh’ dari cinta sejati- dan memperdalam rasa tanggung jawab (HV 21).

Selanjutnya, Paus Paulus VI memberikan seruan kepada pihak-pihak yang terkait agar memperhatikan dan mendukung ajaran ini. Seruan ini ditujukan kepada para penguasa/ pemerintah, cendekiawan, suami-istri, petugas medis, imam dan uskup (HV 23-30?). ((Kepada para pemerintah, Paus menyerukan agar mengusahakan solusi problem kependudukan, tanpa mengesampingkan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (HV 23). Kepada para cendekiawan, agar mereka terus mengembangkan penelitian untuk memberikan dasar yang pasti bagi pengaturan kelahiran berdasarkan pengamatan ritme natural, sehingga memungkinkan dibuatnya peraturan yang layak dalam hal pro-creation ini (HV 24). Kepada para suami istri, agar mereka memperkokoh panggilan hidup Kristiani yang mereka terima dalam Pembaptisan, dengan melakukan tugas panggilan hidup Perkawinan sampai pada kesempurnaannya, dan dengan demikian menjadi saksi Kristus yang hidup kepada dunia. Untuk itu, para suami dan istri dipanggil untuk menyandarkan diri kepada doa dan terutama pada Ekaristi (HV 25). Kepada para pasangan suami istri, agar mereka dapat membantu pasangan yang lain dan membagikan pengalaman mereka (HV 26). Kepada para medis, agar mendukung dengan solusi yang berdasarkan iman dan akal yang benar (HV 27). Kepada para imam, agar menjadi yang pertama dalam memberi contoh ketaatan kepada Magisterium, terutama karena terang Roh Kudus sendiri. Karena itu, para imam diminta untuk mengajarkan pasangan suami istri tentang kuasa doa, dan agar mereka menimba kekuatan di dalam sakramen Ekaristi dan Pengakuan dosa (HV 28). Dan kepada para uskup, agar mereka bekerjasama dengan para imam dan umat untuk menjaga Perkawinan dan menguduskannya, sehingga dapat dipenuhi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai Kristiani (HV 30).)) Khususnya para suami istri, Paus menyerukan agar mereka memperkokoh panggilan hidup Kristiani yang mereka terima dalam Pembaptisan, dengan melakukan tugas panggilan hidup Perkawinan sampai pada kesempurnaannya, dan dengan demikian menjadi saksi Kristus yang hidup kepada dunia. Untuk itu, para suami dan istri dipanggil untuk menyandarkan diri kepada doa dan terutama pada Ekaristi, dan Pengakuan dosa (HV 25, 28). Selanjutnya, kepada para imam, Paus menyerukan agar menjadi yang pertama dalam memberi contoh ketaatan kepada Magisterium, terutama karena terang Roh Kudus sendiri (HV 28). Dan kepada para uskup, agar mereka bekerjasama dengan para imam dan umat untuk menjaga Perkawinan dan menguduskannya, sehingga dapat dipenuhi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai Kristiani (HV 30).

Akhirnya, Paus mengingatkan kembali bahwa manusia tidak dapat hidup bahagia, tanpa menghormati hukum yang ditanamkan Tuhan di dalam dirinya. Hukum ini harus ditaati dengan pengertian dan kasih (HV 31).

Bagaimana sebaiknya menyikapi Humanae Vitae?

Banyak orang, termasuk kalangan umat Katolik sendiri, berpendapat bahwa pengajaran Humanae vitae merupakan ajaran yang mustahil diterapkan, karena sangat bertentangan dengan kondisi alamiah suami istri, dan membutuhkan pengorbanan yang sangat besar, terutama dari pihak suami. Bahkan kita pernah mendengar bahwa dalam urusan hubungan suami istri, sebaiknya diserahkan kepada yang bersangkutan, daripada mengikuti ajaran Gereja. Namun sesungguhnya, jika kita sungguh percaya bahwa Tuhan mengasihi kita, dan Ia melalui Gereja-Nya, mengajar demi kebahagiaan kita, pantaskah kita berkeras pada pendirian kita?

Mari kita renungkan ajaran Yesus, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6)”. Allah telah mempersatukan suami dan istri melalui sakramen Perkawinan. Namun demikian, persatuan ini ‘diceraikan’ oleh pemakaian kontrasepsi. Karena dengan kontrasepsi, persatuan antara suami istri menjadi tidak menyeluruh, tidak tanpa syarat, dan tidak mengacu pada komitmen ‘for better for worse’. Pendek kata, kasih suami istri yang total dan tak bersyarat diwujudkan dengan tindakan yang tidak mencerminkan hal itu. Secara objektif hal yang seperti ini sesungguhnya dapat dikatakan sebagai ‘ketidakjujuran’, karena apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan.

Setelah satu generasi berlalu dari tahun ensiklik itu dikeluarkan, kita melihat bukannya buah yang baik dari kontrasepsi, namun sebaliknya, buah yang memprihatinkan. Atau tepatnya, untuk jangka pendek mungkin tidak kelihatan jelas akibatnya, tetapi dengan berjalannya waktu, kita melihat jelas efek negatifnya. Contohnya, meningkatnya perceraian dan aborsi, seks bebas, kehamilan di luar nikah, masalah anak terkena narkoba karena retaknya keluarga, meningkatnya jumlah dan jenis penyakit wanita sebagai akibat penggunaan kontrasepsi, dll. Untuk hal-hal kemerosotan moral ini kita bahkan tidak perlu lagi melihat kepada data statistik, karena telah begitu jelas terlihat di dalam masyarakat kita, dan mungkin saja di dalam lingkaran sanak keluarga kita sendiri. Jika kita dengan rendah hati mau menerima perkataan Yesus, bahwa untuk mengetahui baik atau tidaknya pohon, kita melihat dari buahnya (lih. Mat 12:33), maka kita dapat menerima bahwa penerapan kontrasepsi bukanlah sesuatu yang baik. Jadi larangan kontrasepsi yang diajarkan oleh Gereja adalah pertama-tama demi menciptakan kebahagiaan suami istri dan melindungi Perkawinan itu sendiri.

Sebenarnya, seperti dikatakan oleh Janet Smith, ((Janet Smith adalah Associate Professor of Philosophy di Universitas Dallas, Amerika Serikat. Karangannya yang terkenal tentang Humanae vitae, A Generation Later dapat dilihat di internet, di http://www.goodmorals.org/smith6.htm)) Gereja tidak melarang kontrasepsi karena akibat-akibat buruk seperti yang dikatakan di atas. Namun karena pada dasarnya tindakan kontraseptif itu sendiri adalah ‘jahat/ evil‘, maka tak mengherankan jika membuahkan hal-hal yang buruk.

Kontrasepsi adalah tindakan dosa karena perbuatan tersebut bertentangan dengan akal, kebenaran, dan hati nurani yang benar. (KGK, 1849) Jika kita mau jujur, maka kita dapat melihat bahwa kontrasepsi, (1) melawan kehendak Tuhan yang telah memberi tugas untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan-Nya, sebab sejak awal Allah menjadikan hubungan suami istri sebagai sesuatu yang sakral yang terbuka pada kemungkinan akan kelahiran ciptaan-Nya yang baru; (2) melawan tubuh karena memasukkan benda ataupun ‘racun’ yang merusak tubuh, dan (3) melawan hakekat hubungan kasih yang total antara suami istri. Singkatnya, kontrasepsi melawan hukum alam dan hukum Tuhan, yang juga berakibat merendahkan martabat manusia, karena manusia dibuat tunduk kepada nafsu, daripada berusaha menguasai diri dan mengalahkan nafsu tersebut.

Suatu permenungan adalah, pada saat pertama seseorang membeli alat kontrasepsi, adakah hatinya bergumul? Umumnya ya. Kenapa demikian? Karena suara hati mereka melarangnya. Dalam kasus ini, suara hati mereka yang ‘melarang’ adalah suara Tuhan, karena dalam hal ini Roh Kudus sebenarnya mendorong mereka untuk tidak melakukan dosa. Jika kemudian orang tersebut merasa ‘terbiasa’, hal ini disebabkan karena suara hatinya berangsur ‘tumpul’ karena pengaruh media dan dunia, seolah mengatakan, “semua orang melakukan hal ini, maka tentu hal ini tidak apa-apa…” Atau, jika seorang suami mengatakan dia mengasihi istrinya seperti mengasihi tubuhnya sendiri (seperti yang dikatakan Ef 5:28); maka dapatkah ia menganjurkan istri atau bahkan memaksa istri untuk menelan pil KB yang berpengaruh negatif terhadap kesehatan istri? Dr. Chris Kahlenborn menyimpulkan bahwa wanita yang mengkonsumsi pil KB dan pernah melakukan aborsi, mempunyai resiko yang tinggi untuk mengidap kanker payudara, hati dan leher rahim. ((Lih. Chris Kahlenborn, MD, Breast Cancer: Its Link to Abortion and the Birth Control Pill (Dayton, Ohio: One more Soul, 2000.))

Sekarang mari kita lihat kata ‘kontrasepsi‘ yang artinya ‘melawan permulaan’, dalam hal ini permulaan kehidupan. Jadi di sini terjadi pertentangan. Singkatnya, mereka yang berbuat mau melakukan tindakan, tetapi tidak mau menanggung akibatnya. Mereka yang katanya saling mencintai malah memakai alat kontrasepsi sebagai ‘proteksi’, atau mengenakan alat ‘pembunuh’ sperma, seolah-olah menghadapi ‘perang’. Bukankah jika kita renungkan, ini bertentangan dengan hakekat kasih yang saling memberi dan menerima seutuhnya?

Perlu kita ketahui beberapa cara kerja alat kontrasepsi yaitu pil/ terapi hormon. ((Lihat ulasan John F. Kippley, Understanding Humanae Vitae, yang dapat diakses di internet, http://www.nfpandmore.org/understandinghumanae.shtml , penjelasan n.15.)) Pertama, menekan ovulasi, sehingga fungsinya seperti sterilisasi sementara. Kedua, mempertebal dinding leher rahim/cervical mucus, sehingga menghambat aliran sperma. Ketiga, jika kedua hal di atas tak terbendung, maka langkah terakhir adalah mencegah melekatnya sel telur yang telah dibuahi ke dinding rahim, sehingga mahluk sangat kecil yang sudah berjiwa itu mati. Dalam hal ini, kontrasepsi bersifat abortif awal. Penolakan atas hadirnya bakal anak ini menjadi akibat dari sikap yang seolah mengatakan, “Aku mau memberikan seluruh diriku, kecuali kesuburanku.” Kesuburan dianggap sebagai penyakit sehingga perlu diobati, dan anak dianggap sebagai beban dan bukan sebagai berkat. Atau, “aku mau menikmati kesenanganku bersamamu, tapi aku tidak mau menaruh komitmen dengan kamu.” Padahal, kasih yang sejati selalu menghasilkan komitmen selamanya, dan kelahiran seorang bayi adalah salah satu yang mengakibatkan komitmen tersebut.

Solusi yang ditawarkan Gereja: KB Alamiah (Natural Family Planning)

Gereja tidak pernah mengajarkan, “Kalau begitu beranak-lah sebanyak-banyaknya…”; melainkan menganjurkan pengaturan kelahiran yang alamiah, jika pasangan suami istri memiliki alasan yang kuat untuk membatasi kelahiran anak. Pengaturan KB secara alamiah ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1Kor 7:5). Dengan demikian suami istri dapat hidup di dalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (lih. Ibr 13:4).

Dewasa ini pengaturan KB alamiah sudah semakin akurat, karena tidak hanya berdasarkan penghitungan kalender, tetapi berdasarkan tanda-tanda fisik wanita yang menyertai kesuburannya/ ketidaksuburannya, yang dikenal dengan Metoda Billing atau pengembangannya, yaitu Metoda Creighton. Data statistik menunjukkan metode KB alamiah yang sedemikian memiliki tingkat kesuksesan 99%, bahkan penelitian di Jerman tahun 2007 yang lalu mencapai 99.6%. Lebih lanjut mengenai KB Alamiah (Natural Family Planning) yang cukup akurat, yaitu Metoda Creighton, silakan klik di sini

Dengan menerapkan KB Alamiah, pasangan diharapkan untuk dapat lebih saling mengasihi dan memperhatikan. Pantang berkala pada masa subur istri dapat diisi dengan mewujudkan kasih dengan cara yang lebih sederhana dan bervariasi. Suami menjadi lebih mengenal istri dan peduli akan kesehatan istri. Latihan penguasaan diri ini dapat pula menghasilkan kebajikan lain seperti kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan, kebijaksanaan, dll yang semuanya baik untuk kekudusan suami istri. Istripun dapat merasa ia dikasihi dengan tulus, dan bukannya hanya dikasihi untuk maksud tertentu. Teladan kebajikan suami istri ini nantinya akan terpatri di dalam diri anak-anak, sehingga merekapun bertumbuh menjadi pribadi yang beriman dan berkembang dalam berbagai kebajikan.

Kesimpulan

Perkawinan Katolik mengandung makna yang sangat indah dan dalam, karena melaluinya Tuhan mengikutsertakan manusia untuk mengalami misteri kasih-Nya dan turut mewujudkan karyaNya dalam penciptaan kehidupan baru: yaitu janin yang memiliki jiwa yang kekal. Perkawinan merupakan sakramen, karena menjadi gambaran persatuan Kristus dan Gereja-Nya. Hanya dengan menyadari kedalaman arti Perkawinan ini, yaitu untuk maksud persatuan (union) suami istri dengan pemberian diri mereka secara total, dan turut sertanya mereka dalam karya penciptaan Tuhan (pro-creation), kita lebih dapat memahami pengajaran Gereja Katolik yang menolak aborsi, kontrasepsi dan sterilisasi. Karena semua praktek tersebut merupakan pelanggaran terhadap kehendak Tuhan dan martabat manusia, baik pasangan suami istri maupun janin keturunan mereka. Aborsi dan penggunaan alat-alat kontrasepsi merendahkan nilai luhur seksualitas manusia, dengan melihat wanita dan janin sebagai hanya seolah-olah ‘tubuh’ tanpa jiwa. Penggunaaan alat kontrasepsi menghalangi union suami istri secara penuh dan peranan mereka dalam pro-creation, sehingga kesucian persatuan perkawinan menjadi taruhannya. Betapa besar perbedaan cara pandang yang seperti ini dengan rencana awal Tuhan, yang menciptakan manusia menurut gambaran-Nya: manusia pria dan wanita sebagai mahluk spiritual yang mampu memberikan diri secara total, satu dengan lainnya, yang dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan dan pengaturan dunia!

67 COMMENTS

  1. Shalom pak dan Bu Ingrid
    Apakah Gereja membenarkan Penggunaan Ibu Tumpang? maksud saya jika sepasang ibubapa yg tidak boleh mndapat anak atas sebab2 tertentu boleh kh Laki2 iaitu suami kepada si isteri mengirimkan spermanya ke dalam Ibu tumpang tersebut? adakah salah ataupun diperbolehkan oleh Gereja?
    Sekian…Tuhan Memberkati +

    • Shalom Nelson,

      Pelaksanaan ‘Ibu Tumpang’ tidaklah licit menurut prinsip moralitas dalam ajaran iman Katolik, karena menentang makna kesatuan perkawinan antara suami dan istri yang bersangkutan, yaitu semua elemen pendukungnya, yaitu kesatuan fisik, psikologis, moral. Juga karena hal pelaksanaan ‘ibu tumpang’ tersebut menentang hak anak untuk dikandung oleh orang tuanya sendiri.

      Demikian yang disampaikan di dokumen CDF ini:

      [qa id=14366]

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Salam Katolisitas

    Ada Quote simple dari George Bernard Shaw yang berbunyi demikian:

    “Why should we take advice on sex from the pope? If he knows anything about it, he shouldn’t!”

    Kalau dalam perspektif orang awam kalimat diatas logis dan mengena. Bagaimana seorang Paus bisa memahami Sex dan pernikahan sementara mereka sepanjang hidupnya hidup selibat? Bagaimana umat begitu bodoh mau mempercayai pengajaran tentang sex dan perkawinan dari orang yg tidak pernah menjalani kedua hal tsb. Kalimat George Bernard Shaw diatas sering menjadi kalimat favorite umat Kristen non Katolik yg suka mendiskriditkan Gereja Katolik. Bagaimana tanggapan Katolisitas sendiri mengenai hal ini?

    Salam Kasih

    [Dari Katolisitas: Orang tidak perlu harus mencuri dahulu baru dapat mengajarkan bahwa mencuri itu dosa. Sebab prinsip tentang hal itu sudah jelas disebutkan dalam Kitab Suci dan diajarkan oleh Gereja sejak awal mula. Demikian pula dalam hal kesucian perkawinan. Walau pastor tidak menikah, namun ia tetap dapat mengajarkan tentang makna kesucian dalam perkawinan, yang melibatkan sikap pengendalian diri, kesetiaan, kasih yang tulus dan kerelaan untuk berkorban. Hal ini bukan hanya monopoli orang yang menikah. Dalam hal pengendalian diri, para imampun melakukannya, sebab merekapun melakukan kaul kemurnian.]

  3. Mungkin untuk pemirsa sekalian bisa membaca “LIHATLAH TUBUHKU: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II” oleh Deshi Ramadhani SJ terbitan Kanisius..Indah sekali apa yang diajarkan Paus YP II dalam Teologi Tubuh.
    Salam Damai

  4. Tuhan memerintahkan untuk memenuhi bumi dengan beranak-cucu sebanyak mungkin.

    hubungan suami-isteri secara biologis yang telah diatur dalam tubuh manusia akan menghasilkan keturunan.

    usaha apapun yang menyebabkan pertemuan antara sperma dan sel telur menjadi gagal membentuk anak adalah tindakan abortus provokatus karena telah terjadi coitus yang akan mempertemukan sperma dan telur.
    – hormon oral menyebabkan sel telur menjadi mandul tak bisa dibuahi.
    – kontrasepsi lain menyebabkan sperma tidak bertemu dengan sel telur.

    karena itu jalan yang dapat ditempuh untuk mengatur kelahiran hanyalah berhubungan seks di luar waktu subur di mana telah terproduksi dalam tubuh wanita, sel telur yang siap dibuahi. yaitu pada hari ke 13 sesudah menstruasi, telur siap untuk dibuahi hingga hari ke 15 dan rusak sendirinya setelah itu di luar hari ke 13-15 atau amannya 12-16 itu adalah waktu yang diperkenankan oleh ensiklik, karena coitus dapat berlangsung secara alami.

    [Dari Katolisitas: Dalam banyak kasus, terutama pada kasus wanita yang tidak mempunyai siklus yang teratur maupun pada wanita yang mendekati usia menopause, perhitungan dengan metoda kalender relatif tidak akurat/ tidak dapat dijadikan patokan. Maka metode KBA yang lebih akurat yang dapat digunakan adalah metode Billings, atau pengembangannya dengan cara pengamatannya, yang disebut metode Creighton. Tentang Metode Creighton sudah pernah dijabarkan di sini, silakan klik]

    HUMANAE VITAE itu BENAR hanya saja dianggap EKSTRIM atau FANATIK.

    logika yang dapat kita pakai :
    – Tuhan memerintahkan manusia membunuh hewan untuk dimakan. jadi membunuh hewan selain untuk dimakan itu adalah dosa pembunuhan.
    – Tuhan memerintahkan manusia berpasangan untuk melanjutkan keturunan.
    jadi orang berhubungan seks tidak dengan tujuan untuk menghasilkan keturunan adalah dosa. berhubungan seks di luar waktu subur adalah kehendak alam di mana tidak terjadi pembuahan sel telur.

