Keponakan saya yang bernama Jojo, di usianya yang ke-empat dengan logat bicara yang masih cadel, sering mengatakan kalimat / frasa yang dia sendiri tidak tahu artinya, yaitu “ndak matuk akal”(tidak masuk akal). Mungkin karena ia sering mendengar ayahnya (alias kakak saya) mengatakan hal yang sama, maka ia gemar sekali mengucapkannya. Anak-anak memang suka meniru. Apapun pembicaraan yang kebetulan didengar oleh Jojo, akan ditanggapinya dengan kalimat favoritnya itu. Kadang ia akan mengatakannya dengan mimik serius, seolah dia mengerti apa yang sedang dia katakan. Namun kadang dia mengucapkannya sambil berlari ke halaman dengan senyum yang lebar menggoda, membuat saya menjadi gemas, ingin menangkapnya untuk mengacak-acak rambutnya yang halus dan mencubit pipinya yang membal seperti kue bapau. Saya sendiri tidak tahu mengapa kakak saya sering mengatakan kata-kata itu sehingga Jojo menirukannya atau mengapa kata-kata itu yang paling menarik untuk Jojo sehingga menjadi frasa favoritnya. Biasanya saya tidak mampu berbuat lain selain tertawa tergeli-geli sampai lupa sendiri pada apa yang hendak saya katakan.
Saya tidak sering berada di dekat keponakan saya tersayang itu karena saya selalu merantau. Jauh di dalam hati saya selalu merasa rindu kepada Jojo dan ingin terus mengikuti perkembangannya. Seringkali bila saya mengalami situasi yang menjengkelkan atau berhadapan dg orang yang sulit, secara iseng saya bilang saja dalam hati ‘ndak matuk akal ini” dg logat Jojo, untuk menghilangkan kekesalan dan menghibur diri sendiri. Sering kekesalan saya jadi berkurang membayangkan wajah Jojo mengatakan kalimat favoritnya itu. Hati saya menjadi lebih tenang dan kepala menjadi lebih dingin. Kalimat itu sendiri pada saat saya mengingatnya tidak ada artinya. Namun kepolosan dan keceriaan Jojo serta kerinduan saya kepadanya membuat kata-kata itu seperti obat mujarab untuk mengusir keresahan.
Pagi ini di gereja, kepolosan dan ketidak mengertian Jojo sekali lagi menghiasi hati saya saat mendengarkan bacaan Injil mengenai kabar sukacita yang dibawa oleh Malaikat Gabriel kepada Bunda Maria. Kabar itu berisikan pemberitahuan bahwa Bunda akan mengandung seorang Putera dari Roh Kudus. Bunda belum bersuami saat itu. Saya membayangkan betapa bingung dan tidak paham nya Bunda saat mencoba mencerna pemberitahuan ini dengan akal budinya. Betapa mungkin secara manusiawi, Bunda akan berkata kepada malaikat Gabriel bahwa semua yang dikatakan kepadanya itu ‘tidak masuk akal’.
Saya sesekali berdiskusi dengan saudara seiman mengenai Allah, mengenai Tuhan, mengenai Kitab Suci, mengenai rencana Tuhan bagi manusia, dan kata-kata ‘tidak masuk akal’ sering mendominasi perdebatan dan diskusi kami. Mungkin terlalu banyak mengandalkan logika dan pikiran manusia yang terbatas membuat diskusi kami seringkali mentok dan buntu. Saya yakin bila Bunda Maria hanya mengandalkan logika manusianya maka beliau hanya akan berkutat pada ‘tidak masuk akal” dan rencana agung penebusan tidak bisa dilanjutkan. Tetapi apakah akal itu ? darimana akal itu berasal ? Seperti Jojo yang tidak paham apa artinya ‘tidak masuk akal’, berkutat dengan akal tidak membawa kita kemana-mana, mungkin hanya jalan di tempat saja.
Tetapi saya merasa bahwa Bunda berani melangkah lebih jauh daripada sekedar berhenti pada akal. Bunda menyadari ada yang jauh lebih tinggi nilai dan fungsinya daripada akal. Bunda memutuskan untuk berjalan selangkah lebih jauh dengan kacamata iman. Dan saya merasa bahwa di atas segalanya, Bunda Maria yang tetap tidak mengerti keseluruhan rencana Allah, menyediakan diri untuk menjadi mitra Allah untuk bekerja sama dengan Sang Pencipta yang Bunda imani dan kasihi, untuk membuat dunia dan kehidupan menjadi tempat yang lebih baik bagi manusia dan semua mahluk ciptaan.
Dear pengelola situs katolisitas.org.
Saya sangat terbantu sekali dengan adanya situs ini. Juga renungan dan artikel2nya..
Saya mau tanya, untuk ikut mengisi kesaksian iman gimana yah caranya?Kemana saya harus post kesaksian iman saya??
Terima kasih.
NB: saya bisa dihubungi di alamat email yang tercantum dipost reply ini.
Tuhan memberkati.
~benedictus~
Shalom Benedictus Widi,
Terima kasih atas dukungannya untuk katolisitas.org. Kami sangat senang sekali kalau Benedictus dapat memberikan kesaksian iman. Silakan untuk mengirimkannya ke e-mail: katolisitas [at] gmail.com . Kami tunggu kesaksiannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef & ingrid – http://www.katolisitas.org
Salam damai sejahtera
Dear Pengasuh renungan Katolisitas.org
Apa boleh saya ikutan mengisi renungan di situs ini ?
