[Minggu Adven ke II: Yes 11:1-10; Mzm 72:1-17; Rm 15:4-9; Mat 3:1-12]
Walk the talk. Jalanilah apa yang kita katakan. Demikianlah motto yang terdengar sederhana, namun tidak begitu sederhana untuk diwujudkan. Di hari Minggu pekan Adven yang kedua ini kita diajak untuk merenungkan tentang teladan Yohanes Pembaptis. Salah satu pesannya yang utama adalah agar kita bertobat: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat!” (Mat 3:2). Sebab pertobatan merupakan persiapan batin yang tiada tergantikan untuk menyambut kedatangan Tuhan. Yohanes Pembaptis sendiri hidup dalam ulah tapa yang tanpa kata telah menyampaikan dengan lantang, pertobatannya sendiri untuk menyambut kedatangan Kristus sang Mesias. Tak heran ada banyak orang yang mendengarkannya, lalu mau mengakui dosa mereka dan meminta untuk dibaptis (lih. Mat 3: 4-6). Sungguh, Yohanes Pembaptis adalah seorang tokoh yang istimewa, sebab ia melaksanakan sendiri apa yang diajarkannya. Demikian pula, dunia sekarang ini lebih membutuhkan teladan, daripada pengajar. Paus Paulus VI pernah berkata, “Orang modern lebih mau mendengarkan para saksi iman daripada pengajar, dan kalaupun ia mendengarkan para pengajar, itu disebabkan karena mereka adalah para saksi iman.” (Evangelii Nuntiandi, 41) Maka, jika kita menghendaki agar anak-anak, suami atau istri kita bertobat dan kembali ke jalan Tuhan, pertama-tama kita perlu bertanya, sudahkah kita sendiri bertobat? Jika kita berkata bahwa Natal adalah hari peringatan kasih Allah yang terbesar, sudahkah kita sendiri berbuat sesuatu untuk mempersiapkannya, untuk Tuhan dan untuk sesama yang membutuhkan uluran kasih Tuhan melalui kita? Maukah kita sedikit berkorban untuk menyalurkan kasih Tuhan ini?
Melihat teladan Yohanes Pembaptis, kita didorong tidak hanya untuk bertobat, tetapi juga untuk selanjutnya menjalani kehidupan sehari-hari dalam kerendahan hati dan kejujuran. Kerendahan hati Yohanes Pembaptis nampak juga dalam bagaimana ia memperkenalkan dirinya. Ia tidak mengatakan, “Aku anak Zakaria, seorang imam dari rombongan Abia…” (lih. Luk 1:5), untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga terpandang. Tetapi yang dikatakannya adalah, “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan!…. (Yoh 1:23). Ya, hanya sebagai ‘suara’. Lagi dikatakannya, “Aku membaptis kamu dengan air…, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya (Mat 3:11). Padahal Yohanes Pembaptis sesungguhnya adalah tokoh yang penting, sebab padanya terangkum dua peran sekaligus, yaitu sebagai nabi terakhir dalam Perjanjian Lama, dan sebagai nabi pertama yang merintis kedatangan Yesus dalam Perjanjian Baru. Bahkan Tuhan Yesuspun mengakui keistimewaan Yohanes Pembaptis (lih. Mat 11:11). Namun demikian, Yohanes tetap tinggal dalam kerendahan hati dan kejujuran untuk menyatakan jati dirinya. “Aku bukan Mesias” (Yoh 1:20), demikian jawabnya, ketika beberapa imam bertanya kepadanya. Kejujuran dan keteguhannya untuk menyatakan apa yang benar dan apa yang salah bahkan akhirnya menggiringnya sampai kepada kematiannya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita cenderung menganggap diri penting dan istimewa? Dapatkah kita melihat bahwa Tuhanlah yang penting dan istimewa, sedangkan kita hanya pembuka jalan agar semakin banyak orang mengenal Dia?
Demikianlah Yohanes Pembaptis memberi contoh kepada kita, terutama jika kita terlibat dalam karya-karya kerasulan, katakese ataupun pengurus di lingkungan, wilayah atau kegiatan gerejawi lainnya. Sebab jangan sampai kita lebih banyak mewartakan diri sendiri, daripada mewartakan Kristus. Mari di pekan Adven kedua ini kita memeriksa batin, apakah perkataan dan perbuatan kita sehari-hari sudah mewartakan Kristus atau belum. Mari kita melihat kepada teladan Yohanes Pembaptis, supaya kita terdorong untuk senantiasa bertobat, hidup dalam kerendahan hati dan kejujuran. Semoga kita dapat berkata bersama Yohanes Pembaptis, “Ia [Kristus] harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” (Yoh 1:30). Dan semoga kita dimampukan oleh Tuhan untuk mewujudkannya.
Perkembangan umat Katolik (secara kwantitatif) di berbagai Paroki terkesan begitu lamban. Ada paroki yang dalam 10 tahun, hanya ketambahan 80 orang. berarti setahun hanya 10 orang masuk katolik (entah dari gereja kristen lain atau non kristen). Menyikapi kenyataan ini,para petinggi Gereja (maksdu daya : Pastor dan Dewan Paroki) berkelit :ah..yang penting bagi kita kan kwalitasnya, bukan kwantitas. Tapi apa yang mau kita katakan jika umat kitalah yang justru menyeberang ke gereja kristen lain dalam grafik yang semakin meninggi? pertanyaan dan permenungan kita adalah : Apakah Gereja Katolik itu DISUKAI oleh semua orang seperti halnya Gereja Perdana?
Apakah para pelayan gereja sungguh mewartakan Kristus? ataukah mewartakan diri sendiri? Kita boleh saja berbangga dengan menjamurnya denominasi gereja yang baru didirikan. Namun tidak boleh juga menutup mata terhadap kenyataan bahwa banyak orang Katolik yang justru menyeberang karena daya tarik mereka dalam hal pelayanan dan perhatian penuh kelembutan kasih.
Gereja membutuhkan Johanes Pembaptis yang baru; Yohanes Pembaptis yang jujur, rendah hati, lantang dalam pewartaan dan…..walk the talk serta…..talk less do more (keteladanan hidup). semoga…..
Shalom Daminanus,
Nampaknya hal perkembangan umat Katolik itu berbeda-beda di setiap paroki. Kalau melihat di dua paroki terdekat di mana saya berdomisili, perkembangannya dapat dikatakan sangat baik/ pesat, dan mencapai ratusan orang setiap tahunnya. Mungkin secara rata-rata, perkembangan umat Katolik di seluruh dunia memang naik, walaupun tidak dapat dikatakan pesat. Hal ini dikatakan oleh artikel Catholic News Service, yang memuat berita-berita dari Vatikan, klik di sini.
Memang seharusnya Gereja berkembang pesat juga secara kuantitatif, walaupun bukan itu ukuran utamanya. Sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk mewartakan Kabar Gembira, supaya sebanyak mungkin orang mengenal Kristus. Para murid Kristus dipanggil untuk manampilkan wajah Kristus yang mengasihi, kepada semua orang. Inilah yang dilakukan oleh Gereja perdana, dan juga harapannya, oleh Gereja saat ini. Walaupun di dalam Kisah para Rasul dikatakan bahwa jemaat perdana itu disukai semua orang (Kis 2:47), namun kenyataannya, ada juga kelompok orang yang tidak menyukai mereka saat itu. Sebab faktanya Gereja perdana itu dikejar-kejar dan dianiaya. Hampir semua para Rasul wafat sebagai martir. Di sepanjang sejarah Gereja, memang keadaan ini terus terjadi, bahwa di samping Gereja diterima baik secara umum, namun ada juga keadaan di tempat-tempat tertentu, Gereja dianiaya, mengalami tekanan baik dari pihak pemerintah tertentu maupun masyarakat sekular yang merasa tidak ‘nyaman’ dengan Gereja Katolik yang seperti Yohanes Pembaptis, dengan tegas menyampaikan ajaran kebenaran, contohnya menolak aborsi, pemakaian alat kontrasepsi, perkawinan sesama jenis, dst, di saat banyak gereja-gereja lain mulai memperbolehkannya.
Hal pelayanan dan perhatian kasih memang merupakan hal yang perlu dan harus ditingkatkan oleh Gereja Katolik. Demikianlah maka bapa Uskup Agung Msgr. Ignatius Suharyo menekankan spiritualitas Gembala yang baik, baik kepada para imam, maupun kepada umat beriman, untuk saling memberi perhatian kasih dan melayani tanpa pamrih. Demikian pula yang kita lihat pada teladan kepemimpinan Paus Fransiskus. Namun demikian, pelayanan kasih ini tidak dimaksudkan untuk mengaburkan kebenaran ajaran iman, sebab Gereja tetap mempunyai tanggung jawab di hadapan Tuhan untuk menyatakan apa yang salah dan apa yang benar. Jika kasih dan kebenaran ini sudah disampaikan seiring dan sejalan, maka Gereja sudah melaksanakan tugasnya. Selanjutnya, tentang pertumbuhan Gereja secara kuantitatif, mari kita serahkan kepada Tuhan. Namun bagian kita adalah sedapat mungkin melaksanakan bagian kita, yaitu untuk melaksanakan ajaran/ kehendak Tuhan, yang sudah kita ketahui, dan bahkan kita sampaikan kepada orang lain. Walk the talk.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom pak Stefanus dan ibu Ingrid, terimakasih untuk renungan advennya yang sangat memberkati. Saya mohon ijin share. Salam kasih.
[Dari Katolisitas: Silakan saja, asalkan Anda cantumkan sumbernya, dari katolisitas.org. Terima kasih.]
Comments are closed.