    [Dari Katolisitas: Yang diperintahkan oleh Allah adalah, “berkuasalah atas segala binatang…..(Kej 1:28)” jadi belum tentu maksudnya adalah agar dibunuh sebagai makanan. Termasuk di sini juga adalah bertanggungjawab untuk melestarikannya. Demikian juga terhadap tubuh kita, Tuhan memerintahkan agar kita dapat berkuasa atasnya, artinya mengendalikan tubuh kita sesuai dengan maksud Allah menciptakannya. Dalam hal ini, hubungan suami istri dikembalikan ke makna utamanya, yaitu untuk kesejahteraan pasangan dan untuk membuahkan keturunan. Pasangan berhak untuk menentukan secara bertanggungjawab, tercapainya kedua hal ini dalam setiap hubungan suami istri. Yaitu di samping untuk kesejahteraan suami istri, dimungkinkan juga pemberian diri yang total sehingga terbukalah kemungkinan penyaluran kehidupan, dan jika Tuhan berkenan, dapat menghasilkan keturunan]

    [edit]

  5. Ya Tuhan.. terima kasih untuk kasihMu yg kau curahkan kepada GerejaMu melalui pengajaran2 Gereja Katolik, Humana Vitae sungguh benar !

    ingin memberi kesaksian sedikit untuk pembelajaran bersama mengenai kondisi dalam keluarga saya :
    saya terlahir sebagai anak kedua dalam 3 bersaudara, semua wanita. Antara saya dan kakak terpaut usia 7 tahun, dan antara saya dengan adik terpaut usia 9 tahun (jadi, antara kakak dengan adik saya terpaut usia 16 tahun !). Anda mungkin sudah dapat menebak, ya. karena ayah dan ibu memakai kontrasepsi (T-T) yang kemungkinan waktu itu (bermaksud untuk menjaga kesejahteraan keluarga krn kondisi finansial keluarga belum mapan).
    ibu menikah saat usia beliau 19 tahun ketika itu sekitar tahun 1978/9. Sejak kelahiran kakak tahun 1980, mungkin dalam waktu2 dekat itu ibu mulai memakai kontrasepsi. Dari yg saya ketahui dari nenek , ibu memakai PIL dan IUD/SPIRAL-selama bertahun-tahun. EFEK ‘SEJATI’ dr kontrasepsi mulai terlihat ketika tahun 1996 ibu melahirkan adik saya, setelah adik berusia setahun, ibu mulai menunjukkan gejala kurang ‘beres’ dg tubuhnya, diawali dg pendarahan terus-menerus dan mencapai puncaknya dg diagnosa dokter : ibu mengalami KANKER LEHER RAHIM stadium 3. Berat, ketika itu adik masih sangat kecil, saya masih kelas 6 SD, & kakak masih akhir SMA. Akhirnya setelah keluar masuk rumah sakit selama kurang lebih setahun, ‘bestral/sejenis kemo’ sampai tubuh ibu ‘sudah tak tampak seperti dulu lagi’ ibu akhirnya meninggal pada tahun 1999 saat usia adik masih 3 tahun. Yang membuat saya bersyukur ibu sempat mengaku dosa pd seorang Romo didukung ketabahan dalam menanggung rasa sakit (tak pernah mengeluh sedikit pun) juga karya kasihnya dalam masyarakat & gereja, saya memiliki perasaan indah bahwa ibu tetap dapat bersatu dg Bapa di Surga (sy punya pemikiran jg perasaan bahwa ayah ibu kurang mengetahui bhw kontrasepsi adl berdosa berat ditambah mereka adl penggerak dl masyarakat – PKK & Ketua RT d mn saat itu sdg gencar2nya sosialisasi KB).
    1 lagi, kontrasepsi yg waktu itu ditujukan untuk ‘menjaga kesejahteraan keluarga melalui pengaturan kelahiran’ sungguh Gagal Total, krn kakak sejak lahir mengalami kelainan fisik yg berujung pd konsidi psikis shg kurang memungkinkan dia bekerja seperti orang pd umumnya. adik saya masih 1 SMA, & saya masih berjuang menyelesaikan akhir kuliah sy krn bergumul dg keadaan keluarga, diri sdr, & komunitas. padahal bertahun-tahun lalu ayah sudah pensiun. untung sudah diantisipasi sdkit dg usaha kos & uluran tangan kakek yg masih memiliki tabungan, meski nanti saya yg harus berusaha memperoleh penghasilan untuk kuliah adik. itulah tanda, bahwa kita ‘TIDAK DAPAT MEMANIPULASI RANCANGAN & KEHENDAK TUHAN DG CARA APAPUN & ALASAN APAPUN’ krn Tuhan pasti sudah mengatisipasi hal ini. banyak pergumulan & rasa sakit scr psikis yg kami alami namun PADA AKHIRNYA kami tetap menyadari, meski kami berdosa, meski kami ‘berbuat buruk’, meski kami membangkang & akhirnya kepayahan menanggung akibat dosa kami, Tuhan tidak pernah melepaskan penyertaanNya. Meski sakit, itu tujuan Tuhan untuk memurnikan kami sekeluarga & kembali ke ‘jalan yg dikehendakiNya untuk keselamatan kami semua’. Kini kami merasakan keadaan keluarga semakin dipulihkan dg karunia2 terutama damai & sejaktera (meski tak berlebih namun selalu dicukupkan). terima kasih pada nenek yg mrpkn ‘pejuang doa’ & mendidik kami sampai usia tua spt skr, jg ayah yg tetap baik & bijaksana & jd teladan dlm masyarakat. kami mulai menggalakkan kesadaran menerima Sakramen Ekaristi & Tobat jg doa bersama kel (meski blm rutin) & meski dimulai dr seorang dlu nanti smg smakin berkembang ke tiap pribadi. & saya memiliki bekal yg jelas bahwa GA BAKAL MAU memakai kontrasepsi (AMIN AMIN AMIN) yg selain menimbulkan akibat buruk jg bukan kehendak Tuhan sejak awal mula. & semoga saya dimampukan tuk membagikan ini pd org lain juga adik saya krn rasanya ‘kok pengen’ biar banyak orang tak mengalami nasib serupa. (Aminnn). God bless u everybody & Tim Katolisitas.

  6. Shalom…
    Istri saya seorang bidan, dan sebagai bidan salah satu tugas pokok istri saya adalah memberikan pelayanan KB kepada masyarakat, mulai dari suntik KB, pil KB, pemasangan implan dll. Berdosakah istri saya dalam hal ini? Terima kasih atas penjelasannya. Salam.

    -Heri-

    [dari Katolisitas: silakan membaca jawaban kami untuk pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan Anda, klik di sini]

  7. Pada 29 juni 1978, hari peringatan Santo Petrus dan Palus, Paus Paulus VI menyampaikan rangkuman selama masa kepausannya, dan pada saat sampai pada dokumen tentang Humanae Vitae, dia berhenti sejenak, dan berkata:
    “humanae vitae! saya, tidak menghianati kebenaran..saya, tidak menghianati kebenaran..”.
    kurang dari 2 bulan kemudian, Paus Paulus VI wafat.
    sungguh indah, melihat seorang paus yang terus diterpa berbagai macam reaksi, tetap teguh, dan yakin akan kebenaran.
    Terpujilah Tuhan!

  8. Dear Bu Ingrid

    Saya istri dari seorang pelaut dimana kepulangannya ke rumah hanya pada waktu-waktu tertentu dalam satu bulan bahkan tahun. Perlu ibu ketahui juga, suami saya pulang hanya beberapa hari saja di rumah. Setelah itu kembali berlayar. Saya percaya suami pasti menjaga kesucian perkawinan kami, namun yang menjadi ganjalan saya.. kasihan juga suami jika pada saat pulang kami tidak berhubungan karena saya sedang dalam masa subur. Sekalipun suami tidak menuntut, namun hati kecil saya tidak bisa menerima. Mohon pencerahan!

    Syalom

    • Shalom Christina,

      Bersyukurlah, anda memiliki suami yang baik, yang memahami sepenuhnya makna perkawinan Katolik. Ya, memang mungkin berat bagi dia untuk menjaga kemurnian perkawinan, dengan keadaan tidak dapat bertemu anda selama berbulan- bulan. Pastilah Tuhan Yesus yang memberikan kekuatan dan rahmat kesetiaan kepadanya, sehingga ia mampu melaksanakan janji kesetiaan yang diucapkannya pada sakramen perkawinannya dengan anda. Adalah juga sesuatu yang patut dipuji bahwa pada saat ia bertemu dengan anda ia tidak menuntut untuk melakukan hubungan seksual dengan anda. Tentu ini juga melibatkan pengendalian diri yang baik dari pihak suami dan pengertiannya yang tulus untuk memahami keadaan anda sebagai istrinya, dalam hal ini keadaan masa subur anda.

      Oleh karena itu, kemungkinan andalah yang perlu memohon rahmat Tuhan untuk menjalani kehidupan seksualitas dan perkawinan anda sesuai dengan makna perkawinan Katolik. Tentang topik ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Mungkin memang secara manusiawi, kondisi anda tampak berat, namun jika anda berdua menghadapinya bersama Yesus maka tiada yang mustahil: anda berdua akan dimampukan oleh Tuhan Yesus untuk menjalaninya dengan hati lapang. Ada banyak cara menyatakan kesatuan kasih di luar hubungan seksual, dan saya percaya anda dan suami dapat melakukannya. Persatuan suami istri yang terutama adalah persatuan rohani, dan jika anda berdua melakukannya, maka ini sungguh akan mempererat hubungan kasih di antara anda.

      Di atas semua itu harap disadari bahwa hal pekerjaan/ mata pencaharian merupakan pilihan kita sebagai manusia. Tuhan tidak pernah memaksa kita untuk mengambil suatu jenis pekerjaan tertentu. Jika kita sudah mengambil keputusan akan suatu pekerjaan memang ada resikonya, yang harus kita terima. Menjadi pelaut memang mengharuskan perpisahan sekian lama dengan keluarga, namun ini merupakan resiko pekerjaan itu. Jika anda berdua merasa bahwa lama kelamaan pekerjaan ini malah memisahkan anda, maka tidak ada salahnya memohon tuntunan Tuhan dan berusaha agar suami dapat melakukan pekerjaan yang lain. Sekali lagi tiada yang mustahil bagi Tuhan (lih. Luk 1:37), sebab Tuhan baik kepada orang- orang yang berharap kepada-Nya (Rat 3:25).

      Mohon maaf jika jawaban saya tidak memuaskan anda, namun kami di Katolisitas tidak dalam posisi untuk meneruskan pengajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Magisterium Gereja Katolik, seperti jelas tertulis dalam Humanae Vitae. Doa saya bagi anda dan suami agar anda tetap menemukan kebahagiaan sejati dalam perkawinan, meskipun keadaannya nampak sulit di mata manusia.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Terima kasih Bu.. untuk pencerahannya.

        Saya percaya ibu sudah sangat berhati-hati memberi jawaban, namun tetap saja ada kalimat yg menohok hati saya, yakni tentang perlunya saya mohon rahmat Tuhan, mengingat situasi dan kondisi keluarga kami yg tidak memunggkinkan selalu bertemu.
        Lebih dari itu, dengan hati tulus saya sampaikan bahwa jawaban ibu sungguh menyentuh dan membuat saya harus introspeksi diri.
        Sukses buat Bu Inggrid dan semoga berkat Tuhan senantiasa menyertai tim katolisitas.org

        Syalom

        • Shalom Christina,
          Saya mohon maaf jika jawaban saya terdengar ‘keras’ di telinga anda. Tetapi sungguh bukan maksud saya untuk ‘menohok’ anda. Sebab siapapun dalam kondisi seperti anda, memang akan dapat merasakan beratnya keadaan, dan karena itu perlu memohon rahmat Tuhan agar dapat menghadapinya dengan damai sejahtera dan suka cita. Ini hanya mungkin jika kita memperoleh kekuatan dari Tuhan.
          Saya percaya, anda yang dengan tulus hati memohon kepada-Nya akan juga menerima pertolongan Tuhan pada waktunya dan akan melihat bahwa Tuhan akan menjadikan segala sesuatunya indah pada waktunya (lih. Pkh 3:11).

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

    • Shalom Horas,
      Terima kasih atas pertanyaannya. Menonton video porno dengan suami/istri sendiri adalah berdosa. Hal ini disebabkan kita tidak menjaga kemurnian diri kita di dalam perkawinan. Dengan menonton video porno, maka sungguh sulit untuk menjaga kemurnian pikiran dan hati kita. Dan pada akhirnya kita tidak dapat mengasihi pasangan kita dengan sepenuh hati. Semoga penjelasan ini dapat diterima.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,stef – katolisitas.org

  9. Salam para pengurus Katolisitas yang baik, saya masih blm mengerti sepenuhnya soal Humanae Vitae ini, ada pikiran2 kritis yang mungkin agak aneh tapi rasanya kl nggak ditanyakan, berasa ada yang ngganjel.

    Khan disebut soal dengan menggunakan kontrasepsi maka mengingkari janji perkawinan dengan keadaan membohongi pasangan karena nggak seluruh yg ia punya diberikan, kl kedua belah pihak setuju apa masih dibilang pembohongan ?

    Misal untuk kasus dimana keluarga miskin, anak udah 10, KB alamiah gagal terus… atau keadaan di mana istri abis caesar (dikasih full juga percuma malah membahayakan kesehatan) ini berarti secara maksud dah bisa dilegalkan, at least sekalipun dosa juga bukan dosa berat

    Nah skrg kl memang abstain sexual dihalalkan secara penuh, kl sang istri minta dan suami gak mau memberi atau sebaliknya gimana ?

    kenapa kok tidak melakukan union dikatakan gak apa2 ya ? khan sama aja dengan menentang kehendak Tuhan juga ? misal Tuhan sbenernya mau kasih sepasang suami istri ini anak 10, tapi sepasang ini cuma mau 3 dan mutusin buat KB alami, tiap kali hasratnya dibangkitkan, mereka bertahan, Tuhan memang nggak akan maksa mreka buat berhubungan seks di masa subur khan ? tapi apa nggak sama2 menentang kehendak Tuhan ?

    Dgn Humanae Vitae ini juga otomatis berarti pelarangan penggunaan alat2 peningkat kesuburan? (memasukan zat kimia ke tubuh istri dengan tujuan supaya bisa lebih cepat punya anak).

    • Shalom Anonymous,

      1. Penggunaan alat kontrasepsi mengingkari janji perkawinan?

      Esensi “kebohongan” dalam hal penggunaan alat kontrasepsi tidak bersifat relatif, atau maksudnya asalkan suami dan istri sama- sama setuju dalam menggunakan alat kontrasepsi, berarti sudah tidak ada kebohongan. Yang ada dalam kondisi ini adalah baik suami dan istri setuju untuk melakukan tindakan yang “saling membohongi”, karena keduanya melakukan sesuatu yang tidak mencerminkan kasih yang total dan tak bersyarat. Maka “kebohongan” di sini sebenarnya bersifat obyektif, yaitu bahwa penggunaan alat kontrasepsi itu tidak sesuai dengan hakekat kasih suami istri yang ingin disampaikan, yaitu kasih yang total, tidak ada yang dibuang, tidak dihalangi, dan tidak pakai persyaratan tertentu.

      Allah yang menciptakan tubuh sebagai laki- laki dan perempuan, dan yang mempersatukan mereka sebagai suami istri, menghendaki agar hubungan seksual itu mencerminkan kasih yang total dan tak bersyarat tersebut, sebagai gambaran tentang kasih-Nya sendiri kepada umat manusia, seperti kasih Kristus kepada Gereja-Nya (Ef 5:22-33). Maka dengan penggunaan alat kontrasepsi, pasangan tersebut sebenarnya menolak maksud Allah ini, dengan memaknai sendiri hubungan seksual suami istri, sesuai dengan kehendak sendiri.

      2. Misal ada kasus keluarga miskin dengan anak 10, KB alamiah gagal terus…. dst terus bagaimana?

      Memang orang cenderung mencari contoh yang ekstrim untuk mencari “celah” tentang apakah suatu ajaran Gereja dapat “ditawar.” Namun saya di sini tidak berhak untuk mengubah ajaran Gereja Katolik, yang adalah ajaran Tuhan sendiri. Hal yang perlu ditanyakan adalah, sejauh mana pasangan tersebut telah berusaha menerapkan metoda KB Alamiah yang benar. Di situs ini kami mencoba untuk menuliskan artikel tentang metoda KB Alamiah yang cukup akurat (Metoda Creighton) dan selanjutnya memang diperlukan kerja sama dari pihak-pihak terkait, misalnya di Seksi Kerasulan Keluarga paroki untuk mengadakan pendampingan bagi keluarga- keluarga yang ingin mendapatkan pengajaran tentang metoda KB Alamiah ini. Selanjutnya, sejauh mana para petugas medis di paroki telah memberi penjelasan dan pendampingan yang cukup bagi para calon pangantin dan pasangan muda untuk menerapkan metoda KB Alamiah ini? Atau sejauh mana telah diadakan program anak asuh di paroki/ keuskupan, di mana keluarga yang kaya berpartisipasi membantu keluarga yang kekurangan, misal dalam hal biaya pendidikan?

      Jadi menurut saya, prinsipnya jika ada masalah, mari diusahakan jalan pencegahan/ jalan keluarnya, namun bukan dengan merubah aturannya. Sebagai gambaran saja, di Kalkuta, India, salah satu tugas para suster di sana adalah mengajari ibu-ibu tentang metoda KB alamiah. Mereka berhasil menerapkannya, mengapa di Indonesia tidak? Kondisi mereka saya rasa secara umum, lebih miskin dari kondisi keluarga di Indonesia. Ini memang memerlukan perhatian bagi kita semua, pe er bagi semua umat Katolik, terutama yang terpanggil untuk berkarya dalam hal ini.

      3. Abstain seksual: bagaimana jika istri minta suami tidak mau atau sebaliknya?

      Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengutip ajaran Rasul Paulus yang mengatakan demikian,

      “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.” (1 Kor 7:5)

      Maka sesungguhnya memang suami dan istri tidak boleh saling menolak, namun abstain itu diperbolehkan dengan persetujuan bersama, misalnya jika ada alasan masuk akal, seperti untuk membatasi jumlah anak. Masa abstain ini hendaknya diisi dengan doa. Maka memang sangat penting adanya kesepakatan antara suami dan istri dalam hal abstain ini.

      4. Tidak melakukan union kok dikatakan tidak apa-apa? Bukankah ini menentang kehendak Tuhan?

      Union antara suami istri tidak semata- mata harus diwujudkan dengan hubungan seksual. Komunikasi yang baik dan kebersamaan antara suami istri juga sangat berperan dalam hal ini. Maka walaupun hubungan seksual berperan dalam membangun union suami istri, namun hal itu bukan satu-satunya cara untuk menyatakan kasih suami istri. Pasangan yang memahami hal ini akan mempunyai kehidupan kasih yang lebih tulus dan lebih hidup. Inilah yang bahkan mempererat kasih antara keduanya.

      Tuhan tidak pernah merencanakan sesuatu dengan memaksakan kehendak-Nya atas manusia, atau semacam takdir, dan manusia hanya robot saja (seperti ditakdirkan punya anak 10, dst) Ini bertentangan dengan ajaran Kitab Suci dan Gereja Katolik. Maka yang benar adalah Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia, agar manusia bekerjasama dengan kehendak-Nya. Kekerasan hati manusia yang menolak bekerjasama dengan-Nya ini membuat manusia berdosa melawan kehendak Allah. Maka Allah juga tidak menghendaki manusia untuk “punya anak sebanyak- banyaknya” tanpa memikirkan bagaimana membesarkan mereka. Tuhan berkehendak agar manusia selalu mempunyai sikap “terbuka” terhadap kehidupan namun dapat dengan bijak dan bertanggungjawab merencanakannya, yang melibatkan pengendalian diri di pihak suami dan istri.

