Pendahuluan
Teman kuliah sekelas saya ada yang lulusan sekolah pendeta, sebelum menjadi seorang Katolik. Ketika saya bertanya apa yang membuatnya menjadi Katolik, dia menjawab, “…. many things, but I should say, first and foremost, is the Church teaching regarding Marriage” (Banyak hal, namun yang terutama, adalah ajaran Gereja tentang Perkawinan). Ia adalah satu dari banyak orang -termasuk di antaranya adalah Kimberly dan Scott Hahn- yang melihat kebenaran ajaran Gereja Katolik melalui pengajaran hal Perkawinan.
Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu ‘keras’ di dalam Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita melihat bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai persatuan antara suami dan istri, dan sebagai tanda perjanjian ilahi bahwa Ia menyertai umat-Nya.
Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci
Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu….” (Kej 1:28).
Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8). Allah menghendaki kesetiaan dalam perkawinan, sebab Ia membenci perceraian (lih. Mal 2:15,16).
Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera ‘menghasilkan’ Roh Kudus. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah, manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah itu.
Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.
Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai ‘kepala istri’ (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala.
Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi ‘satu daging’. Pemahaman arti Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.
Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan pengajaran Gereja.
Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai “perjamuan kawin Anak Domba” (Why 19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.
Makna Sakramen Perkawinan
Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup.[1] Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak. (KGK 1601) Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan ‘berbuah’.
Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia‘ satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang tak terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?” demikian juga, istri merenungkan, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?”
Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (‘immortal’). Sedangkan hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa yang kekal seperti manusia. Jadi peran serta manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.
Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (God’s maternity) dan pendidikan/ pengaturan (God’s paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.
Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut ‘kebahagiaan’, dan dalam ikatan kasih yang tulus dan total ini, masing-masing anggota keluarga menguduskan satu sama lain.
Jadi secara garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan untuk mempersatukan suami istri, menjadikan suami istri dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah, dan akhirnya dengan sakramen perkawinan ini suami dan istri dapat saling menguduskan, sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan sejati dalam Kerajaan Surga.
Syarat Perkawinan Katolik yang sah
Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah, baru kemudian kita melihat apa yang menjadi ciri-cirinya.
Syarat pertama Perkawinan Katolik yang sah adalah perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja.[2] Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan. (KGK 1626) Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar. (KGK 1628) Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu. (KGK 1631)
Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. (KGK 1632) Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.
Beberapa syarat penting di atas, terutama syarat pertama, mendasari pihak Gereja menentukan suatu sah atau tidaknya perkawinan. Lebih lanjut tentang sah atau tidaknya perkawinan, pembatalan perkawinan (‘annulment‘) dan mengenai perkawinan campur (antara pasangan yang berbeda agama) akan dibahas pada artikel yang terpisah.
Ciri-ciri Perkawinan Katolik
Sebagai penggambaran persatuan ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, Perkawinan Katolik mempunyai tiga ciri yang khas, yaitu (1) ikatan yang terus berlangsung seumur hidup, (2) ikatan monogami, yaitu satu suami, dan satu istri, dan (3) ikatan yang tidak terceraikan.[3] Sifat terakhir inilah yang menjadi ciri utama perkawinan Katolik. Di dalam ikatan Perkawinan ini, suami dan istri yang telah dibaptis menyatakan kesepakatan mereka, untuk saling memberi dan saling menerima, dan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan ini. Perjanjian suami istri ini digabungkan dengan perjanjian Allah dengan manusia, dan karena itu cinta kasih suami istri diangkat ke dalam cinta kasih Ilahi. (KGK 1639) Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan Allah ini. (KGK 1640)
Karena janji penyertaan Allah ini, dari ikatan perkawinan tercurahlah juga berkat-berkat Tuhan yang juga menjadi persyaratan perkawinan, yaitu berkat untuk menjadikan perkawinan tak terceraikan, berkat kesetiaan untuk saling memberikan diri seutuhnya, dan berkat keterbukaan terhadap kesuburan akan kelahiran keturunan.[4] Kristus-lah sumber rahmat dan berkat ini. Yesus sendiri, melalui sakramen Perkawinan, menyambut pasangan suami istri. Ia tinggal bersama-sama mereka untuk memberi kekuatan di saat-saat yang sulit, untuk memanggul salib, bangun setelah jatuh, saling mengasihi dan mengampuni.
Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang manusia, menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai pemersatu. Ini merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang tetap kepada manusia, dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini. Betapa kita sendiri menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan untuk saling setia di tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan pertolonganNya pada waktunya. Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan Dia?
Sakramen Perkawinan menurut para Bapa Gereja
Ajaran para Bapa Gereja mendasari pengajaran Gereja tentang Perkawinan. Sejak jaman Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan.
- The Shepherd of Hermas (80): Mengajarkan jika seorang suami mendapati istrinya berzinah, dan istrinya itu tidak bertobat, maka sang suami dapat berpisah dengan istrinya, namun suami itu tidak boleh menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia sendiri berzinah.”Lalu apakah yang dilakukan seorang suami, jika istrinya tetap dalam disposisi ini [perzinahan]? Biarlah ia [suaminya] menceraikan dia, dan biarlah suaminya tetap sendiri. Tetapi jika ia menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan yang lain, ia juga berbuat zinah.” (The Shepherd of Hermas, 4:1:6)
- St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[5] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
- St. Yustinus Martyr (151): “Yesus berkata begini: “Barangsiapa melihat dan menginginkan seorang wanita, ia telah berbuat zinah di dalam hatinya di hadapan Tuhan.” Dan, “Barangsiapa kawin dengan seseorang yang telah dicerikan suaminya, berbuat zinah.” Menurut Guru kita, seperti mereka yang berdosa karena perkawinan kedua…, demikianlah juga mereka berdosa karena melihat dengan nafsu kepada seorang wanita. Ia menentang bukan saja mereka yang telah berbuat zinah namun mereka yang ingin berbuat zinah; sebab bukan hanya perbuatan kita yang nyata bagi Tuhan tetapi bahkan pikiran kita (St. Justin Martyr, First Apology 15)
- St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[6] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
- Tertullianus (155-222) mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi.[7] “Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dimeteraikan dengan berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa?….” Pasangan itu mempunyai satu harapan, satu cara hidup, satu Mereka yang adalah anak-anak dari satu Bapa, dan satu Tuhan. Mereka tak terpisahkan dalam jiwa dan raga, sebab mereka menjadi satu daging dan satu roh.[8] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah.
- St. Klemens dari Aleksandria (150-216):
Mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[9] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).”Maka bahwa Kitab Suci menasihati perkawinan, dan tidak pernah mengizinkan lepasnya ikatan tersebut, telah nyata dalam hukum: ‘Kamu tidak dapat menceraikan istrimu, kecuali karena alasan zinah.’ Dan dianggap sebagai perzinahan, perkawinan dari sebuah pasangan, di mana pihak yang diceraikan oleh salah satu dari pasangan itu, masih hidup. ‘Barangsiapa menceraikan istrinya, berbuat zinah,’ …; sebab ‘barangsiapa menceraikan istrinya, ia… memaksa istrinya itu untuk melakukan perzinahan. Tidak saja ia [suaminya yang terdahulu] yang menceraikannya menjadi sebab dari hal ini, tetapi juga ia [pria yang kemudian mengawininya] yang mengambil wanita itu, dengan memberikan kepadanya kesempatan untuk berbuat dosa; sebab jika ia tidak mengambilnya, wanita itu akan kembali kepada suaminya.’ (St. Clement of Alexandria, The Stromata 2:23) - Athenagoras (133-190) dan Theophilus dari Antiokia(169-183), keduanya mengajarkan monogami, bahwa seseorang harus menikah hanya sekali, karena ini yang dikehendaki Allah yang pada awalnya telah menciptakan seorang pria dan seorang wanita, dan yang menciptakan persatuan daging dengan daging untuk membentuk bangsa umat manusia.[10]
- Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri bukan lagi dua melainkan ‘satu daging’. Pada mereka yang telah dipersatukan Allah terdapat ‘karunia’, sehingga Perkawinan menurut Sabda Tuhan adalah ‘karunia’, sama seperti kehidupan selibat adalah karunia.[11]“Seperti seorang wanita adalah pezinah, meskipun nampaknya ia menikah dengan seorang pria, sementara suaminya yang terdahulu masih hidup, maka pria itu yang sepertinya telah menikahi wanita yang telah bercerai itu, sesungguhnya tidak menikahinya, tetapi, menurut pernyataan Penyelamat kita, ia berbuat zinah dengan wanita itu.” (Origen, Commentaries on Matthew 14:24)
- Konsili Elvira (300):
“Demikianlah para wanita yang telah meninggalkan suami mereka tanpa sebab sebelumnya, dan telah menyatukan diri dengan orang lain, tidak dapat menerima Komuni saat wafatnya” (Kanon 8)….”Dengan demikian, seorang wanita yang beriman, yang telah meninggalkan suami yang telah berbuat zinah, dan menikah dengan orang lain, maka perkawinan wanita yang sedemikian dilarang. Jika toh ia telah menikah, ia tidak dapat menerima Komuni, kecuali jika suami yang telah ditinggalkannya telah meninggal dunia.” (Kanon 9). - St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, “Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia” (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia.[12]
- St. Ambrosius dari Milan (387- 389): “Tak seorangpun diizinkan untuk bersetubuh dengan seorang wanita, selain dengan istrinya sendiri. Hak perkawinan telah diberikan kepadamu untuk alasan ini; supaya kamu tidak jatuh ke dalam dosa dengan wanita asing. ‘Jika kamu terikat dengan seorang wanita, jangan bercerai; sebab kamu tidak diizinkan untuk menikah dengan orang lain, selagi istrimu masih hidup.” (St. Ambrosius, Abraham 1:7:59)”Dengarkanlah hukum Tuhan, yang bahkan mereka yang mengajarkannya harus juga mematuhinya: “Apa yang dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia” (Commentary on Luke 8:5)
- St. Hieronimus (396): “… Sepanjang suami masih hidup,… meskipun ia berzinah.. atau terikat kepada berbagai kejahatan, jika ia [sang istri] meninggalkannya karena perbuatan jahatnya, ia [suaminya itu] tetaplah adalah suaminya dan ia [sang istri] tidak dapat menikah dengan orang lain.” (St. Jerome, Letters 55:3).
- St. Paus Innocentius I (408): “Praktek ini dilakukan oleh semua: tentang seorang wanita, yang dianggap sebagai orang yang berbuat zinah jika ia menikah kedua kalinya sementara suaminya masih hidup, dan izin untuk melakukan penitensi tidak diberikan kepadanya sampai salah satu dari pria itu meninggal dunia.” (Pope Innocentius I, Letters 2:13:15).
- St. Agustinus (354-430), berkat Perkawinan adalah: keturunan, kesetiaan, ikatan sakramen. Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya, yang tidak dapat dihilangkan oleh perceraian atau zinah, maka harus dijaga oleh suami dan istri dengan sikap bahu-membahu dan dengan kemurnian.[13]“Seorang wanita tidak menjadi istri suami berikutnya, jika masih menjadi istri dari suami yang terdahulu. Ia tidak lagi menjadi istrinya, jika suaminya itu meninggal dunia, dan bukan jika ia [suaminya] berbuat zinah. Maka, seorang pasangan secara hukum boleh dilepaskan, pada kasus perzinahan, tetapi ikatan untuk tidak menikah lagi, tetap berlaku. Itulah mengapa, seorang laki-laki berbuat zinah, jika ia menikahi seorang wanita yang telah dilepaskan [oleh suaminya], justru karena alasan perzinahan ini.” (St. Augustine, Adulterous Marriages 2:4:4)”Tak diragukan lagi hakekat perkawinan adalah ikatan ini, sehingga ketika seorang laki-laki dan perempuan telah dipersatukan dalam perkawinan, mereka harus tetap tidak terpisahkan sepanjang hidup mereka, atau tidak boleh bagi salah satu pihak dipisahkan dari yang lain, kecuali karena alasan perzinahan. Sebab ini dilestarikan dalam kasus Kristus dan Gereja…, sehingga tidak ada perceraian, tidak ada perpisahan selamanya.” (St. Augustine, (Marriage and Concupiscence 1:10:11)
Kesimpulan
Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru. Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan ‘sakramen’, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia, sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. “Marriage takes three to make a go… and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a foretaste of the wedding feast of the Lamb!”
[1] Lihat The Roman Catechism (Catechism of Trent), Part 2, The Sacrament, Matrimony, The Definition of Matrimony.
[2] Lihat KGK 1625. Hukum kodrat atau ketetapan Gereja yang dapat menghalangi perkawinan misalnya adalah perkawinan antar saudara kandung, perkawinan anak-anak dibawah umur, ataupun perkawinan yang melibatkan satu atau keduanya masih terikat perkawinan yang sah dengan pasangan terdahulu.
[3] Lihat Catechism of Trent, Ibid., Marriage is Indissoluble by Divine Law, Unity of Marriage and Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1638, 1605, 1614, 1615, 1640, 1641, 1643, 1644, 1659
[4] Lihat Ibid., Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1641, 1642, 1644, 1646, 1648.
[5] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438
[6] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438
[7] Lihat Tertullian, To His Wife, Bk 2:7, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438
[8] Lihat Tertullian, ux 2,9, seperti dikutip KGK 1642.
[9] Lihat St. Clement of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.442.
[10] Lihat Athenagoras, A Plea for Christian, Ch. 33, St Theohilus of Antioch, To Autolycus, Bk 3:15, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.445.
[11] Lihat Origen, Commentary on Mathew, Bk 14, Chap 16, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.
[12] Lihat St. John Chrysostom, Homilies on St. Matthew, 62:1, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.
[13] Lihat St. Augustine, On Marriage and Concupiscence, Bk 1, Ch. II, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438
Selamat malam, bu Ingrid…
Saya telah menikah secara katolik, sepuluh tahun yang lalu
Saya ingin menikah lagi (mengikrarkan janji suci lagi, saling mengalungkan rosario lagi, saling tukar cincin lagi) dengan ISTRI YANG SAMA. Bolehkah ?
Terima kasih.
[Dari Katolisitas: Yang umumnya dilakukan adalah pembaharuan janji perkawinan, umumnya dapat dilakukan dalam Misa yang dikhususkan untuk keluarga (jika ada di paroki Anda) atau di acara tertentu khusus untuk keluarga/ pasangan suami istri. Namun jika tidak ada, yang dapat Anda lakukan adalah meminta kepada Romo paroki untuk mendoakan Anda dan pasangan Anda. Hal tukar cincin merupakan tindakan simbolis dalam Misa pemberkatan Perkawinan, yang tidak menjadi keharusan dalam liturgi namun yang kemudian diambil sebagai tradisi umum dalam pemberkatan perkawinan, untuk melambangkan kesetiaan kasih. Jika Anda ingin mengulanginya, silakan jika Anda mau melakukannya di rumah atau dalam doa Anda berdua.]
Shalom
Saya mau bertanya.
Saya lahir dari orang tua yang tidak menikah secara katolik. Dulu mama saya adalah seorang budha, sedangkan papa saya seorang katolik ‘KTP’ (meskipun katanya dulu tidak). Puji Tuhan mama saya telah menjadi katolik sekitar 13 tahun yang lalu.
Yang mau saya tanyakan. Yang saya tahu,jika seorang katolik belum menikah secara katolik/menerima sakramen pernikahan, ia telah melakukan dosa karena sama dengan perzinahan. Apa benar?
Dan seharusnya ada hukuman berupa tidak boleh mengikuti ekaristi hingga menerima sakramen pernikahan. Apa benar?
Lalu bagaimana dengan saya dan saudara saya? apa juga tidak boleh ikut Misa?
Mohon bantuannya
Terima kasih
Gbu
Tata Yth
Perkawinan orang tuamu otomatis menjadi sah dan sakramen jika mamamu menjadi Katolik dan papamu sudah Katolik sebelumnya meskipun menurut kamu KTP saja. Namun sudah pernah menerima Sakramen Baptis. Karena itu tidak perlu peneguhan perkawinan lagi, secara otomatis perkawinan yang dulu tidak sah menjadi sah, jika ingin dibarui disegarkan dapat dengan Misa pembaruan perkawinan secara Katolik. Benar bahwa perkawinan yang tidak sah dari orang Katolik tidak bisa menerima komuni karena perkawinannya belum sah kanonik. Jika sekarang sudah dibaptis tidak berlaku lagi hukuman itu. Anda bisa dibaptis dan komuni asalkan mengikuti pelajaran terlebih dahulu, Anda boleh Misa dengan saudaramu.
salam
Rm Wanta
Syalom bpk dan ibu di katolisitas. Sy mau mnt info tentang teks janji ulang tahun perkawinan. Adakah teks yg berisi doa dari anak buat orgtua dan sebaliknya ? Kami membutuhkannya, tq.Gb
Salam Florensia,
Ada dalam “Tata Perayaan Perkawinan”, KWI 2011, hlm 189 dst.
Rumusannya sebagai berikut:
PEMBAHARUAN KESEPAKATAN PERKAWINAN
Imam: Lewat janji setia yang pernah diucapkan di hadapan Tuhan, (sakramen) perkawinan telah mengikat Bapak dan Ibu dalam hubungan yang abadi. Kini pada perayaan ulang tahun perkawinan Anda, perbaharuilah janji setia satu sama lain itu. Berdoalah kepada Tuhan, agar janji Anda dikuatkan oleh rahmat ilahi.
Suami (bapak): Terpujilah Engkau Tuhan karena kemurahan-Mu, saya telah menerima (Nama) menjadi isteri saya.
Isteri (Ibu): Terpujilah Engkau Tuhan karena kemurahan-Mu, saya telah menerima (Nama) menjadi suami saya.
Bapak-Ibu Bersama-sama:
Terpujilah Engkau ya Tuhan, sebab Engkau setia menemani kami dalam saat suka dan duka. Kami mohon, bantulah kami agar mampu memelihara kesetiaan dalam cinta kasih satu sama lain, sehingga kami dapat menjadi saksi yang baik tentang perjanjian yang telah Engkau adakan dengan manusia.
Imam: Ya Tuhan, sudilah memberkati Bapak (Nama) dan Ibu (Nama) sepanjang hidup mereka. Hiburlah mereka ketika dalam kesusahan, dan dampingilah dalam kebahagiaan. Semoga engkau mencurahkan berkat berlimpah bagi keluarga ini. Dengan pengantaraan Kristus Tuhan kami.
Umat: Amin
PEMBERKATAN CINCIN
(Jika cincin lama):
Imam: Tuhan tambahkanlah dan sucikanlah + cinta kasih hamba-hambamu ini. Mereka telah saling menyerahkan cincin ini sebagai tanda kesetiaan cinta. Semoga mereka tetap maju dalam menghayati rahmat (sakramen) perkawinan. Dengan pengantaraan Kristus Tuhan kami.
U: Amin
(Jika cincin baru):
Imam: Tuhan, berkatilah + dan sucikanlah cinta kasih hamba-hamba-Mu ini. Semoga cincin-cincin ini menjadi tanda iman sejati mereka. Dengan pengantaraan Kristus Tuhan kami.
Umat: Amin.
Doa anak untuk orangtua bisa dilihat di Puji Syukur, Madah Bakti, Padupan Kencana, Adoro Te, atau menyusun sendiri.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Dear Katolisitas,
Saya ingin menanyakan beberapa hal.
Saya memiliki keponakan dari pihak suami yg menikah tetapi ibunya tidak merestui pernikahannya. Di saat pemberkatan pernikahannya, ibunya tidak hadir dan pada saat itu saya sebagai tantenya disuruh keluarga untuk menandatangani surat persetujuan atas nama ibunya. Apakah ini dibolehkan? Di surat itu tertulis nama ibunya tetapi saya yg menandatangani.
[Dari Katolisitas: SIlakan menggunakan ‘prudence’/ kebijaksanaan untuk menyikapi hal ini. Sudahkah Anda berdialog dengan ibu dari keponakan Anda itu, mengapa ia tidak merestui perkawinan itu? Jika Anda tahu alasannya, apakah masuk akal, atau tidak?
Menandatangani surat atas nama ibunya, tentu mengisyaratkan seolah ibunya setuju ataupun mengetahui hal yang dibicarakan dalam surat tersebut. Jika sebenarnya tidak, maka hal ini tentu merupakan ketidakjujuran, dan sesungguhnya adalah hak Anda untuk tidak melakukannya jika itu tidak sesuai dengan hati nurani Anda.]
Kedua, saya disuruh pihak keluarga untuk menggantikan posisi ibunya mendampingi ayahnya (kakak ipar saya) sementara suami saya juga hadir di situ. Dan ini terus berlanjut sampai acara resepsi. Saya merasa tidak terima karena seolah-olah saya dijadikan sebagai istri pengganti kakak ipar saya. Apakah ini pantas untuk dilakukan? Saya merasa ini salah dan begitu memalukan. Bagaimana kasus saya ini dilihat dari sudut pandang Katolik?
Saya harap tim Katolisitas dapat membantu saya.
[Dari Katolisitas: Nampaknya Anda sendiri sudah dapat melihat ada yang tidak pas di sini. Silakan membicarakannya dengan suami Anda, dan putuskanlah dengan bijaksana, apa yang Anda pandang layak dan wajar.]
Salam kasih di dalam Kristus.
Shalom,
Saya sedang mengalami masalah dengan perkawinan saya, istri saya menyatakan jatuh cinta lagi dengan mantan pacarnya (cinta pertamanya dulu). Memang awal mula dari masalah ini adalah saya yang kurang perhatian, sering bersikap kasar dan lain sebagainya yang sering kali menyakiti perasaan istri saya. Sering kali memang ketika timbul masalah, saya berjanji untuk berubah, namun saya selalu mengulang kembali kesalahan2 saya tersebut.
Sebelum saya mengetahui peristiwa di atas, pada saat saya berdoa pribadi, saya tersadar sendiri akan kesalahan saya selama ini dan akhirnya berkomitmen untuk memperbaiki semua kesalahan saya. Barulah kabar itu muncul dari mulut istri saya sendiri.
Saya sudah menyatakan kepadanya, saya tidak ingin berpisah dan saya ingin diberi kesempatan satu kali lagi dan ini untuk yang terakhir kalinya, saya ingin sungguh-sungguh bertobat dan memperbaiki sungguh2 semua kesalahan saya. Tapi dia menyatakan bahwa cintanya sudah tidak ada lagi untuk saya, namun sudah dia berikan kepada orang lain.
Saya sudah mengajak istri saya untuk berkonsultasi kepada Romo paroki di wilayah kami, dia bersedia. Namun sungguh saya sama sekali tidak punya niatan untuk bercerai / berpisah sedikit pun, ada begitu besar ketakutan dalam diri saya saat ini. Takut kehilangan (kami dikaruniai satu orang anak umur 5 tahun), saya takut kehilangan mereka semua.
Mohon pencerahan dan dukungan doa.
Terima kasih, Tuhan Yesus memberkati.
Shalom Maximus,
Penyesalan dan pertobatan Anda, baik di hadapan Tuhan maupun di hadapan istri Anda atas kelalaian Anda di masa lalu sungguh patut dihargai dan disyukuri serta terus dipertahankan. Demikian juga upaya Anda untuk mencoba mempertahankan perkawinan Anda adalah sangatlah baik. Namun tantangan yang dihadapi memang tidak mudah karena istri Anda menyatakan ingin berpisah dengan Anda untuk bersama orang lain. Tetapi ada banyak hal yang masih dapat Anda lakukan, terutama dengan mengandalkan pertolongan Tuhan. Semoga rahmat Tuhan yang selalu Anda mohon dalam doa-doa Anda menyirami hati istri Anda dan membuatnya merenungkan kembali keinginannya untuk berpisah serta mengurungkan niatnya itu. Janganlah jemu-jemu untuk berdoa dan memohon kekuatan dan pertolongan Allah.
Membaca cerita Anda, harapan bahwa di hati istri Anda masih ada niat untuk mempertahankan perkawinannya dengan Anda nampaknya masih ada, karena ia bersedia untuk bersama Anda berkonsultasi dengan romo paroki. Bagaimana hasil dari konsultasi tersebut? Bagaimana tanggapan istri Anda? Apakah memungkinkan untuk dibuat menjadi pertemuan rutin? Dan apakah ada langkah-langkah konkrit yang bisa dibuat bersama atau setidaknya dari pihak Anda untuk membantu istri Anda untuk dapat memutuskan pilihan yang benar? Mengenai niat pertobatan Anda untuk berubah dan tidak mengulangi kesalahan yang lama, sejauh mana Anda telah menyatakannya secara verbal maupun dalam bentuk tindakan konkrit? Kesungguhan untuk mengembalikan keharmonisan rumah tangga tentu juga untuk ditunjukkan lewat perbuatan nyata, dengan terus menunjukkan ketulusan cinta Anda kepadanya, sehingga ia dapat melihat dan merasakan bahwa pertobatan dan niat Anda untuk berubah bukan hanya berhenti pada kata-kata tetapi nyata dari sikap sehari-hari, demi membina relasi yang dilandasi saling menghormati, saling pengertian, dan semangat berkurban. Semoga kesempatan untuk itu masih terbuka lebar. Jangan ragu menunjukkan keromantisan dan semangat melayani kapanpun kesempatan itu ada. Hal itu juga dapat membantu menyembuhkan hatinya yang mungkin telah sempat ada luka karena sikap Anda di masa lalu. Suami istri memang dipanggil untuk saling menguduskan, dengan teladan kasih dan pengertian Anda kini, dibantu dengan doa-doa Anda yang tak kenal lelah, semoga hati istri Anda dilembutkan dan diubahkan Tuhan, agar ia kembali melihat dan merasakan cinta sejati yang harus dibina dan dipupuknya lagi bersama Anda dan bukan bersama orang lain yang manapun juga.
Jika memungkinkan, dan sambil dibawa dalam doa, ajaklah istri Anda berdoa bersama, lebih baik lagi dengan mengajak si kecil, anak Anda berdua. Atau bahkan cobalah mengajaknya mengikuti retret Tulang Rusuk atau weekend Marriage Encounter, semoga Tuhan membuka jalannya bagi Anda sehingga hal-hal itu dapat terwujud. Anda juga bisa mengajaknya memikirkan masa depan anak, (dengan lemah lembut baik secara langsung atau tidak langsung), yang tentu akan mengalami beban hidup yang berat dan kesedihan di usia yang begitu belia jika ayah dan ibunya berpisah.
Tetaplah berusaha dan berpengharapan dalam Tuhan, upaya dan doa Anda sangat bernilai bukan hanya untuk memulihkan perkawinan Anda dan menyelamatkan anak Anda tetapi juga membantu istri Anda untuk kembali ke jalan yang dikehendaki Tuhan yaitu kepada perkawinan yang setia dan tak terceraikan hingga maut memisahkan. Semoga sekedar sharing ini dapat berguna dan doa kami di Katolisitas turut mengiringi usaha Anda. Semoga Tuhan memberikan segenap berkat terbaiknya untuk keberhasilan Anda menyelamatkan perkawinan ini.
Salam kasih dan doa dalam Kristus Tuhan
Triastuti – katolisitas.org
Syalom Ibu,
saya ada permasalah. Saat ini saya dan partner saya sudah menjalin hub.selama 8 bulan dan kami merencanakan lanjut ke jenjang perkawinan secara Katolik. kebetulan partner saya ini sedang proses pengukuhan kembali krn sblm nya pernah menikah (cerai mati) di Protestan krn dulu di tolak oleh gereja Katolik. Namun ada kendala dari pihak keluarga saya mengenai hub kami ini. mulai dari alasan yg logis spt takut saya susah (krn partner sdh pny 3 anak) smp alasan berbau mistis (saya dituduh diguna2). bagaimana cara saya meyakinkan keluarga saya ini, krn berulang kali saya berusaha bicara baik2 dari hati ke hati, selalu berakhir dengan cuek2 an. Mereka pun menolak utk diketemukan dgn partner saya, sedangkan kami sudah menunjukan keseriusan kami…..mohon saran Ibu dalam hal ini. Terima kasih
Shalom Sally,
Ada beberapa istilah yang Anda tuliskan yang kurang kami pahami maksudnya. Apakah yang Anda maksudkan dengan proses pengukuhan kembali, apakah maksudnya pengukuhan menjadi Katolik? Dan apakah cerai mati artinya bercerai karena istri pasangan Anda telah meninggal? Lalu apa yang Anda maksud dengan ditolak oleh Gereja Katolik?
Mengenai kendala yang Anda hadapi dari keluarga saat ini, sangat baik dalam hal ini untuk memupuk kesabaran dan kerendahan hati di pihak Anda, untuk memahami sikap keluarga Anda yang tidak menunjukkan dukungan kepada rencana perkawinan Anda dengan pasangan Anda ini. Mungkin baik jika Anda menunjukkan sikap kepada keluarga, bahwa Anda ingin mengerti perasaan mereka, menghargai kekhawatiran mereka, karena kekhawatiran akan masa depan Anda adalah bentuk dari kasih dan kepedulian mereka kepada Anda. Kiranya dengan sikap rendah hati dan sabar ini, keluarga Anda perlahan-lahan dapat berdiskusi secara tenang, objektif, dan kepala dingin, mengenai rencana perkawinan Anda. Bila suasana sedang terasa tegang, ada baiknya juga untuk menahan diri sejenak, tidak terlalu memaksakan untuk bertanya dulu atau meminta untuk berbicara, karena diam sejenak seringkali baik untuk menciptakan ketenangan, untuk memberi kesempatan mengintrospeksi diri masing-masing, dan membuat keputusan yang baik. Pakailah saat-saat tenang itu untuk banyak berdoa kepada Tuhan, mohon bimbingan-Nya untuk bisa berkomunikasi dengan baik dengan keluarga dan menyiapkan masa depan Anda bersama pasangan Anda.
Jika suasana tenang sudah dialami, adalah baik juga jika Anda bisa menjembatani kekhawatiran keluarga dengan memberikan kesan yang baik kepada keluarga bahwa Anda dan pasangan akan baik-baik menghadapi masa depan berdua, sekalipun ia sudah pernah menikah dan mempunyai tiga orang anak. Kesan itu tidak selalu harus lewat kata-kata, namun lebih efektif lewat perbuatan nyata, dan untuk ini ajaklah pasangan Anda untuk mulai mencoba berinisiatif menyapa keluarga Anda, dan perlahan-lahan menjalin hubungan yang baik dan menyenangkan, mungkin sesekali bisa menawarkan bantuan atau memberi perhatian secukupnya serta menunjukkan sikap untuk mau diajak berdiskusi atau mengklarifikasi segala sesuatu. Sikap yang baik, ramah, terbuka dan perhatian kepada keluarga bisa memberi kesan kepada keluarga bahwa pasangan Anda terbuka dan bertanggungjawab kepada masa depan berdua.
Jangan lupa selalu bawalah dalam doa-doa Anda pergumulan Anda ini, agar Tuhan campur tangan dan membimbing Anda dalam masa-masa yang tidak mudah ini. Oleh karena itu sebaiknya Anda memberikan waktu yang cukup bagi terjalinnya relasi dan saling pengertian yang baik dengan keluarga Anda, sebelum Anda membuat perencanaan yang lebih jauh untuk melangkah ke jenjang perkawinan, sambil memantapkan juga relasi Anda berdua dan lebih saling mengenal satu sama lain, karena usia relasi yang masih delapan bulan tergolong masih sangat singkat untuk bisa mengenal aspek luar dan dalam dari calon pasangan hidup. Jauh lebih baik perlahan-lahan tidak tergesa namun nantinya siap dan mantap di segala aspeknya. Semoga sharing ini dapat membantu dan kiranya Tuhan menyertai serta membuka hati Anda, pasangan Anda, serta keluarga Anda, di mana keterbukaan hati itu diperlukan. Berikut ini tambahan dari Ibu Ingrid Listiati:
Tambahan dari Ingrid Listiati:
Yang tidak kalah penting adalah mencoba menjalin hubungan kasih dengan ketiga anak pasangan Anda, khususnya jika hubungan Anda memang diharapkan untuk sampai berlanjut ke perkawinan. Jika istrinya memang sudah meninggal, ia memang dapat menikah lagi dan tidak menyalahi hukum Gereja. Sebab ketiga anak itu juga akan menjadi anak-anak Anda, dan diperlukan juga penyesuaian dari kedua belah pihak, baik dari sisi Anda sebagai ibu dan sisi anak-anak itu untuk dapat menerima pengganti ibu kandung mereka. Seringkali dalam proses menjalin relasi inilah dapat diketahui apakah pilihan untuk menikah dengan duda yang sudah mempunyai 3 anak itu merupakan pilihan yang memang sesuai dengan harapan dan kemampuan Anda atau tidak. Sebab kalau dalam masa pacaran hal ini tidak dicoba untuk dilakukan, dan baru tahu nanti setelah menikah, dapat terjadi hal-hal mengejutkan yang berpotensi mengganggu kelangsungan perkawinan. Ini tentu tidak diinginkan semua pihak. Dalam hal ini memang kekhawatiran keluarga Anda dapat dimengerti, sebab memang tidak mudah untuk mengurus dan mendidik anak-anak, apalagi langsung mendapat 3 orang anak sekaligus. Maka hal ini perlu diantisipasi, dan pihak keluarga perlu melihat dan diyakinkan, bahwa Anda memang sudah siap lahir batin untuk mengemban tugas panggilan kelak sebagai istri dan ibu bagi ketiga anak pasangan Anda ini, dan tidak akan membeda-bedakan kasih dengan kasih kepada anak kandung Anda sendiri kelak jika Tuhan memberikannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Triastuti & Ingrid Listiati- katolisitas.org
saya senang bisa membaca artikel ini tiap hari, ada 1 hal yg mengganjal hidup saya setelah diceraikan oleh istri krn selingkuh. saya kawin melalui pemberkatan di katedral jakarta. apakah dgn kawin lg akan menambah dosa? karena saya telah berjanji di atas alkitab utk “…hidup bersama hingga maut memisahkan kita”. saya tau apa yg telah disatukan Tuhan tdk dpt dipisahkan oleh manusia. mohon bantuan nasehat supaya saya bisa maju bersama Tuhan.
Shalom Vincentius Chou,
Pada dasarnya, Gereja Katolik sangat menjunjung tinggi ikatan perkawinan, dan karena itu mengajarkan bahwa perkawinan hanya boleh diadakan sekali seumur hidup. Maka, seorang Katolik yang sudah sah menikah menurut hukum Gereja Katolik, ia tak dapat menikah lagi, meskipun ia dan pasangannya sudah cerai secara sipil. Dasarnya adalah perkataan Yesus sendiri dalam Mat 19:5-6.
Ada kekecualian memang, jika ternyata perkawinan tersebut tidak sah sejak awal mula, maksudnya, tidak memenuhi syarat untuk disebut perkawinan menurut hukum Gereja Katolik. Secara umum, ada tiga hal yang menjadikan perkawinan itu tidak sah, dan tentang hal ini sudah pernah sekilas dibahas di sini, silakan klik. Jika Anda menemukan ada salah satu dari hal-hal halangan/ cacat tersebut terjadi, sebelum atau pada saat perkawinan, maka Anda dapat mengajukan surat permohonan pembatalan perkawinan kepada pihak Tribunal Keuskupan tempat perkawinan Anda diteguhkan atau di tempat di mana Anda sekarang tinggal. Hanya jika permohonan tersebut telah diluluskan oleh Tribunal, artinya perkawinan Anda yang terdahulu sudah diakui tidak sah oleh pihak Keuskupan, maka sesudah itu, Anda dapat menikah di Gereja Katolik, kali ini, secara sah. Sebaliknya, kalau tidak ada halangan/cacat menikah yang terjadi sebelum atau pada saat menikah, dan masalah perselingkuhan itu baru datang setelah menikah tanpa ada kaitannya dengan keadaan sebelum menikah, maka sejujurnya, Anda tidak mempunyai dasar untuk mengajukan surat pembatalan perkawinan, sebab perkawinan itu sudah sah.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya, ikatan perkawinan Anda dengan istri Anda itu tetap ada di hadapan Tuhan, dan tak bisa dibatalkan, meskipun Anda telah berpisah/ bercerai secara sipil. Dalam keadaan ini, jika Anda menikah lagi, maka Anda melakukan dosa/ pelanggaran yang berat, sebab Anda sudah tahu bahwa Anda tidak boleh melanggar janji perkawinan Anda di hadapan Tuhan, tetapi Anda tetap memilih untuk melanggarnya, yaitu: dengan menikah dengan orang lain, meskipun Anda masih terikat dengan istri Anda itu di hadapan Tuhan. Silakan membaca artikel di atas, tentang makna perkawinan Katolik, silakan klik.
Vincentius, memang keadaan Anda tidak mudah, namun tiada yang mustahil di hadapan Tuhan, jika Anda sungguh mau kembali ke jalan Tuhan dan mengandalkan Dia. Jika perkawinan Anda sudah sah, dan dengan demikian Anda tidak dapat menikah lagi, maka nampaknya ada dua pilihan yang dapat Anda lakukan, yang sesuai dengan ajaran iman kita. Yang pertama, adalah Anda mengusahkan rekonsiliasi dengan istri Anda itu, setelah terlebih dahulu Anda mengaku dosa dan menerima rahmat pengampunan Tuhan dalam sakramen Pengakuan Dosa. Dosa perselingkuhan umumnya menimbulkan luka batin yang sangat dalam, sehingga dibutuhkan langkah yang ekstra untuk memulihkannya. Memang akhirnya hanya Tuhan yang dapat menyembuhkan luka tersebut, namun di samping itu diperlukan keterlibatan pihak manusianya untuk mengusahakan rekonsiliasi agar pemulihan hubungan kasih dapat terjadi. Jika dirasa perlu libatkanlah bantuan dari pihak kerabat atau sahabat yang dekat dengan Anda berdua untuk mengusahakan proses rekonsiliasi ini. Semoga dengan bantuan rahmat Tuhan Anda dan istri dapat kembali rujuk dan membina kesatuan perkawinan dengan lebih baik.
Jika hal ini tidak mungkin untuk dilakukan saat ini, misalnya karena istri Anda sudah menikah lagi dengan orang lain, maka, diperlukan kelapangan hati dari pihak Anda untuk menghormati keputusannya. Namun Anda tetap tidak dapat menikah lagi dengan orang lain. Dalam keadaan sedemikian, asalkan Anda tetap menjaga kemurnian Anda, Anda tetap dapat menerima Komuni kudus dan ikut aktif dalam kegiatan gerejawi. Isilah hari-hari Anda dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, dan terus menimba kekuatan daripada-Nya. Persatukanlah pergumulan Anda ini dengan kurban Tuhan Yesus di kayu salib, dan sebagai silih atas segala kesalahan Anda di masa lalu, dan juga sebagai permohonan doa bagi pertobatan semua manusia, termasuk Anda, dan orang-orang yang Anda doakan.
Jalan Tuhan memang sering tidak mudah, namun jika dilakukan dengan penuh iman, harapan dan kasih kepada Tuhan, maka segala yang nampaknya sulit di mata manusia, akan dapat kita lakukan dengan lapang hati, bahkan dengan suka cita, karena mengetahui bahwa itulah yang dikehendaki oleh Tuhan bagi kita demi kebaikan dan keselamatan kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
sayalom katolisitas…
tampaknya kehidupan perkawinan orang katolik tak seindah sakramennya sendiri…..
kenyataannya,, tak ada pasangan katolik yang benar2 bisa rujuk kembali apalagi bila masing2 sudah menikah lagi dengan orang lain dan kebanyakan pernikahan kedua tidak lagi secara katolik….
pejelasan dan saran ibu ingrid hanya menghibur tapi, bahkan romo sendiri tak bisa memberi solusi…. (lha wong romonya saja tidak menikah, kok mau ngasih solusi…????)
lagi pula, untuk orang tua yang tidak mempermasalahkan agama anaknya, biasanya justru mendukung keputusan anaknya yang ingin bercerai dan menikah lagi tidak secara katolik…alias pindah agama…
kalau orang tuanya sendiri tidak bisa membujuk anaknya…apalagi orang lain???? di tempat saya, ada juga kasus seperti ini,, tetapi jangankan romo mau memberi solusi,, anggota gereja yang lain malah mengejek dan seolah mereka yang memiliki masalah seperti ini diasingkan dari kehidupan gereja… hasilnya?? murtadlah satu keluarga….
lalu dimanakah kebaikan yang diperoleh dari hal2 seperti ini??? saya ragu apakah ini adalah hal yang dikehendaki oleh Tuhan…. (Tuhan sendiri tak pernah menunjukan kuasanya dalam hal seperti ini… )….
Shalom Damay,
Seharusnya Sakramen Perkawinan memberikan rahmat yang berlimpah sehingga pasangan suami istri dapat menjalankan kehidupan perkawinan dengan baik. Namun, manusia yang diberi kehendak bebas juga sudah seharusnya menggunakan kehendak bebasnya untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuhan sebagai bukti kasih mereka kepada Tuhan. Namun, ada pasangan yang tidak memasuki kehidupan perkawinan tidak dengan sunguh-sungguh siap untuk menempuh kehidupan perkawinan seumur hidup. Dapat juga yang awalnya merasa siap, namun kemudian tidak tahan terhadap godaan-godaan yang muncul. Dengan demikian, ketidaksiapan ini dapat muncul sebelum memasuki perkawinan atau dalam perkawinan. Ada sebagian orang yang tidak melibatkan Gereja ketika mereka menghadapi permasalahan. Dan baru melibatkan Gereja ketika permasalahan sudah sedemikian genting, ketika mereka telah bercerai, dan sering kali Gereja dan pasangan tersebut dihadapkan pada situasi yang sungguh sulit.
Di satu sisi, Gereja mencoba mengerti bagaimana sulitnya kehidupan perkawinan, namun di satu sisi, Gereja justru menjalankan apa yang diperintahkan oleh Kristus bahwa apa yang telah disatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan oleh manusia. Gereja berpihak kepada pihak yang dirugikan, sehingga kalau memang ada hal-hal yang membuat perkawinan tidak sah, maka dapat saja perkawinan tersebut dianulir atau dibatalkan (catatan: bukan diceraikan). Namun, kalau tidak ada alasan kuat untuk anulasi, maka Gereja juga tidak dapat membatalkan perkawinan, karena prinsipnya perkawinan adalah sah sampai dibuktikan kebalikannya.
Nah, seringnya solusi yang diharapkan oleh pasangan yang bermasalah adalah Gereja memberikan restu tindakan perceraian ini, sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan perkawinan mereka dengan pasangan yang berbeda. Ini yang tidak dapat dilakukan oleh Gereja. Di dalam sejarah Gereja, kita melihat bahwa Paus Klemen VII menolak memberikan anulasi kepada Raja Hendri VIII, sehingga menyebabkan perpecahan Gereja. Namun, Gereja Katolik tidak dapat memberikan keputusan yang lain atau keputusan yang diinginkan oleh raja Hendri VIII, karena bertentangan dengan perintah Allah.
Dalam konteks kehidupan menggereja, maka pasangan yang mengalami masalah, sampai menikah kembali tanpa proses anulasi, memang menghadapi masalah yang sulit, karena mereka tidak dapat menerima sakramen-sakramen, termasuk Sakramen Ekaristi maupun Sakramen Tobat. Namun, bukan berarti Gereja menjauhi mereka, namun Gereja ingin merangkul mereka namun tanpa bertoleransi dengan kesalahan yang dibuat. Perlu dipikirkan agar keluarga-keluarga di paroki tetap dapat merangkul mereka, sehingga mereka tetap merasa dapat diterima. Tidak ada solusi instan yang bisa diberikan, kecuali memang membereskan perkawinan mereka.
Namun, bagi yang telah hidup terpisah, namun tidak menikah lagi, maka sebenarnya mereka tetap dapat menyambut sakramen-sakramen dalam Gereja.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
syalom katolisitas,,
terimakasih atas jawbannya…
dan, tidak mengubah pendapat saya bahwa memang gereja, tidak, TUHAN tidak mampu memberi solusi…
saya sendiri setuju dengan semua jawaban dari katolisitas, yang bagi saya seperti dokter yang memberi tips kesehatan tetapi tidak mampu mengobati ketika si pasien terlanjur sakit….
entahlah,,dari sekian banyak mujizat yang telah dibuat oleh Yesus, tak satupun yang dilakukan untuk kasus perceraian…tampaknya lebih mudah membangkitkan orang mati daripada mengusahakan rujuk bagi pasangan yang bercerai….
Shalom Damay,
Tuhan menyelamatkan manusia dengan melibatkan manusianya itu sendiri. Sebab karunia iman yang diberikan oleh Tuhan, juga melibatkan tanggapan dari manusianya itu sendiri. Iman itu harus dijaga oleh orang yang bersangkutan, harus diwujudkan dalam perbuatan kasih, dan dimurnikan selalu dengan pertobatan yang terus menerus, sampai ia dipanggil Tuhan.
Demikian juga dengan perkawinan. Agar bertahan, memang diperlukan rahmat Tuhan, tetapi juga harus diusahakan oleh pasangan yang bersangkutan. Kalau pasangan itu sendiri tidak mau, maka tidak ada yang dapat memberikan solusi atau memaksakan jalan keluar apapun kepada pasangan itu. Mengambil perumpamaan Anda: dokter memang memberikan tips kesehatan dan memberikan resep obat yang sesuai buat pasiennya. Namun pasien itu harus mau memakan obatnya dan kalau ada kebiasaan buruk yang harus dihindari, maka ia harus menghindarinya. Kalau pasiennya tidak mau bekerjasama, ya sepandai apapun dokternya, tidak akan dapat menyembuhkannya.
Anda mempertanyakan tentang mukjizat Yesus yang menyangkut hubungan suami istri? Itu ada pada mukjizat Yesus yang pertama, yaitu mukjizat di Kana. Perubahan air menjadi anggur dapat diinterpretasikan dengan secara alegoris bahwa hubungan yang tawar dapat diubah menjadi manis kembali oleh Tuhan Yesus. Di sana dikisahkan adanya peran Bunda Maria. Maka yang perlu ditanyakan dalam kasus yang Anda tanyakan adalah, sejauh mana pasangan tersebut meminta pertolongan kepada Tuhan sendiri, meminta dukungan doa syafaat dari Bunda Maria? Atau sejauh mana, selama kehidupan perkawinan mereka, mereka melibatkan Tuhan Yesus untuk menjaga kesatuan kasih di antara mereka? Dan sejauh mana mereka mau melakukan ajaran Tuhan Yesus agar mereka dapat tetap bersatu?
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Katolisitas
saya saat ini sdg menjalin hub serius dg se2org dn berencana utk menikah tp kami beda kota. Sy smg dn pasangan jogja. Sy browsing di internet klo sama2 katolik, ngurusnya di pihak perempuan. Klo ngurusnya dipihak laki2 bisa tdk? Krn dg berbagai alsn akn lbh mudah diurus di paroki psngan sy dn jg krn kami berencana menikah di jogja. Klo bs bgmn prosedurnya? Kmd klo sakramen perkawinan tanpa misa perkawinan bisa tdk? Mksdnya diberkati sj tanpa koor dll.
terima kasih
[pesan di bawah ini digabungkan karena masih dalam topik yang sama dari pembaca yang sama:]
Submitted on 2013/06/28 at 7:20 pm
Dear Katolisitas
saya skrg ini berpcrn dg sesama katolik dn merencnkn pernikahan, tp kami bingung krn kami beda kota, sy semarang dn psngn sy jogja. Mohon bantuannya. Kami berencana menikah di jogja.Kanoniknya dan kursus pernikahannya di paroki kami masing2 bisa enggak?
terima kasih
Maria yth
Penyelidikan kanonik dapat dilaksanakan di masing-masing paroki asal, lalu saat pernikahan diteguhkan di salah satu paroki, berkas dokumen itu dikirim ke tempat paroki di mana pasangan akan diteguhkan perkawinan mereka. Kalau mengurusnya di tempat laki-laki juga bisa, tidak ada aturan mesti di tempat perempuan, itu hanya tradisi. Misa perkawinan biasanya dengan perjamuan kudus Ekaristi sebagai puncak iman kita. Namun karena sesuatu hal bisa dengan ibadat saja. Sayang sekali kalau perkawinan sekali dalam hidup hanya ibadat tanpa koor. Nada dasar liturgi perkawinan adalah sukacita, kegembiraan, maka jangan sia-siakan peluang itu, sebaiknya dengan Misa dan koor.
salam
Rm Wanta
Shalom Bu, mungkin hanya ingin mengoreksi tulisan sedikit:
Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang (terpisahkan) seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari pasangan suami istri selalu merenungkan, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku (suamiku)?”.
kata dalam tanda kurung mungkin maksudnya (tak terpisahkan) kan bu ? biar enak dibaca sj hehe :D. trima kasih.
[Dari Katolisitas: Maksudnya, baik suami maupun istri, selayaknya sama- sama merenungkan, apakah saya sudah mengasihi pasangan saya. Jadi kalau dari sisi suami, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?” Sedangkan dari sisi istri, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?”]
Nama saya Anastasius Andeg Karisma. Saya mau minta pertimbangan sekaligus solusi atas masalah yang sedang saya hadapi. Saya sudah pacaran dengan seorang gadis selama hampir 7 tahun. Bulan desember kemarin rencananya kami menikah, semua sudah saya urus, baik surat2 di pemerintahan, kursus perkawinan di gereja juga sudah kami selesaikan,tapi surat baptis saya hilang, dan sudah diurus tapi tidak ketemu. Saya dibaptis waktu masih bayi,di Kalimantan Tengah,dan sekarang saya tinggal di Semarang. Hilangnya surat baptis (dan juga data2nya itu) kemudian menggagalkan pernikahan kami. Sebelumnya ada pertemuan keluarga, trus rencana pernikahan diundur 3-4 bulan kemudian smbil trus coba mengurus surat baptis saya. Tapi belum genap 1 bulan dari rencana semula (awal desember), yaitu di akhir desember,keluarga calon istri melarang saya berhubungan dengannya (calon istri saya) dan tidak akan pernah memberi restu pada kami apapun usaha yang saya lakukan, mereka juga mengintimidasi calon istri saya untuk tak lagi bertemu dengan saya.
Terus terang saya sempat ngedrop dan kecewa dengan gereja, karena data2 saya bisa hilang dan itu menyebabkan kami gagal nikah. Sekarang saya masih menjalin hubungan dengan cewek saya, meski akhirnya cewek saya sering dimarahi oleh keluarganya,tapi kami berdua sudah sepakat bahwa kami tetap akan menikah,tapi dengan hilangnya data2 saya di gereja tempat saya dibaptis dulu dan hilangnya restu dari orangtuanya,tentu harapan kami menjadi teramat berat. Kami masih berusaha mencari jalan keluarnya bersama, dan kami juga slalu berdoa bersama tiap tengah malam untuk minta petunjuk (bersama waktunya,tapi berbeda tempat,kami berdoa dari rumah masing2).
