Home Blog Page 87

Perencanaan Bangunan Gereja Baru

18

Beberapa persyaratan liturgis yang perlu mendapatkan perhatian

[Ditulis oleh Rm. Bosco da Cunha O.Carm, Komisi Liturgi KWI. Dengan persetujuan Rm. Bosco, Katolisitas memberikan beberapa tambahan sumber untuk memberikan penjelasan lanjutan tentang hal yang terkait dengan apa yang disampaikan oleh Rm. Bosco. Tulisan Rm. Bosco dicetak dengan warna hitam, dan tambahan dari Katolisitas, dicetak dengan warna coklat.]

Pendahuluan

Tak dapat disangkal kenyataan bahwa umat Katolik terus bertambah. Rumah gereja terasa menjadi kecil karena tak dapat menampung sekian banyak orang yang datang merayakan Ekaristi hari Minggu dan terlebih pada hari Natal dan Pekan Suci. Beberapa paroki sudah memiliki gereja yang baru; namun demikian masih terbuka kemungkinan untuk keuskupan merencanakan pembangunan sekian gereja di banyak paroki lagi. Biasanya proses pembangunan dimulai dengan pembentukan panitia pembangunan; dan sangat diharapkan dialog yang mantap antara beberapa pihak: yaitu pihak yang membutuhkan (pastor, para liturgis, dewan paroki, dan seluruh umat beriman) dan pihak yang melaksanakan (arsitek, seniman, kontraktor, para tukang, dan teknisi). Dialog hendaknya dimulai sejak penggambaran situasi, sketsa rancangan bangunan, sampai kepada pengadaan bahan-bahan, pemanfaatannya dalam perhitungan dengan keseluruhan bangunan sebagai rumah ibadat Katolik.

Gereja sebagai Rumah Perayaan Umat Beriman

Pemahaman Liturgis

Ruang arsitektonis dan perayaan iman:

Ruang gereja, tempat umat paroki datang berhimpun untuk mendengarkan Sabda Tuhan, untuk berdoa dan menyanyi, untuk merayakan kurban Ekaristi memiliki suatu gambaran dasar yang sangat khusus yakni sebagai kenisah Allah, tubuh mistik Kristus yang dibangun di atas “batu-batu yang hidup”. Oleh karena itu, bangunan rumah ibadat Kristiani berkaitan dengan pemahaman tentang Gereja sebagai umat Allah. Perencanaan dan konstruksi rumah gereja baru harus memperhitungkan persekutuan umat setempat yang mau mengaktualisasikan dirinya seturut gagasan Konsili Vatikan II sebagai:

– persekutuan umat Allah yang berziarah menuju Yerusalem surgawi. ((Bdk. Sacrosanctum Concilium,  6.10; Lumen Gentium 4.9; Gaudium et Spes  40.43))

– dan liturgi yang dirayakan merupakan kegiatan Kristus Penyelamat, dalam Roh Kudus, oleh seluruh perhimpunan gerejani, yang ditata dalam tugas-tugas pelayanan, dengan tanda-tanda sakramental yang mendatangkan berkat dan rahmat berlimpah. ((Bdk. Sacrosanctum Concilium,  7.14; Dei Verbum 21))

Sebagai bangunan, gereja menggambarkan Gereja, umat Allah:

Realitas Gereja dalam hakekatnya yang mengandung misteri dan sakramental terungkap dalam gambaran sejarah penyelamatan “umat Allah” dan secara khusus menyatakan diri dalam himpunan umat yang sedang merayakan liturgi, subyek perayaan Kristiani. ((Sacrosanctum Concilium,  11)) Sesungguhnya Yesus Kristus, Sabda yang menjelma, sakramen Allah Bapa, lewat Roh Kudus mengikutsertakan peran keselamatan-Nya kepada umat sebagai nabi, imam dan raja, sehingga pantaslah menjadi kabar gembira, puji-pujian dan pelayanan ((Bdk. Lumen Gentium, 10)). Melalui ruangan liturgis ini, baik selama perayaan maupun di luar waktu perayaan, harus dipandang secara simbolik sebagai tempat penyelenggaraan karya keselamatan manusia sehingga harus dibangun indah dan selaras dan bukan sebaliknya (bdk. Rom 8:19-21).

Promosi Persekutuan hidup:

Membangun  suatu “gereja dari batu-batu” mengungkapkan sekurang-kurangnya identitas Gereja sebagai pribadi-pribadi beriman (patantio Ecclesiae), yang hidup bersama dalam ikatan kasih dan persekutuan dengan mana rumah baru dibangun. Pemahaman ini menyangkut pula masalah- masalah masyarakat kita yang kompleks dan dengan perhatian kepada budaya setempat, bergerak maju secara bertahap menuju nilai-nilai terbaik entah melalui perjuangan yang melelahkan menuju kedewasaan beriman dalam communio Gereja.

Membangun suatu gedung gereja baru merupakan usaha pastoral dari pihak yang memainkan peran di dalamnya, tetapi masih dalam proses awali untuk menilainya sebagai gambaran dari suatu jemaat yang hidup dan giat bekerja, yang dibimbing selama perjalanan berdasarkan azas teologis dan kultural.

Suatu proyek kultural, pastoral dan eklesial:

Kita janganlah memandang pembangunan rumah gereja hanya dari sudut bahan-bahan material yang membentuk bangunan rumah. Pertama-tama harus memperhitungkannya dengan Allah dalam kaitannya langsung dengan suatu kelompok umat beriman. Oleh karena itu, bangunan fisik ini harus mampu mendukung suasana kehadiran Misteri yang membangun umat Allah.

Gereja baru dan kesatuan komunitas keuskupan:

Harus diperhitungkan dengan sensibilitas “Gereja induk” di bawah pimpinan uskup. Perlu ada ikatan spiritual dengan katedral sebagai pusat keuskupan. Gereja paroki janganlah dibangun hanya demi persyaratan birokratis-administratif, tetapi sebagai tempat umat berkumpul untuk juga merayakan misteri Pembaptisan, Krisma, Ekaristi bersama uskup dan para imamnya.

Gereja dalam konteks tata-kota:

Ruang dalam bangunan gereja perlu diperhatikan secara khusus; secara arsitektonis hendaknya memberikan kesan tentang misteri kehidupan Gereja yang tengah berjalan di dunia ini menuju pemenuhan akhirat. Di lain pihak perlu memperhitungkan keselarasannya baik sisi dalam maupun sisi luar; sehingga setiap orang secara mudah dapat berkata bahwa inilah gereja, bukan bangunan profan.

Letak bangunan dan tata halamannya hendaknya memperhitungkan ciri khas Gereja yang menuntut keanggunan, ketenangan, kesucian dan keluhuran.

Berikut ini adalah keterangan menurut Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR):

293. Perancangan gereja dan lingkungan sekitarnya hendaknya serasi dengan situasi setempat dan sesuai pula dengan tuntutan zaman. Maka dari itu, tidak cukup kalau hanya syarat-syarat minimal untuk perayaan ibadat dipenuhi. Hendaknya juga diusahakan agar umat beriman, yang secara teratur berhimpun di situ, merasa nyaman.

Pengaturan ruang dalam:

Kesatuan ruang liturgis yang terpadu:

Gereja secara umum harus membawakan gambaran suatu umat yang dipersatukan untuk perayaan misteri-misteri suci, yang diatur menurut sekian banyak macam tugas pelayanan untuk menyukseskan setiap bagian ritus dan memungkinkan partisipasi umat Allah secara aktif- bersemangat. ((Pedoman Buku Misa 257))

Menurut yang asli dan dari tradisi, ruangan dalam gereja haruslah diusahakan untuk mengungkapkan dan mendukung secara menyeluruh kesatuan umat beriman sebab merekalah subyek yang merayakan liturgi. Situasi ruangan dalam selalu harus paling diperhitungkan dalam rancangan proyek, sebagai pusat kegiatan liturgi dan menurun dari serambi depan, melebar dalam aula, dan “menyimpul” ke pelataran iman, sebagai ruangan yang menjadi pusat perhatian namun tak terpisahkan dari aula/ ruang umat.

Ruangan sedemikian itu diperhitungkan pertama-tama untuk perayaan Ekaristi; untuk itu dituntut suatu sentralitas yang tidak terlalu geometris, tak perlu pelataran imam menjadi titik fokus sentral dari segala sudut; cukuplah lebih tinggi, berbeda dari yang lain, dalam keseimbangan dengan aula/ ruang umat.

Selain dari itu, tata ruang harus memungkinkan pula bagi perayaan sakramen-sakramen lain: Pembaptisan, Krisma, Tobat, Pengurapan orang sakit, Pentahbisan, Pernikahan dan juga berbagai sakramentali: misalnya, penguburan (pemberkatan jenazah), pemberkatan-pemberkatan, upacara kaul, dengan sekian kemungkinan penyesuaian pastoral yang dapat dilaksanakan di paroki itu.

Kemudian, jarak tempat duduk, ruas jalan untuk Komuni, ukuran dan bentuk tempat duduk, jarak umat dari imam antara satu sama lain harus diperhitungkan dengan memungkinkan kelancaran upacara perarakan, rasa kebersamaan, tidak seperti menonton pertunjukan karena pelataran imam terlalu tinggi; pokoknya tak sampai nilai-nilai itu diganggu oleh hambatan-hambatan arsitektonis.

Hal- hal tertentu ini hendaknya diperhatikan secara cermat: altar, mimbar, tempat pembaptisan, sumber/ tempat air baptis; ruang tobat, tabernakel, tempat duduk imam sebagai pemimpin perayaan. Dalam kesatuan dengan itu; perlu penataan ruang umat, tempat koor dan orgel, serta patung-patung dan lukisan Jalan Salib.

Berikut ini tambahan keterangan dari PUMR:

294. Umat Allah yang berhimpun untuk Misa mempunyai susunan organik hirarkis. Hal itu tampak dalam bermacam-macam tugas dan aneka ragam tindakan yang dilakukan dalam masing-masing bagian perayaan liturgi. Oleh karena itu, tata ruang gereja haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga mencerminkan susunan umat yang berhimpun, memungkinkan pembagian tempat sesuai dengan susunan itu, dan mempermudah pelaksanaan tugas masing-masing anggota jemaat.

Umat beriman dan paduan suara hendaknya mendapat tempat yang memudahkan mereka berpartisipasi secara aktif di dalam liturgi.

Imam, diakon, dan pelayan-pelayan lain hendaknya mengambil tempat di panti imam. Di sini pula hendaknya disiapkan tempat duduk untuk para konselebran; tetapi kalau jumlah konselebran besar, hendaknya tempat duduk mereka diatur di bagian lain di gereja, tetapi masih dekat dengan altar.

Jadi tata ruang gereja harus menunjukkan susunan hirarkis umat dan keanekaragaman tugas-tugas. Meskipun demikian, tata ruang gereja harus mewujudkan kesatuan, supaya dengan demikian tampaklah kesatuan seluruh umat kudus. Penataan dan keindahan ruang serta semua perlengkapan gereja hendaknya menunjang suasana doa dan mengantar umat kepada misteri-misteri kudus yang dirayakan di sini.

