Pertanyaan:

Tentang Liturgi Stasional menyangkut sejarah lahirnya buku misa atau misale romawi. Awalnya liturgi itu dibawakan spontan walaupun ada kerangka ritual yang baku namun sebagai teks lengkap belum ada. Baru sekitar 215 ada teks liturgi dari St. Hypolitus, dalam “Tradisi Apostolik”nya. Namun saya kira belum menjadi teks baku yang digunakan oleh seluruh Gereja, setiap gereja, wilayah atau keuskupan memiliki teks sendiri², baru upaya menyatuan itu di jaman Charle Magna, ketika dia berusaha menyatukan teks baku liturgi di wilayah kekaiserannya, dengan mengadopsi berbagai ritus, baik itu dari Roma maupun dari tempat lain. Teks atau ritus dari Roma (liturgi Paus) inilah apa yang disebut LITURGI STASIONAL, mulai dari abad 6, yakni liturgi yang digunakan Paus untuk mengadakan misa di setiap gereja, paroki, basilik di Roma dalam jadwal tahunannya dan terkhusus lagi dalam masa prapaskah. Jadwal keliling Paus (berurutan) di gereja² (paroki) di Roma itulah yang disebut stasi (jadi beda dengan istilah stasi di Indonesia, mungkin cikal-bakal kali). Model yang sama juga diadopsi di Yerusalem dan Konstantinopel (atau mungkin sebaliknya Roma yang mengadopsi dari Yerusalem?). Yang menjadi pertanyaan saya, apakah liturgi stasional ini sama dengan liturgi yang ada di paroki² atau gereja² yang ada saat itu (liturgi harian atau mingguan yang ada di paroki)? Kalau beda, apa perbedaannya? Dan bagaimana penjelasan lebih lanjut tentang hal ini?

Terima kasih dan salam – Phiner

Jawaban:

Salam Phiner,
Tentang liturgi stational:
Menyangkut sejarah lahirnya buku misa, sesudah masa Hypolitus, ada gereja-gereja (titulus: dengan nama pelindung tertentu, pernah disebut sekitar 25 tituli, dan statio: yang biasanya menjadi tempat perayaan paus di Roma pada hari minggu dan hari raya, berpindah-pindah menurut tradisi ada 7) yang mempunyai kebiasaan menyiapkan (menulis) teks (doa-doa pemimpin dan tata perayaan) liturgi (khususnya Ekaristi) dalam bentuk leaflet (libellus). Kebiasaan menulis libellus ini (baik di gereja titulus maupun di gereja statio) dimulai akhir abad III lalu menjadi lebih marak pada abad IV dan V. Sekitar abad VI dikumpulkan libelli dari  berbagai tutuli dan statio di Roma menjadi satu buku doa liturgi yang disebut Sacramentarium Leonianum atau Sacramentarium Veronense. Teks dalam kumpulan Sacramentarium Veronense ini menjadi sumber untuk menyusun doa-doa liturgi resmi kepausan dalam bentuk buku Sacramentarium Gelasianum yang dicanangkan sebagai buku liturgi resmi kepausan. Inilah buku liturgi resmi pertama, kemudian menyusul Sacramentarium Gregorianum (Hadrianum dan Paduense) dan Sacramentarium Gallicanum. Mengenai liturgi stational, sebetulnya adalah perayaan liturgi (Ekaristi) di salah satu gereja statio yang dipimpin oleh Paus, dimulai dengan berkumpulnya umat beriman di salah satu gereja lain (titulus atau statio), di sana mereka berdoa sebagai satu persekutuan beriman (collecta) lalu berarak bersama-sama sambil menyanyi/berdoa menuju gereja (statio) tempat Paus memimpin perayaan. Di tempat perayaan ini dibuat bacaan, homili dan persiapan persembahan, Doa Syukur Agung, komuni. Pada waktu pemecahan hosti kudus, Paus membagi sejumlah potongan hosti yang diberi kepada akolit-akolit untuk dibawa ke gereja-gereja statio lain yang Ekaristinya dipimpin seorang imam. Potongan hosti itu diterima imam pemimpin dan memasukkan/mencampurnya dengan anggur kudus (darah Kristus) sebagai lambang persatuan umat di statio itu dengan Paus dan umat yang merayakan Ekaristi di  lain. Kini di Roma masih dibuat liturgi stational itu seperti pada pada masa prapaskah, dengan perarakan ke gereja statio tempat perayaan kepausan, tetapi tanpa pengiriman potongan hosti kudus ke tempat-statio lain. Pencampuran potongan hosti kudus dengan anggur darah Kristus dilakukan di tempat perayaan kepausan. Istilah stasi yang kita gunakan sekarang di Indonesia berarti suatu wilayah tertentu yang mempunyai gereja/kapela di mana biasaya dirayakan ibadat sabda tanpa Ekaristi, karena umumnya Ekaristi dirayakan imam di pusat paroki. Ekaristi di pusat paroki atau di stasi biasanya dirayakan dengan perarakan masuk singkat, dan pencampuran pecahan hosti kudus dilaksanakan di tempat imam merayakan Ekaristi. Dengan demikian menjadi agak jelas perbaandingan antara liturgi stational dan liturgi di paroki atau ibadat di stasi-stasi dewasa ini.

Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.

12 COMMENTS

  1. Dear Katolisitas team
    Shalom

    Saya ingin tau, apa sih batasan layanan Paroki? Standar apa yang menyebabkan umat di daerah tertentu bisa menjadi satu Paroki? Mengapa Paroki bisa dipecah dua? (contoh: dlu hanya ada paroki Tomang (Maria Bunda Karmel) di Jakarta, namun sekarang sudah ada Paroki Meruya (Maria Kusuma Karmel).
    Terima Kasih

    • Michelle yth,

      Batasan layanan pastoral paroki berdasarkan teritorial paroki pada umumnya merujuk pada batasan wilayah daerah kepemerintahan. Misalnya kecamatan atau kabupaten. Namun kadang juga tidak semuanya begitu, ada yang memiliki batasan sesuai kedekatan dengan sentral pelayanan pastoral di paroki. Keputusan pada pihak pimpinan Gereja lokal. Standar menjadi paroki atau syarat-syaratnya adalah memiliki umat yang berdomisili tetap sekitar 1000 jiwa, dan memilki pastor yang tinggal tetap di situ. Memiliki kemandirian ekonomi jika nantinya diputuskan menjadi paroki. Karena pelayanan supaya efektif dan efisien disebabkan oleh jumlah umat yang banyak, maka dibentuklah paroki baru pecahan dari yang induknya seperti Paroki Maria Kusuma Karmel induknya Paroki Maria Bunda Karmel, dll.

      salam
      Rm Wanta

  2. Dear Bu Inggrid

    Bu Inggrid, bacaan injil pada hari minggu palma adalah mengenai kisah sengsara Yesus Kristus diambil dari Injil Matius, dan bacaan pada hari Jumat Agung juga sama mengenai kisah sengsara Yesus Kristus yang diambil dari Injil Yohanes.
    Pertanyaan:
    Mengapa minggu palma sudah dibacakan injil kisah sengsara Yesus Kristus padahal belum Jumat Agung, pas hari wafatnya Yesus Kristus?

    Tuhan memberkati,
    Martha

    • Shalom Martha,

      Minggu Palma menandai dimulainya Holy Week (Pekan Suci). Minggu Palma sendiri dikenal juga dengan nama Minggu Passio (Passion Sunday/ Minggu sengsara Tuhan), karena dengan datangnya Yesus ke Yerusalam, maka Ia menyongsong masuk ke dalam kisah sengsara-Nya, dan ini sudah dinubuatkan oleh para nabi, dan diberitakan sendiri oleh Yesus kepada para rasul, sedikitnya tiga kali (Mat 16:21-28; 17:22-23; 20:17-19). Sebelum sengsara dan wafat-Nya, Yesus sendiri telah memberitahukan para murid-Nya akan apa yang terjadi jika Ia memasuki Yerusalem (lih. Mat 20:18-19). Sekarang pada perayaan Minggu Palma, kita merenungkan kisah sengsara Kristus (Passio), maka Passio dibacakan. Passio di Minggu Palma diambil bergiliran dari Injil Matius, Markus, Lukas, secara bergantian selama tahun A, B, C.

