Pertanyaan:
Saya orang awam tentang Alkitab, mohon tanya :
Apa penyebab kematian 10 orang anak2 Ayub yang berlangsung dalam satu hari ? Ini kesalahan siapa ? Kesalahan ke sepuluh anak2 Ayub atau kesalahan Ayub / istrinya ?
Terima kasih
Machmud
Jawaban:
Shalom Machmud,
Berikut ini adalah yang dapat saya sampaikan tentang Kitab Ayub dari berbagai sumber *:
Kitab Ayub memang merupakan kisah tragis tentang seorang pagan (non-Yahudi) yang saleh yang hidup di tanah Us. Kitab ini kemungkinan ditulis di jaman Patriarkh, yaitu pada jaman persembahan korban kepada Tuhan dilakukan oleh kepala keluarga, dan bukan oleh para imam. Maka kisah Ayub ini kemungkinan sudah dikenal sejak jaman Raja Salomo (sekitar 1000 BC). Walaupun kitab ini tidak dimaksudkan sebagai kitab yang menceritakan sejarah, namun tradisi Gereja selalu mengenal Ayub sebagai tokoh historikal (bukan tokoh fiktif).
Alur cerita kitab Ayub dimulai dari dialog antara Tuhan dan Iblis yang berakhir dengan izin yang diberikan oleh Allah kepada Iblis untuk menguji iman Ayub. Ujian inilah yang mendatangkan ‘malapetaka’ dalam kehidupan Ayub, sampai ia kehilangan segala miliknya, termasuk meninggalnya kesepuluh anaknya (lihat Ayb 1). Selanjutnya, Ayub jatuh sakit yang menyebabkan dia dijauhi oleh semua orang. Bahkan istrinya mencelanya. (lihat Ayb 2). Para sahabatnya mengunjungi Ayub, namun mereka bukannya memberi penghiburan, malah mereka menyalahkan Ayub (Ayb 4-31). Dalam pergumulannya, Ayub tetap percaya kepada Allah ( lihat Ayb 12, 19, 23, 26) Dalam kesengsaraannya, Ayub memeriksa batinnya, dan tidak menemukan kesalahan di dalamnya (Ayb 31). Ayub bertanya kepada Allah, namun yang ada hanya keheningan (Ayb 30). Dalam kesedihannya, Ayub kemudian berteriak, memberontak, sehingga akhirnya Allah menjawab, bukan dengan penjelasan atau penghiburan, namun dengan pertanyaan kembali (lihat Ayb 38-42): “Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau memiliki pengertian (Ayb 38:4).” Selanjutnya Allah menjabarkan kebesaran kuasa-Nya dan keadilan-Nya yang telah menciptakan dan mengatur segala alam semesta. Dengan menyesal Ayub mencabut perkataannya dan setelah itu keadaan Ayub dipulihkan (Ayb 42).
Maka dari kisah Ayub ini terdapat pengajaran moral yang dapat diambil:
1) Drama kehidupan Ayub ini diceritakan untuk mengajarkan kepada umat beriman, bahwa ada kalanya manusia menderita tanpa sebab, atau dikenal dengan “the suffering of the just“. Sehingga kematian kesepuluh anak Ayub tersebut bukan menjadi akibat dari dosa Ayub atau istrinya, atau anak-anaknya. Tuhan mengizinkan kemalangan itu terjadi untuk menguji iman Ayub, dan setelah Ayub bertahan dalam iman, dan menyesal dari segala perkataannya ‘mempertanyakan’ keadilan Tuhan, maka Tuhan mengembalikan dan memulihkan keadaan Ayub.
2) Kisah Ayub mennyatakan sifat-sifat keilahian Allah, yaitu, keadilan, ke-Mahakuasa-an-Nya (God’s power and absolute control), kebijaksanaannya, dan juga belas kasihan-Nya yang memperhatikan penderitaan manusia (Ayb 35) dan kesediaan-Nya untuk mengampuni manusia yang bertobat.
3) Manusia berkewajiban untuk menghindari segala bentuk kejahatan [meskipun dalam keadaan yang paling sulit sekalipun], dan manusia harus tunduk pada penyelenggaraan Allah dengan kerendahan hati menerima kehendak Allah, walaupun belum sepenuhnya dapat dimengerti. Dari kitab Ayub ini, kita juga diajarkan untuk memberi perhatian kepada mereka yang lemah, sakit, yatim piatu, dsb.
4) Tidak ada manusia yang sepenuhnya tidak berdosa / innocent (Ayb 4:17; 15:14; 25:4). Pada diri manusia, secara fundamental ada sebuah kenyataan bahwa ia menanggung dosa akibat pelanggaran dari manusia pertama (Adam dan Hawa). [Kekecualian tentu ada pada diri Yesus dan Bunda Maria yang dibebaskan dari akibat dosa asal].
5) Tujuan kesengsaraan adalah pertobatan (Ayb 36); agar manusia menyadari bahwa Tuhan mengatasi segalanya, dan manusia tidak mungkin dapat ‘mengatur’ Allah.
6) Segala yang ada pada manusia adalah sementara, seperti bunga, berkembang dalam sesaat lalu mati.
