Secarik kertas aku temukan di atas meja kerjaku. Tulisan sederhana dan singkat dari seseorang yang sederhana pula. Tulisan yang sederhana dan singkat itu mengandung pesan kehidupan yang tak ternilai harganya. “Berpakaian keikhlasan”. Itulah kabar yang ingin disampaikannya. Pesan “berpakaian keikhlasan” itu terkandung dalam permohonan untuk pemberkatan rumah secara sederhana karena keadaan.

Pemberkatan rumah itu aku laksanakan pada tanggal 24 Februari 2015. Pemberkatan rumah tersebut menjadi awal pembelajaran tentang sikap hidup yang didambakan banyak orang, tetapi sekaligus yang paling sulit dilaksanakan. Pengajaran itu adalah pengajaran tentang keikhlasan yang terpancar dari seorang bapak yang berusia setengah baya, seorang ibu yang berumur empat puluh tahunan, dan mama mereka. Aku membuka percakapan dengan pertanyaan yang biasa aku lontarkan: “Bapak dan ibu sudah berapa lama menikah dan dikaruniai Tuhan berapa anak?” Bapak itu menjawabku tanpa tersinggung: “Kami bukan suami dan istri. Kami adalah kakak dan adik. Kami tidak menikah”. Bapak itu kemudian menceritakan mengapa ia dan adiknya tidak menikah serta sampai mereka pindah ke rumahnya yang sekarang: “Kami tidak menikah karena harus mengurus secara bergantian papa yang tergeletak karena stroke bertahun-tahun lamanya. Tidak gampang mengurus penderita stroke karena ia mudah tersinggung. Kami sendiri yang memandikan papa, mengganti pakaiannya, dan memberikan obat-obatan. Dengan merawat papa sendiri, ia merasa tidak sia-sia sebagai papa karena ia merasa bahwa anak-anaknya tidak meninggalkannya ketika ia sedang sakit. Mama kami pun merasa dikuatkan dengan kehadiran kami, anak-anaknya. Papa akhirnya meninggal belum lama ini dengan membawa bakti kami. Kami tidak menikah dengan manusia, tetapi menikah dengan keikhlasan”. Setelah mengungkapkan isi hatinya, wajahnya menyinarkan kelegaan. Ia melanjutkan ceritanya mengapa sampai ia tinggal di rumahnya sekarang ini: “Setelah papa pulang ke surga, aku menjual rumahku yang besar dan tinggal di rumah yang kecil sekarang ini. Aku menjualnya untuk menyelesaikan semua pembayaran untuk perawatan papa. Aku tidak pernah merasa merana tinggal di rumah sederhana. Rumah sederhana ini jauh lebih indah dan nyaman dibandingkan dengan rumah-rumah megah karena diterangi dengan kesabaran yang bersinar dari lampu keikhlasan. Rumah ini akan menjadi pintu keikhlasan yang akan kulewati untuk menjadi calon penghuni Surga kelak”.

Setitik “keikhlasan” ini akan memancing keharuan bagi manusia modern yang jiwanya gersang dan gelisah. Kegelisahan dan kegersangan manusia modern terbentuk dengan sikap hidup “Lu dan Gue” alias tidak peduli. Ketidakpedulian membuat hidup terasa terisolasi kini dan nanti. Ketika keikhlasan berbicara, hati yang gersang dan gelisah menjadi hati yang tentram karena masih ada nilai kehidupan selain materi. Keikhlasan menjadi penawar kepahitan hidup. Keikhlasan membuka bibir yang telah tertutup untuk tersenyum kembali. Kembalinya “Senyuman” yang telah lama hilang itu karena sifat Allah yang murah hati terasakan dalam keihklasan hati: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.“ (Lukas 6:36).

Pesan dari pengalaman ini: Bangunlah hidup dengan kemurahan hati, maka cahaya keikhlasan akan bersinar selamanya. Keikhlasan tersusun menjadi untaian doa kepada Allah yang akan mengalirkan berkat dari Surga: “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (Matius 5:7). Berkat-Nya adalah hidup menjadi sebuah kisah yang lucu dan haru. Karena itu, marilah kita berdoa untuk kehidupan kita seperti Pemazmur: “Ketulusan dan kejujuran kiranya mengawal aku, sebab aku menanti-nantikan Engkau” (Mazmur 25:21).

Tuhan Memberkati

Oleh Pst Felix Supranto, SS.CC