Bisakah kami minta pertimbangan dan (mungkin) solusi atas masalah kami ini, karena kami saling mencintai dan kami sudah merasa cocok satu sama lain. Mohon saran dan petunjuknya. Terima kasih. Berkah Dalem
Andeg yth
Pertama persoalan surat baptis bisa dilakukan dengan mencari di paroki buku induknya. Anda ingat kapan dibaptis dan oleh siapa, coba ke pastor paroki, dan meskipun masih bayi bisa ditanyakan orang tua anda.
Kedua persoalan relasi cinta anda berdua yang belum matang dan kuat direstui oleh kedua belah pihak. Perkawinan harus disiapkan, tidak terburu buru, tidak emosional, tetapi dengan kedewasaan cinta, karena itu ditunda juga ada hikmat supaya relasi anda sungguh matang dan dewasa, cinta yang sejati.
salam
Rm Wanta
[tambahan dari Katolisitas: ada baiknya Anda juga memeriksa batin dan memohon petunjukNya atau membicarakannya dengan keluarga kekasih Anda dalam semangat keterbukaan dalam kasih jika itu memungkinkan, adakah kiranya kemungkinan bahwa Anda telah melakukan sesuatu/ bersikap sesuatu yang tidak berkenan di hati keluarga kekasih Anda tersebut? Sehingga mereka menjadi mempunyai sikap untuk tidak merestui rencana pernikahan Anda berdua.]
hai hai… syalom..
eh, saya mau tanya nie..
1) apakah seseorang bisa menikah lagi, jika istrinya meninggal ?
2) apakah bisa dikatakan suci, jika sebelum pernikahan, seseorang itu telah “bersetubuh” atau onani untuk memuaskan napsu seks ?
apakah kegiatan seksual pada pernikahan “malam pertama” tidak bisa dikatakan suci lagi ?
maaf jika kata-kata ada yang kurang sopan..
[Dari Katolisitas: Ya, seseorang dapat menikah lagi jika istrinya telah meninggal dunia. Sehubungan dengan pertanyaan Anda selanjutnya, silakan Anda membaca kedua artikel ini, silakan klik di judul berikut:
Kemurnian di luar perkawinan
Kemurnian di dalam perkawinan
Tentang masturbasi, silakan klik]
saya seorang suami, keluarga katolik, sekarang saya digugat cerai istri saya melalui pengadilan negeri, istri saya merasa tidak bahagia hidup bersama dengan saya, dan berkata tidak pernah mencintai saya sejak awal menikah.
kami dikaruniai satu anak. apa yang harus saya lakukan?
Shalom Iwan,
Pada dasarnya, jika suatu sakramen perkawinan telah secara sah diberikan, maka tidak dapat dibatalkan. Dalam keadaan ini ikatan suami dan istri akan tetap ada sepanjang hidup. Namun adakalanya, dapat terjadi kasus-kasus tertentu, di mana perkawinan tersebut tidak sah sejak awal mula. Adanya ketiga hal yang membatalkan perkawinan, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Pada kondisi Anda, istri Anda menyatakan bahwa ia sudah sejak awal tidak mencintai Anda, namun apakah buktinya? Sebab jika seandainya Anda dan istri Anda mengajukan permohonan pembatalan perkawinan maka istri Anda tersebut harus dapat menyertakan bukti-bukti dan saksi-saksi akan pernyataannya tersebut, jika kelak kasus Anda diperiksa oleh pihak Tribunal Keuskupan. Pihak Tribunal nanti akan memeriksa, apakah bukti dan saksi tersebut sungguh mendukungnya. Sebab fakta bahwa ternyata Anda dan istri Anda mempunyai anak, maka nampaknya pernyataan istri Anda itu tidak terlalu mudah untuk dibuktikan.
Sementara ini, kalau saya masih dapat menyarankan, usahakan sedapat mungkin untuk rujuk kembali, terutama mengingat akan masa depan anak Anda. Silakan Anda memeriksa batin Anda akan apakah ada juga kesalahan Anda dalam hal ini, yang menyebabkan istri Anda menggugat cerai melalui pengadilan. Sebab umumnya dalam setiap masalah suami istri, selalu melibatkan kesalahan di kedua belah pihak. Silakan Anda memeriksa batin Anda dan mengaku dosalah dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Selanjutnya, usahakanlah dengan segala upaya yang mungkin untuk berkomunikasi dengan istri Anda, jika perlu ajaklah kerabat yang dapat menjadi penghubung, ataupun mohonlah bantuan Romo paroki/ Romo yang memberkati perkawinan Anda.
Semoga Roh Kudus membimbing Anda melalui saat-saat yang sulit ini.
Teriring doa dari kami di Katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Romo dan Team Katolisitas
ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan :
1. Jika ada sepasang suami istri yang sudah menikah secara adat / restoran sebelum mereka menjadi Katolik (sebelum mereka menjadi Katolik, mereka beragama Budha) , terus karena tertarik dengan Katolik dan merasa terpanggil maka mereka memutuskan untuk menjadi katekumen dan mereka dibaptis. Bagaimana dengan status perkawinan mereka yang terdahulu, apakah perkawinan mereka yg sebelumnya secara adat / restoran otomatis menjadi perkawinan yang sah menurut gereja Katolik? Apakah diperlukan semacam pembaharuan perkawinan dengan mengucapkan janji perkawinan secara Katolik di hadapan seorang imam? Apakah ada dasar2 hukum kanonik yang mengatakan sepasang suami istri hrs melakukan pembaharuan perkawinan di hadapan Romo / imam apabila mereka sblmnya menikah di luar gereja Katolik ?
2. Jika ada sepasang suami istri sebelumnya menikah secara KUA atau adat / restoran.. tetapi hanya suami yang tertarik utk menjadi Katolik, sdgnkan pasangannya ttp berpegang dgn agamanya.. nah suami ini dibaptis secara Katolik, apakah perkawinan mereka otomatis menjadi perkawinan yang sah menurut gereja Katolik? Apakah di perlukan semacam peneguhan perkawinan di hadapan Romo / imam ?
3. Ada kasus nyata seperti ini : ada sepasang suami istri (suami – Katolik, istri – islam) suaminya Katolik sejak bayi dan mereka menikah secara KUA.. seiring perjalanan waktu, istrinya tertarik dan merasa terpanggil menjadi Katolik.. akhirnya istrinya memutuskan untuk ikut katekumen dan pada saat 2 hari sebelum acara baptisan, baptisan istrinya dipending oleh Romo dikarenakan perkawinannya terdahulu tidak beres dan harus dibereskan terlebih dahulu, alesan yang Romo berikan bahwa seorang Katolik harus menikah secara Katolik tidak boleh di luar gereja Katolik.. apakah bener seperti itu? Bahwa jika seorang Katolik yang menikah secara Katolik terus pasangannya ingin menjadi Katolik, apakah perkawinan mereka yang terdahulu harus dibereskan dahulu ?
Dikarenakan pada saat menjelang baptisan, istrinya sudah hamil 9 bulan, akhirnya istri tersebut mengalah untuk tidak dibaptis padahal dia sudah ikut katekumen sekitar 1 1/2 thn dan mantap untuk dibaptis… setelah 40 hari kelahirannya, ditanyakan apakah masih mau untuk dibaptis, dia menjawab tidak tahu harus menanyakan terlebih dahulu dgn suaminya.. akhirnya sampai skrg suami nya memutuskan istrinya tdk usah dibaptis, terlanjur sakit hati dengan Romo tersebut.. Kejadian ini skitar 3 thn yg lalu.. bagaimana pendapat Romo mengenai hal ini??
Terima kasih sebelumnya..
Tuhan Memberkati
Shalom Win,
1. Jika sepasang suami dan istri dibaptis Katolik, maka, perkawinan mereka sebelumnya yang diberkati secara agama lain, secara otomatis telah menjadi sah dan sakramen. Pasangan itu sesungguhnya tidak perlu mengadakan pemberkatan ulang perkawinan. Sebab dikatakan dalam Kitab Hukum Kanonik bahwa perkawinan dua orang terbaptis otomatis telah diangkat oleh Kristus menjadi sakramen:
KHK 1055
§ 1 Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
§ 2 Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
2. Jika perkawinan diberkati menurut agama lain (pada saat diberkati baik suami maupun istri keduanya non-Katolik), lalu salah satu dari pasangan kemudian ingin menjadi Katolik (namun yang lainnya mau tetap pada agamanya), maka perlu diadakan Konvalidasi perkawinan, mengingat bahwa salah satu pihak yang dibaptis kini terikat oleh hukum Gereja (hukum kanonik). Untuk melakukan konvalidasi perkawinan, silakan menghubungi Romo Paroki.
KHK 1059 Perkawinan orang-orang katolik, meskipun hanya satu pihak yang katolik, diatur tidak hanya oleh hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.
KHK 1117 Tata peneguhan yang ditetapkan di atas harus ditepati, jika sekurang-kurangnya salah seorang dari mempelai telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan tidak meninggalkannya dengan suatu tindakan formal, dengan tetap berlaku ketentuan Kanon 1127 § 2.
3. Jika perkawinan antara seorang Katolik dan non-Katolik, namun diberkati secara non Katolik, ini adalah pelanggaran, karena seorang Katolik yang menikah, menurut ketentuan hukum Gereja, harusnya menikah secara Katolik (catatan: menikah secara Katolik tidak mengharuskan pasangannya yang non-Katolik untuk menjadi Katolik, walaupun tentu, jika keduanya Katolik, tentu menjadi lebih ideal). Mengapa orang Katolik yang menikah secara Katolik? Tentu ini analoginya adalah karena ia, melalui Baptisan telah menjadi anggota keluarga besar Gereja, maka sepantasnya ia mengikuti ketentuan yang berlaku di dalam keluarga besar tersebut; sama seperti setiap anggota keluarga kita juga mengikuti aturan yang berlaku dalam keluarga kita.
Nah, sebenarnya masalahnya tidak rumit untuk kasus yang Anda ceritakan. Bahwa suaminya yang Katolik dulu pernah meninggalkan iman Katoliknya (karena pemberkatan perkawinan di KUA mensyaratkannya untuk mengucapkan syahadat, dan dengan demikian ia menjadi muslim), maka secara fakta memang ada yang tidak sesuai dengan ketentuan di sini. Jika suaminya itu ingin kembali menjadi Katolik dan menerima Komuni Kudus, ia perlu mengaku dosa dalam Sakramen Tobat, dan kemudian membereskan perkawinannya (dengan mengadakan konvalidasi perkawinan). Jika ini sudah dilakukan, maka sesungguhnya perkawinan tersebut sah menurut Gereja, dan dalam keadaan ini tidak ada yang menghalangi sang istri untuk dibaptis menjadi Katolik.
Namun kenyataannya, pemberesan (konvalidasi) perkawinan belum diadakan sampai sesaat menjelang Baptisan istrinya. Keadaannya menjadi sulit, karena faktanya selama ini mereka hidup dalam perkawinan yang tidak sah menurut hukum Gereja; artinya di mata Tuhan dan Gereja mereka belum terikat secara sah sebagai suami istri, namun mereka telah hidup sebagai suami istri.
Pelanggaran dalam keabsahan perkawinan ini termasuk pelanggaran yang berat menurut Gereja Katolik, sebab Gereja Katolik sangat menjunjung tinggi kesakralan perkawinan dan bagaimana perkawinan Katolik itu harus menggambarkan sendiri kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Penggambaran ini menjadi kabur (atau bahkan hilang) karena diingkari, sebab sang suami yang seharusnya menggambarkan Kristus malah meninggalkan Kristus, sesuatu yang mungkin tidak terpikirkan olehnya pada saat memutuskan untuk menikah secara non- Katolik.
Nah, salah satu implikasi sakramen Baptis adalah penghapusan dosa/ pelanggaran, namun sebelum dosa dapat dihapuskan, diperlukan pertobatan dari orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, maka jika sang suami sungguh mendukung niat istri untuk dibaptis, maka sesungguhnya yang perlu dilakukannya adalah mengaku dosa dalam sakramen Tobat dan mengurus konvalidasi perkawinannya.
Dalam hal ini, memang diperlukan kerendahan hati dari pihak pasangan tersebut, untuk mengikuti teladan Kristus. Jika Kristus saja sudah berkurban sedemikian rupa untuk menebus dosa dan pelanggaran kita, mengapakah kita tidak mau berkurban untuk melakukan kehendak-Nya? Jika Anda adalah sahabat pasangan itu, maka tak ada salahnya Anda menganjurkan agar mereka mengampuni siapapun yang telah menyakiti hati mereka, sehubungan dengan tertundanya Baptisan sang istri tersebut. Ingatlah bahwa jika kita ingin memperoleh pengampunan dari Tuhan, maka kita juga harus mengampuni sesama.
Demikian masukan kami, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Pak Stef dan Bu Ingrid,
Saya merasa keberatan dengan salah satu kutipan ayat di Kitab Suci, yaitu pada injil Matius 19:5 “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging”. Saya merasa ayat ini kok rasanya salah ya. Saya merasa ayat ini untuk beberapa org tidak sesuai. Sampai sekarang kan masih banyak pasangan2 muda yang tinggal dengan org tua nya. Laki – laki tidak meninggalkan ayah dan ibunya walau mereka sudah menikah. Tolong bantu saya untuk memperjelas ayat ini pak stef dan bu ingrid, karena saya melihat ayat ini tidak sesuai dengan kenyataan. terima kasih.
Shalom Netta,
Ayat yang Anda tanyakan adalah Mat 19: 5, yang berbunyi:
“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.”
Nampaknya kata yang Anda permasalahkan di sini adalah kata meninggalkan, karena Anda melihat kenyataan bahwa ada banyak pasangan muda dewasa ini yang setelah menikah tetap tinggal dengan orang tuanya; artinya misalnya, laki-laki tidak meninggalkan ayah dan ibunya.
Untuk memahami hal ini, ada baiknya kita melihat kepada kata aslinya dalam bahasa Yunani, yaitu: καταλείπω
kataleípō. Kata kataleípō dapat diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘to leave behind, to forsake, leave, reserve‘. Dalam konteks Mat 19:5, memang artinya adalah bahwa dalam perkawinan, seorang laki- laki akan meninggalkan orang tuanya, untuk menjadi satu daging dengan istrinya. Maka hal persatuan dengan istrinya inilah yang membuat sang laki-laki itu meninggalkan (leave behind) orang tuanya. Dengan demikian ayat ini ada dalam kesatuan dengan ayat berikutnya, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6). Artinya, kini setelah menikah ia mempunyai komitmen dan tanggungjawab di hadapan Tuhan untuk mengasihi istrinya seperti mengasihi tubuhnya sendiri (Ef 5:28), dan membina rumah tangganya sendiri. ‘Menjadi satu daging’ ini berkaitan dengan salah satu tujuan perkawinan yaitu untuk melahirkan anak- anak sebagai buah kasih mereka. Komitmen macam ini tidak dipunyainya terhadap orangtuanya.
Dengan demikian, memang secara obyektif akan menjadi lebih mudah untuk melaksanakan komitmen ini jika anak tersebut tinggal terpisah dari orang tuanya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa dapat terjadi karena satu dan lain hal ini tidak dapat dilaksanakan. Ada keluarga- keluarga yang melakukan hal ini dan tidak mengalami kesulitan, namun sebaliknya, sering terdengar juga keadaan ini menjadi salah satu akar permasalahan dalam perselisihan dalam keluarga. Tidak dapat dipungkiri bahwa tinggal di rumah orang tua dapat menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh pasangan itu (dan orang tuanya tersebut), karena sang anak/ laki-laki tersebut sepertinya tidak dapat menjalankan perannya sebagai kepala keluarga, sebab di rumah itu yang menjadi kepala keluarga adalah ayahnya. Hal ini dapat menimbulkan pergesekan selanjutnya antara mertua dan menantu. Harus diakui, bahwa dapat terjadi bahwa orang tua dan pasangan muda ini mempunyai cara yang berbeda dalam menerapkan nilai-nilai dan aturan yang mereka pandang penting dalam rumah tangga mereka. Jika ini yang terjadi, memang ada baiknya dipertimbangkan jika pasangan itu dapat tinggal terpisah (tidak satu rumah) dengan orang tua mereka, walau tentu bukan berarti mengabaikan orang tua.
Maka walaupun ada keluarga- keluarga yang tidak menerapkan apa yang disebut dalam Mat 19:5, namun bukan berarti ayatnya yang salah. Tetap benar, bahwa karena sang anak memutuskan untuk bersatu dengan istrinya, maka ia ‘meninggalkan’ orang tuanya, karena sekarang ia mempunyai tanggungjawab sebagai kepala keluarganya sendiri. Tetap benar, bahwa seharusnya pasangan yang baru menikah tidak tinggal serumah dengan orang tuanya, demi menjalankan peran dan panggilannya yang baru ini, yaitu sebagai suami bagi istrinya dan ayah bagi anak- anak yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Bahwa ada pasangan yang tidak melakukan hal ini dengan tetap tinggal di rumah orang tua mereka, itu adalah keputusan mereka; namun tetap harus dicari penyelesaiannya agar selalu ada kerukunan dan cinta kasih dalam keluarga, di mana peran masing-masing (sebagai suami, ayah, dan sebagai istri, ibu) dapat dilaksanakan dengan baik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih bu Ingrid atas penjelasannya. Jujur memang dalam hati kecil saya, saya merasa khawatir akan nanti kehidupan rumah tangga saya yg nanti akan saya bentuk, akan seperti apa. Saya takut hubungan antara saya dengan calon mertua (yg akan segera jadi mertua) rusak karena ada pergesekan kecil dalam rumah tangga. Saya bingung bu, saya harus bersikap seperti apa nantinya? Walau memang calon mertua saya adalah org2 yg sangat takut akan Tuhan, dan mereka mengerti betul bahwa mereka tdk boleh mencampuri kehidupan rumah tangga saya nantinya. Saya bingung harus bersikap gimana nanti setelah menikah. Mohon masukannya bu. Terima kasih.
Shalom Netta,
Sesungguhnya Anda tak perlu risau. Silakan mendiskusikannya dengan calon suami Anda, dan sampaikan kekhawatiran Anda. Jika ia mengasihi Anda, maka ia akan turut mempertimbangkan keinginan Anda untuk kelak tinggal terpisah dari orang tuanya; atau kalau seandainya keadaan tidak memungkinkan, ia akan berusaha untuk tetap memperhatikan kepentingan Anda dan peran Anda sebagai istri yang perlu mendapat perhatian dan dukungan penuh darinya sebagai suami, walaupun Anda berdua tinggal bersama dengan orang tuanya. Jika ia sudah berjanji untuk memperhatikan hal ini, maka jika kelak terjadi semacam pergesekan, Anda dapat mengetahui bahwa suami Anda akan dapat memahami posisi Anda dan tidak menyudutkan Anda.
Di atas semua itu, silakan Anda mengajak suami Anda untuk berdoa bersama, agar hal ini dapat diputuskan bersama. Biar bagaimanapun, pilihan terbaik, jika memungkinkan, adalah tinggal terpisah dari orang tua bagi pasangan muda, karena memang hal itu lebih mencerminkan pelaksanaan Sabda Tuhan. Jika di waktu mendatang orang tua sakit dan membutuhkan pertolongan, itu adalah persoalan yang berbeda, sebab tentu anak mempunyai kewajiban untuk memperhatikan dan merawat orang tuanya, sehingga jika perlu maka anak membawa orang tua untuk tinggal bersamanya. Namun dalam keadaan normal, memang sebaiknya anak yang baru membentuk keluarga sebaiknya tinggal terpisah dulu dari orang tua, karena mereka sendiri sebagai pasangan muda akan melalui proses penyesuaian yang sering kali tidak mudah, maka jangan sampai kondisi penyesuaian ini menjadi lebih rumit dengan adanya masalah dengan mertua, terutama jika sang anak (suami) ini tidak dapat menjalankan perannya sebagai kepala keluarga, karena ia masih harus mengikuti segala ketentuan yang ditetapkan oleh orang tuanya.
Namun jangan bingung ataupun putus asa, Netta. Percayalah bahwa jika Anda melibatkan Tuhan dalam pergumulan Anda ini, maka Ia akan membantu Anda untuk menemukan jalan keluarnya. Teriring doa dari kami di Katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Amin , Bu Ingrid. Terima kasih sekali atas saran dan masukan Bu Ingrid :) saya akan selalu mencoba untuk melibatkan Tuhan dalam pergumulan saya. Tuhan memberkati ibu dan semua tim katolisitas :)
Berkah Dalem.. mau tanya, apakah bisa dilakukan pemberkatan perkawinan di Gereja Katolik? Akan tetapi dalam perkawinannya dulu dilaksanakan di KUA (krn beda agama), mohon penjelasannya. Terima kasih.. ^^
Agung yth
Perkawinan di KUA tidak sah bagi orang Katolik. Hukumnya wajib setiap orang Katolik menikah di Gereja Katolik di hadapan Imam Katolik. Kalau sudah di KUA lalu meminta pemberesan dengan pengesahan biasa tentu di Gereja Katolik dapat dilakukan.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Agung,
Pertama-tama yang perlu dilakukan oleh orang tersebut adalah mengaku dosa di dalam Sakramen Pengakuan dosa, karena telah menikah di luar Gereja Katolik, sehingga artinya ia tidak mengindahkan aturan Gereja Katolik tentang perkawinan umat Katolik. Juga ia perlu mengaku dosa, karena umumnya menikah di KUA juga melibatkan pengucapan syahadat, yang artinya orang itu rela meninggalkan iman Katoliknya untuk alasan perkawinan tersebut.
Jika hal ini sudah diakui dan ia menginginkan pemberesan/ pengesahan perkawinannya secara Katolik, maka silakan ia menghubungi Romo paroki untuk dapat melakukan pengesahan tersebut, yang dikenal dengan istilah Konvalidasi perkawinan. Masih ada hal-hal yang harus disepakati untuk dilakukan, yaitu perjanjian bahwa ia akan tetap Katolik dan juga akan berjuang sekuat tenaga untuk dapat membaptis dan mendidik anak- anak secara Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terimakasih sebelumnya…
◦°˚˚˚°◦G☺D♡BLΕ§§♡U◦°˚˚˚◦ always…
Saya ingin menanyakan masalah duda Ɣªήğ menikah secara Katolik,tp duda tsb sudah bercerai, dan isterinya sudah menikah lagi , tp tidak bs lg menikah secara Katolik di gereja, hanya menikah secara catatan sipil. Isteri tsb sekarang sudah bercerai lg dgn suami ke 2 nya.
Ɣªήğ ingin saya tanyakan, bagaimana status secara Katolik hubungan suami isteri dgn suami pertama, apakah mereka hrs bersama lg, krna mereka msh suami isteri secara Katolik tdk bs bercerai, atau suaminy Ɣªήğ pertama boleh menikah lg walaupun tidak bs menikah di gereja secara Katolik, karena isterinya sudah menikah duluan. Apakah mrka msh suami istri Ɣªήğ sah secara Katolik?
Dan suami Ɣªήğ pertama kl menikah lg statusnya berzinah atau tidak.
Krna ktnya isteri Ɣªήğ menikah duluan trmsuk berzinah dgn menikah dgn suami Ɣªήğ ke 2 nya.
Sedangkan suaminya Ɣªήğ pertama sudah tidak bs bersama lg dgn isteri pertamanya.
Dan suami pertamanya sudah menikah lg.
<3Thλñk<3Ÿðù<3 atas jwbannya.
Shalom Siska,
Perkawinan Katolik jika sudah sah diberikan, tidak dapat diceraikan. Maka Anda benar, bahwa jika sepasang suami istri telah menikah secara sah, maka ikatan itu akan tetap ada dan sah di hadapan Allah, meskipun salah satu atau kedua-duanya memutuskan untuk bercerai dan menikah lagi dengan orang lain. Tentang hal ini, Kitab Suci jelas mengatakan, “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.” (Mrk 10:11-12)
Tentang siapa yang menikah duluan (setelah mereka berpisah) tidak menjadi penting di sini, sebab intinya suami istri yang sudah sah perkawinannya tidak dapat menceraikan pasangannya lalu kawin dengan orang lain. Sedangkan interpretasi ayat Mat 19:9 , “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” menurut St. Clemens dari Alexandria (150-216), adalah bahwa Yesus mengajarkan melalui ayat ini bahwa zinah yang dimaksud di sini adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal. Keadaan perkawinan kedua inilah yang disebut ‘zinah’. (Lihat St. Clement of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.442.) Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu.
Silakan membaca Indah dan Dalamnya Makna Perkawinan Katolik di atas, silakan klik. Diperlukan keterbukaan pihak-pihak yang bersangkutan akan ajaran Tuhan ini, dan bukan kekerasan hati untuk mempertahankan pandangan sendiri akan makna perkawinan dalam hal ini. Kekecualian hanya diberikan jika dapat dibuktikan bahwa perkawinan yang pertama tersebut tidak sah, dan tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolsiitas.org
Siska yth
Menambahkan yang sudah dijelaskan Ibu Ingrid, prinsipnya adalah: perkawinan yang sah apalagi Katolik dengan Katolik lalu ada keturunan, disebut ratum et consumatum et sacramentum, tidak dapat diputus oleh kuasa manapun (bdk kan. 1057 #1). Lalu perkawinan itu tetap eksis meskipun terjadi perpisahan atau perceraian sipil dan perkawinan kedua beberapa kali. Selama tidak ada pernyataan dari Gereja bahwa perkawinan pertama batal, maka perkawinan pertama tetap eksis dan dihormati. Oleh karena itu, perkawinan kedua disebut sebagai konkubinat yang dilakukan secara publik, dan oleh Gereja hal itu dianggap sebagai hidup dalam dosa karena berzinah dengan pasangan yang tidak sah secara kanonik. Maka kalau demikian haruslah menjadi pelajaran bersama, agar tidak mudah berpisah-cerai-putus dan bubar perkawinan. Semua persoalan keluarga suami istri bisa diatasi asalkan ada niat dan usaha serta pengampunan jika ada kesalahan; dan berusaha untuk memperbaiki diri dan memilih jalan terbaik dengan tidak menyalahkan.
Salam
Rm Wanta
gampang untuk mengatakan dengan dogma2 antik, tapi sangat susah bagi yang menjalankan karena menyangkut hati dan perasaan dua pribadi manusia.
Salam
[dari Katolisitas: ajaran-ajaran yang diberikan Gereja semuanya dibuat demi kesejahteraan umat manusia seutuhnya sebagaimana dikehendaki oleh Allah Bapa di Surga yang sangat mengasihi manusia ciptaan-Nya. Ajaran dan dogma Gereja adalah salah satu wujud cinta sejati Allah untuk menunjukkan jalan yang benar kepada manusia agar meraih kebahagiaan lahir dan batin, dan semuanya itu memang juga memerlukan usaha dan pengorbanan dari manusia untuk bisa meraih kebahagiaan yang dicita-citakan Allah bagi kita, karena hidup memang adalah perjuangan]
Shalom,
Apakah perpecahan gereja bisa disangkutkan menyangkut Sakramen Perkawinan. Gereja adalah mempelai Kristus ya kalau tidak salah? dan Gereja yang “bercerai” dengan Gereja Katolik itu sebenarnya di mata Tuhan masih menikah dengan Katolik tetapi karena ketegaran hati kita manusia sehingga Tuhan mengijinkannya tetapi sejak semula tidaklah demikian. Saya mengutip dari Mat 19:8 dan agak mengubahnya sedikit.
Tetapi di mata Tuhan sebenarnya Gereja yang “bercerai” dengan GK adalah tetap umat GerejaNya tetapi tidak mendapat kasih yang sempurna (Kepenuhan Kebenaran & Ekaristi yang asli) dari Allah karena perceraiannya ini. Apakah bisa dikatakan begitu?
Tq
[dari katolisitas: Argumentasi yang sama kami berikan di artikel mengapa kita memilih Gereja Katolik di sini – silakan klik]
Shalom Richard,
Mari mengacu kepada dokumen Gereja Katolik yang menyebutkan tentang apa yang Anda tanyakan:
“…Tidak sedikit pula upacara-upacara agama kristen, yang diselenggarakan oleh saudara-saudari yang tercerai dari kita. Upacara-upacara itu dengan pelbagai cara dan menurut bermacam-ragam situasi masing-masing Gereja dan jemaat sudah jelas memang dapat menyalurkan hidup rahmat yang sesungguhnya, dan harus diakui dapat membuka pintu memasuki persekutuan keselamatan.
Oleh karena itu Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat yang terpisah, walaupun menurut pandangan kita diwarnai oleh kekurangan-kekurangan, sama sekali bukannya tidak berarti atau bernilai dalam misteri keselamatan. Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan, yang kekuatannya bersumber pada kepenuhan rahmat serta kebenaran sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja katolik.
Akan tetapi saudara-saudari yang tercerai dari kita, baik secara perorangan maupun sebagai Jemaat dan Gereja, tidak menikmati kesatuan, yang oleh Yesus Kristus hendak dikurniakan kepada mereka semua, yang telah dilahirkan-Nya kembali dan dihidupkan-Nya untuk menjadi satu tubuh, bagi kehidupan yang serba baru, menurut kesaksian Kitab suci dan tradisi Gereja yang terhormat. Sebab hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yang adalah ‘sarana umum untuk keselamatan’, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petruslah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh Kristus di dunia. Dalam tubuh itu harus disaturagakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk umat Allah. Selama berziarah di dunia, umat itu, meskipun dalam para anggotanya tetap tidak terluputkan dari dosa, berkembang dalam Kristus, dan secara halus dibimbing oleh Allah, menurut rencana-Nya yang penuh rahasia, sampai akhirnya penuh kegembiraan meraih seluruh kepenuhan kemuliaan kekal di kota Yerusalem sorgawi.” (Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Ekumenisme, Unitatis Redintegratio, 3).
Ya, memang Gereja adalah Mempelai Kristus, dan karena itu memang hanya ada satu, dan untuk kesatuan kita para murid-Nya-lah Kristus berdoa (Yoh 17:20-21).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
.
Dear Romo,
Setelah saya baca injil tentang perzinahan, saya menikah sebelumnya secara Katholik dan isteri saya berzinah menikah lagi dengan pria lain yang lebih ganteng n kaya tidak seperti saya.
Setelah 10 tahun kemudian saya menikah dan diberkati secara Kristen namun isteri saya Katholik, dan kami selalu berangkat ke Gereja Katholik karena isteri saya tidak mau beribadah di luar Katholik.
Kadang saya menangis atas semua kesalahan yang telah saya lakukan sebelumnya, dan sekarang dikarunia 2 anak yang ganteng dan pintar dan sekolah di Katholik dan suster maupun gurunya sangat memperhatikan putra saya di sekolah.
Suatu ketika saat melakukan Misa sekolah di Gereja Katholik, guru dan susternya memanggil anak saya silahkan komuni yang sudah dibaptis, putra saya bertanya pada Mamanya kenapa sih saya belum dibaptis dan isteri saya menyampaikan itu pada saya dan putra saya tidak bertanya pada saya dan anak saya sampai sekarang belum dibaptis secara Khatolik.
Saat di sekolah anak saya dipanggil oleh suster n guru kelas untuk dijadikan putra altar namun Suster minta surat baptis orang tuanya dan surat nikah Katholik asli, sedang kami tidak memiliki surat nikah Khatolik bagaimana caranya supaya putra saya dapat dibaptis secara Khatolik dan menjadi putra altar.
Saya pusing memikirkannya permasalahan ini, dan sampai saat ini saya belum bicara dengan putra saya atas permasalahan ini.
Mohon Romo menjawabnya, supaya dapat saya mengambil langkah terbaik buat putra saya, atas perhatiannya terima kasih.
Salam,
R. Egidius
Sdr. Egidius,
Salah satu syarat untuk membaptis anak-anak adalah orangtua memberi jaminan bahwa anak yang akan dibaptis itu akan bertumbuh dalam iman Katolik. Jadi suasana hidup iman dalam keluarga tentu sangat diharapkan untuk perkembangan iman sang anak. Permintaan surat perkawinan Katolik orangtua anak yang mau dibaptis kiranya untuk menjadi salah satu pertanda bahwa keluarga ini menghayati iman Katolik.
Berkaitan dengan persoalan yang anda hadapi, baik kalau anda datang ke pastor paroki supaya anda dapat berdiskusi dan mendapatkan penjelasan yang lebih terperinci dan disampaikan secara pastoral.
Tanggapan ini hanya sekedar merupakan jawaban awal dari persoalan anda, yang bisa diperjelas dengan perbincangan bersama pastor paroki. Semoga sedikit memberi pencerahan.
In amore Sacrae Familiae
Agung P. MSF
langsung saja
mau tanya mengapa dalam gereja Katolik disebut Sakramen Perkawinan bukan sakramen pernikahan? Mohon penjelasan!
Salam Andreas Alsandriata,
Bahasa apapun termasuk Bahasa Indonesia berkembang mengikuti peradaban. Mari kita lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) di http://kamusbahasaindonesia.org/
Di situ, arti “pernikahan” adalah: 1. Hal (perbuatan) nikah; 2. Upacara nikah, mis. “Dia akan menghadiri pernikahan saudaranya”. Sedangkan arti “perkawinan” adalah 1. Perihal urusan kawin’ 2. Pertemuan hewan jantan dan betina secara seksual.
Tentu saja para ahli liturgi akan memilih arti yang paling tepat. Ternyata pilihan jatuh pada istilah “perkawinan”. Tentu saja bukan hewan yang melangsungkan perkawinan, melainkan manusia.
Namun bisa ditarik perkiraan bahwa dalam kamus bahasa Indonesia, “pernikahan”, sepertinya mengacu kepada pengertian hanya “raja sehari” sedangkan “perkawinan” itu adalah selamanya dan disertai panggilan berhubungan seksual suami-isteri (yang maaf, oleh kamus tersebut hanya ditunjuk kepada pertemuan seksual hewan).
Tentu saja bahasa berkembang. Silahkan jika Anda berkeberatan, usulkan perubahan pada Komisi Liturgi KWI dan penerjemah Dokumen Gereja di DepDokPen KWI untuk penerjemahan dokumen berikutnya, tidak hanya kata perkawinan menjadi pernikahan, melainkan juga jika ada usulan lainnya, disertai argumennya.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto, Pr.
syalom,
saya ingin bertanya, tentang problem teman saya,
teman saya yang seorang Katolik ingin mengadakan Misa syukur di rumah untuk ultah orang tua yang tidak Katolik, syukuran atas menikahnya anaknya (tetapi di gereja lain) apakah tidak diperbolehkan ?
mohon penjelasan..
terima kasih
Antony – GBU
Salam Antony,
Misa ujub khusus selalu boleh. Namun yang menyangkut hukum kanonik, dalam hal ini perkawinan anak tersebut di gereja non-Katolik, harus dicek, apakah ia sudah mendapatkan surat izin tertulis dari uskup atau imam yang didelegasi oleh uskup untuk menikah di gereja non-Katolik itu. Jika tidak, maka sebenarnya Misa tidak relevan, karena dia sendiri secara kanonik terhalang untuk menerima komuni.
Silahkan hubungi pastor paroki. Jika mau meminta imam selain imam paroki, maka imam itu wajib diberitahu mengenai posisi perkawinan anak itu secara hukum kanonik.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Selamat siang Pastor dan Pengasuh Katolisitas : ada yang mau saya tanyakan jika dalam melaksanakan Sakramen pernikahan , kemudian kedua mempelai diperbolehkan saling menyuapkan Hosti yang sudah di konsejkrasi apakah diperbolehkan ? jika boleh atau tidak , kenapa mohon penjelasan serta dokumen dokumen gereja nya .
terima kasih atas bantuannya
mohon email tidak dipublikasikan :)
Shalom Wellem,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang menerima Sakramen Ekaristi. Secara prinsip, pasangan tidak boleh saling menyuapkan hosti. Kita dapat melihatnya di Redemptionis Sacramentum, 94:
Jadi, dari dokumen di atas, sebenarnya dengan jelas dan tegas tidak diperbolehkan bagi kedua mempelai saling menerimakan komuni. Komuni secara prinsip hanya diberikan oleh klerus (uskup, imam tertahbis atau diakon tetap) maupun dalam kondisi khusus oleh prodiakon. Hal ini dikarenakan kehormatan (dignity) dari Tubuh dan Darah Kristus. Semoga keterangan ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Syalom..
Saya mau menanyakan:
1. Apakah dalam gereja Katholik mengakui adanya perjanjian pra-nikah?
2. Jikalau pernikahan dilakukan secara Katholik di mana salah satunya beragama Kristen, mengajukan perjanjian pra-nikah (pihak Kristen) di mana tidak ada maksud untuk cerai sama sekali (karena menikah berarti satu dan tidak akan terceraikan), hanya untuk mengatur masalah keuangan?
Terima kasih
Salam
GBU
Shalom Lily,
1. Apakah dalam gereja Katholik mengakui adanya perjanjian pra-nikah?
Sepanjang pengetahuan saya, Gereja Katolik hanya mengakui perjanjian perkawinan yang diadakan di hadapan imam dan dua orang saksi, di hadapan jemaat/ Gereja. Jika ada perjanjian apapun yang dilakukan sebelum itu, tidaklah mengikat di hadapan Tuhan.
2. Bolehkah melakukan perjanjian pra-nikah walau tidak ada maksud cerai, hanya untuk mengurus masalah keuangan?
Pertama- tama, sejujurnya, silakan anda sebutkan dahulu apakah maksud dan tujuan perjanjian pra-nikah. Sebab sepengetahuan saya, perjanjian itu mengatur adanya semacam pisah harta milik, yang memang dapat memudahkan jika di masa mendatang suami dan istri memutuskan untuk berpisah. Jadi dari hakekat dan maksud diadakannya perjanjian ini sendiri sepertinya sudah ‘tidak pas’ dengan maksud perkawinan dalam Gereja Katolik yang mensyaratkan pemberian diri yang total tanpa syarat kepada pasangan.
KGK 1643 “Cinta kasih suami isteri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen”. (Familiaris Consortio 13)
Pemberian diri yang total ini termasuk segala yang bersifat jasmani dan rohani, termasuk harta milik, agar menjadi milik bersama. Sedangkan dengan perjanjian pra-nikah yang mengatur pemisahan harta, hal saling memberikan diri secara total tak bersyarat ini, menjadi dipertanyakan. Sebab tetap ada, walau nampaknya tersembunyi, semacam ‘plan B/ rencana cadangan’ jika nanti hubungan tidak berlangsung baik, pasangan bisa berpisah tanpa terlalu repot mengurus soal pembagian harta milik. Dengan demikian, walau sekarang tidak direncanakan perpisahan itu, namun nun jauh di sana, ada semacam pemikiran bahwa jika sampai hal itu terjadi, maka sudah dapat diatur segala sesuatunya. Hal ini seungguhnya tidak membawa dampak yang positif secara rohani kepada kedua pasangan, karena jika sampai kelak di kemudian hari terjadi masalah, ada kecenderungan untuk tidak sungguh- sungguh mengusahakan untuk mempertahankan keutuhan perkawinan, namun sudah lebih cepat melihat ke arah ‘plan B‘ tersebut. Sedangkan jika ‘plan B‘ itu tidak ada, maka kedua belah pihak dapat sama- sama memusatkan hati dan pikiran untuk bersama- sama mengatasi masalah, sebab tidak ada kata pisah, dan tidak ada kata mundur. Sebab keduanya teringat akan janji perkawinan yang diucapkan di hadapan Tuhan, “…. saya mengasihimu …. di dalam untung dan malang, sehat dan sakit, sampai sepanjang hidup (sampai maut memisahkan kita).”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom,
Terimakasih bu Ingrid atas masukannya.
Maksud dan tujuan perjanjian pranikah, dalam kasus ini yaitu pemisahan harta/hutang baik pihak laki maupun perempuan, permisalan jika di kemudian hari suami meminjam uang ke bank/pihak lain kemudian tidak mampu membayar, maka harta yang bisa diambil oleh negara hanyalah harta milik pihak tersebut (siapa yang meminjam) atau harta suami bukan dari harta isteri, serta melindungi anak dan istri termasuk harta warisan/hibah dari orang tua. Jadi dalam kasus ini pernikahan tidak ada kata berpisah/cerai, tidak ada maksud untuk merugikan, menipu atau memanfaatkan.
Demikian bu, saya tunggu saran dan masukan. Terimakasih
Tuhan memberkati
Shalom Lily,
Ya, saya juga mengetahui bahwa tujuan perjanjian itu adalah untuk memisahkan harta antara pihak laki- laki dan perempuan, yang mungkin baik jika ditinjau dari kepraktisan dan implikasi dalam hal peminjaman uang ke bank atau kalau salah satu pihak mengalami kebangkrutan. Gereja memang tidak mengurusi soal pembagian harta ataupun hal- hal praktis macam ini, sebab perhatian Gereja lebih kepada hal- hal rohani. Dalam hal pisah harta ini, walau nampaknya positif maksudnya, namun ada resiko negatifnya, yaitu di bawah sadar seperti ada pemisahan antara apa yang dimiliki istri dan suami, dan ini sesungguhnya yang tidak pas dengan makna perkawinan Katolik. Maka harap diketahui saja, bahwa resiko negatif itu ada, dan hal pemisahan semacam itu akan membawa dampak juga ke dalam relasi suami istri, jika tidak dipikirkan bagaimana ‘mempersatukannya’.
Jika misalnya pasangan tetap memutuskan untuk mengadakan perjanjian tersebut, maka harus dipikirkan bagaimana caranya agar dalam pelaksanaannya istri akan dapat mengetahui jumlah harta yang dimiliki suami, dan demikian pula sebaliknya; dan ada keterbukaan di antara kedua belah pihak akan hal ini. Dan bahwa pengeluaran yang dilakukan suami dapat diketahui oleh istri, demikian pula sebaliknya. Demikian pula dalam hal pemasukan. Hal yang nampaknya mudah ini, dapat menjadi tidak mudah, jika di atas kertas masing- masing pihak mempunyai harta milik sendiri, dan ada kecenderungan, jika sudah ada masalah (atau bahkan walau tidak ada masalah), masing- masing saling menutupi apa yang mereka miliki. Maka sebenarnya resiko ini sifatnya laten, memang belum tentu terjadi, tetapi ada kemungkinan terjadi, dan jika terjadi itu tidak aneh, sebab di atas kertas hal itu memungkinkan dan memang sudah menjadi hak masing- masing.
Demikian, keputusan memang ada di tangan pasangan itu sendiri, namun alangkah baiknya hal ini dibicarakan secara terbuka sebelumnya, agar dapat diperoleh kata sepakat. Di atas semua itu, mohon dipahami bahwa hakekat perkawinan Katolik adalah kasih yang total antara suami dan istri, yang mempersatukan keduanya menjadi satu di dalam Kristus Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam,
1.Saya ingin bertanya kepada Romo dapatkah seorang katholik yang bercerai hidup dapat mengajukan permohinan pemberkatan perkawinan ke-2 di gereja katolik?
2.jika diijinkan bagaimana prosedurnya dan jika tidak diijinkan adakan jalan keluarnya?
Shalom Yanuar,
Pada prinsipnya, Gereja Katolik mensyaratkan status liber (bebas) bagi pasangan yang ingin menikah dan diberkati perkawinannya di Gereja Katolik. Maka Gereja Katolik tidak dapat memberkati perkawinan jika salah satu dari pasangan (atau bahkan keduanya) masih terikat dengan perkawinan sebelumnya. Sakramen Perkawinan yang sudah sah diberikan tidak dapat dibatalkan. Namun adakalanya perkawinan memang tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai perkawinan yang sah menurut hukum Gereja Katolik; dan jika ini yang terjadi maka pasangan tersebut (atau salah satu dari mereka) dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada pihak Keuskupan di mana perkawinan tersebut diteguhkan. Pembatalan ini tidak sama dengan perceraian, karena yang harus dibuktikan di sini adalah kondisi yang membuat perkawinan tersebut tidak sah sejak awalnya, bahkan sebelum dan pada saat perkawinan diteguhkan; dan bukan atas masalah/ kejadian yang baru terjadi setelah perkawinan.
Tiga hal yang dapat membatalkan perkawinan adalah: 1) halangan menikah, silakan klik di sini; 2) Cacat konsensus, dan 3) Cacat forma Kanonika, klik di sini.
Silakan melihat apakah ada dari ketiga hal ini yang telah terjadi dalam perkawinan tersebut. Jika ada, silakan membuat surat libelus (permohonan pembatalan perkawinan) yang ditujukan ke pihak Tribunal Keuskupan di mana perkawinan diteguhkan. Mohonlah bantuan pastor paroki dalam hal ini. Surat ini nanti akan ditindaklanjuti oleh pihak Tribunal, yang akan memeriksa kasus tersebut. Jika ditemukan bukti- buktinya dan kesaksian para saksi yang mendukung pernyataan dalam surat libelus tersebut, maka Tribunal dapat mengabulkan permohonan ini (tentu setelah mengadakan penyelidikan secara seksama).
Namun jika tidak terdapat halangan atau cacat dalam perkawinan yang terdahulu, maka sebenarnya perkawinan tersebut sah, dan karena itu tidak dapat dibatalkan. Maka, walaupun suami dan istri itu telah bercerai secara sipil, namun di hadapan Tuhan ikatan mereka sebagai suami istri tetap ada. Dalam hal ini memang tidak ada banyak pilihan, kecuali menjajagi kemungkinan untuk rekonsiliasi, atau jika rekonsiliasi tidak memungkinkan, maka kedua pihak dapat berpisah, namun tidak dapat menikah lagi. Ajaran ini sungguh dipegang oleh Gereja Katolik, sebab Kitab Suci mengajarkan bahwa hubungan suami istri menjadi gambaran akan hubungan Kristus dengan Mempelai-Nya yaitu Gereja, yang direncanakan oleh Tuhan sebagai hubungan yang mensyaratkan kesetiaan antara satu pria dan satu wanita, yang tak terceraikan sampai maut memisahkan mereka.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Mau menanyakan..saya Katolik berhubungan dengan duda beragama Kristen..saat ini saya sedang dilema apakah bisa hubungan ini dilanjutkan? Karena memang saya tahu dalam ajaran kita tidak dikenal perceraian…Mohon petunjuknya, karena kami saling cocok..
Evin yth
Perkawinan itu seluruh hidup dalam berkomunikasi cinta. Tidak cukup cocok, perlu banyak hal dalam mengatasi konflik memahami pasangan, percaya dan resiko dalam dialog sebagai pasangan. Hidup beriman kalau beda agama rupanya jadi halangan, apalagi duda sudah menjadi halangan. Mengapa tidak mencari yang single status bebas lebih baik. Pikirkan masak masak kalau sudah sekali menikah tidak bisa diulangi lagi apalagi mendapat dispensasi/izin. Renungkan dan berdoalah semoga ada jawaban.
salam,
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Evin,
Anda benar, bahwa Gereja Katolik tidak mengenal istilah perceraian ataupun pernikahan kedua, jika masih ada ikatan sah dengan suami atau istri dari perkawinan sebelumnya. Saya berasumsi nampaknya teman anda itu duda yang pisah dengan istrinya yang masih hidup (sebab anda menyebutkan tentang perceraian). Sebab jika istrinya itu sudah meninggal, maka sebenarnya tidak ada halangan bagi anda untuk menikah dengan dia, dan diberkati di Gereja Katolik. Namun jika istri dari perkawinannya terdahulu masih hidup, maka memang kondisinya tidak mudah. Silakan anda mendiskusikannya secara terbuka dengan pasangan anda, jika kalian ingin melihat kemungkinannya apakah hubungan tersebut dapat dilanjutkan, dapat dibenarkan di hadapan Allah dan dapat diberkati di Gereja Katolik.
1. Apakah perkawinan terdahulu dari teman anda yang Kristen non-Katolik itu adalah perkawinan yang sah? Gereja Katolik mengandaikan semua perkawinan yang sudah diberkati (walaupun secara agama lain) sebagai perkawinan yang sah, sampai dapat dibuktikan kebalikannya. Nah, untuk mengetahui apa yang dapat menyebabkan perkawinan tidak dapat dikatakan sah, silakan membaca di sini, silakan klik. Jika ada hal- hal yang terjadi dalam perkawinan itu, yang menunjukkan bahwa sebenarnya perkawinan itu tidak sah sejak awal mula, maka anda/ pasangan anda dapat menulis kepada pihak keuskupan tempat di mana anda tinggal, untuk memohon pembatalan perkawinan. Nanti kasusnya akan diperiksa oleh pihak Tribunal perkawinan di keuskupan. Silakan menghubungi pastor paroki, ceritakan riwayat perkawinan pasangan anda, dan selanjutnya pastor paroki dapat turut menandatangani di surat pengantar permohonan pembatalan tersebut. Siapkanlah bukti- bukti dan para saksi yang dapat dimintai keterangannya dalam proses pemeriksaan Tribunal; dan jika baik bukti- bukti maupun para saksi mendukung penjabaran anda, maka permohonan tersebut dapat dikabulkan oleh Tribunal. Setelah permohonan dikabulkan, maka artinya pasangan anda tidak lagi terikat dengan perkawinannya yang terdahulu, dan dengan demikian kalian dapat menikah secara sah dan diberkati di Gereja Katolik.
2. Namun jika setelah anda membicarakannya dengan teman anda, dan melihat riwayat perkawinannya, anda berdua mengetahui bahwa perkawinan yang terdahulu tersebut sudah sah, maka sesungguhnya ikatan perkawinan mereka tidak dapat diputuskan. Maka jika sampai anda memilih untuk tetap menikah dengannya (walaupun diberkati bukan oleh Gereja Katolik), sesungguhnya ini bukan perkawinan yang sah, sebab di hadapan Tuhan perkawinan yang sah adalah yang pertama, berdasarkan Mat 19:6. Jangan sampai kita memainkan peran sebagai manusia yang menceraikan apa yang sudah dipersatukan Tuhan, sebab perkawinan adalah kudus di hadapan-Nya.
Kadangkala di dalam hidup memang kita harus memilih, Evin. Mohonlah pimpinan Roh Kudus, untuk mendahulukan kehendak Tuhan daripada kehendak sendiri. Sebab jika anda mendahulukan kehendak Tuhan, anda akan menuai damai sejahtera (walau mungkin awalnya tidak mudah); namun kalau anda mengikuti kehendak sendiri, akhirnya anda dapat menuai banyak masalah, yang dimulai dari pengambilan keputusan yang salah karena tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Ada banyak email yang masuk ke Katolisitas dengan kasus semacam ini, terlalu cepat mengambil keputusan untuk menikah, tanpa terlalu berpikir panjang, dan kemudian setelah dijalani, perkawinan menjadi bermasalah, bahkan terancam bubar. Mungkin ini saatnya anda mendekatkan diri pada Tuhan, berdoa lebih sungguh, lakukanlah novena dan rosario setiap hari. Mohonlah pimpinan Tuhan untuk mengambil keputusan. Percayalah, jika anda sungguh mengasihi Tuhan, maka Tuhan akan turut bekerja dalam segala sesuatu yang anda alami untuk mendatangkan kebaikan bagi anda (lih. Rom 8:28).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – katolisitas.org
shallom,…:)
Saya terlebih dahulu minta maaf ya sekiranya saya silap mengisi pesan sebab saya tidak pasti mahu meninggalkan pesan di ruangan mana mengenai pertanyaan saya ini.