Terima kasih
Machmud
Shalom Machmud,
Terima kasih atas dukungan dan kesediaannya untuk mengisi renungan di katolisitas.org. Namun, saya ingin meminta maaf terlebih dahulu, karena saya tidak dapat memenuhi maksud baik Machmud. Hal ini dikarenakan bahwa katolisitas.org adalah website Katolik yang benar-benar ingin menyajikan apa yang dipercaya oleh Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja. Kalau kita tidak benar-benar percaya akan ketiga hal tersebut sebagai pilar kebenaran, maka kita tidak akan dapat memberikan renungan berdasarkan pengajaran Gereja, dan bahkan dapat bertentangan dengan apa yang diajarkan Gereja Katolik.
Saya yakin Machmud dapat mengerti akan hal ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Salam damai sejahtera
Ok Stef , ngak apa-apa
Terima kasih
Machmud
Salam Damai,
Artikel ini bagus, karena kita manusia berkecederungan mendahulukan logika untuk mengambil tindakan. Tapi Bunda Maria mendahulukan Iman untuk melangkah, walaupun saat itu Bunda Maria juga apakah ini benar2 akan terjadi, tapi Maria tetap terus percaya dan terus berdoa….sama seperti kita, terkadang kita bimbang dalam melangkah dalam hidup tetapi dengan teladan Bunda Maria kita bisa mulai belajar untuk mengambil/melhat sisi positif dari setiap peristiwa hidup dan terus menerus tekun berdoa, berdevosi, berkomunitas, dan mengikuti Ekaresti saya percaya nantinya kita akan menyadari bahwa Tuhan Yesus itu ada disamping kita semua….
Menarik ilustrasinya. Caecilia kelihatan dekat dengan anak kecil keponakannya. Ada yg menarik saya untuk mengomentari kalimat dalam paragraf terakhir ” Bunda Maria yang tetap tidak mengerti, menyediakan diri untuk menjadi mitra Allah ………..dst..”. Maksudnya apa? Tidak mengerti maksud rencana Allah lewat Gabriel tsb ? atau selamanya tidak mengerti kehendak Allah dalam misi penyelamatan manusia lewat diri Yesus, putranya ?
Kalau itu maksudnya, saya punya pikiran sebaliknya. Maria sudah mengerti rencana dan kehendak Allah, namun ia menerimanya dan bersaksi dengan bahagia dan sukacita (lihat Kidung Maria, Luk 1:46-55). Mari kita baca waktu menerima kabar gembira dari malaikan Gabriel (Luk 1: 29-38) sbb :
1:29 Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu.
1:30 Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.
1:31 Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.
1:32 Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya,
1:33 dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.”
1:34 Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”
1:35 Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.
1:36 Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, ia pun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu.
1:37 Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.”
1:38 Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia
Ayat 29-33, nampak Maria masih seperti mengalami “keterkejutan kudus” (kaget, takut, bengong krn pengalaman yg sangat istimewa..).
Ayat 34, Maria mulai sadar dan menggunakan akal sehatnya.
Ayat 35, Maria tetap berpikiran bahwa tawaran Gabriel “ndak matuk akal” (istilah Jojo, red..) ttp Gabriel meyakinkannya.
Ayat 36, Gabriel mulai berusaha menyadarkan Maria, karena dengan menyebut Elisabeth yg dia kenal baik, dan meyakinkan lagi bahwa Elisabeth SUDAH (bukan akan…) mengandung.
Ayat 37, Gabriel lebih meyakinkannya lagi krn Maria mendengar “tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah”
Ayat 38, sudah terbuka hati DAN pikirannya (dua-duanya) berkat daya kerja Roh Kudus atau dipenuhi dengan Roh Kudus (RK). Sejak saat itu RK bekerja sebagaimana dalam perkataan Yesus (… yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu”, ada di Yoh 14 ayatnya lupa….).
Menurut keyakinan saya, Maria sudah mengerti rencana Allah, hanya saja dia menyimpan segala perkara dalam hatinya (kerendahan hati yang sempurna…). Ada petunjuk kalau dia mengerti rencana Allah, pada waktu fait a comply kepada Yesus untuk mengubah air menjadi anggur, waktu pesta di Kana. Saya yakin ini terjadi bukan karena ia ibuNya, tetapi lebih kepada ia mengenal betul siapa Yesus Tuhan kita (konsekuensi ia sudah dipenuhi Roh Kudus).
Jadi keyakinan saya Maria sudah mengerti dan bukan tetap tidak mengerti…. Pula antara iman dan akal budi adalah tidak saling bertentangan atau saling merendahkan salah satu diantaranya, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah sendiri. (ini pendapat saya lho mba Caecilia).
Salam untuk Jojo.
Berkah Dalem
Shalom De Santo dan Psartono.
Terima kasih atas komentarnya. Di dalam renungan di atas, Uti menuliskan "Bunda Maria yang tetap tidak mengerti, menyediakan diri untuk menjadi mitra Allah ………..dst..” Seperti yang Uti katakan di jawabannya bahwa "Sehingga kabar kudus dari Gabriel itu bisa segera beliau cerna dengan kacamata imannya, walau proses menerimanya juga bertahap, karena sebagai manusia yang dikaruniai akal dan nalar, Bunda juga bertanya dan bergumul dalam…".
Memang Bunda Maria adalah satu-satunya manusia setelah Yesus yang dikandung tanpa noda. Namun ada perbedaan besar antara Yesus dan Maria. Di dalam Yesus ada tiga pengetahuan (knowledge), yang terdiri dari: 1) acquire knowledge – seperti manusia dimana dia belajar dari pengalaman melalui panca indra (senses), belajar untuk berjalan, minum, dll, 2) Infused knowledge – seperti yang ditunjukkan oleh para nabi, 3) beatific vision – knowledge inilah yang memungkinkan Yesus sebagai peziarah pada waktu di dunia, namun sekaligus yang telah sampai di Surga. Dan Yesus tidak pernah kehilangan beatific vision ini dari saat "conception" sampai pada akhirnya. Oleh karena itu, iman Yesus tidak berkembang, karena Dia mendapatkan pengetahuan yang penuh dari awal.