295. Panti imam adalah tempat di mana altar dibangun, sabda Allah dimaklumkan, dan imam, diakon , serta pelayan-pelayan lain melaksanakan tugasnya. Panti imam hendaknya sungguh berbeda dari bagian gereja lainnya, entah karena lebih tinggi sedikit, entah karena rancangan dan hiasannya. Panti imam hendaknya cukup luas, sehingga perayaan kudus dapat dilaksanakan dengan semestinya dan kegiatan yang dilaksanakan di sana dapat dilihat dengan jelas.

311. Tempat umat beriman hendaknya diatur dengan seksama, sehingga mereka dapat berpartisipasi dengan semestinya dalam perayaan-perayaan kudus, baik secara visual maupun secara batin. … Kebiasaan menyediakan tempat duduk istimewa bagi orang-orang tertentu harus dihapus. Khususnya dalam gereja-gereja yang dibangun baru, bangku atau tempat duduk lain itu hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga umat dengan mudah dapat melaksanakan tata gerak yang dituntut dalam aneka bagian perayaan, dan tanpa hambatan dapat maju untuk menyambut Tubuh dan Darah Kristus.

Hendaknya diusahakan, agar umat tidak hanya dapat melihat imam, diakon, dan lektor, tetapi juga, dengan bantuan sarana teknologi modern, dapat mendengar mereka tanpa kesulitan.

Altar

Altar adalah pusat utama bagi umat beriman; merupakan poros komunitas yang melaksanakan perayaan. Janganlah terdiri dari bahan yang sederhana, tetapi harus selaras dengan peranannya sebagai tanda permanen Kristus, imam dan korban. Altar adalah meja korban persembahan dan perjamuan Paskah di mana Allah Bapa menghidangkan bagi putera-puteri-Nya dalam rumah keluarga: sumber dan tanda kesatuan dan cinta kasih. Oleh karena itu hendaknya jelas terlihat dari segala pihak dan sungguh layak. Berdasarkan dua persyaratan ini harus diperhitungkan bahwa penempatan altar menuntut jarak yang leluasa dari berbagai sudut. Hendaknya “unik” dan terletak di tengah pelataran imam’ mampu bertemu pandang dengan semua di sekitarnya.

Perlu diingatkan bahwa meskipun ditempatkan secara seimbang pada keseluruhan pelataran imam, altar harus mampu menjamin perannya sebagai “titik pusat” perayaan liturgi. Hal ini hanya mungkin kalau altar memenuhi syarat dalam berbagai dimensi liturgi. Tinggi altar kira-kira 90 cm dari lantai, agar memudahkan pelaksanaan tugas-tugas pemimpin upacara yang harus mengemudikan seluruh perayaan. Di atas altar tak boleh diletakkan patung atau lukisan orang kudus. Selama peribadatan dapat diletakkan tempat berisi relikwi asli martir atau orang kudus lainnya, tak harus di dalam meja, tetapi di bawahnya.

Seturut simbolisme biblis dan kebiasaan tradisional, meja altar sebaiknya dibuat dari batu alami. Namun demikian, untuk meja, seperti untuk bingkai-bingkai dan kaki yang menopang dapat juga dibuat dari bahan-bahan lain, dengan pemahaman yang jelas bahwa semuanya ini dimaksudkan khusus untuk liturgi, bukan untuk segala keperluan. ((Bdk. Pedoman Buku Misa 263))

Berikut ini adalah tambahan penjelasan dari PUMR:

296. Altar merupakan tempat untuk menghadirkan kurban salib dengan menggunakan tanda-tanda sakramental. Sekaligus altar merupakan meja perjamuan Tuhan, dan dalam Misa umat Allah dihimpun di sekeliling altar untuk mengambil bagian dalam perjamuan itu. Kecuali itu, altar merupakan juag pusat ucapan syukur yang diselenggarakan dalam perayaan Ekaristi.

297. Bila perayaan Ekaristi berlangsung di gereja atau di kapel, harus digunakan sebuah altar. Bila perayaan Ekaristi berlangsung di luar gereja atau kapel, dapat digunakan meja yang pantas. Tetapi meja itu hendaknya ditutup dengan kain altar dan dilengkapi dengan korporale, salib dan lilin.

298. Sangat diharapkan agar dalam setiap gereja ada satu altar permanen, karena altar ini secara jelas dan lestari menghadirkan Yesus Kristus, Sang Batu Hidup (1 Ptr 2:4, bdk. Ef 2:20). Tetapi di tempat-tempat lain yang dimanfaatkan untuk perayaan liturgis, cukup dipasang altar geser.

Suatu altar disebut altar permanen kalau dibangun melekat pada lantai, sehingga tak dapat dipindahkan; altar disebut altar geser kalau dapat dipindah- pindahkan.

299. Altar utama hendaknya dibangun terpisah dari dinding gereja, sehingga para pelayan dapat mengitarinya dengan mudah, dan imam sedapat mungkin memimpin perayaan Ekaristi dengan menghadap ke arah jemaat. Di samping itu, altar hendaknya dibangun pada tempat yang sungguh-sungguh menjadi pusat perhatian, sehingga perhatian seluruh umat beriman dengan sendirinya terarah ke sana. Seturut ketentuan altar utama harus berupa altar permanen dan didedikasikan.

300. Baik altar permanen ataupun altar geser didedikasikan menurut tata cara yang digariskan dalam buku Pontificale Romanum, tetapi altar geser dapat juga hanya diberkati.

301. Seturut tradisi Gereja, dan sesuai pula dengan makna simbolis altar, daun meja untuk altar permanen harus terbuat dari batu, bahkan batu alam. Tetapi Konferensi Uskup dapat menetapkan bahwa boleh juga digunakan bahan lain, asal sungguh bermutu, kuat dan indah. Sedangkan penyangga atau kaki altar dapat dibuat dari bahan apapun, asal kuat dan bermutu.

Altar geser dapat dibuat dari bahan apapun asal menurut pandangan masyarakat setempat bermutu, kuat, dan selaras untuk digunakan dalam liturgi.

302. Hendaknya dipertahankan tradisi Gereja untuk memasang relikui orang kudus, juga yang bukan martir, di dalam atau di bawah altar yang akan didedikasikan. Namun harus dijamin bahwa relikui itu asli.

303. Bila membangun gereja baru, lebih baik dibangun hanya satu altar sehingga dalam himpunan jemaat beriman altar tunggal itu sungguh menjadi tanda Kristus yang satu dan Ekaristi Gereja yang satu…

304. Untuk menghormati perayaan kenangan akan Tuhan serta perjamuan Tubuh dan Darah-Nya pantaslah altar ditutup dengan sehelai kain altar berwarna putih. Bentuk, ukuran dan hiasannya hendaknya cocok dengan altar itu.

Mimbar

Mimbar adalah tempat khusus untuk pewartaan Sabda Tuhan. Bentuknya hendaklah berhubungan dengan altar, tanpa melalaikan peran dan kepentingannya sendiri. Hendaknya dipikirkan bahwa letaknya lebih mendekati umat (juga tidak pada bagian pelataran imam seturut kesaksian tradisi liturgi) dan hendaknya memungkinkan pelaksanaan perarakan dengan kitab Injil dan pemakluman Sabda penyelamatan. Hendaknya sepadan menurut kelayakan dan peranannya yang suci, dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga para pelayan upacara yang menggunakannya dapat dilihat dan didengarkan dari segenap penjuru bangku umat.

Tidak cukup kalau mimbar dibuat hanya sebagai sebuah ‘standard’; mimbar harus anggun dan di ketinggian tertentu sehingga mampu menggaungkan Sabda dan menciptakan kewibawaan penyampaian Sabda; pun jika tak ada lektor yang sedang memaklumkannya. Di samping itu, mimbar dapat dilengkapi dengan tempat lilin; juga dalam perhitungan untuk penempatan lilin Paskah.

Berikut ini adalah tambahan ketentuan mimbar menurut PUMR:

309. … Sebaiknya tempat pewartaan sabda berupa mimbar (ambo) yang tetap, bukannya ‘standar’ yang dapat dipindah- pindahkan. Sesuai dengan bentuk dan ruang gereja masing-masing, hendaknya mimbar itu ditempatkan sedemikian rupa, sehingga pembaca dapat dilihat dan didengar dengan mudah oleh umat beriman.

Mimbar adalah tempat untuk membawakan bacaan-bacaan dan mazmur tanggapan serta Pujian Paskah. Juga homili dan doa umat dapat dibawakan di mimbar. Untuk menjaga keagungan mimbar, hendaknya hanya pelayan sabda yang melaksanakan tugas di sana….

Tempat duduk Pemimpin:

Tempat duduk mengungkapkan peran pemimpin yang membawakan perayaan pribadi Kristus, Kepala dan Gembala Gereja-Nya. Tempatnya hendaklah terlihat dengan baik oleh seluruh umat dengan perhitungan agar seluruh umat dengan mudah memusatkan perhatian kepada doa-doa yang dibawakan, dialog dan ajakan-ajakan, tempat duduk harus menandakan pemimpin, bukan hanya sebagai kepala tetapi juga sebagai bagian integral dari umat: untuk maksud itu hendaklah menjamin komunikasi langsung dengan umat, walaupun tetap berada pada pelataran imam.

Perlu diingatkan bahwa bentuknya bukanlah sebagai tahta uskup atau memberi kesan suatu singgasana. Tempat duduk pemimpin hendaknya tetap tampil “unik”; dapat sebagai bangku utama tanpa sandaran namun dengan penyangga tangan, seraya diperhitungkan dengan kasula imam dan keleluasaan bergerak. Selanjutnya dipersiapkan pula sekian banyak tempat duduk untuk para konselebran, diakon dan petugas-petugas lainnya. Jangan lupa merancang suatu tempat yang tampan untuk kredens.

Berikut ini adalah tambahan ketentuan mimbar menurut PUMR:

310. … Kursi imam selebran harus melambangkan kedudukannya sebagai pemimpin jemaat dan mengungkapkan tugasnya sebagai pemimpin doa. Oleh karena itu tempat yang paling sesuai untuk kursi imam selebran adalah berhadapan dengan umat dan berada di ujung panti imam, kecuali kalau tata bangun gereja atau suatu sebab lain tidak mengizinkannya; misalnya saja kalau dengan demikian jarak antara umat dan imam terlalu jauh, sehingga mempersulit komunikasi; atau kalau tabernakel dibangun di belakang altar persis di tengah garis belakang panti imam. Kursi imam selebran sama sekali tidak boleh menyerupai tahta.

Seyogyanya, sebelum digunakan untuk keperluan liturgi imam selebran diberkati menurut tata cara yang diuraikan dalam buku Rituale Romanum.

Demikian pula, di panti imam hendaknya dipasang kursi-kursi lain baik untuk para imam konselebran maupun imam-imam yang berhimpun untuk Ibadat Harian tetapi tidak ikut berkonselebrasi.

Kursi diakon hendaknya ditempatkan di dekat imam selebran. Tempat duduk para petugas lain hendaknya jelas berbeda dengan kursi klerus, dan diatur sedemikian rupa, sehingga semua dapat menjalankan tugasnya dengan mudah.

Tempat Pembaptisan dan sumber

Dalam perencanaan sebuah gereja paroki hendaknya tidak dilalaikan adanya tempat untuk Pembaptisan. Tempatnya dapat dipisahkan dari ruang umat atau dalam bentuk sumber sedehana (tempat air) yang ditempatkan di salah satu bagian dari ruang umat. Hendaknya ada hiasan dan memberi arti yang jelas; sehingga setiap orang langsung berkesan tentang Pembaptisan. Perhitungkanlah menurut persyaratan liturgis apabila Pembaptisan dirayakan di situ, baik untuk penenggelaman ataupun untuk pencurahan. Dapat diperhitungkan letak tempat Pembaptisan yang memungkinkan perarakan menuju altar seusai Pembaptisan.

