Home Blog Page 86

Apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang neraka?

10

Berikut ini adalah yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang neraka, sebagaimana tertulis dalam Katekismus Gereja Katolik:

KGK 1033    Kita tidak dapat disatukan dengan Allah, kalau kita tidak secara sukarela memutuskan untuk mencintai Dia. Tetapi kita tidak dapat mencintai Allah, kalau melakukan dosa berat terhadap Dia, terhadap sesama kita, atau terhadap diri sendiri: “Barang siapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut. Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu, bahwa tidak ada seorang pembunuh yang memiliki hidup kekal di dalam dirinya” (1 Yoh 3:14-15). Tuhan kita memperingatkan kita, bahwa kita dipisahkan dari-Nya, apabila kita mengabaikan perhatian kita kepada kebutuhan-kebutuhan mendesak dari orang miskin dan kecil, yang adalah saudara dan saudari-Nya (Bdk. Mat 25:3146). Mati dalam dosa berat, tanpa menyesalkannya dan tanpa menerima cinta Allah yang berbelas-kasihan, berarti tinggal terpisah dari-Nya untuk selama-lamanya oleh keputusan sendiri secara bebas. Keadaan pengucilan diri secara definitif dari persekutuan dengan Allah dan dengan para kudus ini, dinamakan “neraka”.

KGK 1034    Yesus beberapa kali berbicara tentang “gehenna“, yakni “api yang tidak terpadamkan” (Bdk. Mat 5:22.29; 13:42.50; Mrk 9:43-48), yang ditentukan untuk mereka, yang sampai akhir hidupnya menolak untuk percaya dan bertobat, tempat jiwa dan badan sekaligus dapat lenyap (Bdk. Mat 10:28). Dengan pedas, Yesus menyampaikan bahwa Ia akan “menyuruh malaikat-malaikat-Nya”, yang akan mengumpulkan semua orang, yang telah menyesatkan orang lain dan telah melanggar perintah Allah, dan… mencampakkan mereka ke dalam dapur api; di sanalah terdapat ratapan dan kertakan gigi” (Mat 13:41-42), dan bahwa Ia akan mengucapkan keputusan pengutukan: “Enyahlah daripada-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal” (Mat 25:41).

KGK 1035    Ajaran Gereja mengatakan bahwa ada neraka, dan bahwa neraka itu berlangsung sampai selama-lamanya. Jiwa orang-orang yang mati dalam keadaan dosa berat, masuk langsung sesudah kematian ke dunia orang mati, di mana mereka mengalami siksa neraka, “api abadi” (Bdk. DS 76; 409; 411; 801; 858; 1002; 1351; 1575; SPF 12). Penderitaan neraka yang paling buruk adalah perpisahan abadi dengan Allah; hanya di dalam Dia manusia dapat menemukan kehidupan dan kebahagiaan, karena untuk itulah ia diciptakan dan itulah yang ia rindukan.

KGK 1036    Pernyataan-pernyataan Kitab Suci dan ajaran Gereja mengenai neraka merupakan peringatan kepada manusia, supaya mempergunakan kebebasannya secara bertanggung jawab dalam hubungannya dengan nasib abadinya. Semua itu juga merupakan himbauan yang mendesak supaya bertobat: “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya” (Mat 7:13-14).
“Karena kita tidak mengetahui hari maupun jamnya, atas anjuran Tuhan kita wajib berjaga terus-menerus, agar setelah mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia hanya satu kali saja, kita bersama dengan-Nya memasuki pesta pernikahan, dan pantas digolongkan pada mereka yang diberkati, dan supaya janganlah kita seperti hamba yang jahat dan malas, diperintahkan enyah ke dalam api yang kekal, ke dalam kegelapan di luar, tempat ratapan dan kertakan gigi” (LG 48).

KGK 1037    Tidak ada seorang pun ditentukan lebih dahulu oleh Tuhan supaya masuk ke dalam neraka (Bdk. DS 397; 1567); hanya pengingkaran secara sukarela terhadap Tuhan (dosa berat), di mana orang bertahan sampai akhir, mengantarnya ke sana. Dalam perayaan Ekaristi dan dalam doa harian umatnya Gereja senantiasa mohon belas kasihan Allah, supaya “jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (2 Ptr 3:9):
“Terimalah dengan rela persembahan umat-Mu. Bimbinglah jalan hidup kami dan selamatkanlah kami dari hukuman abadi agar tetap menjadi umat kesayangan-Mu (MR, Doa Syukur Agung Romawi 88).

KGK 1861    Dosa berat, sama seperti kasih, adalah satu kemungkinan radikal yang dapat dipilih manusia dalam kebebasan penuh. Ia mengakibatkan kehilangan kebajikan ilahi, kasih, dan rahmat pengudusan, artinya status rahmat. Kalau ia tidak diperbaiki lagi melalui penyesalan dan pengampunan ilahi, ia mengakibatkan pengucilan dari Kerajaan Kristus dan menyebabkan kematian abadi di dalam neraka karena kebebasan kita mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan keputusan yang definitif dan tidak dapat ditarik kembali. Tetapi meskipun kita dapat menilai bahwa satu perbuatan dari dirinya sendiri merupakan pelanggaran berat, namun kita harus menyerahkan penilaian mengenai manusia kepada keadilan dan kerahiman Allah.

 

Tentang Kemiskinan

2

Ada pertanyaan masuk ke redaksi Katolisitas, tentang apakah itu ‘teologi kemiskinan’?