7) Pada akhirnya, Tuhan akan membawa segala ciptaan-Nya di hadapan tahta keadilan-Nya. Tuhan tidak mengizinkan manusia wafat dengan ilusi bahwa ia telah hidup dengan sepenuhnya melakukan segala sesuatu yang seharusnya [dengan segala keberhasilan]. Sebaliknya, menjelang ajal, manusia wafat dengan perasaan bahwa hidupnya sepertinya lewat begitu saja, dan ia sepertinya menyia-nyiakannya. Maka seseorang harus mempertanyakan mengapa hal ini terjadi, mengapa, manusia tidak dapat memandang Allah dengan percaya diri. Dan manusia akan menemukan jawabannya, bahwa itu diakibatkan oleh dosa asal [yang diturunkan oleh Adam dan Hawa], yang meninggalkan pada diri manusia selama hidupnya di dunia, kecenderungan berbuat dosa.
Jika kemudian kita mengkaitkannya dengan Perjanjian Baru inilah, kita semakin memahami pentingnya Pengantaraan Yesus Kristus. Bahwa pada akhirnya, bagi kita semua yang percaya kepada Kristus, dan hidup seturut perintah-Nya, maka pada saat kita dihadapkan pada hari penghakiman Tuhan, Kristus akan berdiri sebagai Pembela kita (lih. Rom 8:34).
Demikian yang dapat saya tuliskan secara singkat mengenai Kitab Ayub. Semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- https://katolisitas.org
Sumber *:
1) Dom Orchard, A Catholic Commentary on Holy Scripture, (Thomas Nelson and Sons Ltd, London, 1953), p. 419-420.
2) Etienne Charpentier, How to read the Old Testament (Crossroad, New York, 1985) p. 82.
3) Dominique Barthelemy, OP, God and His Image, An Outline of Biblical Theology, (Sheed and Ward, New York, 1966), p. 5, 15.
Kebetulan saya sedang mencari bahan tentang Ayub..
Hari Minggu nanti saya ingin membagikan tentang Ayub kepada anak-anak Sekolah Minggu..
Apa ada referensi yg bagus?
Karena sejak tadi saya selalu mendapat bahan yang terlalu “berat” untuk diceritakan..
Terima kasih :)
[dari katolisitas: coba lihat ini – klik ini]
[quote] Tidak ada manusia yang sepenuhnya tidak berdosa / innocent (Ayb 4:17; 15:14; 25:4). Pada diri manusia, secara fundamental ada sebuah kenyataan bahwa ia menanggung dosa akibat pelanggaran dari manusia pertama (Adam dan Hawa) [unquote]
pemahaman saya ttg dosa asal mungkin perlu koreksi anda – saya pikir dosa asal “cuma” kecenderungan pada dosa, tetapi kalau kecenderungan tsb tidak dilayani ya tidak/belum berdosa.
Bagaimana pula memahami “menanggung dosa akibat pelanggaran dari manusia pertama” – sesuatu yang tidak saya lakukan mengapa pula saya tanggung ? Sulit saya pahami
Mohon koreksi – salam
Shalom Skywalker,
Pemahaman tentang konsep dosa asal/ "original sin" memang tidak mudah. Untuk itu kita perlu melihatnya dari Wahyu Allah dan pengajaran para Bapa Gereja. Umumnya manusia memang melihat sepertinya tidak logis, kalau kita tidak berbuat dosa kok kita turut menanggung akibatnya. Namun dalam hal ini, kita perlu melihat bagaimana maksud Tuhan pada saat menciptakan manusia pertama. Dari Katekismus, kita ketahui bahwa pada saat Allah menciptakan manusia pertama, Ia menginginkan persatuan yang erat antara manusia pertama tersebut dengan semua keturunannya, bagaikan satu tubuh seorang individu. Maka Allah memberikan rahmat kepada manusia pertama itu yang jika dijaga dengan baik, otomatis menjadi rahmat kita juga. Tetapi ternyata, Adam dan Hawa gagal menjaga rahmat tersebut, mereka jatuh dalam dosa. Dosa mereka, walaupun merupakan dosa pribadi, namun karena peran mereka sebagai manusia pertama, maka dosa inilah yang menyebabkan kita semua menjadi pendosa. Di sini, yang diturunkan adalah sebuah keadaan berdosa/ "the fallen state" yang disertai dengan kecenderungan manusia untuk berbuat dosa/ concupiscence.
Nah, dalam hal ini, memang diperlukan kerendahan hati dari kita untuk mengakui bahwa kecenderungan berbuat dosa dalam diri manusia, sering kali diikuti/ dibuahi, sehingga manusia jatuh dalam dosa. Itulah sebabnya, Rasul Paulus mengatakan, bahwa, "Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah" (Rom 3:23) [Tentu kecuali Yesus dan Bunda Maria]. Sebab dalam diri semua manusia kecenderungan ini tidak hanya tinggal kecenderungan, tetapi umumnya dibuahi menjadi dosa, justru karena kondisi kelemahan manusia akibat dosa asal tersebut.
Katekismus, berdasarkan Alkitab, mengajarkan demikian:
KGK 402 Semua manusia terlibat dalam dosa Adam. Santo Paulus mengatakan: "Oleh ketidak-taatan satu orang, semua orang telah menjadi orang berdosa" (Rm 5: 191. "Sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa" (Rm 5:12). Rasul mempertentangkan universalitas dosa dan kematian dengan universalitas keselamatan dalam Kristus: "Sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang mendapat penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang mendapat pembenaran untuk hidup" (Rm 5:18).