Tempat dan ruang duduk Sakramen Tobat

Perayaan sakramen Tobat memerlukan ruangan khusus yang tak terpisah dari ruang umat. Hendaknya diperhitungkan demi dialog yang lancar antara bapa pengakuan dan peniten dan dapat dijamin sebagai tempat perjumpaan individual, tanpa diganggu oleh gaung suara. Dengan pertimbangan pastoral, masih dibutuhkan sekat dan tempat berlutut.

Tabernakel/ Persemayaman Ekaristi

Sakramen Mahakudus hendaknya disemayamkan di suatu tempat arsitektonis yang sungguh penting; biasanya terpisah dari ruang umat dan diperhitungkan untuk sembah sujud dan doa pribadi. Tabernakel adalah suatu yang khusus, sehingga perlu mendapatkan perhatian. Hendaknya tetap tak berpindah-pindah dan kuat melekat, tidak tembus cahaya dan tak dapat dilintasi orang. Jangan lupa menempatkan lampu abadi di sampingnya sebagai tanda kehadiran Tuhan yang tetap dan senantiasa.

Paus Benediktus XVI, dalam Ekshortasi Apostoliknya yang berjudul Sacramentum Caritatis menuliskan tentang ketentuan lokasi tabernakel, demikian:

69. …. Penempatan tabernakel yang benar akan memberikan kontribusi bagi pengenalan akan kehadiran Kristus yang nyata di dalam Sakramen Mahakudus. Karena itu, tempat di mana Ekaristi disimpan, yang ditandai oleh lampu tempat kudus, harus mudah terlihat dari siapapun yang memasuki gereja. Maka menjadi penting untuk diperhatikan dalam arsitektur bangunan: di gereja-gereja yang tidak mempunyai kapel Sakramen Mahakudus, dan di mana ada altar tinggi dengan tabernakelnya, adalah layak untuk terus menggunakan struktur ini untuk penyimpanan dan penyembahan Ekaristi, asalkan diperhatikan untuk tidak menempatkan kursi pemimpin di depannya. Di gereja-gereja baru, adalah baik untuk menempatkan kapel Sakramen Mahakudus dekat dengan panti imam. Ketika ini tidak memungkinkan, adalah dianjurkan untuk menempatkan tabernakel di panti imam, di tempat yang cukup ditinggikan, di bagian tengah/ pusat dari ujung cekungan pengakhiran gereja (at the center of the apse area) atau di tempat lain yang sama-sama mencolok/ mudah terlihat. Perhatian kepada pertimbangan-pertimbangan ini akan memberikan kontribusi martabat kepada tabernakel yang harus selalu diperhatikan, juga dari sudut pandang artistik. Jelaslah adalah penting untuk mengikuti ketentuan dari Pedoman Umum Misale Romawi tentang hal ini. Dalam setiap keadaan, keputusan akhir tentang hal-hal ini ditentukan oleh Uskup Diocesan.” (Sacramentum Caritatis, 69)

Berikut ini adalah ketentuan tentang Tabernakel menurut Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR):

314. Sesuai dengan tata bangun masing-masing gereja dan kebiasaan setempat, Sakramen Mahakudus hendaknya disimpan dalam tabernakel yang dibangun di salah satu bagian gereja. Tempat tabernakel itu hendaknya sungguh mencolok, indah dan cocok untuk berdoa.

Seturut ketentuan hendaknya ada satu tabernakel dalam gereja. Tabernakel hendaknya dibangun permanen, dibuat dari bahan yang kokoh, tidak mudah dibongkar, dan tidak tembus pandang. Tabernakel hendaknya dilengkapi dengan kunci yang aman, sehingga setiap bahaya pencemaran dapat dihindarkan. Seyogyanya sebelum dikhususkan untuk penggunaan liturgis, tabernakel diberkati seturut tata cara yang diuraikan dalam buku Rituale Romanum.

315. Sangatlah sesuai dengan makna simbolisnya, kalau tabernakel sesuai dengan makna simbolisnya, kalau tabernakel sebagai tempat menyimpan Sakramen Ekaristi tidak diletakkan di atas meja altar di mana dirayakan Ekaristi.

Oleh karena itu, sesuai dengan kebijakan uskup diocesan, tabernakel lebih baik ditempatkan:

a. kalau di panti imam, terpisah dari altar yang digunakan untuk merayakan Ekaristi, dalam bentuk dan tempat yang serasi, tidak terkecuali pada altar lama yang tidak digunakan untuk merayakan Ekaristi. [Catatan dari Katolisitas: ini terkait dengan bangunan gereja lama yang memiliki struktur meja altar dengan kesatuan dengan tabernakel untuk merayakan Extra Ordinary Mass/ Tridentine Mass]

b. di Kapel yang cocok untuk sembah sujud dan doa pribadi umat beriman, dari segi tata bangun, kapel ini hendaknya terhubung dengan gereja dan mudah dilihat oleh umat.

316. Selaras dengan tradisi, di dekat tabernakel harus dipasang lampu khusus yang menggunakan bahan bakar minyak atau lilin. Lampu ini bernyala terus menerus sebagai tanda dan ungkapan hormat akan kehadiran Kristus.

Tempat duduk umat

Hendaknya diperhitungkan agar posisi bangku mendukung partisipasi yang baik selama perayaan. DI samping memungkinkan perarakan Komuni; jaran antar bangku dan bentuk bangku tak menghalangi gerak-gerik simbolis selama perayaan serta konsentrasi dan penyesuaian diri ke dalam setiap bagian ritual.

Tempat koor dan organis

Koor adalah bagian dari umat dan harus di tempatkan di ruang umat. Namun demikian tempatnya hendaknya agak lebih tinggi sekaligus tidak membelakangi umat, sebab tugas mereka terutama menyemangati umat dalam menyanyi. Tempat organis pun diperhitungkan dengan kemudahan komunikasi baik dengan dirigen, umat maupun pemimpin perayaan.

Berikut ini ketentuan dari PUMR:

312. Paduan suara merupakan bagian utuh dari umat yang berhimpun, namun memiliki tugas yang khusus. Oleh karena itu, dengan memperhatikan tata ruang gereja, paduan suara hendaknya ditempatkan sedemikian rupa sehingga kedua ciri khas tersebut tampak dengan jelas. Juga agar paduan suara dapat menjalankan tugasnya dengan mudah, dan memungkinkan setiap anggota berpartisipasi secara penuh dalam Misa yaitu berpartisipasi secara sakramental.

313. Organ dan alat-alat musik lain yang boleh digunakan dalam liturgi, hendaknya diatur pada tempat yang cocok, sehingga dapat menopang nyanyian baik paduan suara maupun umat, dan kalau dimainkan sendiri dapat didengar dengan baik oleh seluruh umat….

Rancangan lukisan

Hendaknya lukisan dan kesenian merupakan pengembangan lebih lanjut dari misteri yang dirayakan dalam kaitannya dengan sejarah keselamatan dan umat beriman. Hendaknya sudah dirancang sejak awal proyek pembangunan. Dapat disesuaikan dengan budaya lokal dalam kerjasama dengan seniman, tukang dan penata ruang. Juga Salib, gambar Bunda Maria, pelindung paroki, Jalan Salib, harus diciptakan sebagai hasil karya seni yang bermutu dan mampu mengangkat hati kepada Yang Ilahi.

Kapel untuk Misa harian

Apabila gereja sangat luas maka untuk misa harian dapat dipakai bagian kecil dari ruang umat untuk perayaan liturgi dengan kelompok kecil. Dapat dipakai ruang samping yang berhadapan langsung dengan tabernakel.

Peralatan dan bahan-bahan

Bukannya yang dimaksudkan di sini sekedar sebagai perhiasan luaran yang memenuhi syarat untuk dapat dipakai tetapi merupakan alat-alat yang sepenuhnya berfungsi yang harus dirancang dengan teliti supaya selaras dengan keseluruhan bangunan. Bahan yang dipilih hendaknya sederhana, tetapi bermutu, bukannya mewah tetapi mengarah kepada kebenaran maksud penggunaan dan sekaligus berdaya bagi pendidikan umat beriman serta menciptakan suasana sebagai tempat yang suci.

Gagasan dasar untuk penggunaan alat dan bahan ialah keaslian bentuk, materi dan tujuan bahan dan perkakas. Khususnya yang menjadi soal ialah pemilihan dan penggunaan bahan-bahan natural seperti misalnya: bunga-bunga, tumbuhan, lilin dan kayu. Kalau tentang hiasan kembang dapatlah misalnya merancang satu atau beberapa rangkaian pada pelataran imam, bukan hanya demi peraturan, tetapi juga demi kepentingan liturgi menurut Masa, tingkatan perayaan, prioritas tempat dan keseimbangan tata ruang. Kriteria pertama ialah kebenaran liturgis, sederhana tak berlebihan namun estetis dalam penyesuaian dengan keseluruhan tata ruang dan mutu kreasi artistiknya dengan bahan modern atau tradisional. Dalam penggunaan bahan-bahan/ peralatan antik, hendaknya sangat menghormati identitas budaya, sejarah, dan seni seraya menghindari kesewenangan dan pengubahan yang tidak sepadan.

Berikut ini adalah ketentuan tentang patung kudus dan perabot-perabot lain, dalam PUMR:

318. Dalam liturgi yang dirayakan di dunia, Gereja mencicipi liturgi surgawi yang dirayakan di kota suci Yerusalem. Gereja ibarat peziarah yang berjalan menuju Yerusalem baru, tempat Kristus duduk di sisi kanan Allah. Dengan menghormati para kudus, Gereja juga berharap agar diperkenankan menikmati persekutuan dengan mereka, dan ikut merasakan kebahagiaan mereka.

Maka sesuai dengan tradisi Gereja yang sudah sangat tua, ruang ibadat dilengkapi juga dengan patung Tuhan Yesus, Santa Perawan Maria, dan para kudus, agar dapat dihormati oleh umat beriman. Di dalam gereja, patung-patung itu hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga dapat membantu umat beriman menghayati misteri-misteri iman yang dirayakan di sana, Maka harus diupayakan jangan sampai jumlahnya berlebihan dan patung-patung itu hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga tidak membelokkan perhatian umat dari perayaan liturgi sendiri. Pada umumnya, pemanfaatan patung dalam tata ruang dan tata hias gereja, hendaknya sungguh mempertimbangkan keindahan dan keagungan patung itu sendiri serta manfaatnya untuk kesalehan seluruh umat.

348. Perabot-perabot lain yang digunakan dalam liturgi atau dipakai dalam gedung gereja hendaknya selalu pantas dan sesuai dengan tujuannya masing-masing….