      Maka, abstain hubungan seksual dalam periode tertentu, sesungguhnya dapat memurnikan hubungan kasih suami istri, melatih pengendalian diri, mendorong keduanya untuk lebih kreatif dalam mengungkapkan kasih, dan malah meningkatkan kualitas hubungan suami istri. Demikianlah kesaksian dari pasangan- pasangan yang setia menerapkan metoda KB Alamiah.

      5. Apakah Humanae Vitae juga melarang penggunaan alat peningkat kesuburan, seperti pemasukan zat kimia ke tubuh istri supaya cepat punya anak?

      Prinsip dasar yang diambil oleh Gereja Katolik adalah, fertilitas (kesuburan) itu adalah berkat untuk disyukuri, dan bukan dianggap sebagai penyakit sehingga perlu ditolak. Kondisi infertilitas (ketidak-suburan) itulah yang memang wajar untuk diobati. Dengan prinsip pengertian ini, maka tidak dilarang bagi wanita untuk minum jamu- jamuan/ obat untuk kesuburan, jika memang kondisinya infertile/ tidak subur.

      Namun kondisi infertilitas ini tidak untuk ditanggapi dengan hal- hal yang bertentangan dengan nilai- nilai moral lainnya, misalnya dengan program bayi tabung. Selanjutnya tentang mengapa Gereja Katolik melarang bayi tabung, silakan klik di sini. Sedangkan tentang diskusi mengenai human intervention dalam hal infertilitas, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  10. Saya pernah baca buku tentang Katolik yang isinya melarang orang Katolik menggunakan kontrasepsi tapi saya juga pernah baca majalah ‘HIDUP’ yang isinya mencabut larangan menggunakan kontrasepsi. Sebenarnya yang benar itu yang mana sih???

    • Shalom Antonio Tokan,
      Saya tidak mengetahui mengapa majalah Hidup, mengatakan bahwa ada pencabutan larangan penggunaan kontrasepsi, jika benar apa yang anda katakan itu. Silakan anda menyebutkan persisinya bagaimana pernyataannya, pada edisi kapan. Sepanjang pengetahuan saya peraturan Gereja dalam hal kontrasepsi tidak berubah. Silakan anda check di situs- situs Katolik lainnya yang setia kepada pengajaran Magisterium, baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris.

      Jadi yang benar tentu yang telah disebutkan dalam Humanae Vitae, dan bahkan yang baru-baru ini ditegaskan kembali oleh Bapa Paus Benediktus XVI dalam surat ensikliknya yang terbaru, Caritas in Veritate (Kasih dalam kebenaran), yang terjemahannya ada di situs ini: yaitu Gereja Katolik tidak membenarkan penggunaan kontrasepsi.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

    • Shalom Antonio Tokan,
      Kebetulan saya pelanggan majalah tsb. Apakah yg anda maksud artikel di majalah HIDUP no. 32, 10 Agustus 2008 halaman 31 dg judul MELAWAN PENYEBARAN AIDS? Ya, isi artikel tersebut membingungkan, terjadi banyak kesalahan dan bisa menyesatkan pembaca (umat Katolik). Tampaknya kekeliruan pada proses penerjemahan (note: sumber dari bahasa asing, banyak ditemukan di internet) dan entah kenapa bisa lolos sampai proses percetakan padahal isinya begitu penting. Beberapa pembaca (termasuk saya) menanyakannya lewat surat pembaca. Majalah HIDUP telah memohon maaf atas kekeliruan tersebut dan meralat isinya pada edisi lain (saya lupa pada edisi berapa). Intinya, sikap gereja Katolik adalah seperti yang telah disebutkan dalam Humanae Vitae
      Semoga membantu.

  11. Shalom,
    Ibu Inggrid yg baik,saya ingin bertanya mengenai berita yg sedang beredar tentang kelahiran seorang anak yang sangat aneh.
    ahir seorang bayi ajaib di Lampung Utara..

    *******
    Peristiwa lahirnya seorang bayi tanpa proses kehamilan normal yang dialami Bekti Wahyuningsih (21) warga Desa Kotanapal Kecamatan Bungamayang Lampung Utara (Lampura) beberapa waktu lalu, sampai kemarin (13/10) masih menjadi topik pembicaraan yang hangat dikalangan masyarakat Lampung Utara.

    Sebagian besar warga menilai, kelahiran bayi laki-laki dengan berat 2,6 Kg itu merupakan kejadian langkah, hanya membutuhkan proses waktu selama 3,5 jam.

    “ Proses kelahiran bayi laki-laki normal dalam waktu singkat ini benar-benar ajaib,” ucap Fitri (25), warga Kotabumi yang berstatus sebagai ibu rumah tangga ini.

    Sementara, dokter spesialis kandungan dr. Salomo Tambunan S.POG menyatakan, terkait peristiwa Bekti yang melahirkan bayi tanpa sebelumnya hamil, dinilai tidak masuk akal dalam ilmu kedokteran. Karena, kejadian seperti itu belum pernah terjadi di wilayah Kabupaten Lampura.

    “Kejadian itu benar-benar tidak masuk akal. Karena hampir 30 tahun saya menjadi dokter kandungan di Lampura, baru kali ini mendengar adanya peristiwa itu,” kata Salomo.

    Dia juga menjelaskan, berdasarkan pengamatan medis dalam ilmu kedokteran, peristiwa seseorang yang seketika hamil kemudian melahirkan merupakan kejadian diluar akal sehat, namun bisa saja terjadi.

    “Seseorang sengaja membuat dirinya hamil karena lantaran suatu kepentingan, itupun didasarkan atas keterangan dokter kandungan. Namun, peristiwa yang dialami Bekti itu merupakan kejadian luar biasa dan sulit dipahami dengan akal sehat,”pungkasnya.

    Sekedar mengingatkan, Warga Desa Kotanapal, Kecamatan Bungamayang, Lampung Utara (Lampura) geger. Pasalnya, Bekti Wahyuningsih (21) warga desa setempat, setelah merasakan perutnya sakit dan membesar selama 3,5 jam, kemudian langsung melahirkan bayi laki-laki normal. Padahal, wanita itu sebelumnya sama sekali tidak mengandung dan belum pernah berhubungan badan layaknya suami istri.

    Bayi ajaib tersebut lahir tepat pukul 18.30 WIB Sabtu (10/10). Ketika lahir, di telapak tangan kanan bayi itu sempat muncul bentuk putih seperti tulisan Arab berbunyi Rahmadani. Keajaiban berikutnya, saat lahir tubuh bayi yang memiliki berat 2,6 kilogram itu sangat bersih. Serta, beberapa jam kemudian bayi mungil itu sudah lincah bergerak, ke kanan dan ke kiri layaknya bayi yang sudah berumur lebih dari satu hari.(*)

    SUmber: http://www.radarkotabumi.com/

    Demikian berita tersebut saya baca,pertanyaan saya adalah :
    Apakah mungkin hal itu terjadi? Sebab iman saya berkata kalau hanya Bunda Maria lah yang mengalami mujizat tersebut untuk kedatang SAng Juru Selamat?
    Mohon komentarnya,saya sangat senang bila komentar ini juga dapat dikirim ke email saya.

    Terima kasih banyak,

    Andry.

    • Shalom Andry,
      Terus terang, kami tidak dapat memberi komentar lebih lanjut tentang berita ini, karena kami tidak tahu sampai di mana kebenaran data yang disampaikan. Yang dapat kami sampaikan adalah prinsip-prinsipnya saja, berdasarkan akal sehat dan pengetahuan yang diterima oleh umum.

      Kita mengetahui bahwa secara natural bahwa kehamilan terjadi karena pertemuan sel sperma dengan sel telur. Hal ini umumnya terjadi karena hubungan seksual antara seorang pria dan wanita. Walaupun terdapat juga kekecualian yaitu kehamilan terjadi tanpa hubungan seksual, seperti:
      1. Seorang wanita membuat dirinya hamil melalui inseminasi: sperma suaminya atau sperma donor disuntikkan ke sel telur, dan kehamilan terjadi di dalam rahimnya. Atau pembuahan terjadi di dalam tabung, kemudian setelah dibuahi, dimasukkan ke rahim ibu (wanita) itu.

      2. Seorang wanita ditunjuk untuk hamil bagi pasangan yang lain. Sel telur istri dibuahi oleh sel sperma di dalam vitro/ tabung, lalu setelah terjadi pembuahan, ‘zygote’/ janin itu dimasukkan ke rahim wanita lain yang ditunjuk untuk menjadi ‘ibu angkat’ untuk hamil dan melahirkan bayi itu.

      3. Seorang wanita dapat hamil tanpa berhubungan seksual/ intercourse, jika karena sesuatu hal sel sperma tetap dapat menembus vagina dan dapat bertemu dengan sel telur. Walaupun kemungkinannya kecil, hal ini tetap dapat terjadi. Kita dapat membacanya di internet mengenai hal ini.

      Nah, namun demikian, kehamilan tidak dapat terjadi tanpa sel sperma. Oleh karena itu, kehamilan Bunda Maria merupakan suatu mukjizat. Jika ada seseorang yang mengklaim hamil tanpa sel sperma, sesungguhnya pernyataan itu yang perlu ditelusuri kebenarannya. Sebab jika demikian halnya, kasus itu dapat dilaporkan kepada the guiness book of record. Namun, tentu, jika kemudian diperiksa lebih lanjut, ternyata yang terjadi sebenarnya adalah kemungkinan point ke 3, maka sesungguhnya itu bukan sesuatu yang aneh/ mukjizat.

      Kesaksian tentang hamil yang membesar selama 3.5 jam, lahir bersih, bayi dapat bergerak-gerak seperti telah berumur 1 tahun, tanda putih di tangan, dst itu tidak terlalu ‘mengherankan’, jika dibandingkan dengan klaim kehamilan tanpa sperma. Karena pada orang-orang tertentu, kehamilan memang dapat menjadi tidak terlalu ‘kentara’ karena satu dan lain hal. Sedangkan fakta- fakta lain yang berikutnya bersifat relatif.

      Demikian komentar saya tentang pertanyaan anda, maaf jika tidak terlalu membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati – http://www.katolisitas.org

      • Terima kasih banyak bu inggrid ataqs jawabannyaa. Atas jawabannya,akhirnya saya dapat mengerti hal ini. Iman saya mengatakan memang hanya Bunda Maria saja yang dikaruniai oleh Allah,dan dialah yg terpuji diantara wanita..

  12. Syalom……….Tuhan memberkati Indonesia……..

    Berikut ini saya mengutip sebuah kalimat dalam tulisan diatas :
    “Suatu permenungan adalah, pada saat pertama seseorang membeli alat kontrasepsi, adakah hatinya bergumul? Umumnya ya. Kenapa demikian? Karena suara hati mereka –yang adalah suara Tuhan- melarangnya.”

    Comment :
    Suara hati adalah bukan suara Tuhan karena suara Tuhan tidak dapat salah sedangkan suara hati bisa keliru. Karena suara hati dibentuk dari pemahaman manusia akan moralitas yg nantinya membentuk sistem keyakinannya sendiri yaitu sistem keyakinan BENAR atau SALAH. Pemahaman manusia ini dibatasi oleh banyak kelemahan manusia sehingga rentan keliru. Maka suara hati dapat keliru. Sedangkan suara Tuhan adalah Tuhan sendiri yg berbicara……..karena Tuhan sendiri yg berbicara maka suara-Nya tidak dapat keliru atau salah sebab Dia tidak pernah salah.

    • Shalom Michael,
      Terima kasih atas koreksi anda. Memang suara hati tidak menjamin secara pasti mewakili suara Tuhan. Namun suara hati yang ‘menyalahkan’ dalam artian membawa ke arah pertobatan ataupun menghidari dosa itu adalah pasti suara Tuhan. Sebab adalah tugas dari Roh Kudus adalah "menginsafkan kita akan dosa, kebenaran dan penghakiman." (Yoh 16:8). Dan sesungguhnya inilah yang saya maksud dalam tulisan saya di atas. Maka saya menuliskan, "Suatu permenungan adalah, pada saat pertama seseorang membeli alat kontrasepsi, adakah hatinya bergumul? Umumnya ya. Kenapa demikian? Karena suara hati mereka –yang adalah suara Tuhan- melarangnya…….Jika kemudian orang tersebut merasa ‘terbiasa’, hal ini disebabkan karena suara hatinya berangsur ‘tumpul’ karena pengaruh media dan dunia….”
      Dengan membaca keseluruhan maka sebenarnya bisa diketahui, karena suara hati bisa ‘tumpul’ dan terpengaruh oleh dunia, maka suara hati memang tidak identik dengan suara Tuhan.
      Jadi terima kasih atas masukan anda, saya telah mengubah kalimat saya dalam artikel tersebut, untuk memperjelas maksud saya, menjadi demikian:
      "Suatu permenungan adalah, pada saat pertama seseorang membeli alat kontrasepsi, adakah hatinya bergumul? Umumnya ya. Kenapa demikian? Karena suara hati mereka melarangnya. Dalam kasus ini, suara hati mereka yang ‘melarang’ mereka adalah suara Tuhan, karena dalam hal ini Roh Kudus sebenarnya telah mendorong mereka untuk tidak melakukan dosa."
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
       

      • Shalom Bu Inggrid,

        Pemakaian kontrasepsi selain KB alamiah, apakah semuanya termasuk dosa berat? Jika demikian, bukankah semua pasangan yang menggunakan kontrasepsi dan berbagai cara pencegahan pembuahan (baik kondom, spiral, coitus interuptus, masturbasi sendiri ataupun dengan bantuan pasangan) dan menerima komuni malah semakin berdosa (dosa sakrilegi)?

        Saya selama ini menggunakan kondom dan sebelumnya malah pernah menggunakan spiral tapi sampai sekarang belum mengaku dosa untuk itu. Sudah satu bulan lebih, saya tiap pagi menghadiri misa harian dan menerima komuni. Apakah sebaiknya saya malah harus menghentikan kebiasaan misa harian supaya tidak makin berdosa?
        Mohon pencerahan.

        • Shalom Ling,

          Untuk mendefinisikan dosa berat, sebenarnya ada 3 hal yang harus dipenuhi yaitu:

          Untuk seseorang melakukan dosa berat, ada tiga syarat yang harus dipenuhi (lihat KGK 1857), yaitu: (1) Menyangkut kategori dosa yang tidak ringan, (2) tahu bahwa itu adalah sesuatu yang salah, dan (3) walaupun tahu itu salah, secara sadar memilih melakukan dosa tersebut. Dengan kata lain seseorang menempatkan dan memilih dengan sadar keinginan atau kesenangan pribadi di atas hukum Tuhan.

          Maka dalam kasus kontrasepsi yang anda lakukan sesungguhnya anda sendiri dapat mengkategorikan, apakah ini dosa berat atau tidak. Karena dengan melakukan kontrasepsi sebetulnya anda menutup kemungkinan campur tangan Allah dalam hal penciptaan, dan melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan makna perkawinan yaitu untuk memberikan diri kepada pasangan seutuhnya, tanpa prasyarat. Lalu dalam kondisi demikian, anda menerima Tubuh Kristus dalam Komuni Kudus. Selanjutnya, anda mengetahui bahwa hal ini adalah sesuatu yang salah, dan anda tetap melakukannya meskipun anda tahu itu sesuatu yang salah. (Mungkin dahulu, sebelum anda mengetahuinya, anda tidak melakukan dosa berat, namun ceritanya jadi lain setelah anda mengetahui dan tetap melakukannya).

          Kalau boleh saya menganjurkan, maka memang silakan anda mendiskusikannya dengan suami anda (setelah berdoa bersama), apa yang sebenarnya menjadi pengajaran Gereja Katolik tentang makna Perkawinan dan bagaimana seharusnya sebagai pasangan, Ling dan suami menerapkannya. Perlu diingat bahwa di dalam hidup perkawinan Katolik, seharusnya Tuhan-lah yang harus ditempatkan di tempat pertama, dan bukan keinginan pasangan sendiri dalam mengatur kehidupan keluarga, dan terutama dalam hal pengaturan kelahiran.

          Saya mengajak anda membaca artikel ini, Indah dan dalamnya makna Sakramen Perkawinan Katolik, silakan klik, agar anda melihat bahwa sesungguhnya Allah memakai perkawinan sebagai gambaran akan kasih-Nya yang total kepada manusia. Sehingga kalau kita yang berjanji kepada Tuhan ingin hidup sesuai dengan gambaran kasih yang total itu, kemudian ternyata ingkar dengan menerapkan kasih yang ‘tidak total’ dengan memakai kontrasepsi, maka, dapat dikatakan kita tidak hidup sesuai dengan panggilan hidup kita. Apalagi jika secara fakta, sebenarnya anda dan suami mampu, jika Tuhan mengaruniakan seorang anak lagi di dalam keluarga anda.

          Kita memang tidak boleh menerima Komuni, jika sedang dalam keadaan berdosa berat, namun bukan berarti kesimpulannya lebih baik tetap di dalam dosa berat dan tidak menerima Komuni. Ini sama saja meletakkan dosa di tempat yang lebih utama daripada Tuhan, atau memilih ‘penyakit’ daripada ‘obat’. Maka, saran saya, sebaiknya anda (dan jika perlu bersama suami) mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan dosa, dan bukannya malah tidak mengikuti Misa. Selanjutnya sebagai langkah tobat, sebaiknya anda membuang spiral itu. Dan mulailah menerapkan KB Alamiah, jika anda memiliki alasan yang kuat untuk sedapat mungkin tidak mempunyai anak lagi. Saya memahami bahwa keputusan ini harus pula didukung oleh suami anda, dan karenanya memang sebaiknya anda mendiskusikannya dengan suami.

          Saya juga menyarankan, agar anda membaca buku Theology of the Body karangan Paus Yohanes Paulus II, yang telah diterjemahkan oleh Rm. Deshi Ramadhani S.J. agar anda dapat lebih memahami rencana Allah tentang bagaimana anda dapat hidup seturut kehendak Allah dalam mempersembahkan jiwa dan tubuh bagi kemuliaan nama Tuhan, sehingga anda dan suami dapat mengambil sikap yang tepat dalam kehidupan perkawinan anda. Semoga dengan mengikuti kehendak Allah, perkawinan anda sungguh diberkati oleh kebahagiaan, sukacita dan kasih.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  13. [quote] Sebab dengan mental kontraseptif, sedikit demi sedikit suami cenderung menjadikan istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang terkasih. Lama kelamaan respek kepada istri akan hilang, dan suami akan menjadi kurang/ tidak peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri (HV 17). Hal ini nyata sekali terjadi saat ini, misalnya saja di Amerika, dengan angka perceraian 50% pada pernikahan pertama, 67% pada pernikahan kedua, dan 74% pada pernikahan ketiga.[7] Dan survey mengatakan hampir semua dari pasangan yang bercerai itu menggunakan kontrasepsi. [quote]

    IMHO argumen yang pertama [quote] Sebab dengan mental kontraseptif, sedikit demi sedikit suami cenderung menjadikan istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang terkasih [unquote] mengandaikan hanya pria saja yang berminat pada hubungan seksual – apa benar demikian ?
    argumen kedua [quote] Lrama kelamaan respek kepada istri akan hilang, dan suami akan menjadi kurang/ tidak peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri (HV 17).[unquote] didasarkan pada data angka perceraian di amerika ? pasangan amerika bercerai karena mereka menggunakan kontrasepsi? benarkah demikian ? lalu apakah yang valid untuk amerika juga valid untuk seluruh duniia sehingga Paus mengeluarkan edaran HV ?