KGK 404 Mengapa dosa Adam menjadi dosa bagi semua turun-temurunnya? Dalam Adam seluruh umat manusia bersatu "bagaikan tubuh yang satu dari seorang manusia individual" (Tomas Aqu., mal. 4, 1). Karena "kesatuan umat manusia ini", semua manusia terjerat dalam dosa Adam, sebagaimana semua terlibat dalam keadilan Kristus. Tetapi penerusan dosa asal adalah satu rahasia, yang tidak dapat kita mengerti sepenuhnya. Namun melalui wahyu kita tahu bahwa Adam tidak menerima kekudusan dan keadilan asli untuk diri sendiri, tetapi untuk seluruh kodrat manusia. Dengan menyerah kepada penggoda, Adam dan Hawa melakukan dosa pribadi, tetapi dosa ini menimpa kodrat manusia, yang selanjutnya diwariskan dalam keadaan dosa Bdk. Konsili Trente: DS 1511-1512.. Dosa itu diteruskan kepada seluruh umat manusia melalui pembiakan, yaitu melalui penerusan kodrat manusia, yang kehilangan kekudusan dan keadilan asli. Dengan demikian dosa asal adalah "dosa" dalam arti analog: ia adalah dosa, yang orang "menerimanya", tetapi bukan melakukannya, satu keadaan, bukan perbuatan.
KGK 405 Walaupun "berada pada setiap orang secara pribadi" Bdk. Konsili Trente: DS 1513., namun dosa asal tidak mempunyai sifat kesalahan pribadi pada keturunan Adam. Manusia kehilangan kekudusan asli, namun kodrat manusiawi tidak rusak sama sekali, tetapi hanya dilukai dalam kekuatan alaminya. Ia takluk kepada kelemahan pikiran, kesengsaraan dan kekuasaan maut dan condong kepada dosa; kecondongan kepada yang jahat ini dinamakan "concupiscentia". Karena Pembaptisan memberikan kehidupan rahmat Kristus, ia menghapus dosa asal dan mengarahkan manusia kepada Allah lagi, tetapi akibat-akibat untuk kodrat, yang sudah diperlemah tinggal dalam manusia dan mengharuskan dia untuk berjuang secara rohani.
Dengan konsep Adam sebagai ‘kepala’ umat manusia, maka, kita lebih dapat memahami akibat ketidaktaatan yang disebabkan oleh Adam, manusia pertama, dan akibat ketaatan Yesus, sebagai Adam yang kedua, kepada umat manusia. Dosa dan maut disebabkan oleh Adam, sedangkan rahmat dan hidup kekal oleh Kristus. Perlu juga kita ketahui bahwa akibat dosa Adam, kita memang kehilangan kekudusan, tetapi tidak berarti bahwa kita ‘rusak sama sekali’. Jangan lupa bahwa kita diciptakan sesuai dengan gambaran Allah, sehingga manusia tetaplah ciptaan Tuhan yang mulia yaitu memiliki akal budi dan kehendak bebas, hanya saja kita mempunyai kelemahan karena kodrat kita. Nah, pada Pembaptisan, dosa asal dan dosa pribadi dihapuskan, namun kecenderungan untuk berbuat dosa memang masih ada pada kita, agar kita dapat terus berjuang untuk hidup kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Terima kasih koreksinya
ada tiga hal yang melompat dibenak saya
[a] anda bicara seolah ada makhluk manusia historik pertama bernama Adam – saya selalu pikir cerita Adam dan Hawa in cuma mitos belaka – mohon koreksi
[b] yang kedua [quote] Dosa itu diteruskan kepada seluruh umat manusia melalui pembiakan [unquote] – apakah ini yang membuat seks menjadi bercap buruk – lantaran seks antara lain adalah sarana menyebar dosa asal [oleh sebab itu bunda Yesus harus immaculate conception – supaya terbebas dari dosa asal – ini ungkapan Marilogis moderen yang tidak ada eksplisit ditulis dalam Perjanjian Baru/ke 4 Injil ]
[c] berkait dengan kutipan2 yang diambil dari dokumen gereja (Thomas Aquinas, Konsili Trente) – apakah dokumen2 ini bukan “cuma” diskursus teologis belaka ? Mungkin mereka mengambil sumber dari kitab suci – tetapi misal seperti anda sendiri tulis : ” penerusan dosa asal adalah satu rahasia, yang tidak dapat kita mengerti sepenuhnya” – kira saya dalam kitab suci tidak ada (CMIWW) eksplisit ditulis bagaimana caranya dosa ini diteruskan – tetapi karena diskursus teologi maka itu menjadi ajaran yang kurang lebih mengikat
mungkin point saya adalah – apakah dokumen gereja adalah Wahyu Ilahi ?
mohon edukasi
terima kasih
Shalom Skywalker,
1) Arti kata ‘Adam’ memang adalah manusia/man, sehingga memang belum tentu/ tidak mengacu pada nama spesifik seseorang. Sedangkan Hawa, artinya, "ibu dari semua yang hidup"/mother of the living. Sebagai orang Katolik, kisah Adam dan Hawa bukan mitos belaka, sebab pada prinsipnya, kita percaya bahwa semua umat manusia berasal dari satu pasang manusia, yaitu Adam dan Hawa /monogenism. Atas dasar pengertian ini, maka Gereja Katolik tidak pernah menyetujui adanya prinsip bahwa umat manusia diturunkan dari "polygenism/multiple first parents" Silakan membaca lebih lanjut mengenai hal ini pada tulisan ini (silakan klik).
