Pertanyaan:

Salam damai sejahtera

Dear Pengasuh katolisitas

Apa yang dimaksud dengan luasnya bumi (bhs Ingris lebarnya bumi) dalam Ayub 38 : 18 (Apakah engkau mengerti LUASnya bumi? Nyatakanlah, kalau engkau tahu semuanya itu.)

Salam
Mac

Jawaban:

Shalom Machmud,

Sebelum membahas pertanyaan anda tentang maksud ayat Ayub 38: 18, saya ingin mengulas sedikit tentang Kitab Ayub itu sendiri. Sebab perikop Ayub 38 tersebut berkaitan dengan maksud kitab Ayub secara keseluruhan.

Fr. Dominique Barthelemy O.P, seorang pakar Kitab Suci, menulis dalam bukunya God in His Image, An Outline of Biblical Theology,  menempatkan Kitab Ayub di awal ulasannya, untuk menjelaskan pentingnya membaca Kitab Suci dengan melihat secara keseluruhan. Ini yang disebutkan kondisi yang disyaratkan untuk memahami teologi biblis, yaitu ((Dominique Barthelemy O.P, God in His Image, An Outline of Biblical Theology, (New York: Sheed and Ward, 1966), p. ix)):
1. Tidak bisa kita memutuskan satu kitab dengan kitab lainnya, sebab Kitab suci adalah sebuah satu kesatuan.
2. Kita harus memusatkan kepada apa yang hendak dikatakan oleh Tuhan tentang Diri-Nya kepada kita.

Ringkasannya (menurut A Holy Commentary on Holy Scripture, ed Dom Orchard):

Kitab Ayub menceritakan kepada kita tentang seseorang yang hidup di tanah Us, kaya dengan hewan ternak peliharaannya, hasil tanah miliknya dan jumlah anak-anaknya. Namun atas hasil pembicaraan di surga, Tuhan mengizinkan ujian bagi Ayub, dan satu persatu dari segala miliknya diambil daripadanya mulai dari anak-anak dan harta miliknya. Namun Ayub tetap setia dengan berpegang bahwa “Tuhan sudah memberi, Tuhan yang mengambil kembali, terpujilah Tuhan.” (1:21)

Namun kemudian datanglah ujian berikutnya  di mana ia mendapat penyakit yang menjijikkan, sampai istrinya tidak dapat memberikan dukungan moral lagi, menyuruh Ayub mengutuk Tuhan lalu mati. Namun iman Ayub lebih besar daripada iman istrinya, dan sekali lagi menunjukkan imannya: “Jika kita menerima hal yang baik dari Tuhan, mengapakah kita tidak menerima yang buruk?” (2:10)

Lalu tiga teman-teman Ayub datang, Elifas, Bildad dan Zofar. Mereka melihat kondisi Ayub yang menyedihkan, dan rasa kasihan mereka hilang, sebab mereka yakin mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang sedang dikutuk oleh Tuhan. Mereka seperti orang-orang pada jaman itu beranggapan bahwa berkat kekayaan adalah penghargaan Tuhan bagi kebajikan, dan musibah adalah hukuman Tuhan atas dosa. Maka melihat kondisi Ayub yang mengenaskan mereka berkesimpulan bahwa hal ini disebabkan oleh dosa-dosa Ayub.

Ayub telah menderita selama berbulan-bulan. Ayub telah menjadi seorang yang kurus kering (19:20). Oleh karena kekerasan sikap teman-temannya, dan kepahitannya karena tak menerima simpati dari teman-temannya itu, maka setelah pengalaman penderitaan mental dan fisik yang lama, maka kesabaran Ayub yang luar biasa itu akhirnya sirna, dan ia mulai mengucapkan penyesalan, mengapa Tuhan membiarkan dirinya hidup.

Maka teman-temannya mulai memberikan pandangan mereka sesuai dengan pengertian mereka sendiri tentang Tuhan, yaitu: Ayub bersalah, dan layak dihukum. Jika Ayub bertobat maka semua akan menjadi baik kembali. Namun Ayub menolak interpretasi ini. Ia mengetahui bahwa ia tidak bersalah dan tidak dapat menerima bahwa ia bersalah. Ia mengakui telah melakukan pelanggaran-pelanggaran kecil yang umum dilakukan manusia (13:26; 14:4), tapi tidaklah sepadan dengan penderitaan yang harus ditanggungnya sekarang. Maka terjadilah pergumulan di jiwa Ayub: ia mengetahui bahwa Tuhan itu adil, namun kelihatannya yang dilakukan Allah terhadapnya sungguh tidak adil. Ayub-pun selalu yakin bahwa perlakuan Tuhan terhadap manusia adalah sebanding dengan perbuatannya. Maka jiwanya bergolak. Teman-temannya memberikan jawaban, namun ia dalam hati nuraninya menolak mempercayainya.