Namun di dalam Maria, hanya ada acquire knowledge, infused knowledge (mungkin), dan mungkin beatific vision jika Tuhan memberikannya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu iman Maria senantiasa melangkah satu tapak demi satu tapak. Iman Maria merupakan rangkaian "ya" dari saat menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel, saat di bawah kayu salib, pentakosta, dan sampai akhir hayatnya. Rangkaian jawaban "ya" ini bukan karena Bunda Maria mengetahui secara persis rencana Allah secara penuh dari awal sampai akhir, namun Bunda Maria senantiasa memberikan dirinya secara penuh, sehingga kehendak Allah senantiasa terjadi di dalam kehidupannya. Dan inilah yang membuat Maria menerima mahkota di Surga. Inilah juga yang membuat Maria menjadi model dari Gereja dalam hal iman, kasih, dan kesatuan yang sempurna dengan Kristus (Redemptoris Mater, 5)
Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya berjudul "Redemptoris Mater / Mother of the Redeemer" paragraf 17 mengutip Lk 2:48-50 "48 Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau." 49 Jawab-Nya kepada mereka: "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" 50 Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka." Justru ketidakmengertian inilah dan berjalan setapak demi setapak mengikuti kehendak Bapa, Bunda Maria menjadi model untuk Gereja dalam hal iman dan kasih. "Ya/fiat" dari Bunda Maria adalah begitu istimewa, karena Bunda Maria tidak mengerti secara penuh rencana Allah dari awal. Namun kesatuannya dengan Kristus membuat dia terus menjawab "ya" terhadap rencana Allah, dan dia terus bertumbuh dalam kepenuhan rencana Allah sesuai dengan kejadian di dalam hidupnya.
Untuk itulah, kita harus meneladani Bunda Maria. Kita yang tidak mengerti rencana Allah sepenuhnya dalam kehidupan kita, harus senantiasa bergantung pada Allah seperti Bunda Maria.
Semoga dapat berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Dear Stef/Caecilia,
Shalom,
Perkenankan saya mengkritisi lagi. Bahwa yang saya kritisi adalah alur kesaksian Sdri. Caecilia (Uti) terhadap pribadi Maria.
Awal-awal kesaksian Uti, saya masih bisa mengikuti (sejalan dengan pemikiran saya) bahwa kalau hanya mengandalkan akal saja (maksudnya tanpa dengan iman, red), maka kehendak Allah, melalui Gabriel, tidak bisa diterima Maria dengan sempurna, sehingga misi penyelamatan menjadi tidak jelas, tidak historis lagi. Ini dapat ita lihat perkataan Uti pada paragraf ke-4 : “…..Saya yakin bila Bunda Maria hanya mengandalkan logika manusianya maka beliau hanya akan berkutat pada ‘tidak masuk akal” dan rencana agung penebusan tidak bisa dilanjutkan….”. Sampai di situ, saya bisa sepaham dengan Uti.
Tetapi ketika Uti mau mengakiri kesaksiannya (lihat paragraf 5), dia malah mengaburkan lagi kesaksiannya yang sudah benar, yaitu dengan menyebutkan kalimat :
Pertama :
“Bunda menyadari ada yang jauh lebih tinggi nilai dan fungsinya daripada akal”
Kedua :
“Dan saya merasa bahwa di atas segalanya, Bunda Maria yang tetap tidak mengerti, menyediakan diri untuk menjadi mitra Allah untuk bekerja sama dengan Sang Pencipta yang Bunda imani dan kasihi.
Kalimat yang Pertama tsb, menunjukkan adanya kedudukan yg superior dari iman atas akal. Sementara kita diajarkan bahwa antara iman dan akal budi adalah dua hal yang tidak saling bertentangan dan tidak saling merendahkan satu sama lain. Keduanya saling bekerjasama, ibarat sekeping mata uang yg masing-masing sisinya adalah iman dan akal. Kita bisa belajar hubungan iman dn akal dalam Fides et Ratio (Iman dan Akal budi), ensiklik kepausan yang diumumkan secara resmi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 14 September 1998, atau lihat di sini :
http://id.wikipedia.org/wiki/Fides_et_Ratio
(yang lain mungkin bisa berikan sumber aslinya).
Kalimat yang Kedua tsb, “..Maria tetap tidak mengerti…”, ini justru menunjukkan kesangsian Uti atas daya kerja Roh Kudus yang sudah memenuhi dan melindungi Maria dari kesalahan dan dosa. Bagaimana sampai dikatakan seperti itu ? Atau apa artinya kita diajarkan doktrin “terpujilah engkau diantara wanita….” atau “dikandung tanpa noda (dosa)” atau ” Maria bunda Gereja, bunda orang beriman, bunda Allah, Maria diangkat ke surga, dst…). Sulit menyelaraskan kalimat “Maria tetap tidak mengerti” dengan sebutan, gelar-gelar, pernyataan iman ttg Maria yg kita imani tsb.
Memang di Injil Lk 2:50 dikatakan “mereka (Maria dan Yosef) tidak mengerti…”. Dan perikop ini paralel dengan Lk 8:19-21, sbb :
Luk 8:19 Ibu dan saudara-saudara Yesus datang kepada-Nya, tetapi mereka tidak dapat mencapai Dia karena orang banyak.
Luk 8:20 Orang memberitahukan kepada-Nya: “Ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan ingin bertemu dengan Engkau.”