2) Dosa ini memang diturunkan kepada manusia, melalui ‘regeneration‘ (pembiakan). Namun hal ini tidak membuat Gereja memandang seks sebagai sesuatu yang buruk. Hubungan seks yang dilakukan atas dasar kasih suami istri yang dilakukan oleh suami dan istri yang telah dipersatukan dalam sakramen Perkawinan, malah merupakan sesuatu yang kudus, karena merupakan penggambaran dari ‘total self-giving‘ (pemberian diri) antara suami dan istri tersebut. Hal ini diajarkan secara khusus oleh Bapa Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Wejangan Apostolik (Apostolic Exhortation), Familiaris Consortio, 11, berikut ini saya terjemahkan sedikit kutipannya:
"….Kasih mencakup tubuh manusia, dan tubuh manusia dibuat menjadi pengambil bagian dalam kasih spiritual. Wahyu Kristiani mengenal dua cara khusus untuk mewujudkan panggilan hidup manusia dengan keseluruhannya, untuk mengasihi: kehidupan pernikahan dan kehidupan selibat. Tiap cara ini, pada bentuk yang sesungguhnya, merupakan perwujudan dari kebenaran tentang manusia yang terdalam, sebagai ciptaan yang "diciptakan menurut gambaran Tuhan." Oleh karena itu, seksualitas, yang olehnya laki-laki dan perempuan memberikan diri mereka satu kepada yang lainnya melalui tindakan yang layak dan hanya terbatas (eksklusif) terhadap pasangannya, adalah bukan semata-mata biologis, melainkan menyangkut kedalaman pribadi manusia tersebut. Hal itu dinyatakan di dalam cara yang sungguh manusiawi hanya jika hubungan itu merupakan keseluruhan kasih di mana seorang laki-laki dan seorang perempuan mengikatkan diri satu sama lain pada komitmen yang total sampai mati."
Pemberian diri yang total seumur hidup inilah yang harusnya menggambarkan salah satu makna Perkawinan Katolik. Rasul Paulus menghubungkan hal ini dengan Kristus yang memberikan diri-Nyakepada Gereja-Nya dan Gereja yang tunduk kepada-Nya (lihat Ef 5:22-33). Silakan membaca lebih lanjut dalam artikel Indah dan dalamnya makna Sakramen Perkawinan Katolik ( silakan klik).
3) Bunda Maria, dikandung tidak bernoda (tanpa dosa asal) karena perannya yang khusus sebagai ibu Yesus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia. Silakan membaca artikel: Bunda Maria dikandung tanpa noda, apa maksudnya? (silakan klik). Semoga anda dapat melihat bahwa doktrin ini bukan karangan para Mariologis moderen. Doktrin ini berakar dari Alkitab dan telah diajarkan oleh para Bapa Gereja sejak awal
3) Dokumen Gereja dari Konsili-konsili dan Dogma yang dikeluarkan oleh Bapa Paus adalah pengajaran Magisterium Gereja. Karenanya itu bukan diskursus/ spekulasi para Teolog belaka. Jika sudah diajarkan oleh Magisterium secara definitif, kita sebagai orang Katolik harus menaatinya. Silakan membaca mengenai Magisterium di sini (silakan klik). Dokumen Gereja memang bukan Wahyu ilahi, sebab Magisterium tidak berada di atas Kitab Suci [yang adalah Wahyu Ilahi], tetapi Magisterium ada untuk melayani Wahyu Ilahi (lihat KGK 86), agar Wahyu Ilahi tersebut dapat di-interpretasikan dengan benar, dan dijaga kemurniannya. Diskursus dari St. Thomas Aquinas juga sebenarnya berdasarkan atas ajaran para Bapa Gereja pendahulunya. Jika anda membaca Summa Theologica, anda akan melihat bahwa St. Thomas kebanyakan hanya merangkum dari ajaran-ajaran dari Alkitab dan dari para Bapa Gereja tersebut, menjadikannya lebih sistematis dan menjabarkannya berdasarkan logika berpikir.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
terima kasih koreksi nya
[quote] kita percaya bahwa semua umat manusia berasal dari satu pasang manusia, yaitu Adam dan Hawa /monogenism [unquote]
tidak cukup jelas apakah ini berarti bahwa kisah dalam kitab Kejadian dipercayai secara harafiah juga (Adam punya dua anak dan kedua-duanya lelaki) – anak laki-laki Adam menikah dengan siapa ?
mohon nasehat
Shalom Skywalker,
Adam dan Hawa tidak hanya memiliki 2 anak (Kain dan Habel), tetapi juga Set dan anak-anak laki-laki dan perempuan (Kej 5:4) yang jumlahnya dan namanya tidak dituliskan di Alkitab. Maka pada saat itu memang terjadi pernikahan antar saudara, walaupun kemudian setelah jumlah umat manusia berkembang, hal ini tidak lagi diperbolehkan (lih. Im 18:6).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
[quote] Maka pada saat itu memang terjadi pernikahan antar saudara, walaupun kemudian setelah jumlah umat manusia berkembang, hal ini tidak lagi diperbolehkan (lih. Im 18:6). [unquote]
terima kasih edukasinya
pertanyaan – apakah juga berarti gereja meyakini hal macam banjir akbar dimasa Nuh juga adalah historik ? bahwa Nuh membawa sepasang hewan dalam bahtera untuk mengungsi dimasa banjir ? atau hal ini cuma dibaca sebagai mitos ? apakah pelangi bukan hanya efek prisma dari air ? apakah sebelum banjir Nuh tidak ada pelangi ?
mohon nasehat
Shalom Skywalker,
Pada dasarnya dalam menginterpretasikan Alkitab, Gereja Katolik melihat prinsip arti literal terlebih dahulu, baru kemudian melihat arti yang lain, seperti figuratif/ allegoris, moral dan anagogis. Namun memang, arti literal ini juga tidak dimaksudkan untuk dipertentangkan dengan bukti historis, jika memang bukti historis tidak menunjukkan demikian. Maka, para exegete Katolik biasanya mengambil sikap, bagaimana memperoleh harmonisasi di antara keduanya, dalam menginterpretasikan Alkitab.