Saya mahu menanya mengenai persediaan-persediaan yang perlu bagi seseorang Katolik sebelum pernikahan. Maksudnya apa perkara yang saya kena buat dan bagaimana perjalanan perkahwinan Katolik di gereja. Harap pihak Katolitas dapat membantu saya dan saya sangat berterima kasih kerana dengan maklumat yang saya terima nanti dapat membantu saya dalam persiapan perkahwinan saya pada November ini…
sekian… (^_^)
Shalom Sympony,
Menjelang perkawinan, pasangan perlu mengadakan persiapan, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan (rohani). Persiapan yang kelihatan, misalnya anda menemui Romo Paroki, dan anda akan mengikuti proses yang disebut sebagai penyelidikan kanonik dengan Romo tersebut. Anda dan pasangan anda juga harus mengikuti kursus persiapan perkawinan, yang diadakan di dekanat anda, untuk mengetahui secara sekilas tentang perkawinan menurut ajaran Gereja Katolik. Anda dan pasangan dapat mengikuti retret Engagement Encounter atau Discovery yang diadakan di Keuskupan anda.
Namun ada lagi persiapan rohani yang dapat anda lakukan sendiri, yaitu mempelajari tentang hakekat perkawinan sesuai kehendak Tuhan, yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Anda dapat membaca Katekismus Gereja Katolik, dari no. 1601- 1666. Anda dapat pula membaca beberapa artikel situs ini tentang Perkawinan Katolik (silakan klik di judul berikut):
Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik
Kemurnian di Luar Perkawinan
Kemurnian Dalam Perkawinan
Seks dan Perkawinan dalam Hubungannya dengan Magisterium Gereja
Humanae Vitae itu Benar!
Perkawinan Katolik vs Perkawinan Dunia
Dengarkanlah Seruan Familiaris Consortio yang Telah berumur 30 Tahun
Metoda Crieghton, Metoda KB Alamiah yang akurat
Keluarga sebagai Ecclesia Domestica
Misi Khusus Orang Tua: Membesarkan Anak secara Kristiani
Keluarga sebagai Pendidik Nilai- nilai Kemanusiaan dan Iman
Peran Orang Tua dalam Pembinaan Iman Anak
Pendidikan Iman Katolik Sejak Usia Dini
Di atas semuanya itu, bawalah dalam doa, segala persiapan perkawinan anda, terutama agar anda siap untuk menjadi suami/ istri dan orang tua yang baik, sesuai dengan kehendak Tuhan. Semoga jika memang menjadi kehendak-Nya, segala sesuatunya berlangsung dengan lancar, dan perkawinan anda diberkati Tuhan; dan anda berdua dapat memberikan kesaksian yang hidup akan kasih Allah, seperti yang ditunjukkan oleh Kristus kepada Gereja-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear team Katolisitas,
Saya ingin berdiskusi mengenai Mat 9:9
1. Dalam hal ini menurut tafsiran St Clemens dari Alexandria, perkawinan yang kedua yang disebut perzinahan dan itu dapat diceraikan dengan harapan seseorang kembali pada pasangan yang pertama dan hal inilah yang diperbolehkan oleh Yesus. Pertanyaannya berarti pada dasarnya Yesus memperbolehkan perceraian dengan syarat berzinah (dalam hal ini zinah mengacu pada pengertian St.Clement)?
2. Jika mengikuti ajaran St. Clement, bukankah pada dasarnya Gereja tidak merestui adanya perkawinan kedua karena istri pertama belum meninggal, sehingga walaupun dalam praktek seseorang menikah lagi dengan istri baru, namun secara de jure Gereja tidak merestui perkawinan yang baru tersebut sehingga Gereja menganggap perkawinan yang kedua tidak pernah ada ( karena yang diakui hanya perkawinan yang pertama) dengan kata lain “perzinahan” itu tidak pernah ada secara de jure (walaupun hal ini ada secara de facto). Jika demikian halnya yang terjadi lalu bagaimana? Padahal dalam Perjanjian Baru perceraian itu boleh asal berzinah sementara “perzinahan” itu tidak pernah “ada”?
3. Mengapa dalam Kristen perceraian diperbolehkan. Bukankah dasar, ayat , Kitab Suci dan ajarannya sama, namun mengapa ada perbedaan soal perceraian diantara mereka dan kita?
Thank’s GBU Always……………………
Shalom Dave,
1. St. Clement dari Alexandria (150-215) melihat keadaan pada saat itu di mana sering terjadi praktek konkubinat (menikah lagi pada saat istri yang pertama masih hidup) dan perkawinan sesama saudara (incest) yang dilarang oleh Tuhan (lih. Im 18). St. Clement menjelaskan, bahwa ‘perkawinan’ yang semacam inilah yang dimaksudkan oleh Yesus dalam Mat 19:9, sebagai ‘zinah’, dan inilah yang harus diceraikan, karena tidak sah atau tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.
2. Berpegang kepada Mat 19:5-6, Gereja Katolik tidak mengakui perceraian, jika perkawinan sudah sah. Anda benar, jika perkawinan sudah sah, namun salah satu dari pasangan kemudian ingin menikah lagi padahal pasangannya masih hidup, maka Gereja Katolik tidak mengakui perkawinan yang kedua itu, sebab yang sah di mata Tuhan adalah perkawinan yang pertama. Perkawinan kedua itu adalah perzinahan, dan perbuatan ini melanggar perintah Tuhan yang keenam. Katekismus Gereja Katolik, mengajarkan:
KGK 2380 Perzinahan, artinya ketidaksetiaan suami isteri. Kalau dua orang, yang paling kurang seorang darinya telah kawin, mengadakan bersama hubungan seksual, walaupun hanya bersifat sementara, mereka melakukan perzinahan. Kristus malah mencela perzinaan di dalam roh (Bdk. Mat 5:27-28). Perintah keenam dan Perjanjian Baru secara absolut melarang perzinahan (Bdk. Mat 5:32; 19:6; Mrk 10:11; 1 Kor 6:9-10). Para nabi mengkritiknya sebagai pelanggaran yang berat. Mereka memandang perzinaan sebagai gambaran penyembahan berhala yang berdosa (Bdk.Hos 2:7;Yer 5:7; 13:27).
Maka perkawinan kedua ataupun hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan, yang salah satunya terikat dengan perkawinan yang sah, disebut perzinahan. Dan perbuatan ini melanggar hukum Tuhan, baik de facto maupun de jure.
Namun ada kalanya, perkawinan dapat dibuktikan tidak sah sejak awalnya karena tidak memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai perkawinan yang sah. Tiga hal yang membatalkan perkawinan menurut Hukum Kanonik Gereja Katolik adalah: 1) halangan menikah, 2) cacat konsensus, 3) cacat forma kanonika. Hal ini sudah pernah sekilas dibahas di sini, silakan klik. Tentang halangan menikah, klik di sini. Jika ada dari ketiga hal ini yang terjadi sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan dilangsungkan, maka pihak yang bersangkutan dapat mengajukan surat permohonan pembatalan perkawinan ke Keuskupan di mana perkawinan diteguhkan, agar Tribunal keuskupan dapat memeriksa hal tersebut. Pemeriksaan ini akan memakan waktu yang tidak singkat, namun jika setelah diperiksa, ditemukan bukti- bukti dan didukung oleh keterangan para saksi, maka permohonan pembatalan dapat dikabulkan. Jika sudah diperoleh surat keputusan pembatalan ini, maka ikatan perkawinan yang terdahulu dinyatakan batal, dan masing- masing memperoleh status ‘liber’/ bebas. Jika kelak mereka mau menikah (kali ini secara sah), maka perkawinan dapat diberkati oleh Gereja Katolik.
3. Mengapa dalam agama Kristen non Katolik perceraian diperbolehkan?
Terus terang saya kurang tahu mengapa demikian. Kemungkinan adalah karena mereka menginterpretasikan Mat 19:9 dengan interpretasi yang berbeda, yaitu dengan pengertian zinah seperti yang umum kita ketahui sekarang, yaitu jika salah satu dari pasangan pernah melakukan selingkuh. Hal ini kemungkinan dipergunakan sebagai alasan untuk cerai dan menikah lagi.
Namun jika kita melihat kepada keseluruhan Kitab Suci, kita akan mengetahui bahwa hal monogami dan tak terceraikan ini adalah kehendak Tuhan sejak awal mula (lih. Kej 1:26-27, 2:24, Mat 19:5-6, Mrk 10:7-8); dan kesatuan suami istri yang monogam ini yang dipakai untuk menggambarkan rahasia kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya (lih. Ef 5:31-32). Sebagaimana Tuhan Yesus hanya mendirikan satu Gereja (lih. Mat 16:18), dan menyerahkan diri-Nya baginya (Ef 5:25) maka seorang suami juga harus mengasihi istrinya secara total -satu istri saja- sepanjang hidup.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Saya masih belum banyak tahu tentang gereja Katolik. Sekarang saya mau membantu teman yang akan melangsungkan Pernikahan, ia minta saya carikan tentang syarat2 untuk mendapatkan surat Kanonik Perkawinan di Gereja dan Ia minta carikan susunan liturgi Perkawinan yang baik. Terima kasih.
[Dari Katolisitas: Silakan anda menghubungi pastor paroki untuk memperoleh informasi syarat- syaratnya, dan untuk teks misa silakan anda mencarinya di internet, atau lihatlah banyak contohnya yang ada di paroki anda, dan lalu silakan diskusikan dengan pastor paroki]
Shalom.. :-)
Mohon untuk penjelasan Matius 19:9.
Apakah ini berarti bahwa kita dapat menceraikan istri yang telah berbuat Zinah atau kita tetap tidak boleh menceraikan istri tapi boleh menikahi dengan perempuan lain lagi.
Terima kasih.
GBU
Adi
[dari katolisitas: St. Clemens dari Alexandria (150-216), mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[15] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).]
Syalom, Romo dan umat katolik lainnya,
Saya ingin menanyakan mengenai tata perayaan ekaristi saat Sakramen Perkawinan, terutama untuk bacaan liturgi; mazmur tanggapan, bacaan Injil. Kebetulan saya dan pasangan akans aling menerimakan Sakramen pernikahan. Dan saat ini, saya sedikit bingung dalam menyusun buku misa untuk sakramen pernikahan saya. Dari yang saya ketahui berdasarkan PUMR terakhir, ada beberapa pengaturan pada beberapa bagian (seperti lagu antar bacaan, mazmur tanggapan, dll).
Kebetulan misa saya diadakan pada hari minggu dan termasuk hari minggu biasa.
Apakah semua bacaan” (bacaan I hingga Injil) harus mengikuti bacaan kalender liturgi pada hari tersebut? atau hanya Injil saja?
Dari manakah saya dapat mendapatkan info lengkap seputar tata upacara sakramen pernikahan katolik? terutama dalam panduan penyusunan buku misa.
Kemudian saya mendapatkan contoh buku misa perkawinan, namun adapula yang mencantumkan “pembukaan kerudung”, namun adapula contoh dari buku misa pasangan lain yang tidak ada bagian tersebut. Saya jadi sedikit bingung, apa perbedaannya….
Terima kasih, Tuhan memberkati.
Daisy Yth.
Misa Pernikahan di Gereja Katolik intinya adalah setelah selesai homili diadakan upacara pernikahan diawali dengan: pernyataan kedua calon, janji pernikahan, doa untuk mempelai, dan pemberkatan dan pemasangan cincin. Yang lain itu tambahan yang bisa dihilangkan. Kalau misa pernikahan tepat pada hari Minggu maka liturgi harus mengambil bacaan dan doa hari Minggu tidak boleh yang lain. Tingkatan misa hari Minggu lebih tinggi dari pernikahan. Jika pemberkatan perkawinan dilakukan di luar hari Minggu, maka bacaan diserahkan kepada calon pengantin mau yang mana menurut dia mengesan dan memberi makna pernikahan. Suasana gembira harus mewarnai upacara maka lagu terpilih disesuaikan dan tidak mengganggu upacara.
salam
Rm Wanta
Salam Daisy,
Bacaan ke-2 bisa diganti dengan bacaan yang berkaitan dengan tema perkawinan. Tetapi seandainya bacaan kedua itu juga menyinggung hidup perkawinan, tidak perlu diganti. Hendaknya bacaan pertama dan Injil diambil dari hari Minggu bersangkutan. Pembukaan kerudung itu simbol yang bisa dipilih, jadi tidak wajib. Maknanya adalah pembukaan dan penyerahan diri satu sama lain sebagai suami istri karena kasih sayang sejati. Tata Perayaan Perkawinan baku, suatu terjemahan baru yg sedang diperjuangkan untuk mendapat aprobasi dari KWI, bisa ditanyakan ke Sekretarian Komi Liturgi KWI, tolong hubungi: maxi@kawali.org.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Puji Tuhan ada website ini. Saya berterima kasih kepada semua pihak yang ada di dalamnya. Saat ini saya adalah pengantin baru yang baru menikah 3 bulan. Mudah-mudahn website ini dapat membantu saya apabila di dalam menjalani hidup berumah tangga nanti menemukan kendala. Terima kasih Romo, Suster, Frater. Semoga Allah memberkati. Amin. Berkah dhalem
Shalom Romo…
saya ingin menanyakan sesuatu kepada romo tentang hubungan saya dengan calon istri saya. saya beragama katholik dan calon istri saya beragama kristen, apakah secara katholik itu diperbolehkan? apakah ada syarat”nya?
Trima kasih romo…
GBU…
[Dari Katolisitas: silakan membaca di artikel ini terlebih dahulu, silakan klik]
Yudha Yth
Secara katolik anda bisa berhubungan dengan calon istri anda yang beragama Protestan. Untuk hubungan lebih jauh ke pernikahan maka anda harus memohon izin perkawinan beda Gereja melalui pastor paroki kepada Uskup setempat dimana anda tinggal. Perkawinan beda Gereja ada syarat syaratnya seperti mendidik anak secara Katolik dan memberikan kebebasan kepada pihak Katolik untuk mengungkapkan imannya berdoa dan Ekaristi setiap hari Minggu. Anda sebaiknya peneguhan di depan Imam di Paroki anda tinggal. Ikutlah Kursus Persiapan Perkawinan. Selamat menyiapkan diri.
salam
Rm Wanta
Syalom….
Romo yang baik…6 bulan yang lalu saya menikah secara khatolik..dan Puji Tuhan sekarang saya sedang mengandung 3 bulan…tapi sedikit demi sedikit masalah mulai muncul ..saya tidak ingin anak dalam kandungan saya merasakan kesedihan ini…
Romo, sejak awal pernikahan kami ternyata suami saya belum melupakan mantan pacarnya dulu..saya masih sering mendapati sms-sms dg nada mesra dg mantannya…saya pernah bicarakan ini baik-baik dia bilang sudah tidak tapi sampai tadi pagi,tanpa sengaja saya masih temukan lg kata2 mesra itu di ‘inbox’ face booknya…dia masih berhubungan dg mantannya romo…pernah juga dia bilang kalau tertekan hidup dengan saya karena secara ekonomi penghasilan saya jauh di atas dia,walaupun saya tidak pernah mempermasalahkan hal ini,karena sejak belum menikah saya sudah memahami kondisinya begitu jg sebaliknya suamiku jg sdh memahami kandisi saya sejak blm menikah….
Romo…saya tidak ingin marah…tapi saya tidak bisa menghilangkan rasa sedih ini…akhir2 ini dia berubah sudah tidak mesra lagi saya berusaha sabar dg tetap menunjukkan rasa sayang saya…setiap rasa sedih ini datang saya berusaha mendaraskan salam maria..tapi rasa kuatir akan kehilangan dia begitu besar….apa yang harus saya lakukan romo…mohon bantuannya….Trimakasih banyak sebelumnya..
Salam Kasih Kristus
Tina Yth
Saya memahami persoalanmu, perkawinan sebenarnya merupakan komitmen seorang atas janji yang diucapkan ketika menikah. Komitmen ini harus dilandaskan pada kebebasan dari ikatan apapun dan lurus-benar serta bertanggungjawab. Mestinya masa anda dalam perkawinan masih dalam suasana romans, bukan kritis namun itulah yang terjadi karena itu mestinya sebelum menikah semua hubungan pacar yang dulu tidak ada lagi. Nah sekarang apa yang harus dilakukan? Saya usul mengadakan konseling dengan pastor paroki anda berdua, lalu cobalah untuk selalu berkomunikasi dengan baik tanpa emosi dengan pasangan anda tentang hal ini. Jika dia tidak mesra anda harus tetap mesra dan berusaha untuk tidak kehilangan kesempatan untuk memberikan cinta kepadanya. Silakan anda melihat ke dalam diri sendiri/ introspkesi diri, dan tanyakan kepada diri anda, ‘apa yang kurang dalam diriku yang mestinya harus kuberikan kepada pasanganku, sehingga dia merasa nyaman dan tetap mendekatiku?’
salam
Rm Wanta
Trimakasih banyak Romo…mohon dukungan doa..
Romo, saya ingin meminta tanggapan dan petunjuk Romo.
Romo, saya sdh menikah hampir 6 th. Tetapi sampai sekarang saya dan suami blm pernah berhubungan selayaknya suami istri. Saya bingung, setiap kali saya ajak bicara mengenai hal tersebut dia banyak sekali alasannya utk tdk melakukan hal tersebut. Saya juga sering ajak suami utk komunikasi dari hati ke hati dan dia selalu janji utk berubah. Tapi sampai sekarang dia tdk pernah menunjukkan perubahan tersebut. Padahal saya juga telah melakukan apapun untuk melengkapi apa yang menjadi alasannya. Terus terang lama kelamaan saya merasa capek, sampai sampai saya pernah mencoba utk mengakhiri hubungan kami ini. Tetapi suami saya tdk mau pisah, alasannya bahwa dia benar-benar sayang dan cinta sama saya. Saya sendiri juga tidak ingin pisah, tapi kalo melihat dan merasakan keadaan seperti ini saya benar-benar bingung. Perasaan dan pikiran saya benar-benar kacau, saya merasa stress. Tdk tahu mau berbuat & berbicara apa lagi mengenai keadaan kami ini. Utk petunjuk dan bantuannya saya ucapkan terima kasih banyak.
TUHAN memberkati.
Chaterine Yth
Apakah dia mau diajak untuk konsultasi ke dokter spesialis yang ahli bidang seks. Karena penting, mungkin ada sesuatu yang mengganjal dirinya untuk melakukan hubungan intim. Saya pribadi prihatin dengan keadaanmu ini karena salah stu hal penting dalam perkawinan dan menjadi esensi perkawinan adalah phyisical touch yg berpuncak pada hubungan intim maka jika hal ini tidak dilakukan merupakan sesuatu yang kurang lengkap. Saya bisa mengerti keadaanmu karena itu anjuran saya berdua ke dokter spesialis seks. Semoga berhasil dan anda menemukan hidup keluarga yang baik.
salam
Rm Wanta
Yth. Romo Wanta,
Romo, saya seorang wanita dan ibu dari satu orang anak. 12 tahun yang lalu saya menikah dan sakramen pernikahan dilakukan di malang. Pernikahan saya dulu karena perjodohan orang tua, jadi tanpa ada proses pacaran dan nampak sekali memang tidak ada cinta diantara kami. Dan sejak menikah suami saya tidak pernah memberi nafkah ekonomi walaupun dia mempunyai pekerjaan tetap. Dan sejak saya mengandung, dia pun berhenti memberi nafkah batin. Selain itu dia lebih sering tinggal di rumah adiknya, jadi otomatis komunikasi diantara kami sangat kurang.
Dan sejak 11 tahun yang lalu, kami sudah total berpisah rumah.
Berbagai cara dilakukan oleh saya dan orang tua supaya suami mau kembali berkumpul dengan saya dan anaknya. Tapi semuanya tanpa hasil karena suami lebih nyaman tinggal dengan adiknya.
Akhirnya beberapa saat yang lalu saya mengajukan gugatan cerai lewat pengadilan negeri jakarta timur. Dan pengadilan mengabulkan gugatan saya, itupun secara verstek karena suami tidak pernah datang selama persidangan. Jadi saat ini secara hukum negara, saya sudah resmi bercerai dengan suami.
Saat ini saya ingin mengajukan pembatalan pernikahan di gereja. Pertanyaan saya,
1. Bagaimana cara mengajukan pembatalan pernikahan?Tapi saya tidak tahu caranya.
2. Apakah saya bisa mengajukan pembatalan di Jakarta? Dan bukan di Malang. Karena saat ini saya tinggal di Jakarta.
3. Apa saja yang perlu saya siapkan untuk mengajukan pembatalan pernikahan?
4. Berapa lama prosesnya?
Demikian pertanyaan saya ROmo.
Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.
Salam dan doa
Agie
Agie yth
Semua perkara dalam perkawinan bisa diajukan ke pengadilan Gereja asal memenuhi syarat hukum seperti membuat surat permohonan (libellus), ada bukti- bukti yang kuat dan layak untuk diajukan, nanti semoga bisa cepat pihak tribunal akan menjawab permohonan anda. Bisa ditujukan ke keuskupan tempat perkawinan anda diteguhkan, bisa juga di domisili anda (tempat anda tinggal) sekarang, bisa juga keuskupan di mana banyak saksi bertempat tinggal atau pihak tergugat. Silakan kalau dialamatkan ke pengadilan gereja KAJ.
Sekali lagi yang perlu disiapkan;
1. surat permohonan (libellus) pengajuan perkara untuk proses pembatalan perkawinan
2. surat dan bukti tertulis fotoco[y dari surat baptis, perkawinan, surat cerai sipil jika ada, keterangan dokter dll yang menyangkut perkara.
3. nama saksi alamat untuk diinterogasi minimal 5 orang
4. jika pastor paroki memberi surat pengantar alangkah baiknya.
salam
Rm Wanta
salam damai Kristus Romo..
Saya sedang menghadapi masalah Romo..
Saya dan pasangan saya berencana menikah secara Katolik, Kebetulan calon saya sebelumnya pernah menikah dan dikaruniai seorang anak. Pernikahan calon istri saya dengan suaminya gagal di tengah jalan dan mereka telah bercerai menurut Negara. Sebelumnya saya lanjutkan, Calon istri saya sebelumnya menikah secara Gereja Kristen GPIB, karena Suaminya terdahulu adalah Kristen Protestan. Pernikahan mereka tidak langgeng dan banyak percekcokan dan sering terjadi KDRT dimana Suaminya memukuli terus setiap hari. Dan dengan alasan tersebut, Calon Istri saya mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri dan sudah ada putusan Cerainya. Kembali ke masalah saya Romo.. sekarang (saya dan calon istri saya yang sudah cerai tsb) berencana melangsungkan pernikahan, dan kami ingin sekali Pernikahan kami diberkati di Gereja Katolik seperti keyakinan kami dari kecil yaitu Katolik. Yang jadi pertanyaan saya Romo… apakah kami masih diberi kesempatan untuk bisa menikah dan diberkati secara Katolik? Kami saling mencintai tapi kami sangat berharap agar Pernikahan kami bisa Langgeng karena diberkati secara Katolik. Kemudian apa saja yang harus kami persiapkan untuk Pernikahan kami ini Romo… Mohon Saran dari Romo…
Terima kasih,
Salam Damai Kristus…..
Antonius Agus Yth.
Saya salut dengan kerinduanmu mau diteguhkan dalam Gereja Katolik. Masih ada kesempatan diberkati dan diteguhkan dalam Gereja Katolik jika halangan dari perkawinan calon istri anda meski sudah perceraian sipil tetap perlu kekuatan hukum dari pihak pimpinan Gereja Katolik melalui permohonan pemutusan ikatan perkawinan demi iman katolik. Hendaknya calon anda mau menjadi katolik dan memberikan alasan sebagai motivasi mengapa mau menjadi katolik dan menikah secara katolik. Semua jawaban dilampirkan dalam permohonan kemurahan pemutusan ikatan perkawinan calon istri anda dengan mantan suaminya. Semoga dipahami.
Sesudah itu baru dia memiliki status bebas jika sudah mendapat dispensasi dari Uskup, baru dapat menikah dengan anda secara katolik. Karena syarat utama yang mau menikah di Gereja Katolik status bebas calon pengantin dan bebas halangan.
salam
Rm Wanta
Berkah Dalem Romo
Saya seorang Katholik yang 3 tahun lalu menikah dengan wanita muslim. Pemberkatan nikah kami dilakukan tanpa dihadiri keluarga pihak istri. Sebenarnya dalam kurun waktu sebelumnya pernikahan kami berjalan baik-baik saja adapun percekcokan hanya terjadi sesekali dan dapat dengan cepat terselesaikan namun sudah satu bulan ini kami pisah rumah, awalnya saya marah karena istri saya tidak mau mencantumkan status pernikahannya dalam facebooknya dan akhirnya saya tahu bahwa istri saya sering chating dengan mantan pacarnya yang juga sudah menikah, percekcokan pun terjadi, kemudian yang menggagetkan istri saya merasa bahwa selama ini pernikahan kami tidaklah sah menurut dia ( agama dan ketidakhadiran orangtuanya) dan merasa bahwa dia telah berdosa dan berzinah. Saya langsung meminta maaf kalau saya terlalu keras menanggapi permasalahan facebooknya dan chatingannya dengan mantan pacarnya. namun dia terus bersikeras bahwa pernikahannya tidak sah dan meminta saya untuk menjadi mualaf dan menikah lagi di KUA, SAYA TERKEJUT KARENA SEJARAH PERNIKAHAN KAMI YANG BERAT. Istri saya karena tidak disetujui menikah dengan saya lari dari rumah dan tinggal dirumah orangtua saya saat itu. Lamaran saya bersama orangtua dan segala ubo rampenya ditolak mentah2 oleh orangtuanya, hingga pada akhirnya saya menemukan cara untuk bisa memindah kartu keluarga istri saya dan saya ikutkan KK paman saya, dan singkat kata kami bisa menikah di gereja. Setiap saat saya berusaha mengingatkan istri saya selalu dia menjawab bahwa dia terpaksa menyanggupi menikah di gereja, padahal saat itu tidak ada satu orangpun yang memaksa dia untuk menikah di gereja, sehingga saya benar2 terkejut dengan perkataannya sekarang. Saat ini kami sudah pisah rumah dan saya masih mencoba untuk menjadi suami yang baik walaupun setiap kali saya mendatangi istri saya hanya rasa sakit atas segala perkataannya dan perbuatannya kepada saya. Saya masih mencintainya dan berusaha mempertahankan perkawinan kami namun hingga sekarang dia tetap bersikukuh akan menceraikan saya kalau saya tidak menjadi mualaf dan menikah lagi di KUA. Saat ini saya terus berdoa novena agar terus dikuatkan dan perkawinan bisa kembali baik kembali. Namun ternyata tubuh saya tidak bisa mentoleransi depresi yang saya alami, saya sakit2tan dan sering pingsan (ada riwayat kesehatan yang tidak bisa saya ceritakan disini)…saya paham dalam Iman saya perceraian bukanlah sebuah pilihan namun menjadi mualaf juga bukanlah sebuah pilihan bagi saya, apakah dimungkinkan pembatalan nikah apabila nanti istri saya benar2 menceraikan saya secara sepihak?. Mohon bantuan doa dan jawabannya sekiranya bisa membuat saya lebih tenang. Berkah Dalem.
Felix Yth
Saya ikut prihatin dengan peristiwa yang anda alami. Saya memahami keadaanmu dan memang berat sekali namun tegarlah menghadapi semua peristiwa ini dengan siap dan berani mengambil resiko atas apa yang akan terjadi dalam perkawinan campur beda agama, dan selalu membawa masalah keluarga kalau tidak didasarkan pada cinta yang kokoh kuat dan saling pengertian yang mendalam. Dari cerita anda cinta dan pengertian perkawinan campur rapuh sehingga mudah goyah sekarang kelihatan persoalan itu. Saya menganjurkan agar anda siap menghadapi apa saja yang terjadi di dalam perkawinan anda termasuk perpisahan dengan istri anda. Jalan yang perlu ditempuh adalah anda memberikan pengertian akan perkawinan yang tidak terputuskan dan bahwa perkawinan di Gereja Katolik juga sudah sah. Kemudian terimalah kenyataan ini dan berdamailah dengan peristiwa itu, mulailah menjaga kesehatanmu dan pikirkan masa depanmu. Pelan tapi pasti harus bisa menerima kenyataan ini dan mementingkan kesehatan dirimu. Berdoalah selalu meminta kekuatan dari Tuhan agar diberi kebijaksanaan dari Tuhan.
Salam
Rm Wanta
Shalom saudarku Felix, saya salut atas perjuangan anda di dalam pernikahan.
Saya akan selalu bawa anda didalam doa.
Menurut apa yang saya pernah alami, bahwa pernikahan anda memang tidak akan pernah terceraikan secara IMAN, walaupun pemerintah menceraikan, dia mungkin menikah lagi dan sebagainya. TAPI di hadapan TUHAN, istri anda tetap dia dan suami dia adalah anda sendiri.
Jadi tetaplah menjadi suami yang baik, meskipun anda diperlakukan dengan kasar oleh istri anda dan oleh pihak keluarga dari istri anda. Karena anda wajib mencerminkan kerakter2 YESUS pada istri anda dan biarlah THE TRUTH SPEAK ITSELF. Mana yang baik dan mana yang tidak baik
TUHAN YESUS memberkati dan BUNDA MARIA selalu menuntun anda kepada putraNYA
Shalom….
Maaf saya mau sharing dan minta doanya.
Saya berkenalan dengan pria asing dia berasal dari negara Italia kita sering curhat dan telefon kebetulan dia duda anak satu (anaknya laki-laki) dia sering menceritakan perkembangan anaknya .
sekarang hubungan kami sudah berjalan 3 bulan kami sudah saling suka dan merencanakan pernikahan di Indonesia, rencananya dia mau datang bulan Mei ini tapi kehendak kami bukan kehendak Tuhan disaat dia sibuk mengurus pasportnya dia dtlp sama orang tuanya bahwa anaknya masuk rumah sakit ternyata ada kelainan di dalam darahnya.
Gagal sdh harapan kami utk menikah tapi saya iklas asal untuk kesembuhan anaknya karena saya sayang sama dia dan anaknya.Saya tiap malam doa Novena untuk kesembuhan anaknya saya mohon minta bantu doa kepada saudaraku yang seiman untuk kesembuhan John anak saya (sudah saya anggap seperti anak kandung saya sendiri).Sekarang dia berada di USA untuk berobat.
Tuhan Yesus Berkati
terima kasih
Shalom Grace Helen,
Saya tidak tahu, apakah calon suami anda itu adalah duda karena istri pertamanya sudah meninggal dunia, ataukah karena duda cerai. Sebab kalau ia adalah seorang duda karena perceraian, maka sebenarnya perkawinan anda tidak dapat disahkan di Gereja Katolik, sebab di hadapan Allah, pria tersebut masih terikat pada istrinya dengan ikatan perkawinan sebelumnya. Jika ini yang terjadi, jika saya boleh menyarankan, maka sebaiknya anda mempertimbangkan kembali untuk menikah dengannya; sebab ini tidak berkenan di hadapan Tuhan. Firman Tuhan jelas mengatakan, “Apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.” (Mat 19:6). Gereja Katolik tidak mengakui perceraian secara sipil, sebab perkawinan kristiani menurut Alkitab bersifat eksklusif (antara satu pria dan satu wanita), total/ tanpa syarat dan seumur hidup. Jika anda berkeras menikah dengannya dalam keadaan ia masih terikat dengan istrinya dari perkawinan terdahulu, maka sesungguhnya anda melanggar hukum Tuhan, dan selanjutnya anda tidak dapat menerima Komuni kudus.
Tentu lain halnya jika pria tersebut adalah duda karena istrinya sudah meninggal dunia. Jika demikian halnya anda bebas untuk menikah dengannya.
Ya, kami akan mendukung dengan doa, untuk kesembuhan John, dan agar anda dapat memutuskan yang terbaik demi masa depan dan kehidupan rohani anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Mbak Ingrid
Sebelumnya terima kasih atas saran dan doanya buat John.
Mungkin di surat saya sebelumnya saya belum menjelaskan bahwa calon suami saya ini duda karena istrinya meninggal ketika anaknya John berumur 5 thn.
Saya juga sangat bersedih telefon terakhir yang saya dapat John coma sekarang sdh berada di USA,semoga doa kita semua menjadi kesembuhan buat John karena tidak ada yang mustahil kalau Allah bapa disurga menghendaki dan diberi kekuatan buat calon suami saya dan family.
Salam Kasih Tuhan kita Yesus Kristus
Grace H.R
Shalom Grace Helen,
Saya akan turut mendoakan John dan mungkin kita dapat pula memohon agar para pembaca mendoakan John, serta rencana anda untuk menikah dengan calon suami anda.
Kita percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik bagi anda; dan menjadikan segala sesuatu indah pada waktu-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Romo,
Setelah lebih dari 6 tahun usia perkawinan saya, akhirnya saya berani mengambil keputusan secara bulat, bahwa saya akan menngajukan pembatalan pernikahan dengan suami saya…
Tahun pertama pernikahan kami, saya telah berusaha untuk mencoba mencintai dia. Saat perasaan itu perlahan – lahan tumbuh, saya memergoki suami saya nonton blue film sambil masturbasi. Dan itu dia lakukan hampir tiap malam. Sementara saat saya terjaga, saya merasa sangat takut untuk bangun dan tidak tenang tidur, dan hanya menangis. Hal ini mengacaukan konsentrasi bekerja saya. Berkli kali kebiasaan itu dia lakukan. saya pernah membuang 30 keping CD porno dan sekarang ada lagi koleksinya mencapai 100 keping.
akhirnya saya berdamai dengan keadaan. artinya, saya membiarkan itu terjadi. Romo pastinya bisa membayangkan betapa perasaan saya pada saat itu, saya merasa tidak berarti sebagai seorang istri.
Hubungan seksual kami pun tidak berjalan baik, walhasil sejak tahun kedua perkawinan kami, kami sangat jarang melakukan hubungan seksual, dan sejak 4 tahun lalu kami tidak pernah melakukannya.
suami saya sangat tidak care, cenderung cuek dan asyik dengan dunianya sendiri. Saya letih menjalani hidup seperti ini. terkahir dia mengakui bahwa kebiasaan penyimpangan seksualnya ini telah dia alami sejak remaja, dan selama ini, saya dijadikan alasan penyebab, karena dia merasa hampa dan kesepian jadi penyipangan seksualnya itu sebagai pelampiasan… dia telah membohongi saya selama 6 tahun lebih… ini benar2 mengecilkan hati saya.
Saya memaafkan semua yang dilakukan suami saya, tapi saya merasa berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dan saya selalu berdoa, agar suami saya mendapatkan perempuan lain yang mencintai dia seperti suami saya mencintai perempuan itu, sehingga dia bisa belajar bagaimana berkorban dan berjuang bagi perempuan yang dia cintai.
Veni
Veni Yth
Saya turut prihatin dengan keadaan itu, apakah sudah berusaha konseling dengan dokter yang ahli seks, mungkin ada kelainan dalam diri suamimu dan semoga bisa diobati. Kedua, saya mengerti permohonanmu maksudnya adalah memohon pembatalan perkawinan? Jalan ini adalah jalan terburuk karena dengan itu akan mencederai suami dan anak2 (maaf apakah sudah anak?) Tapi anda berhak untuk memohon pembatalan perkawinan jika memang ada kebohongan (niat pelampiasan) yang ada sebelum perkawinan diteguhkan dan juga karena adanya kelainan seksual (jika memang demikian). Perlu kiranya anda membuat sejarah perjumpaan dan masa perkawinan dengan dia selama 6 tahun agar ada dokumen yang bisa menjadi acuan oleh pengadilan Gereja. Jawaban saya tidak bisa menjawab semua persoalan anda karena pelayanan web ini lewat tulisan di dunia maya tidak face to face, sehingga komunikasi yang terjadi tidak langsung. Maka sebaiknya anda bisa mencari rama paroki anda atau kenalan rama yang bisa mendengarkan persoalan anda dan mengarahkan langkah selanjutnya. Semoga Tuhan memberkati anda.
salam
Rm Wanta
shalom katolisitas,
saya mohon maaf bila pertanyaan saya ini sudah pernah ditanyakan, terus terang saya memang belum membaca semua komentar diatas. Masalah saya: kakak saya menikah dengan wanita muslim secara Islam, namun setelah itu dia kembali ke gereja katolik dan menerima komuni, saya sudah mengingatkan agar dia membereskan perkawinan secara katholik dahulu, namun dia tidak pernah menanggapi, karena dia berpendapat itu adalah urusan pribadinya, menurutnya walaupun dia mengucapkan sahadat islam namun itu hanya mulutnya, dihatinya tetap menerima kristus, sehingga menurutnya tidak salah menerima komuni, dia juga tidak berminat untuk merubah KTPnya menjadi katolik lagi karena merasa hal tersebut hanya formalitas, yang penting kan hatinya… pertanyaan saya: apakah kakak saya sudah melakukan dosa berat? saya sadari saya juga manusia yang masih bergulat dengan dosa dan masih berusaha untuk bertobat setiap hari, namun saya ingin membawa kakak saya kembali ke katholik secara penuh. saya mohon saran untuk hal tersebut.
terimakasih tanggapannya.
berkah dalem.
Margaretha Yth
Jelas dosa berat karena setiap orang katolik harus mengikuti norma hukum Gereja Katolik (kan 11) karena itu berlaku aturan perkawinan dalam Gereja Katolik kalau peneguhan diluar Gereja Katolik berarti telah melanggar aturan itu. Apalagi menyatakan syahadat bukan iman katolik, karena itu jika kembali ke pangakuan Gereja Katolik harus bertobat mengaku dosa, diterima kembali ke Gereja Katolik dalam upacara, kemudian pengesahan perkawinan convalidatio simplex, baru bisa menerima komuni seperti umat yang lain.
salam
Rm Wanta
salam tuk romo wanta
saya belum mnegerti tentang sakramen perkawinian sebagai sarana yang menguduskan menurut amanat apostolik familiaris consortio no.56. apakah rahmat pengudusan yang diterima pasangan yang menikah itu berupa tanggungjawab sebagai orang tua bagi anak-anak atau rahmat pengudusan itu hanya merupakan pengakuan bagi mereka secara resmi dalam gereja katolik? mohon penjelasan secara mendatail romo soalnya apa yang saya tanyakan ini berkaitan dengan proposal skripsi yang akan saya garap saat ini. terima kasih
Fr Peter Malo Yth.
Rahmat pengudusan dalam konteks Familiaris Consortio 56 adalah buah dari sakramen perkawinan yang diterima berkat perjanjian antara keduanya ketika menyatakan konsensus cinta dalam membangun keluarga kristiani, tanggungjawab orang tua bagi anak-anak khususnya dalam pendidikan iman anak. Mohon dibaca teks Gaudium et Spes 47-50. Kekudusan konteksnya adalah kesetiaan dan kesempurnaan dalam panggilan entah sebagai suami isteri atau panggilan khusus sebagai rohaniwan, biarawan-wati (lihat Lumen Gentium 42, “Maka semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka.”) Kekudusan yang dimaksudkan bukan proses kanonisasi menjadi orang kudus. Maka kekudusan dalam hidup perkawinan konteksnya adalah panggilan keluarga, hasil buah sakramen perkawinan dimana ada rahmat panggilan untuk setia, berkorban, mengampuni satu sama lain dalam hidup berpasangan.
salam
Rm Wanta
Salam, u/ Romo Wanta yg saya hormati
Saya telah membaca ulasan2 dari Romo Wanta terhadap permasalahan perkawinan katolik diatas, pertanyaan saya bagaimana tanggung jawab Gereja terhadap kelangsungan perkawinan umatnya ?
Mungkin kisah saya ini dapat lebih menjelaskan maksud saya, sekarang ini perkawinan saya sudah diambang kehancuran, pernikahan kami cuma bertahan 3 tahun, itupun kami tinggal serumah hanya 9 bulan. Yang membuat saya sangat kecewa terhadap gereja adalah tdk ada sedikit KEPEDULIAN gereja thd masalah kami, sebagai pasangan katolik kami sudah menjalani semua prosedur pernikahan gereja, perkawinan kami SAH secara gereja Katolik.
Seperti pada masa2 awal pernikahan pada umumnya, keluarga kami juga rentan masalah, puncaknya, stlh mencari bantuan sana-sini termasuk bbrp warga katolik di skitar rumah kami, akhirnya saya dianjurkan bertemu pastor dari kedua paroki saya dan istri (kebetulan paroki kami berdekatan), jawaban mereka sama, walaupun mnrt pastor dari paroki istri saya masalah saya SANGAT SEPELE, kedua pastor kami tetap menganjurkan saya untuk bertemu romo Purbo di KAJ. Tahu apa yg terjadi??? spt yg saya duga… suuliiitmyaaaa… bukan main, berkali2 saya telepon beliau selalu sibuk dan sibuuuuk terus… beberapa kali saya datang ke KAJ pun hasilnya sama… saya BUKAN PENGANGGURAN saya tdk punya bnyak waktu… akhirnya oleh orang KAJ saya disarankan bertemu konselor perkawinan di KAJ (pastorpun tdk pernah memberitahu kalau ada konselor di KAJ) dari pertemuan itu saya cuma disarankan untuk bicara lagi dengan pastor, begitu saya bicara kembali dengan pastor kepala di paroki istri saya, beliau kembali menyarankan saya untuk BERUSAHA lagi bertemu dengan Romo Purbo, hasilnya sama saja, saya cuma diperrmainkan…. SANGAT MENGECEWAKAN! inikah tanggung jawab gereja thd klrga umatnya???
Gereja mewajibkan kami ikut kursus pranikah dan menikah scr katolik di Gereja semua sdh kami jalankan, tetapi kemana mereka pada saat kami mengalami masalah??? kami bukan orang kaya yg sanggup membayar konsultan perkawinan umum, dan belum tentu istri saya mau…istri sayapun enggan untuk bertemu romo kami (tdk tau kenapa…) ini sdh saya utarakan pada romo kami, tapi tdk ada sedikitpun INISIATIF beliau untuk meluangkan waktunya bertemu ke rmh istri saya, TDK SEDIKITPUN… bahkan saat ibu saya kebetulan berkunjung ke parokinya dan menanyakan mslh tsb Romo tsb cuek dan sudah lupa…BUKAN MAIN!
Paroki kami bukan di pedalaman, tapi di kota metropolitan Jakarta Raya… kalau paroki sanggup membangun kompleks gereja seharga milyaran rupiah yang dihuni para imam, suster dengan fasilitas memadai dari uang sumbangan kami… lantas kemana HAK kami sebagai umatnya??? mengapa mereka tdk peduli? kenapa SEMUA masalah sesepele apapun harus ke TRIBUNAL di keuskupan??? KONYOL sekali…seorang Romo Purbo dengan kesibukannya masih harus menjadi konsultan perkawinan keluarga SEJABODETABEK ! kasihan sekali…. kebayangkan susahnya bertemu beliau???. Lantas apa yg sesungguhnya dikerjakan pastor2 dan suster2 di paroki2 tsb? pastor kepala, pastor2 pembantu? tidak adakah semacam konsultan pernikahan di tingkat paroki? jangan bilang TIDAK ADA DANA… sebuah gereja baru paroki sayapun St. Regina Bintaro…dibangunn dengan dana 30 milyar lebih!!! ruarrrrr biasa…angka fantastis buat org spt saya….God bless us all!
Tdk adakah waktu bagi para imamat tsb utk sekedar berkunjung ke rumah2 umatnya, sekedar mencoba MEMAHAMI apa yg dirasakan umatnya….Mengapa Pastor hanya mau ditemui tetapi tdk pernah mau menemui??? MENTAL priyayi, mental feodal ala tuan tanah masih kuat melekat…menyedihkan…
Pastor saya pernah berucap Keluarga adalah inti dari Gereja Katolik…BENARKAH BEGITU??? saya sangat kecewa dan sangat2 kecewa….pastor dan suster tak ubahnya badut2 ceremonial yg kerjanya cuma memimpin upacara doa… mereka nyata2 TIDAK menyentuh umatnya… mereka membuat saya muak…gereja2 mewah milyaran rupiah dari dana umatnya pun kini cukup membuat saya MUAK! Saya tidak butuh itu semua!
Mohon maaf jika kata2 saya mgkn kurang berkenan… saya cuma orang frustasi, apalah saya ini… saya tidak sepintar Romo Wanta, saat menulis surat ini pernikahan kami tinggal 3 kali sidang lagi (mgkn sktr 3 minggu) menunggu keputusan cerai dari Pengadilan Negeri, prosesnya sudah 4 bulan lebih…proses mediasi nihil krn istri tdk pernah datang… untuk rujukpun kami sudah gak pede lagi, bgmn klo ada masalah lagi? siapa yg membantu kami?…kasihan anak kami yg masih kecil, saya pun blm pernah menemuinya… oya mgkn romo wanta ingin tau masalahnya…sepele..bukan kdrt, selingkuh, pengangguran, mabuk judi ato semacamya, kami pacaranpun sdh 2 tahun… SEMUANYA cuma krn pihak ketiga, ortu dari istri saya suka ikut campur…. itu saja…
Nasi sudah jadi bubur, mungkin setelah ini saya akan kirim surat lagi menanyakan prosedur Tribunal untuk pembatalan perkawinan, KALO BISA…atau mungkin Keyakinan saya memang bukan disini tempatnya…. semoga ini menjadi pembelajaran buat semuanya.
Terima Kasih.
Hendrik Yth
Saya ikut prihatin dengan persoalanmu, saya memahami betapa susahnya keadaanmu sekarang ini. Saya mohon maaf kalau para pastor kurang melayani anda. Saya membuka hati untuk membantu anda, apakah bisa kita bertemu? Saya berada di Pastoran Unio Jalan Kramat VII/10 Jakarta Pusat (telp 021-31924761) bisa ditelpon malam hari jam 8 malam. Bawalah dokumen anda lengkap dan surat permohonannya nanti saya akan mencoba mebantu untuk dapat bertemu dengan Rama Andang SJ di Kramat VI dekat dengan pastoran kami. Terimakasih atas kesabarannya. Semoga ada jalan keluar untuk masalahmu.
salam dan berkat Tuhan
Rm Wanta
Saya juga pernah mengalami masalah seperti ini. Sulitnya minta ampun bertemu dengan Romo. Ini pula salah satu penyebab–di Gereja Katolik–saya merasa sangat tidak diperhatikan. Sehingga saya bertanya kepada saudara Protestan yang sangat peduli dengan “concern” saya, sampai saya menemukan website ini.
Kemudian Romo yang cuek juga saya alami di keuskupan di Surabaya. Sewaktu awal Desember 2009 kemarin, saya “diserang” oleh pihak Protestan. Saya minta tolong ke Romo di keuskupan, tetapi mereka seolah malas membantu saya.
Shalom Alexander Pontoh dan semuanya,
Terima kasih atas semua tanggapannya tentang kesulitan dalam mencari romo. Mari kita semua menyikapinya dengan bijaksana. Kita tahu bahwa Romo memang mempunyai tugas yang begitu banyak, dan mungkin tidak mempunyai waktu terlalu banyak untuk dapat melayani semua umat, yang mempunyai kebutuhan dan permasalahan-permasalahan yang berbeda-beda. Saya tahu ada paroki yang mempunyai anggota sebanyak 9,000 orang dilayani oleh 3 orang romo. Kadang ada juga 1 romo melayani 1,000 umat, dimana termasuk misa mingguan, memberikan Sakramen Orang Sakit, Sakramen Perkawinan, Sakramen Baptis, juga Sakramen Pengakuan Dosa, memberikan pelajaran agama, dll. Dan mereka juga harus berdoa harian (brevier), rosario, mempersiapkan kotbah, dll. Jadi, secara umum, memang seorang romo mempunyai begitu banyak kegiatan.
Mungkin juga ada romo yang kurang bijaksana untuk dapat membantu umatnya yang benar-benar membutuhkan, namun kita juga tidak dapat menutup mata, bahwa ada begitu banyak romo yang benar-benar melayani umat, sampai dia tidak punya waktu untuk dirinya sendiri. Di tengah-tengah kondisi seperti ini, mari kita mencoba dengan kapasitas kita masing-masing untuk dapat membantu tugas romo dan membantu secara aktif dalam membangun Gereja Katolik yang kita kasihi. Sebagai contoh, kalau Alexander merasakan adanya kurang pembinaan iman, maka usulkan kepada romo, bagaimana kalau dibentuk suatu kelompok pendalaman iman Katolik, dan kemudian koordinasikan dengan teman-teman serta mengundang nara sumber yang benar. Dengan demikian, Alexander juga dapat membantu umat yang lain, yang mungkin mengalami masalah yang sama dengan anda. Pikirkan juga agar ada anak-anak muda di paroki masing-masing yang mau menanggapi panggilan untuk menjadi pastor atau suster, sehingga jumlah pastor dan suster dapat lebih banyak, yang pada akhirnya para pastor dan suster akan dapat membantu umat dengan lebih baik. Dan saya juga melihat Romo Wanta telah membuka dirinya untuk membantu dalam kasus Hendrik, walaupun kalau dilihat tugas yang harus diembannya benar-benar telah begitu banyak. Mari kita juga mendoakan para pastor dan suster, dan dalam beberapa kesempatan, nyatakan rasa terima kasih anda kepada para pastor dan suster yang telah menjawab panggilan Tuhan secara istimewa.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
saya sudah menikah selama 5 tahun, mempunyai seorang anak. Sebelum saya menikah saya pernah pacaran dan berencana untuk menikah namun karena saya diancam oleh mantan saya sebelumnya saya tidak berani untuk menikah dan saya membuat masalah supaya putus. Setelah putus saya belum mau pacaran apalagi yang mendekati saya mantan narkoba dan peminum. Saya diajak keluar pun tidak mau dan orang tua juga melarang saya berpacaran dengan dia. Tapi orang tuanya selalu mencari saya dan membuat skenario bahwa saya merespon dia untuk mengenal ebih dekat. Beberapa hari kemudian tiba2 saya sudah menerima dia sebagai pacar. Selama berpacaran saya selalu nurut dengan dia dan orang tuanya meski saya sering dimarahi oleh orang tua saya. Para pastor dan psikiater yang mendampingi dia sebenarnya melarang dia untuk menikah dengan saya tp saya hanya bisa nurut dengan ortunya. Sebenarnya keluarga saya menyetujui kalau saya menikah dengan mantan saya. Ternyata setelah menikah saya langsung hamil dan sejak menikah suami saya tidak pernah menafkahi, justru saya dimanfaatkan oleh mertua untuk menghidupi suami dan mengurus usaha mertua. Suami setiap hari hanya berjudi, minum alkohol dan tidak ada tanggung jawab sama sekali. Bahkan semua tabungan dan perhiasan dihabiskan untuk berjudi. Setelah 3 tahun saya diangkat oleh keluarga saya keluar dari rumah mertua dan pindah ke rumah orang tua. Meski ikut orang tua saya dia tetap tidak berubah. Tidak mau bekerja tiap hari hanya berjudi dan minum alkohol. Pernah saya bertanya apa dia tidak malu dengan para tetangga. Tapi dia tidak merasa ada yang salah dengan dirinya.