Luk 8:21 Tetapi Ia menjawab mereka: “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.”
Jadi nampak bahwa orang-orang, umumnya, termasuk Maria, pada saat itu, jika mendengar perkataan Yesus, akan mempunyai pernyataan sikap yang sama, yaitu bahwa perkataan Yesus adalah aneh (orang farisi mengatakan “gila”), tidak lazim, tidak masuk akal, misterius, dsb, (belakangan kita boleh mengerti bahwa Yesus ingin supaya relasi dengan Allah adalah yang paling tinggi, yang utama, dari pada relasi antar manusia, termasuk dalam keluarga kita).
Tetapi jika perikop ini dipakai sebagai petunjuk bahwa Maria tetap tidak mengerti, kog justru kelihatan tidak selaras dengan pernyataan iman ttg Maria di atas. Menurut saya, ketidak mengertian Maria dalam Luk 2:50 tsb adalah atas sikap yang spontan Maria sebagai manusia biasa seperti orang pada umumnya. Tetapi dengan adanya Roh Kudus yang selalu/senantiasa bersama, menerangi dan melindungi Maria, adalah bukan hal yang mustahil bagi Maria, – setelah “kaget” dengar perkataan Yesus, – segera mengerti maksud perkataan Yesus. Bukankah Roh Kudus itu adalah Roh Allah, Roh Yesus juga ? Apa jadinya jika dipenuhi oleh Roh Kudus, tetapi tetap tidak mengerti ?
Jadi pernyataan bahwa Maria tetap tidak mengerti..adalah terasa kurang tepat. Tapi ini pendapat pribadi saya lho. Boleh diterima boleh tidak.
Berkah Dalem
Shalom De Santo,
Terima kasih atas kritiknya. Kita sebenarnya setuju bahwa pada waktu Bunda Maria menerima kabar sukacita, dia mengerti akan permintaan Allah bahwa dia diminta oleh Allah untuk menjadi Bunda Allah. Kalau Bunda Maria tidak mengerti, maka keputusannya bukan berdasarkan pertimbangan bebas. Oleh karena itu, Bunda Maria mengerti akan makna kabar sukacita tersebut. Bahkan Bunda Maria benar-benar menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, sampai dia tidak memikirkan tentang resiko dari keputusannya. Yang dimaksud dengan ketidakmengertiannya adalah bahwa Bunda Maria walaupun mengerti akan permintaan Allah untuk menjadi Bunda Allah, namun dia tidak mengerti akan seluruh rencana Allah, seperti: – Yesus akan menderita dan mati di kayu salib dan bangkit, dan naik ke Surga – pada saat malaikat Gabriel menyampaikan kabar gembira. Kapan Maria mengerti seluruh rencana Allah? Allah melalui Roh Kudus-Nya mewahyukannya kepada Maria setapak demi setapak. Dengan pengertian ini, maka hal ini tidak bertentangan dengan semua gelar Maria.
Namun kalau mungkin kalimat ini “Dan saya merasa bahwa di atas segalanya, Bunda Maria yang tetap tidak mengerti, menyediakan diri untuk menjadi mitra Allah untuk bekerja sama dengan Sang Pencipta yang Bunda imani dan kasihi." dapat menimbukan salah paham, mungkin dapat dibetulkan menjadi: “Dan saya merasa bahwa di atas segalanya, Bunda Maria yang tetap tidak mengerti keseluruhan rencana Allah, menyediakan diri untuk menjadi mitra Allah untuk bekerja sama dengan Sang Pencipta yang Bunda imani dan kasihi." Nanti saya akan diskusikan dengan Uti.
Kemudian tentang hubungan iman dan akal budi, memang keduanya tidak mungkin bertentangan, karena baik akal budi (reason) dan iman (faith) datang dari Allah. Yohanes Paulus mengatakan bahwa "Dua hal ini adalah seperti sayap yang membawa roh manusia kepada kontemplasi akan kebenaran." (Fides et Ratio, intro). Keduanya tidak bertentangan, namun yang lebih tinggi dari keduanya adalah iman. Hal ini dikarenakan kita mempunyai keterbatasan akal budi kita. Sebagai contoh, dengan akal budi kita, maka akan sulit bahkan tidak mungkin untuk mencapai kesimpulan bahwa Allah adalah Tritunggal Maha Kudus. Akal budi kita dapat mencapai Allah adalah satu dan baik dan kasih. Namun Trinitas hanya dapat diterima karena Tuhan menyatakannya kepada manusia. Semoga dapat memperjelas, dan terima kasih atas masukannya. Mari kita mengasihi Maria dengan lebih lagi, sehingga dia dapat membawa kita lebih dekat kepada Yesus, Puteranya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Dear Stef/Uti
Salam Damai kasih Tuhan kita Yesus Kristus,
Permasalahan I (Maria yang tetap tidak mengerti):
Tentang perkataan “Bunda Maria yang tetap tidak mengerti” ditambahkan kata “keseluruhan rencana Allah”, sehingga kalimatnya berbunyi “Bunda Maria yang tetap tidak mengerti keseluruhan rencana Allah,…”. OK, saya bisa menerima usulan Stef, memang harus ada take and give, Terima kasih, saya menghormati Stef selaku moderator di sini. Kita sepakat Permasalah I clear (selesai). Saya salut dan makin bangga pada katolisitas.org.
Permasalahan II (hubungan iman dan akal budi (logika): Yang ini belum clear.