Saya mengutip di link ini tentang air bah Nuh, silakan klik. Dalam hal ini terdapat 2 kenyataan yang terjadi sehubungan dengan banjir Nuh:
1. Banjir air bah itu sungguh-sungguh terjadi menutupi daerah di mana Nuh tinggal, berarti di sebagian belahan bumi; namun tidak berarti bahwa seluruh muka bumi tertutup oleh air. "Seluruh muka bumi" yang tertulis di Alkitab mengacu pada belahan bumi di mana Nuh hidup pada saat itu. Jadi banjir air bah itu tidak melingkupi bumi secara universal sampai ke titik tertinggi pegunungan di dunia. Alasannya mengapa demikian dijabarkan dengan cukup jelas di link yang saya sertakan di atas.
Berikut ini sedikit kutipannya:
The geographical universality of the Deluge may be safely abandoned
Neither Sacred Scripture nor universal ecclesiastical tradition, nor again scientific considerations, render it advisable to adhere to the opinion that the Flood covered the whole surface of the earth.
(a) The words of the original text, rendered "earth" in our version, signify "land" as well as "earth"; in fact, "land" appears to have been their primary meaning, and this meaning fits in admirably with Genesis 4, 5 and 10; why not adhere to this meaning also in Genesis 6:9, or the Flood story. Why not read, the waters "filled all on the face of the land", "all flesh was destroyed that moved in the land", "all things wherein there is the breath oflife in the land died", "all the high mountains under the whole heaven (corresponding to the land) were covered"? The primary meaning of the inspired text urges therefore a universality of the flood covering the whole land or region in which Noah lived, but not the whole earth.
2. Namun air bah itu membawa dampak kebinasaan semua manusia/ "athropologically universal"
The Deluge must have been anthropologically universal, i.e. it must have destroyed the whole human race
After limiting the extent of the Flood to a part of the earth, we naturally ask whether any men lived outside the region covered by its waters. It has been maintained that not all men can have perished in the Flood for the following reasons: Tribes which certainly sprang from Noah were preceded in their earliest settlements by other tribes whose origin is unknown to us: the Dravidic tribes preceded the Aryans in India; the proto-Medians preceded the Medians; the Akkadians preceded the Cushites and Semites in Chaldea; the Chanaanites were preceded in Palestine by other races. Besides, the oldest Egyptian monuments present the Negro race just as we find it today, so that even at that remote age, it was wholly different from the Caucasian race. Again, the languages of theraces springing from Noah are said to be in a state of development different from that in which we find the languages of the peoples of unknown origin. Finally, theBiblical account of the Flood is said to admit a restriction of its anthropological universality as readily as a limitation of its geographical completeness; for if "land" be substituted in our translation for earth, the Book of Genesis speaks only of the men inhabiting a certain district, and not of the men of the whole earth, as being the victims of the waters. Considerations like these have induced several Catholic writers to regard as quite tenable the opinion that the Deluge did not destroy all men outside the ark.
But if the reason advanced for limiting the Flood to a certain part of the human race be duly examined, they are found to be more specious than true. The above scientific arguments do not favour a partial destruction of the human race absolutely, but only in so far as the uninterrupted existence of the various races in question gives them more time for the racial development and the historical data that have to be harmonized with the text of Genesis. Those who urge these arguments grant, therefore, implicitly that the allowance of a proper length of time will explain the facts on which their arguments are based. As there is nothing in the teaching of the Bible preventing us from assigning the Flood to a much earlier date than has usually been done, the difficulties urged on the part of science against the anthropological universality of the Flood may be easily evaded. Nor can the distribution of the nations as described in the tenth chapter of Genesis be appealed to, seeing that this section does not enumerate all races of the earth, but confines itself probably to the Caucasian.
Science, therefore, may demand an early date for the Deluge, but it does not necessitate a limitation of the Flood to certain parts of the human race. The question, whether all men perished in the Deluge, must be decided by the teaching of the Bible, and of its authoritative interpreter. As to the teachings of the Bible, the passage which deals ex professo with the Flood (Genesis 6-9), if taken by itself, may be interpreted of a partial destruction of man; it insists on the fact that all inhabitants of the "land", not of the "earth", died in the waters of the Deluge, and it does not explicitly tell us whether all men lived in the "land". It may also be granted, that of the passages which refer incidentally to the flood (Wisdom 10:4; 14:6; Sirach 44:17 sqq., and Matthew 24:37 sqq., may be explained, more or less satisfactorily, of a partial destruction of the human race by the inundation of the Deluge; but no one can deny that the prima facie meaning of 1 Peter 3:20 sq., 2 Peter 2:4-9, and 2 Peter 3:5 sqq., refers to the death of all men not contained in the ark. The explanations of these passages, offered by the opponents of the anthropological universality of the Deluge, are hardly sufficient to remove all reasonable doubt. We turn, therefore, to authority in order to arrive at a final settlement of the question. Here we are confronted, in brief, with the following facts: Up to the sixteenth and seventeenth centuries the belief in the anthropological universality of the Deluge was general. Moreover, the Fathers regarded the ark and the Flood as types of baptism and of the Church; this view they entertained not as a private opinion, but as a development of the doctrine contained in 1 Peter 3:20 sq. Hence, the typical character of both ark and Flood belongs to the "matters of faith and morals" in which the Tridentine and the Vatican Councils oblige all Catholics to follow the interpretation of the Church.