    [quote] meningkatnya jumlah dan jenis penyakit wanita sebagai akibat penggunaan kontrasepsi [unquote]
    mohon referensi yang dimaksud “jumlah dan jenis penyakit wanita sebagai akibat penggunaan kontrasepsi”

    [quote melawan tubuh karena memasukkan benda ataupun ‘racun’ yang merusak tubuh [unquote]
    kecuali mungkin : kondom

    [quote] tidak melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri.[unquote] versus [quote] kontrasepsi, (1) melawan kehendak Tuhan yang telah memberi tugas untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan-Nya, sebab sejak awal Allah menjadikan hubungan suami istri sebagai sesuatu yang sakral yang terbuka pada kemungkinan akan kelahiran ciptaan-Nya yang baru [unquote]
    dengan sengaja tidak berhubungan seksual maka kita memutuskan untuk tidak mengambil bagian dalam karya penciptaan – bagaimana ?

    mohon pencerahan

    • Shalom Skywaker,
      1) Sebelum Bapa Paus Paulus VI mengeluarkan ensiklikal Humanae Vitae (HV), beliau sudah mendengarkan pendapat para ahli dari berbagai bidang, dan tentu juga melalui proses doa yang panjang. Jadi pastilah apa yang dituliskannya itu, bukan hanya sekedar ‘asal’ saja, atau didasari observasi pengalaman dari sekelompok orang saja. Data yang saya sampaikan di dalam artikel saya tersebut, tentang hubungan antara angka perceraian dengan penggunaan alat kontrasepsi itu tidak menjadi dasar bagi Bapa Paus untuk mengeluarkan pernyataan dalam Humanae Vitae. Sebab hasil survey itu dilakukan malah setelah satu generasi sesudah Humanae Vitae tersebut ditulis. Jadi survey yang dilakukan di Amerika itu dilakukan setelah HV lama dikeluarkan, dan malah menjadi sejumlah bukti dari apa yang telah dikatakan oleh Bapa Paus, bahwa jika alat kontrasepsi ini digunakan secara luas, maka dapat terjadi peningkatan angka perceraian. Dan ini memang yang terjadi di masa sekarang ini, tidak saja di Amerika tetapi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

      2) Mengenai argumen yang ditulis dalam HV 17, "Sebab dengan mental kontraseptif, sedikit demi sedikit suami cenderung menjadikan istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang terkasih. Lama kelamaan respek kepada istri akan hilang, dan suami akan menjadi kurang/ tidak peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri." Saya percaya, bahwa Bapa Paus menuliskan demikian, bukan untuk membedakan seolah-olah bahwa wanita sama sekali tidak memiliki dorongan seksual ataupun  hanya pria saja yang patut bertanggung jawab dalam hal ini. Tetapi beliau melihat kenyataan bahwa memang secara biologis, pria memang lebih mempunyai kecenderungan dalam dorongan seksual, sebab, tidak seperti wanita, para pria tidak mengalami datang bulan, sehingga secara alamiah, kondisi hormonalnya tentu berbeda dengan wanita. Sehingga tak mengherankan jika secara objektif/ alamiah diperlukan usaha pengendalian diri yang lebih besar dari pihak pria, daripada wanita, untuk mengatur hal ini.

      3) Mengenai side-effects/ akibat samping dari penggunaan alat kontrasepsi, silakan membaca di link ini (silakan klik) Ada banyak sekali akibat penyakit yang bisa ditimbulkan, sangat bervariasi, sebagai akibat dari penggunanaan pil, suntik, Spiral (IUD) bahkan kondom.Ini saya hanya menyebutkan sebagian kecil saja.
      Contohnya akibat samping dari pil KB:
      The birth control pill increases the risk of breast cancer by over 40% if it is taken before a woman delivers her first baby.4 This risk increases by 70% if the Pill is used for four or more years before the woman’s first child is born.5 Other side effects that women have experienced include high blood pressure, blood clots, stroke, heart attack, depression, weight gain, and migraines. Diabetics who take oral contraceptives may note increased sugar levels. Some women who stop taking the Pill do not have a return of their fertility (menstrual cycles) for a year, or even longer. Although the Pill decreases ovarian and some uterine cancers, it increases breast, liver, and cervical cancer.4 At least three studies have noted that the AIDS virus is transmitted more easily to women who are taking the Pill if their partner(s) have the HIV virus. 6 , 7 , 8

      Akibat dari sterilisasi yang permanen:
      Pada wanita:
      Tubal ligation does not always prevent conception. When conception does occur, it is associated with a much higher incidence of ectopic pregnancy,22 which, as was noted, is the leading cause of death in pregnant women. In addition, women who undergo the procedure may experience complications from the anesthesia or from surgery. Complications include bladder puncture, bleeding, and even cardiac arrest after inflation of the abdomen with carbon dioxide.23 Some women who have undergone a tubal ligation experience a syndrome of intermittent vaginal bleeding associated with severe cramping pain in the lower abdomen.24 Reduced intimacy, lower libido, and a greater risk for hysterectomy often follow tubal ligation; deep regret for having been sterilized is common.

      Pada Pria:
      About 50% of men who undergo a vasectomy will develop anti-sperm antibodies.25 In essence, their bodies will come to recognize their own sperm as “the enemy.” This could lead to a higher incidence of autoimmune disease. Several studies have noted that men who undergo a vasectomy have a higher incidence of developing prostate cancer, especially 15-20 years after their vasectomy,26, 27, 28, 29 although one large study did not find a link.30

      Side- effects/ Akibat penggunaan kondom:
      The condom does not adequately stop the transmission of the AIDS virus. CM Rowland, PhD, editor of Rubber Chemistry and Technology, tells us that electron micrographs (pictures taken with a very powerful microscope) reveal voids (holes) in the condom that are up to 50 times bigger than the HIV particle.16  At least one study has noted that women who use barrier methods such as the diaphragm or condom, or the withdrawal method, had a 137% increased risk of developing preeclampsia.17 Preeclampsia, a complication occurring in some pregnant women, is a syndrome of high blood pressure, fluid retention, and kidney damage, which may eventually lead to prolonged seizures and/or coma. It is theorized that exposure to the male’s sperm plays a protective role against preeclampsia.
      3) Namun, sebenarnya, bukan effek medis yang membuat penggunaan kondom dilarang menurut ajaran HV ini, tetapi secara moral, penggunaan kondom tidak sesuai dengan maksud Allah yang menjunjung tinggi hubungan kasih suami istri yang total. Hal ini sudah pernah dibahas di sini. Silakan membaca tanya jawab di sini (silakan klik)
      Penggunaan kondom sebenarnya memisahkan peran pro-union dan pro-creation, sesuatu yang bertentangan dengan hakekat hubungan suami istri sebagaimana telah ditetapkan oleh Tuhan. Pemakaian kondom juga tidak menggambarkan makna persatuan yang total/ total self-giving dari suami dan istri. Jadi singkatnya, hubungan suami istri yang harusnya merupakan bukti kasih yang total, tidak diwujudkan dengan benar sebagaimana seharusnya, karena ‘total’ berarti tidak ada yang dibuang/ ditolak.

      4) KB Alamiah yang pada prinsipnya tidak melakukan hubungan pada masa subur tidak sama artinya dengan penggunaan alat kontrasepsi. Silakan membaca juga jawaban pada rangkaian tanya jawab yang saya sebutkan pada point 3, di sana saya pernah menuliskan alasannya. Memang mental kontraseptif apalagi yang jelas-jelas menolak keturunan sebenarnya tidak sesuai dengan maksud perkawinan Katolik yang ditujukan untuk kesejahteraan suami istri dan pendidikan anak-anak. Namun demikian, jika pasangan memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, maka, KB alamiah merupakan pilihan yang dapat diterima oleh Gereja Katolik, justru karena pada KB Alamiah, tidak terjadi pemisahan antara fungsi union dan pro-creation. Karena pada saat berpantang, memang tidak ada pro-creation karena pada saat itu tidak dilakukan union.
      Semoga uraian ini dapat bermanfaat.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

      • Sebenernya saya merasa agak aneh soal ajaran mengenai anti kontrasepsi ini, kalau KB alamiah berarti kebanyakan seks akan dilakukan pada saat istri dalam keadaan stelah mens, fase kering di mana biasanya di masa itu istri nggak nafsu. Nah sang istri sendiri baru nafsu di saat ada sel telur di rahimnya. In the end seks hanya dilakukan kalau dah mau punya anak donk ? atau dalam hal ini wanita yang dikorbankan, nggak dipenuhi hasratnya sampai waktunya punya anak, kalau anak udah 3, habislah kehidupan seksual pasangan suami istri…

        • Shalom Anonymous,
          Jika anda sendiri sudah menerapkan KB Alamiah bersama istri anda, maka anda akan mengetahui bahwa apa yang anda katakan itu tidak benar. Manusia diciptakan tidak untuk dikuasai/ menuruti hawa nafsu. Sebab bukan nafsu yang menguasai manusia dan manusia harus selalu menurutinya, namun sebaliknya manusia dapat mengendalikan hasratnya sendiri. Inilah sebabnya Kitab Suci mengajarkan kepada kita bahwa salah satu buah Roh kudus adalah pengendalian diri (Gal 5:23).

          Sepertihalnya anak- anak yang setiap hari dituruti keinginannya untuk diberi permen atau kue, maka mereka akhirnya menjadi kurang menghargai apa yang selalu didapatnya, dan berpikir bahwa keinginannya itu harus secara otomatis dipenuhi. Tetapi kalau permen/ kue itu diberikan hanya pada kesempatan- kesempatan tertentu/ istimewa, maka mereka akan lebih menghargai dan mensyukurinya. Dengan analogi ini, kita dapat memahami, bahwa hubungan suami istri juga demikian. Mereka yang selalu mengikuti hasratnya lama kelamaan dapat menganggapnya sebagai ‘hal biasa’ yang harus dituruti. Namun jika mereka memahami maknanya dan melakukannya dengan penuh tanggung jawab, sesuai dengan rencana Allah, maka mereka akan dapat semakin menghargainya. Jangan kuatir, hasrat itu akan timbul dengan sendirinya pada waktunya.

          Pantang berkala dalam hubungan suami istri, jika disadari bersama maknanya, maka akan mempererat hubungan kasih suami istri. Sebab keduanya akan mencari banyak cara lain untuk mengungkapkan kasih dan pengertian yang tulus, dan inilah yang bahkan lebih mempererat hubungan rohani dan kasih antara suami istri. Di sinilah suami dan istri dapat belajar menerima satu sama lain, mengasihi tidak hanya terbatas pada hubungan jasmani, namun sebagai pasangan jiwa yang dipersatukan oleh Allah untuk saling menguduskan dan mengembangkan buah Roh Kudus di dalam kehidupan suami istri: yaitu kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Gal 5:22-23)

          In the end, our sexuality is God’s gift that shall bring us to holiness. Silakan anda mencoba metoda Creighton, yang tertulis juga di situs ini. Jika diterapkan dengan setia, metoda itu tidak ‘mematikan kehidupan seksual’ suami istri, malahan menghidupkannya; karena baik suami maupun istri memperoleh pengertian dan penghargaan yang lebih mendalam akan maknanya.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  14. Dulu saya sangat benci ke gereja karena saya tak suka misa. Karena ada seseorang yang mendatangi mimpi saya, saya baru ingat bahwa ke gereja itu sangat penting bagi saya dan tak seminggu kemudian saya ke gereja. Sebab itulah saya langsung belajar untuk masuk untuk menerima komuni. Sekarang saya ada misa maupun tak ada misa saya selalu ke gereja, sebab itulah saya mulai dekat dengan Tuhan. Karena saya telah berkenalan dengan pastor -.pastor di tanjung Balai Karimun. Sebab aku lagi menunggu pastor- pastor dari kota- kota lain sebab itulah rd Abau yang didaerah Beliyu juga membantu saya, kalian juga. Ini aku bicara riwayat hidupku: pada saya berumur 8th aku masih belum ke gereja. Karena itulah Tuhan berkata (siapa tidak ikut perintahku maka ia akan sengsara) dan dulu saya tiap minggu sakit lalu aku bertanya pada mimpiku, kakek kenapa tiap minggu sakit terus ya? (karena itu kakek saya sudah meninggal) Karena itulah aku mulai ke gereja dan tak lama 4th kemudian, aku terkena serangan usus buntu ortu ku pergi mencari uang dan aku sepi di rumah. Aku lalu ke gereja bersembahyang sendirian dan tak lama, 5 jam kemudian, aku mulai sembuh. Karena itulah anggap rumah Tuhan sebagai rumah kita sendiri.

    • Shalom Bernad,
      Terimakasih atas sharing anda. Ya, Tuhan mempunyai banyak cara untuk memanggil kita untuk datang kepada-Nya. Namun memang sebagai orang Katolik kita sebaiknya tidak menggantungkan pengertian kita kepada mimpi-mimpi, namun lebih kepada hubungan komunikasi kita dengan Tuhan, melalui doa dan sakramen. Jika memang kita mendapat mimpi, maka sebaiknya hal itu kita bawa di dalam doa, agar kita juga mendapat peneguhan di dalam batin, apakah memang itu berasal dari Tuhan, ataukah dari diri sendiri. Jadi hanya dengan hubungan yang akrab dengan Tuhan, maka kita dapat membedakan pesan mimpi ataupun penglihatan, apakah hal itu berasal dari Tuhan dari iblis, atau dari diri sendiri.
      Jika dari Tuhan, maka buahnya adalah damai sejahtera di hati. Memang jika kita tidak ikut Tuhan dan tidak percaya kepada-Nya, maka hidup kita akan sengsara, dalam arti kita tidak punya tujuan hidup, dan kita tidak tahu apa arti hidup ini. Padahal dengan mengikuti Dia dan segala perintah-Nya, maka Tuhan akan membimbing kita menuju kebahagiaan sejati, yang nantinya menghantar kita kepada kehidupan yang kekal. Hidup di duniapun menjadi penuh arti, karena merupakan persiapan kita pada kehidupan kita yang sesungguhnya, saat kita berjumpa dengan-Nya di surga nanti.

      Maka, bersyukurlah atas kasih Tuhan dan kesembuhan yang Tuhan berikan kepadamu, dan mohon pada Tuhan agar membimbing dalam perkembangan imanmu selanjutnya.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

  15. Dear Ingrid,
    Kebetulan di Amerika ada news mengenai birth of octuplets dimana ternyata Ibu nya sudah punya 6 anak sebelumnya. Kalau Ingrid bisa membantu, apakah sikap Gereja mengenai assisted reproduction (tidak hanya IVF tetapi juga berbagai macam technique lainnya).
    Salam.

    • Shalom Dolphin,
      Pada tgl 8 Sept 2008, Vatikan (Congregation for the Doctrine of the Faith) mengeluarkan dokumen Dignitas Personae yang menanggapi hal Bio-etik,  yang ditandatangani oleh Kardinal William Levada di Roma (silakan klik link ini)
      Pada dasarnya, untuk treatment menangani hal infertilitas, ada 3 prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi:

      1) Hak untuk hidup dan integritas fisik dari setiap manusia dari masa konsepsi sampai kematian yang normal

      2) Aspek persatuan (union, unity) dalam perkawinan, yang berarti pemberian timbal balik hak di dalam perkawinan untuk menjadi ayah atau ibu, hanya dengan pasangan dalam perkawinan tersebut. (Jadi tidak diperkenankan adanya donor sperma dari pria lain selain suami/ atau rahim ‘pinjaman’ yang bukan ibu).

      3) Nilai-nilai seksualitas manusiawi yang mensyaratkan bahwa aspek pro-creation manusia diakibatkan dari hubungan kasih suami istri.

      Maka dengan prinsip ini, semua teknik, baik yang melibatkan pihak ketiga (dikenal sebagai herterologous artificial fertilization) ataupun yang melibatkan suami/ istri sendiri (homologous artificial fertilization) yang menggantikan hubungan intim suami istri- tidak dibenarkan.

      Yang diizinkan adalah teknik yang membantu hubungan suami istri ataupun untuk membantu meningkatkan kesuburan.

      Selanjutnya dokumen tersebut menyebutkan:

      ….. (part of 12.) The Instruction Donum vitae states: “The doctor is at the service of persons and of human procreation. He does not have the authority to dispose of them or to decide their fate. A medical intervention respects the dignity of persons when it seeks to assist the conjugal act either in order to facilitate its performance or in order to enable it to achieve its objective once it has been normally performed”.[24] And, with regard to homologous artificial insemination, it states: “Homologous artificial insemination within marriage cannot be admitted except for those cases in which the technical means is not a substitute for the conjugal act, but serves to facilitate and to help so that the act attains its natural purpose”.[25]

      13. Certainly, techniques aimed at removing obstacles to natural fertilization, as for example, hormonal treatments for infertility, surgery for endometriosis, unblocking of fallopian tubes or their surgical repair, are licit. All these techniques may be considered authentic treatments because, once the problem causing the infertility has been resolved, the married couple is able to engage in conjugal acts resulting in procreation, without the physician’s action directly interfering in that act itself. None of these treatments replaces the conjugal act, which alone is worthy of truly responsible procreation.

      Maka, dari statement tersebut di atas, kita ketahui bahwa terapi hormon, atau obat untuk mengobati infertilitas diizinkan, namun teknik inseminasi buatan secara umum, baik yang melibatkan donor sperma maupun suami sendiri, tidak diizinkan, sebab praktek tersebut menghilangkan proses union antara suami istri, sebab yang melakukan proses penyatuan sperma dan sel telur adalah dokter.

      Namun pada kasus tertentu, homologous inseminasi diijinkan jika teknik tersebut bukan dilakukan untuk menggantikan peran hubungan intim suami istri, namun hanya sebagai alat bantu, agar sperma yang lemah dapat bersatu dengan sel telur atau untuk mengatasi jika ada hambatan di tuba falopii. Sebab dengan teknik demikian, pembuahan tetap berasal dari hubungan suami istri, dan laboratorium hanyalah berperan sebagai pembantu.

      Lebih lanjut tentang hal ini silakan klik di sini   

      tentang metoda GIFT (Gamete Intra Falopii Transfer) dan Tubal Ovum Transfer (TOT).

      Jadi untuk kasus kembar delapan yang baru-baru ini terjadi di Amerika, kita melihat adanya pelanggaran ketentuan ini. Pelanggarannya bukan karena sang ibu kemungkinan minum obat kesuburan, tetapi lebih karena praktek inseminasi dari donor sperma yang bukan suaminya. Diketahui bahwa sang ‘ibu’ sesungguhnya tidak menikah, walaupun sudah punya anak 6 orang sebelum melahirkan kembar delapan ini.

       

      Semoga saya menjawab pertanyaan Dolphin.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

  16. Shallom,
    Isteri saya menjalani sterilisasi tubektomi setelah terjadi placenta praevia pada persalinan anak terakhir. Dokter yang mengoperasinya beragama Katolik dan operasi dilaksanakan di rumah sakit Katolik. Beliau beralasan jika tidak dilakukan sterilisasi, maka bila terjadi kehamilan lagi dipastikan akan terjadi lagi placenta praevia yang membahayakan jiwa ibu.
    Pertanyaan pertama. Sebagai penganut Katolik, saya menyadari dosa ini dan telah mengaku dosa. Akan tetapi isteri saya sekalipun sudah beragama Katolik dan menerima sakramen perkawinan berasal dari Kristen Pantekosta sehingga dia tidak terbiasa mengaku dosa. Dia mengatakan sudah mengaku dosa secara pribadi dengan Yesus. Selama ini dia merasa sudah tidak memiliki dosa tubektomi tersebut dan menerima komuni. Apakah hal ini melanggar ajaran gereja?

    Pertanyaan kedua. Ketika saya mengakui dosa tersebut, ramanya mengatakan tidak apa-apa. Tapi rama tersebut ternyata keluar dari panggilan imamatnya dan menikah. Apakah pengakuan dosa saya masih sah ataukah tidak?