Pengaturan tempat-tempat khusus yang menyatu pada badan gereja

Sakristi

Ruang sakristi hendaknya indah, rapi, bukan semacam gudang dengan tumpukan barang. Hendaknya cukup luas, bukan hanya untuk menerima kehadiran para petugas liturgi tetapi karena juga menjadi tempat penyimpanan buku-buku upacara, pakaian dan berbagai peralatan suci. Dapat dikembangkan juga dengan ruangan untuk P3K, untuk para penghias gereja bekerja; untuk pertemuan imam dengan umat secara informal. Sedapat mungkin terdiri dari dua pintu: menuju pelataran imam dan yang menuju ke umat, di samping pintu untuk urusan lain. Dapat diperhitungkan pula jalan yang memadai menuju pintu gerbang depan untuk introitus dengan perarakan meriah.

Tambahan keterangan dari PUMR:

334. Kebiasaan membangun sakrarium (sumur suci) di sakristi hendaknya dipertahankan. Ke dalam sakrarium inilah dituang air bekas pencuci bejana kudus dan kain-kain (bdk. PUMR 280).

Pelataran masuk dan Pintu utama

Ini sangat penting untuk menerima kedatangan umat, tetapi sekaligus sebagai persiapan dekat bagi umat untuk beralih dari dunia ramai menuju ke tempat yang suci. Hendaknya bentuk bangunan cukup terbuka, sekaligus menjadi tempat memasang pengumuman-pengumuman parokial.

Pintu masuk utama harus menjadi simbol Kristus, “pintu” untuk domba-domba-Nya (Yoh 10:7). Dapat dihiasi dengan ikonografi yang sesuai. Perhitungkanlah sedemikian rupa agar umat tidak berdesakan waktu hendak masuk atau keluar dari gereja.

Menara dan lonceng

Menara jangan dibuat tanpa rencana dan jangan sekedar untuk menyangga lonceng. Tinggi dan indahnya menara sangat mendukung arti keluhuran gereja di tengah kota dan masyarakat. Dimensi dan strukturnya angan sampai terlalu menyita biaya. Lonceng gereja sangat dianjurkan bentuk yang tradisional dan variasi bunyi yang menghantar orang kepada kekhusukan. Janganlah sekedar memakai kaset rekaman.

Bangunan untuk pelayanan pastoral dan rumah paroki

Hendaknya bentuk dan letaknya mendukung kelayakan. Jangan sampai lebih mewah dan lebih megah dari gereja paroki; namun demikian diri khasnya perlu diperhatikan sebagai: rumah kediaman, tempat menerima tamu dan umat untuk misi pastoral kegerejaan; untuk berbagai kegiatan rapat seksi-seksi paroki; sekaligus aula liturgi untuk latihan koor.

[Ditulis oleh Rm. Bosco da Cunha O.Carm, Komisi Liturgi KWI, dengan mengambil sumber dari Notitiae 322, Maio 1993-5, citta del Vaticano, p. 290-303. Dengan persetujuan Rm. Bosco, Katolisitas menambahkan beberapa sumber untuk topik yang terkait, untuk melengkapi penjelasan dari Rm Bosco.]

 

Tentang St. Valentine’s day

14

Ada beberapa St. Valentine yang dikenal dalam tradisi Gereja Katolik. Namun yang sering dihubungkan dengan Valentine’s day, adalah kisah yang ini, silakan klik. St. Valentine  (abad 3) yang dikisahkan di sini adalah ia yang menjadi martir karena sebagai imam ia banyak menikahkan pasangan muda- mudi, dan dengan demikian ia melanggar perintah Kaisar Claudius di Roma yang pada waktu itu melarang kaum pemuda untuk menikah karena ia berpendapat mereka yang menikah akan terikat pada keluarga dan tidak dapat menjadi serdadu kerajaan yang baik. St. Valentine tidak mengindahkan larangan tersebut, dan meluluskan permohonan para muda- mudi yang ingin menikah, dan karenanya ia ditangkap dan akhirnya dibunuh.

Mengenai makna hari itu yang sekarang jadi dimaknai menyimpang, sampai mengakibatkan hubungan intim muda-mudi di luar pernikahan, tentu menjadi keprihatinan kita semua. Sebab bukan demikian maksudnya. Kasih yang sejati itu sanggup menunggu/ “True love waits” sampai mereka sungguh dipersatukan oleh Tuhan sendiri. Mungkin ini yang harus ditekankan oleh pihak orang tua dan para pengajar muda- mudi. Silakan membaca buku karangan Paus Yohanes Paulus II, “Theology of the Body”, yang telah diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia oleh Romo Deshi Ramadhani SJ.

Maka sebaiknya untuk merayakan Valentine’s day, jika ingin merayakannya, yang terbaik adalah: para orang tua berdoalah bersama- sama dengan anak remaja mereka itu, sebelum mengizinkan mereka pergi. Jika perlu berdoalah bersama dengan “sang calon” mohonkan rahmat iman, kemurnian dan kasih yang tulus. Kepada ayah/ bapa, silahkan memberkati anaknya, dan setelah anak itu pergi, silakan orang tua berdoa rosario/ berdoa bersama dengan ibu untuk mendoakan anaknya, agar malaikat Tuhan menjaga mereka dan menghindari mereka dari kuasa jahat.

Selanjutnya, kalau mau me-maknai kasih sayang dengan lebih umum, tidak terbatas pada pasangan muda/i, kita dapat  memberi tanda kasih, entah berupa kartu atau kado sederhana, kepada orang-orang yang berjasa pada kita, kepada mereka yang sering kita minta bantuan, yang sering kita lupakan. Kartu/ kado ini bisa diberikan kepada orang tua, guru, sahabat, bahkan pembantu rumah tangga kita, yang sebenarnya menjadi “sahabat” yang membantu kita setiap hari.

Perayaan/ peringatan Valentine’s day jika hanya untuk merayakan persahabatan, itu tidak menjadi masalah, karena pada dasarnya merayakan kasih sayang itu tidaklah keliru asalkan tidak berlebihan. Maka jika acaranya hanya makan- makan atau jika yang berkumpul banyak pasangan muda/i, disertai dengan acara permainan, itu tidak menjadi masalah. Yang salah adalah jika kasih sayang itu diartikan keliru, yang mengarah kepada kehendak sendiri, di luar hukum Tuhan. Inilah yang harus dihindari oleh kaum muda mudi. Sesungguhnya jika para kaum muda mau belajar sedikit saja dari banyaknya surat tentang problema perkawinan yang masuk ke situs ini, mereka akan mengetahui bahwa hubungan seks sebelum pernikahan ternyata membawa banyak masalah, dan bahkan banyak akhirnya menjurus kepada perpisahan. Nantinya kedua belah pihak dapat merasa dibohongi, dan tersiksa sesudahnya atas akibat perbuatan mereka. Ini harus diakui sebagai konsekuensi dosa, yang sebenarnya tidak perlu dialami, seandainya dosa tersebut tidak dilakukan. Bagi yang sudah terlanjur melakukan, tidak ada kata terlambat untuk bertobat, sebab ada kalanya Tuhan mengizinkan seseorang belajar bertumbuh justru dari pengalaman yang menyakitkan. Namun  selanjutnya, ikutilah kehendak Tuhan, jika kemurnian kasih dan kasih sejati yang dicari. Semoga dengan demikian, para muda mudi dapat menemukan pasangan hidup yang sejati, yang mengasihi dengan tulus, tanpa dinodai oleh keinginan daging yang bertentangan dengan perintah Tuhan.

Menjadi Bijak di Dalam Iman

6

[Minggu Biasa ke VI: Sir 15:15-20; Mzm 119:1-34; 1Kor 2:6-10; Mat 5:17-37]

Mungkin telah sering kali kita  mendengar perikop Injil yang dibacakan hari ini. Yaitu bahwa Yesus tidak datang untuk membatalkan hukum Taurat, tetapi untuk menggenapinya. Namun sejujurnya, mungkin ada banyak orang yang tidak sepenuhnya memahami, seperti apakah artinya ‘penggenapan’ dalam diri Kristus. Ini terlihat dari fakta bahwa ada banyak orang yang menggunakan ayat Mat 5:18 sebagai dasar bagi ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran Gereja Katolik. Soal penggenapan hukum sunat, hukum perkawinan, dan perayaan Sabat, hanyalah beberapa contohnya. Lalu seringkali hanya dengan ditunjukkan ayat Mat 5:18, lalu sejumlah umat Katolik sudah bingung, dan bahkan ada yang kemudian memutuskan untuk meninggalkan Gereja Katolik.

Gereja melalui bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini mengajarkan, bahwa Kristus menggenapi hukum Taurat dengan mengembalikan, menyempurnakan dan mengangkat hukum-hukum Taurat Perjanjian Lama itu ke maksud asalnya, yaitu ke tingkatan yang lebih tinggi daripada peraturan yang terbatas oleh ketentuan lahiriah. Itulah sebabnya baptisan sebagai sunat rohani menjadi penggenapan sunat jasmani; perkawinan monogam tak terceraikan menjadi penggenapan makna perkawinan; perayaan hari Minggu sebagai hari Tuhan menjadi penggenapan hukum Sabat, dan seterusnya. Hukum Taurat itu memang tidak dibatalkan, namun digenapi dengan cara yang berbeda dalam Perjanjian Baru. Kristus mengajar para Rasul-Nya untuk memahami kebijaksanaan Allah yang mendasari segala hukum Taurat. Kristus, yang dalam Perjanjian Lama sering digambarkan sebagai Sang Kebijaksanaan Allah, menuntun para Rasul sehingga merekapun beroleh kebijaksanaan untuk memahami dan menyampaikan arti dan maksud hukum-hukum Allah ini kepada Gereja-Nya. Gereja kemudian melestarikan hukum-hukum ini, yang telah digenapi oleh Kristus. Maka, jika kita ingin memperoleh pemahaman yang benar akan maksud ayat-ayat Kitab Suci dan ajaran Kristus, kita perlu mendengarkan Gereja. Paus Paulus VI dalam khotbahnya tanggal 1 Maret 1967, berkata, “Ketika kita menerima Iman yang diajarkan oleh Gereja, kita berhubungan langsung dengan para Rasul… dan melalui mereka, kita berhubungan dengan Yesus Kristus, Guru kita yang pertama dan satu-satunya. Kita bersekolah di sekolah mereka, sepertinya demikian, dan mengatasi rentang abad yang memisahkan kita dari mereka.”

Sungguh, kita perlu berterima kasih kepada Magisterium Gereja Katolik -yaitu para Paus sebagai penerus Rasul Petrus dan para uskup dalam persekutuan dengan Paus. Sebab melalui Magisterium, Gereja Katolik mempunyai ajaran yang sama sejak saat ia didirikan oleh Kristus di abad pertama, sampai sekarang, dan selama-lamanya. Dengan mempelajari ajaran Gereja-lah, yang adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Tim 3:15), kita memperoleh pemahaman yang benar akan ajaran iman kita, sebagaimana diajarkan oleh Kristus. Melalui ajaran Magisterium Gereja-lah, kita tahu bagaimana menyikapi berbagai informasi yang beredar di sekitar kita, yang kadang berpotensi melemahkan iman. Dengan prinsip kebijaksanaan Kristus yang melatarbelakangi setiap hukum Tuhan, kita mengetahui bahwa dalam keadaan apapun, Gereja tidak mungkin memperbolehkan aborsi ataupun perkawinan sesama jenis -kedua hal yang belakangan ini ramai dibicarakan di internet dan pesan BB. Kristus yang mengajarkan bahwa berzinah dalam pikiran saja sudah merupakan dosa (lih. Mat 5:27-28), tidak mungkin mengizinkan perbuatan zinah ataupun tindakan nyata lainnya yang melanggar kemurnian. Walaupun mungkin sejumlah tokoh dunia menghendaki Gereja Katolik mengubah ajarannya, namun sebagaimana kita baca di Injil hari ini, Gereja tidak mungkin mengubah ajarannya, karena ketaatannya kepada Kristus yang mendirikannya. Marilah kita mendoakan Paus Fransiskus, agar ia beroleh rahmat kebijaksanaan untuk memimpin Gereja dengan ketaatan dan kesetiaan. Juga marilah kita memohon rahmat Allah agar kitapun  beroleh hikmat kebijaksanaan agar dapat bertumbuh dalam iman.

