[Minggu Biasa IV: Yer 1:4-19; Mzm 71:1-17; 1Kor 12:31- 13:13; Luk 4:21-30]
Perikop tentang kasih yang kita baca hari ini, termasuk perikop yang paling sering dipilih sebagai bacaan Kitab Suci dalam perayaan Ekaristi sakramen Perkawinan. Tidak mengherankan, sebab perjuangan untuk mengasihi yang adalah perjuangan seumur hidup, terutama bagi pasangan suami istri. Ajaran Kristiani memang memberi arti yang baru dalam mengasihi sesama. Sebab Sabda Tuhan mengajar kita untuk mengasihi sesama bukan semata-mata karena dorongan kemanusiaan, tetapi karena kita melihat Tuhan yang hadir dalam diri sesama kita, terutama mereka yang kecil, miskin, hina dan tersingkir (lih. Mat 25:40). Dalam konteks pasangan suami istri, kasih sejati sungguh diuji ketika salah satu di antara mereka terkena sakit parah, jatuh miskin, ataupun jatuh dalam dosa. Adakah suami atau istri masih dapat tetap setia dan mengasihi dalam keadaan sedemikian?
Tuhan Yesus memberikan arti yang lebih dalam tentang kasih kepada sesama, yaitu untuk mengasihi mereka, “seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15:12). Mungkin mudah, jika sesama kita sedang dalam keadaan “mudah dicintai”. Namun mengasihi menjadi tantangan jika pihak yang harusnya kita kasihi ternyata “sulit dikasihi”. Misalnya, mereka telah menyakiti hati kita, mereka berbeda pandangan dengan kita, keras hati dan tidak mau mendengarkan kita. Bagaimana menghadapi orang-orang yang seperti ini?
Rasul Paulus mengajarkan kepada kita kuncinya. Yaitu pertama, kasih itu sabar. Sebab untuk dapat berbuat baik, kita harus tahu bagaimana menyikapi sesuatu yang buruk. Yaitu kita membuang sikap bersungut-sungut, pemarah dan berkata-kata tajam. Bukankah dalam hal ini saja sudah sulit, terutama bagi orang-orang yang sifat dasarnya lekas komplain dan cepat mengkritik orang lain. Kesabaran membutuhkan kebesaran jiwa. Kasih itu sabar, artinya tahan menghadapi apa-apa yang bagi kita terlihat kurang “pas”. Misalnya, tidak jengkel jika mendengar ucapan teman yang “garing” ataupun menyindir, tidak membesar-besarkan kesalahan orang lain, tidak lekas gusar jika keadaan tidak berjalan seperti yang diharapkan. Kesabaran akan membuat kita hidup berdamai dengan orang lain. Dengan sifat ini kita meniru Allah yang sangat sabar terhadap umat-Nya; Kristus yang begitu sabar terhadap kita yang sering lambat untuk memahami apa yang diajarkan-Nya; dan yang kerap jatuh dalam dosa.
Kasih itu murah hati. Artinya melakukan yang baik bagi orang lain. Kita tidak “sayang” untuk membagikan kepada orang lain, apa yang baik dan yang kita inginkan bagi diri kita sendiri. Kasih itu tidak cemburu, tidak iri hati. Bukankah kita telah melihat betapa banyak contoh, betapa rasa iri telah menghancurkan persahabatan dan merusak tali persaudaraan? Tak heran, St. Thomas menyebut iri hati sebagai ibu dari segala kebencian.
Kasih itu tidak sombong…. Sebab ada banyak dosa melawan kasih yang berakar dari kesombongan, ingin melebihi orang lain dan ingin mendahulukan kehendak sendiri. Padahal sebaliknya, kerendahan hati adalah dasar bagi semua kebajikan yang lain, terutama kasih. Kasih bersukacita karena kesuksesan orang lain, dan ini memang didahului oleh kerendahan hati untuk mengakui kelebihan orang tersebut. Kasih bersedia mendengarkan orang lain, walaupun itu mensyaratkan kerendahan hati untuk tidak terlalu cepat berkomentar. Kasih bersedia meminta maaf jika melakukan kesalahan dan bersedia memaafkan orang yang bersalah kepada kita. Kerendahan hati menjadi syarat mutlak bagi seseorang untuk dapat mengakui kesalahan dan meminta maaf, serta memaafkan orang lain. Kerendahan hati pulalah yang memungkinkan orang mengusahakan persatuan daripada perpecahan.
Kasih itu menutupi segala sesuatu… sabar menanggung segala sesuatu…. Termasuk di sini adalah belajar untuk tidak mencari-cari kesalahan orang lain. Dan sekalipun kita menemukannya, kita tidak membesar-besarkannya. Meskipun keadaan menjadi runyam karena kesalahan orang lain, kita tidak berkutat menyalahkan orang tersebut, melainkan mengusahakan jalan keluarnya.
Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap…. Sungguh, kasihlah yang menghantar kita ke Surga, dan kasih pulalah yang masih terus ada selamanya di sana. Sebab sekalipun kita diberi banyak karunia—bernubuat, mengajar, menyembuhkan, berbahasa roh—tetapi kalau kita tidak punya kasih, semua karunia itu tidak membenarkan kita di hadapan Tuhan (lih. Mat 7:21-23). Sebab iman harus dinyatakan dengan perbuatan kasih agar dapat menyelamatkan (lih. Yak 14-24). Dan kasih tidak berakhir, tapi justru akan lebih penuh dalam Kerajaan Surga.
Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. Di Surga iman tidak diperlukan lagi, sebab kita sudah melihat Allah dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (1 Yoh 3:2). Di Surga, pengharapan pun tidak diperlukan lagi, sebab apa yang kita harapkan telah tercapai, yaitu bahwa kita berada di dalam Allah dan Allah di dalam kita, dalam arti sepenuhnya (lih. 1Kor 15:28). Namun kasih akan terus ada, sebab Allah adalah Kasih (1Yoh 4:8) dan “bahwasanya untuk selamanya kasih setia-Nya” (Mzm 118:1).
“Tuhan Yesus, tumbuhkanlah di dalamku, kasih yang sejati. Bukalah mata hatiku supaya aku dapat melihat kehadiran-Mu di dalam diri sesamaku, sehingga aku dimampukan untuk mengasihi mereka demi kasihku kepada-Mu. Semoga dengan demikian, kelak Engkau mengizinkan aku memasuki kehidupan kekal, yang dipenuhi oleh Kasih-Mu yang tak berkesudahan. Amin.”