    • Shalom Andry,

      1) KGK 1385 mengatakan:
      "Untuk menjawab undangan ini, kita harus mempersiapkan diri untuk saat yang begitu agung dan kudus. Santo Paulus mengajak supaya mengadakan pemeriksaan batin: "barang siapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barang siapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya" (1 Kor 11:27-29) Siapa yang sadar akan sebuah dosa besar, harus menerima Sakramen Pengakuan sebelum ia menerima komuni."
      Maka untuk kasus istri Andry, sebaiknya ia diberi pengertian bahwa sterilisasi termasuk dosa yang besar, sehingga, menurut aturan Gereja, ia perlu mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa, sebelum menyambut Komuni. Sebenarnya aturan ini tidak terbatas hanya dosa sterilisasi, tetapi dosa-dosa yang lain yang melanggar ke 10 perintah Allah.
      Dalam moral theologi memang dibedakan invincible ignorance, dan culpable ignorance. Kalau kita tidak tahu karena memang kita tidak bisa tahu itu disebut invincible, namun kalau kita tidak tahu karena memilih untuk tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, itu disebut culpable. Yang culpable ignorance ini tetap tidak membebaskan kita dari kenyataan bahwa kita bersalah. Jadi, misalnya, kalau sewaktu di gereja Pantekosta ia tidak tahu bahwa harus mengaku dosa jika melakukan dosa berat, maka itu dapat dikatakan invincible ignorance, tetapi sekarang, jika ia telah menjadi Katolik, maka ia seharusnya tahu bahwa dosa berat menghalangi persatuan-nya dengan Kristus dalam komuni kudus. Sebab seharusnya, jika kita sadar bahwa kita telah melakukan dosa berat dan mau bertobat demi kasih kita kepada Yesus, maka dengan rendah hati, kita akan mengaku dosa kita terlebih dahulu dalam sakramen Tobat, sebelum menyambut Kristus dalam komuni.

      2) Sekarang tentang Pengakuan dosa Andry. Kalau Andry mengaku dosa ketika pastornya masih berstatus klerik (imam), maka pengakuan dosa itu tetap berlaku (valid/ sah). Namun untuk ketenangan batin, jika Andry ingin mengakukan dosa itu lagi, maka tentu hal tersebut boleh dilakukan.

      3) Mungkin yang terpenting adalah melakukan wujud pertobatan setelah pengakuan dosa tersebut. Sebab, sterilisasi yang dilakukan sudah terlanjur, namun masih ada yang dapat dilakukan dari pihak Andry dan istri, untuk menunjukkan tanda tobat tersebut. Saya pernah menuliskannya di jawaban ini- silakan klik.

      Semoga Tuhan melihat ketulusan hati Andry dan istri dalam mengikuti perintah Tuhan, karena kasih anda berdua kepada-Nya.
      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

       

      • Pax Christi,
        Bu Ingrid saya tertarik dengan pembahasan masalah sterilisasi karena kasus yang saya hadapi mirip dengan Bu Yenny dan Pak Andry, saya ikuti dari link yang disarankan, tetapi maafkan saya yang belum mendapat jawaban pasti atas tindakan yang kita ambil setelah mengetahui bahwa tindakan sterilisasi adalah dosa besar. Kalau boleh saya menceritakan pada saat usia kami berdua menjelang 40 tahun kami mempunyai tiga anak dan kami melakukan KB alami sesuai pilihan kami ini adalah yang baik tanpa sebelumnya kami mengetahui dari ajaran Gereja Katholik, setelah jarak 7 tahun dengan anak kami yang terakhir kami memperoleh lagi anak yang ke 4, pada saat itu kami berdua sempat berhitung seharusnya tidak terjadi kehamilan, tapi itu tidak jadi masalah besar mungkin kami salah melakukan perhitungan masa subur, dan kami tetap bersyukur atas anugerah anak kami yang ke 4. Tetapi atas saran dokter kami diminta untuk melakukan sterilisasi karena akan beresiko bila kelak hamil lagi baik buat ibu maupun janin, karena kondisinya umur semakin beresiko karena anak ke 3 dan 4 lahir cesar, maka kemungkinan yang ke 5 pasti cesar juga dan ini dijelaskan resiko2nya, sehingga akhirnya kami putuskan untuk sterilisasi saat kelahiran anak ke 4. Terus terang kami belum lama membaca artikel2 di Katolistas ini sehingga kami baru sadar telah melakukan dosa besar untuk itu sekali lagi kami tanyakan lagi tindakan teknis apa yang harus kami lakukan setelah kami sadar dan mengaku dosa, apakah kami harus mencabut sterilisasi tersebut atau tidak ? Walaupun kalau iya akan timbul resiko kami salah hitung dan timbul kelahiran ke 5 yang besar resikonya, inilah pertanyaan yang belum terjawab dari rangkaian pertanyaan sterilisasi yang saya baca, atau maaf, mungkin sudah ada tetapi saya silap dalam membacanya. Terimakasih atas kesediaan Bu Ingrid untuk memberikan pencerahan, mohon maaf bila pertanyaan saya membosankan. Shalom

        • Shalom Thomas,

          Monsingor Mangan, mengutip German Grisez dan John Kippley menjabarkan adanya tiga alternatif (boleh pilih salah satu) yang dapat dilakukan apsangan sebagai bukti pertobatan sejati dari pasangan yang sudah terlanjur melakukan sterilisasi:

          a) Complete asbtinence (tidak melakukan hubungan seksual) sampai sang istri mengalami menopause. Alternatif ini dapat dianggap sebagai yang tidak mungkin dilakukan bagi banyak pasangan, namun tetap dapat dilakukan, jika baik suami dan istri setuju.

          b) A surgical reversal (dilakukan operasi balik), yang mengembalikan kembali fungsi organ reproduksi. Hal ini sudah mulai umum dilakukan di Amerika. Karena umumnya proses sterilisasi di sini dilakukan dengan dua cara: vasektomi di pihak pria ataupun ligasi saluran falopii di pihak wanita. Jika diinginkan, dan memungkinkan secara kedokteran, hal ini layak untuk dipertimbangkan; namun adakalanya operasi balik ini tidak dimungkinkan karena salurannya sudah dipotong.

          c) Periodic abstinence from the marital privilege (melakukan KB Alamiah).  Pengetahuan mutakhir tentang fase subur dan tak subur memungkinkan pasangan yang telah bertobat untuk membatasi hubungan suami istri hanya pada saat sang istri tidak subur. (Untuk mengetahui masa subur dan tidak subur, silakan melihat artikel tentang Metoda Creighton, klik di sini). Dengan demikian, mereka tidak mengambil keuntungan dari akibat dosa sterilisasi yang telah mereka perbuat. Tindakan pantang berkala ini sejalan niat mereka bahwa jika mereka diberi kesempatan kedua, maka mereka tidak akan memilih alangkah sterilisasi. Pantang berkala ini serupa dengan yang dilakukan oleh para pasangan yang melakukan metoda KB alamiah, jika mereka untuk alasan yang cukup dapat dipertanggungjawabkan, ingin membatasi jumlah kelahiran.

          Monsingor Mangan memang menyerahkan keputusan akan hal ini ke tangan pasangan yang bersangkutan. Jika yang dipilih adalah operasi balik, maka memang terbuka kembali kemungkinan akan kelahiran anak, jika diinginkan. Jika untuk alasan yang masuk akal pasangan memilih untuk membatasi jumlah anak, maka pasangan dapat menerapkan KB Alamiah yang cukup akurat, contohnya metoda Creighton, yang penjelasannya dapat dibaca di link di atas. Memang jika dua anda sudah lahir dengan operasi ceasar, dapat terjadi kelahiran anak berikutnya juga secara caesar. Oleh karena itu, sering dokter cenderung menyarankan agar pasangan tidak mempunyai anak lagi. Namun sesungguhnya, tetap ada yang dapat dilakukan untuk mencegah ruptur uterus (yaitu resiko dari kehamilan yang demikian), jika sampai istri mengandung anak berikutnya, sebab yang terpenting adalah mengusahakan agar anak tidak terlalu besar, dan operasi caesar dilakukan seminggu atau dua minggu sebelum waktu kelahiran yang normal. Dialog ini pernah terjadi antara kami dengan Rudianto, yang mengalami pergumulan tentang hal ini karena istrinya mengandung anak yang ketiga 4 bulan setelah anak kedua lahir dengan operasi caesar, silakan klik. Namun berkat rahmat Tuhan, setelah pasangan ini memutuskan untuk melanjutkan kehamilan, maka anak pasangan ini lahir dengan selamat pada tanggal 24 April 2011, seperti dituliskannya di sini, silakan klik.

          Semoga Tuhan menerangi anda dan istri anda untuk memutuskan segala sesuatu seturut kehendak-Nya.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

           

  17. Sepengetahuan saya, ajaran Gereja Katolik hanya membolehkan KB alami dengan menolak semua bentuk KB artifisial termasuk penggunaan kondom. Namun, apakah ajaran ini berlaku pula pada kasus-kasus tertentu seperti suami dengan HIV yang ingin mencegah penularan HIV kepada isterinya dengan menggunakan kondom? Kita mengetahui bahwa pencegahan HIV terdiri dari ABC, yaitu abstinence (tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah), be faithful to your partner (setia pada pasangan) dan condom (penggunaan kondom untuk mencegah penularan). Jika pemakaian kondom tetap tidak dianjurkan, saran apa yang seharusnya diberikan oleh profesional medis Katolik yang di satu sisi hendak mencegah penularan HIV dalam keluarga dengan menganjurkan pemakaian kondom tetapi di sisi lain tidak ingin melanggar ajaran Gereja Katolik tersebut?
    Mengenai euthanasia, saya menganggap tindakan euthanasia yang tidak diperbolehkan adalah euthanasia aktif, sementara euthanasia pasif dapat diperkenankan jika terdapat alasan kuat seperti pasien terminal yang tidak dimungkinkan hidup tanpa alat bantu pernapasan (ventilator) atau kondisi keuangan keluarga yang tidak mampu membayar perawatan di ruang ICU. Kerapkali pemakaian ventilator hanya menutupi (masking) tanda kematian seperti kegagalan pernapasan yang irreversibel.

    • Shalom Andry,

      1) Mengenai kontrasepsi pada pasien HIV.
      Gereja Katolik menentang pemakaian kontrasepsi dalam kondisi apapun, termasuk kondom. Humanae Vitae menyebutkan dengan jelas tentang hal ini (lihat HV 14). Dalam kasus pasien HIV, memang tidak terdapat banyak pilihan, sebab jika ingin menghindari penularan kepada pasangan, dan tidak ingin melanggar pengajaran Magisterium Gereja, maka yang harus dilakukan adalah abstinence/ pantang melakukan hubungan suami istri. Lebih lanjut silakan membaca dokumen Gereja yang disampaikan oleh Cardinal Trujilio yang berjudul Family Values versus Safe Sex,  silakan kilk di link ini
      Pada dasarnya, Gereja tidak melihat bahwa kondom merupakan alat proteksi total untuk ‘save sex’, karena data penelitian objektif tentang studi electron  microscopic studies pada latex material, maka diketahui bahwa virus AIDS/ HIV berukuran 25 kali lebih kecil dari ukuran kepala sperma, dan 450 kali lebih kecil dari panjang sperma, dan 60 kali lebih kecil dari bakteri syphilis bacterium.. Maka tidak mengherankan, bahwa meskipun memakai kondom, resiko penularan sebenarnya tetap ada; mungkin hanya dikurangi, tetapi tidak sepenuhnya dihindari.
      Maka Gereja kembali kepada penekanan nilai-nilai keluarga untuk menghindari penularan wabah AIDS, yaitu abstinence  dan kesetiaan pada pasangan dalam perkawinan.

      2) Sekarang mengenai Euthanasia.
      Euthanasia artinya adalah tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan yang dengan sendirinya atau yang disertai maksud untuk menyebabkan kematian, demi menghindari penderitaan. Maka dalam hal ini, sesungguhnya tidak ada kata ‘Passive Euthanasia’. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat terminology berikut ini:
      Jadi jika tidak ada Euthanasia, jika tidak ada maksud untuk membunuh dengan suatu tindakan yang dilakukan, atau sengaja tidak dilakukan. Jadi Passive Euthanasia sesungguhnya adalah ungkapan yang rancu, dan bukan tindakan euthanasia, karena tidak disertai maksud untuk membunuh pasien. Tindakan-tindakan yang termasuk di sini adalah: tidak memutuskan untuk melakukan treatment yang tidak mendatangkan keuntungan bagi pasien, menarik treatment yang terbukti tidak efektif, terlalu membebani dan tidak diinginkan, dan pemberian obat painkillers yang dapat memberikan efek samping membahayakan hidup pasien. Jika keadaan mengharuskan, maka tindakan di atas dapat dilakukan, dan dapat diterima secara moral.

      Voluntary Euthanasia: Euthanasia yang dilakukan atas kehendak pasien

      Non-voluntary Euthanasia: Euthanasia yang dilakukan tanpa kehendak pasien

      Involuntary Euthanasia: Euthanasia yang dilakukan bertentangan dengan kehendak pasien 

      Assisted suicide: Tindakan euthanasia/ bunuh diri dengan bantuan dokter, disebut "physician assisted suicide." 

      Euthanasia by action: Secara sengaja menyebabkan kematian pasien dengan melakukan tindakan seperti penyuntikan lethal injection.

      Euthanasia by Ommision: secara sengaja menyebabkan kematian dengan tidak memberikan kebutuhan yang mendasar yaitu makanan dan air.

      3) Menurut Gaudium et Spes 27, (Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, Vatikan II), maka Gereja menentang segala bentuk pembunuhan, termasuk di antaranya aborsi dan euthanasia. Hal ini dituliskan dengan jelas dalam Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith, Declaration on Euthanasia. Namun harus dibedakan bahwa tidak melanjutkan dengan artificial treatment yang sebenarnya sudah tidak berguna karena kegagalan organ utama yang irreversible, maka dijelaskan demikian, " …. Maka seseorang tidak dapat memaksa orang lain untuk melakukan teknik yang sudah dilakukan tapi yang menimbulkan resiko atau yang membebani. Penolakan ini tidak sama dengan bunuh diri, melainkan dapat dikatakan sebagai tindakan menerima kondisi manusiawi; atau keinginan untuk mencegah penerapan prosedur medis yang tidak sebanding dengan hasil yang dapat diharapakan, atau keinginan untuk tidak membebani keluarga/ komunitas dengan beban biaya yang besar. Maka jika kematian adalah sesuatu yang tak terhindarkan meskipun digunakan cara apapun juga, maka diijinkan jika suara hati mengambil keputusan untuk menolak bermacam treatment yang hanya akan menimbulkan kondisi genting dan beban perpanjangan hidup, asalkan penanganan normal diberikan kepada pasien sesuai dengan yang disyaratkan oleh pasien lain pada kasus serupa. Dalam situasi demikian, dokter tidak mempunyai alasan untuk menyalahkan diri sendiri karena merasa gagal menangani pasien yang dalam keadaan bahaya tersebut." Untuk selengkapnya tentang dokumen CDF ini silakan klik link ini

      Jadi dengan melihat definisi di atas, maka untuk kondisi pasien yang sesungguhnya sistem pernafasannya sudah gagal beroperasi dan sifatnya irreversible, maka jika tidak diberikan alat bantu pernafasan/ tidak dilanjutkan, itu bukan termasuk euthanasia. Demikian keterangan saya, semoga bermanfaat. 

      Salam dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

      • Di dalam dunia medis, kami (para dokter) menyatakan kematian berdasarkan 3 kriteria: (1) kematian batang otak; (2) kegagalan jantung; dan (3) kegagalan pernapasan. Ketiganya harus sudah terdapat untuk menyatakan seorang pasien telah meninggal dunia. Jadi, jika hanya salah satu atau dua dari tiga kriteria tersebut yang dipenuhi, maka pasien belum dapat dinyatakan meninggal.
        Jadi, kami sering menghadapi dilema seperti pada perawatan pasien stroke perdarahan yang setelah dioperasi (pemasangan shunt untuk menurunkan tekanan di dalam tengkorak) mengalami atrofi (pengisutan) otak sehingga kesadarannya tidak mungkin pulih kembali. Sementara itu, kondisi organ lain seperti jantung dan pernapasannya masih baik. Bahkan status gizinya pun tetap baik karena sistem pencernaannya masih mampu menyerap zat gizi dan metabolismenya berjalan dengan baik. Namun, karena pasien sudah tidak mungkin sadarkan diri (karena shunt yang dipasang pada kedua belah otaknya menimbulkan atrofi), maka perawatan pasien yang vegetatif ini sungguh memerlukan biaya tinggi. Jadi bagi keluarga yang ekonominya sedang-sedang saja, keadaan ini sungguh sangat memberatkan.
        By the way, apakah Bu Ingrid mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi di seputar kematian Paus Johanes Paulus II karena seorang pakar anestesi di Italia mengatakan bahwa sebenarnya Bapa Paus belum bisa dinyatakan meninggal. Akan tetapi karena tidak dilakukan ventilasi dan perawatan yang intensif dengan pertimbangan kerusakan otak yang sudah parah (akibat Parkinson?), maka Paus Johanes Paulus II dibiarkan meninggal?
        Akhirnya atas semua jawaban dan penjelasan yang Ibu berikan, saya ucapkan terima kasih. Tuhan memberkati.

        • Shalom Andry,
          Ya, memang ada seorang dokter, Dr. Lina Pavanelli, kepala Intensive Care Medical School di Italia yang mempunyai pendapat bahwa Paus Yohanes Paulus II meninggal karena infus makanan dimasukkan terlambat, hanya 3 hari sebelum beliau meninggal. Maka Dr. Pavanelli berkesimpulan itu adalah ‘mercy killing’/ euthanasia. Kesimpulan Dr. Pavanelli ini sepenuhnya disanggah oleh Fr. Thomas Williams, seorang Theolog di Roma yang dalam wawancara dengan CBS News berkata,

          "I think," he told Early Show co-anchor Harry Smith Wednesday, "it (failing to insert the feeding tube for so long) was a medical decision. It could have been a good one or bad one. But euthanasia, remember, is the intentional acceleration of the death of a person. And, I think, to allege that they intentionally accelerated Pope John Paul’s death is really farfetched. I don’t think anyone wanted that — not the pope himself, and not anyone who was close to him."

          "I have spoken with a number of doctors, both … in Italy and in the United States about this," Williams continued, "and there’s no consensus there. Dr. Pavanelli is definitely in the minority in saying the tube should have been inserted earlier. In fact, the tube is only put in when the patient is no longer able to ingest food and liquid by his or herself. And the pope was able to do that until shortly before his death."

          Williams observed that, "Everybody loves a conspiracy theory, especially when it relates to the Catholic Church. I remember back in 1978, when Pope Paul VI died, everyone started putting forth theories that he was poisoned or killed in some way. The same thing happened after the death of John Paul I, so I’m not really surprised."

          There’s been no official Vatican reaction to Pavanelli’s article yet and, "I don’t think there will be, unless the reaction to this reaches a critical mass where the Vatican feels that it’s obliged to make some sort of a statement," Williams says. "There has been an immediate statement by the pope’s personal doctor … who was there at the pope’s bedside up to the point of his death. He said these allegations are simply false."

          Perlu kita ketahui bahwa Dr. Pavanelli tidak termasuk tim dokter Paus Yohanes Paulus II, sehingga mungkin saja ia tidak mengetahui persis situasi yang terjadi pada saat itu.
          Fakta bahwa Paus Yohanes Paulus II yang walaupun sudah sangat lemah dan renta karena penyakit Parkinson, dan tetap mau terus mengemban tugasnya sebagai Paus, adalah suatu kenyataan tak terelakkan bahwa beliau tidak akan menyerah, apalagi setuju dengan euthanasia. Demikian juga orang-orang terdekatnya, termasuk para dokter pribadinya, pasti juga tidak menginginkan kematian beliau. Maka dengan demikian intensi pembunuhan (mengakhiri hidup) yang menjadi faktor penentu makna ‘euthanasia’ tidak ada dalam kasus kematian Bapa Paus Yohanes Paulus II.

          Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
          Ingrid Listiati

          • [quote] Fakta bahwa Paus Yohanes Paulus II yang walaupun sudah sangat lemah dan renta karena penyakit Parkinson, dan tetap mau terus mengemban tugasnya sebagai Paus [unquote]

            apa pernah Paus mengundurkan diri atas alasan kesehatan ? apakah ini dimungkinkan menurut hukum gereja ? gereja yang besar memerlukan pemimpin yang sehat secara fisik bukan ? after all dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Tubuh yang sakit tidak menjamin jiwa yang sehat

          • Shalom Skywalker,

            Terima kasih atas pertanyaannya. KHK (Kitab Hukum Kanonik), 332 § 2. mengatakan "Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun." Jadi mungkin saja seorang Paus mengundurkan diri. Namun dari sejarah kita belajar bahwa pada saat seorang Paus mengundurkan diri/ dipaksa mengundurkan diri, maka akan terjadi kekacauan yang tidak diinginkan. Kita dapat melihat ada beberapa Paus yang mengundurkan diri atau dipaksa mengundurkan diri, seperti: St. Pontian (di asingkan ke Sardinia sampai meninggal di sana), St. Silverius (dipaksa mengundurkan diri oleh ratu Byzantine, Theodora), Paus Martin I, dll. Namun, kalau kita melihat pengunduran diri maupun pemaksaan pengunduran diri terjadi pada waktu kondisi yang kacau.

            Jadi, alangkan lebih baik jika seorang Paus dapat meninggal secara normal, sehingga dapat dipilih penggantinya dengan baik. Untuk ini, kita hanya dapat berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan kepada Paus dan kalau tiba saatnya pergantian Paus, maka semua proses dapat berjalan dengan baik.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            stef – http://www.katolisitas.org

      • Dear Katolisitas,

        baru-baru ini saya menyaksikan sebuah film mengenai ‘euthanasia – docter assisted suicide’ berjudul “You Don’t Know Jack”. Film ini mengisahkan kehidupan seorang dokter bernama Jack Kervokian yang berjuang agar pasien-pasiennya yang sudah divonis ‘terminated ill’ berhak memutuskan untuk mengakhiri hidup sendiri. Dan ia menganggap ‘assistance’ yang ia berikan bagi pasien-pasiennya dalam mengakhiri hidup mereka adalah merupakan ‘service’ nya sebagai seorang dokter yang berdedikasi.

        Menyaksikan film ini sedikit banyak memberikan gambaran mengenai euthanasia. Di samping itu juga membangkitkan pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya. Di antaranya:

        1. Orang seperti Jack Kervokian, mungkin salah dan berdosa di mata Gereja Katolik yang menentang euthanasia apapun bentuknya (tidak voluntary, non-voluntary, involuntary, assisted suicide, by action ataupun by ommision).
        Dalam salah satu interview ia ditanya “Anda bermain-main sebagai Tuhan”, ia menjawab “Semua dokter yang berusaha menyembuhkan pasiennya melakukan hal itu. Mereka mengatakan tidak, tapi mereka melakukannya.”
        Jack Kervokian memiliki pendirian dan argumennya sendiri dalam hal ini, dan ia yakin dan sadar akan yang ia lakukan bahwa itu benar, dan ia memperjuangkannya.
        Apakah Jack Kervokian dapat disebut seorang penyesat?

        2. Seseorang dapat saja tidak menyetujui euthanasia berdasarkan ajaran agama (seperti saya, sejauh ini tidak menyetujui euthanasia, karena saya meyakini manusia harus tetap bertahan dan menyerahkan segala sesuatunya ke tangan Tuhan, di samping bahwa Vatikan juga menentangnya). Namun saya harus mengakui bahwa saya tidak pernah berada dalam situasi dan kondisi memiliki anggota keluarga yang menginginkan euthanasia, atau bahkan misalnya, saya sendiri berada dalam kondisi penyakit yang desperate sehingga menginginkan euthanasia atas diri saya sendiri. Setelah melihat film ini saya diberi kesempatan untuk melihat euthanasia dari sisi lain yang berbeda.
        Pertanyaannya: apakah kasus euthanasia sama sekali tidak mengenal semacam kompensasi seperti dalam kasus aborsi? Misalnya dalam situasi persalinan/kehamilan tertentu seorang bayi dalam kandungan digugurkan demi menyelamatkan nyawa sang Ibu? Atau dalam hal penggunaan kondom dalam pernyataan Paus Benediktus belakangan yang mengundang perdebatan, diperbolehkan untuk situasi tertentu.
        Mungkin tidak untuk masa ini , namun di masa datang, akankah Gereja mengubah ketetapannya?

        3. Harap tidak salah menangkap, hingga detik ini saya tetap tidak menyetujui euthanasia. Hanya saja apakah orang-orang tersebut (terminated ill ones) tidak berhak untuk mengambil keputusan mengakhiri hidup atas rasa sakit tak tertahankan yang harus mereka jalani? Salah satu pasien dalam film itu diceritakan saat ditanya apa yang ia inginkan sebagai hadiah Natal tahun itu, meminta satu janji temu dengan dokter Kervokian untuk mengakhiri hidupnya sebagai hadiah Natal (saking inginnya ia mengakhiri penderitaannya).

        Saya harap tim Katolisitas bersedia meluangkan waktu menyaksikan film “You Don’t Know Jack” sebelum menanggapi pertanyaan saya. Semata-mata agar persepsi yang sama dapat diperoleh karena pertanyaan-pertanyaan saya di atas adalah berdasarkan pengalaman menonton film tersebut.

        Terima kasih,
        Fenky

        • Shalom Fenky,

          Terima kasih atas pertanyaannya tentang euthanasia. Saya belum pernah melihat film “You don’t Know Jack“. Namun dari wawancaranya dengan CNN di sini (silakan klik), maka kita dapat melihat prinsip-prinsip yang dia pegang tentang euthanasia – yang dipandang sebagai manifestasi dari pekerjaannya sebagai dokter, yang memang harus membantu pasien dan melakukan apa yang diminta oleh pasien.

          1. Kalau kita menganalisa, euthanasia adalah perbuatan yang secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mengatakan bahwa suatu tindakan termasuk tindakan yang secara moral baik atau tidak, ada tiga hal yang perlu dilihat:

          a) Objek moral (moral object), yang merupakan objek fisik yang berupa tujuan yang terdekat (proximate end) dari sesuatu perbuatan tertentu (sifat dasar perbuatan) di dalam terang akal sehat.

          b) Keadaan (circumstances) yaitu keadaan di luar perbuatan tersebut, tetapi yang berhubungan erat dengan perbuatan tersebut, seperti kapan dilakukan, di mana, oleh siapa, berapa banyak, bagaimana dilakukannya, dan dengan bantuan apa.

          c) Maksud/tujuan (intention) yaitu tujuan yang lebih tinggi yang menjadi akhir dari perbuatan tersebut.

          Selanjutnya, St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa “Evil results from any single defect, but good from the complete cause,” (St. Thomas Aquinas, ST, II-I, q.18, a.4 quoting Dionysius, Div. Nom. IV) Artinya, jika satu saja dari ketiga hal itu tidak dipenuhi dengan baik/ sesuai dengan akal sehat, maka perbuatan dikatakan sebagai kejahatan; dan karenanya merupakan “dosa”, sedangkan perbuatan yang baik harus memenuhi syarat ketiga hal di atas.

          Dengan demikian apa yang dilakukan oleh Jack Kervokian tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral, karena walaupun intensinya baik – karena ingin membantu pasien – dan keadaannya terlihat terpaksa – karena pasien yang menuntut dan mungkin menghadapi sakit penyakit yang parah – namun moral obyek dari perbuatan tersebut adalah membunuh, yang melawan perintah Allah dan melawan hukum kodrat. Dengan demikian, apapun kondisi dan dramatis suatu situasi tidak dapat memberikan justifikasi terhadap perbuatan euthanasia. Untuk mengetahui prinsip-prinsip lebih jauh tentang hal ini, silakan melihat prinsip akibat ganda di sini – silakan klik.

          2. Sungguh tepat pernyataan bahwa dia bermain-main dengan Tuhan, yang tentu saja berbeda dengan dokter-dokter lain – walaupun dia mengatakan bahwa semua dokter sama saja. Perbedaanya adalah dokter yang baik berusaha membuat yang sakit menjadi sembuh, yang hampir mati dipulihkan, sedangkan dia membuat orang yang sehat atau sakit menjadi mati. Dokter adalah profesi yang harus pro-life, berpihak pada kehidupan. Dia belajar untuk menyembuhkan, mengurangi dan menormalkan yang sakit dan bukan mematikan yang hidup. Dia boleh saja berfikir dan yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah benar, namun hal tersebut tidaklah merubah kenyataan bahwa apa yang dilakukannya bertentangan dengan hukum kodrat – jangan membunuh, sehingga dia dijatuhi hukuman oleh pemerintah. Dengan demikian euthanasia bukan hanya bertentangan dengan hukum Allah, namun juga bertentangan dengan hukum kodrat. Dan dengan semakin canggih perkembangan pain management, maka sudah seharusnya dokter dapat mengaplikasikan teknologi ini untuk mengurangi rasa sakit pasien.

          3. Euthanasia untuk alasan apapun tidak dapat dibenarkan, karena dalam prinsip akibat ganda (double effect), maka secara prinsip, suatu perbuatan walaupun menghasilkan sesuatu yang baik tidak boleh dihasilkan dari perbuatan yang secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dan pernyataan tentang kondom oleh Paus Benediktus bukanlah seperti yang diberitakan oleh media sekular. Paus tidak pernah mengatakan bahwa kondom diperbolehkan dalam kondisi tertentu. Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dibaca di sini – silakan klik dan klik ini. Jadi, apakah Gereja merubah ketetapannya? Gereja tidak akan pernah mengubah dogma dan doktrin, karena kebenaran tidaklah berubah. Yang dapat diubah adalah cara pendekatan dan presentasi dari dogma tersebut, sehingga dapat menjadi lebih jelas dan dapat diterima oleh umat. Semoga keterangan ini dapat membantu.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – katolisitas.org

  18. Dear Ingrid,

    Saya melihat debat mengenai penggunaan kontrasepsi lebih mengenai natural vs medical/human intervention. Kalau secara moral, medical/human intervention tidak diperbolehkan dalam hal procreation, apakah medical/human intervention diperbolehkan dalam mengatasi penyakit? Apakah dengan adanya medical/human intervention dalam mengatasi penyakit (terutama terminal illness) berarti manusia menghalangi niat Tuhan untuk menyatukan manusia dengan Tuhan?

    Terima kasih atas penjelasannya.

    Salam,
    Dolphin

    • Shalom Dolphin,

      1) Humanae Vitae  14, menyebutkan, "Magisterium Gereja telah menyebutkan berkali-kali bahwa sterilisasi yang langsung/ disengaja itu tidak diperbolehkan, entah  sementara atau seterusnya, entah di pihak laki-laki atau wanita."

      2) Humanae Vitae 15 menyebutkan bahwa, "Gereja memperbolehkan penggunaan pengobatan medis (medical treatment) yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit, meskipun melalui pengobatan ini fungsi pro-creation dapat terhalang/gagal. Pengobatan ini diizinkan, walaupun kondisi infertilitas yang terganggu sudah dapat diperkirakan, asalkan kondisi infertilitas ini tidak dilakukan dengan sengaja, untuk alasan apapun juga."

      Atas dasar ini, maka Gereja melarang adanya human intervention dalam bentuk sterilisasi yang disengaja dalam bentuk apapun. Jadi untuk kasus terminal illness, penerapannya adalah demikian:

      1) Jika penyebab terminal illness tersebut memang secara langsung berhubungan dengan pro-creation, misal kanker rahim, maka langkah medis yang diambil misalnya hysterectomy (pengangkatan rahim)- diizinkan, karena maksud utama langkah pengobatan tersebut adalah untuk mengobati pasien, yang mempunyai efek tidak langsung pada infertilitas/ tidak dapat mempunyai anak.

      2) Namun sterilisasi yang mengakibatkan infertilitas (sehingga procreation tidak mungkin terjadi) tidak diizinkan dalam kasus apapun juga. Maka penyakit berat yang tidak berkaitan langsung dengan pro-creation, misal kanker hati, kanker ginjal, kanker payudara, dst- tidak menjadi alasan untuk sterilisasi.

      3) Yang diperbolehkan oleh Gereja dalam hal ini adalah melakukan metoda KB Alamiah (NFP/ Natural Family Planning) yang melibatkan pantang berkala, yaitu pada saat masa subur istri. Silakan melihat beberapa metoda NFP untuk menentukan masa subur istri (metoda sympto thermal, metoda mucus, dan metoda cervix).

      Demikian yang dapat saya jabarkan tentang sterilisasi/ human intervention dalam kaitannya dengan terminal illness. Harap dimengerti, bahwa KB Alamiah itu bukan merupakan hubungan kontraseptif, karena yang dikendalikan adalah menentukan saat melakukan hubungan dan bukan menghalangi tindakan hubungan suami istri tersebut.

      Pada akhirnya, memang harus diakui bahwa dalam kasus terminal illness ini memang pasangan memiliki dilema yang tidak sederhana. Namun perlu disadari juga bahwa hal hidup dan mati ada di tangan Tuhan, dan hal yang menjadi bagian kita manusia adalah berusaha sedapat mungkin untuk mengikuti kehendak dan perintah Tuhan selama kita masih hidup di dunia ini. Selanjutnya diperlukan iman dan kepasrahan kepada Tuhan. Semoga Ia berbelas kasihan dan membuka jalan bagi kita yang telah berjuang untuk menaati perintah-perintahNya.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati.

      • Dear Ingrid,

        Point saya bukan mengenai terminal illness yang berakibat terhadap sterilisasi. Saya berusaha mengerti inconsistency (secara umum) dalam penerapan principle natural vs human/medical intervention dalam kasus procreation dan death. Saya melihat bahwa human/medical intervention tidak diperbolehkan dalam procreation tetapi dibolehkan dalam kasus yang menyangkut death (kematian) – sehingga terlihat tidak konsisten – padahal dalam kedua event tersebut, terdapat maksud dan tujuan Tuhan.

        Terima kasih atas kesabaran dan penjelasannya.

        Salam.

        • Shalom Dolphin,
          Maaf ya, saya salah mengerti pertanyaan anda.
          Sekarang, inilah yang dapat saya tuliskan untuk pertanyaan anda tentang intervensi manusia untuk memperpanjang kehidupan:

          1) Pada prinsipnya, yang diajarkan Gereja Katolik, sesuai dengan ajaran Kristus adalah "Kabar Gembira tentang Kehidupan/ The Gospel of Life." Paus Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, Evangelium Vitae, 48 (The Gospel of Life) mengajarkan, "Hidup itu ditandai oleh kebenaran tak terhapuskan tentang hidup itu sendiri. Dengan menerima karunia Tuhan, manusia diwajibkan untuk mempertahankan kehidupan di dalam kebenaran tersebut yang esensial terhadap hidup itu sendiri." Maka Gereja menjunjung tinggi kehidupan, dan mendukung usaha manusia untuk sedapat mungkin mempertahankan kehidupan, sepanjang itu masuk akal. 

          2) Perlindungan terhadap kehidupan bukan saja untuk memenuhi perintah Tuhan, "Jangan membunuh" (Kel 20:13, Ul 5:17), namun harus dilihat bahwa seluruh hukum Allah adalah ditujukan untuk melindungi kehidupan, sebab itu untuk menyatakan kebenaran itu, dimana hidup memperoleh arti yang penuh (lihat Evangelium Vitae/ EV 48)

          3) Dalam perkembangan dunia kedokteran, maka ditemukan cara-cara untuk mengurangi rasa sakit, memperpanjang kehidupan bahkan sampai kondisi yang sangat lemah, atau untuk mempertahankan pasien secara artifisial pada saat organ-organ tubuhnya tidak berfungsi lagi, atau kemungkinan transplantasi organ. Pada konteks inilah maka terdapat kecenderungan mengadakan euthanasia, yang disebut sebagai untuk mengendalikan kematian danmembawa kematian sebelum waktunya atau "gently ending one’s own life or the life of others" (EV 64). Dalam hal ini maka Paus Yohanes II melanjutkan pengajaran Magisterium sebelumnya, dan dalam persatuan dengan para uskup Gereja Katolik menyatakan, bahwa euthanasia adalah pelanggaran yang berat terhadap hukum Tuhan, sebab itu merupakan pembunuhan dengan sengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral (EV 65).

          4) Namun dalam hal menangani kasus penyakit yang berat, harus dibedakan dengan euthanasia adalah kedua kondisi berikut ini:

          a) Keputusan untuk tidak melakukan "aggressive medical treatment" yang artinya prosedur medis yang tidak lagi sesuai dengan keadaan nyata pasien tersebut, entah karena treatment tersebut sejauh ini tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan, atau treatment itu menjatuhkan beban yangsangat berlebihan kepada sang pasien dan keluarganya. Maka dalam situasi ini, ketika kematian dilihat sebagai sesuatu yang tak terhindari, seseorang dapat dengan hati nurani memutuskan untuk menolak treatment yang hanya merupakan perpanjangan hidup yang membebani dan beresiko tinggi, asalkan tetap melanjutkan memberikan perawatan normal yang disyaratkan untuk merawat pasien tersebut -dengan melihat kasus pasien yang serupa (EV 65).
          Dalam penerapannya, maka misalnya, minimal saluran nafas, infus makanan, ataupun obat tertentu yang sifatnya mendasar untuk penyakit tersebut tidak boleh dilepas.Untuk hal yang terakhir ini memang diperlukan saran dari pihak medis.

          b) Jika kondisi sangat memaksa dan tidak ada jalan lain, maka diperbolehkan untuk memberikan obat painkillers (penghilang rasa sakit). Paus Piux XII menyatakanbahwa, "it is licit to relieve pain by narcotics, even when the results is decreased consciousness and shortening of life." Sebab pada kondisi ini, kematian tidak diinginkan/ sengaja dilakukan, melainkan untuk mengurangi kesakitan. Prinsip yang berlaku adalah, tidak dibenarkan untuk menghilangkan kesadaran seseorang yang dalam sakrat maut, jika tidak ada alasan yang sangat kuat, sebab mereka yang menghadapi kematian seharusnya diperbolehkan untuk menyelesaikan kewajiban moral dan keluarga, dan di atas semua itu, mereka seharusnya dapat mempersiapkan diri dengan kesadaran penuh untuk mengalami pertemuan mereka dengan Tuhan (EV 65).

          Semoga uraian di atas menjawab pertanyaan Dolphin. Prinsip utamanya, adalah seperti yang sering kita dengar dari Paus Yohanes Paulus II, sebab "Life begins at conception to the last moment at natural death." Oleh karena itu Gereja Katolik melindungi harkat martabat manusia sejak dalam kandungan sampai kematian yang normal. Dalam hal inilah terlihat konsistensi ajaran Gereja Katolik yang mendukung kehidupan.

          Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
          Ingrid Listiati

          • Dear Ingrid,

            Terima kasih atas kesabaran dan penjelasan anda. Kalau boleh, saya ingin sedikit melanjutkan diskusi ini.

            Saya sedikit bingung bahwa euthanasia tidak diperbolehkan tetapi memperpanjang hidup melalui life support machines ataupun organ transplant diperbolehkan – karena ini bertentangan dengan prinsip utama “the last moment at natural death” – life support machines ataupun organ transplant tentunya sudah bisa masuk kategori “memperpanjang natural death” atau “cheating with natural death”, yang secara prinsip sama dengan euthanasia – bedanya euthanasia shortens natural death while life support machines/organ transplant extends natural death – however, both circumvent and change the timing of natural death.