Kita kembali ke ensiklik Paus Paulus II, yang secara keseluruhan, “menyerukan dengan kuat dan keras” bahwa “iman dan filosofi [ maksudnya akal budi ] memulihkan kembali kesatuan mereka yang mendalam yang mampu menyebabkan mereka untuk berdiri secara selaras dengan sifat-sifat mereka tanpa mengorbankan kemandirian mereka sendiri. Kewajiban untuk menyuarakan kebenaran dari iman harus disertai dengan keberanian logika.
Yang juga, oleh beliau, digambarkan lebih sederhana, bahwa “akal budi dan iman adalah seperti dua sayap dimana roh manusia naik untuk mencapai kontemplasi kebenaran”. Dan kata-kata beliau ini telah Stef sunting pada apologi anda dengan judul “Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?”, yang Steff tulis di sini : https://katolisitas.org/bagaimana-membuktikan-bahwa-tuhan-itu-ada/
Dari pengajaran Paus Paulus II di atas, yang juga diamini oleh Stef, tentang ibarat dua sayap, maka saya membuat gambaran aplikatif sbb. bahwa sayap yang kiri adalah AKAL budi, dan sayap kanan adalah IMAN, sementara saya sendiri memposisikan sebagai kepala burungnya. Sebagai kepala, saya harus mengatur kedua sayap untuk terbang sesuai tujuan akhir saya terbang (-yang tentunya pada saat tertentu, jika mau belok kiri, maka sayap kanan harus saya genjot untuk mengepak lebih cepat, yang kiri sebaliknya, atau jika belok kanan, maka sayap kiri harus mengepak lebih cepat dan sayap kanan sebaliknya atau jika jalannya lurus maka kedua sayap harus saya fungsikan dengan kekuatan dan irama yang sama-,). Dan dengan mengatur kerjasama keduanya, saya akhirnya bisa sampai ke tujuan saya terbang, dan saya akan mengatakan “terima kasih ya, kepada keduanya, bukan salah satu. Dan saya tidak mungkin akan mengatakan “hai sayap kanan, fungsimu lebih tinggi dari saya kiri lho” atau mengatakan “hai sayap kiri, fungsimu lebih rendah dari sayap kanan lho, terimalah nasibmu ini”. Saya tidak akan mengatakan seperti itu, karena keduanya – meskipun pada dasarnya bisa mandiri – adalah harus saling bekerja sama (tidak bisa satu sama lain saling merendahkan atau meninggikan, yang satu lebih penting dan yang lain tidak/kurang penting).
Nach, persoalan menjadi lain ketika Stef mengatakan bahwa “Keduanya tidak bertentangan, namun yang lebih tinggi dari keduanya adalah iman (atau sayap kanan, dalam perumpamaan di atas)”, sementara Stef sendiri mengamini bahwa gambaran iman dan akal budi adalah ibarat dua buah sayap. Ini yang mengganngu pikiran saya. Saya harus mengubah “mind set” saya bahwa sayap kanan adalah lebih tinggi (fungsinya) dari sayap kiri. Ya, ya, mudah-mudahan saya bisa, meskipun tidak yakin.
Permasalah II di atas, kita masih berbeda pandangan. Tetapi yang jelas Ini tidak akan mengubah kecintaan kita akan iman yang sudah benar, yaitu dalam GerejaNya yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Amin. Tuhan memberkati pelayanan Stef dan Inggrid.
Berkah dalem.
De Santo
Shalom De Santo,
Mari kita berdiskusi tentang akal budi dan iman. Kita setuju bahwa iman dan akal budi tidak bertentangan dan akan menuntun kita kepada kebenaran itu sendiri atau Tuhan. Dalam hal ini tidak bertentangan bukan berarti bahwa keduanya mempunyai derajat yang sama. Mari kita melihat hubungan keduanya seperti yang dikatakan dalam Katekismus Gereja Katolik
KGK 50: "Dengan bantuan budi kodratinya, manusia dapat mengenalAllah dengan pasti dari segala karya-Nya. Namun masih ada lagi satu tata pengetahuan, yang tidak dapat dicapai manusia dengan kekuatannya sendiri: yakni wahyu ilahi (Bdk. Konsili Vat I: DS 3015.). Melalui keputusan yang sama sekali bebas, Allah mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia, dan menyingkapkan rahasia-Nya yang paling dalam, keputusan-Nya yang berbelas kasih, yang Ia rencanakan sejak keabadian di dalam Kristus untuk semua manusia. Ia menyingkapkan rencana keselamatan-Nya secara penuh, ketika Ia mengutus Putera-Nya yang terkasih, Tuhan kita Yesus Kristus dan Roh Kudus."
KGK 156: "Alasan untuk percaya tidak terdapat dalam kenyataan bahwa kebenaran yang diwahyukan itu kelihatan benar dan jelas dalam cahaya budi kodrati kita. Kita percaya "karena otoritas Allah yang mewahyukan, yang tidak dapat keliru dan tidak dapat menyesatkan" (Konsili Vatikan I: DS 3008). Namun, "supaya ketaatan iman kita sesuai dengan akal budi, maka Allah menghendaki agar bantuan batin Roh Kudus dihubungkan dengan tanda bukti lahiriah bagi wahyu-Nya" (DS 3009). Maka mujizat Kristus dan para kudus (Bdk. Mrk 16:20; Ibr 2:4), ramalan, penyebaran dan kekudusan Gereja, kesuburannya dan kelanjutannya, "dengan sesungguhnya adalah tanda-tanda wahyu ilahi yang jelas dan sesuai dengan daya tangkap semua orang" (DS 3009), alasan-alasan bagi kredibilitas (Bdk. DS 3013.), yang menunjukkan bahwa "penerimaan iman sekali-kali bukanlah suatu gerakan hati yang buta" (DS 3010)."