Maka kedua hal ini yang kelihatannya tidak sesuai: keadilan Tuhan yang sempurna dan dirinya yang tidak bersalah. Maka Ayub menuduh Tuhan telah memperlakukannya dengan tidak adil (27:2) maka ia berharap untuk bertemu dengan Tuhan untuk menyatakan kasusnya, dan ia percaya segalanya akan baik kembali (23:3-7) seolah-olah Tuhan tidak tahu fakta yang sebenarnya. Tetapi sebenarnya Ayub tahu bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia tidak ada yang luput dari pengetahuan Allah (16:20). Ini adalah bentuk pergumulan dalam jiwa Ayub, walaupun ia percaya bahwa pada akhirnya keadilan Tuhan akan dinyatakan baginya (19:23-27).

Pada saat ini, Elihu menyampaikan pandangannya. Ia kesal terhadap para pendahulunya yang tak dapat mempertahankan keadilan Tuhan dan meyakinkan Ayub akan kesalahannya. Ia menekankan bahwa penderitaan dan musibah tidak saja merupakan ganjaran/ hukuman tetapi juga bersifat mengobati demi pertobatan.  Oleh penderitaan, Tuhan membuka telinga orang yang menderita untuk menarik diri dari perbuatan yang jahat (36:7-12; 33:14-28). Elihu memaparkan tentang kuasa Tuhan yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan jawaban Tuhan.

Jawaban Tuhan sendiri datang di dalam badai untuk mengakhiri debat (Ayb 38-42). Ia mengajarkan bahwa manusia tidak seharusnya mengetahui segala rahasia tentang rencana Tuhan. Bagian manusia adalah mengakui, tidak hanya kuasa Tuhan namun juga kebijaksanaan-Nya dan oleh karena itu dengan rendah hati menerima pengaturan alam semesta dan memasrahkan diri pada penyelenggaraan-Nya walaupun hal itu melampaui pengertian manusia yang kecil. Maka untuk menjelaskan hal ini, Tuhan menjabarkan pelajaran tentang kuasa Tuhan yang dinyatakan dengan penciptaan dunia, keajaiban penciptaan terang, hujan, salju, dan alam binatang. Lagi dan lagi Ayub dibawa kepada pengertian bahwa ia tak sedikitpun memahami akan hal ini. Bagaimana Ayub yang tidak mengerti sedikitpun tentang kejadian alam yang terjadi sehari-hari, mengharapkan untuk memahami pengaturan Tuhan akan moralitas dunia dan mengapa ia begitu berani menempatkan dirinya sendiri sebagai hakim atas benar atau tidaknya pengaturan Tuhan itu?

Penjelasan ini membuat Ayub menyadari kesalahannya (Ayb 42). Ia menjawab dengan rendah hati bahwa ia telah berbicara tidak sepantasnya, dan tak ingin menambahkan lagi. Maka Allah menutup pengajaran-Nya dengan menyatakan kuasa-Nya dan ketidakberdayaan manusia. Ayub lalu mengakui kemahakuasa-an Tuhan dan pengertiannya yang sungguh lemah. Ia menyesali perkataannya dan bertobat. Tuhan akhirnya menegur teman-teman Ayub atas kesalah- ucapan mereka, namun mengampuni mereka atas permohonan Ayub. Tuhan mengembalikan Ayub dengan ukuran dua kali lipat dari apa yang dipunyainya terdahulu. Ia kembali diberkati dengan banyak keturunan dan wafat di usia yang lanjut dalam keadaan berlimpah.

Maka, kitab Ayub ini pada dasarnya mempertanyaan eksistensi manusia. Maka dalam kitab ini seolah terjadi dua drama: 1) manusia ‘berbunga’ namun kemudian ‘dipotong’ [Ayub yang termasuk kaya dan diberkati, tiba-tiba dalam sekejap kehilangan segalanya]; 2) Tuhan membawa si manusia yang lemah itu ke hadapan penghakiman-Nya dan menuntut keadilan daripadanya.