Tuhan Yesus, kumohon hikmat dari-Mu, agar aku dapat membedakan apa yang baik dan yang jahat, apa yang sungguh berasal dari-Mu dan yang bukan. Berikanlah kepadaku juga kerendahan hati untuk menerima ajaran Gereja, yang menuntunku untuk memahami ajaran-Mu dalam kepenuhannya.”

Dari mana asalnya Kitab Suci?

8

Mungkin di sepanjang segala abad, tak ada buku yang lebih unik dan paling dibicarakan orang selain dari Kitab Suci. Walau sejumlah orang meragukannya, ataupun membencinya, namun Kitab Suci tetap terbukti merupakan buku yang paling banyak dibaca orang sepanjang sejarah. Walaupun di sepanjang sejarah ada banyak orang bermaksud melenyapkan Kitab Suci – seperti sejumlah kaisar Romawi di abad-abad awal yang mengeluarkan dekrit untuk membakar semua Kitab Suci- toh kenyataannya ada saja salinan Kitab Suci yang tetap ‘survive‘ dan Kitab Suci tetap eksis sampai sekarang. Voltaire, seorang seorang tokoh Enlightenment dari Perancis, yang dikenal karena sikap skeptiknya terhadap Gereja, konon pernah memperkirakan bahwa di abad ke -19, Kitab Suci akan menjadi buku antik yang hanya dipajang di museum. Namun faktanya, perkiraan Voltaire meleset jauh, sebab yang terjadi adalah sebaliknya. Setelah wafatnya, nama Voltaire dan tulisannya mungkin hanya dikenal dalam buku sejarah, tetapi Kitab Suci masih tetap hidup dan dibaca banyak orang setiap hari, dan menjadi pegangan bagi kehidupan banyak orang, sampai saat ini.

Bible: Kitab yang suci

Bible berasal dari kata Yunani, biblos atau biblon. Kita mengenal kata ‘bible‘ dalam artinya sekarang dari St. Hieronimus di abad ke-4, yang menyebutnya sebagai “the Holy Books“, atau “the Books“, ta biblia. Persamaan kata dari the Holy Bible adalah the Holy Scriptures, yang mengacu kepada kitab-kitab yang dikenal sebagai sabda Allah yang merupakan satu kesatuan dalam kesinambungan ilahi.

Unik dalam penulisannya, unik dalam pelestariannya

Sejak dari penulisannya sampai juga kepada pelestariannya, Kitab Suci mempunyai ciri khasnya tersendiri, yang tidak dimiliki oleh buku-buku lainnya.

Ke- 73 kitab dalam Kitab Suci ditulis dalam rentang waktu berabad-abad, sekitar 1600 tahun, yang ditulis oleh sekitar 50 orang yang berbeda dari negara ataupun tempat yang berbeda. Namun semuanya menuliskan rencana keselamatan Allah yang mengacu dan mengerucut kepada Kristus. Kitab-kitab Perjanjian Lama menjabarkannya secara samar-samar, entah melalui nubuat maupun gambaran tokoh-tokohnya, namun kitab-kitab Perjanjian Baru menyampaikan penggenapannya secara jelas dan sempurna, di dalam Kristus Sang Putera Allah yang menjelma menjadi manusia. Koherensi atau keselarasan semua bagian dari kitab-kitab ini yang ditulis oleh banyak penulis yang berbeda sepanjang rentang abad yang cukup panjang- sekitar 17 abad ini- membuktikan bahwa kitab ini bukan semata karya tulis manusia, namun Allah sendiri-lah yang menginspirasikan penulisannya.

Buku yang berasal dari perkataan Sabda

Kita hidup di zaman tulisan, entah lewat media buku atau sekarang, melalui internet. Maka sulit bagi kita untuk membayangkan bahwa Kitab Suci itu asalnya adalah dari perkataan lisan. Berikut ini adalah penjelasan yang disarikan dari buku What is the Bible, karangan Henri Daniel- Rops ((Cf. Henri Daniel- Rops, What is the Bible, The Twentieth Century Encyclopedia of Catholicism, volume 60, (New York: Hawthorn Books, 1959) p. 14-25)):

Kitab Suci kita yang nampaknya relatif seragam sekarang, sebenarnya berasal dari komponen-komponen yang beragam. Ada saatnya di mana sebelum kalimat-kalimat tersebut dicetak dalam buku, perkataan tersebut pertama-tama didaraskan kepada para pendengar oleh para pembawa Kabar Gembira. Maka jauh sebelum dicetak, Kitab Suci pada awalnya merupakan ajaran lisan. Bentuknya adalah kisah narasi, yang disampaikan dengan pola tertentu, yaitu dengan ritme tertentu dan puisi bersajak, rangkaian kata-kata bijak yang ringkas, ataupun dengan pengulangan kata-kata tertentu yang sama. Hal ini memungkinkan teks tersebut dapat diturunkan dari generasi ke generasi, ketika bahasa tulisan belum menjadi alat komunikasi yang umum. Ini sejalan dengan keadaan budaya, spiritualitas dan sastra dalam masyarakat di mana Kitab Suci berasal. Kitab Suci bertumbuh dalam pola masyarakat yang komunal dan tidak individual, sebagai sesuatu yang spontan dan hidup; jauh berbeda dengan budaya kertas di zaman modern, di mana bahasa tulisan menjadi sesuatu yang otomatis dan umum. Agaknya sulit bagi kita untuk membayangkan bahwa ada suatu zaman dalam sejarah, di mana masyarakat dapat hidup tanpa ketentuan baku yang tertulis.

Dalam kehidupan masyarakat Israel kuno, sampai zaman Kristus, keadaannya sangat berbeda dengan zaman kita. Masyarakat saat itu terbiasa untuk berbicara dengan fasih berdasarkan kemampuan mengingat akan suatu fakta/ kebenaran. Maka sistem pendidikan saat itu bertujuan mendidik para murid, agar mempunyai ingatan seperti seumpama sumur, yang tidak membiarkan setetes-pun dari ajaran gurunya menghilang ke luar. Maka ini dilihat dari seni menghafal dan menyusun suatu komposisi teks. Ada ritme ataupun pengulangan kata-kata tertentu, atau kemiripan bunyi, untuk membantu agar teks menjadi lebih mudah untuk diingat. Kita mengetahui bahwa ajaran sudah ada jauh sebelum dituliskan, seperti halnya nubuat-nubuat nabi Yeremia yang sudah diajarkan secara lisan tujuh puluh dua tahun lamanya sebelum ajaran itu dituliskan dalam kitab. Demikian juga halnya dengan kitab-kitab nubuat lainnya, kitab Mazmur dan kitab Kidung Agung.

Namun demikian, bukan berarti bahwa di zaman itu, elemen tertulis tidak ada sama sekali. Kitab Suci sendiri secara tidak langsung menyebutkan adanya suatu kitab tertentu. Di kitab Yosua, disebutkan adanya “Kitab Orang Jujur” (Yos 10:13). Dewasa ini setelah penemuan-penemuan arkeologis dari Sinai ke Ras Shamra, diketahui adanya tulisan-tulisan Kitab Suci sejak abad ke-sepuluh dan keduabelas sebelum masehi. Sejak zaman Nabi Musa di Mesir, tulisan telah menjadi penggunaan umum di daerah sungai Nil selama lima belas abad. Namun demikian, elemen-elemen tulisan ini hanya menjadi alat bantu untuk mengingat, sebelum elemen-elemen tersebut dikompilasikan menjadi kitab-kitab seperti yang kita kenal sekarang.

Proses yang sama terjadi pada kitab Perjanjian Baru, yaitu Injil, Kisah Para Rasul, Surat-surat Rasul dan Kitab Wahyu. Surat-surat Rasul Paulus didiktekan, dan di sini gaya lisan timbul. Juga, kitab-kitab Injil jelaslah merupakan ajaran lisan, sebelum dituliskan. Generasi pertama Gereja hidup dari ketergantungan terhadap ajaran lisan ini. Selama empat atau lima generasi Kristen mendengarkan Injil sebagai kisah yang diturunkan melalui perkataan lisan, oleh para saksi yang kredibel. Sekitar tahun 130, ketika keempat pengarang Injil telah menuliskan kitab-kitab mereka, St. Papias, Uskup Hierapolis di Phyrgia menegaskan bahwa bagaimanapun juga, ia lebih menghargai suara/ ajaran lisan dari para Rasul yang telah hidup dan berakar dalam Gereja. ((Cf. St. Papias, Fragment of Papias, Ch. I. From the Exposition of the Oracles of the Lord, in Ante-Nicene Fathers: St. Papias berkata, “Maka, jika siapapun yang telah mendengarkan pengajaran para tua-tua datang, aku bertanya dengan serinci-rincinya tentang apakah yang mereka ajarkan, – apa yang dikatakan oleh St. Andreas, atau St. Petrus, atau apakah yang dikatakan oleh Filipus, atau Tomas, atau Yakobus, atau oleh Yohanes, atau Matius, atau oleh para murid Tuhan lainnya…. Sebab aku membayangkan bahwa apa yang harus diperoleh dari kitab-kitab tidaklah sedemikian bergunanya bagiku, seperti apa yang datang dari suara/ ajaran lisan yang telah hidup dan menetap.)) Demikian pula, St. Irenaeus di Lyons, mengenang hari-hari ketika ia biasa mendengarkan St. Polycarpus, Uskup agung Smyrna, apapun yang didengarnya sendiri dari St. Yohanes Rasul. Namun demikian, demi kepentingan membimbing mereka yang meneruskan kitab Injil, dan keinginan untuk menghindari deviasi, kesalahan, distorsi, maka akhirnya Injil dituliskan.

Transisi menjadi ajaran yang tertulis

Transisi dari ajaran lisan menjadi tulisan juga menyisakan pertanyaan-pertanyaan. Yang pertama adalah soal waktu, yaitu pada titik mana teks tersebut ditulis? Pada teks Perjanjian Lama, terdapat kemungkinan tiga kali periode penulisan yang intensif: 1) Pada zaman Hezekiah/ Ezechias (Hizkia) anak Raja Ahaz, kemungkinan ajaran lisan maupun tulisan di Kerajaan Selatan (Yehuda) disusun, untuk dibandingkan dengan ajaran- ajaran yang dikumpulkan oleh Kerajaan Utara (Israel), yang dibawa oleh para ahli Samaritan, yang melarikan diri ke Yerusalem di sekitar tahun 722 SM (lih. Ams 25). 2) Di zaman Yosia, ditemukan kitab Ulangan dan versi lengkap yang pertama dari kelima kitab Musa atau Pentateuch. Karya ini diselesaikan setelah orang-orang Israel kembali dari zaman pengasingan, ketika Raja Cyrus (Koresh) di tahun 538 memperbolehkan kaum sisa Israel yang dibuang di Babilon untuk kembali ke negara mereka dan mendirikan semacam negara kecil di bawah perlindungan negara Persia. 3) Seperti Nehemia di sekitar tahun 445 SM membangun kembali tembok Yerusalem, Esdras (Ezra) membangun tembok benteng rohani, yaitu Bible/ Kitab Suci. Dikatakan bahwa ia mendiktekan kitab-kitab suci dan membuat bangsa tersebut mengikuti ketentuan-ketentuannya. Di abad kelima sebelum Masehi ini, versi-versi kuno yang berupa fragmen dikumpulkan, ajaran lisan dituliskan dan semua elemen yang bervariasi ini disusun menjadi koheren. Terhadap susunan Kitab Suci inilah, kemudian ditambahkan sejumlah kecil teks-teks rohani yang berasal dari abad-abad sesudahnya.

