[Hari Minggu Biasa XXV: Am 8:4-7; Mzm 113:1-8; 1Tim 2:8; Luk 16:1-13]
Seorang ibu merindukan agar suaminya dapat mengimani Yesus dan dibaptis. Tapi konon suaminya menolak, dengan alasan, “Nanti dulu, Ma. Papa belum siap, sebab sekarang ‘kan Papa masih sibuk dagang…” Lalu ibu tersebut menyahut dengan berseloroh, “Memangnya orang dagang nggak bisa ikut Tuhan Yesus?” Demikianlah, kebanyakan pedagang cenderung punya segudang akal untuk mengelabui pembeli agar memperoleh untung sebanyak- banyaknya. Dan mungkin, karena itu selalu ada konflik batin dalam diri sang pedagang, karena tahu bahwa kalau ia mengimani Tuhan Yesus, ia tak dapat lagi melakukan akal-akalan semacam itu lagi.
Rupanya pergumulan serupa juga telah terjadi di tengah bangsa Israel di zaman Nabi Amos. Takaran gandum mereka buat lebih kecil, harga dinaikkan dan timbangan dipalsukan, dan membuat banyak orang, terutama orang miskin, tambah susah. [Di zaman sekarang, orang memalsukan vaksin, menghapus tanggal kedaluwarsa, ataupun menyuap pejabat]. Karena itu, Allah menegur kecurangan ini, sebagaimana kita dengar di Bacaan Pertama hari ini. Mungkin kita tidak menjual gandum, tidak juga memalsukan timbangan, tetapi dalam bentuk lainnya, kita semua dituntut untuk hidup jujur. Artinya, tidak mencari keuntungan dengan cara yang tidak benar di hadapan Tuhan.
Tapi ternyata hal menghitung untung rugi dan memikirkan kepentingan diri sendiri juga terjadi dalam kehidupan rohani. Ada kecenderungan bahwa kita pun bersikap serupa saat berdoa dan memohon kepada Tuhan. Lebih mudah bagi kita untuk berdoa untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga kita, tapi mungkin sedikit porsi kita berikan untuk mendoakan orang lain, apalagi untuk mendoakan dunia. Apa untungnya mendoakan orang lain, apalagi yang tidak kita kenal? Namun, firman Tuhan mengingatkan kita, “Panjatkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur kepada Allah bagi semua orang, bagi pemerintah dan penguasa, agar kita dapat hidup aman dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Itulah yang baik dan berkenan kepada Allah…” (1Tim 2:1-3). Alasannya ada di ayat berikutnya, yaitu bahwa Allah, “menghendaki agar semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” Demikianlah Allah menghendaki kita memiliki hati yang besar, agar tidak hanya memikirkan keselamatan diri sendiri, tetapi keselamatan orang lain juga. Sebab dengan mendoakan keselamatan dunia artinya kitapun mendoakan keselamatan diri kita juga. Dengan memikirkan keselamatan kekal, otomatis kita pun diingatkan untuk menjalani urusan kita di dunia dengan jujur dan benar, sebab itulah yang berkenan pada Allah.
Tuhan Yesus melalui Bacaan Injil mengingatkan kita satu hal lagi. Yaitu agar kita setia dalam perkara-perkara kecil. Ini penting, sebab kejujuran dan kebenaran dalam melakukan segala sesuatu, itu dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Itu juga dimulai dari keputusan kita untuk selalu memilih mengabdi Allah, daripada mengabdi kepada Mamon, yang artinya adalah kekayaan. St. Sirilus mengatakan, “… Tuhan kita membukakan mata hati kita, dengan menjelaskan apa yang telah dikatakan-Nya, maka kalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapa yang akan mempercayakan harta sejati kepadamu? Maka apa yang terkecil adalah Mamon yang tidak jujur, yaitu kekayaan duniawi, yang nampak sebagai bukan apa-apa bagi orang-orang yang bijaksana secara surgawi… Seseorang setia dalam hal kecil, ketika ia membantu mereka yang tertunduk karena dukacita. Jika kita tidak setia dalam hal-hal kecil, bagaimana kita akan memperoleh harta sejati, yaitu karunia rahmat ilahi yang menghasilkan buah, dengan menanamkan gambar Allah di jiwa manusia? Tapi bahwa perkataan Tuhan condong kepada arti ini… sebab kata-Nya, Dan jika kamu tidak setia dalam hal yang menjadi milik orang lain, siapa yang akan memberi kepadamu apa yang menjadi milikmu sendiri?” (St. Cyril, Catena Aurea, Luk 16:8-13).
Saudara-saudariku terkasih, Tuhan Yesus menghendaki agar kita mengabdi kepada-Nya dengan hati yang tidak terbagi. Ia mau agar kita melayani-Nya dengan sepenuh hati, dan dengan segala talenta yang Ia percayakan kepada kita: bakat, waktu dan harta milik. Dan Tuhan menghendaki agar ini dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Kita perlu mengarahkan segala sesuatu kepada Tuhan: seluruh pekerjaan kita, rencana-rencana kita, waktu luang kita…. Yesus ingin agar kita menjadi murid-Nya yang koheren, yang menyesuaikan perbuatan kita dengan iman kita. Sebab jangan sampai Tuhan hanya urusan di hari Minggu, sedang hidup dari hari Senin sampai Sabtu, tidak nyambung dengan apa yang Tuhan ajarkan. Ya, pedagang, pengusaha, dokter, insinyur, pengacara, guru, artis, pelajar, ibu rumah tangga,… semua pekerjaan ini dapat dibuat menjadi sarana bagi kita untuk menjadi saksi Kristus. Dengan menjadi saksi-Nya, kita memenuhi panggilan kita untuk hidup sebagai anak-anak Allah. Dengan demikian, kita—meminjam perkataan St. Sirilus—“menanamkan gambar Allah” di jiwa manusia, yaitu di jiwa kita dan di jiwa sesama kita. Semoga rahmat Tuhan membantu kita menerapkan ajaran Kristus, yaitu: kejujuran, kebenaran, dan cinta kasih, dalam pekerjaan kita, mulai dari hal-hal yang kecil… agar kelak Tuhan Yesus berkenan mempercayakan hal yang besar, yang diberikan-Nya menjadi milik kita yang sejati: yaitu keselamatan jiwa kita. Amin.