Menurut pengetahuan kami kemiskinan itu bukan suatu aliran teologi yang khusus/ istimewa sehingga dapat disebut sebagai ‘teologi kemiskinan’. Pada saat Inkarnasi-Nya di dunia, Tuhan Yesus memang memilih untuk menjadi Seorang yang miskin, namun Ia tidak mengecam kepemilikan harta benda. Meskipun begitu, Kristus sering mengajarkan bahwa terdapat bahaya yang ditimbulkan dari kekayaan, yang dapat diumpamakan sebagai semak belukar yang mematikan benih firman (lih. Mat 13:22). Selanjutnya, Kristus menasehati orang muda yang kaya, yang ingin memperoleh hidup kekal, yaitu agar ia menjual segala miliknya dan membagikan hasilnya kepada fakir miskin (lih. Mat 19-16-21). Atas dasar ini, maka melepaskan keterikatan dengan kepemilikan harta duniawi menjadi bagian dari praktek kehidupan asketism Kristiani, sebagaimana terlihat di biara-biara Katolik sampai saat ini.

Nah, maka orang bertanya apakah kemiskinan ini menjadi tujuan dari kebajikan yang istimewa? Nampaknya bukan. Sebab untuk disebut sebagai tujuan kebajikan, sesuatu itu harus dari dirinya sendiri, layak dipuji dan terhormat. Padahal kemiskinan itu, bukan merupakan sesuatu yang baik dari dirinya sendiri, tetapi hanya baik, karena berguna untuk menghapuskan penghalang bagi seseorang untuk mengejar kesempurnaan rohani ((St. Thomas Aquinas, “Contra Gentiles“, III, cxxxiii)). Maka praktek kemiskinan memperoleh jasa/ kelebihannya dari motivasi luhur yang melatarbelakanginya, dan dari kebajikan-kebajikan yang dilakukan sehubungan dengan pengorbanan yang menyertainya.

Maka kemiskinan yang dipilih dengan sukarela adalah salah satu nasehat Injil. Kemiskinan yang dimaksud di sini bukanlah keharusan absolut untuk mengorbankan semua yang menyangkut kepemilikan, tetapi adalah pengabaian semua yang berlebihan. Maka ini menyangkut ketidakterikatan akan keinginan terhadap kekayaan, memotong keinginan terhadap kemewahan, terhadap kemuliaan yang sia-sia dan membebaskan diri dari perhatian terhadap barang-barang duniawi. St. Thomas Aquinas menyebutkan bahwa tiga penghalang bagi orang kaya untuk mencapai kesempurnaan adalah nafsu akan kekayaan, kemuliaan yang sia-sia dan kekhawatiran yang berlebihan ((St. Thomas Aquinas, Summa Theology, II-II, Q. clxxxviii, a. 7)). Tingkat kesempurnaan mensyaratkan bahwa sikap ketidakterikatan terhadap kekayaan tersebut harus dijadikan sebagai karakter yang tetap. Dalam dalam prakteknya, inilah yang mengakibatkan adanya kaul kemiskinan dalam kehidupan membiara. Namun demikian, ajaran dan nasehat Yesus tetap berguna bagi mereka yang tidak menjalani kaul untuk mencapai tingkat kesempurnaan tersebut. Sebab nasehat ini mengajarkan orang untuk menyederhanakan keinginannya terhadap kekayaan dan untuk menerima dengan suka cita segala bentuk kehilangan ataupun penarikan diri terhadap kekayaan. Dan ajaran ini mengarahkan kita kepada sikap ketidakterikatan terhadap banda-benda duniawi, sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk 14:33)

Selanjutnya, penjelasan tentang makna kemiskinan dalam hubungannya dengan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan dalam ajaran iman Katolik, dan sejarah penerapannya dalam kehidupan Gereja Katolik, silakan membaca di link ini, silakan klik.

Apakah Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian meniru Enuma Elish?

3

Dewasa ini ada sejumlah orang menganggap bahwa karena ada kemiripan antara kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian dengan kisah mitos kuno Babilonia, Enuma Elish, maka Kitab Kejadian dianggap meniru/ meng-copy Enuma Elish (EE). Benarkah demikian?

Pertama-tama, sebelum membahas tentang isinya, mari kita melihat dulu kapan kedua tulisan tersebut ditulis. Para ahli memperkirakan bahwa EE ditulis sekitar abad 18/17 SM, sedangkan Kitab Kejadian ditulis Musa sekitar abad 16/15 SM. Maka ada sejumlah orang menganggap bahwa karena EE ditulis lebih dulu daripada kitab Kejadian, maka kesimpulannya Musa meng-copy EE. Namun logika macam ini agak terburu-buru. Sebab kenyataannya jarak yang memisahkan Musa dan bangsa Babilonia di Mesopotamia itu relatif jauh (sekitar 900 km). Dan zaman tahun 1600 sebelum Masehi itu adalah zaman yang amat kuno, tidak ada alat komunikasi dan transportasi seperti zaman sekarang, yang dapat secara otomatis menghubungkan kedua wilayah sehingga transfer budaya dan satra dapat dengan begitu saja terwujud seperti sekarang.

Namun sekalipun dianggap demikian, yaitu bahwa Musa dianggap pernah membaca ataupun mengenal kisah dewa dewi Babilon tersebut (ataupun kisah serupa di negara-negara tetangga bangsa Yahudi) tidaklah mungkin bahwa Musa tanpa sengaja ataupun sengaja, terpengaruh oleh kisah politheisme tersebut. Jangan lupa bahwa Nabi Musa sangatlah menentang kebiasaan bangsa-bangsa non-Yahudi karena mereka mempunyai dewa/ dewi/ allah-allah lain (lih. Kel 34:10-13; Ul 7:15). Fakta bahwa nabi Musa menuliskan kisah penciptaan yang kemudian dianggap mempunyai kemiripan dengan kisah-kisah mitos Babilon, tentulah mengandung maksud tertentu. Hal yang lebih masuk akal adalah, bahwa Nabi Musa menuliskan kisah Penciptaan sedemikian halnya, sebab memang itulah yang diterimanya dari Allah, yang dikenal Musa “dengan berhadapan muka” (lih. Ul 34:10). Maka itu bukan atas inisiatifnya sendiri, seperti terjadi pada penulisan kisah- kisah biasa. Atas ketaatan-Nya kepada Allah, Musa menuliskan kitab Kejadian itu yang mungkin saja dimaksudkan Allah justru untuk menyatakan kebenaran tentang kisah awal mula dunia, untuk meluruskan pandangan yang keliru yang kemungkinan dimiliki oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.