Jadi kesimpulannya, walaupun tidak menutupi seluruh bumi, namun banjir air bah Nuh itu benar-benar terjadi. Sangatlah hebatnya banjir itu, sehingga membinasakan semua manusia yang tertelan air saat itu, yang tidak masuk ke dalam bahtera Nuh. Dalam Injil sendiri kisah bahtera Nuh ini dikutip oleh Yesus, sehingga kita percaya bahwa kejadian banjir itu memang sungguh-sungguh ada. (lih. Mat 24:37-39)
Maka soal binatang yang dibawa masuk ke dalam bahtera tersebut juga maksudnya adalah sejumlah pasangan hewan yang menjamin kelangsungan hidup binatang itu, sehingga ketika hujan telah reda dan banjir surut, mereka dapat memulai kehidupan baru dan mendatangkan keturunan. Lalu soal pelangi, karena itu memang fenomena alam, maka tentu saja itu bisa saja terjadi bahkan sebelum jaman nabi Nuh. Hanya saja dengan pelangi/ ‘busur yang tampak di awan’ (Kej 9:14) tersebut menjadi tanda janji Allah kepada nabi Nuh untuk tidak mengadakan banjir sebesar itu lagi.
Demikian, semoga keterangan di atas bermanfaat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Dear Ingrid
Terima kasih atas jawabannya, tapi kalau masih boleh saya ingin bertanya :
Bukankah Allah itu tidak menghendaki seorangpun binasa seperti yang ditulis dalam kitab Injil ?
Lalu mengapa Allah membinasakan kesepuluh anak2 Ayub kalau mereka memang tidak bersalah/berdosa ?
Bukankah Ayub setiap kali selalu berdoa semoga anak2nya diampuni sebab karena “kemungkinan anak2nya sering menghojat Allah” ? seperti yang terucap dalam doa2 Ayub ?
Dan dari mana anak2 Ayub ini belajar menghojat Allah, kemungkinan dari Ibunya , dan ini terbukti dari kata2nya kepada Ayub : Hojatlah akan Allah kemudian matilah .
Saya hanya mereka-reka saja dari apa yang pernah saya baca , jadi kalau ada yang keliru mohon dimaafkan.
Dan satu lagi apakah benar istri Ayub itu bernama DINA anak perempuan Yakub yang pernah diperkosa?Terima kasih dan saya masih ingin mendengar jawaban dari Ingrid
Salam – Machmud
Shalom Machmud,
Berikut ini adalah jawaban pertanyaan anda:
1) Allah tidak menginginkan seorangpun binasa?
Benar, pada dasarnya, Allah tidak ingin seorangpun binasa, namun di sini ‘binasa’ artinya adalah binasa oleh siksa kekal di neraka. Oleh karena itu, dikatakan di dalam Alkitab, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16). Maka ‘binasa’ di sini tidak terbatas kepada kematian. Sebab kematian bagi orang percaya hanyalah peralihan ke kehidupan yang lain, yaitu kehidupan kekal. Dalam pengertian ini maka kematian bukanlah kebinasaan. Kebinasaan hanya berlaku bagi mereka yang tidak percaya kepada Allah dan kepada Kristus Anak-Nya yang telah dikaruniakan-Nya, karena dengan ketidakpercayaannya ini, mereka telah menolak Allah dan mereka akan dihakimi oleh Firman Allah pada akhir zaman (Yoh 12:48).
2) Lalu mengapa Allah ‘membinasakan’ ke-10 anak Ayub?
Dalam hal ini kesepuluh anak-anak Ayub itu mati, tetapi tidak dikatakan bahwa mereka ‘binasa’, apalagi Allah membinasakan mereka. Ini adalah bagian dari suatu misteri Allah Pencipta kita manusia, yang memiliki kuasa atas hidup kita. Allah yang memberi kehidupan, Ia pulalah yang berhak mengambil kehidupan itu dari setiap mahluk ciptaan-Nya. Dan kalau Ia mengambil kembali apa yang menjadi milik-Nya, tentunya itu bukannya tidak adil. Walaupun memang, jika itu melibatkan banyak jiwa, misalnya seperti dalam bencana tsunami di Aceh beberapa waktu yang lalu, maka banyak dari kita bertanya, mengapa demikian? Ini harus kita terima sebagai bagian dari misteri Allah, yang tak sepenuhnya bisa kita pahami. Namun selayaknya kita percaya bahwa Allah yang Maha Baik dan Maha Adil pasti memberikan apa yang sesuai dan adil bagi jiwa-jiwa tersebut.
3) Apakah anak-anak Ayub itu mati dengan cara demikian karena dosa mereka?
Untuk ini marilah kita melihat kisah serupa dalam kitab Injil, di mana para murid mempertanyakan kematian orang yang tertimpa bencana: apakah mereka mati dengan cara demikian karena dosa mereka. Namun inilah yang dikatakan Yesus, “Apa sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya daripada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! kataku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.” (Luk 13:4-5). Maka, kata Yesus, seseorang ‘binasa’ jika tidak bertobat.
4) Padahal Ayub telah berdoa mohon ampun untuk anak-anaknya? Dan darimana mereka belajar mengutuki Allah?
Kenyataan Ayub yang berdoa untuk memohon ampun bagi anak-anaknya adalah sesuatu yang menjadi tradisi pada jamannya, dimana kepala keluarga pada jaman Patriarkh memang menjalankan peran sebagai imam bagi keluarganya. Soal mengapa Ayub berpikir anak-anaknya dapat mengutuki Allah ini memang tidak diterangkan dalam perikop tersebut, dan tidak disebutkan kemungkinan mereka belajar dari ibu mereka untuk mengutuki Allah.