            Sekali lagi terima kasih atas segala penjelasannya. Web site ini sangat berguna bagi orang awam yang ingin memperdalam faith – kadang pastor sudah terlalu sibuk untuk melakukan diskusi seperti ini.

            Salam

          • Shalom Dolphin,
            Pertama-tama, harus dilihat dahulu bahwa konsep untuk mempertahankan hidup itu adalah sesuatu yang baik. Ini dapat kita lihat di dalam Kitab Suci dan ajaran Gereja yang mendukung kehidupan. Jika kita tidak melihat hal ini, maka dapat saja kita bersikap sangat ekstrim, misalnya jika kita sakit, tidak mau minum obat sama sekali. Nah dalam kondisi seperti infeksi, atau demam, misal saja demam berdarah,  jika dibiarkan berlarut-larut dapat saja menimbulkan kematian juga, bukan? Dalam hal ini Gereja menghargai ilmu kedokteran yang dapat menyumbangkan keahliannya untuk membantu mempertahankan kehidupan  dan mengembalikan kondisi kesehatan manusia. Jika kita berfokus pada kehidupan, maka kita dapat melihat bahwa upaya mempertahankan kehidupan adalah baik, namun jika fokus kita pada kematian, maka bisa terjadi pendapat yang distortif, sebab artinya kita menolak segala bentuk pengobatan sebab itu dilihat sebagai cara menghalangi kematian secara normal.
            Maka dengan prinsip yang sama kita melihat apa yang dapat dilakukan oleh ‘life supporting machine’ dan ‘organ transplant’. Sebab jika dilakukan dengan intensi yang baik, dengan cara yang dapat diterima secara moral, dan dengan kebijaksanaan (prudence), maka hal tersebut dapat membantu manusia ke arah kehidupan. Saya bukan dokter, sehingga saya memang tidak dapat memberikan kasus yang persis, namun sepanjang pengetahuan saya, life supporting machine untuk kasus tertentu juga dapat membantu, contohnya saja pada orang yang ‘koma’; karena kita ketahui bahwa tidak semua orang yang koma itu pasti meninggal, namun ada juga yang berhasil tertolong dan hidup kembali. Maka di sini alat tersebut dapat saja dipakai sebagai pertolongan terhadap pasien yang sakit, dan hendaknya kita juga melihat alat tersebut sebagai perpanjangan tangan Tuhan untuk memberikan pertolongan kepada orang yang sakit. Karena bagaimanapun juga, sebagai orang Katolik, kita percaya Tuhan dapat bekerja lewat para dokter, obat-obatan dan teknologi kedokteran. Namun ceritanya berbeda, jika dalam kondisi tertentu memang dapat ketahui bahwa pasien sesungguhnya sudah tidak tertolong (tanpa alat itu si pasien sebenarnya ‘meninggal’), hanya alat life supporting machine itu dapat dipasang demi seolah-olah ‘memperpanjang’ hidup. Untuk mengetahui perbedaan kondisi seperti ini dan kondisi yang masih mungkin dapat tertolong, memang kita memerlukan keahlian para dokter untuk memberikan pendapat mereka. Dan setelah masukan para dokter, juga diperlukan kebijaksanaan dari pihak keluarga, untuk memutuskan apakah akan dilakukan treatment yang demikian. Namun minimal yang menjadi kewajiban moral dari para petugas medis dan pihak keluarga adalah memastikan agar pasien tetap diberikan saluran makanan dan oksigen untuk kelangsungan hidupnya.
            Hal serupa juga kita lihat pada hal transplantasi organ. Jika dilakukan dengan intensi yang benar, dan cara yang benar secara moral, misal melalui donor, maka hal tersebut dapat merupakan hal yang baik juga. Bagi yang menerima transplantasi organ mendapat ‘perpanjangan’ hidup, dari pihak donor ‘kesempatan untuk melakukan perbuatan kasih’.

            Demikian yang dapat saya tuliskan mengenai pertanyaan Dolphin.

            Salam dari http://www.katolisitas.org
            Ingrid Listiati

          • Dear Ingrid,

            Terima kasih lagi atas waktu dan penjelasan lanjutan. Saya sangat menghargai dan berterima kasih atas penjelasan penjelasan dan kesediaan Ingrid dan Stef untuk membantu berbagai banyak umat awam untuk lebih mendalami agama Katolik.

            Saya setuju sekali dengan pendapat Ingrid. Namun apabila kita look into the future, saya masih sedikit terganggu dengan konsep bahwa human/medical intervention diperbolehkan dalam kasus terminal illness – karena to a certain extent, manusia melakukan campur tangan dan merubah apa yang di inginkan/ditakdirkan Tuhan. Apakah yang akan terjadi apabila, sebagai contoh, stem cell technology semakin berkembang dan stem cell dapat digunakan untuk menggantikan semua organ tubuh yang sudah tidak berfungsi lagi sehingga umur manusia menjadi semakin panjang? Even today, we can see an increasing use of stem cell in various medical fields. Sebagai contoh, stem cell digunakan untuk mengganti/memperbaiki sel jantung yang mati/rusak setelah seseorang mengalami serangan jantung. Stem cell juga sudah banyak digunakan untuk mengatasi kanker. Saya yakin, penggunaan stem cell ini akan menjadi semakin extensive, sehingga mungkin, akan ada saat nya dimana manusia tidak mengalami kematian.

            Maaf bahwa diskusi ini sedikit menyimpang dari topik awal yaitu Humanae Vitae. Tetapi medical/human intervention adalah two-edge sword yang dapat memperpanjang kehidupan tetapi juga memperpendek/menghilangkan kehidupan. Dan kalau kita percaya “Tuhan dapat bekerja lewat para dokter, obat-obatan dan teknologi kedokteran” – dan kalau prinsip ini hanya diaplikasikan untuk memperpanjang kehidupan (dan tidak untuk kasus procreation), pada suatu saat (a) kehidupan semakin panjang dan (b) populasi semakin tinggi – dimana kedua faktor ini akan menyebabkan berbagai macam implikasi sosial yang sangat berbahaya.

            Salam.

          • Shalom Dolphin,
            Tidak apa-apa bertanya, jika memang masih ada yang ‘mengganjal’. Semoga lewat diskusi ini diperoleh titik terang. Dari definisinya, stem cell adalah sel batang yang ‘indifferent’/belum ter-spesifikasi secara penuh, namun mempunyai kemampuan untuk diperbanyak membentuk sel tertentu di dalam tubuh manusia. Stem cell ini terdapat dalam tubuh manusia, saat ia masih berupa embryo, yang disebut embryonic stem cell dan jika pada usia tertentu sel-sel tersebut mulai terspesifikasi,  disebut sebagai adult stem cell. Jika diandaikan tanaman, maka embryonic  stem cell adalah bagian batang pangkal, sedangkan adult stem cell adalah ujung batang, tempat percabangan menjadi ranting-ranting.
            Nah, maka terdapat 2 jenis pengobatan stem cell:

            1) Pengobatan dari Embryonic stem cell, yang diperoleh dari ‘left-over’/ sisa embryo pada penelitian IVF (bayi tabung) yang umumnya dibekukan. Embronic stem cell diperoleh dengan mengambil sel yang terdapat dalam embryo itu, namun akibat dari pengambilan sel tersebut, embryo itu mati.

            2) Pengobatan dari Adult stem cell, yang diperoleh dari bagian-bagian tubuh manusia, misalnya dari bone marrow, sel darah di umbilical cord/ tali ari-ari dari bayi, sel kulit, dst.

            Mengenai stem cell research, Gereja Katolik telah mengeluarkan sikap resmi. Gereja menentang embryonic stem cell, sebab hal itu melibatkan pembunuhan janin, tetapi tidak menentang adult stem cell, karena tidak melibatkan pembunuhan. Gereja melihat bahwa adult stem-cell research seperti halnya hal donor/ transpantasi organ yang baik untuk membantu pengobatan. Selengkapnya, silakan klik di link ini

            Jika mau lebih lanjut membahas hal ini maka kita dapat melihat  prinsip Teologi Moral, yang diajarkan oleh St. Thomas Aquinas dalam Summa Theology, I-II, q. 18, a.4 yaitu bahwa, terdapat tiga hal yang menentukan moralitas suatu perbuatan:

            1) Objek moral (moral object), yang merupakan objek fisik yang berupa tujuan yang terdekat (proximate end) dari sesuatu perbuatan tertentu (sifat dasar perbuatan) di dalam terang akal sehat.

            2) Keadaan (circumstances) yaitu keadaan di luar perbuatan tersebut, tetapi yang berhubungan erat dengan perbuatan tersebut, seperti kapan dilakukan, di mana, oleh siapa, berapa banyak, bagaimana dilakukannya, dan dengan bantuan apa.

            3) Maksud/tujuan (intention) yaitu tujuan yang lebih tinggi yang menjadi akhir dari perbuatan tersebut. 

            Selanjutnya, St. Thomas Aquinas  mengajarkan bahwa "Evil results from any single defect, but good from the complete cause," Artinya, jika satu saja dari ketiga hal itu tidak dipenuhi dengan baik/ sesuai dengan akal sehat, maka perbuatan dikatakan sebagai kejahatan; dan karenanya merupakan ‘dosa’, sedangkan perbuatan yang baik harus memenuhi syarat ketiga hal di atas.
            Dasar ini dapat kita pakai untuk menilai semua perbuatan, apakah itu dapat dikatakan perbuatan baik/ bermoral atau tidak.

            Untuk kasus stem-cell, maka kita lihat:

            1) Pengobatan dengan Embrionic stem cell merupakan tindakan tidak bermoral, sebab walaupun objek moralnya adalah tindakan pengobatan, dan maksud tujuannya baik yaitu untuk mengobati demi kehidupan, tetapi keadaan/ circumstancesnya tidak dapat diterima, karena hal ‘bagaimana’ dilakukannya itu adalah dengan pembunuhan embryo/ janin. Dalam moral Theologi, tujuan tidak dapat menghalalkan segala cara/ "ends do not justify the means".

            2) Pengobatan dengan Adult stem cell merupakan tindakan bermoral, karena objek moral adalah tindakan pengobatan, maksud  dan tujuan untuk pengobatan demi kehidupan, dan caranya tidak bertentangan dengan moral.

            Nah, sekarang mengenai pertanyaan Dolphin, apakah dengan diperbolehkannya pengobatan stem-cell dapat mengakibatkan intervensi sehingga kematian secara normal terhindari (kasarnya, orang jadi hidup terus dan tidak mati-mati); maka kita sebaiknya menunggu dulu untuk memberi komentar. Karena teknologi ini memang masih baru, sehingga belum dapat diperoleh data yang pasti. Yang jelas, sepanjang ketiga hal prinsip moral tidak dilanggar (objek moral, keadaan dan tujuan), maka tindakan pengobatan tersebut tidak dilarang oleh Gereja.

            Memang secara umum di dunia umur manusia lebih panjang dibanding 1 generasi yang lalu, dan umur manusia di negara maju juga lebih panjang daripada di negara berkembang. Namun belum ada data yang pasti bahwa karena stem-cell maka orang dapat hidup nyaris selamanya. Karena untuk mengganti semua bagian tubuh tentunya bukan proses yang sederhana, dan sepanjang ini saya rasa belum ada contohnya. Orang yang paling tua menurut data Wikipedia adalah Jeanne Calment dari Perancis yang wafat tahun 1997 pada usia 122 tahun. Dari data, tidak dikatakan bahwa ia menerima pengobatan stem cell. Dan sejauh ini tidak dapat dikatakan bahwa tendensi umur manusia rata-rata dapat sepanjang itu (di dunia maju sekalipun), sebab sejalan dengan pengobatan yang semakin maju, berkembang juga jenis penyakit yang semakin ‘maju’/ aggresif dalam merusak kehidupan.

            Memang jika umur manusia yang ‘diperpanjang’ dengan teknologi kedokteran, tidak dibarengi dengan tingkat kelahiran, maka secara demografis, dapat dilihat perkembangan yang tidak sehat. Sebab hal itu berarti penduduknya lebih banyak terdiri dari orang jompo, dan sedikit orang muda/ anak-anak. Hal ini telah terjadi di Eropa, dan telah juga menarik perhatian Bapa Uskup kita, Benediktus XVI yang mengangkat topik ini dalam pidatonya: " The Spiritual Roots of Europe: Yesterday, Today and Tomorrow", pada bulan Mei 2004  (1 tahun sebelum beliau diangkat menjadi Bapa Paus). Intinya, Bapa Paus mengatakan bahwa bangsa Eropa yang maju sekarang sebenarnya berada di ambang kekosongan, karena kehancuran kekuatan spiritual, dan juga kemerosotan etnik secara keseluruhan. "Eropa telah terinfeksi dengan kekurangan hasrat terhadap masa depan. Anak-anak, harapan kita, dianggap sebagai ancaman terhadap masa kini, seolah-olah mereka mengambil sesuatu dari hidup kita. Anak-anak dianggap sebagai beban tanggung jawab daripada sumber harapan…."

            Maka sepantasnya kita mendengarkan apa yang dikatakan Bapa Paus dalam hal ini, yaitu untuk memandang anak-anak sebagai sumber pengharapan, dan bukan sebagai beban. Jika semua orang/ bangsa berpandangan seperti ini, maka tidak perlu ditakuti tentang perkembangan penduduk yang tidak seimbang. Kita bersyukur memiliki Gereja yang tanggap terhadap kemajuan teknologi, dan siap untuk memberikan petunjuk moral untuk menyikapi perkembangan di dunia ini. Dalam hal ini tentu, kita dapat mulai dari diri kita sendiri untuk lebih menghargai kehadiran anak-anak. Dalam skala lebih luas, maka para pemimpin negara bertanggung jawab untuk mengusahakan distribusi sumber daya alam kepada penduduknya, meningkatkan pendidikan, dst, dan untuk hal inilah kita juga melihat partisipasi nyata Gereja Katolik dalam usaha meningkatkan martabat kehidupan manusia di seluruh dunia.

            Mari, kita sebagai anggota Gereja menunjukkan sikap taat kita kepada pengajaran Magisterium Gereja dalam menyikapi perkembangan yang terjadi di dunia, sebab kita percaya mereka dituntun oleh Roh Kudus, seperti janji Yesus Kristus sendiri. Dengan iman bahwa Kristus berkarya melalui Gereja untuk memimpin umat-Nya sekarang dan selamanya, maka kita tidak perlu kuatir tentang apa yang terjadi di masa depan, sebab Ia akan membuka jalan sesuai kehendakNya, jika saatnya tiba.

            Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
            Ingrid Listiati

          • Shalom Dolphin,
            Kami rasa penjelasan Ibu Ingrid tentang pandangan Gereja untuk masalah stem cell adalah sudah tepat. Jika tidak kamipun tidak berani ambil sikap pada saat anak kami, Dede, harus menjalani Bone Marrow Transplantation (transplantasi sumsum tulang belakang). Pada waktu dokter menyatakan bahwa anak kami harus di transplantasi kami bertanya apa yang terjadi jika kami tidak melakukan transplantasi? “He will die!” Oh..! Dokter itu menjawab tanpa tedeng aling-aling, maklum orang luar negeri lain dengan kita orang Indo yang masih berbasa-basi atau ngomong tidak secara langsung.
            Kami sebagai orangtua merasa bertanggung-jawab terhadap anak kami sehingga kami akan melakukan apa saja asalkan dapat menyembuhkan anak kami karena Tuhan telah mempercayakan kepada kami anak itu! Meskipun kami harus pergi jauh untuk berobat dan tidak cukup biaya, namun kami terus berjuang dan kami tidak pikirkan hal itu, kami hanya percaya bahwa Tuhan akan menyertai dan menguatkan kami. Transplantasi itu bukan tidak ada efek sampingnya, justru sebaliknya dan banyak resiko yang harus dihadapi. Tuhan tidak akan melihat bahwa kami melakukan human intervention, tapi kami hanya melakukan tanggung jawab kami sebagai orangtua dan mempertahankan kehidupan adalah tanggung jawab kita semua karena Tuhan adalah sumber kehidupan. Jika semua usaha kita dianggap sebagai medical/human intervention, maka benar kata Ibu Ingrid bahwa kita bisa bersifat ekstrim sekali, jika kita sakit, tidak mau minum obat sama sekali. Nah, dalam hal ini Gerejapun selalu aktif dalam menanggapi masalah ini. Kemajuan dunia medis, terutama bidang biotehnologi / biomedical technology akan selalu berhadapan dengan masalah moral. Dan Gereja Katolik ada di barisan depan untuk tetap menjaga kemajuan itu tidak melewati ‘batas’ sehingga kita tetap ada di jalur yang benar. Dan untuk itu kita sepatutnya bersyukur!

          • Dear Ingrid dan Dede’s parents,

            Terima kasih sekali lagi atas penjelasan yang panjang lebar. Saya tidak menentang medical intervention dan sangat gembira dengan adanya medical breakthrough yang membantu kehidupan kita semua. Seperti Dede’s parents, I would do everything for my children.

            Pertanyaan pertanyaan ini berasal dari keinginan untuk mengerti implikasi sosial dari sikap Gereja Katolik terutama dalam perkembangan medical technology – dan tidak hanya mengenai stem cell.

            Anyway, diskusi ini bisa berkelanjutan dan tidak ada habisnya. Tetapi penjelasan Ingrid sangat sangat membantu untuk mendapatkan pengertian mengenai dasar atas sikap Gereja. Diskusi ini sangat berharga dan tidak bisa kita dapatkan dari sumber lain.

            Terima kasih sekali lagi untuk Ingrid atas kesabaran dan penjelasannya. Semoga studi anda & Stef berjalan lancar dan saya yakin apa yang anda lakukan (studi maupun melalui katolisitas.org) akan membawa banyak kebaikan untuk kita semua. Untuk Dede’s parents, saya berdoa dan berharap keadaan Dede semakin baik.

            Salam

  19. Dear Ingrid dan semua pembaca katolisitas..

    Saya ingin mensharingkan sedikit pengalaman dengan menggunakan KB alami…
    Walaupun usia pernikahan kami masih sangat sebentar (4 bulan), namun saya merasakan kebahagiaan yang besar karena saya dan suami memilih melaksanakan KB alami ini, dan tidak mau menggunakan alat2 KB artifisial.
    Hal ini bermula dengan keingin-tahuan kami untuk melakukan family planning yang diajarkan oleh gereja; maka sebelum menikah kami pun mempelajari ajaran Humane Vitae ini. Alasan yang paling mendasar bagi kami adalah, kami tidak ingin membuka celah karena ketidaktaatan dan keegoisan diri kami; sehingga kami menempatkan keluarga kami terhadap risiko2 penggunaan KB artifisial seperti yang telah dikemukakan dalam artikel ini.

    Selain perasaan sungguh dikasihi dan dipahami sebagai seorang istri; ada juga rasa kebahagiaan karena memilih untuk taat kepada ajaran Tuhan dan Gereja. Dan hal itu menimbulkan rasa iman bahwa Tuhan memelihara kami dan keluarga kami, perasaan bebas dari ketakutan dan rasa bersalah, sehingga ada damai di dalam hati.
    Memang benar bahwa KB alami ini menuntut pengendalian diri, usaha untuk saling mengerti, kedisiplinan diri, dan komunikasi; yang mana hal2 tersebut sangat bermanfaat bagi hubungan suami-istri, dan perkembangan diri sebagai umat Kristen.
    Saya berdoa, agar Tuhan senantiasa menguatkan kami; dan para pasutri yang lain, yang mau berusaha menyenangkan hatiNya, lewat penghormatan terhadap hubungan suami istri dan melaksanakan apa yang menjadi kehendakNya.
    Semoga sedikit sharing ini dapat menguatkan dan mendorong pasutri2 lain untuk mengambil keputusan melaksanakan KB alami.