Sekarang dari segi isinya. Mari kita melihat sekilas perbandingannya antara Enuma Elish (EE) dengan Kitab Kejadian (KK) sebagai berikut (teks perbandingan selengkapnya, silakan klik di link ini):

1. Dari segi awalnya:

EE membuka dengan langit dan bumi, sedangkan KK memulainya dengan Allah. Dewa dewi dalam EE tidak disebut sebagai Pencipta, namun yang bercampur dengan ciptaannya, dan melahirkan ciptaannya. Sebaliknya KK dengan jelas mengatakan bahwa pada mulanya adalah Allah dan Ia menciptakan langit dan bumi. Maka dunia ciptaan itu tidak sama dengan Tuhan, namun dunia diciptakan oleh Tuhan. EE berkisah tentang adanya banyak dewa dewi. KK berkisah tentang adanya satu Allah yang menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1)

2. Tokohnya:

EE menyatakan kisah banyak dewa dewi yang merupakan mahluk ciptaan dengan banyak sifat buruk seperti manusia EE menekankan tokoh dewa Marduk, yang adalah ciptaan yang dilahirkan. KK mengisahkan tentang Allah yang sudah ada sejak awal mula, dan tidak diciptakan. Ia-lah yang mencipta segala sesuatu. Dalam EE: Marduk ditentukan oleh para dewa dewi untuk menjadi penguasa alam, sedangkan Allah dalam KK adalah Pencipta dan Penguasa segala sesuatu yang sudah ada sebelum segala sesuatunya ada, dan tidak menerima perintah dari siapapun.

3. Apa yang dilakukan oleh tokohnya:

Dalam EE dikatakan bahwa Marduk dan para dewa ingin membentuk manusia untuk menjadi budak para dewa, supaya para dewa itu tidak usah bekerja keras. Dalam KK, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah untuk mencerminkan keagungan Penciptanya.

Dalam EE, para dewa dewi digambarkan memerlukan dukungan dari manusia. Mereka harus diberi persembahan makanan, harus diurusi. Dalam KK, Allah dinyatakan sebagai Allah yang sudah ada sejak awal mula dan tidak membutuhkan apapun dari manusia.

Dengan demikian, walaupun mau ditarik perbandingan sekalipun, apa yang diperbandingkan itu justru menunjukkan perbedaannya daripada persamaannya. Maka tidaklah ada masalah peniruan ataupun plagiarisme di sini. Sebab Tuhan dapat menggunakan berbagai cara untuk menyampaikan kebenaran. Kebenaran tetap adalah kebenaran, tak peduli alat apapun yang menyampaikannya (bisa disampaikan lewat media cetak, lagu, puisi, kata mutiara, cerita rakyat dst). Sekalipun Allah memilih untuk menggunakan kerangka kisah yang sepertinya telah akrab di telinga manusia pendengar-Nya, itu adalah hak Tuhan. Sebab Tuhan dapat mengangkat sesuatu yang sifatnya kodrati menjadi sesuatu yang ilahi. Maka melalui kisah penciptaan manusia itu, Allah menyampaikan kebenaran tentang hubungan manusia dengan Penciptanya, yaitu bahwa sejak awal mula, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Pencipta-Nya, maka agar manusia mencapai tujuan akhirnya, manusia perlu diangkat derajatnya ke dalam hidup ilahi dalam hubungan kasih yang sejati dengan Allah. Hal ini digenapi Allah dengan mengutus Yesus Kristus Putera-Nya kepada manusia, sehingga apa yang diciptakan Allah sejak semula, dapat mencapai kesempurnaannya.

Maka tidak menjadi masalah, sekalipun dipandang orang ada kemiripan antara EE dan KK. Sebab Kitab Kejadian bermaksud untuk menyampaikan kebenaran dari Tuhan; dan Allah berhak dengan bebas memilih penggunaan sarananya. Yang terpenting adalah inti pesan yang disampaikannya tidak sama, dan bahkan dapat dikatakan bertentangan.

Magisterium Gereja Katolik melalui Paus Pius XII dalam surat ensikliknya, Humanae Generis mengajarkan demikian:

“Meskipun demikian, jika para penulis kitab suci di zaman kuno telah mengambil apapun dari kisah-kisah popular … haruslah tidak dilupakan bahwa mereka melakukan itu dengan bantuan inspirasi ilahi, yang melaluinya mereka telah dilindungi dari kesalahan apapun dalam memilih dan meng-evaluasi dokumen-dokumen itu.

39. Maka, kisah-kisah popular apapun yang telah dimasukkan dalam Kitab Suci harus sama sekali tidak dianggap sama/ sejajar dengan kisah-kisah mitos atau sejenisnya, yang lebih merupakan hasil imajinasi tak terkendali daripada hasil kerja keras mencari kebenaran dan kesederhanaan yang dalam Kitab Suci, juga dalam Kitab Perjanjian Lama, adalah nyata bahwa para penulis kitab suci di zaman kuno tersebut harus diterima sebagai jauh lebih utama daripada para penulis profan di zaman tersebut.” (Paus Pius XII, Humanae Generis, 38-39)

Mengapa Musa menggunakan kata “Kita” (Kej 1:26)

2

Dalam kisah penciptaan dunia dalam Kitab Kejadian, Nabi Musa menggunakan kata “Kita” sebagai kata ganti Allah. “Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita….” (Kej 1:26).