Soal ‘mengutuki’ Allah ini sebenarnya dapat dilakukan oleh orang-orang tanpa perlu ‘belajar’ dari orang lain, karena dengan kecenderungan manusia untuk berdosa, maka manusia dapat dengan mudah mengutuki Allah: 1) jika sesuatu yang buruk terjadi padanya, atau sebaliknya, 2) jika segalanya nampak dengan mudah didapatkan dengan jerih-payahnya sendiri, sehingga ia dapat berpikir bahwa ia tidak membutuhkan Tuhan. Istri Ayub mempengaruhi Ayub untuk mengutuki Allah karena kondisi buruk yang diterimanya (kondisi pertama), sedangkan sebelumnya, Ayub menyangka anak-anak-nya mungkin dapat mengutuki Allah justru karena segalanya telah tersedia bagi mereka dengan ‘mudahnya’ (kondisi kedua).
5) Apakah Istri Ayub adalah Dina anak Yakub?
Terakhir, saya belum pernah mendengar bahwa istri Ayub itu adalah Dina, anak perempuan Yakub, atau setidak-tidaknyanya, dari buku-buku sumber yang saya ketahui. Dikatakan bahwa Ayub adalah seorang saleh dan jujur berkebangsaan non-Yahudi di tanah Us. Nama istrinya tidak disebutkan, namun saya rasa, kecil kemungkinannya bahwa ia adalah Dina. Dalam kitab Kejadian 34 dikatakan bahwa Dina diperkosa oleh Sikhem, seorang non-Yahudi, yang kemudian jatuh cinta dan melamar Dina. Namun hal ini tidak disambut baik oleh kakak-kakak Dina, yang kemudian membalas perlakuan terhadap adiknya itu. Kakak-kakak Dina berkata, “Kami tidak dapat berbuat demikian, memberikan adik kami kepada seorang laki-laki yang tidak bersunat, sebab itu aib bagi kami…” (Kej 34:14). Maka mereka mensyaratkan semua laki-laki di kota itu untuk disunat, namun pada hari ketiga kakak-kakak Dina dipimpin oleh Simeon dan Lewi datang dan menyerang kota itu. Maka agaknya tidak masuk akal, jika kemudian Dina dapat diizinkan oleh kakak-kakaknya untuk menikah dengan seorang non-Yahudi seperti Ayub.
Semoga saya menjawab pertanyaan anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas,org
Dear Ingrid
Terima kasih atas penjelasannya, tetapi masih ada sedikit yang menurut saya kurang pas .
“Apa sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya daripada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem?
Dari kutipan ayat yang diatas jelas dinyatakan bahwa ke 18 orang tersebut bersalah bukan tidak bersalah. Maka mereka menerima upah sesuai dengan kesalahannya.
Dalam hal ke 10 anak2 Ayub , pasti mereka juga bersalah sehingga dibinasakan oleh Allah.
Tidak mungkin Allah salah dalam bertindak atau seperti yang Ingrid katakan sebagai misteri Allah.
Memang kita sering melihat/membaca kemurahan Allah , tetapi Alkitab juga menulis tentang kekerasan Allah.
Sebab Allah sangat tidak menghendaki akan dosa, seperti yang tertulis bahwa upah dosa itu maut.Anak Allah (Yesus) ketika menanggung dosa umat manusia ditinggalkan oleh Allah sampai2 DIA berteriak : AllahKu AllahKu mengapa ENGKAU meninggalkan AKU.
Jadi dalam hal ini ke 10 anak2 Ayub,juga sahabat2 kita yang mengalami Tsunami sudah menerima upahnya yaitu kematian.
Mengutuki memang tidak perlu belajar dari orang lain, tetapi pengaruh seorang ibu dalam keluarga membawa andil yang besar bagi kehidupan rohani anak2nya.
Sedang istri Ayub tidak mengalami hal yang sama seperti anak2 mereka , dikarenakan didalam dirinya masih ada rencana Allah untuk menyambung kembali keturunan bagi Ayub.
Allah tidak pernah salah dan misteri Ilahi itulah yang perlu kita pelajari; dan semua itu sudah ada didalam buku yang bernama Firman Allah.
Semua yang tertutup akan dibukakan , pada akhir zaman. dan kitalah manusia akhir zaman itu.
Tinggal terserah pada kita apakah kita mau menyelidiki misteri tsb, ataukah Firman Allah tetap tersembunyi.
Sebab bagi saya pribadi, apabila saya tidak mengerti akan Firman Allah, maka saya juga tidak mendapat apa2 dari padaNya.
Jadi ketika saya tidak paham/mengerti saya tanya pada orang lain seperti Ingrid atau Stefanus; dan dari jawaban2 anda-andalah saya boleh mengerti akan maksud2 Allah yang tersembunyi.
Terima kasih
Machmud
Shalom Machmud,
1) Apakah ke 10 anak Ayub bersalah sehingga mati dengan cara demikian?
Saya rasa kita semua setuju bahwa memang setiap manusia berdosa (kecuali Yesus dan Bunda Maria). Hal inilah juga yang menjadi salah satu butir pengajaran yang kita peroleh dari perikop ini, seperti yang saya tuliskan di jawaban saya yang pertama. Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah dosa/ kesalahan mereka itu yang menyebabkan mereka mati dengan cara demikian, itu yang memang tidak secara langsung diketahui dari perikop di atas. Manusia cenderung untuk menghubungkan keadaan/’nasib’ buruk dengan dosa, seperti juga yang dikatakan oleh teman-teman Ayub, namun sebaiknya kita mengambil sikap seperti yang diajarkan oleh Yesus kepada para murid-Nya, sewaktu mereka bertanya tentang ke- 18 orang yang mati ditimpa menara. Yesus memberikan nasihat supaya kita tidak mengatakan/ menghakimi mereka berdosa atau tepatnya, lebih berdosa dari orang kebanyakan [atau lebih berdosa dari kita], namun supaya kita memusatkan perhatian pada pertobatan kita sendiri. Jadi, saya pikir sebagai orang Katolik sebaiknya kita-pun mengambil sikap demikian.