KGK 157: "Iman itu pasti, lebih pasti dari setiap pengertian manusiawi, karena ia berdasarkan Sabda Allah yang tidak dapat menipu. Memang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dapat kelihatan gelap bagi budi dan pengalaman manusiawi, tetapi "kepastian melalui cahaya ilahi itu lebih besar daripada kepastian melalui cahaya akal budi alamiah" (Tomas Aqu., s.th. 2-2,171,5 obj.3). "Ribuan kesukar-sulitan tidak sama dengan kebimbangan" (J.H. Newman, apol.)."
KGK, 158: "Iman berusaha untuk mengerti (Anselmus prosl.prooem). Orang yang benar-benar percaya, berusaha untuk mengenal lebih baik dia, kepada siapa ia telah memberikan kepercayaannya, dan untuk mengerti lebih baik apa yang telah dinyatakannya. Pengertian yang lebih dalam pada gilirannya akan membangkitkan iman yang lebih kuat, iman yang semakin dijiwai oleh cinta. Rahmat iman membuka "mata hati" (Ef 1:18) menuju suatu pengertian yang hidup mengenai isi wahyu, artinya, mengenai keseluruhan rencana Allah dan misteri iman, demikian juga hubungannya antara yang satu dengan yang lain dan dengan Kristus, pusat misteri yang diwahyukan. "Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui karunia-karunia-Nya" (DV 5). Maka, benar apa yang dikatakan santo Agustinus: "Aku percaya supaya mengerti, dan aku mengerti supaya percaya lebih baik" (serm. 43,7,9)."
KGK, 159: "Iman dan ilmu pengetahuan. "Meskipun iman itu melebihi akal budi, namun tidak pernah bisa ada satu petentangan yang sesungguhnya antara iman dan akal budi: karena Allah sama, yang mewahyukan rahasia-rahasia dan mencurahkan iman telah menempatkan di dalam roh manusia cahaya akal budi; tetapi Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya sendiri, dan tidak pernah yang benar bisa bertentangan dengan yang benar" (Konsili Vatikan I: DS 3017). "Maka dari itu, penyelidikan metodis di semua bidang ilmu, bila dijalankan dengan sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah kesusilaan, tidak akan pernah sungguh bertentangan dengan iman karena hal-hal profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama. Bahkan barang siapa dengan rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki rahasia-rahasia alam, kendati tanpa disadari pun ia bagaikan dituntun oleh tangan Allah yang melestarikan segala sesuatu dan menjadikannya sebagaimana adanya" (GS 36,2)."
KGK 274: "Karena itu, iman kita dan harapan kita dengan paling kuat diteguhkan, kalau kita membawa dalam hati kita keyakinan bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Apa saja yang harus diimani – meskipun mulia, mengagumkan, dan jauh melampaui segala susunan dan takaran ciptaan – budi manusia akan menyetujuinya dengan mudah dan tanpa ragu-ragu, apabila ia telah memahami kabar mengenai Allah yang maha kuasa (Catech.R. 1,2,13)."
KGK, 1706: "Oleh akal budinya, manusia mendengarkan suara Allah yang mengajaknya "untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat" (GS 16). Setiap manusia diwajibkan untuk mematuhi hukum ini, yang menggema di dalam hati nurani dan dipenuhi dengan cinta kepada Allah dan kepada sesama. Dalam tindakan moral tampaklah martabat manusia."
Dari beberapa paragraf yang saya kutip dari Katekismus Gereja Katolik (KGK), maka terlihat jelas hubungan antara akal budi (reason) dan iman (faith). Keduanya memang diperlukan dan tidak bertentangan, namun iman lebih besar tingkatannya daripada akal budi (KGK, 159). Mengapa demikian? Karena akal budi kita adalah terbatas, dan tidak semua orang mempunyai akal budi yang begitu tinggi seperti St. Thomas, St. Augustine, Aristoteles, Plato, dll. Walaupun seseorang mempunyai akal budi yang begitu tinggi, namun tetap bisa salah. Oleh karena itu, hanya dengan akal budi tanpa adanya iman (suatu kepercayaan berdasarkan Wahyu Ilahi), maka sepercik kebenaran akan sulit untuk dicapai dan kalaupun dapat dicapai, maka memerlukan waktu yang lama.
Sebagai contoh, Aristoteles, dengan akal budinya mampu untuk mengetahui bahwa Tuhan adalah satu dan baik. Namun berapa orang tanpa wahyu Ilahi dapat mengetahui bahwa Tuhan adalah satu dan baik? Tidak semua orang sampai pada tahap ini, seperti yang ditunjukkan oleh polytheism. Kalaupun tahu, namun akal budi manusia tidak akan mampu untuk mengetahui bahwa di dalam Tuhan ada tiga Pribadi (Trinitas). Hal ini dikarenakan Trinitas hanya dapat dipercaya bukan karena akal budi, namun karena Tuhan yang mewahyukannya kepada manusia. (Bdk. KGK, 50). Walaupun pada awalnya doktrin Trinitas belum mendapatkan definisi yang baku, namun para bapa Gereja percaya akan Trinitas, karena Tuhan sendiri yang mewahyukannya kepada manusia, seperti yang ditulis di dalam Kitab Suci. Dan karena mereka percaya bahwa Tuhan tidak akan pernah menipu, maka mereka percaya (bdk. KGK, 157). Secara akal budi mereka tahu bahwa Tuhan adalah satu, namun kehidupan interior seperti apa di dalam Tuhan, mereka harus mengandalkan wahyu Allah, dan kemudian menggunakan "argument of fittingness" untuk dapat mengatakan bahwa "oh, itu sebenarnya masuk di akal".