Fakta tentang Kitab Perjanjian Baru, kemungkinan lebih dikenal. Sebagaimana jelas tertulis di dalamnya, Kisah para Rasul, Surat-surat dan Kitab Wahyu merupakan teks yang dituliskan atau didiktekan. Sedangkan untuk keempat Injil, transisi dari perkataan mulut menjadi kitab terjadi dalam waktu yang berbeda, untuk alasan yang berbeda dan dalam keadaan yang berbeda. Kesaksian Papias mengatakan demikian: “Matius adalah yang pertama menuliskan perkataan Tuhan dalam bahasa Ibrani.” Maka diperkirakan Rasul Matius yang dulunya adalah pemungut cukai, adalah yang pertama menuliskan Injilnya, di sekitar tahun 50-an dengan bahasa Aram. Segera setelah itu, St. Petrus, yang saat itu di Roma, diikuti oleh Markus, seorang muda Yahudi yang mengenal bahasa Yunani. Dengan mendengarkan Rasul Petrus, Markus menulis apa yang didengarnya, dan membandingkan catatannya dengan bantuan ingatan banyak orang/ saksi pada saat itu, dan di tahun 55-62 menuliskan Injilnya.  Injil Markus ini ditulis dalam bahasa Yunani popular dan ditujukan untuk umat Kristen golongan bawah di Roma. Pada saat yang bersamaan, Lukas, seorang tabib/ dokter yang terpelajar yang menjadi teman seperjalanan Rasul Paulus tiba di Roma. Ia telah belajar banyak dari Rasul Paulus dan sepanjang waktu ia tinggal di Yerusalem telah mengumpulkan informasi langsung dari para saksi, termasuk kemungkinan dari Bunda Maria sendiri. Lukas lalu menuliskan Injilnya dalam bahasa Yunani yang sempurna dan ditujukan pertama-tama kepada orang-orang yang terpelajar yang ada disekitar Rasul Paulus. Kitab Injil-injil Yunani ini kemudian mulai dikenal orang, dan Rasul Matius juga kemudian menerjemahkan Injilnya dari bahasa Aram ke bahasa Yunani, kemungkinan sekitar tahun 64-68. Sedangkan Injil yang keempat, dari Rasul Yohanes, ditulis di Efesus setelah ketiga Injil yang lain ditulis. Injil Yohanes merupakan campuran antara kenangan, dokumentasi dan permenungan spiritual dan biasanya diperkirakan ditulis pada akhir abad pertama, kemungkinan sekitar 96-98. Urutan penulisan Injil sedemikian: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, dicatat dalam kesaksian St. Irenaeus, murid St. Polycarpus yang adalah murid Rasul Yohanes. ((lih. St. Irenaeus, Against the Heresies, Book III, ch 1,1))

Dalam bahasa apa Kitab Suci ditulis?

Secara umum terdapat tiga bahasa asli Kitab Suci:

1. Bahasa Ibrani, digunakan dalam kitab-kitab yang berasal dari tradisi Yahudi. Penemuan Dead Sea Scroll semakin memperkuat hal itu. Komunitas Essenes masih menggunakan bahasa Ibrani dalam naskah kitab-kitab mereka.

2. Bahasa Aram, yang berkaitan dengan bahasa Semitik, yaitu dialek bahasa Ibrani sehari-hari. Kitab yang ditulis dalam bahasa Aram adalah Injil Matius yang mula-mula, beberapa kitab Esdras (Ezra), Daniel dan Yeremia.

3. Bahasa Yunani, yang telah digunakan di zaman sesaat sebelum zaman Kristus -seperti yang digunakan dalam Kitab kedua Makabe dan Kebijaksanaan Salomo- dan juga di zaman Kristus dan setelahnya, sehingga kemudian kitab-kitab Kristiani di abad-abad awal ditulis dalam bahasa Yunani.

Cara penulisan Kitab Suci juga berbeda-beda dari abad yang berbeda. Tulisan Ibrani kuno tidak sama dengan tulisan Ibrani di zaman sekarang. Dalam tulisan Ibrani kuno tidak ada tanda-tanda dan titik yang menunjukkan adanya huruf hidup. Sedangkan tulisan Yunani dalam teks-teks Kitab Suci lebih mirip dengan tulisan Yunani yang dikenal sekarang, hanya saja pada teks asli tersebut, para penyalin tidak menyisakan spasi ataupun pemenggalan, sehingga sering menimbulkan kesulitan tersendiri untuk membacanya, ataupun untuk menurunkannya ke abad-abad berikutnya.

Pada bahan apa Kitab Suci yang asli ditulis?

Terdapat dua bahan material yang digunakan untuk menuliskan teks Kitab Suci: Yang pertama adalah papyrus, yaitu semacam batang rumput ilalang Mesir, yang diratakan dan gabungkan dengan coating, menjadi asal usul pembuatan kertas. Material ini lebih murah, namun lebih tidak tahan lama. Yang kedua adalah bahan dari kulit binatang, yang sering dikenal dengan sebutan parchment/vellum. Bahan ini lebih tahan lama. Awalnya baik papyrus maupun vellum digabungkan menjadi gulungan (disebut scroll), namun kemudian berkembang penulisan pada lembaran vellum yang disatukan menjadi bentuk buku, dan ini disebut codex. Penyusunan menjadi codex ini sudah dimulai di abad kedua sebelum Masehi, namun kemudian menjadi populer di zaman umat Kristen.

Manuskrip Kitab Suci

Mengingat sifat bahan manuskrip yang relatif tidak tahan lama, tidaklah mengherankan jika manuskrip asli kitab-kitab Suci telah punah. Hal ini juga terjadi pada manuskrip kitab-kitab non-religius di zaman itu, seperti Homer dan Pindar. Yang kita ketahui tentang kitab-kitab itu hanyalah salinannya. Namun demikian ada kekhususan dari manuskrip Kitab Suci, jika dibandingkan dengan karya-karya tulis lain sezamannya. Jika kita membicarakan teks-teks kuno, kita mau tidak mau harus memahami fakta yang terjadi sebelum ditemukannya mesin pencetak. Teks-teks tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya dengan salinan-salinan. Karena disalin secara manual maka memang terdapat bahaya adanya masalah akurasi dalam proses penyalinan. Hal ini berlaku pada penyalinan karya-karya sastra zaman kuno secara umum. Mungkin tak banyak orang yang mengetahui bahwa dalam penulisan karya-karya sastra klasik yang besar, terdapat interval/ selang waktu yang cukup besar antara saat karya tersebut disusun oleh pengarangnya dan saat ditemukannya salinan manuskrip yang pertama. Umumnya selang waktu itu mencapai seribu-an tahun. Hal ini juga membuktikan suatu fakta bahwa karya-karya sastra tersebut merupakan suatu warisan lisan yang telah hidup dan berakar dalam masyarakat tertentu selama berabad-abad, sebelum kemudian menjadi suatu karya tulis yang diturunkan. Demikianlah yang terjadi pada karya-karya yang ditulis oleh pengarang Yunani, seperti Sophocles (abad ke-5 SM), dan juga Aeshylus, Aristophanes,Thucydides, dan Plato, di mana manuskrip pertama yang diketahui berjarak 1100-1400 tahun dari saat penyusunan karya tersebut oleh pengarang-nya.

Demikian juga untuk kitab-kitab suci Ibrani. Teks tertua yang ditemukan, nampaknya adalah teks yang ditemukan di sinagoga di Karasubazar di Crimea, yang kurang lebih berasal dari abad 7 sampai 10. Di awal abad pertengahan para rabbi yang dikenal dengan sebutan Masorete memberikan perhatian terhadap tugas memperbaiki teks dan pelafalannya, dengan memberikan tambahan huruf hidup kepada teks Ibrani kuno. Teks ini kemudian dikenal dengan sebutan Massora. Konsekuensinya, memang terdapat perbedaan di sana sini antara teks Masoretik ini dengan sejumlah salinan teks lainnya, juga dari teks yang umurnya lebih tua, seperti manuskrip Septuaginta. Kitab Septuaginta adalah terjemahan Yunani (di abad ke-3-2 SM) dari kitab-kitab Perjanjian Lama Ibrani yang digunakan di Mesir dan Israel, yang kemudian kerap dikutip dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru. Namun demikian, secara umum, penemuan the Dead Sea Scroll di sekitar 1947, menunjukkan bahwa tingkat akurasi penyalinan kitab-kitab Perjanjian Lama tersebut sangatlah baik. The Dead Sea Scroll adalah naskah-naskah kuno -yang mengandung teks-teks Kitab Suci Perjanjian Lama- yang diperkirakan disembunyikan di gua-gua Qumran sekitar tahun 66-70, sebelum Jewish War. Teks-teks itu diperkirakan sudah eksis di abad-abad sebelumnya, yaitu diperkirakan sejak abad ke-2 atau bahkan ke- 4 sebelum Masehi. Salinan lengkap kitab Yesaya dan sebagian kitab Kejadian, Ulangan dan Keluaran- menunjukkan salinan yang sangatlah mirip atau hampir identik dengan teks yang kita kenal sekarang.

Bagaimana sekarang dengan teks dalam kitab Perjanjian Baru? Fakta menunjukkan Kitab Suci Perjanjian Baru menunjukkan bukti keotentikan yang jauh melebihi karya-karya tulis sezamannya. Sebagaimana telah disinggung di atas, keotentikan suatu tulisan bersejarah, pertama-tama dilihat dari jangka waktu antara ketika karya itu dituliskan sampai ketika manuskrip pertama ditemukan. Semakin pendek jangka waktunya, maka semakin sedikit kemungkinan kesalahan dan korupsi dari kisah kejadian yang sesungguhnya oleh kesalahan penulisan. Yang kedua, kita dapat melihat tingkat otentisitas manuskrip dari berapa banyak manuskrip otentik yang ada. Semakin banyak manuskrip yang ada tentang kisah kejadian yang sama, terutama jika dilakukan pada waktu yang sama, tetapi pada lokasi yang berbeda, maka akan menambah nilai integritas dan keotentikan dokumen.