Pada suatu hari anak saya tidak mau sekolah alasannya sering diganggu setan d sekolah. Saya minta tolong beberapa orang untuk mendoakan. Tp oleh pendoanya da bilang saya juga harus dibersihkan. Ternyata ada magic dalam diri saya sehingga saya nurut dengan mertua dan suami. Saya tidak langsung percaya, saya coba konsultasikan dengan seorang pastor. Ternyata sang pastor memilk kepekaan terhadap sesuatu yang tak kasat mata. Saya diingatkan supaya berhati-hati dan saya dibekali dengan doa. Tidak lama kemudian beberapa orang yang dekat dengan saya mengungkapkan kecurigaannya kalau saya pasti dulu didukunkan. Kalau tidak, tidak mungkin saya mau dengan orang seperti itu.
[Dari Katolisitas: pertanyaan berikut kami gabungkan karena satu topik]
Bagaimana sikap gereja jika dalam sebuah sakramen perkawinan terjadi karena ada pihak yang menggunaan “ilmu Magic” dalam mempersatukan perkawinan. Padahal kondisi yang sesungguhnya belum siap untuk hidup berkeluarga. Dalam arti belum siap mental dan materi. Pada saat menjelang hari h menggunakan obat untuk mengatasi ketergantungan zat aditif. Setelah pernikahan berjalan dia tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Tidak pernah memberi nafkah anak dan istri.Mohon pendampingan dan solusinya.
Yoana
Yoana Yth,
Perkawinan yang dilaksanakan dengan menggunakan ilmu magic ilmu hitam bertentangan dengan ajaran Gereja dan Kesadaran seseorang dengan akal budinya memutuskan untuk mengucapkan perjanjian. Oleh karena itu selain berdosa dia juga telah melakukan cacat berat dalam essensi perkawinan. Sehingga perkarwinan itu tidak sah sejak permulaan.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Yoana/ Yoyo
Yang menjadi permasalahan pada kasus anda adalah, apakah benar pada saat pernikahan itu memang melibatkan unsur penipuan, dengan adanya penggunaan magic dan obat-obatan. Sebab jika terbukti demikian, memang perkawinan itu tidak sah sejak awal mula. Namun masalahnya adalah apakah memang demikian halnya? Sebab jika saya mendengar kisah anda, memang ada kemungkinan dipergunakan magic itu, tetapi ada kemungkinan juga tidak digunakan. Sewaktu anda setuju untuk membina hubungan dengan suami anda, anda baru saja putus dengan pacar anda yang terdahulu, sehingga dapat saja anda memang secara psikis labil, sehingga dapat menurut saja kepada anjuran orang lain, dalam hal ini adalah ortu suami anda. Maka soal anda ‘menurut’ ini belum tentu karena pengaruh ilmu magic.
Perihal sekarang bahwa suami anda tetap ketagihan obat-obatan itu memang merupakan suatu perbuatan dosa, dan tentunya sedikit banyak ada kuasa jahat di dalamnya. Namun bahwa pastor mengatakan agar anda berhati- hati dan membekali anda dengan doa, juga bukan merupakan suatu tanda yang pasti bahwa suami anda atau keluarganya memakai ilmu magic. Tepatnya silakan anda tanyakan kepada Pastor yang bersangkutan.
Jadi dalam hal ini, memang anda berhak mengajukan surat permohonan pembatalan perkawinan ke pihak Tribunal Perkawinan di keuskupan di mana perkawinan anda diteguhkan, dan pihak Tribunal nanti yang akan memeriksa apakah memang kasusnya demikian (ada keterlibatan magic), setelah memeriksa saksi- saksi dari kedua belah pihak- dari pihak anda dan suami, dan bukti- bukti yang ada. Jika pihak Tribunal menemukan bukti-bukti, maka permohonan pembatalan perkawinan anda dapat diluluskan, namun jika tidak ditemukan cukup bukti, maka permohonan tidak dapat diluluskan.
Sementara ini, sebelum anda menemui pastor paroki untuk mendiskusikan permohonan ke tribunal, silakan anda mengusahakan terlebih dahulu sebisa mungkin untuk mengajak suami anda untuk konseling dengan pastor di paroki atau dengan pastor yang mempunyai karisma mendoakan yang anda sebutkan di atas; semoga dengan demikian ia dapat bertobat dan kembali ke jalan Tuhan. Dengan demikian para pastor/ konselor itu juga dapat memberi masukan kepada anda mengenai kondisi perkawinan anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
terima kasih atas tanggapan dan sarannya. Saya bersyukur karena memang sejak dulu keluarga saya dekat dengan pastor maupun suster di paroki kami. Namun setelah saya kuliah dan bekerja di luar kota saya tidak begitu mengenal mereka. Sehingga pada saat saya mengalami kebimbangan saya tidak memiiki teman atau orang yang bisa saya ajak sharing. setelah saya menikah saya semakin tidak punya teman karena saya harus bekerja mengurus usaha mertua. Sebenarnya rencana awal kami akan tinggal dengan ortu saya karena usaha saya ada di rumah ortu. Tetapi kurang 2 bulan calon suami ketahuan menggunakan obat lagi padahal semua sudah dipesan untuk acara perkawinan. Beberapa sanak keluarga menganjurkan untuk membatalkan tetapi pihak ortu tetap bersikukuh untuk tetap dilakukan sesuai rencana. Pada awalnya saya berpikir dia lebih membutuhkan saya karena dengan ortunya sendiri pun dia tidak diperhatikan. Saya mencoba untuk mendampingi dia terus supaya menjadi lebih baik meski saya yang menjadi lebih buruk. Selama saya tinggal bersama mertua saya tidak lagi bisa mengikuti kegiatan menggereja dengan alasan keluarga lebih penting dan usaha jg sangat penting. Saya menurut dan meninggalkan tugas dewan pastoral di paroki asal. Namun saya merasa tersiksa dengan kondisi itu dan kehidupan doa saya juga semakin buruk saya tidak bisa mengambil saat teduh untuk berdoa krn kehidupan di sana kalau malam menjadi siang semua orang tidurnya pagi. Karena stress saya sempat dirawat di RS karena muntah ada darah yang menggumpal. Tapi saya terus berusaha untuk menerima apa adanya kondisi tersebut. Setelah ada anak saya lebih fokus ke anak. Saya merawat sendiri tanpa bantuan siapapun meski tinggal bersama mertua. Mertua sering mencaci saya dan anak saya tapi saya mencoba untuk selalu berpikir positif dan selalu berpengharapaan. Setelah 3 tahun hidup bersama mertua akhirnya saya boleh pindah ke rumah ortu karena adik ipar akan menikah. Setelah saya kembali ke paroki asal kerinduan saya untuk kegiatan gereja terpenuhi saya kembali dalam kegiatan sekolah minggu. Di sinilah saya mulai mendapat teman dan kehidupan menggereja saya lebih baik. tapi meski saya aktif di gereja saya merasa tidak bisa dekat dengan Tuhan. Setiap doa sulit untuk konsentrasi. Sampai saya didoakan oleh seseorang dan dia mengatakan akan melepaskan saya dari kuasa kegelapan. Sering saya berpikir kok aneh setelah saya menerima sakramen perkawinan bukannya saya semakin dekat dengan Tuhan kok malah semakin jauh. Sejak itu beberapa org yang dekat mengatakan bahwa dulu saya mungkin didukunkan. Saya coba konsultasikan dengan beberapa romo yang cukup dekat dengan kami bahkan beberapa kali saya ajak untuk konseling tapi tetap tidak ada arah untuk memperbaiki diri. Sudah tidak punya malu. Jika kondisi demikian apa yang harus saya lakukan? Terus terang batin saya berontak saya sudah tidak bisa mencintai dia ataupun menerima dia apa adanya. Kalau melihat pengennya emosi. Tapi kalau ingat sakramen perkawinan tak terceraikan saya jadi bingung. Mohon pencerahannya, terima kasih.
Shalom Yoyo,
Jika saya boleh menyarankan, silakan anda menggunakan Masa Prapaska ini untuk sungguh- sungguh berdoa dan berpuasa untuk mendoakan pertobatan suami anda, dan juga mohon agar anda dapat kembali mempunyai hubungan yang erat dengan Tuhan. Periksalah batin anda, dan silakan anda mengaku dosa di dalam Sakramen Pengakuan dosa di hadapan Pastor. (Tentang cara pemeriksaan batin yang baik, silakan klik di sini). Terutama mohon ampunlah kepada Tuhan jika anda pernah lebih mengutamakan keluarga dan pekerjaan daripada hubungan anda dengan Tuhan, sehingga dengan demikian anda semakin menjauh dari-Nya.
Pada saat anda mengaku dosa, katakanlah sejujurnya problem anda kepada pastor, dan mohonlah agar pastor mendoakan dan melepaskan anda dari pengaruh jahat. Terimalah rahmat pengampunan Allah melalui absolusi dari pastor dan dengarkanlah nasihatnya. Percayalah Tuhan Yesus yang hadir di dalam imam-Nya, adalah Tabib di atas segala tabib yang dapat menyembuhkan anda, terutama kerohanian anda yang sedang mengalami krisis saat ini.
Anda telah dibaptis, dan berarti Tuhan Yesus sudah memeteraikan anda sebagai milik-Nya, jadi tidak perlu takut terhadap kuasa- kuasa jahat. Anda dapat setiap hari berdoa agar Tuhan Yesus melindungi anda dan menjauhkan anda dari segala bentuk pengaruh kuasa jahat yang memisahkan anda dari Allah.
Setelah anda bertobat dan mengakui bahwa anda sendiri telah bersalah di hadapan Tuhan, berusahalah sedapat mungkin untuk menata kembali hidup anda dan hubungan anda dengan Tuhan. Tempatkan Tuhan sebagai yang utama dalam hidup anda, berdoalah senantiasa. Mohonlah kepada Tuhan dengan sangat agar Roh Kudus menggerakkan hati suami untuk bertobat. Doa seorang istri yang didoakan dengan sungguh dan dengan kasih akan sangat besarlah kuasanya. Mohonlah agar Tuhan mengubah hubungan antara anda dan suami yang sudah tawar seperti air menjadi manis kembali seperti anggur. Usahakanlah untuk berkomunikasi kembali dengan suami anda, walau dia kelihatan tidak bersahabat. Anggaplah anda melakukan semuanya ini demi kasih anda kepada Tuhan Yesus yang sudah terlebih dahulu mengasihi dan mengampuni anda.
Semoga anda dapat melihat kepada suami dengan belas kasihan. Sebab benar pandangan anda, jika bukan anda yang menolong suami anda, siapa lagi? Terutama jika orang tuanya ternyata tidak terlalu memperhatikan dia lagi. Anda sebagai istrinya, sebenarnya telah ditentukan oleh Tuhan menjadi penolong baginya, dan mohonlah kekuatan dari Tuhan untuk melakukan tugas anda itu. Dengan kekuatan anda sendiri, akan sulit bagi anda, tetapi bersama Tuhan, tidak ada yang mustahil. Mungkin Tuhan mengizinkan hal ini terjadi, karena Ia sudah mengetahui bahwa andalah yang dapat dipakai-Nya untuk membawa suami anda kepada pertobatan yang sejati. Saya pernah mendengar beberapa kesaksian yang kisahnya serupa dengan kisah anda; dan sungguh oleh keteguhan iman istrinya, suami dapat kembali ke jalan Tuhan. Selanjutnya sebagai keluarga mereka dapat membina kehidupan yang bahagia.
Maka penting bagi anda sekarang untuk memperkokoh iman anda dan hubungan anda dengan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus adalah pertolongan bagi anda, dan Ia tidak akan meninggalkan anda. Percayalah akan kuasa salib Kristus, yang olehnya Tuhan Yesus telah mengalahkan segala belenggu dosa. Namun diperlukan juga kerjasama dari pihak kita untuk menolak dosa, dan berteguh di dalam iman kepada-Nya. Janganlah berputus pengharapan, Yo. Jika Tuhan telah menolong banyak orang, Ia juga akan menolong anda, asalkan anda mempunyai iman dan pengharapan kepada-Nya. Kesengsaraan yang kita alami ini membuahkan ketekunan; dan ketekunan menimbulkan tahan uji; dan tahan uji menimbulkan pengharapan yang tidak pernah mengecewakan, sebab Roh Kudus telah dicurahkan kepada kita (lih. Rom 5:3-5). Ingatlah akan pengajaran dari Rasul Paulus, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Fil 4:13).
Semoga doa sederhana ini dapat terulang terus dalam hati anda, “Tuhan Yesus, tambahkanlah kasih di dalam hatiku untuk suamiku, agar dengan kasih ini aku dapat membantunya bertobat dan kembali ke jalan-Mu.” Saya akan turut mendoakan anda dan suami anda dari sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Romo Yth,
Berkah Dalem …
Romo, saya ingin bertanya.
Saya ingin menikah dengan pacar saya, yg berbeda keyakinan.
Saya Katholik dan dia Muslim, namun dia sudah mau untuk saya ajak menikah di Gereja.
Yang ingin saya tanyakan, syarat-syarat apa saja yg harus kami ikuti agar kami bisa menikah di Gereja.
Terima kasih atas jawabannya.
Salam,
widhia
Widia Yth
Kalau boleh saya sarankan jika anda di Jakarta ikuti program discovery besok minggu tgl 21 Febr 2010 di katedral saya memberi bersama pasutri Lies Talib untuk para pasangan yang mau menikah. Kedua jangan buru2 menikah biarkan dia ke Gereja dan mau dibaptis lebih baik dari pada sekarang mengambil keputusan menikah. Semoga berkat Tuhan menyertaimu.
salam
Rm Wanta
Shalom romo, saya mau menanyakan tentang kakak sy. Awalnya kakak sy sdh bertunangan dan mendadak btal menikah krn brtgkar hebat lalu putus. Kmdian kakak dkenallan pd bbrp perempuan, salh 1nya ternyata jg br ptus dr pacarnya. Br kenal 1bl lwt telp krn berbd kota kmdian kakak dtg menemuinya lalu dlm 3hr mrk lgsg jadian, dlm 1mgu kmdian lgsg memtuskan menikah pd tgal yg dulu memg sdh di buking u pernkahan yg btal. Kakak kmdian menikh scr sakramen katolik dg perempuan it. Ipar sy kbtulan lgsg hamil. Tp sjak mulai awal kelahran ank mrk mulai tak rukun. Ipar tak lg mau melayani kakak dgn alasan trauma melahrkan cesar. Sy lihat memg awalnya ipar sy byk ksalahan. Stiap hr selalu meninggalkan anknya pd pembtu dan pergi arisan, shoping, clubing, senam bhkan sampe lwt tengah mlm. Lama2 kakak sy jg mulai tak betah drumah dan selalu plg pagi. Skrg mereka sharusnya sdh 11th menikah tp sdh psah ranjang sjak thn pertama dan skrg malah sdh pisah rmh selama 4th. Kakak mengajukan bercerai dan scara hkum sdh putus tp ipar menolak ttd surat dgn alasan sdh sakramen. Sehga status hukum menggantung. Ipar jg meminta gono gini yg ckp besar misal 17th biaya perawatan anak cash dbyar dmuka, rumah, tanah dll. Kakak jd semakin benci krn merasa tertipu. Kakak skrg hanya mentrf uang tiap bln u kebth anak sj. Ortu sy sgt sedih melihat kakak sy hidup sendiri tak ad yg mengurusi. Rujuk tidak mau. Menikah lg tak bisa. Bgmana pendpt romo? Sy sgt tahu ap yg sdh dpersatukan ALLAH tak bs dpisahkan o manusia, jd menurt sy kalo udh terlanjur sumpah ya harus djalanin dgn cr saling mengalah dan mengerti dll, tp kalo mrka 2-2nya tdk bs dan tdk mau dnasehatin bgmana? Sy tdk tahan melihat ibu tiap malam menangis sambil doa malam. Jika memang bnar2 tdk bs rujuk. Ap bs mereka menikah lg dgn org lain? Terimakasih.
Indri Yth.
Saya anjurkan kakak anda menulis surat dan menceritakan kisah perkawinan dia dari saat pertemuan hingga perkawinan dan akhirnya bubar kepada pengadilan Gereja dimana anda berdomisili. Alangkah baiknya jika pastor paroki diberi juga surat tsb dan meminta bantuan hukum untuk dapat meneruskan ke pengadilan Gereja mencari keadilan atas perkara ini. Karena sudah cerai sipil dan tidak mungkin disatukan kembali maka pengajuan permohonan pembatalan perkawinan ke Tribunal perkawinan keuskupan harus disertai dengan alat bukti (surat keterangan bukti surat cerai sipil dll), saksi dan nanti akan dilihat semua apakah permohonan itu dikabulkan oleh Tribunal atau tidak untuk diteruskan proses anulasi/ pembatalan perkawinan-nya. Jika nantinya telah menerima pernyataan anulasi dengan bukti yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan oleh Tribunal kakak anda dapat menempuh perkawinan yang baru. Semoga Tuhan memberikan jalan terbaik untuk kehidupan selanjutnya.
salam
Rm Wanta
Salam damai…saya dari Malaysia Timur. Saya ingin memohon nasihat dan petunjuk. Sy sudah bertunang dgn pacar saya, tapi seorang protestan. Awalnya, kami setuju untuk nikah d gereja katolik. Namun, sudah 1 tahun bertunang kini keluarga tunangan saya tidak mengizinkan perkahwinan d gereja katolik. Saya malah coba d pujuk mereka untuk masuk protestan. Tunangan saya juga berusaha sekerasnya membawa saya tuk mengiikuti dia & berkahwin d gereja mereka. Dengan lembut, saya sudah menegaskan pendirian saya bahawa saya tetap katolik sampai bila-bila pun. Kerana memikirkan bahawa perkahwinan dgn non-katolik sukar untuk mencapai kebahagiaan walaupun kami saling mengasihi, saya cuba untuk mohon pertunangan d putuskan. Malangnya, tunangan saya tidak mau. Apa yang perlu saya perbuat? Saya tidak pernah bertemu dengan keluarga tunangan saya walaupun sudah genap 1 tahun pertunangan kami. Keluarga dia juga tidak merestui saya yang sebenarnya kerana mereka maukan menantu yang juga protestan… Saya sedih dgn hubungan kami yg seperti ini. Apa memutuskan pertunangan itu suatu tindakan yg bijak? Ma kasih….
Shalom Carol,
Saya turut prihatin dengan keadaan anda. Ya, memang kadang diperlukan pengorbanan untuk mempertahankan iman kita. Pada saat yang sulit ini, pandanglah salib Kristus, maka Carol akan merasa terhibur dan dikuatkan. Sebab Tuhan Yesus juga tidak menyayangkan nyawa-Nya untuk menyatakan kasih-Nya yang sempurna, maka kita semua juga dipanggil untuk menyatakan kasih kita kepada Tuhan sedapat mungkin dengan mengikuti segala kehendak-Nya, dan ya, itu termasuk juga dengan menjadi anggota dari Gereja yang didirikan-Nya.
Saya tidak tahu, apakah anda pernah membicarakannya dengan mantan tunangan anda, bahwa menikah di Gereja Katolik tidak mengharuskan dia menjadi Katolik. Dia dapat tetap menjadi Protestan, namun ia harus menyetujui bahwa anda tetap Katolik dan anak-anak nanti dididik secara Katolik. Jika dia menyetujui hal ini, maka sebenarnya kalian dapat menikah di Gereja Katolik, dengan ijin dari Ordinaris.
Namun halnya akan lain, jika anda sudah melakukan pembicaraan tentang hal ini namun tunangan anda menolak untuk menikah di Gereja Katolik; demikian pula keluarganya menolak untuk menerima anda karena anda Katolik. Maka di sini memang anda harus memutuskan sesuatu yang sulit, dan rupanya inilah yang anda putuskan, memutuskan hubungan pertunangan karena anda ingin tetap menjadi Katolik. Saya percaya Tuhan melihat ke dalam hati anda dan memahami semuanya. Sebab pada akhirnya, memang kita tidak dapat memilih iman sesuai dengan kehendak hati kita sendiri, tetapi kita harus bertanya, apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi saya.
Karena itu, saya rasa, walaupun pilihan ini sulit, namun jika memang suara hati anda mengatakan anda harus tetap di Gereja Katolik, maka ini adalah pilihan yang tepat. Saya akan turut mendoakan anda, semoga Tuhan mendampingi anda di saat-saat yang sulit ini. Semoga ada dapat mempertahankan iman anda dan ada saatnya anda dapat menemukan pasangan anda, yang jika mungkin seiman dengan anda dan seterusnya membina keluarga yang bahagia.
Salam kasih dalam kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shallom….terima kasih ya dgn nasihatnya. Betapa saya sungguh terharu membacakan tiap bait kata-kata yg d bicarakan. Ada penghiburan saya rasakan….kerana saya melihat betapa besar dan dalam kasih Tuhan itu buat anak-anakNya. Terima kasih juga atas doanya….sungguh menghargainya. Semoga saya punya kekuatan tuk menghadapi semua ini. Saya percaya Tuhan punya rencana yang lebih baik buat saya, kan? Sesungguhnya, saya benar-benar mau mempertahankan iman katolik saya. Thank you so much…
Salam damai..
Shallom Romo Wanta…
Romo,
saya akan mendatangi Katedral Surabaya untuk konsultasi perkawinan dan pengajuan pembatalan perkawinan, saya sudah bertemu Romo Paroki tapi sampai saat ini Romo belum memberi keputusan kapan saya akan dipertemukan dengan suami saya dan keluarganya. saya sudah menunggu 1 tahun keputusan apa dari suami saya tapi sepertinya suami saya tidak ada niatan untuk memperbaiki kelakuannya dan tidak ada niatan untuk pisah dengan saya ( dengan kata lain saya digantung ). saya juga butuh keputusan yang benar – benar jelas supaya status perkawinan saya jelas. karena seperti yang telah saya keluhkan ke Romo Wanta bulan lalu saya sudah tidak serumah lagi dengan suami saya, tidak dinafkahi dan anaknya ditelantarkan begitu saja.
sekarang yang mau saya tanyakan ke Romo Wanta :
apakah tindakan saya yang langsung datang ke konseling perkawinan di Katedral tidak ada masalah dengan pihak gereja paroki tempat saya tinggal ,Romo??
syarat – syarat apa saja yang perlu saya bawa nantinya,Romo???
saya kemaren waktu bertemu Romo Paroki, Romo Paroki memberitahu nantinya kalo sampai terjadi pembatalan perkawinan jalan pengurusannya agak rumit dan sidangnya nanti disamping akan dilakukan di Katedral Surabaya juga akan dilakukan di Katedral Jakarta ato Semarang .apakah akan serumit ini Romo???
mohon penjelasan atas pertanyaan saya ini,Romo Wanta….thx…
Tuhan Jesus memberkati….
Florencia Yth
Menjawab pertanyaan yang anda tanyakan: kalau di paroki tidak ada ruang konsultasi masalah perkawinan dan anda langsung ke katedral juga tidak apa. Mungkin yang anda maksudkan keuskupan. Proses ini memang biasanya 1-2 tahun tergantung pada pengumpulan bukti-bukti, tidak apa prosesnya harus dijalani demikian tapi akan menjadi jelas statusnya. Siapkan saja dokumen surat baptis, perkawinan gereja dan sipil, jika sudah ada surat perceraian sipil, kisah perkawinan anda, saksi-saksi yang bisa dihubungi, nanti disertakan dalam surat permohonan pembatalan anda ke tribunal keuskupan Surabaya. Jika ada yang kurang akan disampaikan oleh petugas tribunal. Tuhan memberkatimu
salam
Rm Wanta
Shalom bu,
Saya mengangkat topik ini sehubungan banyaknya umat Katolik melakukan (menjalankan) pernikahan dengan seberang menyeberang tanpa ada beban dan rasa bersalah, mohon penjelasan dan komentarnya.
Sebuah kenyataan bahwa seorang perempuan 20thn lalu pernah menikah (th 1989) dengan seorang pria beragama Katolik, saat itu perempuan tsb belum menerima Yesus, menikah dengan pria (beragama Katolik) dengan pemberkatan nikah secara Katolik (tanpa Catatan Sipil), memiliki Surat Nikah yang di keluarkan oleh Gereja Katolik.
mereka berpisah setelah 3 tahun menjalani pernikahan. (dan saat ini suaminya telah meninggal)
Pemberkatan Nikah ini dilakukan di salah satu Gereja Katolik (di Jakarta) itu menurut saya agak berbeda, dimana Pemberkatannya dengan Dispensasi Beda Agama yang tidak dilakukan di depan Altar Gereja.
Pertanyaan saya:
1. Dimana perbedaan relevasi Pemberkatan Nikah (menurut Gereja) yang di lakukan di depan Altar dengan tidak di depan Altar Gereja (dilakukan di kamar kerja Romo).
2. Apakah ada peraturan khusus mengatur bahwa pemberkatan nikah tidak boleh dilakukan didepan altar disebabkan karena pihak perempuan sudah mengandung sebelum nikah.
3. Masih berlakukah Surat Nikah yg pernah di keluarkan oleh Gereja Katolik setelah suaminya meninnggal? (atau dengan sendirinya menjadi gugur oleh kematian sang suami).
4. Apabila tidak pernah ada pembatalan nikah (setelah suaminya meninggal), bagaimanakah status perempuan tsb berstatus janda atau bebas? (mengingat sebelum suaminya meninggal mereka sudah berpisah hampir 17th lamanya)
5. Bolehkah wanita tsb menikah lagi secara dispensasi? tanpa membatalkan surat pernikahan terdahulu, mengingat perempuan tsb sekarang beragama Protestan (yang tidak tunduk kepada peraturan Gereja Katolik).
6. Apakah pernikahan beda agama akan menyebabkan rapuhnya sebuah pernikahan ke Kristenan?
Di dalam kehidupan masyarakat ke Kristenan, banyak telah terjadi sebrang menyeberang hanya di sebabkan oleh tindakan Pemberkatan Pernikahan, sebagai contohnya dimana seorang Protestan mengajak nikah dengan yang Katolik dengan mensyaratkan Pembaptisan ulang (selam), yang kemudian baru dilakukan Pemberkatan di Gereja Protestan,
sebaliknya pihak Protestan menolak Pemberkatan secara Katolik dengan alasan ‘Dispensasi dan arti Baptisan’ yang menurut mereka tidak alkitabiah (mohon komentar serta penjelasan alasan ‘Dispensasi beda Agama’))
Sekian dan terima kasih atas kesediaan team katolisitas.org
Salam sejahtera,
Felix Soegiharto
Felix yth
Ketentuan peneguhan perkawinan adalah di gedung gereja, kapel atau di tempat lain merujuk pada kanon 1118 yang berbunyi: Perkawinan antara orang- orang Katolik atau antara pihak Katolik dan pihak yang dibaptis bukan Katolik hendaknya dirayakan di gereja paroki, dapat dilangsungkan di gereja atau ruang doa lain dengan izin ordinaris wilayah atau pastor paroki. Tempat itu haruslah layak. Kalau di tempat kerja apakah layak? Bisa anda menilainya sendiri. Tidak ada aturan umum apalagi universal tentang peneguhan perkawinan tidak boleh di depan altar lantaran salah satu pihak sudah hamil. Kalau toh terjadi hal itu karena aturan pastoral partikular setempat. Surat nikah Gereja Katolik tetap berlaku namun jika salah satu pihak meninggal tentu tidak lagi karena hubungan/ikatan perkawinannya terputus oleh kematian. Status pihak yang ditinggal oleh kematian tentu bebas (janda atau duda) dan dapat memulai perkawinan baru. Kalau menikah dengan orang Katolik tentu harus meminta izin sedangkan dia Protestan menikah dengan Islam, maka tidak terkena aturan Gereja Katolik. Perkawinan campur beda agama atau beda gereja bukanlah yang ideal diharapkan oleh Gereja Katolik dan tentu memiliki kerapuhan. Gereja Protestan tidak memiliki kodeks atau UU Gereja (KHK 1983) seperti Gereja Katolik maka sulit kalau saling menyatakan sah atau tidak alkitabiah. Peneguhan sangat alkitabiah tidak terceraikan, perkawinan Kristen Protestan bisa terceraikan oleh pengadilan sipil dan diakui (pendapat seorang pendeta). Coba anda tanyakan sendiri, bisa menambah wawasan.
Semoga dapat dipahami.
Salam dan berkat Tuhan
Rm Wanta
shallom,,,,
Romo,nama sy FLOW…sy sudah menikah taon 2006 dengan seorang yang sama sama katolik.sekarang saya sudah pisah ranjang selama 10 bulan tepatnya mulai bulan maret awal sampai sekarang.ada banyak masalah yang kami berdua tidak bisa menemui titik temu yang baik sampai akhirnya ada kejadian seperti ini.
awal pernikahan kami semua baik baik saja, baru menginjak 6 bulan pernikahan kami baru timbul masalah masalah.pada waktu itu juga merupakan awal kehamilan anak pertama kami.pada waktu saya hamil 2 sampai 9 bulan dan detik detik sy mau melahirkan ada saja acara di keluarga mertua mulai dari acara syukuran pindah kerja adik ipar sy,wisuda adik ipar sy yg perempuan,meninggalnya salah seorang kerabat (pa’de suami),ultah keponakan yg umurnya wkt itu 1 taon,tunangan sampai detik mendahulukan kepentingan calon kakak ipar adik ipar sy yg mau lairan juga. sy tidak pernah melarang dengan acara acara itu asal bisa melihat mana yang lebih penting.waktu sy hamil (mulai hamil 2 bulan sampai 7 bulan sy mengalami yg namanya sindrom kehamilan,muntah muntah hebat yg tiap hari kurang lebih 50X muntah)yg bagi sy lebih membutuhkan suami ada disamping sy tapi suami sy lebih mementingkan acara keluarganya dibanding istrinya.kalo hanya syukuran kan bisa dia tidak datang karena istrinya lebih penting dari makan makan.kalo ke pemakaman itu sy tidak melarang tapi setelah acara itu selesai kan seharusnya langsung pulang tapi apa yang diperbuat keluarga suami saya malah jalan jalan ke Giant Mall padahal dirumah istrinya seperti itu kondisinya.dan apa pantas dari pemakaman ke tempat Mall seperti itu???
lalu dengan pertunangan adik perempuannya itu.seminggu sebelum acara pertunangan sy datang ke rumah mertua dan mertua bicara kalo mau ada acara tunangan tetapi …BELUM ADA RENCANA KAPAN…tiap orang wajarkan kalo mikirnya tunangan itu masih lama soalnya mertua sudah bicara kalo belum ada rencana.tapi setelah saya pulang dari sana 3hari kemudian mertua telpon ke suami sy tanpa telpon ke sy mengabarkan kalo hari minggu depan adik perempuannya mau tunangan.padahal perkiraan dokter minggu minggu itu sy melahirkan.tapi waktu sy telpon mertua perempuan sy, kalo saya minta tolong supaya suami sy diijinkan untuk tidak datang malah mertua sy bicara dengan nada keras ke sy kalo suami sy harus datang.lalu mertua sy bilang kalo pertunangan itu diajukan karena takutnya calon kakak ipar adik perempuan suami sy lairan juga padahal waktu itu kandungannya masih usia antara 7-8bulan sedang menantunya sendiri (sy ini)sudah detik detik melahirkan.kalo sy bertanya ADILKAH INI???
sampai sy berfikir semisal waktu suami sy berangkat pulang ke rumah ortunya sy melahirkan,lha suami sy pulangnya naik bis lewat tol dan waktu itu sy melahirkan apa suami sy bisa pulang sedangkan bisnya baru lewat tol yang cukup panjang.atau kalo sampai terjadi apa apa dengan baby sy ato sy sendiri apa mertua sy mau disuruh bertanggung jawab??sy sampai detik hari ini tidak tau apa maksud dari mertua sy ini….
yang lebih tragisnya lagi kurang 4hari kelahiran anaknya suami sy membeli rumah tanpa bicara ke sy sebagai istrinya,katanya untuk surprais.tapi DP rumah kurang sy yang mau melahirkan ini diajak bertemu developer dengan alasan kalo DP rumah mau dipake’ ceasar padahal dalam benak sy tidak pernah terlintas untuk melahirkan secara ceasar.puji Tuhan sy melahirkan normal.
setelah melahirkan banyak masalah yang timbul, sy dituduh selingkuh gara gara suami saya dihasut anak kost dirumah sy.padahal kalo sy pergi kemana mana selalu sama anak kost yang beda beda.dengan menuduh sy selingkuh suami sy bilang kalo teman teman kerjanya yang tau.sy sampai detik hari ini menunggu suami sy untuk mempertemukan sy dengan teman temannya yang tau kalo sy selingkuh karena sy memang minta bukti yang jelas.tetapi sampai detik hari ini dia tidak bisa membuktikan…
suami sy juga pernah bilang ke sy sejak menikah dengan sy tidak punya teman,tidak bebas.ya jelas sy marah karena selama ini sy tidak pernah melarang suami sy untuk bergaul,berteman ato pun maen dengan siapa saja asal tau waktu.sy memang melarang dia pulang malam kalo pas hari kerja karena besuk paginya harus kerja tapi kalo weekend dia mau pergi sampai pagi sekalipun sy tidak pernah melarang.
sampai terjadi tengkar bulan februari kemarin,sy sudah tidak kuat lagi sampai sampai sy keluar kata kotor karena otak sy sudah penuh masalah. sy selama menjadi istrinya tidak pernah menuntut apapun karena sy tau suami sy belum mampu membahagiakan sy sepenuhnya (dalam artian secara financial kami masih belajar menata keu kami).maksud sy dengan sy terima keadaan seperti ini sy mohon dia hanya terbuka dan hargai sy sebagai istri itu saja.tapi itu tidak pernah dia berikan ke sy.
sy selama 3taon hidup dengan suami sy gaji dijatah,slip gaji diberikan ke sy setelah 11 bulan sy menjadi istrinya (itupun sy minta dengan pertengkaran),slip gaji yang ada THRnya tidak pernah diberi ke sy,anak lahir sampai detik hari ini sy dan ortu sy yang merawat tanpa ada pembantu,urusan RT mulai mencuci,setlika,mengepel,memasak sy sendiri yang kerjakan.yang lebih tragis lagi sejak suami sy pisah ranjang mulai maret sampai desember ini tidak membiayai hidup sy dan anak sy.sy dan anak sy di tinggal begitu saja di rumah ortu sy.suami sy sekarang menempati rumah barunya.
suami saya juga sudah bicara ke om,tante dan keluarga besar sy kalo tidak cocok sm ortu sy padahal untuk bicara dengan ortu sy 1bulan belum tentu bicara.(darimana dia bs bilang kalo tidak cocok dengan ortu sy sedangkan dia jarang bicara dengan ortu sy???)
suami sy juga pernah bilang kalo dia sengaja tidak membiayai anak-istri untuk memberi pelajaran ke sy.
sy sudah menemui romo paroki dan sampai saat ini masih diusahakan untuk berdamai tetapi sy dan ortu sy sudah tidak mau lagi ada “kata damai”.rasanya sudah cukup sampai disini saja sy sama sama dengan dia lagi.sy sudah capek dan otak sy sudah penuh rasanya.2bulan ini sy baru taraf pemulihan psikologi sy kembali dan sy sudah tidak mau direpotkan lagi dengan masalah ini yang menguras otak,tenaga dan fikiran sy.badan sy sekarang sudah agak gemuk tetapi waktu masih ada suami sy rasa takut,was was selalu ada dan menghantui sy.
yang jadi pertanyaan sy,Romo:
1. apa pernikahan katolik seperti ini & bagaimana sih hukum perkawinan gereja katolik???
2. apa menelantarkan anak-istri bukan merupakan dosa???
3. jika suatu saat suami sy menginginkan anaknya ikut dia sedang sy pribadi tidak memperbolehkan karena suami sy sudah menelantarkan anak-istrinya apa itu diperbolehkan dlm agama???
4. sy sudah melaporkan hal ini ke romo paroki tempat sy menerima sakramen perkawinan,karena sy tdk menerima sakramen perkawinan di gereja sy tapi di gereja tempat suami sy tapi tdk ada tanggapan.apa perkawinan katolik di tiap gereja katolik yang beda kota tidak sama hukumnya dan ajarannya,sedang tau anaknya berbuat sprt ini ke istrinya mertua sy malah mendukung anaknya???
5. jika sy pribadi sudah tidak mau bersatu lagi dan sampai terjadi perceraian,apa gereja katolik memperbolehkan???
6. apakah jika suatu saat sy menikah kembali secara katolik itu masih diperbolehkan???(entah nantinya misal jodoh sy non katolik sekalipun)
terima kasih Romo atas waktunya,sy mengharap Romo bisa membantu dalam menyelesaikan masalah sy ini.sy tunggu balasan dari Romo…thanks..Tuhan Jesus Memberkati….
Florencia Yth
Saya prihatin dengan keadaan anda, masalah yang anda hadapi intinya pada komunikasi dan ketidaktahuan tanggungjawab sebagai suami/istri. Cobalah anda membuat kisah perkawinan anda dan sampaikan kepada pastor paroki anda untuk memperoleh keadilan dalam perkawinanmu. Perkawinan katolik berdasarkan cinta personal membentuk persekutuan yang tetap dan tidak terputuskan serta bersifat unitas. Tujuannya kebahagiaan dalam hal ini kesejahteraan suami/isteri (bdk kan 1055). Memang menjadi suami dan isteri perlu persiapan perkawinan yang sungguh mendalam, tanggungjawab dan tugas sebagai suami isteri perlu dipahami secara utuh dan mendalam. Karena itu hal yang penting bagi mereka yang mau menikah secara katolik. Menelantarkan anak isteri tentu bertentangan dengan tanggungjawab sebagai suami dalam perkawinan (bdk kan 1095) nampak kewajiban suami isteri dalam membangun hidup perkawinan sejahtera, kebaikan anak dan kebaikan sakramen perkawinan juga menjadi pilar-pilar kehidupan perkawinan yang baik. Kalau ini ada cacat/ halangan menikah dan terbukti maka bisa dimohonkan pembatalan perkawinan. Kalau anda tidak mau lagi hidup bersama dengan suami anda Gereja juga memberi izin tentu dengan alasan yang sangat berat (tidak bisa rujuk damai lagi). Maka sampaikan hal ini pada pastor paroki anda, kemudain ke keuskupan (tribunal perkawinan). Jika anda mau menikah lagi tentu diperhatikan status anda dalam hal ini hubungan ikatan perkawinan dengan suami anda sekarang bagaimana? Karena itu status anda harus jelas dengan kenyataan kegagalan dalam membangun perkawinan. Jika di kemudian hari status anda jelas bebas (perkawinan anda ini dengan suami dapat dibatalkan) anda bisa menikah lagi. Untuk melangkah pada proses itu silahkan memohon kepada Tribunal Gereja di keuskupan anda berdomisili.
Tuhan memberkatimu
salam
Rm Wanta
Shalom…..
Terima kasih Romo Wanta atas balasannya, semoga dengan petunjuk yang telah diberikan kepada sy semua masalah sy segera dapat terselesaikan.
sy mohon bantuan doa agar sy kuat menghadapi masalah ini dengan penuh kepasrahan diri secara utuh kepada Tuhan Jesus yang telah memberi sy, anak sy dan keluarga sy kesabaran sampai detik hari ini….
Tuhan Jesus memberkati….
Shallom Rm. Wanta….
Romo, saya mau tanya apakah suami saya yang telah berbuat kesalahan seperti itu dan sejak tidak tinggal dengan saya jarang ke Gereja masih diperbolehkan menerima Tubuh Kristus (hosti)???
terus terang Romo,,setiap perkataan siapa saja sampai detik asisten Imam sekalipun(yang juga manager di tempat kerjanya) tidak pernah dia dengarkan malah disangganya. padahal maksud asisten Imam(yang juga managernya di kantor) memberi solusi kalo perbuatan dia ke anak-istrinya salah, itupun tetap disangga. sampai-sampai dia pernah bilang kalo dia tidak memberi nafkah mau kasih saya pelajaran biar “kapok”. saya cuma bisa ngelus dada.
perbuatan seperti ini orangtuanya juga tau tapi malah mendukung, saya tau nya waktu dipertemukan di rumah asisten Imam tadi, saya bilang didepan bapaknya buktinya bapaknya tidak kaget sama sekali dan tidak merespon bicara saya.
sampai kadang-kadang saya berfikir ini “manusia apa setan” sampai siapa saja kasih tau dia tidak didengarkan…
terima kasih Romo, saya tunggu balasannya…..
Tuhan Jesus Memberkati….
Florencia Yth
Allah itu maharahim demikian ditunjukkan oleh Yesus Kristus ketika di salib Dia memberi pengampunan bagi orang yang berdosa di sebelah-Nya di Golgota. Tidakkah Dia juga mengampuni dosa orang yang bertobat dan mohon pengampunanNya.
Perlu doa dan orang yang memiliki kewibawaan seperti Pastor memberikan nasehat kepada dia.
Semoga Tuhan memberikan jalan terbaik di tahun baru 2010.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid,
Shalom Florencia,
Sepertinya ada baiknya, dan jika masih memungkinkan, anda mengajak suami anda menemui pastor paroki ataupun mengikuti konseling keluarga. Pertama-tama dalam perkawinan Katolik memang yang harus diusahakan adalah mempertahankan ikatan perkawinan. Jalan mengurus pembatalan perkawinan adalah yang jalan yang terakhir, terutama jika memang dilihat terdapat cacat konsensus, halangan menikah dan cacat forma kanonika dari awal dan bahkan sebelum perkawinan dilangsungkan.
Anda tidak mengatakan di sini apakah suami anda Katolik atau Protestan. Jika anda menikah di gereja Protestan maka memang ada cacat forma kanonika di sini. Lalu pertanyaan anda apakah jika suami sudah lama tidak ke gereja dan tidak memberi nafkah pada istri, memang seharusnya ia tidak menerima Komuni, apalagi jika ia bukan Katolik. Karena menerima Komuni pada Misa Kudus mensyaratkan bahwa yang menerima tidak sedang dalam kondisi dosa yang berat. Karena kalau ia dengan sengaja tidak ke gereja pada hari Minggu dan dengan sengaja tidak memberi nafkah walaupun sesungguhnya ia bisa memberi nafkah, maka sesungguhnya hal- hal tersebut melanggar perintah Tuhan [Jika suami anda Katolik, seharusnya ia mengaku dosa dahulu dalam Sakramen Tobat sebelum dapat menerima Ekaristi]. Namun di sini masalahnya adalah, dapat saja suami tidak tahu bahwa ia sedang hidup dalam dosa berat, atau dia acuh terhadap keadaan ini. Untuk hal ini memang anda perlu mendoakan bagi pertobatannya. Atau, jika masih memungkinkan aturlah pembicaraan empat mata dengannya, dan ajaklah ia untuk merenungkan bagaimana seharusnya mempersiapkan diri sebelum bisa menyambut Ekaristi. Bagaimanapun juga, di hadapan Allah, dia adalah suami anda, ayah dari anak anda, yang kepadanya anda telah berjanji untuk hidup setia sampai kematian memisahkan anda dengannya, dan anda sebagai istrinya tetap mempunyai tugas untuk mendampinginya untuk kembali ke jalan Tuhan. Maka anda dapat mengingatkan dia akan pentingnya persiapan batin sebelum menerima Komuni, namun tentu dengan nada yang tidak menyalah-nyalahkan, karena jika demikian maka akibatnya bisa kontra-produktif, dan malah suami jadi makin ‘anti’ menyambut Komuni. Padahal pada saat yang sulit sekarang ini, justru hanya Yesuslah yang dapat “menyembuhkan” dan memulihkan hubungan anda dengan suami, yang dimulai dari menyembuhkan luka batin yang ada dalam diri anda masing-masing. Maka baik anda dan suami sungguh membutuhkan rahmat Tuhan yang mengalir lewat Komuni Kudus. Semoga dengan teratur menyambut Komuni, anda berdua diberikan kemampuan dan kekuatan oleh Tuhan sendiri untuk saling mengampuni dan kembali mengasihi satu sama lain.
Flow, meskipun anda sementara ini telah berpisah dengannya, bukan berarti anda telah benar-benar berpisah dengannya di hadapan Tuhan, karena firman Tuhan mengatakan, “Apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Mat 19:6). Maka gunakan waktu-waktu yang ada sekarang ini untuk introspeksi diri, apa yang dapat Flow lakukan untuk memperbaiki hubungan anda dengan suami, demi anak anda. Baru jika semua jalan telah anda tempuh dan sampai kepada jalan buntu, silakan anda mengurus pembatalan perkawinan, terutama jika anda mempunyai bukti-bukti dan para saksi yang dapat memberikan kesaksian bahwa memang sejak awal terdapat halangan menikah, ataupun cacat forma kanonika. Silakan anda diskusikan hal ini dengan pastor paroki anda. Pihak Tribunal Keuskupan nanti yang akan menindaklanjuti permohonan anda.
Akhirnya, Selamat memasuki Tahun Baru 2010, semoga ada titik terang bagi anda dalam menyikapi keadaan kehidupan keluarga anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Romo, saya ingin meminta tanggapan dan petunjuk Romo.
Begini Romo, saya sedang menjalin hubungan dengan seorang mualaf. Dilihat dari background pacar saya (maaf apabila pendapat saya salah), saya kira dia menjadi mualaf hanya karena masalah cinta dengan pacarnya terdahulu. Perlu diketahui, dia dulunya adalah seorang penganut kristen sebelum menjadi mualaf, dan saya adalah seorang katholik (Tapi maaf, jujur saya masih sering malas ke gereja).
Seiring hubungan kami, orangtua pacar saya merestui hubungan kami (Puji Tuhan) dan mereka mendorong / cenderung memaksa saya untuk segera membentuk ikatan serius dengan putrinya. Tetapi ternyata, orang tua pacar saya juga memaksa saya untuk merubah agama putrinya agar kembali lagi ke dalam iman kristiani, hal ini juga sebagai syarat agar memperoleh restu secara mutlak dari orangtuanya. Saya terus didesak akan hal ini, tiap kali sowan, saya selalu diingatkan hal ini, baik oleh Ayah, Ibu dan Neneknya (Kakek dari Ibunya juga seorang muslim, juga kakak perempuan Ibunya).
Jujur dalam hati, saya sangat ingin merubah dia untuk kembali lagi. Tetapi saya tidak berani mengungkapkannya secara frontal/terang-terangan. Saya tidak sampai hati. Saat ini saya sangat bingung akan situasi ini. Saya sering berpikiran buat apa ada agama jika nantinya hanya mengkotak – kotakkan manusia. Saya Pasrah, jika nantinya dia tetap teguh pada imannya, bagi saya yang penting dia punya pedoman hidup yang membatasinya agar tidak berbuat melenceng.
Tapi sampai saat ini, saya masih bingung apa yang harus saya lakukan, agar pacar saya kembali. Saya ingin mempunyai istri yang seagama, saling memotivasi iman, menegur apabila saya lupa akan Tuhan, bersama – sama ke gereja. Pokoknya, hidup bersama dalam iman katholik.
Saya pernah tinggal bersama pacar saya kira – kira selama 3 bulan, saya tahu ini dosa, tetapi keadaan benar – benar mengharuskan kita untuk sementara tinggal bersama. Selama tinggal bersama inilah, saya mencoba, meneladani dia, tiap pagi hari dan malam hari saya selalu berdoa. Dia kelihatannya tidak nyaman melihat saya berdoa, saya lihat dengan gerak – geriknya yang membelakangi saya. Begitu juga sebaliknya ketika dia sholat. Sewaktu bulan puasa kemarin, saya selalu menemaninya puasa, membelikan sahur, menemani sahur, dll. Jujur, saya cenderung agak tidak nyaman, tetapi saya tetap tidak berani memperlihatkannya secara langsung.
Saya pernah baca diarynya dulu, bahwa dia menjadi mualaf, karena tidak cocok dengan konsep trinitas/ tri tunggal maha kudus. Dan juga simbol salib. Dia sempat merasa di anak tirikan oleh orangtuanya ketika orangtuanya mengetahui dia menjadi muslimah. Saya sesekali menjelaskan konsep trinitas (menurut pendekatan saya) kepada dia. Dan saya juga pernah bilang, “apapun kata orang tentang Yesus, baik hal tersebut benar atau salah, saya tidak akan mengkhianatinya, Yesus adalah Bapaku, dan pantang bagiku mengkhianati Bapaku sendiri.” begitu kira – kira.
Demikian Romo, curhatan saya, maaf apabila agak panjang, karena saya sudah bingung harus berbicara kepada siapa lagi seain Tuhan. Mohon tanggapan dan petunjuk Romo. Terima kasih.
– Salam Damai Kristus –
Anto Yth
Kalau ingin merubah dia kembali menjadi Kristen tentunya dengan prinsip umum tidak memaksakan dan menghormati kebebasan dia bergama. Namun keinginan anda juga menjadi pegangan, agar kelak dia menjadi Kristen/Katolik kembali; karena itu kesaksian hidupmu sangat penting. Jika sebelum perkawinan dia mau menjadi Katolik syukur kepada Allah tapi jika belum dia sudah mau ikut anda itu juga syukur kepada Allah. Selanjutnya ajaklah ke Gereja Katolik, beri pelajaran tentang agama Katolik nanti saatnya Roh Kudus bekerja menghasilkan buah yakni Pembaptisan. Karena itu jangan terburu-buru tapi biarlah Tuhan juga bekerja dalam diri pacarmu, semoga akhirnya ia dapat menjadi Katolik, mengikuti panggilan yang luhur dan mulia.
salam
Rm Wanta
Salam damai, mohon pencerahannya…
“St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, “Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia” (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia.[18]”
Apakah maksud ayat tersebut diatas? apakah ini berarti suami hrs tinggal dimana istri tinggal? bagaimana jika istri menolak tinggal serumah dengan suami kecuali dirumah orang tuanya (istri)?
Terima Kasih.
Shalom Robertus,
Pada prinsipnya ayat Mat 19:6 itu adalah Gereja Katolik (sesuai dengan pengajaran para Bapa Gereja, seperti Yohanes Krisostomus) tidak memperbolehkan perceraian, di mana suami meninggalkan istri atau memutuskan dia.
Maka jika terjadi masalah apapun yang terjadi di antara suami dengan istri, perceraian sesungguhnya bukan merupakan pilihan, melainkan harus pertama-tama diusahakan jalan keluarnya yang dapat diterima kedua belah pihak. Maka dalam hal istri menolak tinggal serumah dengan suami, maka harus dicari jalan keluarnya. Misalnya, ditanyakan terlebih dahulu alasannya, dan dari situ dicari jalan keluarnya. Apakah karena orang tua istri sakit sehingga membutuhkan pengawasan istri anda, atau apakah rumah suami terlalu jauh dari tempat kerja dan sekolah anak-anak, atau apa? Baru kemudian anda melihat bagaimana menyelesaikan masalah yang ada, termasuk, jika memang anda harus tinggal di rumah mertua, maka bagaimana menciptakan privasi antara suami dan istri, entah merenovasi rumah menjadi bertingkat dua, atau membangun pavilion, jika ada lahan yang memungkinkan di kapling rumah mertua tersebut, atau apapun yang dapat diusahakan agar tetap ada privasi sebagai suami istri di rumah mertua tersebut.