      Nah, jadi pembacaan kisah sengsara Yesus (Passio) pada saat Minggu Palma, itu memang sesuai dengan arti dan maksud perayaan Minggu Palma sendiri, yaitu untuk mulai memperingati sengsara dan wafat Kristus. Bahwa kisah penyambutan Kristus di Yerusalem sebagai raja, tidak terpisah dari kisah sengsara-Nya; malahan menandainya sebagai awal penderitaan-Nya. Sebab Kristus yang pada hari Minggu Palma ditinggikan sebagai raja,  beberapa hari kemudian disesah dan dibuang sebagai yang terhukum.

      Demikianlah, sebagaimana Jumat Agung  tidak berdiri sendiri, namun selalu mengarah dan berada dalam kesatuan dengan Minggu Paskah, maka Minggu Palma juga tidak terpisahkan dari maksud Pekan Suci, untuk menghantar umat semakin menghayati makna pengorbanan Kristus dalam kisah sengsara dan wafat-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Saya tanya, apakah upacara liturgi perkawinan beda agama atau beda gereja boleh memakai misa (komuni), atau pemberkatan saja tanpa misa? Karena saya melihat ada imam yang membolehkan ada yang tidak. Bagaimana ketentuan hukum dan peraturan liturginya? Terimakasih. Salam: Isa Inigo.

    • Isa Inigo yth,

      Liturgi perkawinan beda agama, sebaiknya dilangsungkan dalam Ibadat Sabda, bukan dalam Misa. Preferensi ni didasarkan pada pertimbangan bahwa Ekaristi dengan komuni adalah perayaan umat beriman katolik yang sama-sama percaya bahwa dalam Doa Syukur Agung, roti dan anggur biasa berubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus. Orang yang bukan Katolik tidak percaya akan hal ini, dan saudara-saudari yang protestan hanya menerima roti dan anggur sebagai simbol Tubuh dan Darah Yesus Kristus, bukan sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Agar rasa tersinggung dapat dihindarkan, sebaiknya memilih perayaan perkawinan dalam bentuk ibadat Sabda di luar Ekaristi (pemberkatan saja tanpa misa). Lihat Pedoman Umum Upacara Perkawinan no. 10 (Ende, 1976), petunjuk pelaksanaan upacara perkawinan mempelai Katolik dengan mempelai Kristen dari Gereja lain, no. 57-59, 67. Lihat juga no. 77-91 bila dilangsungkan perkawinan antara mempelai Katolik dan mempelai bukan Kristen.

      Salam dan doa. Gbu.
      Pst. B.Boli Ujan, SVD.

      • Terimakasih Pastor Boli. Saya tanya ke pastor yang memberi misa pada saat perkawinan beda agama dan beda gereja.Lalu jawabannya katanya itu oleh alasan pastoral, di mana pihak Katolik ingin menerima ekaristi dan termasuk tokoh umat sedangkan pihak tidak Katolik mau menghormati ekaristi dan mau dengan kidmad mengikuti ekaristi. Apakah ada yang namanya alasan pastoral itu? Kalau begitu dengan alasan itu pastor bisa semaunya? Apakah itu alasan pastoral sebenarnya? Demikianlah Pastor. Mohon maaf. Salam saya: Isa Inigo

        • Isa Inigo yth,
          Yang disebut oleh pastornya sebagai alasan pastoral adalah “pihak Katolik ingin menerima Ekaristi dan termasuk tokoh umat sedangkan pihak tidak Katolik mau menghormati Ekaristi dan mau dengan khidmad mengikuti Ekaristi”. Alasan itu berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan iman umat terutama pengantin yang Katolik. Ini keinginan umat yang Katolik dan disetujui oleh yang bukan Katolik, jadi bukan maunya pastor itu sendiri. Pastor mendengarkan permohonan yang Katolik dan kesediaan yang bukan Katolik, lalu melayaninya karena bermanfaat untuk pembinaan iman umat dan kesatuan umat beriman yang meski berbeda agama tetapi mau saling menghormati. Lain halnya kalau pihak bukan Katolik berkeberatan, sebaiknya dilaksanakan perayaan peneguhan perkawinan dalam Ibadat Sabda bukan dalam Ekaristi.