    Salam…

    • Shalom Irma,
      Terima kasih atas sharingnya. Memang KB alamiah jika dilakukan dengan disposisi hati yang benar dapat meningkatkan saling pengertian, saling menghargai dan  saling mengasihi yang tulus antara suami dan istri. Semoga banyak dari yang membaca sharing Irma dapat terdorong untuk juga melaksanakan KB Alamiah. Tuhan Yesus sudah merencanakan pernikahan sebagai lambang kasih-Nya sendiri yang total kepada Gereja-Nya, maka marilah kita berjuang untuk melaksanakannya sesuai dengan kehendak Dia.
      Semoga Tuhan Yesus memberkati perkawinanmu selalu, dan jika saatnya datang, selamat menyambut kehadiran buah cinta kasih kalian.
      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

      • Dear Ingrid,

        Setahun yang lalu, pada saat saya menuliskan komentar di atas, usia perkawinan kami masih 4 bulan. Selama setahun sesudahnya kami mencoba melakukan KB alamiah dengan metode kalender dan pengamatan lendir (seperti pada artikel katolisitas yang membahas metode Creighton), dan selama setahun itu saya tidak hamil. Dengan kata lain, kombinasi kedua metode di atas itu berhasil dengan baik. Sejak September tahun lalu, kami pun mulai menghentikan pantang pada masa subur, dan kembali menggunakan kedua metode tersebut agar kami dapat memperoleh keturunan. Saat ini, saya sedang hamil memasuki bulan ketiga.

        Walaupun demikian, kehendak Tuhan tetaplah berada pada yang teratas. Selama melakukan KB alamiah tersebut, kami tetap memohon rahmat agar disposisi hati bahwa biarlah kehendak Tuhan yang terjadi tetap terjaga. Akhirnya, setelah berbagai peristiwa dan perenungan yang membuat saya benar-benar sadar akan arti anugerah anak dalam keluarga, Tuhan memberkati kami dengan kehamilan saya sekarang.

        Tujuan saya mensharingkan hal ini, semata-mata agar pembaca katolisitas tidak takut untuk taat pada ajaran Tuhan dan gereja, dan tidak takut untuk membiarkan kehendak Tuhan terjadi kepada keluarga kita. Bagaimanapun, Dia akan menjaga kita lebih baik dari kita sendiri, dan rancanganNya di luar batas kemampuan kita untuk memahaminya.

        Selamat tahun baru dan semoga Tuhan selalu memberikan rahmatNya kepada kita untuk lebih mengasihi Dia.

  20. Shalom Bapak Stefanus/Ibu Inggrid,

    Saya mempunyai seorg teman yg beragama katholik juga, dia sudah berkeluarga (suaminya beragama Budha dan mereka menikah di gereja katholik) dan sdh mempunyai 3 orang anak (7th, 5th dan 4 th). Saat ini teman saya sangat bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Masalahnya adalah saat dia melahirkan anak yg ke-3, kebetulan dia melahirkan secara caesar, dia melakukan sterilisasi (dengan persetujuan suaminya tentunya). Teman saya juga mengetahui kalau di agama Katholik kontrasepsi itu dilarang, kecuali kontrasepsi alamiah.
    Pertimbangan teman saya dan suaminya melakukan sterilisasi karena mereka takut mempunyai anak lagi. Mempertimbangkan juga daur menstruasi temen saya itu tidak lancar, jadi kalau mau konstrasepsi alamiah, sangat membingungkan. Mereka sudah mencoba melakukan secara alamiah tp kurang berhasil. Malah sdh membuahkan 3 orang anak dengan jarak yg cukup dekat. Karena kekhawatiran itulah maka keputusan melakukan sterilisasi dilakukan.
    selain itu, mereka sekeluarga sama2 bekerja untuk menghidupi keluarganya. saat ini mereka sangat bersyukur, krn bisa meninggalkan anak2 mereka (saat mereka bekerja) dengan tenang krn bantuan pengawasan dari adik teman saya itu.
    mereka mempertimbangkan juga biaya2 yg harus dikeluarkan jika mempunyai banyak anak. Anak2 mereka bersekolah di sekolah Katholik (karena mereka memang menginginkan anak2nya bersekolah di sekolah katholik, meskipun bukan sekolah katolik favorit juga) dengan biaya yg tidak murah juga buat ukuran mereka..
    Sebagai orang tua, mereka pernah menceritakan kepada saya, kalau mereka harus mengambil keputusan itu agar anak2 bisa mendapatkan yg terbaik yg dapat mereka berikan, tp sebagai gantinya mereka tidak mampu kalau harus mempunyai anak banyak…

    Setelah keputusan itu dibuat, dalam hati teman saya masih merasa bimbang, masih merasa berdosa karena telah melanggar (dgn sengaja, apapun alasannya) apa yg dilarang oleh Gereja Katholik.. dan sekarang teman saya tidak tahu lagi harus berbuat apa… setiap kali dia menceritakan kebimbangannya kepada saya, dia cuma berharap memohon belas kasih Tuhan utk mengampuni dosa yg telah diperbuat dan kalaupun dia harus menerima hukuman, dia rela… karena dia merasa berdosa sekali… asalkan bukan anak2nya yg harus dihukum..

    Saya mohon tanggapan dan saran dari Bapak Stefanus/Ibu Inggrid untuk kasus teman saya ini.. Saya ingin sekali membantunya.. harus bagaimanakah dia?
    Apakah perbuatan teman saya ini termasuk dosa besar? masih adakah pengampunan yg bisa dia lakukan? melalui pengakuan dosa misalnya? krn kalau dipikir melalui pikiran manusia, alasan dia melakukan itu dengan tujuan yg baik, agar anak2nya semua bisa mendapatkan yg terbaik.. tetapi tidak tahu bagaimana Gereja menanggapinya..

    -Vita-

    • Shalom Vita,
      Harus diakui bahwa pasangan yang melakukan sterilisasi dapat dikejar perasaan bersalah, karena hati nurani mereka tidak dapat mengelak untuk mengatakan kepada mereka bahwa sterilisasi adalah perbuatan dosa. Inilah yang dialami oleh teman Vita, dan mungkin juga oleh beberapa pasangan lain yang kita kenal. Menurut ajaran Gereja, seperti yang tertera dalam "Humanae Vitae" menyebutkan bahwa sterilisasi adalah tindakan yang salah/ evil, karena menolak fungsi pro-creation dari hubungan suami istri. Ini identik dengan menolak berkat fertilitas/ kesuburan yang diberikan oleh Tuhan kepada pasangan itu, untuk bekerjasama dengan-Nya mendatangkan kelahiran manusia yang baru di dunia.  Dengan demikian, manusia yang sebenarnya ‘diundang’ Tuhan untuk bekerja-sama dengan Tuhan, malah mengusir Tuhan yang mengundang mereka. Dengan bentuk berbeda, ini menyerupai sikap Adam dan Hawa, yang ingin menentukan sendiri apa yang baik dan buruk terhadap kehidupan mereka, dan bukan dengan menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan.
      Namun, jika sterilisasi sudah terlanjur dilakukan, maka bukan berarti bahwa sudah tidak ada harapan bagi pasangan untuk memulai suatu kehidupan baru yang sesuai dengan perintah Tuhan. Maka berikut ini saya sampaikan point-point seperti yang ditulis oleh Monsignor Charles M. Mangan dalam artikelnya, "Married Couples Who Intentionally Chose Sterilization For Contraceptive Purposes And Lasting Repentance" (silakan klik jika ingin membaca lebih lengkap). Monsingor menganjurkan pada pasangan yang sudah terlanjur memilih sterilisasi, untuk melakukan  langkah-langkah ini:

      1) Berdoalah dengan sungguh dan datanglah mengaku dosa pada Sakramen Pengakuan Dosa, dan katakan dosa ini di hadapan Pastor. Mohonlah belas kasihan Tuhan, dan percayalah bahwa belas kasihan-Nya lebih besar dari dosa anda, asalkan anda memiliki sikap batin yang sedemikian, "Ampunilah aku, Tuhan, atas dosaku. Aku mengakui bahwa aku telah berdosa terhadap Engkau dengan melakukan sterilisasi ini. Seandainya aku diberi kesempatan lagi, aku tidak akan melakukan hal yang sama."

      2) Selanjutnya, sebagai langkah konkrit atas pertobatan anda, diskusikanlah langkah yang harus diambil dengan pasangan anda. Monsingor Mangan mengutip Germain G. Grisez dan John Kippley, menjabarkan tiga alternatif sebagai bukti pertobatan yang sejati, yang dapat dipilih sesuai dengan kesepakatan dengan pasangan:

      a) Complete asbtinence (tidak melakukan hubungan seksual) sampai sang istri mengalami menopause. Alternatif ini dapat dianggap sebagai yang tidak mungkin dilakukan bagi banyak pasangan, namun tetap dapat dilakukan, jika baik suami dan istri setuju.

      b) A surgical reversal (dilakukan operasi balik), yang mengembalikan kembali fungsi organ reproduksi. Hal ini sudah mulai umum dilakukan di Amerika. Karena umumnya proses sterilisasi di sini dilakukan dengan dua cara: vasektomi di pihak pria ataupun ligasi saluran falopii di pihak wanita. Jika diinginkan, dan memungkinkan secara kedokteran, hal ini layak untuk dipertimbangkan

      c) Periodic abstinence from the marital privilege (melakukan KB Alamiah).  Pengetahuan mutakhir tentang fase subur dan tak subur memungkinkan pasangan yang telah bertobat untuk membatasi hubungan suami istri hanya pada saat sang istri tidak subur. (Untuk mengetahui masa subur dan tidak subur, dapat dilihat dengan metoda suhu tubuh, metoda mucus, jika siklus wanita berubah-ubah,  silakan klik di link ini: Interpreting the sign of fertility). Dengan demikian, mereka tidak mengambil keuntungan dari akibat dosa sterilisasi yang telah mereka perbuat. Tindakan pantang berkala ini sejalan niat mereka bahwa jika mereka diberi kesempatan kedua, maka mereka tidak akan memilih alangkah sterilisasi. Pantang berkala ini serupa dengan yang dilakukan oleh para pasangan yang melakukan metoda KB alamiah, jika mereka untuk alasan yang cukup dapat dipertanggungjawabkan, ingin membatasi jumlah kelahiran. 

      Alternatif ini dapat terlihat sebagai alternatif yang paling masuk akal, jika alternatif pertama dan kedua tidak dapat dilakukan. Dengan sikap ini, maka pasangan yang telah bertobat dapat membuktikan kasih mereka kepada Tuhan dengan mematuhi ajaran-Nya, dan mereka dapat membuktikan kasih mereka seorang kepada yang lain dengan pengorbanan dan pengendalian diri. Merekatetap dapat melakukan hubungan suami istri, namun dengan niatan yang total seperti seandainya mereka belum disteril. Sikap ini mengembalikan sikap hormat pasangan terhadap maksud Tuhan memberikan kepada mereka dimensi fertilitas pada organ tubuh mereka sebagai suami istri. Dan melalui hubungan yang demikian, suami dan istri dapat saling memberikan diri secara total, seperti yang diinginkan oleh Allah pada mulanya.  

      Demikianlah yang dapat saya tuliskan mengenai sterilisasi, dan apa yang apat dilakukan oleh pasangan yang  bertobat, jika sterilisasi sudah terlanjur dilakukan. Alternatif pertama dapat terlihat sangat ideal, namun mungkin tidak banyak pasangan yang dapat melakukan hal itu. Selanjutnya, jika memungkinkan secara ekonomi, alternatif kedua perlu dipertimbangkan, namun jika tidak dapat dilakukan, minimal dilakukan alternatif yang ketiga. Di atas semua itu, mari kita saling mendoakan agar kita sebagai pasangan suami istri Katolik dapat selalu membuka hati kepada ajaran Tuhan tentang keluhuran makna perkawinan, sehingga kita semua dapat menjalani kehidupan perkawinan sesuai dengan kehendak-Nya.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

      • Terima Kasih Ibu Inggrid utk penjelasan dan sarannya… Saya akan berusaha menyampaikan kepada teman saya bahwa masih ada jalan buat dia utk bertobat..

        -Vita-

  21. Salam Damai,
    Kami adalah pasangan muda dan baru saja memiliki buah hati berumur 4 bulan. Sejak awal memang kami ingin membentuk suatu keluarga katolik yang bahagia dan taat, tentu saja kami tidak melakukan family planning apapun.
    Namun sejak buah hati kami lahir, saya jadi “agak” kawatir kalo saja tiba2 istri saya mengandung lagi. Sebab terus terang kami belum siap untuk buah hati yang kedua.
    Saya sangat tertarik dengan metode Natural Family Planning yang disebut memiliki akurasi sampai 99% itu, dapatkah sdri Inggrid meringkas step by stepnya dalam bahasa indonesia mengingat keterbatasan bahasa inggeris saya. Dan sebagai informasi tambahan, sejak melahirkan sampai sekarang isteri saya belum mendapatkan menstruasi, jadi agak sulit bagi saya untuk menentukan masa subur dengan metode kalender.
    Mohon bimbingannya & salam
    Erwin

    • Shalom Erwin,
      Pertama-tama, selamat ya atas kelahiran buah hati anda dan istri! Tentu ia menjadi suka- cita tersendiri buat Erwin dan istri.
      Tentang informasi Natural Family Planning (KB Alamiah) tadinya memang saya mencoba menuliskannya dengan menerjemahkan link yang saya sertakan, yaitu NFP and more.org (silakan klik) yang disederhanakan/ disesuaikan. Tetapi setelah saya pelajari lebih lanjut, ternyata kok ya tidak sesederhana itu, dan dapat memakan waktu cukup lama untuk menerjemahkan/ menjelaskannya dalam bentuk artikel- artikel. Jika dijelaskan secara singkat, kelihatannya tidak terlalu berguna, karena sesungguhnya prinsipnya cukup umum diketahui, hanya penerapannya yang mungkin perlu dijelaskan lebih detail agar jelas, dan membawa hasil efektif. Dari informasi yang tertulis di link itu, sesungguhnya menurut saya sudah cukup jelas, dan dapat dimengerti, bahwa jika semua step dilaksanakan, maka tidak heran tingkat akurasinya 99%. Kebanyakan yang saya dengar, jika dikatakan KB Alamiahnya tidak berhasil, itu disebabkan karena penerapan 1 metoda saja, dan tidak di cross- check dengan metoda yang lain. Sedang jika 2 atau 3 metoda bersama-sama dilakukan dan dibuatkan tabel, dan juga beberapa ‘tips’/ rules yang penting diketahui, maka masa subur/ tidak subur istri dapat lebih akurat diketahui, dan dengan demikian meningkatkan efektivitas KB Alamiah tersebut. Metoda yang dimaksudkan di sini adalah metoda pemeriksaan suhu tubuh, metoda ‘mucus‘, dan metoda ‘cervix‘.
      Saya akan mencari dulu tenaga bantuan yang dapat menerjemahkan dan membuat tabel- tabel yang diperlukan untuk menjelaskan KB Alamiah itu, agar dapat lebih dimengerti. Jadi maaf ya, artikel/ jawaban tentang metoda KB Alamiah belum dapat kami tulis dalam waktu dekat.
      Sementara ini, saya usulkan, agar Erwin meng-copy dulu (itu ada dalam bentuk PDF) dan di-print, lalu mintalah bantuan pada teman yang menguasai bahasa Inggris, dan jika perlu dokter, sehingga dapat menjelaskannya kepada anda dan istri dengan lebih baik.
      Ada baiknya jika Erwin mencetak semua artikel dalam link tersebut, tetapi terutama yang lebih sesuai dengan keperluan Erwin, yaitu: Chapter 2- The Fertility Cycle and Charting,  Chapter 3 -Interpreting The Signs of Fertility, Chapter 4 – Rules you can use, Chapter 6- Ecological Breastfeeding.

      Demikian jawaban saya, mohon maaf jika saya tidak dapat menjawab sepenuhnya pertanyaan Erwin.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

  22. Salam Kasih Dalam Tuhan Yesus Kristus.
    1, Diluar Gereja Katolik ada keyakinan yang mengatakan bahwa janin / embrio manuasia itu oleh TUHAN baru diberi nyawa/roh setelah umur beberapa minggu (pasnya kami lupa), sehingga ada yang mengatakan apabila janin tersebut sebelum bernyawa digugurkan tidak berdosa dan bukan merupakan pembunuhan.
    2. Sekarang kelihatannya ada suatu tren yang menghendaki kelahiran anak dilahirkan bertepatan dengan hari-2 penting dan bersejarah. Contoh ada orang yang menginginkan anaknya lahir pas tgl. 17 Agustus, sehingga pas tanggal yang dikehendaki dilahirkan secara caesar/ operasi.
    Bagaimanakah pandangan/ajaran Gereja Katolik atas kedua hal diatas?.

    • Shalom Julius,

      1) Pertama-tama kita perlu mengetahui hakekat penciptaan. Penciptaan yang otentik selalu menghasilkan sesuatu yang baru, dari yang tadinya tidak ada, menjadi ada. Ini suatu kebenaran yang tidak usah dibuktikan. Nah, kebenaran objektif mengakui bahwa kehidupan manusia berawal dari konsepsi embrio, pada saat bersatunya sel sperma dan sel telur dalam rahim wanita. Pada saat pembuahan/ fertilisasi tersebut, terbentuklah satu sel baru (zygote) beserta dengan rangkaian genetiknya yang berbeda dari sel bapak maupun ibunya. Dalam surat ensikliknya Evangelium Vitae (The Gospel of Life), # 60, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, "Sejak saat sel telur dibuahi, sebuah kehidupan baru dimulai yang bukan merupakan kehidupan bapak maupun ibunya, melainkan kehidupan seorang mahluk baru dengan perkembangannya sendiri…. Ilmu genetika modern menegaskan hal ini. Telah dibuktikan bahwa sejak saat itu, terbentuklah program tentang semacam apakah nantinya kehidupan itu.” Kejadian ini disebut ‘human conception’/ fertilization, yang menjadi tanda awal dari kehidupan manusia. Sikap Gereja yang mengambil pernyataan objektif ilmu kedokteran, yang menyatakan bahwa kehidupan manusia berawal dari saat konsepsi/ fertilisasi dapat dibaca lebih lanjut di sini . Pada saat konsepsi inilah Tuhan ‘menganugerahkan’ sebuah jiwa pada sel zygote tersebut, yang kemudian berkembang menjadi manusia. Berdasarkan atas pengertian ini, maka, aborsi tidak pernah dibenarkan oleh Gereja Katolik.

      2) Sejauh ini saya tidak pernah menjumpai dokumen Gereja Katolik yang membahas mengenai pengaturan tanggal kelahiran dengan operasi Caesar. Namun jika kita kembali ke pengertian awal, bahwa penciptaan manusia terjadi pada masa konsepsi/fertilisasi dan bukan pada waktu kelahiran, maka dapat disimpulkan bahwa tanggal kelahiran bukan menjadi yang terutama bagi manusia, yang menentukan awal hidupnya, sehingga Gereja tidak mengeluarkan peraturan khusus mengenai hal ini. Lagipula, banyak kasus caesarean bertujuan untuk menyelamatkan ibu dan bayi karena alasan medis. Namun, perlu dicatat bahwa jika pemilihan hari melahirkan dihubungkan dengan semacam tahayul seperti memilih/ menghitung ‘hari baik’ dengan cara paranormal, maka hal itu sungguh keliru, dan termasuk dosa, yang bertentangan dengan perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah; sebab dengan bertindak demikian mereka menduakan Tuhan dengan mempercayai tuhan yang lain yaitu sang paranormal, yang dipandang lebih berkuasa menentukan daripada Tuhan.

      Semoga uraian di atas menjawab pertanyaan Julius.

      Salam kasih dari http://www. katolisitas.org
      Ingrid Listiati

Comments are closed.