Penggunaan kata “Kita” di ayat ini menimbulkan pertanyaan, dan yang paling umum ditanyakan adalah apakah ini mengacu kepada banyak Allah? Tentu tidak, sebab kita semua mengetahui bahwa Nabi Musa yang sama, di ayat-ayat lainnya dalam kitab-kitab yang ditulisnya, mengajarkan bahwa hanya ada satu Allah, dan tidak ada allah yang lain (Kel 20:3; Ul 5:7; 6:4; lih. Kel 32). Juga berkali-kali Musa menuliskan bahwa Allah berkata, “Akulah, Tuhan, (bukan Kami-lah Tuhan”… ” (Kel 6:6-7; Im 11:45;19:34,36;22:33;25:38;26:13, dst). Maka, bagaimana mengartikan ayat Kej 1:26-27 ini?

Sejumlah orang memperkirakan bahwa perkataan “Kita/ we” di sini adalah kata ganti yang umum dipakai untuk menjadi kata ganti orang pertama/ orang yang bicara, pada pembicaraan resmi, seperti di hadapan raja -seperti halnya yang juga ada pada gaya bahasa resmi dalam bahasa Indonesia sekarang. Namun nyatanya, kita tidak menemukan bukti tentang hal ini pada tulisan-tulisan yang se-zaman dengan kitab Pentateuch/ kitab-kitab Musa tersebut. ((Taylor, C.V., The First Hundred Words, (Gosford, NSW, Australia: The Good Book Co., 1996), p. 3. )) Oleh karena itu, pandangan macam ini tidak didukung oleh bukti yang kuat.

Ada sejumlah orang yang lain, yang mengambil interpretasi Yahudi, yang percaya bahwa pada ayat-ayat tersebut (Kej 1:26-27), Allah berbicara dengan para malaikat-Nya, yang sudah diciptakan-Nya sebelum menciptakan manusia. Namun pandangan ini tidak masuk akal, karena jika demikian, maka malaikat juga ikut serta menciptakan manusia. Padahal di ayat-ayat Kitab Suci yang lain, dikatakan bahwa hanya ada satu Allah yang menciptakan langit dan bumi/ alam semesta dan segala isinya (lih. Kej 1:1; 14:22; Mzm 8:4;1 Kor 8:4,6; 2 Mak 7:28). Maka, paham ini tidak sesuai dengan ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci.

Maka yang paling masuk akal adalah pandangan berikut ini. Adalah suatu fakta, bahwa dalam Kitab Suci, kata Elohim, yaitu kata benda plural/ jamak yang mengacu kepada sebutan Allah, dituliskan sebanyak sekitar 2500 kali, yang diikuti dengan kata kerja maupun kata sifat yang sifatnya singular/ tunggal. Fakta ini mengakibatkan ada banyak ahli Kitab Suci mengatakan bahwa hal ini menunjukkan adanya penggambaran ‘uniplurality’ dalam diri Allah. Hal ini tentu bukan kebetulan ataupun ketidaksengajaan, sebab diulangi sampai ribuan kali. Bahwa dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, artinya belum sepenuhnya dinyatakan, namun dalam Perjanjian Baru, Allah kemudian menyingkapkan maksudnya. Yaitu bahwa penggambaran ini mengacu kepada adanya Tiga Pribadi dalam diri Allah yang Satu, yang kemudian dikenal dengan “Trinitas” atau “Allah Tritunggal”. Pewahyuan ini secara bertahap disingkapkan oleh Kristus Sang Putera Allah, sebagaimana disampaikan oleh para Rasul-Nya. Injil Yohanes menyatakan hal ini dalam Yoh 1:1-14, dengan mengatakan bahwa: 1) pada mulanya adalah Firman, Firman itu ada bersama Allah, dan Firman itu adalah Allah; 2) oleh Firman segala sesuatu dijadikan/ diciptakan; 3) Dan Firman itu kemudian menjelma menjadi manusia dalam diri Kristus. Maka Yoh 1:1-14 ini menjelaskan dan menggenapi makna ayat-ayat tentang penciptaan yang telah dituliskan oleh Nabi Musa dalam kitab Kejadian, yang memang menyebutkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu melalui Firman-Nya. Sebab dikatakan di sana, “Berfirmanlah Allah, ….” (Kej 1:3,6,11,14,20,24,26,29). Demikian pula, dengan disebutkannya bahwa “Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air” (Kej 1:2) di awal mula penciptaan dunia, ini merupakan gambaran samar-samar akan penggenapannya di dalam Perjanjian Baru, yaitu saat kita diciptakan secara baru di dalam Kristus saat Pembaptisan, yaitu saat kita dilahirkan kembali dalam air dan Roh (Yoh 3:5).

Ajaran menginterpretasikan Kitab Suci dengan melihat hubungan tipologi antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri (lih. Luk 24:13-35). Demikianlah pula, para penerus Rasul mengajarkannya kepada kita, bahwa ayat Kej 1:26-27 tersebut adalah ayat-ayat yang menggambarkan tentang Allah Trinitas. Demikianlah ajaran mereka:

1. St. Barnabas (74):

“Sebab Kitab Suci berbicara tentang kita, ketika Ia [Allah] berkata kepada Putera-Nya, “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Lih. St. Barnabas, Epistle of Barnabas, Ch. VI). Di abad ke-1 ini, St. Barnabas telah mengajarkan bahwa kita manusia, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah; sebagaimana yang dikatakan oleh Allah kepada Putera-Nya.