Nah ayat Ayub 38:18 itu berada dalam perikop di mana Tuhan memberikan pengajaran-Nya kepada Ayub, untuk menyadarkannya akan kelemahannya sebagai manusia. Manusia tidak mengerti luasnya bumi yang diciptakan Allah pada awal mula dunia, sebab manusia belum ada pada saat itu. Bahkan setelah manusia diciptakan sekalipun, manusia tidak dapat memahaminya. Tentu yang dimaksud bukan luas bumi/ diameter bumi secara ilmu pengetahuan, namun maksudnya adalah pengertian akan luasnya bumi secara keseluruhan.

Ayat ini senada dengan ayat-ayat lainnya pada perikop itu; seperti apakah engkau pernah mendatangkan fajar (ay. 12), turun ke dasar samudera (ay. 16), pernah mendatangkan hujan (ay. 26), menumbuhkan rumput (27), melepaskan kilat (ay. 35)?

Maka jika kita melihat ayat Ayub 38:18 sebagai bagian dari kesatuan seluruh perikop, kita mengetahui bahwa ayat itu merupakan sebagian dari penjelasan Tuhan kepada manusia akan keterbatasan pengertian manusia, dibandingkan dengan pengetahuan Tuhan akan segala sesuatu. Ayat ini merupakan bagian dari jawaban Tuhan kepada Ayub, pernyataan tentang Diri-Nyakepada manusia tentang kemahakuasaan-Nya.

Semoga kitapun dapat belajar dari kitab Ayub ini, sikap kerendahan hati di hadapan Tuhan, yang mengakui keterbatasan kita di dalam segala hal dan mengakui kemahakuasa-an Tuhan yang mengatasi segala sesuatu. Semoga kita juga dapat menerima segala penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi di dalam hidup ini dengan iman dan pengharapan, bahwa jika kita menjalani hidup ini dengan setia, maka suatu saat nanti keadilan dan kasih Tuhan akan dinyatakan bagi kita.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

13 COMMENTS

  1. syaloom……dari mana manusia tahu percakapan Tuhan dgn iblis dlm kitab Ayub tolong dijelaskan dgn hikmat yaaa ?””’Jbu

    • Shalom Kardila,

      Pertanyaan serupa dengan pertanyaan Anda adalah dari mana Nabi Musa mengetahui percakapan Tuhan dengan Adam dan Hawa? Bukankah Nabi Musa tidak pernah bertemu dengan Adam dan Hawa, sebab di zaman ia hidup, Adam dan Hawa telah wafat berabad- abad sebelumnya?

      Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kitab Suci ditulis atas ilham Roh Kudus, jadi memang tidak seperti penulisan buku sekular yang umumnya mensyaratkan sang penulis menjadi saksi kejadian, atau kalau tidak, artinya tulisan tersebut bisa merupakan imajinasi semata dari penulisnya. Namun bukan ini yang terjadi dalam penulisan Kitab Suci. Kitab Suci ditulis atas ilham Roh Kudus, walaupun menggunakan kemampuan dari manusia penulis kitab; dan karena kitab- kitab ini ditulis atas inspirasi Roh Kudus, maka bukan merupakan khayalan penulis.

      Katekismus Gereja Katolik mengajarkan tentang hal ini demikian:

      KGK 105    Allah adalah penyebab [auctor] Kitab Suci. “Yang diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab Suci telah ditulis dengan ilham Roh Kudus”.”Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh 20:31; 2 Tim 3:16; 2 Ptr 1:19-21; 3:15-16), dan dengan Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja” (Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum (DV) 11).

      KGK 106    Allah memberi inspirasi kepada manusia penulis [auctor] Kitab Suci. “Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya – sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka – semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh” (DV 11).

      KGK 107    Kitab-kitab yang diinspirasi mengajarkan kebenaran. “Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Kitab Suci mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita” (DV 11).