Sekarang mari kita lihat melihat fakta karya tulis yang penting dalam literatur sejarah, jika dibandingkan dengan teks Injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru:

Karya tulis Kapan ditulis Copy pertama Jangka waktu Jumlah copy
Herodotus 488-428 BC 900 AD 1,300-1400 8
Thucydides 100 AD 1100 1,000 20
Caesar’s Gallic War 58-50 BC 900 AD 950 9-10
Roman History 59 BC-17 AD 900 AD 900 20
Homer (Iliad) 900 BC 400 BC 500 643
Injil dan PB 38-100 AD 130 AD 30-50 5000 ++ Yunani,
10,000 Latin,
9,300 bhs lain

Maka kita melihat bahwa dokumen tentang sejarah Romawi ditemukan sekitar 900 tahun atau hampir 1 millenium setelah kejadian terjadi, dan hanya ada 20 copy yang masih eksis. Sedangkan, penemuan arkeologis membuktikan bahwa manuskrip Injil ditemukan sekitar 30 tahun setelah kejadian, dan bahwa terdapat lebih dari 5500 manuskrip asli ((Robert Stewart. ed, The Reliability of the New Testament: Bart Ehrman and Daniel Wallace in Dialogue, (Minneapolis: Fortress Press, 2011), p.17.)) dalam bahasa Yunani (dan sekitar 20,000 non-Yunani) yang eksis. Kitab Injil dan Perjanjian Baru yang asli seluruhnya dituliskan dalam bahasa Yunani, karena bahasa Yunani pada saat itu merupakan bahasa yang umum dipakai, bahkan oleh kaum Yahudi. Banyaknya manuskrip Yunani yang asli tersebut dapat membantu mengidentifikasi adanya kelainan teks dan dengan demikian dapat diketahui teks aslinya. Banyaknya teks asli Perjanjian Baru juga tidak mendukung perkiraan bahwa teks tersebut dipalsukan. Sebab seseorang yang mau memalsukan harus juga mengubah beribu manuskrip yang sudah ada dan beredar di tempat-tempat yang berbeda.

Dengan melihat tabel di atas, secara obyektif kita melihat bahwa karya tulis sejarah Romawi bahkan terlihat sangat ‘minim’ jika dibandingkan dengan Injil, dari segi ke-otentikannya, akurasi dan integritasnya. Padahal orang zaman sekarang tidak mempunyai kesulitan untuk menerima sejarah Romawi tersebut sebagai kebenaran. Suatu permenungan adalah bagaimana Injil yang secara obyektif lebih ‘meyakinkan’ keasliannya dibandingkan sejarah Romawi malah mengundang perdebatan. Keaslian Injil juga kita ketahui dari tulisan Bapa Gereja, seperti St. Klemens (95) sudah mengutip ayat-ayat Injil, berarti pada saat itu Injil sudah dituliskan, demikian pula Kisah para rasul, Roma, 1 Korintus, Efesus, Titus, Ibrani dan 1 Petrus. Juga di awal abad ke-2, St. Ignatius (115) telah mengutip ayat Injil Matius, Yohanes, Roma, 1dan 2 Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, 1 & 2 Timotius dan Titus.

Dari banyaknya manuskrip asli tersebut, memang banyak orang menyangka bahwa akan terdapat banyak perbedaan-perbedaan teks. Namun ternyata, fakta menunjukkan tidak demikian. Tingkat kesesuaian manuskrip Perjanjian Baru adalah 99.5 % (dibandingkan dengan Homer/ Iliad 95%). Kebanyakan perbedaan adalah dari segi ejaan dan urutan kata. Tidak ada perbedaan yang menyangkut doktrin yang penting yang dapat mengubah doktrin Kristiani.

Memang untuk teks Perjanjian Baru, kita mengenal salinan-salinan dari zaman yang berbeda, sehingga teks dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu dengan istilah minuscule, uncials dan papyri. Minuscules adalah salinan yang diperoleh setelah abad ke-9; pada saat ini, ialah ada semacam standar penulisan teks, dan ini disebut ‘received text‘. Uncials adalah manuskrip yang ditemukan antara abad ke-4 sampai abad ke-9. Teks abad ke-4 yang terkenal adalah Codex Vaticanus (yang tersimpan di Vatikan), Codex Sinaiticus (yang ditemukan di biara Sinai, dan dibawa ke Rusia dan dijual ke British Museum). Codex Bezae di Cambridge adalah dari abad ke-5. Codex itu sampai ke tangan seorang murid Calvin yang bernama Theodore Beza, dan diberikan kepada Universitas di Cambridge tahun 1581. (Selanjutnya tentang banyaknya ragam codex, silakan membaca di link ini, silakan klik). Sedangkan untuk papyri, yang terkenal adalah Egerton papyrus yang disimpan di British Museum; The Chester Beatty papyri, yang kemudian disimpan di universitas Michigan. Fragmen papyri yang terbesar, mencakup hampir keseluruhan surat-surat Rasul Paulus. Namun papyrus yang paling berharga adalah Ryland papyrus yang disimpan di Manchester, yaitu papyrus yang mengandung tulisan Injil Yohanes bab 18, yang berasal dari tahun 130, yang hampir bersamaan dengan teks aslinya yang berasal dari tahun 96-98.

Kesimpulan: Kaitan tak terpisahkan antara Tradisi Suci, Kitab Suci dan Magisterium Gereja

Pemahaman akan asal usul terbentuknya Kitab Suci harusnya semakin membantu kita untuk mengakui bahwa sesungguhnya Kitab Suci (yaitu ajaran Kristus dan para Rasul yang dituliskan), tidak terpisahkan dari Tradisi Suci (ajaran lisan dari Kristus dan para Rasul). Sebab Kitab Suci berasal dari ajaran lisan dari Kristus dan para Rasul, yang kemudian dituliskan, atas dasar kemampuan memori dari para penulisnya, dan juga pertama-tama atas dorongan Roh Kudus. Dengan kata lain, Kitab Suci mengambil sumbernya dari Tradisi Suci yang telah hidup dan berakar dalam jemaat perdana. Maka, tidak menjadi masalah, jika faktanya teks Kitab Suci yang asli/ original kemungkinan sudah punah di abad kedua, sebab ajaran yang terkandung di dalam Kitab Suci sudah ada, tetap hidup dan dilestarikan dalam kehidupan Gereja. Hal ini terlihat dari banyaknya teks Kitab Suci yang dikutip dalam tulisan para Bapa Gereja yang hidup di abad-abad awal tersebut. Inilah yang menyebabkan Kitab Suci dapat terus diturunkan dan dituliskan dengan tingkat akurasi yang tinggi, walaupun salinannya baru dapat ditemukan di abad berikutnya (sejumlah salinan teks ditemukan di tahun 130, atau mayoritas teks ditemukan dalam codices yang umumnya berasal dari abad ke-4).

Selanjutnya terbentuknya Kitab Suci juga tidak dapat dipisahkan dari proses penentuan kanonnya. Sebab tidak semua dari karya tulis di abad-abad pertama dapat dikatakan sebagai karya yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Magisterium Gerejalah – pertama kali oleh Paus Damasus I- yang pada tahun 382 menentukan kitab-kitab mana yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, sehingga termasuk dalam kanon Kitab Suci. Maka Kitab Suci yang kita ketahui sekarang, berasal dari Magisterium Gereja Katolik.

Tentang sejarah kanon Kitab Suci, sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik.

Lampiran:

Tabel Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, pengarang dan perkiraan tahun penyusunannya

No  Nama Kitab  Pengarang Kitab  Perkiraan tahun penyusunan
PERJANJIAN LAMA:
A Kitab-kitab Hukum Musa
1 Kejadian Musa \  dikarang oleh Musa stl Exodus
2 Keluaran Musa  |   1600/ 1200 SM
3 Imamat Musa  | ditulis dalam beberapa tahapan
4 Bilangan Musa  |   850,750,650,450 SM
5 Ulangan Musa /
B Kitab-kitab Historis
6 Yosua NN/ Yosua sekitar 1200 SM
7 Hakim-hakim NN sekitar 1200- 970 SM
8 Ruth NN 1000-700 SM atau sebelum abad ke-6 SM
9 1 Samuel NN/ Samuel sekitar abad ke-6 SM
10 2 Samuel NN/ Samuel sekitar abad ke-6 SM
11 1 Raja-raja Yeremia 587 s/d sebelum 538 SM
12 2 Raja-raja Yeremia 587 s/d sebelum 538 SM
13 1 Tawarikh Ezra setelah 538 SM- abad 4 SM atau 250 SM
14 2 Tawarikh Ezra setelah 538 SM- abad 4 SM atau 250 SM
15 Ezra Ezra 458 SM
16 Nehemia Nehemia 445 SM
17 Tobit Tobit dan Tobias 350-170 SM
18 Yudit NN sekitar abad ke-2 SM
19 Ester Mordekhai setelah 480/465 SM
20 Ayub NN/ Musa sekitar 600- 400 SM
C Kitab-kitab Puitis dan Kebijaksanaan
21 Mazmur Daud, Musa,
Salomo, Asaph,
bani Korah, Eman,
Ethan, NN
sekitar abad ke-8 SM
22 Amsal Salomo 800 SM/sebelum abad ke-6 SM
s/d abad  ke-5 SM
23 Pengkhotbah NN/ Pseudo Salomo abad ke-3 SM
24 Kidung Agung Salomo setelah abad ke-8 SM
25 Kebijaksanaan NN/ Pseudo Salomo 200-150 SM
26 Sirakh Yeshua bin Sirakh 190-180 SM
D Kitab-kitab Nubuat
para Nabi
27 Yesaya Yesaya 742-701 SM, >539 SM, <520-473 SM
28 Yeremia Yeremia 627- <587 SM
29 Ratapan Yeremia sekitar abad ke-6 SM
30 Barukh Barukh/NN sekitar abad ke-6- 5 SM
31 Yehezkiel Yehezkiel sekitar abad ke-6 SM (592-570 SM)
32 Daniel Daniel sekitar abad ke-6 SM/ abad ke-2 SM
33 Hosea Hosea sekitar abad ke-8 SM (750-725 SM)
34 Yoel Yoel sekitar abad ke-8 SM/ abad ke-4 SM
35 Amos Amos 791-753 SM
36 Obadiah Obadiah sekitar abad ke-9 SM/ ke-6 SM/ <500 SM
37 Yunus Yunus/ NN sekitar abad ke-8 SM/ ke-7 SM
38 Mikha Mikha 740-695 SM
39 Nahum Nahum 663-612 SM
40 Habakkuk Habakkuk 610-600 SM
41 Zefanya Zefanya 640-609 SM
42 Hagai Hagai 520 SM (586-445 SM)
43 Zakaria Zakaria 520-518 SM
44 Maleakhi Maleakhi >460 SM
45 1 Makabe NN 134 SM
46 2 Makabe NN 124 SM
PERJANJIAN BARU:
47 Matius Matius 50 an
48 Markus Markus 55-62
49 Lukas Lukas 62
50 Yohanes Yohanes 90-100
51 Kisah Para Rasul Lukas 63
52 Roma Paulus 57/58
53 1 Korintus Paulus 54-57
54 2 Korintus Paulus 57
55 Galatia Paulus 57/58
56 Efesus Paulus 61-63
57 Filipi Paulus 54-57
58 Kolose Paulus 61-63
59 1 Tesalonika Paulus 50-52
60 2 Tesalonika Paulus 50-52
61 1 Timotius Paulus 65
62 2 Timotius Paulus 66-67
63 Titus Paulus 65
64 Filemon Paulus 61-63
65 Ibrani Paulus 64-67
66 Yakobus Yakobus sebelum 62
67 1 Petrus Petrus sebelum 67
68 2 Petrus Petrus sebelum 67
69 1 Yohanes Yohanes 90-100
70 2 Yohanes Yohanes 90-100
71 3 Yohanes Yohanes 90-100
72 Yudas Yudas 50-70
73 Wahyu Yohanes 60-70

Sumber:

1. Dom Orchard, gen.ed., A Catholic Commentary on Holy Scripture, (New York: Thomas Nelson and Sons, 1953)

2. Scott Hahn, gen. ed., Catholic Bible Dictionary, (New York: Double Day, 2009)

3. James D Newsome, The Hebrew Prophets, (Altanta: John Knox Press, 1984), alt. by David Twellman

4. George T. Montague SM, The Living Thought of St. Paul, (Encino, California: Benzinger Bruce & Glencoe, Inc., 1976)

Singgasana Surga

0

Pagi yang cerah aku datang ke rumah sakit untuk mengunjungi seorang ibu yang sakit lever. Penyakit levernya sudah sangat parah. Ia adalah umatku dari Lingkungan Santa Klara, Paroki Santa Odilia. Ia menunjukkan sikap ketabahan yang luar biasa. Ia tidak mengeluh sama sekali dengan derita yang ia alami. Ia tetap aktif dalam banyak kegiatan sehingga mempunyai banyak teman. Ia rajin berolahraga untuk terus menerus memupuk semangat hidupnya. “Semangat dalam jiwa bisa menguatkan kerapuhan raga”, prinsipnya. Semangatnya tak pudar walaupun ia sampai pingsan yang membuatnya terbaring di ICU.