          Salam dan doa. Gbu.
          Pst. Bernardus Boli Ujan, SVD.

  4. Salam Rm. Boli dan Tim Katolisitas,

    Terima kasih banyak atas penjelasannya, dengan demikian saya semakin memahami tentang liturgi stasional dalam tradisi dan sejarah liturgi Gereja. Sesuatu yang sangat menarik tentang sejarah liturgi Paus dan bagaimana statio atau paroki lain (yang dalam liturginya) mengungkapkan perseketuannya sebagai Gereja lokal dan universal dengan Paus atau Uskup, ketika mereka mendapatkan hosti, Tubuh Kristus, dari Ekaristi yang dirayakan Paus.
    Dulu perna ada di Indonesia (mungkin sampai sekarang) petugas/prodiakon/akolit/katekis membawa hosti yang sudah dikonsekrir pada perayaan hari Minggu itu ke stasi-stasi dalam Perayaan Sabda Hari Minggu / Hari Raya di stasi dengan komuni suci. Apakah hal ini mengungkapkan makna yang sama dengan liturgi stational ini? Apakah praktek ini masih diperbolehkan menurut pedoman liturgi sekarang?

    Terima kasih dan salam.

    • Dear katolisitas,

      Sebagaimana penjelasan Romo Boli tentang Liturgi Stasional, suatu tradisi yang masih berlangsung sampai sekarang, Paus Benediktus XVI memulainya pada hari Rabu Abu, diawali di Basilik St. Anselmus, prosesi penitensiel menuju Basilik St. Sabine : pemberkatan dan penerimaan abu serta misa Rabu Abu.
      Sesuatu yang sangat menarik dan mengesankan. Bisa dilihat di link ini (lumayan panjang hampir 2 jam) dan maaf krn bahasa pengantar bahasa prancis

      http://www.ktotv.com/videos-chretiennes/emissions/nouveautes/ceremonie-a-rome-messe-des-cendres/00057034

    • Phiner yth,

      Perayaan Sabda Hari Minggu dan Hari Raya tanpa imam, yang dipimpin asisten imam atau petugas pastoral yang telah disiapkan dan dilantik untuk tugas di stasi-stasi yang jauh dari pusat paroki memang sampai sekarang masih dilaksanakan di Indonesia. Ada sekitar 70% tempat perayaan di seluruh Gereja di Indonesia yang pada Hari Minggu dan Hari Raya tidak mendapat kesempatan merayakan Ekaristi, tetapi memperoleh kesempatan untuk merayakan Ibadat Sabda tanpa imam. Sebenarnya menurut pedoman umum ibadat ini, pemimpin awam yang sudah dilantik (akolit atau pelayan komuni tak lazim) dapat memimpin ibadat dan membagi komuni kepada umat dalam perayaan itu tetapi dengan syarat hosti kudus yang dibagikan, haruslah hosti kudus yang dibawa hari itu dari gereja terdekat yang merayakan Ekaristi. Dan syarat ini rasanya amat sulit untuk dipenuhi di kebanyakan stasi terpencil dan jauh dari pusat gereja paroki yang merayakan Ekaristi pada hari bersangkutan. Maka pada tahun 1989, dalam Sidang Dewan Pleno Komisi Liturgi KWI, diputuskan agar sebaiknya dalam Perayaan Sabda Hari Minggu dan Hari Raya tanpa imam, tidak diberikan komuni. Tetapi Keuskupan yang mempunyai alasan pastoral yang kuat dapat memberikan ijin khusus, seperti misalnyya pada Hari Raya Natal dan Hari Raya Paskah dapat dibagikan komuni, bila selama setahun atau 6 bulan tidak ada perayaan Ekaristi di stasi itu, dan hosti kudusnya bisa disimpan di tempat itu beberapa hari/minggu sebelumnya. Dengan cara ini persatuan persaudaraan sebagai orang beriman dapat dipelihara.

      Salam dan doa. Gbu.
      Pst. B.Boli SVD.

Comments are closed.