2) Kemurahan belas kasihan Allah dan keadilan Allah.
Ya, saya setuju bahwa di samping Maha Pengasih, Allah juga adalah Allah yang Maha Adil. Oleh karena itu kita melihat bagaimana memang Allah tidak menyukai dosa, dan kita melihat secara jelas dalam kisah-kisah Alkitab. Dalam kisah Ayub ini, memang yang diceritakan adalah Allah secara pasif mengizinkan kematian anak Ayub itu terjadi, setelah kita membaca dialog antara Allah dengan Iblis, dan Allah mengizinkan Iblis untuk ‘menguji’ Ayub (lih. Ayb 1:12) dengan berbagai malapetaka. Kita lihat pula dari kisah Ayub, bagaimana Allah menegur Ayub yang selalu merasa ‘benar’, dan membukakan kenyataan bahwa manusia sesungguhnya tidak dapat menasihati Allah. Namun Allah di dalam keadilan dan kemurahan-Nya melihat juga ketulusan hati Ayub yang telah berusaha hidup baik dan yang akhirnya mengakui keberadaannya sebagai manusia ciptaan yang tergantung pada Penciptanya, dan akhirnya Allah memulihkan segala keadaan Ayub./
Contoh yang sempurna yang menggambarkan kemurahan belas kasihan Allah dan keadilan Allah adalah pengorbanan Kristus di kayu salib. Korban salibnya adalah untuk korban yang sempurna untuk menghapus dosa-dosa manusia yang tak terbilang banyaknya [ini sesuai dengan keadilan Allah], dan bukti kasih Allah yang tak terbatas, sampai rela mengorbankan Putera-Nya sendiri untuk kita [ini bukti belas kasih Allah yang tah terhingga]. Perlu kita ingat, Yesus sendiri tidak berdosa, sehingga kematian-Nya di kayu salib semata-mata akibat dosa kita manusia.
3) Keluarga memegang andil yang besar dalam kehidupan rohani anak-anaknya.
Ya, saya juga setuju. Namun dalam kisah Ayub, memang tidak diceritakan apakah anak-anak Ayub belajar menghojat dari ibunya, atau bahkan apakah anak-anak Ayub benar-benar menghojat Allah seperti yang anda katakan. Yang dikatakan adalah bahwa Ayub mempersembahkan korban bakaran untuk mendoakan anak-anaknya, untuk memohon ampun atas dosa-dosa mereka, sebab pikirnya, "Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati." (Ayb 1: 5). Anda dapat saja berpikir bahwa anak-anak Ayub menghojat Allah, tetapi itu sesungguhnya itu tidak dikatakan dalam perikop ini, sebab bahkan Ayub saja berpikir hal itu sebagai: "mungkin".
4) Firman Allah itu misteri yang tersembunyi atau dapatkah disingkapkan?
Memang harus kita akui bahwa karena ke-Mahabesaran Allah, maka manusia tidak dapat sepenuhnya memahami Dia sewaktu kita masih hidup di dunia ini. Dalam hal ini, sebaiknya kita bersikap rendah hati, seperti Ayub yang akhirnya menerima kemaha-kuasaan Allah (Ayb 39:34-38; 42: 1-6).
Tetapi kita juga percaya bahwa di dalam ‘misteri’ Allah ini ada banyak yang dapat kita ketahui, jika kita juga mau mempelajari Firman Allah, dan dari pengajaran Gereja. Contohnya saja mengenai Misteri Tri tunggal MahaKudus dan sakramen-sakramen. Namun, memang, untuk dapat memahaminya, diperlukan kerendahan hati untuk menerima ajaran tersebut, terutama jika ajaran tersebut berbeda dengan pengertian kita sendiri. Inilah semangat yang ada pada kami yang tergabung dalam Website katolisitas. Kami berusaha sedapat mungkin menyampaikan ajaran Gereja Katolik, yang dapat kami ketahui dari sumber-sumber pengajaran yang resmi, daripada menyampaikan pendapat kami sendiri.
Mengenai interpretasi yang saya sebutkan tentang kitab Ayub diambil dari salah satu buku komentar Katolik tentang Alkitab, yang secara Teologis dapat dipertanggungjawabkan. Silakan kembali melihat catatan kaki tentang sumber yang saya cantumkan di jawaban di atas.
Akhirnya, saya mohon maaf jika saya tidak dapat memperpanjang diskusi ini, karena masih banyaknya pertanyaan yang masuk. Semoga Machmud dapat mengerti, karena saya pikir, jika masih ada ‘yang kurang pas’ menurut Machmud, itupun menurut saya bukan hal yang prinsip, sebab sesungguhnya lebih banyak hal yang kita setujui bersama daripada yang ‘kurang pas’ tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Saya orang awam tentang Alkitab, mohon tanya :
Apa penyebab kematian 10 orang anak2 Ayub yang berlangsung dalam satu hari ?
Ini kesalahan siapa ? Kesalahan ke sepuluh anak2 Ayub atau kesalahan Ayub / istrinya ?
Terima kasih
Machmud
[Dari Admin: Pertanyaan ini sudah dijawab oleh Ingrid pada tulisan di atas]
Comments are closed.