      Demikian, maka apa yang tertulis pada Kitab Ayub diyakini umat Kristiani sebagai kebenaran yang dinyatakan Allah kepada umat-Nya. Khusus tentang mengapa di kitab Ayub Tuhan bercakap- cakap dengan Iblis , sudah pernah ditanyakan, dan sudah pernah ditanggapi, silakan klik. Tentang penjelasan makna Kitab Ayub, silakan membaca penjelasan dari St. Thomas Aquinas di link ini, silakan klik; dan penjelasan St. Gregorius Agung tentang Kitab Ayub, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Syaloom Pak Stef dan bu inggrid,
    Mohon bantuan dan penjelasannya mengenai kitab Ayub.
    Saya bingung setelah membaca Kitab Ayub khususnya Ayub 1:6-9 yang menurut saya aneh.

    *Keanehan pertama disitu disebut anak-anak Allah (Anak Allah banyak/lebih dari satu), sedangkan yang kita imani adalah Yesus adalah PUTRA TUNGGAL ALLAH (anak Allah hanya satu). yang jika benar Allah memiliki anak lebih dari satu maka doktrin bahwa Allah Bapa = Allah Putra adalah salah.

    *Keanehan ke dua.
    Disitu Iblis dan Allah berkomunikasi, seolah iblis itu hamba Allah (atau minimal tidak bermusuhan) sedangkan di kitab Wahyu iblis yg merupakan AntiKris adalah musuh Yesus/Allah.
    mohon kesediaan pak Stef/Bu Inggrid memberikan penjelasan kitab Ayub tsb.

    Satu lagi pertanyaan ringan saya: mengapa saat masa natal, di gereja maupun sekolah2 Katolik membuat gua natal? Sejak kapan tradisi tsb ada, karena setahu saya Yesus lahir di kandang domba titik, apa memang di Betlehem kandang domba tempat Yesus lahir berada di dalam gua?

    Terimakasih, Gbu all

    • Shalom Adi Hermawan,

      Untuk menanggapi pertanyaan Anda, saya mengacu kepada penjelasan St. Thomas Aquinas tentang Kitab Ayub (St. Thomas Aquinas, Commentary on the Book of Job), yang seluruhnya dapat dibaca di link ini, silakan klik:

      1. Siapakah ‘anak- anak Allah’ dalam Kitab Ayub tersebut?

      ‘Anak-anak Allah’ (Ay 2:1) yang dimaksud di sini adalah para malaikat.

      Silakan membaca penjelasannya lebih lanjut di sini, silakan klik.

      2. Dalam Kitab Ayub, Mengapa Iblis bercakap-cakap dengan Allah?

      Dengan penjelasan St. Thomas Aquinas, kita memahami bahwa percakapan antara Allah dan Iblis terjadi sebagai pernyataan intelektual yang dinyatakan Allah kepada Iblis, agar Iblis mengetahui bahwa segala sesuatu yang dilakukannya berada di bawah penglihatan dan pemeriksaan Allah. Percakapan ini dan keseluruhan implikasinya dimaksudkan Allah agar manusia mengetahui bahwa: 1) pencobaan/ bencana yang terjadi pada orang benar bukan terjadi karena perintah Allah, namun  terjadi atas izin Allah; 2) hal itu terjadi agar segala kebajikan orang-orang benar dan maksudnya yang benar, dapat dinyatakan kepada semua orang. Dengan prinsip ini pula kita ketahui bahwa Iblis bukanlah hamba yang melayani Allah, namun sebagai penentang Allah yang tak akan dapat melampaui Allah.

      Silakan membaca penjelasannya lebih lanjut di sini, silakan klik.

      3. Yesus lahir di gua atau di kandang?

      Silakan membaca jawaban dari pertanyaan ini di sini, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Shalom Bu Inggrid,
    Dalam Alkitab ada ada kitab yang bernama Ayub . Dimana menurut yang saya baca adalah kitab tertua dalam alkitab . Siapakah yang menulis kitab Ayub itu & siapakah Ayub itu sehingga dimasukkan dalam Alkitab . Apakah sebutan Tuhan dalam kitab Ayub sama sperti sebutan Tuhan dari kitab PL lainnya . Karena 5 kitab pertama dalam PL adalah tulisan dari Musa yang sudah mengenal Yehova sbg Allah.

    • Shalom Budi Yoga,

      Berikut ini adalah sekilas tentang Kitab Ayub yang saya sarikan dari link ini, silakan klik.