Hidup rohaninya yang mendalam membuatnya merasa bahwa kehidupan kekal akan segera dianugerahkan kepadanya. Ia merayakan ulang tahunnya yang ke-tigapuluh dua pada tanggal 19 Januari 2014. Setelah merayakan ulang tahunnya ini, ia menulis kata-kata yang memberikan pesan yang jelas di profile Facebooknya : “Ini ulang tahunku yang terakhir. Aku rindu pada Penciptaku”. Ia menghadap Sang Pencipta yang menjadi kerinduannya pada tanggal 24 Januari pukul 06.00 pada saat doa “Malaikat Tuhan”.

Ungkapan hatinya yang disampaikan sebelum meninggal dunia sungguh menyentuh hati dan menguatkan jiwa : “Hampir sepuluh tahun pernikahanku dengan suamiku, aku belum dikaruniai Tuhan seorang malaikat kecil. Aku tidak kecewa karena aku yakin Tuhan mempunyai rencana bagi kami walaupun masih misteri sampai saat ini. Meskipun belum ada tangisan bayi di rumah kami, kami tetap menjaga komitmen cinta kami. Komentar banyak orang ‘lihatlah pasangan ini harmonis dan romantis walaupun belum dikaruniai anak’ membuat hatiku bersukacita. Ia mengatakan dengan hati berbunga-bunga : Aku adalah wanita yang paling bahagia karena menemukan pria yang berhati mulia.”

Banyak air mata bercucuran ketika aku menceriterakan kembali proses kematiannya yang begitu indah dalam homili di Misa Requiem baginya. Sebelum petinya ditutup, suaminya menatapnya dengan sesenggukan sambil menyapanya : “Istriku, engkau segalanya….”. Aku pegang bahunya untuk menguatkannya.

Sepuluh hari setelah kepergiannya aku dikejutkan dengan sebuah peristiwa yang tak terduga. Pada hari Sabtu Malam, tanggal 01 Februari 2014, aku merayakan Misa Pesta Tuhan Yesus dipersembahkan di Bait Allah. Aku tiba-tiba teringat akan ibu itu yang sepertinya mengucapkan kata-kata Simeon : “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu” (Lukas 2:29). Ternyata pada hari itu persis pada tanggal ulang tahun pernikahannya sepuluh tahun silam. Aku yakin bahwa ibu itu telah melihat keselamatan seperti Simeon dan berada di Bait Allah abadi.

Pesan dari peristiwa kehidupan ini : Ketika dua hati yang tulus saling mencintai, kesetiaan terpatri di dalam segala lini kehidupan. Ketika kita tahu artinya setia, tidak ada waktu yang terlalu lama, tak ada jarak yang terlalu jauh, tak ada pekerjaan yang terasa berat, dan tak ada kematian yang memisahkannya. Karena itu, jadikan apa yang ada sekarang untuk menjadi pemacu keabadian cinta sampai menggapai Singgasana Surga.

Tuhan Memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

PESAN BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI ORANG SAKIT SEDUNIA Ke-22, 11 Februari 2014

0

Iman dan Kasih :
“Kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.
(1 Yohanes 3:16)

Saudara-saudari terkasih,

1. Pada Hari Orang Sakit Sedunia Ke-22, yang tahun ini bertema: Iman dan Kasih : “Kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. (1 Yohanes 3:16), saya ingin memberi perhatian khusus kepada orang sakit dan semua orang yang membantu dan merawat mereka. Gereja melihat di dalam diri Anda, orang-orang sakit, suatu kehadiran istimewa Kristus yang menderita. Ini benar. Penderitaan kita – dan sesungguhnya dalam penderitaan kita, adalah penderitaan Kristus sendiri; Dia menanggung beban penderitaan ini bersama dengan kita dan Dia menunjukkan maknanya. Ketika Putera Allah bergantung di kayu salib, Dia musnahkan kesepian derita dan memberi terang atas kegelapan penderitaan itu. Dengan demikian kita dapat menemukan diri kita berada di hadapan misteri kasih Allah, yang memberi kita harapan dan keberanian: harapan, karena di dalam rencana kasih Allah, bahkan malam gelap penderitaan menghasilkan terang Kebangkitan (Paskah); dan keberanian, yang memampukan kita menghadapi setiap penderitaan bersama Dia dan dalam persatuan denganNya.

2. Penjelmaan Putera Allah tidak menghapus penyakit dan penderitaan dari pengalaman manusia tetapi Dia sendiri memikulnya, mengubahnya dan memberinya makna baru. Makna baru, karena penyakit dan penderitaan bukanlah kata terakhir, sebaliknya, memiliki makna hidup baru dan berkelimpahan; mengubahnya, karena di dalam persatuan dengan Kristus, penyakit dan penderitaan tidak lagi bermakna negatif tetapi positif. Yesus adalah jalan, dan bersama Roh-Nya, kita dapat mengikutiNya. Sebagaimana Bapa telah memberi kita Putera-Nya karena kasih, dan Putera memberikan diri-Nya kepada kita karena kasih yang sama, maka kita pun dapat mengasihi sesama sebagaimana Allah telah lebih dahulu mengasihi kita, saling memberikan hidup kita satu sama lain. Iman kepada Allah menghasilkan kebaikan, iman kepada Kristus yang tersalib menjadi kekuatan untuk mengasihi sesama sampai selama-lamanya, bahkan musuh-musuh kita. Bukti iman yang otentik kepada Kristus adalah penyerahan diri dan menyebarkan kasih kepada sesama kita, khususnya kepada mereka yang nasibnya kurang beruntung, kepada mereka yang menderita dan kepada mereka yang tersingkirkan.

3. Berkat Sakramen Baptis dan Penguatan, kita dipanggil untuk meneladani Kristus, yang adalah seorang Samaria yang baik hati bagi semua orang yang menderita. “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” (1 Yoh.3:16). Ketika kita mendekati orang-orang yang membutuhkan perhatian, dengan kasih yang lembut, kita membawa harapan dan senyum Allah kepada dunia yang penuh dengan kontradiksi. Ketika bakti diri kita bagi orang lain menjadi ciri khas dari tindakan-tindakan kita, itu berarti kita membuka jalan bagi Hati Kristus dan kita tinggal di dalam kehangatan hati-Nya; dengan demikian kita berperan serta dalam mewujudkan Kerajaan Allah.

4. Agar tumbuh dalam kasih yang lembut dan rasa hormat serta kemurahan hati yang peka, kita memiliki teladan Kristiani yang sudah pasti untuk direnungkan: yaitu Maria, Bunda Yesus dan Bunda kita, yang selalu memperhatikan Suara Allah dan aneka kebutuhan serta kesulitan-kesulitan anak-anaknya. Maria, didorong oleh belas kasih Allah yang menjadi manusia di dalam dirinya, tanpa memperitungkan dirinya segera bergegas dari Galilea ke Yudea untuk bertemu dan membantu saudarinya Elizabeth. Maria meminta Puteranya pada pesta perkawinan di Kana ketika ia melihat di sana kekurangan anggur. Dia menyimpan di dalam hatinya, sepanjang peziarahan hidupnya, kata-kata Simeon di usia senjanya yang meramalkan bahwa sebuah pedang akan menembus jiwanya, dan dengan kekuatan yang tegar berdiri di kaki salib Yesus. Maria mengetahui jalan yang harus ditempuh, dan karena itu ia menjadi ibu bagi semua orang yang sakit dan menderita. Kepadanya kita dapat berpaling dengan yakin dan berbakti kepadanya sebagai anak-anaknya, dengan keyakinan bahwa ia akan menolong kita, mendukung kita dan tidak akan meninggalkan kita. Maria adalah Bunda Kristus yang tersalib dan bangkit: ia berdiri di samping salib-salib kita dan mendampingi kita dalam perjalanan menuju kebangkitan dan kepenuhan hidup.

5. Santo Yohanes, murid yang berdiri bersama Maria di bawah salib, mengantar kita kepada sumber-sumber iman dan kasih, mengantar kita kepada hati Allah yang adalah “kasih” (1Yoh.4:8.16). Ia mengingatkan kita bahwa kita tidak dapat mengasihi Allah bila kita tidak mengasihi saudara dan saudari kita. Mereka yang berdiri bersama dengan Maria di bawah salib, belajar mengasihi seperti yang Yesus lakukan. Salib adalah “kepastian kasih setia yang Allah miliki untuk kita. Kasih yang begitu agung masuk ke dalam dosa kita dan mengampuninya, masuk ke dalam penderitaan kita dan memberi kita kekuatan untuk menanggungnya. Inilah kasih yang masuk ke dalam alam maut untuk mengalahkannya dan untuk menyelamatkan kita… salib Kristus mengundang kita juga untuk membiarkan diri kita dikuasai oleh kasihNya, yang mengajar kita selalu memandang orang lain dengan belas kasih dan lemah-lembut, khususnya mereka yang menderita, mereka yang membutuhkan pertolongan” (Jalan Salib Bersama Kaum Muda, Rio de Janeiro, 26 Juli 2013).

Saya mempercayakan Hari Orang Sakit Sedunia Ke-22 ini kepada doa-doa Maria. Saya memohon dia untuk menolong orang yang sakit agar mampu menanggung penderitaan mereka dalam persekutuan dengan Yesus Kristus dan mendukung semua orang yang mempedulikan mereka. Bagi semua orang yang sakit, dan bagi semua karyawan perawat kesehatan dan sukarelawan yang membantu mereka, dengan tulus hati saya memberikan Berkat Apostolik saya.

Dari Vatican, 6 Desember 2013
Paus Fransiskus

Penerjemah: Karya Kepausan Indonesia (KKI) d.a. KWI, Jl Cut Mutiah 10 Jakarta Pusat, web http://www.kkindonesia.org/

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab