Sumber gambar: https://www.lds.org/scriptures/nt/luke/10.25-37?lang=eng

[Hari Minggu Biasa XV: Ul 30:10-14; Mzm 69:14-37; Kol 1:15-20; Luk 10:25-37]

“Wah, sepertinya di Surga tak ada ahli hukum (lawyer)…. Sebab sudah sepanjang segala abad, batas antara Surga dan neraka tak bisa dinegosiasi…. Selain itu, kami-kami ini bawaannya memang mencari celah hukum… ” Demikian joke yang pernah dilontarkan oleh salah seorang teman yang mantan lawyer. Entah mengapa, lekat di pikiran kita, para ahli hukum umumnya pandai memaknai kata-kata dalam suatu peraturan,  demi mendukung suatu argumen, atau demi negosiasi untuk memenangkan kepentingan pihak yang sedang dibelanya. Tapi nampaknya, sikap macam ini juga terdapat dalam diri kita, walau kita bukan ahli hukum. Kita cenderung mencari pembenaran diri, terutama jika kita gagal melakukan perintah Allah dengan sepenuhnya.  Bacaan Injil hari ini menegur dan mengingatkan, agar kita waspada terhadap sikap “mau terlihat sudah benar” sendiri, padahal sesungguhnya kita masih jauh dari itu.

St. Sirilus menjelaskan, “Sebab terdapat sejumlah orang yang berkeliling ke seluruh negeri Yahudi, yang mendakwa Kristus dengan mengatakan bahwa Ia menganggap perintah-perintah nabi Musa tidak berguna dan bahwa Ia memperkenalkan ajaran-ajaran yang aneh. Seorang ahli hukum (ahli Taurat) bermaksud menjerat Kristus dengan tuduhan bahwa Ia melawan Musa. Ahli hukum itu datang dan mencobai Kristus. Ia memanggil Kristus sebagai ‘Guru’ walaupun ia bukan murid-Nya. Dan karena Tuhan kita biasa berbicara kepada mereka yang datang kepada-Nya mengenai kehidupan kekal, maka sang ahli hukum ini turut mengambil gaya bahasa tersebut. Dan karena ia mencobai Kristus dengan halus, maka ia tidak menerima jawaban yang lain daripada perintah yang telah diberikan oleh Nabi Musa. Sebab dikatakan, Yesus berkata kepadanya, Apa yang tertulis dalam hukum Taurat (hukum Musa)? Apa yang kau baca di sana? Ketika sang ahli hukum menjawab hal-hal yang terkandung dalam hukum itu, Kristus yang mengetahui segala sesuatu, memotong jaring-jaringnya yang penuh tipu daya. Sebab dikatakan, dan Yesus berkata kepadanya, Jawabmu itu benar! Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.

Sang ahli taurat, ketika dipuji oleh Penyelamat kita karena telah menjawab dengan benar, menjadi sombong, dengan berpikir bahwa ia tidak memiliki ‘sesama’, seolah tak ada seorang pun yang bisa dibandingkan dengannya dalam hal kebajikan. Maka dikatakan, tapi untuk membenarkan dirinya sendiri, ia berkata lagi kepada Yesus, ‘Dan siapakah sesamaku?’… Dari kelicikan yang dengannya ia mau mencobai Kristus, ia beralih kepada kesombongan. Tapi di sini dengan bertanya, siapa sesamaku, ia membuktikan kepada dirinya sendiri, bahwa ia tak punya kasih kepada sesamanya, sebab ia tidak menganggap seorang pun sebagai sesamanya. Demikian pula ia tak punya kasih kepada Allah, sebab ia yang tidak mengasihi sesama yang dapat dilihatnya, tak dapat mengasihi Allah yang tidak dapat dilihat-Nya.

…maka tepatlah  Tuhan kita bertanya kepada ahli hukum itu; siapakah di antara ketiga orang ini yang menjadi sesama manusia bagi orang yang telah jatuh ke tangan penyamun itu? Kata sang ahli hukum, orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya. Sebab bukan imam maupun suku Lewi yang menjadi sesama bagi orang yang menderita itu, tetapi hanya orang Samaria itu yang berbelas kasihan kepadanya. Sebab percumalah martabat imamat dan pengetahuan sebagai ahli hukum Taurat, jika mereka tidak meneguhkannya dengan perbuatan-perbuatan baik. Oleh karena itu, Yesus berkata kepada ahli hukum Taurat itu, Pergilah dan perbuatlah demikian!” (St. Cyril, Catena Aurea (Luk 10:25-37).

Memang tak berlebihan, jika dikatakan bahwa bacaan Sabda Tuhan hari ini sudah kita ketahui, dan bahkan sudah akrab di pendengaran kita. Mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, itu intinya. Bukankah perintah ini memang sudah sering diulang dalam banyak khotbah dan renungan kita? Namun seberapa jauh kita peka untuk melaksanakannya, itulah masalahnya. Sebab dorongan untuk mencintai Tuhan dan sesama, sebenarnya sudah ditanamkan Allah dalam hati setiap orang. Maka Nabi Musa pun sudah berkata, “Firman itu sangat dekat padamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu; hendaklah engkau melaksanakannya” (Ul 30:14).

Jadi bacaan hari ini mengingatkan kita untuk berbuat kasih.  Menurut St. Faustina, mengasihi sesama itu bisa diwujudkan dengan tiga cara. Pertama, dengan perbuatan kasih, kedua, dengan perkataan dan ketiga, dengan mendoakan. Tentu perbuatan kasih adalah sesuatu yang secara langsung dapat membantu sesama yang sedang kesusahan. Namun jika hal itu tidak dapat dilakukan karena sesuatu hal, kita dapat menghibur mereka dengan perkataan. Jika hal tersebut juga tidak mungkin, kita tetap dapat mendoakan orang tersebut. Semoga Tuhan  memampukan kita untuk terus mengasihi sesama—entah dengan perbuatan, perkataan maupun doa—demi kasih kita kepada-Nya.

Ya Tuhanku, aku mengasihiMu di atas segala sesuatu, dengan seluruh hati dan jiwaku, sebab Engkau sepenuhnya baik dan layak menerima segenap kasihku. Aku mengasihi sesamaku seperti mengasihi diriku sendiri, demi kasihku kepada-Mu. Aku mengampuni semua orang telah menyakiti hatiku dan aku mohon ampun atas segala dosaku yang pernah kulakukan terhadap sesamaku. Amin.”