      1. Siapa Ayub? Mengapa kisahnya dimasukkan dalam Kitab Suci?

      Para Bapa Gereja menganggap Ayub sebagai seseorang yang benar- benar ada dalam sejarah. Kata ‘Ayub’ sendiri artinya adalah yang teraniaya, yaitu seseorang yang dicobai dengan penderitaan. Memang terdapat perkiraan/ asumsi bahwa Ayub hidup lebih dahulu dari Nabi Musa, terlihat dari panjangnya umurnya. Ia tidak muda lagi saat kesengsaraannya terjadi (Ayb 12:12; 30:1) dan setelah ia dipulihkan, ia masih hidup seratus empat puluh tahun lamanya (Ayb 42:16). Kekayaannya menyerupai kekayaan para patriarkh, terutama kawanan ternak (Ayb 1:3, 42:12). Ayub sendiri mempersembahkan korban selaku bapa dari keluarganya (Ayb 1:5), seperti kebiasaan Patriakh (nabi- nabi sebelum Musa). Persembahan kurban penebus dosa seperti ditentukan oleh hukum Musa tidak dikenal di kitab Ayub, yang ada adalah kurban sembelihan (Ayb 1:5, 42:8).

      Ayub bukan termasuk bangsa Yahudi, hidup di luar tanah Palestina. Dikatakan ia hidup di tanah “sebelah timur” (Ayb 1:3). Ungkapan ini mengacu kepada tanah Arab (Kej 25:6) dan Aram (Bil 33:7). Maka kemungkinan Ayub adalah seorang Aram, yang tinggal di tanah Us. Ayub adalah seseorang yang paling penting di tanah itu (Ayb 1:3; 29:25), kemungkinan adalah raja.

      Namun walaupun Ayub bukan orang Israel, namun kisahnya memuat pengajaran ilahi dari Tuhan, yang menyatakan bahwa Allah dengan kebijaksanaan dan penyelenggaraan-Nya membimbing semua kejadian- kejadian di dunia (lih. Ayb 28, 38). Allah mengatasi manusia, termasuk manusia yang berhikmat sekalipun. Perkataan Elifas ini (Ayb 5:13) dikutip oleh Rasul Paulus dalam 1 Kor 3:19. Maka tema utama yang dikisahkan kitab ini adalah masalah penderitaan dan kaitannya dengan penyelenggaraan Tuhan; terutama penderitaan orang- orang benar yang jika dipikul sampai akhir dapat membuahkan kebaikan. Maka Kitab Ayub mengajarkan teladan kesabaran, dan penghiburan bagi semua orang yang menderita. Ketidak- beruntungan bukan tanda kebencian Tuhan, tetapi seringnya bahkan merupakan bukti akan cinta Allah.

      2. Siapa pengarang Kitab Ayub?

      Memang pengarang Kitab Ayub tidak diketahui namanya, demikian juga periode yang pasti tentang kapan kitab tersebut dituliskan. Banyak orang yang memperkirakan bahwa kitab Ayub merupakan karya Ayub sendiri, atau oleh Nabi Musa. Namun secara umum, kitab itu diyakini disusun tidak lebih awal dari kejayaan Raja Solomo namun lebih awal dari jaman nabi Yehezkiel. Sebab di kitab Yehezkiel menyebutkan tentang kitab Ayub, dalam Yeh 14:1-20. Acuan kepada kitab Ayub juga terdapat pada kitab Yesaya, Amos, Ratapan, Mazmur dan Yeremia.

      3. Apakah sebutan Tuhan dalam Kitab Ayub sama dengan sebutan Tuhan dalam kitab lainnya?

      Kata ‘Allah’ (Yehovah) memang tidak banyak disebut di kitab ini, kecuali sekali di Ayb 12:9; sedangkan kata ‘Tuhan’ disebutkan di ayat 28:28. Namun jelas di dalam kisah itu dijabarkan bahwa Ayub dan teman- temannya menyembah Allah yang satu, sehingga ini mengacu kepada Tuhan Allah yang dikenal oleh bangsa Israel.

      Demikian yang dapat saya tuliskan sekilas tentang Kitab Ayub. Selanjutnya tentang ringkasan kitab Ayub, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. Syalom Bu Inggrid

    Dalam kitab Ayub dikatakan bahwa Tuhan mengembalikan dua kali lipat dari apa yang ia punyai dahulu dan memberkati dengan banyak keturunan. Yang ingin saya tanyakan apakah Ayub menikah lagi dengan perempuan yang lain atau kembali kepada istri yang telah menyuruhnya mengutuk Tuhan.

    Salam
    Febriana

    • Shalom Febriana,

      Kitab Suci tidak menyatakan bahwa Ayub menikah lagi dengan perempuan lain. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa istri Ayub ini akhirnya juga bertobat dari segala kepahitan walaupun tidak secara literal tertulis dalam Kitab Suci. [Ia memang turut menderita bersama Ayub, dengan kehilangan ke-10 anaknya yang meninggal dan turut menguburkan mereka]. Maka perkiraan atas pertobatan istri Ayub adalah bahwa Ayub memperoleh sepuluh orang anak lagi seperti disebutkan dalam Ayub 42:13. Karena tidak disebut bahwa Ayub menikah lagi, maka diperkirakan anak- anak itu lahir dari istri yang sama.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Pada bagian awal kitab ini, di kisahkan sepertinya iblis itu masih bisa bolak-balik ke sorga dari bumi. Apakah hal ini bisa ditafsirkan secara harafiah, dalam arti hingga sekarang iblis masih pulang pergi bumi-surga-surga-bumi. Maaf pertanyaan seperti anak kecil ya bu Ingrid

    • Shalom Saulus,
      Di awal kitab Ayub dikisahkan adanya semacam ‘pertemuan’ antara Allah dan para malaikat-Nya, seperti yang juga pernah dituliskan di kitab Raja-raja, berdasarkan penglihatan Mikha (lih. 1 Raj 22:19). Pada kesempatan itu memang Allah mengizinkan Iblis (yang pada dasarnya adalah malaikat yang telah jatuh dalam dosa/ fallen angel) menguji iman Ayub dengan melenyapkan harta miliknya.
      Perlu kita ketahui Allah adalah Omnipresent (Maha hadir di mana-mana) sehingga sebenarnya bukan Iblis yang bisa ‘jalan-jalan’ ke surga; namun Allah yang dapat, seturut dengan kebijaksanaan-Nya, untuk mengizinkan Iblis datang kepada-Nya. Inilah yang dikisahkan dalam Kitab Ayub. Kita mengetahui dari kitab Wahyu bahwa pertarungan antara malaikat yang baik dan yang jahat berakhir dengan dibuangnya Iblis dan segala malaikatnya ke bumi. Mereka adalah mahluk spiritual, tidak bertubuh, sehingga kita tidak melihat mereka dengan mata manusia. Namun kuasa jahat mereka mempengaruhi manusia di dunia. Oleh sebab itu, Rasul Petrus mengajarkan,
      “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.” (1 Pet 5:8)
      Maka, memang kita harus selalu berjaga- jaga, mengenakan semua perlengkapan senjata Allah, seperti yang diajarkan oleh Rasul Paulus (lih. Ef 6:10-20) agar jangan sampai kita jatuh di dalam perangkap Iblis.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

      • Ibu Inggrid yang kami kasihi dan hormati

        saya ingin menanyakan sesuatu. saya pernah membaca sebuah artikel di internet yang menyadur karya Fr. Fortea. Saya tidak tahu apakah karya Fr Fortea ini telah menerima nihil obstat, imprimatur dan dinyatakan sebagai bagian dari ajaran resmi GEreja Katolik, atau tidak.

        tetapi apa yang menarik di artikel itu adalah usaha Fr. Fortea menjelaskan siapa itu setan. Setan, sebagai makhluk spiritual, tentu tidak mengenal ruang sehingga saya setuju dengan Ibu bahwa sebenarnya “iblis jalan-jalan” itu sebuah ungkapan. selanjutnya Fr. Fortea menjelaskan bahwa iblis, setelah memutuskan secara sadar utk tidak menaati Allah, menjadi semakin jauh dari Allah, kendati Allah terus memberikan rahmat utk rekonsiliasi. terjadilah peperangan besar dan iblis terusir dari Surga. sebenarnya kata “perang” dan “terusir” juga harus dilihat dengan hati-hati. tapi yang penting adalah sekarang iblis terpisah sepenuhnya dengan Allah. si iblis membawa neraka-nya sendiri. neraka adalah suatu keadaan terpisah dari Allah. sebaliknya Surga adalah keadaan bersama Allah. yang mau saya tanyakan: dengan asumsi seperti ini, tentunya tidak benar bila Allah bisa bertemu dengan iblis karena saat itu neraka-nya iblis akan hilang, dengan kata lain iblis-nya bertobat. bukannya iblis selalu menolak Allah apapun rahmat yang diberikan Allah? ataukah asumsi ini yang salah? memang Tuhan Yesus pernah berdialog dengan iblis tapi itu terjadi di dunia yang mengenal ruang sedangkan dialog yang terjadi antara Allah dan iblis di kitab Ayub terjadi di wilayah spiritual. Allah memang Maha Kuasa dan Maha Hadir tetapi pertemuan antara Allah dan iblis adalah suatu kesalahan filosofis, sama seperti pertanyaan “Apakah Allah bisa menciptakan batu yang begitu berat sehingga tidak bisa diangkat oleh siapapun, termasuk DiriNya sendiri?” atau “Apakah Allah dapat menggambar segitiga yang bulat?”

        selanjutnya Rm Oscar Lukefahr dalam A Catholic Guide to the Bible, bila saya tidak salah ingat, mengatakan bahwa Ayub tidak pernah hidup. Saya tidak tahu pandangan resmi Gereja dan para Bapa dan saya akan tunduk pada pandangan resmi Gereja Katolik mengenai Ayub. tetapi dengan asumsi bahwa Ayub tidak pernah hidup dan kitab Ayub adalah kitab pengajaran, masalah ini lebih mudah dimengerti yaitu sebagai usaha penulis kitab Ayub membangun setting cerita. Inti pengajaran kitab Ayub akan lebih mudah dimengerti bila ada “prolog” mengapa Allah mengizinkan iblis mencobai Ayub. ternyata Allah mengizinkan cobaan menimpa orang benar utk kemuliaan Allah yang lebih besar dan pemurnian manusia. utk itu dibuat prolog yang sebenarnya tidak terjadi. dengan kata lain, pertemuan Allah dengan iblis adalah gaya cerita penulis Kitab Suci.

        mohon pencerahan Ibu
        terima kasih

        • Shalom Alexander Wang,

          Dalam menginterpretasikan Kitab Suci, Gereja Katolik mengajarkan prinsipnya, yaitu bahwa ayat- ayat dalam Kitab Suci mempunyai arti literal dan arti spiritual; dan arti spiritual terdiri dari tiga jenis, yaitu allegoris, moral dan anagogis (lihat KGK 115-117). Tentang keempat prinsip ini sudah pernah dibahas di sini, khususnya pada point III.3, silakan klik. Dengan berpegang pada keempat prinsip ini, maka jika kita membaca Kitab Suci, pertama- tama kita harus menangkap arti literal/ harafiahnya terlebih dahulu, baru kemudian melihat apakah ada arti spiritual/rohaninya. Prinsip ini juga menjaga agar kita tidak terlalu cepat mengatakan bahwa suatu kisah dalam Kitab Suci ‘tidak sungguh-sungguh ada/ terjadi’. Sebab kecuali jika kisah tersebut jelas disebut sebagai perumpamaan atau ungkapan yang jelas bersifat kiasan, umumnya apa yang ditulis dalam Kitab Suci adalah suatu yang sungguh terjadi, dan bukan hanya sekedar dongeng yang bermakna spiritual.

          1. Apakah tokoh Ayub adalah tokoh nyata atau fiksi?

          Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan Anda apakah tokoh Ayub itu sungguh nyata atau hanya fiktif, mari mengacu kepada penjelasan St. Thomas Aquinas tentang Kitab Ayub (untuk penjelasan St. Thomas selengkapnya silakan klik di link ini), demikian kutipan terjemahannya:

          “Tetapi ada beberapa orang yang berpendapat bahwa Ayub bukanlah seseorang yang ada dalam keadaan kodrati/ nyata, tetapi bahwa ini adalah sebuah perumpamaan yang dibuat untuk menjadi semacam tema untuk mempertanyakan tentang penyelenggaraan [dari Allah], sebab orang-orang sering membuat kasus-kasus untuk dijadikan sebagai contoh dalam perdebatan. Meskipun tidak terlalu menjadi masalah bagi maksud penulisan kitab ini, apakah kasusnya demikian atau tidak, tetaplah hal ini berpengaruh terhadap kebenaran itu sendiri. Sebab pandangan tersebut nampaknya bertentangan dengan otoritas Kitab Suci. Di dalam kitab Yehezkiel, dikatakan bahwa Tuhan bersabda, “…biarpun di tengah-tengahnya berada ketiga orang ini, yaitu Nuh, Daniel dan Ayub, mereka akan menyelamatkan hanya nyawanya sendiri karena kebenaran mereka.” Jelaslah bahwa Nuh dan Daniel adalah tokoh yang nyata, dan karena itu, tidaklah perlu diragukan tentang Ayub yang adalah orang ketiga yang terhitung di antara mereka. Juga, Rasul Yakobus berkata, “Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.” (Yak 5:11). Oleh karena itu, seseorang harus percaya bahwa tokoh Ayub adalah seorang laki-laki di dalam keadaan kodrati/ nyata.” (St. Thomas Aquinas, Commentary on the Book of Job, Prologue)

          2. Bagaimana setan bisa bercakap-cakap dengan Tuhan seperti dikisahkan dalam kitab Ayub?

          Juga tentang pertanyaan ini, mari mengacu kepada penjelasan St. Thomas Aquinas, demikian:

          “Seseorang harus melihat bahwa ‘berbicara’ dapat dimengerti dalam dua cara, sebab kadang kala ‘berbicara’ mengacu kepada konsep [pembicaraan] di dalam hati; kadang kala mengacu kepada pengertian yang olehnya konsep [pembicaraan] dinyatakan ke luar. Di dalam cara yang pertama, tindakan Allah berbicara adalah kekal dan itu tak lain adalah ‘melahirkan’ Sang Putera, yang adalah Firman-Nya sendiri. Dengan cara yang kedua, Allah berbicara sesuatu di dalam kurun waktu, namun di dalam cara- cara yang berbeda sesuai dengan kepada siapakah Ia berbicara. Sebab Tuhan berbicara di banyak kesempatan dengan orang-orang yang mempunyai perasaan jasmani dengan suara yang dapat terdengar yang terbentuk di dalam suatu subyek ciptaan, seperti suara yang terdengar saat Pembaptisan Kristus dan Transfigurasi-Nya, “Ini adalah Anak-Ku yang Kukuasihi…. ” (Mat 3:17; 17:5). Kadang kala Ia berbicara melalui penglihatan imajiner seperti yang sering dibaca di kitab- kitab para nabi. Kadangkala [Tuhan berbicara] melalui ekspresi intelektual, dan Tuhan harus dipahami berbicara dengan cara ini, dengan Iblis, sejauh bahwa Ia [Tuhan] membuatnya mengerti bahwa hal-hal yang dilakukannya dilihat oleh Tuhan….” (St. Thomas Aquinas, Commentary on the Book of Job, ch. I, Second Lesson)

          Dengan demikian tidaklah menjadi masalah tentang mengapa atau di mana Allah berbicara dengan Iblis ini -mengingat bahwa Allah adalah Roh dan demikian juga Iblis juga adalah mahluk rohani yang tidak terbatas oleh ruang. Asalkan kita menerima faktanya bahwa Allah sungguh telah berbicara kepada Iblis, yang sebelum kejatuhannya, diciptakan Allah sebagai malaikat, dan karena itu, adalah hak Allah untuk memberitahukan kepadanya bahwa segala sesuatu yang dilakukannya dilihat oleh Tuhan/ ada dalam penyelidikan Tuhan.

          Saya tidak dalam posisi menilai apa yang ditulis oleh Fr. Fortea atau Fr. Oscar Lukefahr. Namun mari kita melihat bersama prinsip yang sudah diajarkan oleh St. Thomas Aquinas ini, yang juga sesuai dengan apa yang diajarkan di dalam Katekismus Gereja Katolik. Semoga dengan prinsip ini kita dapat dengan lebih baik melihat makna ayat-ayat dalam Kitab Suci, secara khusus dalam kitab Ayub. Untuk memahami Kitab Ayub, silakan membaca ulasan makna literalnya dari penjelasan St. Thomas Aquinas, silakan klik di link ini; sedangkan untuk makna spiritualnya dari penjelasan St. Gregorius Agung, silakan klik di link ini.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. Shalom
    Bu Inggrid

    Penjelasan Ibu mengenai kitab ayub sangat bagus, terperinci dan mudah dipahami. Tuhan memberkati, amin.

    regards
    martha

Comments are closed.