2. St. Yustinus Martir (150):

Berbicara kepada para teolog Yahudi, St. Yustinus mengatakan bahwa perkataan, “Baiklah Kita menjadikan…” kita dapat dengan tiada ragu mengetahui bahwa Allah bercakap dengan Seseorang Pribadi yang lain… Dan Allah mengatakan, “Berfirmanlah TUHAN Allah: “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita… (Kej 3:22), Musa menyatakan bahwa terdapat sejumlah Pribadi yang saling berhubungan, bahwa minimal ada dua Pribadi…. [Pribadi ini] lahir dari Bapa, dan telah ada bersama dengan Bapa sebelum segala ciptaan lainNya, dan Bapa bersekutu dengan-Nya sebagaimana dikatakan dengan jelas dalam Kitab Suci oleh Salomo, bahwa Ia yang disebutkan Salomo sebagai Kebijaksanaan, telah lahir sejak awal mula sebelum semua ciptaan-Nya…” (St. Justin Martyr, Dialogue with Trypho, a Jew: Ch. LXII)

3. St. Irenaeus (180):

“Maka bukan para malaikat, yang menciptakan kita, ataupun membentuk kita, juga para malaikat tidak mempunyai kuasa untuk membuat/ mencipta sebuah gambar rupa Allah. Tidak seorangpun, tidak ada kuasa apapun yang terpisah dari Bapa segala sesuatu, selain daripada Sang Firman Allah [yang mencipta]. Sebab Allah tidak memerlukan para malaikat ini, untuk menyelesaikan apa yang telah ditentukan-Nya sejak semula, seolah Ia tidak memiliki tangan-Nya sendiri. Sebab pada-Nya selalu hadir Sang Firman dan Kebijaksanaan, Sang Putera dan Roh Kudus, yang dengan Keduanya dan di dalam Keduanya.. Ia [Allah] menciptakan segala sesuatu; yang kepada Keduanya Ia berkata, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” (Kej 1:26) (St. Irenaeus, Against Heresies, 4:20:1).

4. Tertullian (200)

Tertullian mengatakan bahwa pemilihan kata jamak “Kita” pada Kej 1:26, mempunyai maksud menggambarkan adanya pluralitas dalam ketunggalan Allah, sebab tidak mungkin Allah bermaksud menipu ataupun membuat kita bingung, jika sebenarnya Ia hanya punya Pribadi yang Tunggal. Juga bukan maksud Allah mengatakan bahwa Ia sedang berbicara kepada para malaikat, seperti yang diinterpretasikan oleh orang-orang Yahudi, sebab mereka tidak mengenali Sang Putera Allah.

– Sebab Allah telah mempunyai Putera-Nya di samping-Nya, dan Pribadi ke-tiga juga…, sehingga Ia dengan sengaja mengambil kata jamak, “Biarlah Kita menjadikan…” “menurut rupa Kita”; “dan menjadi salah satu dari Kita.” (Tertullian, Against Praxeas, Ch. XII.)

– “Maka sebab ia [manusia] adalah gambaran Penciptanya (sebab Ia, ketika melihat kepada Kristus Sang Firman-Nya, yang akan menjadi manusia, bersabda, “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambaran dan rupa Kita”), bagaimana mungkin saya mempunyai kepala lain selain Dia yang menurut gambaran-Nya saya diciptakan? Sebab kalau saya adalah gambaran Pencipta, maka tidak ada ruang dalam diriku bagi kepala yang lain” (Tertullian, Book V, Elucidations, Ch VIII.)

5. Origen (w 254):

“Adalah kepada Dia [Kristus] Allah berkata mengenai penciptaan manusia, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” (Origen, Against Celsus, Book V, Ch. XXXVII)

6. Novatian (w 258):

“Sebab siapa yang tidak mengenali bahwa Pribadi Sang Putera adalah Pribadi yang kedua setelah Bapa, ketika ia membaca apa yang dikatakan oleh Bapa kepada Sang Putera, “Baiklah Kita membuat manusia menurut gambar dan rupa Kita;” dan setelah ini, maka hubungannya adalah, “Dan Allah menciptakan manusia, dan Allah menciptakannya menurut gambar-Nya?” (Novatian, A Treatise Concerning the Trinity, Ch XXVI.)

Tulisan-tulisan ini merupakan beberapa bukti dari ajaran Bapa Gereja sebelum abad ke-4, yang menunjukkan bahwa Gereja sejak awal mengartikan Kej 1:26 sebagai salah satu ayat yang mengajarkan tentang Allah Trinitas dalam kitab Perjanjian Lama. Maka ajaran tentang Trinitas itu sudah menjadi keyakinan Gereja sejak zaman para Rasul, dan bukan baru diyakini di abad ke-4 sebagaimana disangka oleh sejumlah orang. Bahwa ajaran itu baru dirumuskan pada Konsili Nicea (325) yang kemudian disempurnakan dalam Konsili Konstantinopel (381), itu disebabkan karena di abad tersebut berkembang ajaran sesat Arianisme yang menentang ajaran tentang Trinitas, sehingga Gereja merumuskan ajaran tentang Trinitas ini secara definitif, untuk meluruskan paham yang sesat ini.

Kesimpulannya, jika ditanya, mengapa Musa menggunakan kata “Kita” dalam Kej 1:26? Maka jawaban yang paling masuk akal adalah, karena Allah memang mewahyukannya demikian kepada Musa. Musa hanya menuliskannya dengan setia, suatu frasa yang mungkin belum sepenuhnya dipahami pada saat itu. Namun Allah sendiri kemudian menyatakan maksudnya dalam Perjanjian Baru. Yaitu setelah Ia sendiri mengutus Yesus Putera-Nya dan Roh Kudus-Nya yang menginspirasikan para penulis Injil dan surat-surat para Rasul lainnya, yang menjelaskan tentang adanya ketiga Pribadi Allah ini dalam ke-esaan Allah.