Atau contoh yang lain, dengan pemikiran manusia saja akan sulit membayangkan bahwa Tuhan akan turun ke dunia dan menjadi manusia sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa. Oleh karena itulah, St. Thomas mengatakan bahwa semua ahli filosofi sebelum kedatangan Yesus kalah kalau dibandingkan dengan wanita tua yang mungkin kurang berpendidikan, namun beriman kepada Yesus. Hal ini dikarenakan dengan iman yang didasarkan kepada Allah, maka seseorang dapat memasuki misteri Allah dengan lebih dalam.
Kalau kita mencoba memakai analogi dari Paus Yohanes Paulus II, maka dua sayap (iman dan akal budi) bekerja sama untuk mencapai kebenaran. Analogi membantu kita untuk masuk dalam suatu konsep dan memperoleh pemahaman yang baik tentang hal yang bersangkutan. Dalam hal ini, dua sayap burung adalah untuk menekankan bahwa jangan sampai pencapaian kebenaran hanya berdasarkan iman semata, karena akan menjadi "fundamentalism". Sebaliknya ketergantung pada akal budi semata tanpa dibarengi oleh iman, akan membawa seseorang kepada "materialism" dan "selfishness". Namun kalau ditanya, manakah yang lebih utama? Maka iman adalah yang lebih utama, walaupun tidak mungkin akal budi dan iman saling bertentangan (bdk. KGK, 159). Iman membuat kita ingin mencari lebih dalam akan apa yang kita percayai. Setelah kita tahu, maka kita akan semakin beriman. Jadi sekali lagi, kalau kita mengatakan bahwa iman lebih utama bukan berarti iman dapat dipertentangkan dengan akal budi, karena dua-duanya datang dari sumber yang sama, Tuhan. Namun, iman tetap mempunyai posisi lebih tinggi daripada akal budi, sama seperti mengasihi Tuhan lebih tinggi tingkatannya daripada mengasihi sesama. Semoga dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Dear Stef,
Salam Damai Kasih Tuhan Yesus.
Sebelumnya saya mengatakan bahwa kita mempunyai iman yang benar, yaitu bila kita berada dalam GerejaNya yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Ini janji Allah dalam Mat 16:18-19.
Atas dasar ke-apostolik-an itu, maka saya juga harus menaatinya ajaran itu bahwa iman lebih tinggi dari akal budi.
Terima kasih. Tuhan memberkati pelayanan Stef dan Inggrid, dan juga Caecilia (Uti) yang dengan tulus dan berani memberikan kesaksian imannya. Amin.
Berkah dalem
De Santo
Salam kasih Sdr De Santo,
terimakasih atas tanggapannya lebih lanjut. Saya belajar banyak dari Saudara, dan terimakasih untuk mensharekan link-link penunjang yang menambah wawasan iman dan pengetahuan saya. Maafkan bila pilihan kalimat yang saya pakai mengganjal bagi Saudara. Tentu saya bersedia untuk mengkoreksi kalimat yang saya tulis agar lebih sesuai dengan ajaran iman yang kita yakini bersama. Saya sendiri masih belajar dan rindu untuk terus menimba dari sesama agar bisa lebih dalam mengalami dan menghayati kasihNya. Proses diskusi dan kritik turut mendewasakan iman saya yang sebagian telah saya tuangkan dalam tulisan saya di atas. Perkenankan saya berdiskusi lebih lanjut
1. Untuk kalimat pertama, pak Stef dan saya sudah menjelaskan di jawaban sebelumnya apa yang saya maksud dengan ketidakmengertian Bunda yang saya tuliskan di sana. Penjelasan tersebut saya rasa sudah cukup jelas. Dan saya sangat menyetujui usulan Pak Stef untuk menambahkan di belakang kata-kata “tidak mengerti” tersebut dengan “tidak mengerti keseluruhan rencana Allah”. Terimakasih banyak atas kritikan membangun dari Sdr. De Santo
2. Untuk kalimat kedua, karena sebenarnya sejak semula saya memang tidak bermaksud untuk mempertentangkan peran akal budi dan iman, kata-kata “Bunda menyadari ada yang jauh lebih tinggi nilai dan fungsinya daripada akal” berlaku pada saat itu, pada saat peristiwa itu terjadi, yaitu peristiwa / situasi dimana Bunda diberitahu mengenai Kabar Kudus akan mengandung seorang Putera dari Roh Kudus. Ada saat-saat dalam kehidupan dimana akal tidak cukup mampu untuk mencerna dan merespon peristiwa yang memerlukan reaksi / tindakan kita. Dan saat-saat yang sedang dihadapi Bunda saat itu adalah saat-saat seperti itu. Pada saat dihadapkan pada peristiwa semacam itu dalam hidup, kalau kita hanya mengandalkan akal maka bisa jadi kita telah melewatkan suatu kesempatan yang sangat berharga bagi keselamatan / kehidupan kita. Pengandaian saya yang seperti itu tidak dengan sendirinya selalu menempatkan peran akal di bawah iman. Menurut saya ada peristiwa-peristiwa dalam hidup ini dimana keduanya yang biasanya selalu berjalan beriringan, harus salah satu menjadi lebih dominan, lebih diutamakan. Tanpa sama sekali mengabaikan yang lain. Dan akal budi manusia seperti kita tahu, ada batasnya (terbatas). Akal budi belum sepenuhnya (dan mungkin tidak akan pernah sepenuhnya) mampu untuk mencerna karunia-karunia dan kebijaksanaan Pencipta yang hadir dalam berbagai fenomena dan peristiwa kehidupan.
Sekali lagi terimakasih atas kritik dan diskusinya, serta wawasan-wawasan Sdr De Santo yang kaya, yang telah menjadi sarana pembelajaran yang amat baik bagi pertumbuhan iman dan pengenalan saya akan Dia. Semoga kita bisa sama-sama bertumbuh dalam kasihNya yang kekal. Salam kasih,
Uti
Salam kasih De Santo,
Terimakasih atas tanggapan dan ulasannya berdasarkan kisah disampaikannya Kabar Sukacita dalam Injil yang menjadi dasar iman kita semua. Saya tidak menambahkan apa-apa lagi dari jawaban Pak Stef yang begitu indah dan dalam sehingga iman dan kasih saya kepada Bunda sungguh diteguhkan. Semoga demikian juga bagi Sdr De Santo. Saya hanya ingin menegaskan bahwa tulisan saya di atas tidak bermaksud untuk mempertentangkan peran iman dan akal budi yang keduanya memang anugerah Tuhan. Melalui akal budi Tuhan membawa kita kepada pemahaman-pemahaman yang amat menakjubkan tentang karya-karya Allah bagi manusia dan alam semesta seisinya. Tentu akal budi adalah sarana yang amat istimewa yang membawa kita kepadaNya tanpa diragukan lagi. Namun pesan yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita tidak diciptakan untuk semata-mata mengandalkan akal budi dalam menanggapi karunia-karuniaNya yang amat kaya. Karena Dia juga memberikan kita hadiah istimewa lain yaitu hati nurani dan iman. Bagi saya, melulu mengandalkan / mengagungkan akal, beresiko manusia jadi tidak mampu untuk mengalami secara optimal karya-karya penyelenggaraan IlahiNya yang begitu kaya yang dengan berlimpah dicurahkanNya kepada umat manusia yang dikasihiNya agar mereka bisa mengalamiNya sepenuh-penuhnya. Saya rindu untuk tidak membatasi Dia dengan daya nalar manusiawi kita semata. Demikian sharing saya. Terimakasih untuk salamnya buat Jojo keponakan saya, akan saya sampaikan. Salam kasih dalam Tuhan,
Uti
Dear Caecilia, Menarik ilustrasinya. Saya tergerak untuk menanyakan apa yg anda maksud dg “Bunda Maria yg tetap tidak mengerti..” Kalau maksudnya adlh selama hidupnya Maria tetap tidak mengerti kehendak Allah yg disampaikan melalui Malaikat Gabriel tsb, maka saya meyakini sebaliknya bahwa Maria sudah mengerti. Memang dlm Luk 1:28-34 Maria masih “bengong”, akal budinya msh ditonjolkan. Ayat 35 Gabriel mulai memberikan pengertian lebih dalam. Ayat 36 Gabriel mulai menyadarkan dg menyebut Elisabeth, sdrnya yg dia kenal itu, sdh mengandung bln ke-6. Sebab bg Allah tidak ada yg mustahil. Ayat 38 Maria membuka hatinya dan RK masuk. Sejak itu RK membuka akal-budiinya
udinya
Salam damai Psartono,
Terimakasih atas tanggapan dan koreksi yang jeli dari Saudara Sartono. Karena pesan yang ingin saya sampaikan di sini saya nyatakan dalam bahasa bercerita (story-telling) maka fokus saya memang pada kepasrahan dan kepercayaan total Bunda kepada panggilan Bapa, di atas semua entitas nalarnya sebagai manusia. Saya menyadari bahwa Bunda Maria sendiri dikandung oleh Santa Anna dalam keadaan tanpa dosa, sehingga sejak dalam kandungan, Bunda Maria memang telah dipersiapkan untuk menerima karunia perutusan kudus untuk mengandung Yesus Tuhan kita, putera tunggal Allah. Sepanjang hidupnya Bunda Maria adalah sosok yang amat saleh dan dibesarkan dalam keluarga yang selalu taat kepada Tuhan yang digambarkan dalam kehidupan St Yoakim dan St Anna, orangtuanya. Pada saat Gabriel memberikan kabar indah itu, saya percaya Bunda sudah memiliki sikap dasar penuh dengan iman dan keterbukaan terhadap Roh Kudus. Sehingga kabar kudus dari Gabriel itu bisa segera beliau cerna dengan kacamata imannya, walau proses menerimanya juga bertahap, karena sebagai manusia yang dikaruniai akal dan nalar, Bunda juga bertanya dan bergumul dalam hatinya. Namun sikap iman dan ketaatannya yang telah menyatu dalam jiwanya, membuat semua keraguan manusiawi itu reda dan berganti dengan ketaatan penuh untuk bekerja sama dengan Bapa. Kalaupun saya menggunakan kata-kata, “Bunda yang masih tetap tidak mengerti”, itu hanyalah sarana yang saya gunakan untuk menggambarkan bahwa cinta dan imannya kepada Bapa memampukan Bunda menepikan dengan yakin semua keraguan manusiawinya yang dihasilkan oleh pikiran-pikiran nalar dan logika. Mungkin sarana yang telah saya pilih itu kurang tepat untuk menyampaikan pesan saya di atas dan ini suatu pembelajaran bagi saya untuk menuliskan refleksi iman dengan lebih cermat.
Sekali lagi terimakasih.
Uti
memang menarik tulisan ini, thanks. saya pribadi sering bergumul dengan situasi ini, mempercayaai kisah Allah dan kasihNya memang tidak masuk akal. Akal saya kadang tidak mampu mencerna misteri Agung ini. Tapi Iman dan kesadaran akan keterbatasan akal saya serta pengalaman hidup yang dapat memberi arti semua ini. Terpujilah Allah, Agunglah Nama MU. Ajarilah Kami Untuk Tetap Menjadi UmatMU yang setia. Amin
Comments are closed.