Selebihnya harus ada pendekatan dari hati ke hati dengan pihak istri dan keluarganya, sebab seharusnya merekapun memahaminya, jika alasan yang dikemukakan sangat masuk akal. Jika anda yang sedang mengalami pergumulan ini, silakan anda membawanya di dalam doa, dan semoga akan ada jalan keluarnya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Anto yang baik,
Saya hanya ingin menyatakan solidaritas saya kepada Anda untuk terus berjuang. Saya juga sependapat dengan Romo Wanta bahwa Anda harus memberikan kesaksian hidup. Bagus sekali bahwa pacar Anda kurang sependapat dengan konsep trinitas dan salib. Karena itu ada baiknya Anda juga mengambil sikap kritis mengenai kedua hal di atas dan banyak belajar lagi dari sumber – sumber Katolik yang bisa dipercaya seperti website katolisitas.org ini. Dengan demikian iman Anda pun diteguhkan mengenai kedua konsep di atas dan Anda juga dapat memberikan jawaban yang lebih baik kepada pacar Anda daripada hanya menelan mentah – mentah ajaran Gereja.
“…..Dan siap sedialah untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.” 1 Ptr 3 : 15.
Tuhan memberkati
Mlm Romo. Salam damai Kristus.
saat ini saya mengalami mslh dlm klrg. Sy menikah 3 tahun, dikaruniai 1 anak. sy nikah secara gereja katolik meskipun istri saya awalnya muslim. tapi setelah nikah dia saya baptis serta menerima sakramen krisma.sejak awal saya mau menikahi dia asal dia mau masuk katolik, dan dia menyetujui syarat yang saya ajukan tadi.tetapi setelah berjalan 2 tahun dia bimbang dan akhirnya 3 bulan yang lalu dia masuk Islam kembali dan menyewa pengacara untuk menggugat cerai saya. satu lagi yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan romo,(sblmnya sy minta maaf jika tidak pantas) sblm nikah, kami telah berhubungan intim hingga dia hamil..pada saat pernikahan kami berjalan kurang lebih 2 tahun pernah terlontar ucapan dari dia bahwasanya dia menikah dengan saya lantaran hanya karena dia telah hamil, dan dia tidak benar2 mencintai saya..seperti disambar petir rasanya waktu dia bilang itu..dengan kasus saya apakah gereja bisa meluluskan permintaan saya untuk pembatalan pernikahan..mengingat umur saya yang msh relatif muda (26 tahun) apakah saya harus merana dikarenakan kebijakan gereja bila tidak meluluskan pengajuan pembatalan pernikahan tersebut..mohon pencerahan .karena ini semua merupakan awal dari langkah saya untuk menempuh hidup baru saya..terima kasih..salam damai Kristus..
Mr A Yth,
Anda dapat mengajukan permohonan anulasi/ pembatalan perkawinan dengan membuat libellus dan ditujukan pada tribunal perkawinan di keuskupan dimana perkawinan anda diteguhkan.
Persoalan nantinya apakah permohonan pembatalan perkawinan anda diluluskan atau tidak adalah soal lain. Ini akan ditentukan oleh yang berwenang, yaitu para hakim di tribunal setelah mengadakan penyelidikan yang diperlukan dan sesuai dengan bukti-bukti. Yang penting, anda membuat libellus dan memberikan bukti-bukti kuat untuk dianulir perkawinanmu. Mintalah seorang imam pastor parokimu untuk mendampingimu. Tuhan memberkatimu
salam
Rm Wanta
Yth Romo Wanta
Ada pasangan suami istri yang telah menikah selama 10th
tiba tiba si suami berubah menjadi penjudi,pemabuk,suka memukul dan membawa wanita lain ke rumah
tidak perduli ada anak anak mereka , telah dicoba hidup berpisah selama setahun tetapi kelakuan suami semakin bertambah parah tetap mengganggu Istri dan anak anaknya
Untuk menyelamatkan anak anak dari kekerasan dan contoh perilaku yang buruk si istri menuntut cerai
kesedihan istri semakin bertambah karena oleh Gereja dilarang menerima HOSTI
Sedangkan dari semua ayat di kitab suci tidak satupun ayat yang melarang pasangan yang bercerai untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus. Larangan Gereja akan semakin mengucilkan dariNya , Karena larangan diperlakukan sama tanpa ada pertimbangan siapa yang bersalah kalaupun dianggap bersalah karena melanggar sabda Allah
bagaimana dengan pencuri,pendusta,penzinah ?
Saya kira Larangan Gereja perlu ditinjau ulang.
Salam
TonnyW
Tony Yth
Membaca kisah perkawinan keluarga yang anda tanyakan pada saya, maka sebenarnya, tidak ada alasan bagi Gereja yang melarang istri pihak yang lemah dan menderita karena perlakukan kekerasan dan perilaku buruk dari suami terhadap keluarga dilarang menerima komuni kudus. Pelarangan itu keliru. Dalam dokumen Familiaris Consortio Paus Yohanes Paulus II menekankan agar Gereja tidak mengucilkan dan menelantarkan keluarga yang retak dan bercerai, yang disebabkan karena bukan kesalahan dirinya seperti yang anda ceritakan. Gereja harus melindungi pihak istri yang tidak bersalah dalam hal ini karena tindakannya. Namun, jika si istri hidup bersama orang lain dan hidup dalam keluarga yang tidak sah ataupun menikah lagi, maka benarlah bahwa hal itu dilarang oleh Gereja dan ia tidak bisa menerima komuni. Satu hal penting, perceraian sipil tidak mempengaruhi efek yuridis ikatan perkawinan kanonik Gereja.
salam, Rm Wanta.
Yth : Romo Wanta
Terima kasih atas penjelasannya.
tentunya penjelasan Romo sangat melegakan pihak yang teraniaya
Regard
TonnyW
syalom…
saya punya teman, dia seorang protestan dan suaminya katolik. mrk menikah secara protestan. kemudian muncul masalah, suaminya berselingkuh dengan wanita lain.ketika istrinya bertanya knp suaminya melakukan hal demikian, suaminya berkata bahwa pernikahan mereka tidak sah karena tidak secara katolik. secara hukum sipil mrk sah. pertanyaan saya:
1. apakah benar yang dikatakan oleh suaminya itu? karena menurut saya, apabila mereka sudah diberkati dalam pernikahan entah oleh pendeta ataupun pastor, dimata Tuhan mereka adalah sah suami istri.
2. mana yang lebih penting, mengikuti aturan gereja atau aturan Firman Tuhan? karena menurut saya, Firman Tuhan adalah dasar bagi gereja untuk membuat aturan gereja, bukan aturan gereja yang mengatur Firman Tuhan.
mohon penjelasannya romo..terima kasih Tuhan berkati
Suwarni Ybk.
1. Perkawinan yang sah atau tidak harus dilihat dulu pada waktu perkawinan mereka diteguhkan oleh pendenta apakah mendapat dispensasi dari forma canonica, dan izin perkawinan beda gereja? Saya mempridiksi perkawinan itu tidak sah secara kanonik
2. Keduanya penting mengikuti sabda Tuhan dan aturan Gereja sekaligus. Karena aturan Gereja didasarkan pada ajaran Gereja dan ada sabda Tuhan di dalamnya. Aturan untuk mendisiplinkan agar umat mengikuti ajaran Gereja Katolik dengan benar.
salam dan berkat Tuhan
rm wanta
syalom Romo
terima kasih atas penjelasannya tentang hal sah atau tidaknya pernikahan teman saya tersebut. tetapi masih ada yang saya ingin tanyakan, bagaimana menurut pandangan katolik tentang pernikahan tersebut? karena setelah mereka melakukan pemberkatan nikah secara protestan, suami tetap beragama katolik, dan keesokan harinya suami datang kepada pastor untuk membaca sahadat. dan didepan pastor serta ada beberapa orang lainnya sebagai saksi, suami istri ini didoakan oleh pastor dengan membaca janji suami istri.
yang menjadi kebingungan saya adalah, kenapa hal tersebut bisa dikatakan tidak sah oleh pihak suami?
saya mohon penjelasannya lagi romo..terima kasih, Tuhan memberkati
Suwarmi Yth
Begini ya, menurut hukum Kanonik Gereja Katolik, secara prinsip hukum itu perkawinan itu sah memenuhi 3 syarat pokok: a. tidak ada cacat konsensus perkawinan, b, tidak ada halangan, c. peneguhan dengan forma canonica. Jika salah satu ketiga syarat tsb tidak terpenuhi atau dilanggar maka perkawinan tidak sah. Jika karena cacat pada c karena protestan menikah dengan pendeta tanpa izin odinaris bisa disahkan perkawinannya secara kanoni melalui proses convalidasi dalam upacara liturgi Gereja (bisa jadi itulah yang dilakukan rama). Saya harap semakin jelas. Salam, Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Suwarni,
Kelihatannya, yang dilakukan di hadapan Romo tersebut adalah konvalidasi. Maka sebenarnya setelah konvalidasi perkawinannya yang di depan pendeta itu adalah sah, sakramental dan tak terceraikan.
Maka jika kemudian suami teman anda selingkuh dan ingin menikah lagi maka ia melanggar janji perkawinannya di hadapan Allah. Firman Allah berkata, “Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6); dan juga, “Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan permpuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu.” (Mrk 10:11).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- https://katolisitas.org
Salam damai,
Romo saya mau bertanya, saya berencana untuk menikah dan calon saya adalah seorang Protestan. Dia sudah setuju untuk pemberkatan nikah secara Katolik. Yang ingin saya tanyakan adalah 1. bagaimana aturan gereja Katolik untuk pernikahan campur seperti ini, dan 2. apakah dalam pemberkatan nanti saya dapat menerima tubuh Kristus?
Anastasia Yth,
Perkawinan beda gereja diatur dalam KHK 1983, dengan memohon izin dari perkawinan tersebut kepada ordinaris/Uskup. Untuk itu mengisi formnya di Paroki dimana anda berdomisili dan nanti akan diurus oleh pastor paroki. Kedua, beberapa syarat hendaknya disiapkan terutama surat baptismu dan surat baptis calon pasanganmu. Mengisi surat perjanjian tentang pendidikan iman anak dan seterusnya semua ada di sekretariat paroki ketika anda hendak mendaftar perkawinan. Jika semua hal di atas dipenuhi dan mendapat izin dari ordinaris perkawinan beda gereja, maka anda dapat menerima Komuni kudus dalam Ekaristi perkawinanmu. Selamat dan Tuhan memberkatimu
salam
Rm Wanta
Dear Romo Wanta,
Sebelum pernikahan kami (saat masih pacaran), 6 bulan sebelum rencana hari pernikahan kami, saya mengetahui bahwa pasangan saya berselingkuh dengan wanita lain. Dulu kami menjalani hubungan jarak jauh sehingga saya tidak tahu sudah berapa lama perselingkuhan tersebut berlangsung. Saat saya mengetahui tentang hal itu, hati rasanya hancur dan benar2 sakit. Namun akhirnya saya memaafkan dia, banyak hal yang saat itu menjadi pertimbangan saya. Jika menurutkan kata hati, sebenarnya saya tidak ingin melanjutkan rencana pernikahan, tapi saat itu saya menyadari bahwa saya tidak boleh egois. Saya memiliki keluarga yang tentu saja akan merasa terpukul jika mengetahui hal ini dan jika saya membatalkan pernikahan karena semua persiapan sedang dijalankan. Akhirnya pernikahan tetap berlangsung, dan sekarang kami sudah menikah selama 1 tahun. Namun seiring dengan perjalanan kehidupan kami berdua, selalu saja diwarnai dengan pertengkaran, banyak hal yang menyebabkannya. Sejujurnya, saya masih belum bisa memaafkan perbuatannya dulu. Hal tersebut masih mengganjal di hati dan pikiran saya. Saya menemukan beberapa pesan mencurigakan di HP suami, dan juga emailnya. Itu yang membuat saya semakin curiga dan berfikiran buruk. Hal ini sudah pernah kami bicarakan bersama. Namun penjelasan dari dia belum memuaskan saya. Terkadang saya berpikir apakah keputusan saya untuk melanjutkan pernikahan dulu itu salah? Setelah pertengkaran yang sengit, sempat terlintas untuk berpisah namun sekali lagi keluarga menjadi satu-satunya alasan saya mengurungkan niat. Hal itu tentu saja akan sangat menyakiti keluarga saya. Dan saya juga sepenuhnya sadar bahwa tidak ada perceraian dalam pernikahan katolik. Apa yang harus saya lakukan romo, supaya saya dapat memaafkan suami saya? bagaimana caranya? tolong beri saya saran romo.. saya sangat putus asa dan membutuhkan penguatan dari romo. Terima kasih romo, Tuhan memberkati
Vee Yth
Membaca peristiwa hidupmu saya anjurkan anda dan suami ke rama paroki atau rama yang kamu kenal baik dan bisa diajak bicara dari hati ke hati. Nanti dalam pembicaraan itu minta Sakramen Pengakuan dosa lalu rekonsiliasi. Semoga anda dan suami dapat menemukan rama yang bisa melayanimu. Tetap bertahan dalam perkawinan dan siapkan hati, baik dirimu dan suamimu untuk berbicara saling terbuka agar semuanya bisa saling memahami. Kekuranganmu adalah komunikasi antara dirimu dan pasanganmu. Tuhan memberkatimu.
salam,
Rm Wanta
terimakasih romo ats jawaban nya ini sangat berguna dn membantu sy.kmi pacaran udh 5thn romo dn alasan nya ga mao di berkati d gereja,katanya ribet dn keluarga nya juga ga mao dtang kalo kmi d berkati d gereja.dia menginginkn pemberkatan menurut agama nya dia romo….terimakash romo n godbless you….
romo sy mao menikah pd tgl 31 bln 10.tp cln suami sy agamanya budha dn cln sy tidak bersedia d berkati d gereja..sy sangat bingung ga tau hrs gmna.pertanyaan sy.apakah sy tetap melanjutkan pernikahan ini tp d brkati d gereja atau di batalkan saja pernikahan nya??…mohon petunjuk romo.terima kasih sblm nya romo
Yesica yth
Saya spontan berkomentar kasihan kalau dibatalkan. Anda sudah berpacaran berapa tahun dan bagaimana keseriusan pasanganmu? Apakah pernah dibicarakan tentang beda agama, nanti bagaimana pendidikan iman anak? Mengapa dia tidak mau diberkati di gereja dan di manakah ia menginginkan perkawinannya diberkati? Ajaklah dia berdialog dengan menjawab pertanyaan tadi. Jika anda merasa kurang mantap dan meragukan jangan dulu melangkah ke jenjang perkawinan. Bukan dibatalkan tapi dipending/ ditunda dulu. Hidup berkeluarga dengan berbeda agama seperti anda perlu banyak hal yang diurus untuk diteguhkan di Gereja Katolik. Silakan anda berdialog dulu dengan pasanganmu, jika masih ada pertanyaan, nanti bisa tanya lagi di sini. Tuhan memberkatimu.
salam
Rm Wanta
Sebelumnya saya mohon ijin kepada Romo Wanta bahwa saya bermaksud sharing mengenai pengalaman pridadi saya sehubungan dengan masalah yang dihadapi Sdri. Yesica.
Sdri. Yesica, saya perkenalkan diri, saya adalah pria yg berasal dari keluarga Budha di mana saya menikah dengan istri saya yang bergama Katolik. Pada awal mula berkenalan dengan istri saya dulu, saya sudah tau dia Katolik dan saya tidak berminat untuk pindah agama, selain di mana karena keluargaku merupakan pemeluk agama Budha yang menurut saya kental sekali, saya pun dulu tidak pernah sama sekali tertarik dengan ajaran Kristiani walaupun saya sekolah di perguruan kristen sejak TK sampai tamat SMA.
Pada saat mulai memasuki masa pacaran, saya dan dia sudah berkomitmen untuk tidak saling ganggu dalam masalah agama. Namun ternyata hubungan kami ternyata diberkati oleh Tuhan sehingga berencana memasuki jenjang pernikahan… di sana baru timbul masalah, mau diresmikan di mana ? Masalah itu sempat menjadi peperangan batinku, namun tidak kusampaikan ke calon istri waktu itu.
Istri saya lah yang secara tidak langsung namun intens selalu berusaha memberikan masukan-masukan mengenai siapakah Tuhan Yesus, bagaimana ajaran Katolik yang dia ketahui selama ini, serta kasih yang ditunjukkannya selama ini, begitu pula dengan kasih dari keluarganya. Lambat laun, saya tersentuh… keluarga kristiani itu rupanya adalah keluarga yang penuh kasih, saya merasa damai berada di lingkungan keluarga ini.
Istriku juga yang menjelaskan tanpa bermaksud memaksa, mengenai apa saja yang mesti kami lakukan jika berencana menikah secara Katolik… semakin saya dalami semakin saya sadari bahwa menikah secara Katolik tidak seenaknya dan segampang mau kita menikah, semuanya melalui proses yang panjang, namun saya sadari itu lah yang menguatkan pernikahanku nanti.
Sampailah akhirnya saya bersedia menikah secara Katolik walaupun saya belum dibabtis. Istri saya rela tidak menerima komuni dalam pemberkatan pernikahan tsb karena saya belum babtis. Dalam prosesi pernikahan tsb saya tersentuh oleh ikrar pernikahan supaya kami bersedia mendidik anak-anak kami dalam Katolik… dari sana saya terbangun bahwa bagaimana dengan pendidikan rohani dan iman anak saya jika ternyata nanti saat dia sudah mulai mengerti keadaan, dia melihat mamanya rajin ke gereja dan rajin berdoa, sedangkan papanya tidak pernah beribadah ke gereja malah beribadah ke rumah ibadah lain… apakah akan berpengaruh dengan imannya ? Dari situ Tuhan mulai bekerja atas diri saya… saya mulai rajin ke gereja setiap Minggu pagi, yang mana tadinya hanya tidak enak karena pengantin baru kok membiarkan istri ke gereja sendirian, akhirnya lama-lama saya ke gereja karena memang saya mau dan rela.
Akhir cerita walaupun saat ini saya belum dibabtis secara Katolik (baru berencana mau katekumen), namun yang ingin saya sampaikan dari pengalamanku adalah bahwa pernikahan beda agama itu memang sungguh hal yang tidak mudah… namun semuanya akan menjadi mudah dan lancar jika Tuhan turut bekerja dan jika kita meminta dengan sungguh-sungguh bantuan dan campur tangan dari-Nya.
Terima kasih.
Buat Yesica, mohon maaf comment saya kepanjangan… hehehe
Buat Romo Wanta, terima kasih buat ijin numpang komen saya ini :)
Dear Romo Wanta,
Salam Damai romo.
Romo saya menikah 11 tahun yang lalu. Kami sama-sama katholik dan merima sakramen perkawinan di Malang. Hanya perkawinan kami karena perjodohan orang tua. Sebelumnya saya tidak kenal dengan suami saya dan tidak pernah pacaran seperti layaknya muda-mudi yang lain. Kami menikah atas dasar kepatuhan kepada orang tua. Saya sangat merasakan bahwa diantara kami tidak saling cinta.
Setelah menikah, suami saya tidak pernah memberi nafkah. Semua saya yang harus menanggung, bahkan setelah anak kami lahir pun tetap saya yang harus menanggung. Padahal suami saya mempunyai pekerjaan tetap dan mapan sebagai pegawai negri sipil. Dia juga terlilit hutang yang lumayan banyak, dan saya tidak tahu untuk apa dia berhutang. DIa tidak pernah bilang. Selain itu dia juga tidak perhatian kepada saya maupun anak kami, dia lebih memilih tinggal dengan saudara-saudaranya daripada mengurus anak kami yang sakit. Bahkan dia jarang sekali pulang karena lebih memilih berkumpul dengan saudara-saudaranya. Dalam hubungan suami istri pun, kami melakukan hanya sampai saya hamil, sekitar 1 bulan setelah menikah, setelah itu kami tidak pernah melakukannya lagi.
Karena situasi tersebut akhirnya saya memutuskan untuk menitipkan anak kami kepada orang tua saya di malang, sementara saya bekerja di Jakarta.
Sudah 9 tahun saya berpisah total dengan suami saya. Saya tidak tahu dimana dia tinggal, walaupun sama-sama di Jakarta. Dan kami sudah tidak ada kontak sama sekali.
Saya sebenarnya sejak lama ingin mengajukan gugatan cerai ke pengadilan negri, tetapi orang tua tidak mengijinkan karena perceraian akan menodai citra keluarga kami yang dikenal taat dan rajin menggereja.
Setelah bertahun-tahun menjalani ini, saya tidak tahan romo. Saat ini saya memutuskan akan menggugat cerai suami di pengedilan negri Jakarta. Tapi saya tidak tahu prosedurnya. Terutama juga masalah saksi karena tidak ada keluarga yang mau menjadi saksi di perceraian saya.
Selain itu ada ketakutan dalam diri saya, seandainya saya bercerai dengan suami nanti, saya akan kehilangan hak-hak saya sebagai orang katolik. Selama ini saya berbohong tentang status saya supaya saya tidak mendapat cemooh an dari masyarakat sekitar dan tetap diterima dengan tangan terbuka di gereja. Tapi jujur romo, saya sudah tidak tahan dengan ini semua. Saya ingin memperoleh kejelasan status saya.
Pertanyaan saya, apakah yang perlu saya lakukan untuk mengurus perceraian saya di pengadilan negri dan bagaimana dengan perkawinan saya, apakah ada kemungkinan pembatalannya di gerejakatolik? Apakah yang saya harus lakukan sehingga saya tidak kehilangan hak-hak saya sebagai orang katolik?
Terima kasih Romo.
Regards,
Agnes
Agnes Yth
Membaca ceritamu saya bisa memahami bagaimana sulitnya hidupmu. Maka saya mendukung keputusanmu untuk memohon perceraian sipil dan memohon menganulir perkawinanmu yang telah berlangsung karena terpaksa dan suami tidak memberikan nafkah hidup selayaknya suami-istri dalam membangun keluarga yang harmonis. Untuk itu perlu memberikan pengertian kepada keluarga agar bisa menerima bahkan kalau bisa meminta seseorang yang kamu kenal dapat menjelaskan keluarga sehingga mereka menerima keputusanmu. Untuk perceraian sipil carilah pengacara dan mengajukan ke pengadilan sipil. Untuk tribunal perkawinan mulai dengan menulis libellus surat permohonan pembatalan perkawinan kepada tribunal di mana perkawinanmu diteguhkan. Meski sulit masih ada cara kalau kamu sungguh mau dan bekerja keras pasti ada jalan. Mintalah petunjuk rama paroki di mana anda diteguhkan dan ke keuskupan. Semoga Tuhan memberkatimu.
salam
Rm Wanta
Yth. Romo Wanta
Romo, saya sudah menikah selama 6 tahun secara katolik, suami juga katolik, sudah dikaruniai seorang putra 4 th, sejak awal menikah suami tidak bertanggung jawab secara finansial, dikarenakan orang tuanya selalu minta uang padanya dan ia tidak bisa menolak, dia lebih rela anak istrinya kelaparan. Waktu melahirkan saya yg membayar semua tagihan rumah sakit, dan baru sampai rumah, mertua telpon minta uang.Untuk urusan mengasuh anakpun, orang tua saya yg mengurus ( orang tua saya harus terpisah karena mama membantu saya mengurus anak), karena saya bekerja.
Saya sudah berusaha membicarakannya tapi tetap buntu, untungnya saya bekerja jadi semua kebutuhan hidup saya yg membiayai.Sekarang saya harus terpisah dari anak karena saya harus bekerja di luar kota.
Suami juga ditugaskan ke luar pulau, dia minta ijin , saya mengijinkan dengan harapan gajinya naik dengan demikian beban saya berkurang, tapi ternyata sia sia belaka, saya sampai berfikir apa perusahaannya sebegitu kejam sampai suami ditugaskan ke luar pulau tapi kompensasinya cuma sedikit, akhirnya saya ketahui kalo mertua saya juga penyebabnya.
Saya sudah tidak tahan, saya sempat berfikir untuk bercerai, mohon petunjuk romo, bagaimana cara agar saya bisa konseling dgn suami di gereja, terima kasih
Fransisca Yth
Coba membuat kronologi (sejarah) perkawinanmu dan dibicarakan dengan rama Paroki supaya mendapat bantuan hukum mengatasi masalah mu ini. Kemudian tentu kami senang kalau bisa bertemu anda berdua dengan rama Paroki, dekatilah suamimu dan ajaklah berdua bertemu rama Paroki jika memungkinkan. Jika tidak, ajaklah saksi yang dekat bisa ikut serta dalam menyampaikan masalah ini kepada Rama Paroki. Jika hal ini tidak dapat dilakukan, maka masalah anda bisa disampaikan ke Tribunal Keuskupan dimana anda berdomisili. Semoga ada jalan keluar terbaik.
salam
Rm Wanta, Pr
selamat malam romo.
saya seorang gadis katolik. saat ini saya sedang dekat dengan seorang pria protestan. dia sudah pernah menikah dan akhirnya bercerai. pernikahannya bertahan 2 tahun dan menghasilkan seorang anak perempuan. pengadilan memutuskan anak itu diasuh oleh ayahnya. dia sudah menyatakan keinginannya untuk memeluk agama katolik. kami berdua sangat ingin menikah secara katolik.
yang ingin saya tanyakan, apakah gereja Katolik menerima pernikahan seperti ini? langkah2 apa yang harus kami lakukan? terimakasih banyak sebelumnya romo.
Ade May Yth
Langkah awal adalah membangun relasi anda berdua, sehingga dapat membangun keluarga yang sungguh-sungguh kokoh, kuat dan tidak akan gagal lagi, terutama dari pihak laki-laki. Gereja Katolik tidak ingin memberikan dispensasi kedua kali. Oleh karena itu perkawinan yang sebelumnya pernah gagal, akan dicermati dengan sangat hati-hati. Langkah kedua, segera menghubungi pastor paroki. Ajaklah calon suami anda dan sampaikan bahwa dia ingin menjadi katolik dan mau ikut pelajaran agama walaupun telah dibaptis di Gereja Protestan. Tunjukkan surat baptis dan bawa surat cerai sipil bahwa dia pernah menikah. Langkah berikut membuat pernyataan bahwa dia ingin menikahi anda dan menjadi katolik dengan alasan apa? Biasanya romo paroki akan bertanya. Jika tidak, buat pernyataan sendiri untuk memperkuat kemungkinan mendapat dispensasi dari Uskup. Langkah berikutnya setelah mendapat pengukuhan sebagai orang katolik – mungkin tidak perlu baptis ulang – maka perkawinan dapat diurus.
Setelah mendapat kemurahan dari Uskup untuk pemutusan ikatan perkawinan, maka status calon suami yang pernah menikah bebas dan bisa menikah dengan anda di Gereja. Semoga paham.
Tuhan memberkatimu.
(Mohon jangan tentukan tanggal menikah tapi jalani dulu tahap itu setelah semua beres tidak ada halangan baru peneguhan perkawinan di Gereja)
salam
Rm Wanta, Pr
romo yang terhormat,
terimakasih sedalam-dalamnya atas jalan yang romo tunjukkan kepada kami. sampai saat ini saya memang sudah yakin dengan pilihan saya. tetapi saya belum membicarakan hal ini kepada keluarga saya karena keluarga besar saya adalah penganut katolik konservatif. saya takut akan penolakan mereka dan dampak yang akan timbul setelah mereka mengetahui hubungan kami. saya mohonkan doa penguatan dari romo untuk saya, supaya saya dikuatkan untuk menghadapi masalah ini. terimakasih romo.
salam hangat romo, saya nikah th 1999 sudah dikaruniai anak laki-laki 10th namun sejak th 2001 kami sudah pisah rumah & hidup sendiri-sendiri. saat ini mantan istri saya sedang mengandung janin berumur 7bulan hasil perkawinan kristennya dengan seorang pria. sejak 12 januari 2007 saya sudah mengajukan surat permohonan pembatalan surat nikah kami bersama seorang awam yang paham betul akan situasi saya lewat rm purbo di rumah keuskupan kaj (namun sampai saat ini blum ada hasil), karena saya masih berencana menikahi gadis katolik secara tata cara agama katolik. pertanyaan saya apakah romo & tim dapat membantu saya untuk mendapatkan keterangan hasil dari rm purbo? karena sampai saat ini, saya kesulitan untuk menghubungi rm purbo untuk menanyakan sampai dimana proses permohonan saya. terimakasih romo.gbu
Octavianus Yth.
Anda berasal dari paroki mana? Apakah saat mengajukan surat permohonan anda melalui pastor paroki atau langsung (dengan teman anda). Kalau lewat Paroki tentu pastor Paroki anda dapat dimintai bantuan kalau sendiri maka datanglah ke kantor tribunal KAJ bertemu rama Purbo atau rama Andang bawa serta copy surat yang anda ajukan dulu. Jika anda di KAJ lebih baik datang dan bertemu dari pada via telpon karena kesibukan rama Purbo dan rama Andang. Semoga berhasil.
salam Rm Wanta, Pr
saya berasal dr paroki st frans xaverius tg priok romo, pada saat 12 jan 2007 itu saya ditemani ibu saya & ibu mochtar (pemuka umat di wilayah saya, karena beliau tahu betul & bersimpatik akan situasi tengah yang saya hadapi). saya bertemu rm purbo di rumah keuskupan, & hari berikutnya atas saran rm purbo,saya masukan semua dokumen yang dibutuhkan untuk proses pembatalan surat nikah saya. walaupun pada saat itu saya tdk sempat bertemu dengan rm purbo, tapi saya titipkan kepada resepsionis rumah keuskupan.sekali lagi saya sangat berterimakasih sekaligus memohon atas bantuan romo & tim untuk menyelesaikan masalah saya ini.tuhan memberkati
Octavianus Yth
Jika anda memberikan dokumen hendaknya minta bukti penerimaan dari recepsionis dan tanyakan kembali siapa yang menerima dokumen tersebut. Setelah itu, tanyakan apakah dokumen tersebut telah disampaikan kepada rm Purbo. Prinsipnya dokumen harus ada tanda bukti penerimaan dari Tribunal. Cobalah untuk menanyakannya sekali lagi. Kalau masih belum diterima, silakan untuk membuat lagi. Biasanya kalau telah diterima tribunal, maka akan ada surat balasan. semoga bermanfaat.
salam
Rm Wanta
shalom romo wanta
romo, saya mempunyai teman saya cewek beragama budha dan suaminya katolik dan perberkatan secara katolik. Mereka sudah menikah selama 6 tahun, saat ini belum dikarunia anak karena pada awal2 pernikahan secara ekonomi belum mantap sehingga memakai KB alami demikian juga saat ini tidak ada keinginan dari suami untuk memiliki anak karena alasan ekonomi lagi. Selama 6 tahun suaminya kurang bertanggung jawab secara financial, dimana kadang gaji istrinya juga dipakai untuk membayar hutang suami. Usaha suami sebenarnya sangat bagus tetapi suami tidak bisa mengatur keuangannnya dan bilamana sudah ada uang kadang dipakai untuk berjudi, suaminya ke gereja cuma pada hari natal dan paskah, kadang juga gak. Saat ini istrinya sedang mencari pengacara untuk mengurus perceraian mereka. Sebagai temannya saya harus bagaimana? saya tidak bisa menyarankan dia mempertahankan atau bercerai karena teman saya sudah berusaha mencoba dan memberikan kesempatan kepada suami untuk berubah. mohon bantuan doa juga dari komunitas katolitas.
gbu
martha
Martha yth.
Perlu ada konseling untuk suami temanmu itu (katolik), sebaiknya datanglah berdua ke pastor paroki atau pasutri yang kredibel dan mampu memberikan nasehat kepada mereka berdua. Kebiasaan berjudi dapat diatasi kalau lingkungan kebiasaan itu diputus. Selama lingkungan suami mendukung untuk berbuat judi maka akan terulang kembali. Perihal mengatur ekonomi tergantung dari kesepakatan berdua (suami-isteri), lebih baik agar isteri dapat lebih ketat mengatur ekonomi suami dan harus ada keterbukaan di antara berdua. Jika mereka memutuskan pisah, itu memang bukan jalan terbaik; namun kalau dipandang tidak ada jalan lain, ya mau bagaimana lagi, selain diterima. Bagi pihak Gereja Katolik peristiwa ini menyedihkan dan tidak diinginkan. Semoga dengan doa dari komunitas katolisitas jalan terbaik dapat ditemukan untuk memperbaiki kehidupan keluarga mereka.
salam dan berkat Tuhan
Rm Wanta,Pr
Shalom,,
Saya sangat berterimakasih pada ibu karena telah menjawab beberapa pertanyaan saya. Saya sudah membaca semua jawaban ibu. Dan ini sangat membantu saya. Saya juga bersyukur bisa mendapat pengetahuan baru, khususnya mengenai ajaran St. Clements dari Alexandria.
Saya akan menunggu tulisan Ibu yang akan datang mengenai keselamatan tersebut.
Ada pertanyaan lagi:
Apakah orang Katolik yang menikah dengan orang Islam dan diberkati di gereja, bisa cerai dengan yang Islam tersebut dan menikah lagi?
Terimakasih, jawaban ibu membantu dalam presentasi saya nanti, khususnya untuk mensharingkan iman Katolik. Mohon dukungan doa ibu.
GBU..
Shalom Lopre,
Untuk menjawab pertanyaan anda pertama-tama saya ingin menekankan bahwa di Gereja Katolik tidak ada istilah cerai. Mohon agar dapat dipahami mengenai hal ini. Yang dilakukan oleh Gereja Katolik bukan menceraikan, tetapi menyelidiki apakah ada halangan pada saat mengadakan perjanjian Perkawinan.
Kitab Hukum Kanonik mengatakan:
Kan. 1057 – § 1. Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orang-orang yang menurut hukum mampu, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun.
§ 2. Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengan-nya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
Kan. 1059 – Perkawinan orang-orang katolik, meskipun hanya satu pihak yang katolik, diatur tidak hanya oleh hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.
Dengan melihat Kan. 1057 -§ 1 tersebut maka diketahui bahwa ada dua hal yang menjadikan Perkawinan itu tidak dapat ditarik kembali, yaitu 1) jika kesepakatan yang dibuat antara suami dan istri adalah sesuatu yang normal/ tidak ada paksaan atau halangan, dan 2) jika kedua pihak secara hukum mampu membuat perkawinan. Maka di sini, pembatalan perkawinan berkaitan dengan kegiatan membuat perjanjian perkawinan/ the act of marrying (in fieri) dan bukan ikatan perkawinan/ marriage bond (in facto esse). Dalam pembatalan perkawinan yang dilihat pertama-tama bukan keadaan selama perkawinan, tetapi terutama pada saat kesepakatan perkawinan itu dibuat. Maka yang diperiksa oleh pihak tribunal Gereja adalah: 1) Apakah ada fakta yang menjadikan kesepakatan itu cacat, dan ini ada 12 alasan, terutama melihat apakah ada unsur paksaan/ ancaman 2) dan apakah secara objektif ada halangan dari pihak suami atau istri untuk memasuki pernikahan secara hukum, dan ini ada 13 alasan. [Maaf, ke 25 alasannya tidak bisa dituliskan semua di sini karena begitu panjangnya, dan ini sepertinya mata kuliah tersendiri selama 1 tahun. Mungkin di waktu yang akan datang bisa dituliskan prinsipnya, namun mohon maaf belum bisa sekarang ini].
Dengan melihat keterangan ini saya mohon agar tidak lagi anda memakai istilah ‘cerai’ karena sekali lagi, Gereja Katolik tidak pernah ‘menceraikan’ perkawinan.Jadi untuk menjawab pertanyaan anda:
Apakah orang Katolik yang menikah dengan orang Islam dan diberkati di gereja, bisa cerai dengan yang Islam tersebut dan menikah lagi?
Jawab: Tidak, karena menurut kan 1059, walaupun yang Katolik hanya salah satu pihak, namun keduanya terikat hukum kanonik. Jika kesepakatan Pernikahan dibuat tanpa paksaan, dan dibuat oleh pasangan yang normal (dengan akal sehat, usia yang memenuhi syarat dan kemampuan yang cukup untuk memasuki pernikahan) maka pasangan itu tidak bisa bercerai.
Namun jika ada cacat kesepakatan, misalnya kesepakatan Perkawinan dibuat di bawah tekanan/ paksaan, maka yang dapat dilakukan adalah pihak yang dipaksa dapat mengajukan permohonan ke pihak tribunal agar kasus perkawinannya diperiksa oleh pihak Gereja. Atau, jika ada halangan dari salah satu pihak untuk menikah, misal ternyata sang suami masih terikat perkawinan terdahulu, dan istri (pihak pelapor) tidak pernah diberi tahu, maka sang istri dapat mengajukan permohonan pembatalan Perkawinan (libellus) ke pihak tribunal. Pihak tribunal nanti akan memeriksa kedua belah pihak, berdasarkan keterangan dari saksi-saksi, dan juga dari pihak suami/ istri yang dilaporkan. Jika akhirnya permohonan ini diluluskan, karena pihak tribunal mendapatkan bukti pemaksaan tersebut, atau bukti lain yang menguatkan kesaksian pelapor maka kesepakatan perkawinan dapat dinyatakan batal [karena ada cacat konsensus atau halangan perkawinan]; dan akibatnya kedua pihak dinyatakan tidak terikat lagi, karena kesepakatan mereka dinyatakan tidak sah. Namun apabila setelah pemeriksaan tidak ditemukan bukti-bukti, dan tribunal tidak meluluskan, maka kesepakatan tetap dinyatakan sah, dan kedua pihak tetap terikat sebagai suami istri.
Demikian, semoga menjadi lebih jelas.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Ya ibu,,
sudah sangat jelas sekali..
saya juga sudah sempat membaca 12 halangan tsb pada hukum kanonik..semua artikel terkait yang diberikan ibu melalui website ini..
terimakasih sekali atas kesediaan ibu menjawab pertanyaan saya..
kiranya untuk kedepannya jika saya sering bertanya2, ibu tidak bosan menjawab pertanyaan saya,..
seperti yang telah saya sharingkan di awal, saya sedang berada di lingkungan protestan, dimana terkadang pemahaman orang2 di sekeliling saya membaurkan kebenaran yang sesungguhnya..(termasuk jika salah satu non Kristiani boleh menceraikan pasangannya,.karena ada ayat yang tertulis menceraikan pasangan yang tidak percaya, tsb.)
Saya juga rindu seperti ibu yang dapat mensharingkan iman Katolik, khususnya untuk meneguhkan sesaama teman saya yang Katolik.
Semoga melalui website ini saya semakin mengenal iman saya dan boleh menghasilkan buah2 yang baik.
Amin.
Soli Deo Glori..
GBU
Terima kasih Ingrid.
1.Saya hendak menyebarkan artikel2 dalam website ini di Paroki saya dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia dengan menyertakan nama penulis asli(contohnya Ingrid Listiati) dan nama website ini sekali.Adakah diizinkan?
2. Kerana bila direnungkan semula bahawa umat2 Katolik di Paroki saya(termasuk diri saya sendiri)masih seperti bayi/anak kecil yang memerlukan tunjuk ajar khasnya berkenaan dengan asas2 iman Katolik jadi saya melihat bahawa website ini boleh membantu.
Semoga Ingrid mempertimbangkan permohonan ini.
Terima kasih.
Shalom Semang,
Jika menurut Semang artikel-artikel di website ini dapat membantu, tentu silakan saja diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia, asalkan disebutkan sumbernya, dengan juga mencantumkan alamat website ini http://www.katolisitas.org supaya jika nanti ada orang yang mau bertanya atau memberikan input dapat menghubungi kami. Mari bersama memuliakan nama Tuhan, dan semoga Tuhan Yesus semakin dikenal dan dikasihi banyak orang!
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid & Stef
Terima kasih banyak-banyak,saya sangat menghargai budi baik Ingrid.
Yth Katolisitas,
Saya ada pertanyaan lagi, kali ini saya ingin bertanya tentang berdoa kepada Bunda Maria dalam Pemberkatan Pernikahan di Gereja, apakah itu diwajibkan? Bagaimana jika pernikahan di Gereja tersebut, pasangan yang satu Katolik, yg satunya Non Katolik, bagaimana dengan yang Non Katolik?
Terima kasih
Shalom Chris,
Sebenarnya doa pengantin di depan patung Bunda Maria pada pemberkatan Perkawinan, merupakan sesuatu tradisi yang optional. Doa tersebut tidak menjadi bagian dari ritus sakramen atau pemberkatan perkawinan. Namun, karena maknanya begitu indah, maka memang orang Katolik biasa melakukannya. Tradisi berakar pada Injil Yohanes 2:1-11 tentang Perkawinan di Kana, di mana Bunda Maria melihat keadaan kekurangan anggur pada pesta perkawinan itu, sehingga oleh permohonannya, akhirnya Yesus melakukan mukjizat-Nya yang pertama, yaitu mengubah air menjadi anggur. Di sini, anggur juga melambangkan ‘kasih’ sehingga arti yang mendalam di balik kejadian mukjizat itu adalah Bunda Maria menyertai pasangan suami istri, dan melihat seandainya dalam perjalanan hidup perkawinan mereka, hubungan mereka menjadi tawar, maka Bunda Maria akan memohon pada Tuhan Yesus, agar mengubah hubungan yang tawar (‘air’) tersebut untuk kembali menjadi manis (‘anggur’). Sayangnya banyak pasangan yang melakukan tradisi ini tidak memahami maknanya. Bagi yang memahami, tentu ia akan dengan serta merta ingin melakukannya pada pemberkatan perkawinannya.
Namun, bagaimana jika salah satu dari pasangan tidak beragama Katolik? Jika demikian, maka yang dapat dilakukan oleh pihak Katolik adalah:
1. Merenungkan sendiri dahulu, apakah ia mau melakukan tradisi tersebut yaitu memohon doa pada Bunda Maria untuk menyertai kehidupan perkawinannya.
Jika ia memilih untuk tidak melakukannya, maka sesungguhnya itu tidak berdampak apapun terhadap makna sakramen ataupun pemberkatan pernikahannya. Sakramen dan Pemberkatan tetap sah, namun, sesungguhnya menurut saya, sepertinya kurang lengkap. Sangat disayangkan, karena penyerahan kehidupan perkawinan ke dalam doa-doa Bunda Maria adalah sesuatu yang sangat indah dan sangat berguna. (Ini sekedar sharing pengalaman saya sendiri yang sudah sekian tahun menikah). Jika pada perkawinan itu, kita saja memohon restu ibu kita, mengapa tidak kepada Bunda Maria yang menjadi Ibu rohani kita? Namun tentu akhirnya, keputusan ada di tangan orang itu sendiri.
Jika kemudian pihak Katolik memutuskan untuk memohon ‘restu’ dari Bunda Maria, maka baru dipikirkan caranya, pada point berikut, yaitu menjelaskan makna tradisi tersebut kepada pasangan.
2. Menjelaskan makna dari tradisi tersebut kepada pasangan.
Umumnya keberatan dari pasangan untuk menjalankan tradisi itu disebabkan karena ketidak-mengertian pasangan terhadap maknanya. Maka silakan dijelaskan, semoga pada akhirnya ia setuju menerima, atau setidak-tidaknya menghormati.
– Dengan berdoa dan menyalakan lilin di depan patung Bunda Maria, bukan berarti kita orang Katolik menyembah berhala. Kita sebagai orang Katolik tidak menyembah patung. Doa yang dilakukan di depan patung Maria bukan merupakan penyembahan kepada patung, tetapi penghormatan kepada Bunda Maria, yang digambarkan oleh patung itu. Lebih lanjut mengenai hal ini, silakan disampaikan prinsip-prinsipnya, seperti yang telah dituliskan dalam artikel: Orang Katolik Tidak Menyembah Patung (silakan klik).
– Memohon agar Bunda Maria mendoakan kita bukan berarti kita berdoa kepadanya sehingga kita menduakan Tuhan. Sebab yang kita mohonkan di sini adalah agar Bunda Maria berdoa untuk kita, atau bersama kita di hadapan Allah.
– Seperti yang disebutkan dalam Sabda Tuhan di Yoh 2: 1-11, maka kita ketahui bahwa yang mengabulkan doa kita adalah Tuhan Yesus, dan bukan Bunda Maria; namun Bunda Maria mengambil peran yang penting dengan menyampaikan segala kekurangan/ kebutuhan yang kita perlukan ke hadapan Yesus.
– Jika masih ada pertanyaan yang mengganjal, silakan bertanya kepada pastor pembimbing pernikahan, atau boleh juga kepada Katolisitas, kami akan berusaha menjawabnya.
3. Merundingkan keputusannya.
Jika setelah diberitahu, pasangan yang non- Katolik mau menerima dan melakukannya, itu lebih mudah, maka kedua mempelai dapat melakukan doa ini bersama-sama: bersama menyalakan lilin, bersama-sama berlutut. Umumnya doa dilakukan sesudah Komuni dan sebelum doa setelah Komuni dan penutup.
Jika pasangan yang non- Katolik menolak melakukan doa ini, maka mungkin minimal pihak yang Katolik dapat tetap diperbolehkan menyalakan lilin dan berdoa memohon penyertaan Bunda Maria, sementara pihak yang non-Katolik mendampingi.
Demikian saran saya, semoga bermanfaat.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
apabila terjadi perkawinan campur, apakah boleh yang menerima berkat dari santa Maria hanya pihak yang katholik saja? terima kasih
Shalom Ben,
Pertanyaanmu hampir sama dengan pertanyaan Chris, dan sudah pernah dijawab di sini (silakan klik).
Pada dasarnya, memohon restu kepada Bunda Maria itu merupakan tradisi yang optional, yang tidak menjadi bagian dari ritus sakramen perkawinan. Namun karena maknanya sangat baik, maka memang alangkah baik jika dilakukan. Jika salah satu pihak tidak mau melakukan, sebaiknya dirundingkan saja bagaimana penyelesaiannya. Sebenarnya, kalau kita renungkan lagi, jika kita diberi berkat oleh sesama saudara di dunia, tentu kita tidak menolaknya; namun kenapa berkat yang diberikan oleh Bunda Maria yang adalah Bunda Kristus, malah dipermasalahkan. Apakah maksudnya karena pasangan yang tidak Katolik itu tidak mau berlutut di depan patung Bunda Maria? Jika itu masalahnya, silakan tetap berdiri saja, namun tetap mendampingi pasangan yang Katolik untuk berdoa di depan patung Bunda Maria. Jika ia sama sekali tidak bersedia, ya tidak apa, walaupun tentu sangat disayangkan jika karena salah satu pihak yang tidak bersedia, maka kedua pengantin kehilangan satu momen yang sangat indah yang sesungguhnya mungkin bisa menjadi kenangan yang sangat berguna bagi kehidupan perkawinan mereka: yaitu pada saat mereka dapat menyerahkan kehidupan perkawinan mereka ke dalam bimbingan Bunda Maria, agar Bunda Maria menyertai perkawinan mereka dengan doa-doa-nya, agar ia menjaga agar kasih di antara mereka selalu manis, dan jika sekalipun berubah menjadi tawar, maka Bunda Maria akan memohon pada Yesus untuk agar Ia mengubahnya menjadi manis kembali (lihat Yoh 2:1-11). Apakah berkat sedemikian dianggap tidak berguna? Ini hanya sekedar renungan saja….
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Shallom, saya bingung karena ingin menolong tapi kurang informasi. Adik saya (perempuan)menikah dengan suaminya (muslim) dan diberkati di gereja katolik. Namun karena sesuatu hal yang saya tidak tahu bahkan adik saya juga, suaminya secara diam-diam meninggalkan adik saya dan menikah dengan perempuan lainnya (muslim). Akhirnya mereka menjalani persidangan cerai (hukum positip). Yang saya tanyakan, apakah adik saya boleh menikah lagi secara katolik? Terima kasih. GBU
Adi Yth.
Menjawab pertanyaan anda perlu ada langkah-langkah hukum agar dapat menikah kembali. Pertama secara kanonik perkawinan adikmu tentu sah dan masih memiliki ikatan yuridis dengan mantan suaminya yang sudah menikah dengan orang muslim lainnya. Kedua, hak dari adikmu untuk memperoleh status yang jelas di depan hukum karena ditinggalkan suami yang telah menikah lagi dengan mengajukan permohonan kemurahan (gratia) dari Uskup setempat agar dia bisa memiliki status bebas dari ikatan perkawinan yang masih ada. Selama ikatan ini masih ada dan status hukum adik masih sebagai istri dari suami meski sudah ada putusan cerai sipil, adik anda belum bisa menikah lagi. Jadi kuncinya, adalah memohon kerahiman dari Uskup setempat agar ikatan perkawinan dengan orang muslim itu diputus demi iman katolik adik anda sehingga dapat menikah lagi. Syarat utama adalah pihak muslim belum pernah dibaptis, dan tidak bisa lagi berdamai, dan hidup bersama dengan adik anda (pihak Katolik), serta jika adik anda ingin menikah lagi diharapkan (sebaiknya) beragama katolik dan tidak boleh gagal lagi dalam perkawinan yang baru jika telah menerima kemurahan dari Uskup. Agak rumit karena di dalam prosesnya nanti ada interogasi pada pihak suami dan adik anda. Coba datang ke tribunal keuskupan di mana anda berdomisili. Persoalan adiknya Adi sebaiknya dikonsultasikan dulu pada Tribunal Perkawinan keuskupan setempat. Karena saya melihat ada dua jalan, pertama meminta kemurahan (demi iman katolik) dari Bapa Suci atau jika memungkinkan hanya Uskup diosesan, dan, kedua lewat proses peradilan tribunal biasa.
Tuhan memberkatimu.
Salam Rm Wanta, Pr.
Hai Ingrid,apa khabar,
saya nak minta pendapat Ingrid berkenaan dengan:
1.Di paroki St Francis Xavier(daerah saya)sering kali Father melakukan upacara “pemberkatan Perkahwinan’ suami isteri Katolik(secara beramai2) bila dia(Father) datang melawat(Kami tidak ada Father Paroki) upacara itu biasanya dilakukan selepas seminggu para suami isteri ini tadi mengikuti Seminar/kursus perkahwinan.
2.Pasangan suami isteri ini adalah Katolik tetapi berkahwin cara tradisi atau pun hanya mendaftarkan perkahwinan mereka di pemerintah(kahwin Sivil).
3.Jadi adakah pemberkatan perkahwinan itu Sah mengikut Gereja Katolik?
4.Jika sah,adakah Perberkatan Perkahwinan itu sama ertinya dengan ‘Sakramen perkahwinan?”
5. Apakah maksudnya sakramen perkahwinan di dalam Misa Kudus dan sakramen perkahwinan di luar Misa Kudus?(Seperti jawapan Ingrid kepada Criss pada 7/11/2008)
6.Wajib atau perlukah sesebuah perkahwinan itu mesti dilangsung secara besar-besaran(gilang gemilang)hingga melebihi budget pasangan pengantin?
Maaf kerana banyak bertanya.Semoga Ingrid sabar melayani pertanyaan saya.
Sekian,terima kasih.
Shalom Semang,
Maaf ya, baru sekarang saya dapat menjawab pertanyaan Semang.
1. Sakramen Perkawinan melibatkan dialog antara kedua mempelai dan juga antara mempelai dengan Pastor. Maka umumnya memang Sakramen diberikan kepada satu pasang mempelai yang menikah, atau kepada dua pasang, jika tidak dapat dicari waktu lain. Alasannya sebetulnya lebih ke arah kesakralan, supaya tidak berkesan kawin ‘masal’. Karena Perkawinan tidak sama dengan Pembaptisan, yang dapat/ memang umumnya diadakan masal. Namun jika di daerah terpencil yang tidak ada Pastornya, mungkin memang ada kekecualian, tergantung pihak keuskupan. Tapi prinsipnya, kesakralan sebaiknya tetap dijaga, pada waktu pasangan yang satu mengucapkan janji, pasangan yang lain beserta keluarga mereka sebaiknya menghormati dan menjaga keheningan dan turut mendoakan pasangan yang sedang mengucapkan janji tersebut, demikian juga seterusnya.
2. Jika kedua pihak, baik suami maupun istri beragama Katolik, maka dengan pemberkatan Pastor menurut tata cara yang berlaku di Gereja Katolik, maka keduanya dikatakan sebagai ‘saling menerimakan’ sakramen Perkawinan. Kan. 1055, KHK 1983:
§1: Perjanjian (foedus) perkawinan dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen,
§2: Karena itu antara orang-orang yang dibaptis tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
Maka perkawinan antara dua orang yang sudah dibaptis menjadikan perjanjian perkawinan tersebut sebagai sakramen. Perlu diketahui di sini bahwa untuk sahnya Sakramen Perkawinan diperlukan matter (yaitu pasangan suami istri itu sendiri) dan form (yaitu perjanjian perkawinan yang dibuat antara kedua orang tersebut). Nah, Perjanjian Perkawinan yang sering disebut sebagai Perkawinan in fieri ini sah jika dibuat memenuhi 3 syarat: 1) Pasangan mempunyai kapasitas (capacity) untuk menikah, sehat jiwa raga; 2) Keduanya setuju dan dengan kesadaran penuh (consent) mengadakan perjanjian tersebut dengan segala konsekuensinya; dan 3) Mengikuti cara/ forma kanonika (canonical form) sesuai dengan aturan Gereja Katolik.
3. Jika pemberkatan perkawinan tersebut dilakukan di hadapan Pastor dan dua orang saksi, dan dengan forma kanonikal seperti ketentuan Gereja Katolik, maka perkawinan tersebut dapat dikatakan sah. Jika pemberkatan hanya dilakukan secara sipil (hanya di depan perwakilan negara) tanpa pemberkatan Gereja, maka perkawinan tersebut tidak sah di mata Gereja, atau dikatakan bahwa mereka belum menikah di hadapan Allah. Namun jika pemberkatan tersebut diadakan kurang lebih bersamaan, yaitu setelah pemberkatan Gereja (atau sebelumnya, tergantung peraturan negara bersangkutan), maka perkawinan tersebut sah.
4. Pemberkatan perkawinan antara kedua suami istri Katolik tersebut di hadapan Pastor dan kedua orang saksi menurut forma kanonika Gereja Katolik disebut sebagai sakramen.
5. Sakramen Perkawinan dapat dilakukan di dalam Misa Kudus, maupun di luar Misa Kudus. Di dalam Misa Kudus artinya terdapat konsekrasi di dalamnya, yaitu doa yang diucapkan Pastor, yang mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Jika sakramen diadakan di luar Misa Kudus, maka konsekrasi ini tidak ada, walaupun tetap saja dapat dibagikan Ekaristi/ komuni (yang sudah dikonsekrasikan pada misa sebelumnya). Hal ini tidak berpengaruh pada ke-absahan Sakramen, sebab jika dipenuhi syarat pada point 3, maka sakramen tersebut sah.
6. Tidak ada keharusan bahwa pernikahan harus diadakan secara gilang gemilang. Sebab yang terpenting dalam perayaan Perkawinan sesungguhnya adalah pemberkatan di gereja, dan bukan pada perayaan pesta. Pemberkatan Gereja sesungguhnya hanya sederhana, hanya dilakukan di depan Pastor, minimal dua orang saksi, dan biasanya pihak keluarga dan kerabat dari kedua belah pihak. Jika ingin menghemat lagi, maka mungkin pestanya saja yang diadakan beramai-ramai (namun pemberkatan tetap sebaiknya dibatasi). Misalnya jika dua pasang diberkati bulan ini, maka kedua pasang itu menunggu sampai bulan depan jika ada dua pasang yang lain diberkati, lalu baru sama-sama mengadakan perayaan bersama (4 pasang). Ini hanya sekedar usulan saja.
Semoga uraian di atas cukup jelas, ya.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Sholom Ingrid,
Terima kasih di atas penjelasannya. Pertanyaan saya lagi adalah,adakah berdosa atau zina pasangan suami isteri kerana belum menerima sakramen/berkat kahwin gereja tetapi sudah kahwin secara sivil beberapa bulan atau tahun sebelum mereka menerima sakramen/berkat kahwin dari Paderi(kelanjutan daripada pertanyaan saya bernombor 1 pada 17/3/2009)
Terima kasih.
Shalom Semang,
Setiap orang yang telah dibaptis Katolik, terikat dengan Hukum Gereja Katolik (lih. kan 11), sehingga memang jika ingin menikah dengan sah, maka pernikahannya harus diberkati oleh Gereja Katolik. Jika kedua pasang suami dan istri keduanya Katolik, atau-pun salah satu Katolik dan yang lainnya Kristen Protestan yang baptisannya diakui oleh Gereja Katolik, maka perkawinan mereka disebut sebagai sakramen (Karena perkawinan antara dua orang yang dibaptis bernilai sakramen, berlaku seumur hidup). Jika salah satu Katolik, dan yang lainnya tidak Katolik/ beragama lain, maka keduanya tetap terikat oleh hukum Gereja Katolik jika ingin menikah, karena perkawinan tidak dapat dikatakan dilakukan oleh ‘setengah’ pihak. Keduanya harus bersama-sama diberkati oleh Gereja Katolik dalam pemberkatan Perkawinan. Namun, jika keduanya (baik istri maupun suami) bukan Katolik, maka keduanya tidak terikat oleh Hukum Gereja Katolik.
Penerimaan Sakramen/ pemberkatan Perkawinan itulah yang men-sahkan hubungan perkawinan suami istri di hadapan Tuhan dan umat lainnya. Maka tanpa pemberkatan Perkawinan ini sesungguhnya di mata Tuhan mereka belum menjadi suami istri. Perkawinan secara sipil tidak men-sahkan perkawinan di hadapan Tuhan. Maka jika salah satu pasangan Katolik, ataupun keduanya Katolik, namun pernikahan mereka baru diadakan secara sipil saja, tapi kemudian mereka telah hidup/ berhubungan sebagai suami istri, maka mereka berdosa di hadapan Tuhan, karena sebenarnya mereka belum dipersatukan oleh Tuhan.
Namun, jika ada situasi khusus, di mana pasangan diberkati secara sipil, tetapi harus menunggu beberapa waktu untuk menerima sakramen Perkawinan karena langkanya Pastor/ Paderi di daerah tersebut, dan selama waktu menunggu suami dan istri masih hidup terpisah dan tidak berhubungan suami istri, maka mereka tidak berdosa.
Demikian jawaban saya, semoga jelas ya.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Salam Damai ,
Romo saya mau bertanya : OLeh karena apa saja Perkawinan Gereja dapat dianggap tidak sah atau dapat dibatalkan ??? Setahu saya perkawinan Gereja dapat di batalkan,
1. jika terjadinya perkawinan karena terpaksa atau dipaksa.
2. Adanya kebohongan dalam diri salah satu pasangan (misalkan si pria sebenarnya adalah seorang Homoseksual atau si wanita adalah sorang lesbian)
3. Adanya unsur ketidaksetiaan oleh salah satu pihak sebelum terjadi perkawinan.
Mohon Romo dapat menjelaskan lebih jauh jika ada Faktor lain yang dapat menyebabkan Perkawinan Gereja dapat dianggap batal atau tidak sah.
Terima kasih.
Yohanes Yth
Ada 3 hal pokok perkawinan dapat dinyatakan tidak sah dan dapat dinyatakan batal: 1) adanya halangan umum atau khusus (bdk. kann. 1073-1094) 2) adanya cacat konsensus (bdk. kann. 1095-1107) 3) adanya cacat forma canonica (bdk kan. 1108) cacat konsensus sendiri ada 13 kanon yang kalau dirinci lebih dari 10 pokok nulitas (pelajaran 1 tahun di yurisprudensa). Yang anda katakan sebagian kecil saja unsur-unsur yang mendukung anulasi perkawinan. Masih banyak hal yang lain. Perkawinan tidak sah dan dapat dibatalkan kalau ada bukti-bukti yang kuat dan jelas mendukung pembatalan perkawinan tsb. Demikian penjelasannya, semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.
salam Rm Wanta,Pr
Romo , pertanyaan saya yang ini belom mendapat jawaban dari Romo.
Apakah pernikahan Katholik saya bisa anggap batal atau dikatakan tidak sah, karena memang saat itu pernikahan saya bukan didasari cinta tetapi karena saya DIPAKSA DAN TERPAKSA karena wanita itu hamil???
Terima kasih.
Yohanes Yth.
Pernyataan batal atau sahnya perkawinan harus dibuktikan di pengadilan Gereja melalui Tribunal Perkawinan. Karena itu bisa dimohon keabsahan perkawinanmu dan berikan bukti-buktinya kalau memang tidak sah. Saya tidak bisa mendahului putusan dari proses anulasi di tribunal perkawinan. Semoga paham.
Salam
Rm Wanta
Romo, saat ini saya sedang menjalani proses untuk pembatalan Perkawinan saya di KeUskupan Surabaya. Saya sudah menjalani sidang di Gereja sebanyak 3 kali. Tetapi selama ini pihak mantan istri saya tidak pernah memenuhi panggilan dari Tribunal Ke Uskupan Surabaya guna diminta keterangannya oleh Team Tribunal. Saya menduga mantan istri saya tidak mau datang karena malu atas perbuatannya yaitu: Berselingkuh dengan banyak laki2. Bagaimana jika mantan Istri tetap tidak mau hadir atas panggilan pihak Tribunal???? apakah pengajuan saya dapat diputuskan oleh Pihak Tribunal. Saya mengajukan pembatalan perkawinan karena saat terjadinya pernikahan saya dengan mantan istri karena SAYA TERPAKSA dan DIPAKSA. Saya dipaksa untuk menikahinya oleh ortunya karena dia hamil saat kami baru berkenalan selama 2,5 bulan. (pada saat itu saya masih berumur 19 tahun.) saya masih sangat muda.
Saya baru mengerti bahwa sebenarnya pernikahan secara Katholik itu tidak boleh adanya unsur PAKSAAN ATAU DIPAKSA setelah saya berumur 45 tahun dan terjadinya perselingkuhan dengan banyak laki2 yang dilakukan oleh istri saya. Semua itu terbongkar pada tahun 2003, dan yang lebih parah lagi perselingkuhan itu sudah dilakukkan sejak 23 tahun yang lalu. ( 3 bulan setelah saya menikahi dia).
Saya menikah secara Katholik Th 1981 saat itu tidak/tidak pernah disuruh mengikuti pelajaran tentang perkawinan Gereja Katholik ( seperti biasanya setiap pasangan yg akan melakukan pernikahan Gereja Katholik), mungkin karena saat itu dia sudah hamil, semua yang ngurus masalah pernikahan Gereja adalah keluarga wanita. Dan saya meskipun sebagai umat Katholik saat itu sangat awam masalah aturan Pernikahan Gereja Katholik.
Apakah pernikahan Katholik saya bisa anggap batal atau dikatakan tidak sah, karena saya tidak pernah di ikutkan oleh Gereja dengan kursus Perkawinan Katholik??? (padahal kursus itu diharuskan dalam Gereja Katholik)
Apakah pernikahan Katholik saya bisa anggap batal atau dikatakan tidak sah, karena memang saat itu pernikahan saya bukan didasari cinta tetapi karena saya DIPAKSA DAN TERPAKSA karena wanita itu sudah hamil???
Bagaimana jika mantan Istri tetap tidak mau hadir atas panggilan pihak Tribunal???? apakah pengajuan saya dapat diputuskan oleh Pihak Tribunal???
Mohon Penjelasan Romo.
Terima Kasih.
Yohanes Yth.
Meskipun pihak responden (tergugat) dipanggil tidak mau datang sesudah 3 kali berturut-turut dan telah menerima surat panggilan dari pihak Tribunal proses pembatalan perkawinan tetap berjalan terus. tidak usah kawatir. Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) adalah bagian dari proses pengajaran perkawinan tapi tidak menjadi satu alasan untuk pembatalan perkawinan. KPP bagian dari pastoral tapi tetap penting bagi calon pengantin sebagai persiapan perkawinan.
Semoga proses dapat berjalan dengan lancar.
Tuhan memberkatimu
salam
Rm Wanta, Pr
father,
bagaimana dengan seorang istri yg dapet suami suka memukul, mabuk dan sudah tidak bisa diperbaiki lagi?
bagaimana dgn suami yang mendapat seorang istri yg suka selingkuh dan suka bertualang dgn bergonta-ganti pasangan?
dan, pertanyaan saya yg terakhir, tapi ini butuh kejujuran dari bapa,, bagaimana cara bapa menahan nafsu/menyalurkan birahi bapa selama ini. (tolong bapa bicara jujur dan apa adanya)
Sdr Imanuel Yth
Sebelum menjawab pertanyaan anda, saya bertanya pada anda, apakah ini persoalan orang lain atau yang anda alami sendiri lalu dalam hubungan dengan apa? Proses anulasi perkawinan atau apa? Tidak jelas. Tapi baik, secara akal sehat dan ilmiah, maka dikatakan bahwa seorang yang suka memukul, mabuk-mabuk dan suka selingkuh, gonta-ganti pasangan dapat dikategorikan ke dalam anomali (ketidakwajaran). Apalagi bagi mereka yang telah berkeluarga. Bila penyakit tsb yang dalam ilmu psikologi atau dalam kodeks disebut "natura psychica" telah diderita sebelum perkawinan, perkawinan tsb meskipun sudah berjalan lama dapat dianulir perkawinannya (bdk. kan. 1095 no.3). Jika anda memroses ke tribunal kalau itu yang anda alami dan dapat dibuktikan dengan keterangan dokter, proses anulasi dapat berjalan dan dilakukan oleh si pemohon.
Perihal menahan nafsu seks, saya anjurkan anda rutin berolahraga, beraktivitas sosial, dan jika sudah menikah, menyalurkan naluri seks pada pasangan anda yang sah dalam perkawinan dan bukan pada orang lain.
Salam,
Rm Wanta, Pr
Salam dalam kasih Yesus,
Puji dan syukur dengan adanya web ini yang secara tidak sengaja saya temukan sebagai “sarana” yang sangat saya butuhkan saat ini karena banyak pertanyaan2 seputar perkawinan katolik yang agak membingungkan buat saya yang awam, dan kalau ada orang non katolik yang bertanya kita hanya bisa menjawab: kayaknya…. karena kadang tidak yakin, takut salah info, dll.
Beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan:
1. Apakah ada buku panduan untuk awam sehubungan dengan perkawinan katolik, perkawinan campur, dispensasi, dll selain Kitab Hukum Kanonik?
2. Apakah ada buku/info yang menjelaskan tentang apa saja yang menyebabkan seorang katolik tidak boleh menerima komuni?
3. Teman perempuan saya, A, Katolik menikah dengan B yang Kristen di gereja Kristen (tanpa kanonik).
a. Apakah dengan menikah secara Kristen, berarti secara otomatis A dianggap melepas agama Katoliknya? Apakah A terkena hukum ekskomunikasi?
b. Apakah A boleh menerima komuni sesudahnya? Kalau tidak boleh, persyaratan/larangannya ada dimana?
4. Orang Kristen memperbolehkan orang Katolik untuk menerima roti dalam Perjamuan Kudus mereka, apakah boleh orang Katolik menerimanya? Bagaimana dengan di gereja Katolik, apakah orang Kristen boleh menerima komuni? Dimanakah adanya peraturan tentang hal2 ini?
Mohon penjelasan dari Romo dan Sdri Ingrid, terima kasih atas waktunya.
Syalom,
Caecilia
Caecilia Yth
Menjawab pertanyaan anda tentang buku hukum gereja tentang perkawinan campur dan lainnya ada di toko buku katolik seperti Obor, Dioma, Kanisius, dan Nusatama. silakan membeli buku perkawinan campur sangat banyak karanagan rama Piet Go, O.Carm, Rama Catur Raharso, Pr, dan rama lainnya.
Perihal tanya jawab iman karangan rama Pietdyarto O’Carm dan bermacam buku tentang persiapan komuni silahkan membuka web.kanisius: http://www.kanisiusmedia.com.
Perihal perkawinan katolik dengan kristen yang tanpa kanonik tidak sah maka perlu convalidatio. Setiap orang katolik wajib hukumnya mengikuti perkawinan kanonik terutama dalam hal ini forma canonica (depan Pastor dan 2 orang saksi). Dia tidak diekskomunikasi bagi yang katolik, hanya kena sangsi karena perkawinan tidak sah tidak boleh menerima komuni (bdk kan 915, 916) dan harus mensahkan perkawinan dengan terlebih dahulu membereskan halangan beda gereja (izin ordinaris), melaporkan kepada pastor paroki.
Pertanyaan keempat tidak benar bahwa orang katolik boleh menerima komuni perjamuan agama kristen. Orang katolik tidak diperkenankan ikut ambil bagian dalam perjamuan agama kristen protestan demikian sebaliknya tidak diperkenankan orang kristen protestan menerima komuni kudus dalam perjamuan ekaristi. Alasannya karena perbedaan iman atas sakramen mahakudus dalam perjamuan ekaristi (bdk kan 912, 915). Lebih lanjut bacalah Sacrosanctum Concilium dalam Konsili Vatikan II dan KGK khususnya perjamuan ekaristi kudus (misa).
Semoga bermanfaat. Tuhan memberkatimu
salam
Rm Wanta, Pr
Rm Wanta Yth
Terima kasih atas jawaban2nya, sangat membantu saya dalam belajar iman katolik secara lebih sungguh.
Syalom,
Caecilia
Shalom Father wanta dan Ingrid,
1.Saya sangat seronok membaca artikel dan soal jawab khasnya diskusi anda dengan Tormento dan ia memberi pengalaman dan pengetahuan baru untuk saya(saya bujangan sebenarnya).Bila membaca artikel serta soal jawap ini khasnya diskusi anda dengan Tormento akhirnya saya membuat satu kesimpulan yang mudah bahawa betapa indahnya perkahwinan Katolik(biar pun saya belum melaluinya)tetapi dalam masa yang sama ia sedikit menghadirkan perasaan takut di jiwa ini untuk berkahwin.Saya takut bila mungkin perkahwinan saya gagal(dan tidak ada sebab untuk bersatu semula biar pun mungkin sudah melalui sesi kaunseling dan sebagainya) maka proses untuk membatalkannya melalui jalan yang maha panjang.
2. Cousin saya telah melalui peristiwa yang hampir sama dengan saudara Tormento ini.Isteri beliau adalah protestan dan dibaptis cara Katolik sebelum perkahwinan mereka berdua dan setelah 12 tahun hidup bersama maka isteri beliau ada skandal dengan lelaki lain,betapa teruknya perasaan cousin saya ketika itu.Seperti yang saya dapat lihat bahawa cousin saya ini sangat bersungguh2 hendak menyelamatkan perkahwinannya lalu dibawanya masalah mereka berdua ke Paderi Paroki yang berdekatan(Paroki kami tidak ada Paderi,mereka berkahwin dulu pun dengan menjemput Paderi dari Paroki lain) dan selepas itu beliau berusaha sedaya upaya(juga melalui doa2nya)untuk dapat menerima isteri beliau seperti sebelum peristiwa hitam itu terjadi,ya mungkin namanya manusia biasa?cousin saya sepertinya tidak berjaya, setiap kali mereka ‘tidur’ setiap kali itulah dia sering terbayang2 skandal isteri beliau itu dan rumahtangga mereka berdua tidak harmoni lagi sering terjadi pertengkaran/bergaduh(saya pernah melihat kesan tumbukan cousin saya di dinding rumah mereka dan koyakan cakaran isteri beliau di tempat duduk kereta/mobil) dan dipendekkan cerita isteri beliau pun membawa diri bersama 3 orang anak mereka berdua ke kuala Lumpur(kami hidup di Sarawak)beliau membawa bersama segala dokumen perkahwinan gereja mereka berdua(2004)
3.Dan sekarang cousin saya ini telah bercinta semula dengan seorang wanita(protestan juga tetapi telah menyatakan kesungguhannya masuk Katolik) masalahnya sekarang adalah ‘status’ perkahwinan pertama cousin saya ini.Untuk pengetahuan Ingrid sejak dari tahun 2005 hingga 2007 cousin saya telah berusaha meminta isterinya balik sekejap ke Sarawak untuk menyelesaikan masalah mereka berdua tetapi isterinya enggan malah beliau sudah bersuami baru sekarang ini.
4.a)Jadi sekiranya mereka berdua(cousin saya dan isterinya)telah bermati-matian enggan bersatu semula layakkah mereka berdua untuk membatalkan perkahwinan mereka maksudnya bercerai? b)Andaikan semua dokumen2 perkahwinan gereja mereka sudah dimusnahkan(cousin saya membuat kemungkinan bahawa isteri beliau telah musnahkannya)masih bolehkah mereka membuat urusan penceraian itu dengan merujuk rekod gereja?(untuk pengetahuan, mereka berdua tidak berkahwin cara sivil)
5.Dan bolehkah urusan penceraian/pembatalan itu dilakukan di Kuala Lumpur?seperti yang Ingrid katakan dalam hukum Kanonik 1673.
6.Dan untuk saudara Tormento dan yang lain2 itu,saya menyayangi anda semua.Salam kasih.
Semang Yth, Saya memahami betapa pedihnya perasaan cousinmu, dan sekarang harus menghadapi situasi baru. Peristiwa hidup perkawinan terjadi pada umumnya karena hal-hal kecil sampai besar, maka waspadailah persoalan dalam rumah tangga mulailah dengan mengatasi hal-hal kecil. Perkara cousin anda besar dan harus diatasi dengan usaha yang besar pula. Pertama Semang bisa membantu cousinmu membuat libellus dan ditujukan kepada Tribunal dimana anda bisa memohonnya (di luar Kuala lumpur juga bisa namun harus ada syarat dan alasannya lihat kan. 1673). Seandainya, kedua pihak yang digugat tidak mau datang dalam panggilan tribunal, namun proses perkara tetap berjalan. Ketiga, bila tidak ada dokumen perkawinan, maka cukuplah saksi yang kompeten dapat memberi kesaksian tentang perkara ini. Keempat, berusahalah untuk mengajukan perkara ini pada pengadilan Gereja Tribunal keuskupan dimana dia diteguhkan atau dimana domisi pihak pemohon (ada 4 kemungkinan). Semoga Tuhan memberkatimu dan perkara cousinmu dapat teratasi dan hidup berkeluarga menjadi baik. Salam Rm Wanta
Terima kasih Father di atas nasihatnya.
pagi romo, 12 des 2009 ini sy akan menikah, yang jadi pertanyaan saya bacaan ap yang sesuai dengan saat itu?terus terang saya bingung menentukan bacaannya..mohon bantuannya..trims
Shalom Imel,
Biasanya dalam Misa pernikahan, Imel boleh memilih sendiri bacaan-bacaan Alkitabnya. Silakan dirundingkan dengan Pastor yang akan memberkati pernikahan Imel.
Berikut ini, saya sertakan beberapa alternatif bacaan dari Alkitab Perjanjian Lama dan Baru, juga Injil. Silakan Imel lihat, diskusikan dahulu dengan calon suami Imel, supaya bacaan tersebut juga merupakan pilihannya, yang dapat kalian jadikan pedoman untuk meneguhkan ikatan kasih di antara kalian.
Bacaan dari Perjanjian Lama & Mazmur
1) Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan (Kejadian 1:26-28.31)
2) Mereka menjadi satu daging (Kejadian 2:18-24)
3) Ishak mengambil Rebekah sebagai istrinya, dan terhibur setelah kematian ibunya (Kejadian 24:48-51.58-67)
4) Semoga Tuhan membimbing dan memberkatimu, dan melimpahimu dengan belas kasihan dan damai sejahtera (Tobit 7:6-14)
5) Semoga kami dapat bersama hingga usia lanjut (Tobit 8:4-8)
6) Kasih yang lebih kuat daripada kematian (Rapatan 2:8-10.14.16; 8:6-7)
7) Seperti matahari terbit adalah kecantikan seorang istri yang baik di dalam rumahnya yang teratur (Sirakh 26:1-4.13-16)
8) Aku akan membuat perjanjian baru dengan umat Israel dan keturunan Yehuda (Yeremia 31:31-34)
9) Diberkatilah mereka yang diundang di Perjamuan Anak Domba (Wahyu 19:1.5-9)
10) Diberkatilah perempuan yang takut akan Tuhan (Amsal 31:10-13.19-20.30-31)
11) Tuhan memenuhi bumi dengan kasih-Nya (Mazmur 32:12.18.20-22)
Bacaan dari Perjanjian Baru
1) Siapa yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus? (Roma 8:31-35.37-39)
2) Persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, kudus dan tak bercela di hadapan Tuhan (Roma 12:1-2.9-18)
3) Tubuhmu adalah Bait Allah yang hidup (1 Korintus 6:13-15.17-20)
4) Jika aku tak mempunyai kasih, aku tak memperoleh apa-apa (1 Korintus 12:31-13:8)
5) Ini adalah misteri yang besar seperti misteri Kristus dan Gereja-Nya (Efesus 5:2.21-33)
6) Kenakanlah kasih, yang mengikat segalanya di dalam keharmonisan (Kolose 3:12-17)
7) Kepadamu semua, milikilah kesatuan roh, simpati dan kasih, seorang kepada yang lain (1Petrus 3:1-9)
8) Mari mengasihi di dalam kebenaran dan dalam perbuatan (1 Yohanes 3:18-24)
9) Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:7-12)
10) Semoga Tuhan memberikan engkau hidup dalam keharmonisan satu sama lain (Roma 15:1b-3a.5-7.13)
11) Peliharalah kesatuan Roh di salam ikatan damai sejahtera (Efesus 4:1-6)
12) Damai Tuhan, yang melampaui segala akal, akan membimbing hatimu (Filipi 4:4-9)
13) Biarlah Perkawinan dihormati oleh semua orang (Ibrani 13:1-4a.5-6b)
Bacaan Injil
1) Bersukacitalah dan bergembiralah, sebab upahmu besar di surga (Matius 5:1-12)
2) Kamu adalah terang dunia (Matius 5:13-16)
3) Ia membangun rumahnya atas dasar batu (Matius 7:21.24-29)
4) Apa yang telah dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia (Matius19:3-6)
5) Ini adalah perintah yang utama (Matius 22:35-40)
6) Mereka bukan lagi dua, melainkan satu tubuh (Markus 10:6-9)
7) Yesus melakukan mukjizat-Nya yang pertama di Kana, Galelia (Yohanes 2:1-11)
8) Tinggallah di dalam kasih-Ku (Yohanes 15:9-12)
9) Ini adalah perintah-Ku: kasihilah seorang akan yang lain (Yohanes 15:12-16)
10) Supaya mereka menjadi satu (Yohanes 17:20-26)
Demikian beberapa bacaan dari Kitab Suci yang bisa dipilih untuk Misa Perkawinan Imel. Diskusikan dengan Pastor, apakah urutannya Bacaan 1, lalu diikuti Mazmur dan Bacaan Injil, ataukah Bacaan I, Mazmur, Bacaan II dan Bacaan Injil.
Mengenai mazmur, sesungguhnya Imel dapat memilih dari buku Mazmur Tanggapan Misa Kudus, atau disesuaikan dengan jadwal misa pada tgl 12 Desember itu. Maaf saya tidak mempunyai buku Mazmur tersebut di sini, sehingga saya tidak dapat menuliskannya.
Selamat mempersiapkan hari Pernikahanmu, ya. Semoga Tuhan memberkati.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Kebetulan nama saya juga Imel, tetapi akan menerima sakramen pernikahan tanggal 21 Nov 2009 :) Rekomendasi bacaan dari Alkitab yang ibu Ingrid berikan ini sangat membantu saya dan pasangan dalam menentukan bacaan mana yang akan kami tampilkan di buku misa.
Thx buat Imel & Bu Ingrid.
Tuhan selalu memberkati.
Mo…. saya mau curhat ni. say dah nikah selama 8 tahun. dah dikaruniai anak sekarang umur 5 thn. Ceritanya begini: Saya nikah thun 2001 dan dikaruniai anak tahun 2004. setelah anak saya lahir istri saya selingkuh dengan mantan pacar. Dari tahun 2004 dan ketahuan saya tahun 2006. waktu itu saya sebagai manusia tidak berbuat banyak. Marah tiada guna karena tidak bisa mengembalikan semuanya akhirnya saya memaafkan istri saya yg hampir tiap hari berduaan dengan mantan pacarnya itu. Padahal mantan pacarnya itu dah saya anggap saudara dan saya tidak pernah punya pikiran selingkuh. tanggal 22 november 2008 sang mantan pacar datang pada saya untuk dibuatkan disain undangan pernikahannya. Alangkah kagetnya saya mendapati foto adengan ranjang antara istri saya dengan dia. dan disitu tertanggal 110908. Dan sampai detik ini saya masih trauma setiap lihat komputer padahal saya kerja pakai komputer. Saya bingung harus gimana sedangkan sanya mengadu ke romo paroki pugeran yogyakarta tindakannya tidak tegas cuma disuruh minta maaf sama saya dan doa di depan sakristi. Yang akan saya tanyakan dimana letak kesakralan pernikahan gereja???? Apakah dengan cara seperti itu orang akan insaf dan tidak akan berbuat lagi?? Dulu dia bilang tidak akan mendekati istri saya lagi namun apa ??? Sampai saya punya pikiran lebih enak nikah digereja kalau selingkuh paling cuma disuruh doa aja….. saya sebagai orang katolik sudah teramat sangat menderita dan. saya menuntut ganti rugi 250jt. maksud saya untuk saya bisa memulai hidup baru membangun keluarga baru. Dan otomatis si pelaku akan berpikir 1000 kali lagi untuk melakukannya lagi.mohon penjelasan dari pembaca yang peduli dengan nasib saya.
hub. saya (antonius agung kurniarto, paroki pugeran yogyakarta, telp. 0274-7189953) trimakasih atas masukannya. berkah dalem….
Mo…. perlu saya jelaskan lagi bahwa pernikahan laki-laki tersebut terus berlanjut padahal dari pihak keluarga saya sudah bilang ke pastoran kalao dia masih punya masalah dengan keluarga kami. Tapi romo pastoran tetap melangsungkan pernikahannya. Dan akhirnya keluarga kami sekarang berantakan saya hidup sendiri sedangkan istri saya tinggal dengan orang tuanya. Saya sebagai orang katolik benar2 ga habis pikir dengan keputusan romo yang demikian. padahal untuk membuat keluarga kami bersatu kembali sangatlah sulit bila tidak ada bimbingan dan pengarahan dari romo. Dan si pelaku tadi mungkin berkeliaran bebas sambil tertawa melihat keluarga kami berantakan serta tidak m enutup kemungkinan terjadi lagi diantara mereka. seperti yang lalu-lalu.
Bapak Agung Yth,
Pertama saya ikut prihatin dengan keadaan anda, dan semoga anda bisa tetap tabah menghadapi kehidupan ini. Kedua saya ingin mencoba memberikan jalan keluar persoalan yang anda hadapi. Saya ajukan pertanyaan kepada bapak Agung apakah anda masih mau tetap hidup bersama dalam keluarga katolik yang harmonis dengan istri anda? Jika ya, maka dimana sekarang istri anda bisa ditemui untuk diajak dialog tentu harus ada usaha dari pihak istri apakah mau rujuk berdamai dengan anda? Jika ya sama-sama mau, maka pertemuan dapat dilakukan. Pengandaian saya bahwa istri anda sudah tidak lagi diganggu oleh mantan pacarnya, artinya dia hidup dengan orang tuanya lagi. Perkawinan anda masih ada ikatan sejauh belum diputuskan oleh lembaga pengadilan baik sipil atau gerejawi. Hal lain jika tidak mau rujuk berdamai lagi maka jalan yang terburuk agar status anda jelas adalah melalui pengadilan sipil atau gereja. Cobalah datang ke romo Rubiyatmoko tribunal perkawinan KAS, semoga ada jalan terbaik untuk anda.
salam dan berkat Tuhan
Rm Wanta
Romo. kira-kira 2 th lalu saya bertemu dg seorang pria. Singkat cerita, dari awalnya berteman, kami akhirnya saling dekat,cocok dan pacaran. Masa pacaran awal, memang saya belum dikenalkan ke keluarga/teman2nya. Awalnya saya pikir krn dia introvert. Tp kami makin saling cocok, sayang, cinta. Akhirnya kurang lebih 9 bulan kemudian, lama2 terungkap pengakuan bhw dia sudah pernah menikah secara Katolik sejak 10 th yang lalu. Saya cukup shock awalnya krn tidak pernah menduga. Tp saya dengarkan ceritanya. Rupanya dia punya masalah dalam perkawinannya : menurut pengakuannya sejak awal menikah istrinya tidak dpt berhubungan intim. Juga terungkap ternyata istrinya tergantung obat2an krn mengidap kelainan jiwa, dimana diluar pengaruh obat, jiwanya spt wanita usia 5 th (paranoid, jarang mandi,tidur di siang hari dan bangun di malam hari,dll : belakangan diduga mengidap schizophrenia). Sejak pengakuan dia ke saya tersebut, dia memutuskan tinggal terpisah hingga saat ini. Belakangan terungkap bhw dahulu dia menikah karena setengah dipaksa oleh istrinya dibawah pengaruh keluarga besar istrinya. Awalnya dia sempat ragu, terlebih krn keluarga besar lelaki dulu tidak setuju. Tp karena dipaksa, akhirnya mereka menikah. Intinya : kehidupan pernikahan mrk tidak normal. Tp suami bersabar, krn intinya dia cukup religius, dan meyakini Tuhan pnya maksud di balik cobaan ini. Dia cukup menyadari Perkawinan Katolik tidak bisa diceraikan. Beberapa kali dia memberikan kesempatan istrinya utk berubah, tp tetep tidak dilakukan. Akhirnya kesabaran ada batasnya. Terlebih menurut pengakuan dia, bhw dia merasa hidupnya lebih berarti setelah bertemu saya. Saya pun banyak merenung, berdoa. Akhirnya saya pikir : sebagai manusia, dia berhak mendapat kebahgiaan dan kesempatan kedua. Kami tetep meneruskan dan serius dg hub kami. Sejak bulan Desember 2008, dan hingga hari ini, dia sedang mengurus proses perceraian secara Negara. Kami juga telah diskusi dan konsultasi di KAJ dg Ibu Lidwina. Mrt Ibu Lidwina : sangat dimungkinkan adanya anulasi utk kekasih saya.
Pertanyaan saya :
1. Bagaimana hukum Grj apabila istri tidak bisa menjalankan fungsinya?
2. Bgm pandangan Grj bila dalam sebuah perkawinan tidak pernah ada hub suami istri?
3. Apa pendapat Grj bila ada org Katolik yg tidak beruntung dlm perkawinannya?
4. Kalau semua upaya sudah dilakukan,dan tidak berhasil, apakah Grj masih melarang perceraian?
5. Ada / tidak pasal2 dlm hukum Grj yg memperbolehkan menikah lagi?
6. Bila akta perceraian negara sudah putus (dalam 2-3 bulan ini), kami merencanakan segera menikah. Apakah kami dpt menikah di Grj, minimal mendapat pemberkatan grj? Hal ini krn saya dengar proses anulasi (pembatalan perkawinan katolik) mungkin butuh waktu yg lama, sedangkan usia saya sudah 37 th, yg berarti cukup tua untuk pnya anak. Padahal kami ingin sekali mempunyai anak.
Mohon jawaban. Krn kami saling mencintai,dan berniat serius dalam hub kami.
Terima kasih.
1) Pandangan Gereja Katolik ttg isteri yang tidak dapat menjalankan fungsinya. Sebelum perkawinan selalu diberikan instruksi ttg tugas dan kewajiban suami dan istri, orang tua pada anak, tujuan perkawinan dan sifat hakiki perkawinan, dll. Istri yang tidak mampu menjalankan hak dan kewajiban hakiki perkawinan merupakan ketidakmampuan yang menggagalkan sahnya perkawinan.
2) Setiap perkawinan diarahkan pada kelahiran dan pendidikan anak. Maka hubungan intim suami isteri adalah suatu hak bagi keduanya tentu secara manusiawi (bdk. kan 1055, 1057)
Maka calon penganten yang hendak menikah harus tahu dan mempunyai akal budi yang cukup untuk memahami perkawinan dalam Gereja Katolik (bdk.kan 1095).
3) Apa maksud beruntung dalam perkawinan? Untung ekonomi, atau menemukan pasangan yang baik…? Mencari pasangan yang tepat merupakan hak pribadi seseorang. Gereja memberikan hak personal untuk memilih panggilan hidup. Kalau tidak beruntung bukan salah siapa-siapa, itu pilihan bebas bagi yang mau menikah. Semua perkawinan mengalami kehidupan yang up and down/ naik dan turun.
4) Gereja tetap melarang perceraian (bdk. kan 1056, Mat 19:1-9)
5) Tidak ada pasal dalam KHK yang memperbolehkan pasangan menikah lagi, tetapi proses pembatalan perkawinan ada (bdk. kan 1671-1685)
6) Bisa mendapat peneguhan perkawinan di Gereja asalkan telah ada dekrit pembatalan perkawinan pihak yang ada halangan (pria), lama atau tidak tergantung tribunal ybs.
Semoga Tuhan memberkatimu. salam Rm Wanta, Pr
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Andit,
Saya turut prihatin dengan kasus anda. Saya sarankan sebaiknya anda mengurus terlebih dahulu pembatalan perkawinan calon suami anda pada keuskupan tempat ia dulu menikah. Silakan datang ke sana, dan tanyakan prosedurnya. Memang harus menunggu mungkin 1-2 tahun, tergantung tribunal ybs. Jika boleh saya sarankan, jangan terburu-buru menikah jika urusan pembatalan pernikahan belum diperoleh, agar anda berdua tidak menyesal di kemudian hari. Sebab, walaupun anda telah memperoleh surat cerai dari pengadilan sipil, namun jika pembatalan pernikahan belum diperoleh, maka di hadapan Tuhan sesungguhnya pernikahan calon suami anda dengan istrinya yang terdahulu itu masih sah dan tak terpisahkan. Terlepas dari apapun keadaan istrinya sekarang, tidak mengubah kenyataan itu di hadapan Tuhan (bdk. kan 1084, 2), karena ikatan tersebut belum dinyatakan batal oleh Gereja, yang menjadi wakil Kristus dalam hal ini.
Jika Andit sungguh ingin melakukan segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan Gereja, maka Andit sepantasnya bersabar dan mengurus Anulasi (pembatalan perkawinan) calon suami anda terlebih dulu, atas dasar bahwa ada halangan kawin dari pihak istri, karena ia sebenarnya tidak dapat kawin (bdk kan. 1095 dan kan. 1084, 1) jika apa yang dikatakan oleh calon suami anda itu merupakan fakta sesungguhnya.
Walaupun Andit prihatin dengan usia yang sudah cukup mapan, namun saya tetap menganjurkan agar menunggu sampai proses anulasi selesai, sebab jika Andit tetap menikah tanpa membereskan status perkawinan pertama calon suami anda, maka Andit sesungguhnya dengan kesadaran penuh memilih untuk hidup di dalam dosa di mata Tuhan (lihat Mrk 10: 11-12). Atau, intinya, Andit lebih memilih menuruti kehendak sendiri daripada kehendak Tuhan.
Masalah keturunan adalah sesuatu yang penting, namun saya rasa, masalah keselamatan kekal dan ketenangan batin dalam kehidupan kita selanjutnya, merupakan sesuatu yang jauh lebih penting.
Mohon maaf jika saran saya terdengar sangat tegas. Ini saya lakukan, justru karena saya prihatin akan keadaan Andit, akan bagaimana anda dan calon suami sesungguhnya juga merupakan orang Katolik yang baik.
Saya akan turut mendoakan dari sini, semoga Andit dan calon suami diberi rahmat kebijaksanaan oleh Tuhan untuk memutuskan hal yang sangat penting ini bagi kehidupan anda berdua selanjutnya. Inilah kesempatan anda menunjukkan pada Tuhan, bahwa anda mengasihi Dia lebih dari segala sesuatu, dengan melakukan sedikit pengorbanan yang tiada bandingnya dengan pengorbanan Kristus di kayu salib bagi anda dan kita semua.
Saya percaya, jika anda telah berusaha mengikuti perintah-Nya dengan segenap hati dan kekuatan anda, maka Tuhanpun akan memberkati perkawinan anda dengan limpahnya, jika itu memang sesuai dengan kehendak-Nya.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Romo. Saya menikah karena alasan orang tua. Sebelum menikah saya menyadari bahwa saya tidak mencintai calon suami saya, dan sdah saya sampaikan ke ortu sya bbrapa hari mnjelang hari H. Tetapi karena saat itu keuangan keluarga sya sedang tidak baik dan saya tidak mau menambah masalah (kalau pihak saya membatalkan berarti keluarga sya hrus mengganti seluruh biaya yg sudah keluar), akhirnya saya terpaksa melanjutkan pernikahan saya. Dan memang ternyata pernikahan yg tidak dilandasi cinta membuat hidup saya tertekan. U melakukan hubungan suami istri pun saya tidak bisa, karena tubuh saya tidak bisa membohongi perasaan saya.
Bagaimana pendapat romo ? apakah saya dapat mengajukan pembatalan ?
Intan Yth
Perkawinan yang sedang berjalan diandaikan sah kecuali dapat
dibuktikan bahwa perkawinan itu tidak sah. Memang perkawinanmu tidak
didasarkan oleh cinta (menurut pengakuanmu) namun tanyakan pada
suamimu apakan dia juga tidak mencintaimu? Kalau mencintaimu bagaimana
reaksimu? Adakah Intan bersedia tetap mempertahankan perkawinanmu ini
dengan dia kalau dia mencintaimu sungguh-sungguh dan luar biasa (misalnya). Mengapa saya anjurkan ini dan tidak tergesa-gesa untuk mengajukan pembatalan? Karena pembatalan adalah jalan terakhir dari
pertikaian pihak-pihak yang menikah. Untuk itu, usaha untuk mempertahankan
perkawinan menjadi pilihan utama. Coba renungkan dan jawab pertanyaan
saya tadi.
Kata orang cinta itu akan tumbuh oleh karena kesetiaan dan perjumpaan
yang terus menerus. Semoga.
salam
Rm Wanta, Pr
Kepada romo Wanta.
Romo, saya sudah menikah selama 11 tahun dan dikarunia seorang anak. Sakramen perkawinan dilakukan di Malang dan sekarang saya berdomisili di Jakarta. Permasalahnnya Romo, Pernikahan kami berdasar keinginan orang tua, karena dijodohkan, jadi kami tidak pernah merasakan pacaran dan mengenal pribadi satu sama lain. Dan kami pun sebenarnya juga tidak saling cinta. Setelah menikah, ternyata suami tidak bertanggung jawab. Semua harus saya yang menanggung, walaupun keadaan saya saat itu pas pas an. Suami lebih banyak berfoya-foya. Bahkan jarang di rumah. Bisa dibilang sejak menikah dulu, kalau mau dihitung, dia tidak lebih dari 30 hari (1 bulan) berada di rumah.
Kemudian sejak 10 tahun yang lalu kami pun berpisah, tanpa ada kata-kata apapun, tiba-tiba saja dia tidak pulang, sementara saya menempati rumah yang dibelikan orang tua saya di Jakarta.
Dan karena masalah ini pula, anak kami sampai sekarang tinggal bersama orang tua saya di Malang, dengan tanggungan penuh dari saya.
Saya dan suami sudah tidak ada kontak sama sekali. Saya tidak tau dimana dia tinggal dan juga nomer teleponnya.
Saya sangat ingin mengajukan gugatan cerai ke pengadilan negeri, tapi selalu saya tunda karena orang tua tidak ingin saya bercerai.
Saya sudah tidak tahan Romo. 10 tahun sudah saya hidup dengan status yang tidak jelas seperti ini. Dan saya bertekad bahwa tahun ini, saya akan menyelesaikannya di pengadilan negeri.
Pertanyaan saya romo, kalau saya sudah resmi bercerai di pengadilan negri, apakah saya bisa mengajukan pembatalan pernikahan, mengingat kami menikah karena paksaan orang tua (atas dasar berbakti kepada orang tua) bukan atas cinta. Dan apakah saya akan bisa menikah lagi, mengingat saya masih belum terlalu tua.
Terima Kasih romo.
Ibu Agie Yth
Saya setuju dengan pendapat ibu dan mendukung keputusan Ibu untuk mengajukan gugatan cerai di pengadilan sipil karena usaha untuk rujuk berdamai tidak bisa karena suami lari dari tanggungjawab pokok dalam keluarga. Perkawinan karena paksaan dan menimbulkan ketakutan (bdk. kan 1103) adalah tidak sah. Maka ibu bisa mengajukan pembatalan perkawinan di Tribunal Gereja keuskupan dimana ibu diteguhkan perkawinannya.
Tuhan memberkatimu
salam
Rm Wanta, Pr
Terima kasih banyak Romo, saya akan doakan semoga Romo tetap setia dalam panggilan. Tuhan memberkati
Yth. Romo Wanta,
Saya ingin bertanya, apabila seorang Kristen telah menikah dengan sesama Kristen juga, & mereka bercerai, apakah hal ini menjadi halangan pernikahan apabila salah satu dari mereka ingin menikah di Gereja Katolik dengan orang Katolik juga?
terima kasih atas jawaban Romo,
Vic
Vic yth,
Semua orang Katolik (sudah dibaptis) atau diterima di dalamnya dan menjadi anggota Gereja Katolik terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi (bdk. kan 11). Orang yang telah menikah beragama kristen dan pembaptisannya itu sah diakui Gereja Katolik terikat juga dengan undang-undang Gereja. Maka perkawinan orang-orang yang terbaptis (Kristen atau Katolik) adalah sah sakramental (tak terceraikan). Kalau dia bercerai dan menikah lagi dengan orang Katolik, terdapat halangan karena ikatan sebelumnya. Perkawinan yang sah dan sakramental apalagi kalau memiliki anak, akan memperteguh ikatan perkawinan yang tidak bisa terceraikan oleh siapapun.
semoga dapat dipahami.
salam
Rm Wanta/Pr
[dari admin: beberapa keterangan detil saya hapus.]
Dear Pastor …
Saya ingin tanya, hmmm … menyangkut situasi yang saya alami. Terus terang saya ga berani share ke orang-orang yang saya kenal, rasanya ga pernah siap aja untuk share ….
Saya dan suami menikah tahun 2003, dua tahun kemudian kami bertengkar, dan akhirnya suami saya pada akhir tahun 2005 mengirimkan selembar surat diantar ke kantor menyatakan sudah diputus cerai, sejak panggilan ketiga, suami saya pergi dari rumah kontrakan. Sejak itu saya hidup sendiri, kebetulan kami belum dikarunai anak, dan akhirnya saya memutuskan untuk pindah tempat tinggal.
Tahun 2006, saya dan keluarga menemui suami dan keluarga di tempat tinggal adiknya, tapi suami saya tidak mau kembali.
Akhir 2008, saya mendapat kabar dari adik, bahwa suami menikah lagi, tapi saya tidak tahu dimana mereka tinggal / berada. Keluarga mendesak saya untuk menikah lagi, sementara sampai saat ini saya masih berharap kami akan bersatu lagi, sehingga saya tidak pernah berani menjalin hubungan baru, saya menyiapkan diri untuk rela jika suatu saat suami bersedia kembali, karena saya ingin teguh dengan ke-Katolik-an saya, tapi saya tidak tahu sampai kapan saya akan menunggu. Di satu sisi, saya juga ingin punya keluarga di akhir usia saya. Tahun ini saya berumur 39 tahun.
Mohon saran, apakah ada kemungkinan saya menikah lagi secara Katolik?
Siapakah pastor yang bisa saya hubungi untuk hal ini?
Terima kasih Pastor.
Pernikahan dilakukan di Pematang Siantar.
Saat ini saya tinggal di Jakarta.
Rumah keluarga di Bandung
RL Yth,
Membaca cerita perkawinanmu, saya bisa memahami keadaanmu. Beginilah hidup perlu disikapi dengan perjuangan iman yang tangguh dan kokoh tak tergoyangkan. Sayang bahwa suamimu cepat sekali mengambil keputusan cerai dan menikah yang saya tidak tahu apakah dilakukannya tanpa disertai usaha untuk rujuk, seperti: mencari pastor atau pasutri yang bisa memberi jalan keluar pertengkaran yang dulu terjadi. Tapi semuanya sudah terjadi dan berjalan, maka kita lihat ke depan.
Luci masih tetap beriman Katolik dan itu bagus, sekarang datanglah ke Keuskupan Bandung (kalau dulu bersama dengan suami tinggal di Bandung)dan mohon untuk bertemu dengan Romo di Tribunal. Kemukakan semua permasalahannya dan persiapkanlah libellus surat permohonan pembatalan perkawinanmu. Carilah orang sebagai saksi yang tahu peristiwa itu dan saat kamu mau menikah di Pematangsiantar. Proses pembatalan ini memang dimulai di Pematangsiantar, namun sampaikan kepada mereka, bahwa karena keluarga banyak di Bandung mintalah proses dilakukan di Bandung saja tempat domisili para saksi. Anda dapat menikah lagi secara katolik jika permohonan pembatalan ini terkabulkan dan mendapat affirmasi tribunal banding. Memang agak lama tapi dimulai saja. Catatan libellus dibuat dengan menyertakan lampiran surat baptis, perkawinan, keputusan pengadilan copynya jika ada, dan nama para saksi yang dapat membantu anda. Semoga anda mendapat jalan terbaik dalam usaha menempuh kehidupan yang baru. Tuhan memberkatimu
salam
rm wanta,pr
Terima kasih banyak atas tanggapan Pastor …
Membaca jawaban Pastor, berbagai perasaan berkecamuk dan saya mengeluarkan air mata (saya memang gampang banget nangis). Setiap kali membahas hal yang satu ini, saya selalu tidak bisa menahan diri, itu sebabnya saya berusaha untuk tidak banyak membicarakannya.
Beberapa hari ini saya coba merenung dan berusaha mendengarkan suara Tuhan kepada saya lewat peristiwa-peristiwa di sekitar saya. Saya merasa belum siap untuk menceritakan segala hal dengan rinci, masih sakit aja rasanya. (saya menduga bahwa saya akan diminta untuk menceritakan semua hal, dan saya tidak ingin menjelekkan suami dengan menceritakan peristiwa yang terjadi), tapi mengingat masa tuaku, saya harus mulai berani dan saya sedang menggalang kekuatan untuk itu. Saya berharap muzizat Tuhan terjadi di hidup ku.
Jika waktunya tiba, saya masih memerlukan bantuan Pastor, untuk berdiskusi, langkah demi langkah yang sebaiknya saya lakukan dan tidak bertentangan dengan iman saya, karena walau apa pun yang terjadi di hidup saya, saya bangga menjadi Katolik.
O ya Pastor, kisaran waktu untuk proses ini hingga akhirnya mendapat keputusan pasti bervariasi, secara rata-rata berapa lama ya Pastor?
Terima kasih banyak, saya senang mendapat tempat untuk mendiskusikan hal ini.
Tengkyu,
RL
RL Yth.
Baik kapan saja anda mengalami kesulitan dan memulai memroses ke tribunal kirim lewat Stef atau Ingrid di katolisitas.org nanti saya jawab. Kita harus bangkit dari keterpurukan hidup dan seperti Yesus meskipun jatuh beberapa kali tapi Dia tetap bangkit berjalan kembali memanggul salib sampai kematianNya di Golgota. Lama proses pada umumnya 1-2 tahun tergantung dari romo Hakim tribunal yang mengerjakannya. Demikian jawaban saya.
Semoga bermanfaat.
Tuhan memberkatimu
Rm Wanta, Pr
Romo,
Saya sudah cerai resmi pengadilan 2 th,sebelumnya sudah pisah rumah 4th.Bercerai bukan keinginan saya,tp keinginan mantan suami.Saya dgn terpaksa setuju bercerai setelah melalui 2kali gugatan di pengadilan th 2004 gugatannya tdk dikabulkan oleh pengadilan.Th 2006 dia ajukan gugatan lg akhirnya diputus cerai oleh pengadilan.Waktu itu sudah pernah ajak konsultasi ke gereja,tp mantan sama sekali tidak mau karena tetap mau bercerai.Bgmn status perkawinan kami secara gereja??sedangkan mantan sudah menikah lg.Apakah saya bisa mengajukan pembatalan nikah?Krn saya jg ingin melanjutkan kehidupan saya,dgn mencari pasangan hidup yg baru.Jk perkawinan kami tdk dpt dibatalkan..Bgmn caranya saya akan menikah kembali,tnp meninggalkan iman Katolik saya????Mohon bantuan Romo.Terima kasih…GBU
Saudari Irda:
Anda memiliki hak untuk hidup dalam perkawinan yang baik, apa yang anda alami bukan kesalahanmu, karena ditinggal pergi oleh pasanganmu. Usaha baikmu menjadi bekal untuk memulai hidup baru, jika ternyata nanti permohonan Anulasi dikabulkan pihak Tribunal.
Karena itu, gunakan proses keadilan dalam Gereja melalui Tribunal perkawinan dimana anda diteguhkan perkawinanmu. Buatlah libellus surat permohonan pembatalan dan baik kalau minta pendampingan seorang romo atau awam yang biasa menjadi pendamping masalah perkawinan gereja. Status perkawinanmu tetap eksis hanya sekarang menjadi pisah ranjang, ikatan perkawinan tetap ada meski secara sipil telah cerai. Kuasa memutuskan ikatan perkawinan gerejani ada di pihak Uskup dan Tribunal perkawinan. Jika setelah anda menjalani syarat proses pembatalan perkawinan dan menerima keputusan definitif yang menyetujui permohonan tersebut, maka status anda bebas, dan anda dapat menikah secara sah di Gereja dan diharapkan tidak akan gagal lagi.
Terimakasih semoga Tuhan memberkatimu
salam rm wanta,pr
Romo,
Apakah ada kemungkinan permohonan anulasi saya ditolak.Krn dari berbagai informasi ,tdk mudah untuk membatalkan pernikahan katolik.Bisa saja ditolak.Kebetulan calon suami saya juga katolik yg bercerai.Adalah kekuatiran dan kebingungan bagi kami jika permohonan anulasi kami tidak dapat dikabulkan.Terima kasih Romo utk masukannya.GBU
Salam,
Irda
Irda Yth,
Permohonan anulasi perkawinan ke Tribunal merupakan hak anda untuk meminta keadilan di hadapan Gereja. Kemungkinan ditolak ada kalau memang tidak memenuhi syarat, tetapi pihak Tribunal tidak akan asal menolak. Kalau bukti nyata sebelum menikah dan selama pernikahan menunjukkan adanya ‘cacat’ dalam hal konsensus perkawinan, maka permohonan anulasi pasti diterima. Hanya jika cacat konsensus atau cacat perkawinan tidak ditemukan, maka permohonan anulasi dapat ditolak.
Maka coba anda berkonsultasi ke Pastor yang anda kenal baik dan tahu di bidang ini. Ceritakan riwayat perkawinan anda kepadanya. Sebutkan hal-hal yang membuat perkawinanmu tidak sah (batal). Masih ada jalan dan Tuhan akan memberi pertolongan padamu. Maaf sebaiknya anda memperkenalkan diri alamat dan dimana anda diteguhkan perkawinan Gereja.
Semoga Tuhan memberkatimu.
salam
Rm Wanta, Pr
Yth…Romo Wanta
Saya diberkati di gereja SP Maria Ratu Blok Q,kebayoran baru.Tetapi sekarang saya domisili di semarang.Apakah Romo ada referensi Romo yg tahu di bidang ini yang saya bisa konsultasi.Baik di semarang atau di Jakarta.Apakah pengajuan libellus pembatalan nikah harus di gereja tempat pemberkatan dilakukan??Maaf ya Romo,saya jadi banyak bertanya dgn Romo karena saya benar2 bingung dgn masalah ini.Terima Kasih.GBU
Salam,
Irda
Irda Yth
Kasus anda dapat diajukan pertama di tempat anda diteguhkan yakni KAJ (Jakarta) kepada Tribunal KAJ RD Purbo Tamtomo Pr alamat Keuskupan KAJ Jln Katedral 5 Jkt. Kedua berdasarkan domisili, anda bisa menulis surat permohonan (libellus) ke KAS (Semarang) kepada Tribunal KAS RD. Rubiyatmoko Pr, alamat Seminari Tinggi Kentungan Ykt. Jadi untuk tahap awal, silakan untuk menghubungi pastor paroki anda di Semarang untuk mendapatkan alamat lengkap Rm. Rubiyatmoko. Dan kemudian, silakan untuk berkonsultasi dengan Romo Rubiyatmoko Pr.
Salam
Rm Wanta/pr
Yth,Romo Wanta
Terima kasih atas referensinya.Saya akan tindak lanjuti.Semoga kami bisa mendapat jalan keluar terbaik utk masalah yg kami hadapi.
Salam,
Irda
Salam Damai Tuhan Yesus Kristus
Melalui situs ini saya ingin menyampaikan beberapa hal tentang pernikahan secara katolik..berkaitan dengan masalah yang saya alami:
Saya menikah secara hukum islam dengan suami dari keluarga taat Katolik dan suami secara sadar untuk mengikuti iman saya tanpa ada paksaan atau apa dari saya pribadi,tapi walau begitu kedua ortu km tidak merestui pernikahan kami,dan kami melakukan pernikahan secara islam tsb tanpa restu dan disaksikan oleh ortu hanya kami berdua saja..2 Tahun kami menjalaninya dan pada akhirnya suami bilang kalau tidak bisa membohongi hati nuraninya sendiri untuk berpaling dari agamanya..dan iapun kembali aktif ke gereja setiap minggunya untuk mengikuti misa, kami menjalani kehidupan rumah tangga dengan beda keyakinan dan sayapun tidak ada masalah walau orang tua selalu memandang pernikahan kami tak akan tahan lama..suatu hari suami bilang “indahnya pergi ke gereja dengan istri atau orang yang kita sayangi” saya tau perasaannya karena tiap kali misa tentu saja saya tidak dapat mendampinginya dan apakah dia juga punya perasaan yang sama tiap kali saya menunaikan sholat saya juga ingin ada suami untuk menjadi imam saya..dan hari-hari kami lalui dengan pertengkaran-pertengkaran yang tak bisa kami elakkan…
Oh..ya perlu pengasuh ketahui suami punya sifat PLAYBOY dalam rentang perkawinan tak terhitung berapa banyak WIL.nya dan sayapun telah begitu sabar dan kompromi dengan perasaan tentang prilaku suami semata-mata hanya untuk mempertahankan pernikahan…
Akhir tahun 1999 saya tanpa ada yang memaksa keluar dari hati nurani saya mau dan ikhlas untuk menjadi pengikut KRISTUS dan Tahun 2000 saya dibaptis lalu kami melakukan pernikahan ulang di GEREJA tempat paroki kami dan tentu saja keputusan ini ditentang mentah2 oleh keluarga saya..apapun kata ortu saya pd waktu itu saya dengarkan dan terima dan sayapun bilang pd mereka ini sudah jd jalan saya dan saya mohon keikhlasan mereka untuk melepaskan saya ortupun bilang bahwa saya akan menyesal dengan keputusan saya ini..Demi Tuhan tidak ada kata menyesal dalam keputusan saya ini karena saya telah siap untuk memanggul salib kristus..setelah saya menjadi katolik tidak hanya aktif dihari minggu sayapun aktif diberbagai kegiatan gereja karena saya bener-bener ingin memahami dan yang terjadi adalah setelah saya rajin kegereja suami tak pernah bersama saya untuk pergi kegereja 1001 alasan tapi saya juga tdk putus asa untuk slalu mengajaknya dan slalu berdoa untuknya jg pernikahan kami saya hanya ingin menjadi keluarga katolik yang utuh..hingga tahun 2004 suami menikah kembali secara islam tanpa saya ketahui dengan wanita tetangga saya karena wanita tsb hamil..Kecewa,sakit,juga sedih saya rasakan bersama saya memang kami belum dikarunai keturunan..saya yg slalu mempertahankan keutuhan rumah tangga dan bertahan untuk tidak berpisah walau sepanjang pernikahan dia banyak menghadirkan WIL..saya hanya percaya TUHAN tidak akan memberikan cobaan diluar kuasa umatnya dan ketika saya dicobai saya percaya TUHAN punya rencana indah buat saya karena saya mampu dan kuat
Walaupun begitu saya wanita biasa yg msh punya perasaan,dan karena itu semua akhirnya saya putuskan untuk pergi bekerja keluar negeri tanpa dia ketahui..dan sekarang saya sudah berpisah selama +/- 4 tahun dan dalam kurun waktu tersebut suami punya catatan yang saya ketahui dari saudara dan ortunya dengan istri k2 mrk telah pisah secara sah(hukum islam)lalu suami menikah kembali dan punya anak tapi tidak berlangsung lama mereka pisah tapi belum ada surat apapun untuk perpisahan mereka, lalu ke 4 kalinya suami menikah kembali hingga kini blm dikarunai anak..(ke 3 pernikahan suami dilakukan secara islam)
Yang saya rasakan sekarang adalah saya sudah tidak dapat kembali bersatu dengannya tapi saya ingin adanya kepastian hukum yang bisa saya jadikan pegangan untuk kedepan memulai hidup baru..jujur saya jg manusia biasa mungkin tidak sekarang entah kapan jika saya dapat jodoh saya ingin slalu hidup dalam kristus..dan yang saya ketahui perceraian di Katolik begitu rumit dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar..Sebentar lagi saya pulang ke Indonesia dan saya takut untuk bertemu dengannya karena dia slalu bilang kalau masih mencintai saya dan sampai kapanpun saya adalah istrinya…
Please!! Bantu saya bagaimana agar saya bisa mendapatkan status yang jelas jika saya berpisah dengan suami??
Atas bantuan sarannya saya ucapkan Terima Kasih
Tuhan Memberkati
Saudari Cecilia,
Pertama, karena sudah tidak bisa rujuk dan keinginan Cecil untuk mendapatkan kepastian status hukum, maka Cecil bisa menulis libellus [surat permohonan untuk mengajukan anulasi] untuk meminta anulasi perkawinan. [silakan menghubungi pastor paroki untuk mendapatkan keterangan mengenai hal ini]
Kedua, Proses anulasi berjalan seperti biasa, dan itu bisa dilakukan dengan menyampaikan kepada Tribunal dimana dia diteguhkan perkawinannya atau dia berdomisili atau dimana saksi-saksi banyak tinggal (bdk. kan 1673), proses pasti memakan waktu sekitar 2 tahun.
Libellus dibuat dalam surat singkat: nama dan identitas umum, sejarah perkawinan, bukti untuk anulasi, tandatangan pemohon, lampiran surat baptis, perkawinan, cerai sipil saksi-saksi minimal 3-5 atu lebih. Jalan ini bisa ditempuh melihat cerita Cecilia dan memungkinkan.
Damai Kristus,
Romo Wanta, Pr.
Romo Wanta yang baik,
Saya bersyukur akhirnya menemukan tempat yang berbelas kasih dan kompeten dalam menjawab pertanyaan mengenai masalah pernikahan dalam iman Katolik. Saya anak sulung dari sebuah keluarga Katolik yang tinggal di Sidoarjo, Keuskupan Surabaya. Sudah lebih dari 20 tahun saya mencari jawaban bagi masalah perkawinan Ibu saya. Ibu saya menikah pada 1972 di paroki Mojokerto, dengan ayah saya yang sebelumnya baru dibaptis menjadi Katolik. Pernikahan mereka didasari cinta, walaupun pihak keluarga ibu kurang sreg.
Memasuki usia pernikahan kedua, ayah saya mulai selingkuh sana-sini. Sejak anak kedua sampai keempat lahir, masalah perselingkuhan ayah saya silih berganti mendera pernikahan mereka. Tak terhitung berapa wanita yang sudah diselingkuhi beliau. Namun sampai saat itu Ibu saya tetap bersabar dan menjalankan perannya sebagai ibu dan istri dengan baik. Beliau tetap tidak ingin bercerai, walaupun pihak keluarga ibu sudah memfasilitasi dengan menyediakan pengacara dll.
Sejak kelahiran anak ketiga pada 1979, kehidupan kami memburuk. Ayah dipecat dari pekerjaannya (karena terlalu sering selingkuh) dan ibulah yang menanggung kehidupan kami semua. Berulangkali selingkuh dan minta maaf, ibu saya selalu luluh. Namun dengan tidak bekerjanya ayah, penderitaan ibu tidak hanya ditinggalkan demi wanita lain, tapi juga eksploitasi ekonomi. Tawaran untuk bercerai datang lagi dari pihak keluarga ibu, dan ibu saya masih saja berkeras untuk mempertahankan pernikahan, alasannya demi kami semua, anak-anaknya. Ibu tidak ingin kami semua tumbuh tanpa ayah, walaupun secara ekonomi ibu jugalah yang menghidupi kami.
Ternyata ayah saya tetap tidak berubah. Bahkan seiring meningkatnya karier ibu saya dan membaiknya keadaan ekonomi, ayah saya makin buruk memperlakukan kami semua. Hobby selingkuh tetap dilakukannya dengan wanita apapun (maaf). Bahkan pada tahun 1999, ayah saya sudah menyatakan keluar dari iman Katolik untuk menikah lagi dengan seorang janda di kota lain.Alasannya,karena ibu saya sudah tidak berfungsi lagi sebagai istri. Yah, wajar saja, karena depresi, ibu saya terkena kanker rahim. Karena luka batin, beliau sudah lama tidak bisa melayani ayah berhubungan suami-istri. Sekarang ayah tinggal di kota lain bersama istri baru dan anak-anaknya dari pernikahan keduanya, namun sesekali datang ke rumah kami untuk meminta uang dari ibu dan kami.
Romo, pengaruh ayah saya sangat buruk pada kami, anak-anaknya. Ayah sering memfitnah ibu, seakan-akan ibulah yang kejam, tukang selingkuh, dsb. Bahkan ketika adik saya mengalami masalah dalam pernikahannya, ayah sayalah yang mendorong dia untuk mencari wanita lain, bahkan membantu adik saya melakukan pernikahan di bawah tangan dengan wanita di kota lain, padahal adik saya masih terikat pernikahan Katolik yang sah di kota kami!
Karenanya, di usia ibu saya yang sudah senja (59 tahun), ibu saya ingin dibebaskan dari pernikahannya ini. Sebenarnya ibu saya pernah berkonsultasi pada katekis dan romo paroki setempat pada tahun 1980-an, namun mereka langsung menjawab TIDAK BISA. Ini tentunya sangat memukul ibu saya, yang merasa Gereja sudah meninggalkannya dalam penderitaan yang sedemikian berat. Beberapa tahun terakhir ini ibu saya enggan ke gereja. Saya sangat prihatin, di usia senja begini waktu semakin mendekatkan diri pada Tuhan, ibu saya malah merasa putus asa dan menjauhkan diri dariNya.
Tolonglah kami, Romo. Sudah puluhan tahun ibu saya ditelantarkan dan ditinggalkan oleh ayah saya. Saya berharap Gereja dan iman yang dipertahankan ibu sampai hari ini, sudi berbelas kasih memberikan ketenangan batin bagi beliau di masa tuanya.
Atas perhatian Romo dan para pengasuh Katolisitas, kami ucapkan banyak terimakasih.
Damai Kristus,
Paulina.
Paulina Yth.
Melihat keadaan ibu yang sudah usia senja maka kasusnya agar ibu tenang meminta ke Bapak Uskup untuk memohon surat berpisah namun ikatan perkawinan masih tetap ada (pisah ranjang) dengan mengajukan alasan yang anda ceritakan (bdk. kan 1151-1155). Maksudnya adalah tidak perlu pemutusan ikatan perkawinan (tribunal karena panjang dan lama lalu untuk apa, karena toh ibu tidak akan menikah lagi sudah lanjut usia, dengan demikian Ibu akan merasa tenang (semoga) sebagai seorang katolik. Ibu tetap bisa komuni dan beriman Katolik. Sementara Bapak (suami) harus mengerti dengan tindakan itu akan dijelaskan dalam surat dari Bapak Uskup. semoga Tuhan memberkatimu.
Rm Wanta Pr
Kan. 1151 – Suami-istri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali ada alasan legitim yang membebaskan mereka.
Kan. 1152 – § 1. Sangat dianjurkan agar pasangan, tergerak oleh cintakasih kristiani dan prihatin akan kesejahteraan keluarga, tidak menolak mengampuni pihak yang berzinah dan tidak memutus kehidupan perkawinan. Namun jika ia tidak mengampuni kesalahannya secara jelas atau diam-diam, ia berhak untuk memutus hidup bersama perkawinan, kecuali ia menyetujui perzinahan itu atau menyebab-kannya atau ia sendiri juga berzinah.
§ 2. Dianggap sebagai pengampunan diam-diam jika pasangan yang tak bersalah, setelah mengetahui perzinahan itu, tetap hidup bersama secara bebas dengan sikap sebagai seorang pasangan; hal itu diandaikan jika ia meneruskan hidup bersama sebagai suami-istri selama enam bulan, tanpa membuat rekursus pada otoritas gerejawi atau sipil.
§ 3. Jika pasangan yang tak bersalah dari kemauannya sendiri memutus kehidupan bersama perkawinan, hendaknya ia dalam waktu enam bulan mengajukan alasan perpisahan itu kepada otoritas gerejawi yang berwenang; otoritas gerejawi itu hendaknya menyelidiki segala sesuatunya dan mempertimbangkan apakah pasangan yang tak bersalah itu dapat diajak untuk mengampuni kesalahan serta tidak memper-panjang perpisahan untuk seterusnya.
Kan. 1153 – § 1. Jika salah satu pasangan menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lain atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan legitim kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris wilayah, dan juga atas kewenangannya sendiri, bila penundaan membahayakan.
§ 2. Dalam semua kasus itu, bila alasan berpisah sudah berhenti, hidup bersama harus dipulihkan, kecuali ditentukan lain oleh otoritas gerejawi.
Kan. 1154 – Bila terjadi perpisahan suami-istri, haruslah selalu diperhatikan dengan baik sustentasi dan pendidikan yang semestinya bagi anak-anak.
Kan. 1155 – Terpujilah bila pasangan yang tak bersalah dapat menerima kembali pihak yang lain untuk hidup bersama lagi; dalam hal demikian ia melepaskan haknya untuk berpisah.
Salam Kristus,
Sebelum saya bertanya saya mau cerita sedikit.
Saudara saya menikah lagi atas kemauan istrinya setelah istrinya menderita kanker dan harus diangkat rahimnya dan tidak bisa memenuhi kewajiban biologis kepada suaminya. Mereka adalah keluarga katolik dan juga menikah secara katolik dan sudah memiliki 2 putra dan 2 putri. Sekitar 10 tahun yg lalu saudara saya menikah lagi setelah enam tahun istrinya diangkat rahimnya dan sekarang sudara saya memiliki seorang putra berumur 2,5 thn. Mereka menikah secara muslim karena jelas secara katolik tidak bisa. 10 tahun yg lalu istri keduanya memang beragam muslim tapi setahun setelah menikah istrinya lebih memilih menjadi orang katolik tapi tidak melalui katakumen sampai hari ini. Dia hanya belajar katolik melalui suaminya (saudara saya) dan juga dari buku2.
Untuk tidak memperpanjang waktu saya ingin bertanya, apakah anak dari istri keduanya bisa dipermandikan atau di baptis????
Terima kasih sebelumnya untuk jawabannya.
Shalom Ambrosia,
Sebenarnya, persyaratan pembaptisan bayi/ anak-anak adalah iman orang tua dari anak tersebut, dan janji dari orang tua bahwa akan mendidik anak tersebut secara Katolik. Jika hal ini dapat dipenuhi oleh saudara anda, dan juga oleh bapa/ ibu baptis dari anak itu, maka anak dari istri kedua saudara anda itu, dapat dibaptis.Karena anak itu sendiri tidak bersalah, jadi tidak ada halangan baginya untuk dibaptis.
Mengenai Baptisan bayi/ anak, ditetapkan dalam Kitab Hukum Kanonik, yaitu:
Kan. 868 – § 1. Agar bayi dibaptis secara licit, haruslah:
1* orangtuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya;
2* ada harapan cukup beralasan bahwa anak itu akan dididik dalam agama katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu.
Saya malah prihatin dengan kondisi perkawinan kedua saudara anda tersebut, karena memang secara Katolik tidak sah. Walaupun istri saudara anda yang sakit itu mengizinkan suaminya (saudara anda) untuk menikah lagi, sesungguhnya itu bukan alasan bagi saudara anda untuk menikah lagi, sebab itu berarti mengingkari janji Perkawinan yang diucapkan di hadapan Tuhan untuk "setia dalam untung dan malang, sehat maupun sakit"- kepada istri pertama. Maka sesungguhnya sebagai saudara, mungkin Ambrosia dapat mengingatkan kepadanya tentang hal ini, walaupun tentu, hal tidak mudah, dan membutuhkan dukungan banyak doa dan keterbukaan untuk menerima kenyataan ini. Saya mengajak Ambrosia membaca tanggapan saya terhadap kasus Tormento di sini (silakan klik) dan di sini (silakan klik) terutama berdasarkan pengajaran Bapa Paus Yohanes II untuk mereka yang telah bercerai dan menikah lagi, seperti yang dituliskannya dalam Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio. Semoga ini dapat menjadi bahan masukan buat Ambrosia, jika anda ingin membicarakan masalah ini dengan saudara anda. Saya percaya, jika semua pihak melihat hal ini dengan hati terbuka terhadap pengajaran Tuhan, maka tiada hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan. Sebab, Tuhan memberikan rahmat yang cukup kepada kita semua untuk menjalankan perintah-perintah-Nya, agar kita dapat sampai pada keselamatan kekal.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Terima kasih banyak ibu Inggrid atas jawabannya, hanya saya belum jelas apakah orang tua kandung dari anak ini tetap menjadi orang tua dalam surat baptisnya atau bagaimana?
Mohon penjelasan.
salam
Shalom Ambrosia,
Kitab Hukum Kanonik mensyaratkan bahwa bapak atau ibu baptis anak tersebut adalah bukan dari orang tua anak tersebut. Dalam Surat Baptis nanti nama orang tua kandung (bapak dan ibu) dari anak itu dicantumkan, dan nama bapa atau ibu baptis anak tersebut juga dicantumkan. Bapak dan ibu baptis, bersama-sama dengan orang tua anak itu, mempunyai tugas untuk berperan serta dalam perkembangan iman anak tersebut.
Persyaratannya untuk bapa dan ibu baptis menurut Kitab Hukum Kanonik adalah:
1. Kan. 873 – Sebagai wali baptis hendaknya diambil hanya satu pria atau hanya satu wanita atau juga pria dan wanita.
2. Kan. 874 – § 1. Agar seseorang dapat diterima untuk mengemban tugas wali baptis, haruslah:
* 1* ditunjuk oleh calon baptis sendiri atau oleh orangtuanya atau oleh orang yang mewakili mereka atau, bila mereka itu tidak ada, oleh pastor paroki atau pelayan baptis, selain itu ia cakap dan mau melaksanakan tugas itu;
* 2* telah berumur genap enambelas tahun, kecuali umur lain ditentukan oleh Uskup diosesan atau ada kekecualian yang atas alasan wajar dianggap dapat diterima oleh pastor paroki atau pelayan baptis;
* 3* seorang katolik yang telah menerima penguatan dan sakramen Ekaristi mahakudus, lagipula hidup sesuai dengan iman dan tugas yang diterimanya;
* 4* tidak terkena suatu hukuman kanonik yang dijatuhkan atau dinyatakan secara legitim;
* 5* bukan ayah atau ibu dari calon baptis.
Demikian penjelasan mengenai bapa dan ibu baptis
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Salam dalam Damai Kristus,
Saya seorang yang sudah bercerai , karena mungkin ia tidak mencintai saya lagi. Kami berdua berasal dari keluarga Katolik dan telah menikah secara sakramental di satu paroki di jakarta barat.
Pada awal perjumpaan kami hubungan cinta kami begitu indah dan sempurna…dan kami telah bertunangan pada saat ia masih duduk di kelas 3 SMU, tetapi setelah ia lulus SMU dan mulai kuliah di salah satu Akademi Sekretaris terkemuka, sikapnya mulai berubah, mungkin akibat salah memilih teman, dan kamipun mulai sering bertengkar, dan pertengkaran2 ini juga membuat hati kami menjadi hambar, tetapi sampai juga pada pernikahan kami di mana masalah ini muncul.
Sebetulnya saya telah minta pada orang tua saya untuk tidak menerima Sakramen Pernikahan, karena saya sepertinya sudah dapat merasakan bahwa pernikahan ini tidak akan langgeng, tetapi ternyata undangan sudah disebar dan …. pada undangan tersebut juga disebutkan jadual dan tempat penerimaan Sakramen Pernikahan kami…,maka untuk menjaga muka orang tua…, akhirnya saya dengan setengah hati (dan minta pengampunan kepada Allah) sayapun mengucapkan janji Perkawinan dan menerima Sakramen Perkawinan.
Dengan harapan sikap istri bisa berubah, maka saya tetap bertahan dan bersabar…sampai kami mempunyai seorang puteri, tetapi sikapnya semakin hari semakin memburuk dan berlangsung terus sampai akhirnya ketika saya harus mencari nafkah di luar pulau ia menggugat cerai saya dengan pengacaranya secara sepihak dan anak dibawah asuhannya…. akhirnya kamipun bercerai secara Sipil.
Selama hampir lima tahun saya terus bertahan hidup sendiri…sampai akhirnya saya tertarik dengan seorang gadis yang mau menerima saya apa adanya (saya tidak pernah membohonginya bahwa saya masih single)…dan kamipun menikah secara adat dan tidak dipestakan (dalam hal ini ia sudah rela berkorban) dan untuk memenuhi syarat mendapatkan akte kawin saya menikah disebuah vihara…kebetulan saat itu istri II saya beragama Kong Hu Cu.
Tetapi saya tetap mempertahankan iman Katolik saya dengan sepenuh hati dan selalu berusaha menjadi suami yang baik…dan kami telah dikaruniai 3 orang putri yang lucu dan cantik…sampai akhirnya ..(puji Tuhan) istri saya berminat menjadi katholik… disinilah mulai terjadi masalah….istri saya batal dipermandikan, padahal ia telah ikut katekumen selama 6 bulan atas anjuran ketua lingkungan…
dengan menanggung malu ia harus keluar dari katekumen
Sayapun juga berusaha untuk membantunya untuk dapat dibaptis, sekaligus supaya saya dapat menerima Ekaristi, saya menghadap pastor kepala paroki dan disuruh mengisi questioner yang lumayan panjang tentang riwayat kehidupan kami sampai ke pernikahan (dengan ex istri pertama) dan sudah saya isi dengan sejujurnya, dan pastor paroki itu sudah menyampaikannya ke Keuskupan… bahkan saya juga sudah pernah bertemu muka dengan Bapak Uskup sendiri menanyakan bagaimana kelanjutan kehidupan Rohani kami (dengan istri saya yang baru), dan beliau berjanji untuk memberi kabar melalui pastor paroki..
Akhirnya kabarpun datang… perkawinan saya (dengan ex istri pertama) dinyatakan sah, akibatya istri saya sekarang tetap tidak dapat dipermandikan… dan saya cuma dapat dispensasi menyambut Ekaristi 2 x setahun yaitu Natal dan Paskah itupun setelah sebelumnya menerima Sakramen Rekonsiliasi dulu…
Pastor paroki menganjurkan mengurusnya ke Keuskupan Jakarta, karena menurutnya, mungkin masing2 Keuskupan mempunyai kebijaksanaan sendiri2 yang bisa sangat membantu… tetapi saya sepertinya sudah putus asa, apalagi setelah membaca forum ini, sepertinya secara hukum kanonik kehidupan rohani kami (secara suami istri) tidak bisa berjalan normal.
Saya sangat mencintai istri saya dan kami saling mengasihi kehidupan keluarga tenang dan bahagia… ia selalu rajin berdoa dan menggali kekayaan gereja Katolik seperti Koronka, Devosi, Novena dll,,, tetapi saya tahu hatinya menderita karena ia ingin diterima seutuhnya menjadi katolik melalui Sakramen Permandian… yang rasanya tidak memungkinkan.
Yang saya tanyakan apakah saya sebagai suami Katolik (yang penuh dosa berat) masih layak memberikan Sakramen Baptis darurat misalnya istri saya dalam keadaan Sakrat maut, tentunya kalau pastor menolak mempermandikannya… semuanya kami serahkan pada Kasih dan Kerahiman Yesus yang tidak akan ada seorang manusia bahkan malaikat yang bisa menyelaminya…
Dan saya menganggap “penderitaan” rohani kami sebagai salib yang harus kami panggul, atau proses penyucian kami di dunia menuju keselamatan kekal.. Ya Bapa terjadilah pada kami sesuai rencanaMu
Pada forum ini juga saya bisa sampaikan kepada pasangan yang siap menikah, selalu berdoa minta Roh Kudus memberikan pasangan yang sesungguhnya, tidak dari penampilan atau kekayaan semata… dan apabila dalam perjalanan menuju jenjang perkawinan menemui masalah, maka dari pelajaran yang saya dapat (secara pribadi) , lebih baik tunda dulu rencana nikahmu, dan lebih baik menanggung malu di dunia (dengan tidak mengucapkan janji perkawinan dan menerima Sakramen Perkawinan di depan pastor) daripada harus setengah hati di hadapan Tuhan…. JANGAN MAIN2 DENGAN SAKRAMEN
Tuhan beserta kita selalu, terima kasih
Shalom Tormento,
Terima kasih atas sharing anda yang sangat menyentuh hati, terutama dengan niat tulus anda untuk terus setia bergabung dalam kesatuan Gereja Katolik. Saya juga turut bersyukur mendengar istri andapun mulai tergerak untuk mendalami iman Katolik, yang memang sangat indah dan kaya. Dalam keadaan sedemikian, ia sebenarnya telah mempunyai "Baptisan keinginan/ Baptism of desire". Maka jika sikap batinnya terus seperti ini, maka dalam keadaan darurat (misalnya dalam sakrat maut), Tormento dapat menerimakan Pembaptisan kepadanya, jika tidak ada imam/ pastor yang dapat dihubungi. Hal ini disebutkan di dalam Katekismus Gereja Katolik #1256 (dan juga seperti yang disebutkan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, Kanon. 861, 2), sbb.:
"Biasanya pelayan Pembaptisan adaalah Uskup dan imam dan, dalam Gereja Latin juga diaken. Dalam keadaan darurat setiap orang, malahan juga seorang yang belum dibaptis, dapat menerimakan Pembaptisan, asal saja ia mempunyai niat yang diperlukan: Ia harus bersedia melakukan, apa yang dilakukan Gereja waktu Pembaptisan, dan memakai rumusan Pembaptisan yang trinitaris. Gereja melihat alasan untuk kemungkinan ini dalam kehendak keselamatan Allah yang mencakup semua orang dan perlunya Pembaptisan demi keselamatan."
Maka, ada baiknya Tormento menanyakan kepada Romo cara membaptis yang benar, sebab dalam keadaan darurat seperti disebutkan di atas, anda dapat membaptis dengan licit. Maksudnya, walaupun norma pelaksanaannya tidak pada umumnya, tetapi masih dapat dikatakan sah, jika yang membaptis melakukan segala sesuatunya sesuai dengan aturan Pembaptisan yang umumnya dilakukan oleh imam. Di sini terlihat bagaimana Gereja menginginkan sebanyak mungkin orang memperoleh keselamatan kekal.
Mengenai kondisi perkawinan Tormento, kelihatannya pilihan yang ada adalah sebagai berikut:
1) Jika memang diinginkan, dapat saja Tormento, seperti anjuran Romo, mencoba kembali mengurus surat annulment/ anulasi ke keuskupan Jakarta. (Sebab menurut hukum kanonik kan 1673, Tormento dapat mencoba kembali memohon Anulasi di keuskupan yang lain, yaitu alternatifnya:
a) di keuskupan di mana perkawinan pertama diadakan, atau
b) di keuskupan di mana paling banyak para saksi tinggal (berdomisili) atau
c) di keuskupan di mana istri pertama anda tinggal sekarang, kalau keuskupan itu berbeda dengan tempat perkawinan pertama).
Namun jika permohonan kembali ditolak (jadi sudah 2 kali ditolak), maka kasus dianggap selesai dan tidak dapat mengajukan permohonan lagi.
2) Jika Tormento sudah tidak berniat mengurus surat anulasi ini, memang dapat saja menerima kondisi dispensasi yang diberikan oleh Gereja, yaitu dapat mengikuti Misa Kudus, namun tidak dapat menerima komuni, selain dua kesempatan (Natal dan Paskah seperti yang diberikan dalam surat dispensasi, yang harus didahului dengan Sakramen Tobat) dan istri Tormento tidak dapat dibaptis sekarang, sebab Gereja tidak dapat memberikan izin Pembaptisan pada istri anda, jika kehidupan perkawinan anda berdua tidak sah di hadapan Tuhan.
Saya ingin menyertakan di sini, kutipan teks berdasarkan Surat "Apostolic Exhortation" (Surat Wejangan Apostolik) dari Paus Yohanes Paulus II yang berjudul Familiaris Consortio (Peran Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern), yang pada #84 menyebutkan kasus orang-orang yang bercerai dan yang menikah lagi, seperti yang dialami Tormento. Terjemahannya adalah demikian:
"Sayangnya, kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang bercerai umumnya berkeinginan untuk menjalin hubungan yang baru, yang tentunya tidak dapat disahkan secara Katolik. Karena hal yang salah/ ‘evil’ ini mempengaruhi orang-orang Katolik, maka masalah ini juga harus diberi jalan keluarnya. Sinode Uskup telah mempelajari hal ini. Gereja, yang didirikan untuk memimpin semua orang untuk mencapai keselamatan, terutama mereka yang tealh dibaptis, tidak dapat mengabaikan mereka yang telah dibaptis namun yang telah menikah yang kedua kali. Maka, Gereja akan terus mengadakan usaha yang tidak mengenal lelah untuk menyediakan bagi mereka sarana untuk mencapai keselamatan.
Para imam harus mengetahui bahwa, demi kebenaran, mereka harus dengan bijaksana menyikapi keadaan ini. Ada perbedaan antara mereka yang dengan tulus telah berusaha untuk menyelamatkan perkawinan yang pertama dan yang telah disingkirkan dengan tidak adil, dengan mereka yang oleh kesalahan mereka yang besar telah merusak sebuah perkawinan yang sah. Akhirnya, ada pula orang-orang yang menikah kedua kali demi membesarkan anak-anak, dan yang kadang-kadang di dalam hati nurani mereka yakin secara subyektif bahwa perkawinan mereka yang terdahulu dan yang tak terselamatkan itu bukan merupakan perkawinan yang sah.
Bersama dengan Sinode para Uskup, saya menganjurkan pada para imam, dan seluruh komunitas umat beriman untuk membantu mereka yang telah bercerai, dan dengan perhatian yang sungguh untuk meyakinkan mereka bahwa mereka tidak terpisah dari Gereja, sebab sebagai orang-orang yang telah dibaptis, mereka dapat dan bahkan harus turut serta di dalam hidup Gereja. Mereka harus didorong untuk mendengarkan Sabda Tuhan, menghadiri Misa Kudus, bertekun di dalam doa, tergabung dalam kegiatan kasih dan usaha komunitas dalam hal menegakkan keadilan, dalam mendidik anak-anak di dalam iman Kristiani, menerapkan semangat dan pertobatan, dan dengan demikian hari demi hari memohon rahmat Tuhan. Biarlah Gereja mendoakan mereka, mendorong mereka, dan menjadi bagi mereka seperti seorang ibu yang berbelas kasih, yang menopang mereka dalam iman dan pengharapan.
Walaupun demikian, Gereja menegaskan kembali praktek pelaksanaannya yang berdasarkan Kitab Suci, yaitu tidak memperbolehkan mereka yang telah bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni Kudus. Mereka tidak dapat menerima Komuni, berdasarkan kondisi kehidupan mereka yang secara objektif bertentangan dengan kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya yang ditandai dan diakibatkan oleh Ekaristi. Di samping itu, ada pula alasan pastoral lain: Jika orang-orang seperti ini diperbolehkan menerima Ekaristi, umat beriman yang lain dapat dipimpin pada kesalahan dan kebingungan mengenai hal ajaran Gereja tentang Perkawinan yang tak terceraikan.
Sakramen Tobat, yang membuka jalan kepada Ekaristi, hanya dapat diberikan kepada mereka, yang menyesal telah menghancurkan tanda Perjanjian dan kesetiaan Kristus, dan secara tulus siap untuk menjalankan cara hidup yang tidak lagi bertentangan dengan [prinsip] perkawinan yang tak terceraikan. Hal ini, dalam pelaksanaannya, adalah, ketika untuk alasan yang serius, misalnya demi membesarkan anak-anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak dapat menjalankan keharusan untuk berpisah, maka mereka dapat menjalankan hidup di dalam kesucian yang penuh, yaitu dengan berpantang terhadap segala perbuatan yang layak dilakukan oleh suami istri. [Sehingga dalam hal ini pasangan tidak hidup sebagaimana layaknya suami istri melainkan sebagai kakak dan adik. Sebab di mata Tuhan, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang pertama. Untuk kemurnian kasih sebagai kakak dan adik inilah, maka pasangan diharapkan untuk memohon rahmat dari Tuhan. Namun, hal ini bukannya sesuatu yang tidak mungkin, sebab kepada orang-orang tertentu, seperti kepada para imam dan biarawati, Tuhan telah memberikan rahmat untuk hidup kudus yang seperti ini].
Demikianlah, demi menghormati makna Sakramen Perkawinan, untuk pasangan tersebut, dan keluarga mereka, dan juga semua komunitas umat beriman, maka para imam dilarang, dengan alasan apapun juga, bahkan dengan alasan pastoral, untuk memimpin upacara dalam bentuk apapun juga kepada mereka yang telah bercerai dan menikah lagi. Upacara semacam itu akan memberikan kesan akan perayaan Perkawinan sah yang baru, dan akan memimpin orang-orang kepadaanggapan yang salah tentang sifat Perkawinan sah yang tidak terceraikan.
Dengan bertindak demikian [seperti yang disebutkan di dalam keseluruhan perikop di atas], Gereja menyatakan kesetiaannya kepada Kristus, dan kepada kebenaran-Nya. Pada saat yang sama ia menyatakan perhatian kasih keibuannya kepada anak-anaknya, terutama mereka yang bukan karena kesalahannya sendiri, telah disingkirkan oleh pasangan mereka yang sah.
Dengan keyakinan yang teguh, ia [Gereja] percaya bahwa mereka yang telah menolak perintah Tuhan dan tetap hidup dalam keadaan ini, akan tetap dapat memperoleh dari Tuhan rahmat pertobatan dan keselamatan, asalkan mereka tetap bertekun di dalam doa, tobat, dan kasih."
Keterangan: […] perkataan yang di dalam tanda kurung adalah penegasan saya.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Saya turut prihatin dengan keadaan yang dihadapi oleh Tormento dengan istri. Semoga Tuhan memberikan rahmat yang diperlukan agar Tormento dan istri dapat tetap tekun beriman, berdoa dan menjalankan perintah Tuhan. Mungkin ada baiknya Tormento berdoa bersama istri setiap hari, agar dapat bersama-sama menimba kekuatan dari Tuhan dan saling menguatkan. Saya akan turut mendoakan dari sini.
Semoga Tuhan memberkati dan menyertai Tormento sekeluarga.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Terima kasih Bu Ingrid atas tanggapannya, tetapi kecuali kutipan Apostolik Exhortation, apa yang anda sampaikan kurang lebih sama seperti yang disampaikan romo kepada saya, beberapa memang memberikan “angin surga” kepada saya yang pada akhirnya gagal juga, bahkan bila berhasilpun… saya ragu sendiri apakah keberhasilan tersebut adalah sah menurut gereja
Bu, saya teringat pada satu film yang pernah saya tonton (lupa judulnya), dikisahkan pada film yang berseting pada awal pembentukan koloni inggris di benua baru amerika. seorang istri yang ditinggal suaminya berperang melawan perancis, lalu dikabarkan suaminya telah gugur dalam pertempuran sehingga ia harus hidup menjanda…. Kebetulan pada koloni tersebut datang bertugas seorang pendeta muda, kemudian keduanya jatuh cinta, karena pada waktu itu seorang janda harus menunggu paling tidak 3 tahun untuk memastikan suaminya benar2 gugur, mereka harus memendam perasaan cinta mereka… tetapi sebagai manusia merekapun terhanyut, dan sialnya mereka tertangkap basah oleh masyarakat… disinilah kemalangan wanita itu dimulai… oleh semacam dewan koloni ia diharuskan mengenakan sulaman huruf “A” besar warna merah (mungkin dari kata Adulterer / penzinah) pada setiap pakaiannya… kemana-mana orang memandang hina kepadanya, bahkan ada penjual yang tidak mau menjual dagangannya kepada wanita tersebut…Hidup terpencil ditepi hutan. seakan akan penderita kusta yang harus dihindari masyarakat… (sedangkan Yesus sendiri mentahirkan penderita kusta)…
Saya juga pernah berterus terang pada pengurus lingkungan / kring tentang kondisi keluarga saya dalam gereja Katolik (sewaktu saya masih di Pekanbaru), yang terjadi malah setiap anggota kring menjadi tahu kondisi saya…. bukankah ini merupakan label “A” juga pada kami
Kembali pada kasus saya… apakah dengan berlindung dibalik hukum kanonik, secara tidak langsung gereja telah melabelkan saya huruf “A” kemana-mana,,, cobtoh konkritnya,,, saya sangat terenyuh waktu istri saya menceritakan ada seorang ibu yang menanyakan mengapa ia belum dibaptis pada waktu ibadat rosario di lingkungan / kring. atau lama kelamaan orang akan heran… setiap minggu ke gereja, tapi kok tidak menerima komuni, padahal anak-anaknya terima…
Istri lebih rajin membaca alkitab, berdevosi, adorasi, koronka, dll dari pada saya… dan saya yakin bahwa kerinduannya untuk dibaptis Katolik bukanlah hal biasa… seperti sudah saya ceritakan bahwa ia berasal dari penganut Kong Hu Cu, dan pada awal pernikahan kami, saya sering mengantar dia beribadah ke vihara membakar joss stick dan uang orang mati…
Saya sama sekali tidak pernah mengindoktrinasi, mengintimidasi, dan memaksakan keyakinan Katolik saya kepada dia, hanya saja, saya minta anak2 bisa dibaptis secara Katolik dan dia tidak keberatan. Tetapi lama kelamaan kerinduan dalam dirinya mulai timbul, dan kadang-kadang sering bertanya kepada saya tentang ajaran Katolik yang saya jawab dengan tidak serius dan sebisanya saja…. toh saya pikir dia cuma mau sekedar tahu saja… sampai suatu saat ia mengatakan ingin menjadi Katolik…. wah saya jadi bingung… akhirnya saya coba menghubungi pengurus lingkungan / kring dan disarankan untuk mengikuti katekumen… sayangnya setelah 6 bulan, kepala pastor paroki mengetahui kondisi kami… dan dengan malu ia terpaksa keluar… Jadi saya rasa hanya Roh Kudus yang berkarya dalam dirinya membuat kerinduannya menjadi Katolik seutuhnya dalam pembaptisan.(Yesus berkata kepada Nicodemus: “…bila seorang tidak terlahir kembali..dst) tanpa Roh Kudus dia akan tidak akan terus menerus mengembangkan imannya dengan berbagai kegiatan baik di gereja, dirumah. ataupun kring / lingkungan….meskipun harus menanggung malu Apakah ada seorang manusiapun yang berhak menghalangi karya Roh Kudus….
.
Saya mohon pendapat anda atas kasus di bawah ini :
1. Misalnya ini misalnya lho…cinta lama bersemi kembali antara saya dan mantan istri saya (diapun telah berkeluarga) lalu lami melakukan perselingkuhan… dalam hal ini apakah kami berdua dengan tanpa beban dosa bisa menikmati perselingkuhan ini …(toh kami masih suami istri yang sah secara gereja) dan tidak melakukan dosa pengkhianatan terhadap istri saya yang sekarang?
2. Misalnya sewaktu habis bercerai saya memutuskan untuk hidup sendiri lalu untuk memenuhi kebutuhan biologis saya jatuh dalam dosa misalnya (maaf) ke Pe**cur atau melakukan Mas*****si setelah itu mengaku dosa… berdosa lagi… mengaku dosa lagi dan seterusnya… Saya tidak memiliki panggilan Imamat (saya selalu kagum pada para Imam)… Rasul Paulus pada salah satu suratnya juga menegaskan demikian “…kamu tidak kuat berlama-lama bertarak (puasa seksual)” bukankah hasrat seksual juga nerupakan anugrah yang indah yang diberikan oleh Tuhan sebagai sarana mempererat kasih antara suami istri…
Bedanya dalam kondisi ini mungkin selama saya bisa bertahan tidak jatuh dalam dosa saya masih boleh menyambut komuni secara rutin.
Dalam forum ini saya tidak bermaksud untuk memberontak terhadap hukum gereja atau membuat pusing ibu Ingrid,,, tetapi saya benar2 haus akan kebenaran iman, mungkin dalam forum ini akan mendatangkan pencerahan bagi aparat gereja untuk lebih memikirkan nasib umatnya yang seperti saya ini(sebagai sebuah study kasus).. mana ada seorang manusia normal yang ingin keluarganya hancur… dan saya yakin diantara sekian juta umat Katolik didunia ini saya tidak sendirian…bila Ibu Ingrid sulit untuk memberikan jawaban… sayapun tidak mendesak, dan atas waktu dan perhatian ibu saya beserta keluarga mengucapkan terima kasih, dan berdoa agar ibu dapat segera secara cum laude mendapat gelar S2nya.
Shalom Tormento,
Pertama-tama saya minta maaf karena baru dapat menanggapi pertanyaan anda yang sudah saya terima 2 minggu yang lalu karena kesibukan studi saya menjelang akhir semester. Saya mengerti jika anda ingin agar istri anda dapat dibaptis. Saya rasa siapapun yang membaca kisah anda (termasuk saya), tidak akan meragukan ketulusannya untuk menjadi seorang Katolik. Namun kita juga perlu melihat apa persyaratan agar seseorang dapat dibaptis, sebab Pembaptisan, bagi kita orang Katolik bukan sekedar ‘upacara’ tetapi sebagai suatu kenyataan yang menjadi pintu gerbang bagi kita untuk memperoleh rahmat keselamatan kekal. Maka dalam hal ini, kita perlu dengan rendah hati juga menerima apa yang disyaratkan oleh Tuhan Yesus (yang kita ketahui dari Gereja-Nya) agar kita dapat menerima rahmat itu. Yesus mengatakan bahwa Pembaptisan itu adalah kelahiran kembali di dalam air dan Roh (Yoh 3:5), yang berarti, "mati bagi dosa, dan hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus" (Rom 6:11).
Jadi dalam hal ini, harus ada pertobatan dan sikap hati yang tulus untuk mengikuti ajaran Tuhan Yesus. Jadi jika Gereja mensyaratkan bahwa status perkawinan Tormento dan istri harus jelas terlebih dahulu sebelum istri dapat dibaptis, itu bukan karena Gereja ingin menghalangi istri agar dapat dibaptis. Gereja hanya melanjutkan apa yang menjadi kehendak Tuhan Yesus pada seseorang yang mau dibaptis, yaitu meninggalkan manusia lama untuk menjadi manusia baru. Tanpa status perkawinan yang jelas, sehubungan sudah ditolaknya permohonan anulasi anda, maka di mata Tuhan, istri anda yang sah adalah istri pertama anda, walaupun secara sipil anda telah bercerai dengannya. Namun cerai sipil tidak menceraikan anda dengan dia di mata Tuhan, sebab prinsipnya, "Apa yang telah dipersatukan Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia." (Mat 19:6).
Begitu dalam memang makna janji Tuhan ini yang anda terima pada sakramen perkawinan anda dengan istri pertama, sehingga menimbulkan akibat yang serius pada hubungan anda dengan istri kedua anda ini. Saya tahu ini berat buat anda, tetapi dalam hal ini kita perlu dengan rendah hati dan jujur melihat dari sisi Allah; bahwa kehidupan rumah tangga anda yang sekarang, tidak sah di mata Tuhan. Hal inilah yang menghalangi mengapa istri kedua anda tidak dapat dibaptis dalam keadaan yang seperti sekarang ini, walaupun sebenarnya, ada pula pilihan yang dapat diambil, jika sungguh-sungguh tujuan utama adalah agar istri anda dapat dibaptis:
1) Anda tidak dapat lagi hidup sebagai suami istri dengan istri anda, dan hal ini dapat dilakukan dengan dua cara: anda hidup bersama dengan istri, namun hidup sebagai kakak dan adik dan bukan sebagai suami dan istri, seperti yang diajarkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio, yang pernah saya sertakan pada tanggapan saya sebelum ini. Atau kedua, jika hidup bersama seperti itu tidak memungkinkan (terlalu banyak menimbulkan ‘godaan’), maka memang anda dapat mengambil keputusan untuk berpisah dengannya, walaupun, anda masih terikat kewajiban untuk memberi nafkah kepadanya dan anak-anak.
Di sini, kita melihat bagaimana Gereja, yang setia dengan pengajaran Tuhan Yesus, melihat sakralnya hubungan suami istri, sehingga hanya memperbolehkan hubungan itu dilakukan oleh suami dan istri yang sah di mata Tuhan. Jadi, bukannya Gereja anti dengan hubungan seksual suami istri, namun sebaliknya, Gereja menjunjung tinggi kesakralannya, maka harus dilakukan oleh pasangan yang sah di mata Tuhan. Maka, jika anda berdua tidak sah di mata Tuhan, maka, seharusnya anda tidak melakukan hubungan suami istri. Yang sudah lewat, anggaplah sebagai masa lalu, namun bagi istri yang mau dibaptis, ia harus meninggalkan masa lalu itu, dan hidup baru sesuai dengan peritah Tuhan. Demikian juga dengan Tormento, jika anda sungguh mengasihi Tuhan, dan mendahulukan perintah Tuhan daripada kehendak sendiri, maka anda dapat memohon rahmat dari Tuhan untuk hidup sesuai dengan perintah-Nya: yaitu untuk setia dengan janji sakramen Perkawinan anda, walaupun kenyataannya, istri anda yang pertama telah meninggalkan anda terlebih dahulu. Dalam hal ini, andapun perlu mendukung ‘kehidupan yang baru’ dari istri anda yang juga melibatkan pengorbanan anda. Pandanglah salib Kristus, dan lihatlah betapa besarnya kasih pengorbanan yang diberikan-Nya kepada kita semua agar kita dapat diselamatkan. Pengorbanan anda berdua untuk mengikuti ajaran Kristus, merupakan keikutsertaan anda pada salib Kristus, yang jika dilakukan dengan setia, dapat menghantar anda dan istri kepada keselamatan kekal.
2) Jika anda memutuskan berpisah dengan istri kedua anda, memang diperlukan niat yang teguh untuk tidak mencari pelarian ke tempat-tempat yang tidak benar, dunia malam, dll, yang sungguh tidak berkenan di mata Tuhan. Mungkin anda sekarang mengatakan anda tidak terpanggil untuk hidup sendiri seperti itu, tetapi jika anda percaya akan kasih dan rahmat Tuhan, maka sesungguhnya, rahmat yang diberikan dari Allah kepada anda sesungguhnya sudah cukup. Para pastor yang hidup selibat telah diberikan rahmat itu pada sakramen Imamat, dan sesungguhnya hal yang sama diberikan pada Tormento, di saat sakaramen Perkawinan anda, yaitu rahmat untuk hidup setia sesuai dengan janji perkawinan anda di hadapan Tuhan. Bahwa kenyataannya anda sekarang sudah berpisah dengan istri pertama anda, itu tidak mengubahjanji penyertaan Allah dalam kehidupan anda, asalkan anda mau bekerja sama dengan-Nya dalam hidup sesuai dengan jalan Tuhan. Dalam keadaan anda berpisah dengan istri kedua (dan tidak menikah lagi), maka istri kedua anda dapat dibaptis, dan anda berdua dapat menerima komuni setiap kali anda mengikuti misa kudus, (tentunya jika anda tidak melakukan dosa berat lainnya).
3) Jika anda memilih untuk tetap hidup bersama dengan istri namun hidup sebagai adik dan kakak (tanpa melakukan hubungan suami istri), maka datanglah kepada Pastor di paroki. Jadikanlah beliau sebagai pembimbing rohani anda berdua, yang membimbing anda juga dalam sakramen Tobat. Dengarkanlah apa yang menjadi saran beliau, dan ikutilah dengan hormat dan taat. Dalam hal ini anda tidak dapat memiliki niat setengah-setengah, bahwa "janji dulu sekarang, nanti kalau tak bisa menepati, urusan belakangan", sebab jika demikian, itu bukan niat yang tulus dan jika demikian Pastor berhak tetap menunda baptisan istri anda.
Dalam keadaan ini memang penerimaan komuni menjadi kebijaksanaan pastor/ romo, sebab romo tetap tidak dapat memberikan komuni kepada anda di muka umum, karena dapat menimbulkan kebingungan umat, terutama yang mengetahui bahwa perkawinan anda adalah yang kedua, sebab mereka tidak tahu bahwa anda telah berkaul untuk hidup sebagai adik dan kakak. Dari luar mereka tahunya anda adalah suami istri- dari perkawinan kedua, dan ini tentu menjadi batu sandungan bagi mereka untuk memahami ajaran Gereja yang mengajarkan perkawinan hanya sekali untuk selamanya. Dengan demikian, mungkin anda perlu mengikuti keputusan romo, misalnya, jika beliau memutuskan untuk memberikan komuni secara terpisah kepada anda, dll. Lebih lanjut tentang ini, saya akan komunikasikan melalui e-mail pribadi.
4) Silakan mulai dari sekarang anda membiasakan diri mengaku dosa dengan lebih teratur, misal 2 minggu sekali, untuk memohon rahmat Tuhan. Sakramen Tobat adalah obat rohani, yang dapat menghantar kita untuk hidup lebih sesuai dengan kehendak Tuhan. Namun, tentu niat mengaku dosa harus dibarengi dengan pemeriksaan batin yang baik. Untuk pemerikasaan batin, silakan membaca tulisan tentang pemeriksaan batin (silakan klik). Mengaku dosa dengan dosa yang sama, (misalnya dosa melanggar perintah yang ke-6 dari kesepuluh perintah Allah), yang terus menerus berarti tidak menunjukkan pertobatan sejati. Dengarkanlah nasehat pastor/ romo, bagaimana menghindari dosa ini.
5) Mengenai bagaimana jika cinta anda bersemi kembali dengan istri pertama, maka sebenarnya, hal ini memang yang benar di mata Tuhan. Walaupun demikian, hal ini tidak dapat dijalani bersamaan dengan mempertahankan status perkawinan sipil anda dengan istri kedua. Jika anda dan istri anda yang pertama ingin kembali hidup bersama, anda berdua harus melepaskan hubungan dengan pasangan anda masing-masing pada perkawinan kedua. Jika tidak demikian, anda belum dapat dikatakan hidup sesuai dengan perintah Tuhan, karena menjadi batu sandungan bagi orang lain.
Demikian yang dapat saya tuliskan. Saya mohon maaf jika ada kata-kata yang menyinggung perasaan Tormento, sebab bukan demikan maksud saya. Saya hanya ingin menjabarkan beberapa pilihan secara objektif yang sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Di atas semua itu, mari kita belajar dari doa St. Agustinus, "Tuhan, berikan kepadaku perintah-Mu, namun berikanlah juga kepadaku kekuatan untuk melaksanakannya."
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Yth Katolisitas,
saya ada pertanyaan lagi, di pengumuman perkawinan ditulis akan saling menerimakan sakramen perkawinan untuk yg sama2 katolik, ini beda tidak dengan saling memberi hosti dalam komuni misa perkawinan? (dan sebetulnya saling memberi hosti dalam komuni misa perkawinan itu diperbolehkan tidak?)
Terima kasih.
Tuhan memberkati
Shalom Christianto,
1) Arti "saling menerimakan sakramen Perkawinan" itu memang didasari oleh pengertian Sakramen Perkawinan Katolik itu sendiri, yang merupakan pernyataan kesepakatan janji perkawinan antara sepasang laki-laki dan perempuan. Pada sakramen yang lain, seperti Pembaptisan, tanda rahmat Allah yang dipakai adalah air; pada sakramen Penguatan, tanda nya adalah minyak; dan dalam Perkawinan, tanda rahmat Allah adalah pasangan pengantin itu sendiri. Suami adalah ‘tanda hidup’ dari rahmat Allah bagi istri, dan demikian juga istri pada suami.
Katekismus Gereja Katolik 1621 mengatakan, "…. kedua mempelai memeteraikan YA-nya sebagai penyerahan diri yang timbal balik, dengan mempersatukan diri dengan penyerahan Kristus kepada GerejaNya yang dihadirkan di dalam kurban Ekaristi dan menerima Ekaristi, supaya mereka hanya membentuk satu tubuh di dalam Kristus melalui persatuan dengan tubuh dan darah Kristus yang sama."
Jadi peran pastor/ diakon yang memberkati Perkawinan ini adalah hadir untuk menanyakan kesepakatan pasangan, dan menerima kesepakatan tersebut di dalam Gereja. Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik menyatakan, Kanon 1109 § 2. Peneguh perkawinan hanyalah orang yang hadir menanyakan pernyataan kesepakatan mempelai serta menerimanya atas nama Gereja.
2) Menerimakan sakramen Perkawinan tidak sama dengan saling memberikan hosti pada Misa Perkawinan. Karena Sakramen Perkawinan di sini merupakan kesatuan antara saling mengucapkan kesepakatan janji Perkawinan di hadapan Tuhan dan Gereja-Nya; dan mempersatukan kesepakatan itu di dalam komuni kudus. Saling memberikan komuni kudus di sini mungkin maksudnya adalah untuk memperjelas makna ‘saling menyerahkan diri’ di dalam Kristus. Jika demikian halnya, selayaknya pastor pembimbing memastikan agar kedua mempelai untuk mengaku dosa/ menerima Sakramen Tobat terlebih dahulu sebelum Perkawinan, (KGK 1622) sehingga pada saat saling memberikan komuni tersebut, mereka berada dalam ‘state of grace‘/ kondisi berdamai dengan Allah. Hal saling memberikan komuni ini tidak secara khusus dilarang dalam KGK, namun juga tidak secara khusus dianjurkan, sedangkan hal menerima sakramen Tobat sebelum Perkawinan dan menerima Ekaristi adalah yang disyaratkan agar mempelai menerima efek rahmat Perkawinan dengan lebih baik.
Demikian jawaban saya. Tuhan memberkati Christianto juga.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Saya ingin bertanya, dalam Sakramen Perkawinan seringkali ada Sakramen Perkawinan tanpa konsekrasi dan menggunakan konsekrasi (rangkaian dari Prefasi sampai Doa Syukur Agung dan berlanjut sesuai TPE). Hal-hal apa yang dapat menjadi pertimbangan pemberkatan yang ini menggunakan dan tidak menggunakan hal tersebut? Ada juga Romo yang hanya memberikan komuni kepada pasangan yang menikah tidak dibagikan ke umat yang hadir.
Shalom Chriss,
1) Di dalam Sacrosanctum Concillium, 78, Konstitusi tentang Liturgi Suci, Vatikan II, dikatakan:
"Pada umumnya upacara perkawinan hendaknya dilangsungkan dalam Misa suci, sesudah pembacaan Injil dan Homili, sebelum Doa Umat. Doa atas mempelai wanita hendaknya, dipugar dengan baik, sehingga mencantumkan dengan jelas bahwa kedua mempelai sama-sama mempunyai kewajiban untuk saling setia. Doa itu dapat diucapkan dalam bahasa pribumi. Tetapi bila Sakramen Perkawinan dirayakan tanpa Misa, hendaknya pada awal upacara dibacakan Epistola dan Injil Misa untuk mempelai, dan berkat mempelai hendaknya selalu diberikan."
Jadi, kita mengetahui bahwa terdapat dua cara pemberkatan sakramen Perkawinan, yaitu di dalam Misa, atau di luar Misa Kudus. Keduanya sah, hanya bedanya yang di dalam Misa Kudus, ada konsekrasi dan yang di luar misa kudus, tidak ada konsekrasi.
2) Jika mempelai dan keluarga menginginkan Sakramen Perkawinan mereka diadakan di dalam Misa Kudus, tentu hal ini dapat disampaikan kepada Pastor Paroki, karena ini memang hak kita sebagai orang Katolik. Hal ini didukung oleh Kanon 212, 2, bahwa para orang beriman bebas memberitahukan kepada Pastor Paroki tentang kebutuhan dan keinginan mereka, terutama yang menyangkut hal rohani. Apalagi memang dikatakan dalam Vatikan II, bahwa sebaiknya memang Perkawinan dilangsungkan dalam Misa Kudus. Jadi hal tersebut rasanya pasti dapat dipertimbangkan oleh Pastor Paroki. Dalam kenyataannya, yang dapat dilakukan adalah diadakannya Sakramen Perkawinan dengan konsekrasi, yang umum dikenal sebagai Misa Perkawinan, walaupun dilakukan pada jam/ waktu yang berbeda dengan jadwal Misa hari Minggu atau Sabtu.
3) Sebaiknya dalam masa persiapan perkawinan, hal ini didiskusikan dengan Pastor Paroki, sehingga diperoleh kata sepakat akan bagaimana perayaan Sakramen Perkawinan akan dilakukan.
4) Bahwa ada pastor yang hanya memberikan komuni pada pengantin-nya saja dan tidak kepada umat, juga sebenarnya dapat dimengerti, sebab Misa Perkawinan sesungguhnya tidak dapat menggantikan Misa hari Minggu. Artinya, sebagai umat yang datang ke Misa Perkawinan hari Sabtu, misalnya, bukan berarti bahwa hari Minggu esoknya dia tidak perlu ke misa hari Minggu. Bahkan jika misa Perkawinan itu diadakan hari Minggu, jika kita bukan pengantinnya sendiri atau keluarga dekat/ kerabat pengantin, maka seharusnya kita tetap harus menghadiri Misa Minggu seperti biasa (jadi dalam hal ini ikut misa dua kali). Sebab tujuan ikut kedua misa tersebut berbeda, yang pertama adalah untuk mendoakan pengantin, dan yang kedua adalah untuk memenuhi perintah Tuhan untuk ‘menguduskan hari Tuhan’ pada hari Minggu.
Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Terima kasih atas penjelasan ibu Ingrid Listiati yang begitu lengkap. Katolisitas benar2 menambah pengetahuan saya mengenai iman Katolik.
Tuhan memberkati
saya dilahirkan sebagai seorang katholik yang telah menikah, namun saya menerima pemberkatan perkawinan di gereja protestan. Setelah pernikahan saya sempat beberapa kali menerima hosti dalam komuni, sampai suatu saat istri saya berkata bahwa, menurut teman istri saya yang seorang katholik, seharusnya saya tidak diperkenankan menerima hosti. Kemudian saya juga pernah membaca buku secara sepintas, memang saya tidak diperkenankan menerima komuni, menurut buku tersebut. Semenjak saat itu saya tidak pernah menerima hosti, namun setiap minggu saya selalu mengikui misa. Istri saya pernah menyatakan kesediaan untuk masuk ke katholik, namun masih terkendala faktor orangtua dia yang pemeluk protestan yang kuat. Saya ingin mendapatkan solusi atas apa yang saya alami ini!dan apakah ketika kami berdua diperbolehkan melakukan pemberkatan di gereja katholik dan apakah prosedurnya sama dengan seperti pembekalan sakramen pernikahan pada umumnya?MOhon jawabannya, terima kasih.
[dari Admin: pertanyaan ini dipindahkan dari artikel Trinitas ke artikel Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan]
Shalom Petrus,
Bersyukurlah bahwa Tuhan telah memanggilmu pulang ke pangkuan Gereja Katolik. Kami percaya, dorongan itu datang dari Tuhan Yesus sendiri. Oleh karena itu, kami akan mendoakan agar jalan terbuka bagi Petrus untuk dapat bergabung sepenuhnya sebagai anggota Gereja Katolik. Ya, benar dengan kondisi Petrus sekarang yang pernikahannya belum diberkati secara Katolik, maka Petrus memang tidak diperkenankan menerima Komuni Kudus. Sebab, sesungguhnya sudah menjadi kewajiban dan tugas kita sebagai orang yang sudah dibaptis, untuk terus bertumbuh di dalam iman, harapan dan kasih dengan menerima sakramen-sakramen Gereja, termasuk di sini, Penguatan, Pengakuan Dosa, Ekaristi, Pernikahan (dan jika waktunya tiba, Pengurapan Orang sakit).
Sakramen Perkawinan menurut Gereja Katolik memiliki makna yang sangat dalam, baik bagi pasangan itu sendiri, maupun bagi masyarakat sekitar. Kasih yang total antara suami terhadap istri dan sebaliknya istri terhadap suami, harus meniru teladan kasih timbal balik antara Kristus kepada Gereja-Nya, sehingga Perkawinan Katolik dapat menjadi saksi hidup kehadiran kasih Allah di tengah masyarakat. Maka, dalam ajaran Katolik, ciri-ciri utama Sakramen Perkawinan adalah sangat jelas: monogami, tak terceraikan, dan terbuka bagi kehidupan/ kelahiran anak-anak.
Makna pemberkatan Perkawinan di Gereja Protestan tidak sama dengan makna Sakramen Perkawinan di Gereja Katolik, sehingga memang, jika Petrus ingin kembali ke Gereja Katolik, pernikahan Petrus harus diberkati menurut tradisi Katolik. Jika istri Petrus setuju ingin juga menjadi Katolik, maka Perkawinan kalian dapat disahkan dengan menerima Sakramen Perkawinan. Jika tidak, maka yang diperoleh adalah Pemberkatan menurut Gereja Katolik (dengan dispensasi), namun hal inipun sah, sehingga setelah itu Petrus dapat menerima Komuni kudus jika mengikuti Misa Kudus.
Demikian saran kami, yang mungkin dapat Petrus lakukan:
1) Datang menghadap ke Pastor Paroki, dan ceritakanlah kondisi Petrus sekarang: lahir (dibaptis bayi) sebagai Katolik, namun menikah di gereja Protestan. Namun sekarang ingin kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Ceritakan juga kondisi istri yang sebenarnya juga tertarik untuk bergabung di Gereja Katolik. Dengarkan saran beliau. Langkah apa yang harus diikuti, dan Pastor akan menentukan apakah kalian perlu mengikuti pembekalan perkawinan atau tidak.
2) Datanglah mengaku dosa di Sakramen Pengakuan Dosa, mohon ampun bahwa telah sekian lama, perkawinan kalian belum diberkati secara Katolik.
3) Jika istri setuju untuk menjadi Katolik, tanyakan asal gerejanya yang dahulu, sebab ada beberapa gereja yang Baptisannya diakui oleh Gereja Katolik, sehingga mereka hanya perlu dikukuhkan, tidak perlu baptis ulang. Untuk hal ini perlu kalian konsultasikan kepada Pastor Paroki.
4) Sementara itu, bertumbuhlah bersama di dalam iman Katolik, misal: berdoalah bersama-sama di pagi hari dan malam hari, dan jika kalian sudah mempunyai anak, dapat juga berdoa bersama anak-anak. Bacalah bacaan Kitab suci bersama, dapat pula mengambil salah satu bacaan harian yang dapat diambil dari bacaan menurut Kalender Gereja di situs ini.
Doakanlah mertua agar mereka dapat mempunyai kelapangan hati, jika akhirnya seluruh keluarga kalian memutuskan untuk menjadi Katolik.
5) Persiapkanlah hari Pemberkatan ataupun Sakramen Perkawinan kalian dengan hati penuh syukur, sebab melalui keluarga kalian misteri Kasih Allah akan dinyatakan!
Demikian saran kami, semoga dapat bermanfaat.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid dan Stefanus
Saya melihat Pasangan yang pernikahannya disahkan dengan Sakramen Perkawinan di Gereja Katolik, dan setelah beberapa tahun terlihat banyak sekali pertengkaran dan penyiksaan lahir batin untuk kedua belah pihak, dimana menurut pikiran saya sebaiknya mereka bercerai saja daripada bikin sakit hati, karena tampaknya sudah tidak ada cinta lagi dan malahan sang istri sudah selingkuh. Pihak orangtua sudah mendesak mereka untuk bercerai saja (mereka bukan Katolik). Ada seorang teman, katanya kalau kondisi perkawinannya sudah parah, pasangan dapat meminta dispensasi untuk memintakan perceraian kepada Bapak Paus di Vatikan? apakah ini benar dan pernah diberikan oleh Bapak Paus? Kalau tidak benar, apa yang dapat diperbuat oleh pasangan tersebut, jika memang mereka sudah malas untuk membina kehidupan perkawinan mereka. Terima kasih.
Shalom Agus,
Sebenarnya terdapat banyak hal yang harus kita ketahui sebelum kita dapat mengatakan Perkawinan Katolik dapat dibatalkan (menerima Annulment), ataupun mendapat dispensasi dari Vatikan, dan dapat diizinkan berpisah (bukan bercerai). Hal ini diatur oleh Kitab Hukum Kanonik Gereja 1983 mengenai Perkawinan. ‘Annulment’/ pembatalan perkawinan hanya dapat diberikan, jika setelah diperiksa oleh pihak tribunal perkawinan di keuskupan setempat, diputuskan bahwa perkawinan tersebut memang tidak sah, misalnya, kesepakatan perkawinan dibuat dalam keadaan terpaksa, dalam keadaan ketakutan yang hebat (can.1103), perkawinan di bawah umur (can.1083), salah satu pasangan terikat perkawinan sebelumnya (can 1085), perkawinan campur yang tidak melibatkan dispensasi dari Gereja (can. 1086), perkawinan yang melibatkan penculikan (can 1089), perkawinan yang melibatkan satu garis keturunan/antar saudara/yang berhubungan darah (can. 1091), perkawinan yang melibatkan pihak yang sesungguhnya tidak dapat menikah, misal karena kekurangan akal sehat/ tidak waras (can.1095). Sedangkan jika perkawinan dinyatakan sah, annulment/ pembatalan tidak mungkin diberikan. Namun jika keadaan begitu sulit misal karena sudah menyangkut ancaman hidup, maka Gereja dapat mengizinkan perpisahan (bukan perceraian). Tribunal di keuskupan akan melihat kasus yang dilaporkan ini dan akan menilai apakah perpisahan yang dizinkan sementara, dan masih dapat diusahakan persatuan kembali, ataukah perpisahan yang tidak ditentukan batas waktunya. Namun apapun bentuk perpisahannya, masing-masing suami dan istri tidak diperbolehkan menikah lagi, karena ikatan pernikahan mereka yang sah diresmikan Gereja adalah ikatan seumur hidup, sesuai dengan yang dituliskan di dalam artikel di atas. Jika dipandang perlu untuk alasan yang layak sesuai dengan keputusan tribunal, izin berpisah ini dapat diberikan oleh keuskupan dengan persetujuan Vatikan, jika surat permohonan ditujukan ke Vatikan.
Perlu ditekankan di sini bahwa cann. 1135, 1151 menyatakan hak dan kewajiban pasangan suami istri untuk hidup bersama, kecuali terdapat alasan yang legitimate yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kasus yang Agus sebutkan, jika pernikahan tersebut adalah antara pasangan yang sudah dibaptis, diberkati sebagai sakramen di Gereja Katolik, dan sah, kelihatannya terdapat 2 kasus yang serius, yaitu penganiayaan dan perselingkuhan. Namun sebagai pihak luar, sesungguhnya sangat sulit bagi kita untuk menilai sampai sejauh mana pertengkaran dan penyiksaan lahir batin tersebut. Apakah sebatas percekcokan mulut, atau penganiayaan yang sudah mengarah kepada membahayakan nyawa pasangan? Jika benar terjadi perselingkuhan, dan jika benar situasinya sudah sangat serius dan cenderung ‘berbahaya’ untuk keselamatan nyawa, maka canon yang mengatur adalah sbb:
1) Can 1153 §1 Jika salah satu dari pasangan menyebabkan bahaya yang parah dalam hal mental atau fisik kepada pasangan atau kepada anak-anak, ataupun menjadikan hidup yang normal begitu sulit, maka pasangan yang menyiksa dapat memberikan kepada yang disiksa alasan yang valid untuk pergi/ berpisah sesuai dengan keputusan keuskupan, atau bahkan menjadi otoritas pasangan (yang disiksa tersebut) jika diketahui bahaya yang cukup signifikan akan datang.
2) Can 1153 § 2, Dalam setiap kasus, jika alasan perpisahan sudah berhenti, kehidupan perkawinan harus dipulihkan, kecuali jika keputusan Gereja sudah menentukan sebaliknya.
3) Can 1152 §1, Walaupun dianjurkan agar salah satu dari pasangan memaafkan pihak yang berselingkuh demi kasih Kristiani dan keutuhan keluarga, namun jika pihah yang tak bersalah belum dapat memaafkan, maka ia memiliki hak untuk pergi, kecuali jika ia sendiri mengetahui dan menyetujui tindakan perselingkuhan tersebut atau jika ia sendiri berselingkuh juga.
4) Can 1152 §2, Persetujuan akan perselingkuhan maksudnya adalah, setelah menyadari bahwa pasangannya berselingkuh, pasangan yang tidak bersalah tetap tinggal bersama dengan pasangannya yang selingkuh itu dan tetap seperti biasa hidup dan berhubungan sebagai suami istri. Jika hal ini terjadi selama 6 bulan tanpa ada laporan kepada pihak otoritas Gereja (yaitu Pastor Paroki dan Tribunal Perkawinan di Keuskupan), maka dianggap ia setuju akan perselingkuhan tersebut.
5) Can 1152 §3, Jika pasangan yang tak bersalah memutuskan untuk pergi/ berpisah, maka ia dalam waktu 6 bulan harus melaporkan tuntutan perpisahan tersebut kepada pihak otoritas Gereja, dan pihak otoritas Gereja ini setelah mengadakan penyelidikan segala keadaan, akan memutuskan, apakah pihak yang tidak bersalah dapat didorong untuk memaafkan pihak yang bersalah (umumnya melalui proses konseling) dan tidak memperpanjang perpisahan; atau tidak, jika ternyata secara moral tidak memungkinkan.
Jadi penting di sini agar pasangan itu (minimal salah satu dari mereka) melaporkan kondisi perkawinan mereka kepada pihak otoritas Gereja agar mereka mendapat bimbingan untuk menempuh jalan keluarnya. Saya di sini hanya dapat memaparkan apa yang tertulis di dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja, berdasarkan dari data yang Agus berikan. Namun sering kali kondisi yang terjadi belum tentu sesuai dengan yang kita ketahui, sebagai pihak ke tiga atau ke-empat, yang tidak mengetahui persis duduk masalahnya. Untuk itu, memang lebih baik kita tidak berspekulasi. Lebih baik menyarankan agar pasangan tersebut menghubungi pihak Gereja, mungkin dimulai dengan pastor paroki terlebih dahulu, atau jika memungkinkan diusahakan untuk mendapat penyelesaiannya, misalnya melalui konseling dengan pihak Seksi Kerasulan Keluarga di paroki, yang umumnya banyak membantu keluarga dengan permasalahan-permasalahannya. Di atas semua itu, perlu kita ketahui bahwa umumnya perpisahan bukan merupakan jalan yang baik, terutama jika melihat efek negatif yang ditimbulkannya terhadap anak-anak, dan juga pada pasangan suami istri tersebut.
Mari kita mendoakan pasangan tersebut di dalam doa pribadi kita, dan juga semua pasangan suami istri lain yang sedang mengalami kemelut di dalam keluarga mereka. Semoga Tuhan memberikan rahmat kasih dan pengampunan kepada mereka, agar mereka dapat kembali saling mengasihi dan mengampuni.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Mengenai Can 1153 dan Can 1152 saya ingin atau mohon penjelasan untuk kasus saya ini: – saya telah bercerai secara sipil karena suami saya melakukan penyiksaan secara psikis dan fisik juga ingkar janji tidak mau menerima anak saya dari perkawinan I saya (suami saya atau bapaknya anak2 tlh meninggal)Akhirnya saya kembali kerumah saya sendiri sudah 1 tahun ini. apakah cukup begini saja atau saya harus mempunyai ijin dari gereja juga utk hidup terpisah.Sampai saat ini saya masih hidup sendiri. Tks.
Shalom Kristina,
Saya turut prihatin dengan kasus anda, semoga Tuhan sendiri yang memberi kekuatan dalam menghadapi keadaan ini. Berikut ini adalah saran saya, berdasarkan pengertian saya pada kasus Kristina (semoga pengertian saya pada keadaan perkawinan anda benar):
1) Tidak ada masalah pada perkawinan yang pertama, sebab suami dari perkawinan yang pertama itu sudah meninggal.
2) Pada perkawinan kedua, (saya mengasumsikan perkawinan ini merupakan Sakramen Perkawinan), terdapat masalah, terutama seperti yang menyangkut can. 1153 dan can. 1152. Kenyataan yang terjadi sekarang Kristina pergi meninggalkan suami karena mendapat penyiksaan fisik. Mengenai masalah pergi karena telah menerima penyiksaan fisik- sebenarnya diperbolehkan, jika itu menyangkut keselamatan diri (lih. can 1153, 1), namun memang sebenarnya harus ada upaya menjajaki kemungkinan untuk kembali, jika itu memungkinkan.
3) Jadi saya menyarankan, sebaiknya apapun permasalahannya, Kristina datang dahulu ke Pastor paroki untuk mendiskusikan hal ini. Dengarkan apa yang menjadi saran beliau. Beritahukan juga kepada Pastor bahwa Kristina telah berpisah dengan suami selama 1 tahun ini. Memang batas waktu yang disebutkan dalam can 1152, 3 adalah 6 bulan, namun semoga ada pertimbangan khusus dalam hal ini.
4) Jika Kristina sekarang masih hidup sendiri dengan anak-anak, itu berarti Kristina telah menjalani pengajaran tentang Perkawinan menurut Gereja Katolik. Berat, memang, tetapi demikianlah yang diajarkan oleh Gereja, bahwa semua yang telah dipersatukan Tuhan, tidak dapat diceraikan oleh manusia, tidak juga oleh kekerasan, tidak juga oleh sikap suami yang ingkar janji. Di mata Tuhan sebenarnya Kristina dan suami tetap satu, sebab Tuhan sudah mempersatukan kalian berdua. Jika terjadi hal yang memang membahayakan keselamatan, yang dizinkan adalah berpisah secara fisik (lamanya tergantung dari keputusan Gereja nantinya, jika masalah ini dikonsultasikan), namun secara rohani, ikatan suami-istri tidak terpisahkan. Dalam hal ini, meskipun berpisah (baik sementara ataupun jika disetujui Gereja untuk waktu yang tak terbatas), baik Kristina dan suami tidak diperkenankan untuk menikah lagi. Walaupun berpisah sekarang ini, sebaiknya Kristina tetap berdoa bagi suami, malah sebaiknya, anak-anak juga diajak untuk berdoa bagi papanya.
Kristina, saya tidak tahu apakah ini dapat membantu, namun satu hal yang saya janjikan, mulai hari ini saya dan suami saya akan turut mendoakan bagi kehidupan perkawinan Kristina, semoga Tuhan membuka jalan dan memberikan yang terbaik pada Kristina dan anak-anak, serta suami Kristina. Tuhan kita adalah Allah yang Maha Pengasih, dan Ia tidak pernah meninggalkan kita sendirian, terutama pada saat-saat yang sukar. Semoga, lebih dari sebelumnya, Kristina dapat mengalami kasih dan penyertaan tangan Tuhan pada saat-saat ini.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Tks atas jawabannya. saya sudah menghubungi pastor paroki tapi sampai selama ini saya tidak mendpt surat ijin utk tinggal terpisah hanya diberi nasrhat untuk hidup”sendiri” bersama anak2 saya.saya juga sudah menghadap pastor yang memberkati perkawinan II saya sebelum keputusan pengadilan negri memutuskan cerai. Anehnya beliau no comment mungkin gak enak dgn suami saya yang [edit dari admin: suami saya yang mungkin dikenal oleh pastor].Karena anak2 saya merasa terhina ibunya disakiti fisik dan psikis maka mereka bersikukuh utk memisahkan kami.Lucunya mantan suami II saya ini malah merasa saya yang salah dan dia marah besar karena gugatan cerai saya. Dia bercerita yang tidak-tidak kpd saksi dan pastor amat sangat menyakitkan juga SMS terakhir dia nadanya amat menghina saya dan marah. Jadi saya hanya bisa berdoa mhn yang terbaik bagi kami dan saya tetap memaafkannya karena saya ingin hidup tentram dan sebetulnya saya amat mencintainya tulus ikhlas tanpa bertujuan apa apa maksudnya saya tambah kaya karena saya sebelum menikah sudah mengadakan perjanjian harta terpisah dan sayapun meninggalkan karir saya. Sampai detik ini saya tidak berpikir utk menikah lagi saya takut. dan saya ingin buktikan kepadanya bahwa saya setia tdk seperti yang dia tuduhkan.Tks ibu, atas doanya dan nasehat ibu tetap saya butuhkan.Oh iya bgm caranya saya bisa melupakannya ya. saya juga selalu berdoa utk ini.
Shalom Kristina,
Masalah Perkawinan memang umumnya tidak sederhana, dan banyak hal harus diketahui/ diperhatikan agar dapat ditangani dengan baik. Berikut ini akan saya jabarkan beberapa keterangan yang sifatnya objektif, jadi bukannya menganjurkan agar Kristina menempuh jalur Annulment/ anulasi ataupun sebaliknya. Sebab untuk itu memang Kristina harus memutuskannya sendiri, setelah berkonsultasi dengan pastor paroki ataupun pastor yang memberkati perkawinan Kristina.
Pertama-tama perlu kita ketahui bahwa ada 3 persyaratan yang membuat sah-nya perkawinan Katolik, pada saat membuat kesepakatan perkawinan:
1) Dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi persyaratan kapasitas menikah.
2) Merupakan kesepakatan bersama antara laki-laki dan perempuan (yang dilakukan dengan bebas dan tidak terpaksa)
3) Diadakan menurut cara yang sesuai dengan hukum kanonik Gereja Katolik.
Dalam hal point pertama, memang disebut panjang lebar, yang ‘menghalangi’ kapasitas pasangan untuk menikah; dalam kanon 1083-1094 dan 1097 (ada 13 hal yang harus diperhatikan) Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik, yang saya rasa tidak dapat dijabarkan di sini, sebab memang sangat panjang lebar, namun dari penuturan Kristina yang di e-mail kepada saya, kelihatannya kondisi Kristina dan suami memenuhi persyaratan untuk menikah.
Dalam hal point kedua tentang kesepakatan bersama, memang mungkin masih dapat ditelusuri, apakah memang pada saat menikah kesepakatan dibuat dengan bebas, dan tidak terpaksa. Dalam hal ini, ada 12 keadaan yang dapat dianggap sebagai penghalang, yang dapat diperiksa oleh pihak tribunal untuk menentukan apakah kesepakatan bersama itu benar-benar sah pada saat menikah. Inilah yang akan diperiksa, jika Kristina ingin mengajukan permohonan Annulment/ anulasi/ pembatalan. Penting di sini diketahui bahwa Anulasi bukan perceraian; sebab yang menjadi dasar anulasi disini adalah apakah ada yang salah/ tidak memenuhi syarat pada waktu membuat perjanjian kesepakatan perkawinan dan bukan berdasarkan kejadian-kejadian sesudah perkawinan. Pihak Gereja bukan menceraikan suami dengan istri, tetapi melihat ke belakang, yaitu pada saat membuat kesepakatan perkawinan (hari H perkawinan), apakah janji perkawinan yang dibuat waktu itu memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sah sebagai ‘kesepakatan bersama’. Hal ini disebutkan di dalam kanon 1095- 1098 dan 1101-113. Memang untuk menentukan hal itu dapat diperiksa kejadian-kejadian sesudah perkawinan, namun maksudnya adalah untuk melihat kaitannya dengan kesepakatan yang dibuat pada hari H tersebut. Saya tidak berhak untuk menyebutkan di sini hal-hal apa yang mungkin dapat diperhitungkan, karena itu berarti saya ‘mendahului/ melangkahi’ pemeriksaan pihak tribunal; jika akhirnya Kristina memutuskan ingin menempuh jalur Annulment/ anulasi. Sebab, jika demikian, pihak tribunal akan memeriksa tidak hanya dari pernyataan Kristina, tetapi juga dari pernyataan suami Kristina.
Dalam point ketiga, umumnya, jika pernikahan diadakan di gereja dengan pastor paroki yang memberkati, lalu dengan kehadiran 2 saksi, maka perkawinan dikatakan sah.
Nah, jika Kristina memutuskan ingin menempuh jalur kemungkinan Anulasi, maka pada tahap awal yang dilakukan adalah mengisi formulir anulasi. Formulir ini nanti akan disampaikan kepada pihak tribunal, yang akan menilai apakah kasus Kristina mempunyai kemungkinan untuk memperoleh anulasi. Jika tidak dilihat ada kemungkinan, mungkin saja akan ditolak. Tapi jika dilihat ada kemungkinan, maka kasusnya mungkin dapat diproses, walaupun tidak dapat dijamin kepastian dapat diperolehnya Anulasi, sebab harus diperiksa kedua belah pihak terlebih dahulu. Nah, jika ada dari ketiga hal di atas yang setelah melalui pemeriksaan Gereja dinyatakan tidak memenuhi syarat keabsahan, maka anulasi dapat diperoleh. Pemeriksaan umumnya dapat mencapai beberapa bulan, atau jika kasusnya rumit, mungkin dapat mencapai 1 tahun lebih, saya kurang tahu.
Setelah melihat ketiga hal di atas, dan melihat juga kondisi Kristina sekarang, sesungguhnya Kristina memiliki 2 pilihan:
1) Mengajukan permohonan Annulment/ anulasi/ pembatalan; yang dimulai dari konsultasi dengan pastor paroki, atau pastor yang memberkati perkawinan Kristina, dan meminta formulir Annulment. Jika ternyata pihak pastor sampai saat ini tidak mendukung ke arah sana, mungkin disebabkan oleh kehendak baiknya ingin mengusahakan untuk mempertahankan perkawinan Kristina. Namun, jika Kristina tetap ingin mencoba mengurus Annulment, dapat saja menyampaikan hal ini pada pastor, karena ini merupakan hak Kristina. Harus diterima juga kemungkinan pemeriksaan Annulment yang dapat memakan waktu yang lama, dengan juga wawancara dengan pihak tribunal, jika diperlukan, dan mereka akan mengumpulkan data baik dari pihak Kristina maupun dari pihak suami Kristina, sebelum akhirnya tribunal menentukan sah/ tidaknya kesepakatan perkawinan. Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa Gereja adalah pihak yang berhak untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan, bukan perasaan atau kehendak kita; karena melalui Gereja, Kristina dan suami telah menerima sakramen Perkawinan yang mempersatukan Kristina dan suami dengan Kristus. Jadi perkawinan ini bukan hanya urusan Kristina dan suami, tetapi juga urusan Gereja; sehingga untuk menyatakan hal itu sah/tidak sah, harus melibatkan Gereja.
2) Kemungkinan kedua adalah Kristina menerima keadaan yang sekarang. Pisah dari suami, dan tidak menikah lagi. Memang menurut peraturan kanonik, Kristina dapat memohon pihak Gereja untuk memberikan surat izin berpisah sementara (atau dengan batas waktu yang tidak dapat ditentukan, jika pihak Gereja menentukan demikian). Namun kenyataannya, untuk satu dan lain hal, ini jarang sekali dilakukan oleh pihak Gereja. Hal ini dapat ditanyakan saja kepada pastor paroki, bagaimana sebaiknya. Jika pastor mengatakan bahwa yang penting, jika memang kemungkinan bersatu kembali sementara ini tidak mungkin, ya Kristina hidup ‘sendiri’ (tidak menikah lagi), dan dengan demikian sudah cukup; maka tidak usah gelisah, sebab Kristina dalam keadaan demikian, masih tetap dapat menyambut Komuni dan mengikuti sakramen-sakramen yang lain. Namun demikian, saya menganjurkan agar Kristina pergi menerima sakramen Tobat, jika masih ada ‘ganjalan’ kemarahan/ kepahitan yang sangat dalam atas perlakuan suami Kristina, ataupun jika ada kesalahan-kesalahan yang lain. Saya percaya, Tuhan Yesus sendiri yang akan menyembuhkan luka-luka batin Kristina, asalkan Kristina memohon pengampunan kepadaNya.
Sementara ini, baik jika Kristina membawa masalah ini di dalam doa setiap hari, agar menuntun Kristina membuat keputusan. Bertekunlah di dalam doa, Kris, misalnya dalam doa rosario dan novena, atau jika memungkinkan doa adorasi. Atau dengan doa hening di hadapan Tuhan, sambil mengatakan sepenuh hati, "Tuhan Yesus, kasihanilah aku…" Percayalah bahwa Tuhan akan menuntun Kristina dan memberi kekuatan.
Memang mungkin sulit pada saat ini untuk langsung melupakan segala sesuatu yang sudah terjadi, terutama jika hal itu sudah sangat melukai hati. Namun, jika Kristina menghadapinya bersama Yesus, maka rahmat-Nya akan cukup mendatangkan penghiburan. Mungkin jika Kristina berdoa, pertama-tama jangan berdoa untuk melupakan suami, tetapi terlebih memohon rahmat agar dapat menghadapi semua ini dengan ketabahan dan hati yang lapang. Baiklah Kristina mengingat ayat ini, "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku" (Flp 4:13). Bersyukurlah juga, bahwa Kristina mempunyai anak-anak yang mengasihi dan melindungi ibunya. Semoga dengan berjalannya waktu, Tuhan sendiri yang akan memampukan Kristina untuk mengampuni suami, dan Tuhan pula yang memampukannya untuk tidak lagi berkeras hati.
Sementara ini, saya tinggal di Amerika, karena sedang mengambil studi Theologi di sini. Jadi jika ada pertanyaan, Kristina dapat menghubungi saya via e-mail. Nanti saya akan berusaha menjawabnya sebisa saya, dan saya akan turut mendoakan Kristina dari sini.
Apapun yang terjadi, ingatlah bahwa Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan kita, dan Dia selalu menopang kita di saat kita jatuh. Tuhan mengasihi-mu, Kristina, dan tidak ada yang dapat memisahkan Kristina dari kasih-Nya yang tiada terbatas.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati.
Banyak Terimakasih atas balasan dan perhatian Ibu Inggrid atas kasus saya ini, membuat saya tenang dan juga terharu semoga ibu juga diberkati dan sukses dalam studi
Seperti kita ketahui perkawinan sesama jenis kelamin disahkan oleh pemerintah di beberapa negara. Apakah di Kitab Suci ada ayat yang melarang tentang hal tsb? jika ya dimana? Jika tidak ada, mengapa tidak ada? Dan apakah Tuhan melarang perkawinan tsb? Bagaimana Gereja memandang fenomena ini? Apakah menjadi gay or lesbi adalah dosa? Bagaimana dengan pandangan dari agama yang lain seperti Islam, Budha dan Hindu? Maafkan pertanyaan yang bertubi2 ini, karena saya bingung dengan hal hal tersebut.
Shalom Agus,
Sabda Tuhan menetapkan Perkawinan sebagai sesuatu yang sakral antara satu orang pria dan satu orang wanita. Hal ini nyata sekali pada waktu penciptaan dunia, "Maka Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka: Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu…."(Kej 1:27-28). Kemudian pada awal penciptaan, Alkitab juga berkata, "…seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kej 2:24). Maka dari kedua ayat ini saja kita mengetahui bahwa Allah menciptakan hanya dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Perkawinan hanya terbatas antara satu suami dan satu istri, dan keduanya akan menjadi satu daging dan memenuhi tugas mereka berkembang biak dan menguasai bumi. Jadi dimensi perkawinan di sini ada dua, seperti yang tertulis di Humanae Vitae, yaitu, (1) union/ kesatuan antara laki-laki dan perempuan dan (2) procreation/ dapat menghasilkan keturunan. Kita melihat penyimpangan dalam kedua hal ini pada perkawinan sesama jenis, karena persatuan antara sesama mereka (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan) bertentangan dengan maksud union tersebut yang berlaku untuk satu laki-laki dan satu perempuan, dan juga hubungan perkawinan tersebut tidak dapat menghasilkan keturunan.
Selanjutnya, Perkawinan sesama jenis tidak pernah dibenarkan di dalam Alkitab. Yang ada adalah kecaman yang keras karena hal tersebut bertentangan dengan kehendak Tuhan. Contohnya saja pada surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma (lih. Rom 1:24-27) yang secara jelas menjabarkan tindakan homoseksual, yang disebut oleh Rasul Paulus sebagai kesesatan. Hal serupa dinyatakan di dalam 1Kor 6:9-10, 1 Tim1:10. Surat Yudas (Yudas yang bukan pengkhianat Yesus) secara implisit juga menyebutkan, bahwa tindakan homoseksual sebagai tindakan ‘percabulan yang mengejar kepuasan-kepuasan yang tidak wajar’ (Yud 1:7). Hal ini mengingatkan kita pada kisah Sodom dan Gomora yang memang akhirnya dihancurkan oleh Tuhan karena dosa tersebut (Kej 19:1-24). Tuhan Yesus mengajarkan makna perkawinan dengan mengacu kepada maksud Tuhan pada awal mula penciptaan. Jadi Yesus menekankan persatuan perkawinan antara suami dan istri (Kej 2:24), dan persatuan tersebut tidak terpisahkan (Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Dengan dasar pengajaran Yesus tersebut, Gereja Katolik melarang perkawinan sesama jenis, karena melihat bahwa tindakan homoseksual sebagai tindakan yang menyimpang dan bertentangan dengan kodrat hukum alam/ maksud penciptaan manusia. Statistik sendiri menunjukkan besarnya resiko praktek homoseksual yang selain berpengaruh buruk pada kesehatan (mendatangkan bermacam penyakit dan memperpendek umur), juga berpengaruh buruk pada relasi pasangan sesama jenis tersebut, dengan terjadinya perceraian dan gonta-ganti pasangan yang pada akhirnya merendahkan derajat manusia, seolah menjadikan mereka serupa dengan hewan saja. Silakan membaca pengaruh buruk homoseksual pada artikel di link ini terutama di bagian ke IV: Homosexual "Marriage".
Katekismus Gereja Katolik memandang perbuatan homoseksual sebagai "perbuatan yang tidak berasal dari satu kebutuhan yang benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual" (KGK 2357). Namun demikian, Gereja menyadari bahwa tidak sedikit pria dan wanita yang sedemikian mempunyai kecenderungan homoseksual yang tidak mereka pilih sendiri. Mereka ini harus dilayani dengan hormat, dengan kasih dan bijaksana. Mereka harus diarahkan agar dapat memenuhi kehendak Allah dalam kehidupannya, dengan hidup murni, melalui kebajikan dan pengendalian diri dan mendekatkan diri pada Tuhan melalui doa dan sakramen, menuju kesempurnaan Kristen (KGK 2358-2359). Perlu diketahui bahwa, kecenderungan di sini diartikan seperti halnya kecenderungan yang dimiliki untuk kebiasaan buruk yang umum, misal ada orang yang memiliki kecenderungan pemarah, pemabuk, pemalas, dst. Contoh, tentu saja kita tidak dapat mengatakan karena seseorang memiliki kecenderungan pemarah, maka ia boleh saja hidup sebagai seorang pemarah. Kita justru harus mengalahkan kecenderungan itu dengan kuasa yang kita terima dari kemenangan salib Kristus, sebab oleh Dia segala belenggu dosa dipatahkan.
Ryan Sorba, dalam talk-nya Framingham State University, tgl 31 Maret 2008, yang memperkenalkan bukunya The Gay Gene Hoax, menjelaskan, bahwa kecenderungan gay bukan merupakan sesuatu yang genetik (seperti yang dipropagandakan sekarang ini). Karena berdasarkan penelitian yang diadakan di Scandinavia pada bayi-bayi kembar, dapat diketahui bahwa salah satu dari bayi tersebut dapat menjadi gay, namun yang lainnya normal. Seandainya homoseksual itu genetikal tentu kedua bayi itu menjadi gay. Menurut Sorba, perilaku homoseksual banyak dipengaruhi oleh lingkungan, terutama penganiayaan seksual di masa kecil, seperti yang dialami dan diakui sendiri oleh banyak aktivis homoseksual. Lebih lanjut tentang laporan ini, silakan baca di link berikut ini.
Jadi untuk menjawab pertanyaan Agus, orang yang lesbi atau gay sebenarnya dapat menghindari dosa, dengan tidak mengikuti dorongan nafsu seksualnya yang terarah kepada teman sejenis kelamin. Jika mereka hidup mengikuti hawa nafsu tersebut, tentu saja mereka berdosa. Alkitab sangat jelas menjabarkan hal ini. Namun, di dalam Kristus, mereka memiliki harapan untuk dapat mengarahkan hidup mereka ke arah kebenaran. Itulah sebabnya Gereja Katolik tidak menolak para gay dan lesbian, namun tidak membenarkan perbuatan mereka; melainkan mengarahkan mereka untuk hidup sesuai dengan perintah Tuhan untuk menerapkan kemurnian/ chastity. Gereja tetap memegang bahwa kecenderungan homoseksual adalah menyimpang, dan praktek homoseksual adalah dosa berat yang melanggar kemurnian (berdasarkan Congregation for the Doctrine of Faith yang dikeluarkan tgl 3 Juni 2003 mengenai, Considerations regarding Proposals to give legal recognition to unions between Homosexual Persons, 4).
Kongregasi yang membahas masalah homoseksual dalam hubungannya dengan doktrin Gereja Katolik tersebut menjabarkan bahwa perilaku homoseksual bertentangan dengan kemanusiaan manusia baik secara biologis dan anthropologis. Kemudian, ‘perkawinan’ sesama jenis tersebut menciptakan halangan bagi anak-anak (yang diadopsi) untuk berkembang secara normal; karena mereka tidak dapat mengalami kasih kebapakan dan keibuan yang layak. Selanjutnya, perkawinan sesama jenis ini dapat merusak keteraturan sosial dan membahayakan perkembangan kemanusiaan secara wajar. Pengakuan hukum terhadap perkawinan homoseksual ini dapat berarti persetujuan akan penyimpangan perilaku homoseksual ini, yang menjadikannya seolah ‘contoh/ model’ dalam masyarakat. Perilaku ini juga menghalangi nilai-nilai dasar yang merupakan hakekat dasar kemanusiaan yang sudah berlangsung turun temurun. Gereja tidak dapat mengundurkan diri dalam mempertahankan nilai-nilai dasar kemanusiaan demi kebaikan manusia, baik secara individu: laki-laki dan perempuan, maupun secara sosial kemasyarakatan.
Terakhir, maaf, saya tidak mengetahui secara persis pandangan agama lain (Islam, Buddha dan Hindu) mengenai homoseksual ini. Silakan menanyakannya kepada pihak-pihak yang lebih mendalami hal ini.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Indah dan dalamnya makna sakramen perkawinan Katolik.
Baru inilah saya menemukan arti yang sebenarnya maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…”. yang tadinya saya berpendapat bahwa apabila suami atau istrinya berbuat zinah maka dengan alasan tersebut dapat cerai.Padahal ajaran Yesus perceraian jelas-2 dilarang. Setelah membaca ajaran Gereja yang dijelaskan oleh St. Clemens dari Alexandria (150-216) Zinah di sini artinya bahwa perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu.
Terima kasih kepada http://www.katolisitas.org semoga menjadi berkat dan memperkuat iman yang membacanya. Puji Tuhan.
Comments are closed.