Berikut ini adalah artikel-artikel lain yang terkait dengan topik ini:

Ajaran para Bapa Gereja  sebelum abad ke-4 tentang Trinitas
Tentang Ajaran sesat Arianisme
Apa yang terjadi dalam Konsili Nicea (325)
Trinitas, Satu Allah dalam Tiga Pribadi

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Mengasihi kapan saja dan di mana saja

1

[Minggu Biasa ke VII: Im 19:1-2,17-18; Mzm 103:1-13; 1Kor 3:16-23; Mat 5:38-48]

Ada seruan iklan, yang berbunyi demikian, “Kapan saja, di mana saja, minumnya AA AA.” Slogan yang sederhana, namun lekas menempel di ingatan kita. Serupa dengan slogan ini, bacaan Injil hari ini juga mengingatkan kita untuk mengasihi, kapan saja dan di mana saja. Mengasihi di sini bukan hanya tidak membenci, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, dan tidak menyimpan dendam (lih. Im 19: 17-18). Tapi juga yang mungkin paling sulit dilakukan adalah: mengasihi dan mendoakan mereka yang memusuhi kita (lih. Mat 5:44). Sungguh, ini merupakan perjuangan bagi kita. Sebab sepertinya, hal mengasihi dan mengampuni, lebih mudah dibicarakan daripada dilaksanakan.

Bukankah nyatanya, tidak mudah bagi kita untuk mengasihi dan mendoakan orang-orang yang membenci ataupun memarahi kita? Sebab dimarah- marahi orang bukanlah pengalaman yang mengenakkan. Umumnya kita tidak berharap untuk mengalaminya. Namun adakalanya, Tuhan mengizinkan hal itu terjadi dalam kehidupan kita. Dari pengalaman inilah, kita dapat bertumbuh dalam kasih, yaitu untuk tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, atau kebencian dengan kebencian. Dari pengalaman tidak enaknya disakiti orang, kita belajar untuk tidak menyakiti hati orang lain. Ya, melalui berbagai pengalaman hidup kita, Kristus mendorong kita untuk belajar mengasihi dan berbuat baik tanpa memperhitungkan balasan, dan tetap mengampuni tanpa mengingat-ingat kesalahan. Sulit memang. Karena itu, kita membutuhkan rahmat Tuhan. Namun kabar baiknya ialah, jika kita mengandalkan Tuhan, Ia akan memampukan kita. Para Santo dan Santa telah menunjukkan kepada kita bahwa mengasihi dan mengampuni adalah sesuatu yang mungkin dilakukan, bahkan terhadap mereka yang telah menganiaya kita.

Contoh yang mungkin paling akrab di ingatan kita adalah teladan yang diberikan oleh Paus Yohanes Paulus II. Pada tanggal 13 Mei 1981, Paus nyaris terbunuh oleh peluru yang ditembakkan kepadanya oleh seorang yang bernama Mehmet Ali Ağca. Darah mengucur dengan derasnya karena penembakan itu, dan Paus segera dilarikan ke rumah sakit. Namun syukurlah, oleh pertolongan Tuhan, Paus kembali pulih. Di tahun yang sama itu, Paus mengunjungi Ağca, di penjara di mana Ağca ditahan. Dalam video rekaman pertemuan mereka, terlihat bahwa Paus duduk berhadapan dengan Ağca. Paus tak ragu menggenggam tangan Ağca dan berbincang-bincang dengannya layaknya seorang bapa dengan anaknya.  Mungkin, tergerak oleh ketulusan hati Paus, Ağca pun tak segan mencium tangan Paus. Kita memang tak mengetahui isi pembicaraan mereka, namun kita mengetahui bahwa Paus telah menunjukkan kasih dan pengampunannya kepada Ağca. Ini adalah sebuah teladan kasih yang berseru lebih lantang daripada khotbah yang berapi-api sekalipun. Seusainya dari kunjungan ke penjara itu, banyak orang bertanya kepada Paus, apakah yang dibicarakannya dengan Ağca. Namun Paus hanya menjawab singkat, “Apa yang kami bicarakan, akan tetap menjadi rahasia antara kami berdua. Aku bicara kepadanya sebagai saudaraku, yang telah kuampuni, dan yang telah memperoleh seluruh kepercayaanku.” Paus kemudian juga menemui ibu Ağca di tahun 1987, dan kakak Ağca, sepuluh tahun berikutnya. Sungguh, Paus telah menunjukkan kepada dunia yang sarat dengan kekerasan dan perang, bahwa kasih dan pengampunan adalah sesuatu yang mungkin dilakukan. Ia telah mewujudkan perintah Injil hari ini dalam suatu tindakan nyata. Apa yang dilakukan Paus Yohanes Paulus II sungguh sesuai dengan apa yang pernah diajarkan oleh St. Agustinus, “Seorang Kristen harus menunjukkan kasih persaudaraan kepada orang yang sudah menjadi saudaranya; dan juga kepada orang yang memusuhinya, supaya orang itu dapat menjadi saudaranya.”

Mari memeriksa batin kita: “Siapakah orang yang perlu kukasihi dan kuampuni? Siapakah orang yang harus kutemani berjalan ‘sejauh dua mil’? Apakah yang dapat kulakukan untuk mengasihi orang yang telah membenciku?”

Tuhan Yesus, ampunilah aku, jika aku belum dengan sungguh-sungguh mengasihi dan mengampuni sesamaku. Bantulah aku agar dapat mengasihi, kapanpun dan di manapun, supaya dengan demikian aku melakukan kehendak-Mu untuk meniti jalan kesempurnaan kasih.”

“….haruslah kamu sempurna, sebagaimana Bapamu yang di surga sempurna adanya.” (Mat 5:48)

Apa Pandangan Gereja Katolik tentang Euthanasia?

3

Prinsip Umum

Gereja Katolik sungguh menjunjung tinggi kehidupan, karena kehidupan manusia diberikan dari Allah. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, menyatakan secara definitif bahwa pembunuhan seorang manusia yang tak bersalah selalu merupakan perbuatan imoral/ tidak bermoral. Pernyataan ini bersifat infallible atau tidak dapat sesat. Dalam artikel 57 dari dokumen Evangelium Vitae, dituliskan sebagai berikut:

“Jadi, dengan otoritas yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para penerusnya, dan di dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa tindakan pembunuhan seorang manusia tak bersalah selalu merupakan tindakan yang sungguh tidak bermoral. Pengajaran ini, berdasarkan hukum yang tidak tertulis, di mana manusia dalam terang akal budi, menemukannya dalam hatinya (lih. Rm 2:14-15), ditegaskan kembali oleh Kitab Suci, diteruskan oleh Tradisi Gereja dan diajarkan oleh Magisterium biasa dan universal” (Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, 25).

Selanjutnya Kongregasi Doktrin Iman menjelaskan lebih lanjut, demikian:

“Keputusan sengaja untuk merampas kehidupan seorang manusia selalu merupakan kejahatan moral dan tidak akan dapat dianggap licit (sesuai aturan), baik sebagai tujuan ataupun sebagai cara untuk mencapai sebuah tujuan yang baik. Nyatanya, itu adalah tindakan berat yang menyangkut ketidaktaatan kepada hukum moral, dan sungguh kepada Tuhan sendiri, Pencipta dan Penjamin hukum tersebut; [tindakan itu] bertentangan dengan kebajikan mendasar tentang keadilan dan cinta kasih. Tak ada sesuatupun dan tak seorangpun dapat dengan cara apapun mengizinkan pembunuhan seorang manusia, apakah itu dalam bentuk janin atau embrio, seorang bayi ataupun dewasa, seorang tua, atau seseorang yang menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau seseorang yang dalam keadaan sekarat. Selanjutnya, tak seorangpun diizinkan untuk meminta dilakukannya tindakan pembunuhan ini, entah bagi dirinya sendiri atau untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya, atau tak seorangpun dapat menyetujuinya, baik secara eksplisit ataupun implisit. Tidak juga ada otoritas legitim apapun yang dapat merekomendasikan ataupun mengizinkan tindakan tersebut” (diterjemahkan dari Congregation for the Doctrine of the Faith (CDF), Declaration on Euthanasia Iura et Bona (5 May 1980), II: AAS 72 (1980), 546).

Selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Euthanasia dalam artinya yang sesungguhnya dimengerti sebagai sebuah tindakan atau pengabaian yang dilakukan dengan tujuan untuk menyebabkan kematian, dengan maksud untuk meniadakan semua penderitaan…. Sesuai dengan pengajaran Magisterium dari para pendahulu saya, dan dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa euthanasia adalah pelanggaran yang berat terhadap hukum Tuhan, sebab hal tersebut merupakan pembunuhan seorang manusia secara disengaja dan secara moral tidak dapat dibenarkan. Ajaran ini berdasarkan hukum kodrat dan sabda Allah yang tertulis, yang diteruskan oleh Tradisi Suci Gereja, dan diajarkan oleh Magisterium Gereja” (Evangelium Vitae 65).

Namun surat ensiklik Evangelium Vitae tersebut juga menjelaskan bahwa euthanasia berbeda artinya dengan keputusan untuk tidak melakukan perawatan medis yang agresif/ “aggressive medical treatment“:

“[Perawatan ini adalah] prosedur- prosedur medis yang sebenarnya sudah tidak lagi cocok dengan keadaan riil pasien, karena prosedur tersebut sudah tidak proporsional dengan hasil yang diharapkan, atau prosedur tersebut memaksakan beban yang terlalu berlebihan kepada pasien dan keluarganya. Dalam keadaan- keadaan seperti ini, ketika kematian sudah jelas tidak terhindari, seseorang dengan hati nuraninya dapat “menolak bentuk- bentuk perawatan yang hanya menjamin perpanjangan hidup yang tak menentu dan sangat membebani, sepanjang perawatan normal yang layak bagi pasien pada kasus- kasus serupa tidak dihentikan.” (CDF, Ibid., IV: loc. cit, 551). Sudah pasti ada keharusan moral untuk merawat diri sendiri dan membiarkan diri dirawat orang lain, tetapi tugas ini harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi- kondisi konkret. Harus ditentukan apakah perawatan yang ada secara obyektif proprosional dengan kemungkinan penyembuhan. Menolak cara yang berlebihan dan tidak proporsional tidak sama dengan bunuh diri atau euthanasia; melainkan itu mencerminkan penerimaan kondisi manusia menghadapi maut.” (Ibid., seperti dikutip dalam Evangelium Vitae 65)

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa walaupun dalam kondisi ‘vegetatif’ sekalipun, manusia tetap mempunyai martabat yang utuh, dan karenanya harus diperlakukan sebagai manusia. Bahkan ketika kematian sudah di ambang pintu, para pasien, tetap harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya, dengan terus diberikan perlakuan yang umum dan layak. Dokumen untuk Para Petugas Kesehatan, The Charter for Health Care Workers (yang dikeluarkan oleh Pontifical Council for Pastoral Assistance for Health Care Workers, 1995) mengatakan bahwa perlakuan yang layak tersebut termasuk perawatan, kebersihan, pengurangan rasa sakit, pemberian makanan dan air, baik melalui mulut atau dengan infus, jika ini dapat mendukung kehidupan pasien tanpa menimbulkan beban yang serius kepada pasien. Maka persyaratan umum adalah menghindari kematian pasien yang disebabkan oleh kelaparan dan kehausan. Namun, jika kasus yang terjadi malah sebaliknya, yaitu jika pasien telah menjelang ajal, di mana pemberian makanan dan air malah menimbulkan kesulitan yang lebih besar daripada kegunaannya, maka mereka yang bertugas menjaga dan merawat pasien tersebut, dapat memberhentikan pemberian tersebut (lih. National Conference of Catholic Bishops, Ethical and Religious Directives for Catholic Health Care Services, no. 58).

Contoh Kasus

Berikut ini adalah contoh beberapa kasus yang dikemukakan oleh pembaca Katolisitas:

1. Seorang pasien di ICU karena kecelakaan parah, berakibat batang otaknya terkena, sehingga dinyatakan meninggal secara medis. Bolehkah keluarga, atas saran dari rumah sakit, mencabut alat bantu pernafasan (ventilator)?

Tanggapan kami:

Jika seorang telah dinyatakan meninggal secara medis, maka meskipun orang itu diberi alat bantu pernafasan, sebenarnya bukan orang itu sendiri yang bernafas, melainkan efek bernafas semata diakibatkan oleh alat bantu saja. Kondisi ini sebenarnya sudah tidak riil lagi bagi kesembuhan pasien. Dengan demikian, jika alat bantu pernafasan dicabut, itu bukan tindakan euthanasia, sebab sebenarnya pasien tersebut sudah meninggal dunia secara medis.

2. Seorang pasien di ICU karena stroke, dan mengalami koma. Biaya di ICU yang mencapai sekitar 6 juta per hari sangat membebani keluarga sederhana itu. Sedangkan kondisi koma sudah berlangsung 2 minggu tanpa batas waktu. Akhirnya karena biaya yang sudah sangat tinggi dan tidak tertanggungkan lagi, keluarga mencabut seluruh alat bantu di tubuh pasien dan pasien tersebut dibawa pulang. Akibatnya sudah bisa dipastikan, pasien meninggal tak lama setelah alat bantu pernafasan dicabut.

Tanggapan kami:
Perihal pasien yang dirawat di ICU dan koma dengan biaya sangat besar, tanpa batas waktu dengan segala alat bantu: Jika para dokter yang menanganinyapun tidak dapat menjamin bahwa alat bantu tersebut dapat berguna bagi pemulihan pasien, maka dapat dikatakan bahwa segala treatment tersebut sudah tidak lagi proporsional dengan hasil yang diharapkan. Dalam hal ini, keluarga berhak dengan hati nurani mereka untuk menolak melanjutkan penanganan di ICU; namun selayaknya tetap memberikan makanan dan air sebagai syarat minimum bagi kehidupan manusia (infus makanan dan air tidak boleh dicabut). Sehingga sekalipun sampai pasien itu wafat, ia wafat dalam keadaan wajar.

3. Seorang manula berusia di atas 75 tahun, dengan kondisi baru terkena serangan jantung, gejala stroke, kondisi ginjal sangat buruk. Dirawat di ICU selama 1 bulan, dengan biaya yang luar biasa besar. Alat bantu pernafasan (ventilator) dan suntikan vascon (meningkatkan tekanan darah) tak pernah lepas. Kondisi pasien up and down, kadang setengah sadar kadang tidak sadar. Ketika kondisi memburuk, terjadi perbedaan pendapat antara para dokter, satu pihak akan melakukan HD (Hemodialysis)/ cuci darah, pendapat lain menyarankan untuk tidak melakukan tindakan agresif. Akhirnya keluarga tidak melakukan HD, dan hanya berselang 4 hari sejak keputusan menolak HD, kondisi pasien memburuk dengan cepat dan akhirnya meninggal.

Tanggapan kami:

Serupa dengan kasus sebelumnya, walaupun memang mungkin masih dapat didiskusikan, terutama, jika menurut dokter terdapat kemungkinan pemulihan melalui HD. Namun sepanjang pengetahuan kami, begitu dilakukan HD, kemungkinan besar hidup pasien tersebut selamanya akan tergantung dari HD, dan dengan demikian menjadi cara prolongation of life, yang melibatkan ketergantungan dan beban yang besar, tidak saja bagi keluarga, tetapi juga bagi pasien tersebut, mengingat usianya yang sudah lanjut. Maka dalam kondisi ini jika sampai pasien tersebut ataupun keluarganya memutuskan untuk tidak melakukan HD, juga keputusan tersebut dapat dibenarkan secara moral. Lain halnya jika secara medis, dokter masih melihat kemungkinan pemulihan lewat HD, dan keluarganya mampu membiayai. Jika demikian kasusnya, maka kemungkinan tersebut sesungguhnya dapat dan layak dicoba.

Sebagai kesimpulan, akhirnya harap diingat bahwa dalam keadaan apapun yang terpenting adalah mengusahakan perawatan/ pertolongan terhadap pasien sebaik mungkin. Jika semua treatment sudah dilakukan namun kondisi pasien terus memburuk, maka memang akhirnya harus diterima bahwa sakit penyakitnya itu kemungkinan tidak dapat tertolong; dan ia sedang menjelang ajal. Yang terpenting proses tersebut jangan sampai terjadi dengan tidak normal, misalnya disengaja (dengan maksud agar lebih ‘lekas’ mati), seperti yang banyak terjadi di negara maju, entah dengan suntikan atau dengan mencabut infus makanan dan air. Euthanasia semacam ini sungguh bertentangan dengan ajaran iman Katolik, karena bertentangan dengan hukum Tuhan. Namun, penolakan akan treatment yang berlebihan, seperti yang telah disebutkan di atas, tidak termasuk katagori euthanasia. Dalam hal ini, segala kemungkinan perlu didiskusikan dengan para tim medis dan keluarga pasien tersebut.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab