Home Blog Page 78

Paus Fransiskus: Kita bisa tidak setia, tetapi Allah tidak bisa!

0

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Hari para Maria dalam Tahun Iman:

Dalam Mazmur kita berkata: “Nyanyikanlah bagi Tuhan nyanyian baru, karena Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib” (Mzm 98:1).

Hari ini kita perhatikan satu dari perbuatan-perbuatan ajaib yang Tuhan telah lakukan: Maria! Seorang wanita yang rendah dan lemah seperti kita, dia dipilih menjadi Bunda Allah, Bunda dari Penciptanya.

Menilik Maria dalam terang bacaan-bacaan yang baru saja kita dengar, saya ingin merefleksikan dengan kalian pada tiga hal: pertama, Allah mengejutkan kita, ke-dua, Allah meminta kita untuk setia, dan ke-tiga, Allah adalah kekuatan kita.

1. Pertama: Allah mengejutkan kita. Kisah Naaman, panglima tentara raja Aram, adalah luar biasa. Agar disembuhkan dari penyakit kusta, ia berpaling menuju nabi Allah, Elisa, yang tidak melakukan sihir atau menuntut sesuatu yang tidak biasa darinya, tapi hanya meminta dia untuk percaya pada Allah dan untuk mandi di perairan sungai. Bukan di salah satu sungai besar di Damaskus, akan tetapi di sungai kecil dari sungai Yordan. Naaman dibiarkan terkejut, bahkan terperanjat. Allah macam apa ini yang meminta sesuatu sedemikian sederhana? Dia ingin berpaling pulang, tapi kemudian dia melanjutkan, dia menenggelamkan dirinya di Sungai Yordan dan langsung sembuh (lih. 2 Kg 5:1-4). Demikian adanya: Allah mengejutkan kita. Justru dalam kemiskinan, dalam kelemahan dan dalam kerendahan hati yang Ia nyatakan diri-Nya dan memberi kita kasih-Nya, yang menyelamatkan kita, menyembuhkan kita dan memberi kita kekuatan. Dia meminta kita hanya untuk mentaati firman-Nya dan percaya kepadaNya.

Berikut ini adalah pengalaman Perawan Maria. Saat mendapat kabar dari malaikat, dia tidak menyembunyikan rasa terkejutnya. Ini adalah ketakjuban dari perwujudan bahwa Allah, menjadi manusia, telah memilih dia, seorang gadis sederhana dari Nazaret. Bukan seseorang yang tinggal di sebuah istana di tengah kekuasaan dan kekayaan, atau seseorang yang telah melakukan hal-hal yang luar biasa, melainkan hanya seseorang yang terbuka kepada Allah dan menaruh kepercayaannya dalam Dia, bahkan tanpa memahami segalanya: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu”(Luk 1:38). Itulah jawabannya. Tuhan terus mengejutkan kita, ia meledakkan kategori-kategori kita, Dia membuat kekacauan dengan rencana-rencana kita. Dan Dia katakan kepada kita: Percayalah, jangan takut, biarkan diri kalian dikejutkan, biarkan diri kalian di belakang dan ikuti Aku!

Hari ini mari kita semua bertanya pada diri sendiri apakah kita takut akan apa yang Allah mungkin minta, atau akan apa yang Dia sesungguhnya minta. Apakah aku membiarkan diriku dikejutkan oleh Allah, seperti halnya Maria, atau apakah aku tetap terjebak dalam zona aman-ku sendiri: dalam bentuk-bentuk materi, keamanan intelektual atau ideologis, yang berlindung dalam proyek-proyek dan rencana-rencanaku sendiri? Apakah aku benar-benar membiarkan Allah ke dalam hidupku? Bagaimana aku menjawabnya?

2. Dalam kutipan pendek dari Santo Paulus yang telah kita dengar, Rasul itu memberitahu muridnya Timotius: Ingatlah Yesus Kristus; jika kita bertahan dengan Dia, kita juga akan ikut memerintah dengan Dia (lih. 2 Tim 2:8-13). Hal ini adalah hal kedua: mengingat Kristus selalu – menjadi penuh perhatian akan Yesus Kristus – dan dengan demikian bertekun dalam iman. Allah mengejutkan kita dengan kasih-Nya, tetapi Ia menuntut agar kita setia dalam mengikutiNya. Kita bisa tidak setia, tapi Dia tidak bisa: Dia adalah “Yang setia” dan Ia menuntut kita kesetiaan yang sama itu. Pikirkan semua saat-saat ketika kita bersemangat tentang sesuatu atau yang lain, beberapa inisiatif, beberapa tugas, tapi setelah itu, pada tanda kesulitan pertama, kita mengaku kalah. Sayangnya, hal ini juga terjadi dalam kasus keputusan-keputusan mendasar, seperti misalnya pernikahan. Yang adalah kesulitan untuk tetap teguh, setia kepada keputusan-keputusan yang telah kita buat dan kepada komitmen-komitmen yang telah kita buat. Seringkali cukup mudah untuk mengatakan “ya”, tapi kemudian kita gagal untuk mengulang “ya” ini setiap hari dan sehari-harinya. Kita gagal untuk setia.

Maria telah berkata “ya”-nya kepada Allah: sebuah “ya” yang menghabiskan kehidupannya yang sederhana di Nazaret ke dalam kekacauan, dan tidak hanya sekali. Beberapa kali dia telah ucapkan “ya”-nya yang tulus pada saat-saat suka dan duka, yang berpuncak dalam “ya”-nya dia telah tunjukkan di kaki Salib. Di sini saat ini ada banyak ibu-ibu yang hadir; ingatlah segenap kesetiaan Maria kepada Allah: yang melihat Putra Tunggalnya tergantung di kayu Salib. Wanita setia itu, masih berdiri, benar-benar hancur hati, namun setia dan kuat.

Dan saya bertanya pada diri sendiri: Apakah aku seorang Kristen secara tak beraturan [secocok dan sesukanya], ataukah aku seorang Kristen penuh waktu? Budaya kefanaan kita, relativitas itu, juga menelan korban pada cara kita menjalani iman kita. Allah meminta kita untuk setia kepadaNya, sehari-hari, dalam kehidupan sehari-hari kita. Dia terus mengatakan itu, sekalipun kita kadang-kadang tidak setia kepadaNya, Dia tetap setia. Dalam belas kasihan-Nya, Dia tidak pernah lelah merentangkan tangan-Nya untuk mengangkat kita, mendorong kita untuk melanjutkan perjalanan kita, untuk kembali dan menceritakan kepadaNya akan kelemahan kita, sehingga Dia dapat memberikan kita kekuatan-Nya. Hal ini adalah perjalanan yang nyata: berjalan bersama Tuhan selalu, juga pada saat-saat lemah, juga dalam dosa-dosa kita. Jangan pernah lebih menyukai jalan pintas kita sendiri. Yang membunuh kita. Iman adalah dasar kesetiaan, seperti kesetiaan Maria.

3. Hal terakhir: Allah adalah kekuatan kita. Saya mengingat sepuluh orang kusta di Injil yang disembuhkan oleh Yesus. Mereka mendekatiNya dan, menjaga jarak mereka, mereka berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (Luk 17:13). Mereka sakit, mereka membutuhkan kasih dan kekuatan, dan mereka sedang mencari seseorang untuk menyembuhkan mereka. Yesus menanggapi dengan membebaskan mereka dari penyakit mereka. Dengan cara yang menyolok, namun hanya salah satu dari mereka datang kembali, memuliakan Allah dan bersyukur kepadaNya dengan suara keras. Yesus memperhatikan hal ini: sepuluh [orang] telah meminta untuk disembuhkan dan hanya satu [orang] yang kembali untuk memuji Allah dengan suara keras dan mengakui bahwa Dia adalah kekuatan kita. Mengetahui bagaimana untuk bersyukur, untuk memberikan pujian atas segala sesuatu yang telah Tuhan telah lakukan bagi kita.

Mengutip Maria. Setelah Kabar Gembira, tindakan pertamanya adalah satu dari kebaikan hati menuju kakak perempuan sanak keluarganya, Elizabeth. Kata-kata pertamanya adalah: “Jiwaku memuliakan Tuhan”, dengan kata lain, sebuah lagu pujian dan syukur kepada Allah tidak hanya untuk apa yang Dia lakukan untuknya, tetapi untuk apa yang Dia telah lakukan sepanjang sejarah keselamatan itu. Semuanya adalah karunia-Nya. Jika kita dapat menyadari bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah, betapa bahagianya hati kita! Semuanya adalah karunia-Nya. Dia adalah kekuatan kita! Mengatakan “terima kasih ” adalah semacam hal yang mudah, dan belum begitu sulit! Seberapa sering kita katakan “terima kasih” kepada satu sama lain dalam keluarga kita? Kata-kata ini penting bagi kehidupan kita bersama. “Maaf”, “permisi”, ” terima kasih”. Jika keluarga-keluarga bisa mengatakan tiga hal ini, mereka akan baik-baik saja. “Maaf”, “permisi”, “terima kasih”. Seberapa sering kita katakan “terima kasih” dalam keluarga kita ? Seberapa sering kita katakan “terima kasih” kepada mereka yang membantu kita, mereka yang dekat dengan kita, mereka yang berada di sisi kita sepanjang hidup? Terlalu sering kita menganggap segala sesuatu sudah semestinya! Hal ini terjadi dengan Allah juga. Sangat mudah untuk mendekati Tuhan untuk meminta akan sesuatu, tapi untuk pergi dan bersyukur padaNya: ” Yah, aku tidak perlu”.

Sambil kita melanjutkan perayaan Ekaristi kita, marilah kita memohon perantaraan Maria. Semoga ia membantu kita untuk terbuka akan kejutan Allah, untuk menjadi setia kepadaNya setiap hari dan sehari-harinya, dan untuk memuji dan bersyukur padaNya, karena Dia adalah kekuatan kita. Amin.

* * *

Tindakan penyerahan diri kepada Maria

Santa Perawan Maria dari Fatima,
dengan rasa syukur yang diperbaharui atas kehadiranmu yang keibuan
kami bergabung dalam suara dari semua generasi yang menyebut-mu yang terpuji.

Kami memuji di dalammu perbuatan-perbuatan besar Allah,
yang tidak pernah lelah merendahkan diri-Nya dalam belas kasihan atas manusia,
telah menderita oleh yang jahat dan telah terluka oleh dosa,
untuk menyembuhkan dan untuk menyelamatkannya.

Percaya dengan kebajikan seorang Ibu
tindakan mempercayakan ini yang kita buat dalam iman hari ini,
di hadapan ini gambaranmu, yang terkasih bagi kami.
Kami yakin bahwa setiap orang dari kami adalah berharga di matamu
dan bahwa tiada apapun di hati kami telah menjauhkanmu.

Kami yakin bahwa setiap orang dari kami adalah berharga di matamu
dan bahwa tidak ada apapun di hati kami telah menjauhkanmu

Semoga itu kami perbolehkan tatapan manismu
meraih kami dan kehangatan abadi dari senyummu itu

Jagalah kehidupan kami dengan pelukanmu:
berkati dan kuatkan setiap keinginan bagi kebaikan;
berikan kehidupan baru dan makanan bergizi kepada iman;
pertahankan dan cerahkan pengharapan;
bangkitkan dan hidupkan kebaikan hati;
bimbing kami semua pada jalan menuju kekudusan.

Ajarilah kami kasih milikmu yang istimewa bagi yang kecil dan yang miskin,
bagi yang dikecualikan dan yang menderita,
bagi para pendosa dan yang terluka hati:
berkumpul bersama semua orang di bawah perlindunganmu
dan sampaikan kami semua kepada Puteramu terkasih, Tuhan Yesus.

Amin.
(AR)

Paus Fransiskus,
Lapangan Santo Petrus, 13 Oktober 2013

Perjalanan Ini dan Itu

0

Setelah menempuh Ujian Tengah Semester, aku dan semua anggota biara mengikuti outing bersama. Kami pergi ke salah satu tempat rekreasi di kota ini. Kebetulan letaknya tidak terlalu jauh dari biara. Demi menghayati kaul kemiskinan, tentu kita tidak naik mobil atau kendaraan. Kita naik alat transportasi alami yang Allah berikan : kaki. Alhasil, kami berombongan berjalan bersama menuju tempat wisata itu dan menjadi tontonan orang, karena jumlah kami cukup banyak seperti hendak demo harga BBM.

Menurut peta, memang tempatnya tidak terlalu jauh. Tapi, kalau dibawa jalan kaki ternyata jauh juga ya. Apalagi, sinar matahari sedang galak-galaknya. Kulit gosong dengan sukses sebelum mencapai tempat tujuan. Tetapi, perjalanan itu tidak terasa terlalu membosankan. Ada banyak saudara yang menemaniku selama perjalanan ini. Ada banyak canda dan tawa, terkadang kita saling berbagi cerita hidup dan pengalaman. Lebih asyik lagi kalau suplai snack dan minuman sudah muncul. Biar berjalan jauh dan lelah, perjalanan ini sangat menyenangkan.

Tapi, karena berjalan berombongan, terkadang kami agak terpisah-pisah. Orang-orang yang menemaniku juga berganti-ganti. Terkadang ditemani saudara ini, terkadang saudara itu. Terkadang oleh saudara yang dekat denganku ini, kadang dengan saudara yang kurang aku kenal baik itu. Terkadang, aku berjalan bersama orang-orang yang riuh dengan tawa ini. Terkadang, aku harus melalui beberapa meter langkah dengan sunyi senyap itu, malah sendirian. Terkadang juga berhenti terduduk karena capek atau hampir jatuh tersandung oleh batu besar. Namun, toh aku tetap berjalan dan akhirnya tiba di tempat tujuan dengan selamat. Kita bermain air, berenang, balap perahu, dan banyak permainan lain. Lebih nikmat lagi, bakso dan nasi pecel lele terhidang setelah bermain-main. Secara keseluruhan, perjalanan itu menyenangkan dan bernilai.

Mungkin, begitu juga dengan perjalanan menuju kekudusan. Perjalanan yang ini juga melelahkan, sering membikin putus asa, dan rasanya nggak kunjung sampai. Namun, aku sebenarnya tidak sendirian karena ditemani oleh banyak saudara-saudara, dari saudara-saudaraku se-biara, keluargaku, sesama umat Katolik, semua orang di dunia, seluruh jiwa di api penyucian, para malaikat, semua para kudus di surga, Bunda Maria, dan Allah Tritunggal sendiri.

Dalam perjalananku ini, terkadang aku merasa berjalan dalam sepi ini, terkadang ditemani saudara-saudaraku itu. Terkadang, aku ditemani orang tak dikenal ini, terkadang ditemani orang kudus itu. Terkadang, aku berjalan dalam manisnya penghiburan ini, terkadang dalam gelapnya kesedihan dan cobaan itu. Terkadang, gulali bikinanku gagal dan gosong karena tersandung dosa, terkadang rahmat-Nya memampukanku memintal gulali manis untuk banyak orang dan kemuliaan-Nya. Secara keseluruhan, aku percaya dan berharap perjalanan ini akan menyenangkan dan bernilai, sekalipun dipenuhi tantangan dan halangan. Aku percaya, karena aku tidak sendirian. Aku ditemani oleh keluargaku, Allah dan Gereja.

“Kita harus belajar menemukan Allah dalam hidup biasa sehari-hari, atau kita tidak akan pernah bisa menemukanNya” – St. Josemaria Escriva

Paus Fransiskus: Siapakah Katekis Itu?

0

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Hari para Katekis dalam Tahun Iman:

1. “Celakalah atas orang-orang yang berpuas diri di Sion, atas mereka yang merasa aman … berbaring di atas tempat tidur dari gading!” (Am 6:1,4). Mereka makan, mereka minum, mereka bernyanyi, mereka bermain dan mereka tidak peduli apa-apa tentang masalah-masalah orang lain. Ini adalah kata-kata tajam yang Nabi Amos ucapkan, namun demikian kata-kata itu memperingatkan kita akan bahaya yang kita semua hadapi. Apa yang utusan Allah ini cela secara terang-terangan; apa yang dia inginkan dari orang-orang yang hidup dalam jamannya, dan diri kita masa kini, untuk disadari? Bahaya dari kepuasan, kenyamanan, keduniawian dalam gaya hidup kita dan dalam hati kita, [bahaya] dari membuat kesejahteraan kita [menjadi] hal yang paling penting dalam hidup kita. Ini adalah perkara orang kaya dalam Injil itu, yang mengenakan pakaian halus dan setiap hari mengadakan dalam jamuan makan mewah; ini adalah apa yang penting baginya. Dan orang miskin di depan pintu rumahnya yang tidak punya sesuatu apapun untuk mengurangi rasa laparnya? Itu bukan urusannya, itu tidak jadi soal baginya. Setiap kali hal-hal materi, uang, keduniawian, menjadi pusat kehidupan kita, mereka memegang kita, mereka memiliki kita; kita kehilangan identitas kita sebagai manusia. Ingatlah hal itu: orang kaya dalam Injil itu tidak memiliki nama, ia hanya “seorang kaya”. Hal-hal materi, harta miliknya, adalah wajahnya; ia tidak memiliki apapun lainnya.

Mari kita coba untuk berpikir: Bagaimana sesuatu seperti ini terjadi? Bagaimana beberapa orang, mungkin termasuk diri kita sendiri, berakhir menjadi terpaku pada kegiatan dan pikiran sendiri dan menemukan jaminan dalam hal-hal materi yang akhirnya merampas kita dari muka kita, wajah manusia kita? Inilah yang terjadi ketika kita menjadi berpuas diri, ketika kita tidak lagi mengingat Allah. “Celakalah atas orang-orang yang berpuas diri di Sion”, kata nabi itu. Jika kita tidak berpikir tentang Allah, semuanya berakhir datar, semuanya berakhir menjadi tentang “aku” dan kenyamanan diri sendiri. Kehidupan, dunia, orang lain, semua dari ini menjadi tidak nyata, mereka tidak lagi peduli, semuanya bermuara pada satu hal: memiliki. Ketika kita tidak lagi mengingat Allah, kita juga menjadi tidak nyata, kita juga menjadi kosong; seperti orang kaya dalam Injil itu, kita tidak lagi memiliki muka! Mereka yang mengejar akan sesuatu yang tidak berarti apa-apa akan menjadi sesuatu yang tidak berarti apa-apa pula – sebagaimana nabi besar lainnya, Yeremia, telah amati (lih. Yer 2:5). Kita diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, bukan gambar dan rupa dari benda-benda material, dari berhala-berhala!

2. Jadi, ketika saya melihat kalian, saya pikir: Siapa itu para katekis? Mereka adalah orang-orang yang menyimpan memori akan Allah yang hidup; mereka mempertahankannya dalam diri mereka sendiri dan mereka mampu menghidupkan itu kembali dalam orang lain. Hal ini merupakan sesuatu yang indah: untuk mengingat Allah, seperti Perawan Maria, yang melihat perbuatan-perbuatan Allah yang menakjubkan dalam hidupnya tetapi tidak berpikir tentang kehormatan, gengsi atau kekayaan; dia tidak menjadi terpaku pada kegiatan dan pikiran sendiri. Sebaliknya, setelah menerima pesan dari malaikat dan mengandung seorang Putera Allah, apa dia lakukan? Dia berangkat memulai suatu perjalanan, dia pergi untuk membantu, kakak perempuan sanak keluarga-nya, Elizabeth, yang juga sedang mengandung. Dan hal pertama yang ia lakukan pada pertemuannya dengan Elizabeth adalah mengingat perbuatan Allah, kesetiaan Allah, dalam hidupnya sendiri, dalam sejarah bangsanya, dalam sejarah kita: “Jiwaku memuliakan Tuhan … Sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya … rahmat-Nya turun menurun”(Luk 1:46, 48, 50). Maria mengingat Allah.

Kidung pujian Maria ini juga berisi kenangan akan sejarah pribadinya, sejarah Allah dengan-nya, pengalaman imannya sendiri. Dan hal ini adalah sesungguhnya juga untuk masing-masing orang dari kita dan bagi setiap orang Kristen: iman berisi memori kita sendiri akan sejarah Allah dengan kita, memori perjumpaan Allah kita yang selalu mengambil langkah lebih dulu, yang menciptakan, menyelamatkan dan mengubah kita. Iman adalah kenangan akan firman-Nya yang menghangatkan hati kita, dan akan karya penyelamatan-Nya yang memberi hidup, memurnikan kita, peduli dan memelihara kita. Katekis adalah seorang Kristen yang menempatkan kenangan ini pada pelayanan pewartaan, bukan untuk terlihat penting, bukan untuk berbicara tentang dirinya sendiri, tapi untuk berbicara tentang Allah, tentang kasih-Nya dan kesetiaan-Nya. Untuk berbicara tentang dan untuk mewariskan semua yang Allah telah ungkapkan, ajaran-Nya dalam totalitasnya, bukan memangkas kurang atau juga bukan menambahkannya pada itu.

Santo Paulus menyarankan satu hal khususnya kepada murid dan rekan kerjanya Timotius: Ingat, ingat akan Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati, yang aku wartakan dan untuk siapa aku menderita (lih. 2 Tim 2:8-9). Rasul dapat mengatakan hal ini karena dia juga ingat Kristus, yang telah memanggilnya ketika ia menganiaya orang Kristen, yang telah menyentuh dia dan mengubah dia dengan rahmat-Nya.

Katekis, kemudian, adalah seorang Kristen yang penuh perhatian akan Allah, yang dibimbing oleh memori akan Allah di dalam seluruh kehidupannya dan yang mampu membangkitkan memori itu dalam hati orang lain. Hal ini tidak mudah! Ini melibatkan seluruh keberadaan kita! Apa Katekismus itu sendiri, jika bukan memori akan Allah, memori akan perbuatan-perbuatan-Nya dalam sejarah dan kedekatan-Nya kepada kita dalam Kristus yang hadir dalam firman-Nya, dalam sakramen-sakramen-Nya, dalam Gereja-Nya, dalam kasih-Nya? Para katekis terkasih, saya bertanya pada kalian: Apakah kita pada kenyataannya adalah memori akan Allah itu? Apakah kita benar-benar seperti para penjaga yang membangunkan dalam orang-orang lain memori akan Allah itu yang menghangatkan hati?

3. “Celakalah atas orang-orang yang berpuas diri di Sion!”, kata nabi itu. Apa yang harus kita lakukan agar tidak menjadi “berpuas diri” – orang-orang yang menemukan jaminan mereka dalam diri mereka sendiri dan dalam hal-hal materi – tetapi laki-laki dan perempuan dari memori Allah? Dalam bacaan kedua, Santo Paulus, sekali lagi menulis kepada Timotius, memberikan beberapa indikasi yang juga dapat menjadi tonggak-tonggak penunjuk bagi kita dalam karya-karya kita sebagai katekis: kejarlah keadilan, ibadah, iman, kasih, kesabaran, kelembutan (lih. 1 Tim 6:11 ).

Para katekis adalah pria dan wanita dari memori akan Allah jika mereka memiliki sebuah hubungan relasi konstan , yang hidup bersama Dia dan dengan tetangga mereka; jika mereka adalah pria dan wanita beriman yang benar-benar mempercayai Tuhan dan menempatkan keselamatan mereka di dalam Dia; jika mereka adalah pria dan wanita dari kebaikan hati, kasih, yang melihat orang lain sebagai saudara dan saudari; jika mereka adalah laki-laki dan perempuan “hypomone” [Yunani: hupo = di bawah, meno = patuh], kesabaran dan ketekunan, mampu menghadapi kesulitan-kesulitan, pencobaan-pencobaan dan kegagalan-kegagalan dengan ketenangan dan pengharapan di dalam Tuhan; jika mereka lembut, mampu memahami dan berbelas kasihan.

Mari kita mohon Tuhan agar semoga kita semua menjadi laki-laki dan perempuan yang mempertahankan memori akan Allah hidup dalam diri kita, dan mampu membangkitkannya dalam hati orang lain. Amin.
(AR)

Paus Fransiskus,
Lapangan Santo Petrus, 29 September 2013

Diterjemahkan dari: www.vatican.va

Pintu Pengharapan (Refleksi Malam Paskah)

0

Satu jam sebelum Misa Malam Paskah, tanggal 19 April 2014, aku dikejutkan dengan adanya telepon. Telepon itu dari seorang anak berusia sebelas tahun: “Moo, tolong doakan Mamaku dalam Misa Malam Paskah ya. Biar Mama sudah bisa merayakan Paskah bersama Tuhan Yesus di surga”. Aku mengenal anak itu pada tanggal 03 Maret 2014 ketika merayakan Misa peringatan empat puluh hari meninggalnya mamanya. Mamanya meninggal dunia pada usia empat puluh tiga tahun karena penyakit kanker rahim. Ia telah berhasil menyelesaikan proses kemoterapi tahap pertama, yaitu sebelas kali. Dalam masa sakitnya, ia nampak tegar dan mengandalkan Tuhan. Setiap jam 21.00 ia berdoa rosario untuk memohon kekuatan Tuhan. Tuhan ternyata memanggilnya untuk menikmati istirahat abadi.

Sebelum Misa mulai, anak itu mengatakan kepadaku: “Romo, mamaku sangat lucu. Ia senantiasa menghiburku ketika aku sedih. Kata banyak orang bahwa mamaku sudah meninggal dunia. Akan tetapi, Mama bagiku tidak pernah meninggal dunia. Mama hanya pindah rumah. Ketika aku sedang susah, Mama terasa melucu sehingga aku bisa bergembira lagi. Mama terasa mendorongku untuk belajar dengan semangat sehingga aku dapat meraih cita-citaku. Aku ingin menjadi dokter untuk menyenangkan Mama”.

Setelah mengatakan demikian, anak itu menunjukkan kepadaku foto-fotonya bersama mama dan papanya. Foto-foto itu tergantung di dinding. Foto-foto itu menyinarkan kebahagiaan. Foto-foto itu hidup karena memberikan kekuatan dan peneguhan.

Setelah selesai Misa, anak itu berkata kepadaku: “Romo, aku setiap malam jam 21.00 berdoa satu kali doa ‘Salam Maria’ bagi mamaku agar mamaku tetap melucu di surga”. Ia kemudian berfoto dengan wajah ceria bersama paduan suara yang baru saja menyanyikan lagu “Nderek Dewi Maria/Ikut Bunda Maria”.

Sikap anak yang lucu itu membuat Misa Malam Paskah di Paroki Santa Odilia- Tangerang, yang dihadiri kurang lebih lima ribu umat, sungguh bermakna. Perarakan menuju pintu Gereja, untuk upacara ‘Cahaya’ menjadi suatu tanda kerinduan akan Sang Terang dari hati yang letih dan lesu karena beban kehidupan: “Habis jiwaku merindukan keselamatan dari padaMu, aku berharap kepada firman-Mu” (Mazmur 119:81).

“Lilin Paskah” yang bernyala dengan seruan “Kristus Cahaya Dunia” masuk ke dalam hati umat yang dilambangkan dengan lilin-lilin kecil yang beryala di tangan. Semakin lama cahaya-cahaya dari lilin-lilin kecil itu semakin luas dan menerangi kegelapan hati. Lilin Paskah, Tuhan Yesus Kristus, menjadi harapan yang terus menyala di dalam jiwa. Selama Tuhan Yesus Kristus yang telah bangkit, Sang Pengharapan, tetap terpelihara dalam jiwa kita, ia mampu menyalakan kembali damai, iman, kasih, dan semangat yang telah padam.

Tuhan Yesus bangkit melalui kematian. Kebangkitan Tuhan menjadi pesan bahwa senantiasa ada kejayaan setelah kesukaran jika dihadapi dengan iman. Tuhan Yesus Kristus telah bangkit menjadi pintu pengharapan bagi umat-Nya. Karena itu, senantiasalah berpengharapan kepada Tuhan karena berpengharapan kepadaNya akan membuka jalan ketika tiada pintu gerbang yang terbuka. Ingatlah bahwa masa depan kita lebih besar daripada masa lalu kita. Kuasa Tuhan lebih hebat daripada masalah kita: “dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya” (Efesus 1:19).

Tuhan memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Pesan Waisak Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (15 Mei 2014)

0

“Umat Budha dan umat Kristiani : Bersama-sama Membina Persaudaraan”

Sahabat-sahabat umat Budha terkasih,

1.Atas nama Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama, kami ingin sekali lagi melapangkan bagi Anda semua, di seluruh dunia, ucapan paling tulus kami pada kesempatan Hari Raya Waisak.

2. Salam ramah kami tahun ini diilhami oleh Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Perdamaian Dunia 2014, yang berjudul “Persaudaraan, Dasar dan Jalan Bagi Perdamaian”. Di sana, Paus Fransiskus mengamati bahwa “persaudaraan merupakan sebuah kualitas manusiawi yang penting, karena kita adalah makhluk relasional. Sebuah kesadaran yang hidup dari keterkaitan kita membantu kita untuk memandang dan memperlakukan setiap orang sebagai seorang saudari atau saudara sejati; tanpa persaudaraan tidaklah mungkin membangun sebuah masyarakat yang adil dan sebuah perdamaian yang padu dan abadi … “(no. 1).

3. Sahabat-sahabat terkasih, tradisi keagamaan Anda mengilhami keyakinan bahwa hubungan persahabatan, dialog, berbagi anugerah, dan pertukaran pandang yang penuh hormat dan selaras menyebabkan sikap kebaikan dan kasih yang pada gilirannya menghasilkan hubungan yang otentik dan bersifat persaudaraan. Anda juga diyakinkan bahwa akar segala kejahatan adalah ketidaktahuan dan kesalahpahaman yang lahir dari keserakahan dan kebencian, yang pada gilirannya menghancurkan ikatan-ikatan persaudaraan. Sayangnya, “tindakan keegoisan sehari-hari, yang merupakan akar dari begitu banyak peperangan dan begitu banyak ketidakadilan”, menghalangi kita melihat orang lain “sebagai makhluk yang diciptakan bagi ketimbalbalikan, bagi persekutuan dan pemberian diri” (Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 2014, no. 2).

Keegoisan tersebut pastinya akan mengarah pada melihat orang lain sebagai sebuah ancaman.

4. Sebagai umat Budha dan umat Kristiani, kita semua hidup di dunia terlalu sering terkoyak oleh penindasan, egoisme, paham kesukuan, persaingan etnis, kekerasan, dan fundamentalisme agama, sebuah dunia di mana “orang lain” diperlakukan sebagai rendahan, bukan pribadi, atau seseorang yang disegani serta dilenyapkan jika mungkin. Namun, kita dipanggil, dalam semangat kerja sama dengan para peziarah lain dan dengan orang-orang yang berkehendak baik, untuk menghormati dan membela kemanusiaan kita bersama dalam berbagai konteks sosial-ekonomi, politik, dan agama. Mempergunakan keyakinan agama kita yang berbeda, kita dipanggil terutama untuk menjadi blak-blakan dalam mengecam semua penyakit sosial yang merusak persaudaraan tersebut; menjadi para penyembuh yang memungkinkan orang lain bertumbuh dalam kemurahan hati tanpa pamrih, dan menjadi para pemersatu yang memecah tembok perpecahan dan membina persaudaraan sejati antara pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat.

5. Dunia kita saat ini sedang menjadi saksi tumbuhnya rasa kemanusiaan bersama kita dan upaya global untuk dunia yang lebih adil, penuh damai dan persaudaraan. Namun pemenuhan harapan-harapan tersebut tergantung pada pengakuan nilai-nilai universal. Kami berharap bahwa dialog antaragama akan memberikan sumbangsih, dalam pengakuan prinsip-prinsip dasar etika universal, mendorong rasa persatuan dan persaudaraan yang diperbaharui dan diperdalam di antara semua anggota keluarga manusia. Memang, “kita masing-masing dipanggil untuk menjadi seorang pengrajin perdamaian, dengan menyatukan dan tidak memecah-belah, dengan memadamkan kebencian dan tidak berpaut padanya, dengan membuka jalan untuk dialog dan bukan dengan membangun tembok-tembok baru! Mari kita berdialog dan saling bertemu dalam rangka membangun sebuah budaya dialog di dunia, sebuah budaya perjumpaan!” (Paus Fransiskus, Kepada para peserta dalam pertemuan Internasional untuk Perdamaian, yang disponsori oleh Komunitas “Sant Egidio”, 30 September 2013).

6. Sahabat-sahabat terkasih, membangun sebuah dunia persaudaraan, sangatlah penting karena kita bergabung untuk mendidik orang-orang, khususnya kaum muda, untuk menemukan persaudaraan, hidup dalam persaudaraan dan berani membangun persaudaraan. Kami berdoa agar perayaan Waisak Anda akan menjadi sebuah kesempatan untuk menemukan kembali dan sekali lagi menggalakkan persaudaraan, terutama dalam masyarakat kita yang terpecah belah. Sekali lagi izinkan kami mengungkapkan salam tulus kami dan mengucapkan bagi Anda semua Selamat Hari Raya Waisak.

Jean-Louis Kardinal Tauran
Ketua

Pastor Miguel Ángel Ayuso Guixot, MCCJ

Sekretaris

**************
(Alih bahasa: Peter Suriadi)

Ya Yesus, tinggallah bersama kami!

0

[Hari Minggu Paskah ke III: Kis 2:14, 22-33; Mzm 16: 1-11; 1Ptr 1:17-21; Luk 24:13-35]

“Tahukah kamu, bahwa kisah penampakan Tuhan Yesus di perjalanan kedua murid ke Emaus ini telah mengubah seluruh hidupku?” Demikianlah tutur seorang teman kami, saat membagikan kisah kesaksian hidupnya. Sebelum menjadi Katolik, teman kami itu adalah seorang pendeta Methodis. Kehidupannya sebagai seorang pendeta mengharuskannya untuk secara tekun mempelajari dan merenungkan Kitab Suci, untuk mempersiapkan khotbah yang selalu dinanti-nantikan oleh jemaatnya. Suatu hari, saat merenungkan perikop ini, hatinya terusik. Mata hatinya terbuka ketika menyadari bahwa Tuhan Yesus berkenan menyatakan kehadiran- Nya secara istimewa dalam dua cara. Yang pertama melalui pernyataan Sabda, yaitu nubuat para nabi dan penggenapannya seperti yang tertulis dalam Kitab Suci; dan kedua, melalui pemecahan roti. Bahkan baru pada saat Yesus memecahkan roti inilah, para murid itu menyadari kehadiran Tuhan Yesus yang telah bangkit di tengah- tengah mereka. Inilah yang membuatnya bertanya-tanya dalam hati…. adakah hal ini masih terjadi sekarang ini. Pertanyaannya ini sedikit demi sedikit mendorongnya untuk mencari tahu jawabnya, sampai akhirnya ia sampai ke pangkuan Gereja Katolik.

Dalam Gereja Katoliklah, ditemukan peng-abadian kenangan akan Kristus sebagaimana dikehendaki oleh-Nya. Kristus yang hadir di tengah umat-Nya, dalam liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi, menjadikan pengalaman perjalanan ke Emaus menjadi milik semua murid-Nya yang lain di sepanjang sejarah Gereja. Kehadiran-Nya tidak hanya diperuntukkan bagi para murid yang hidup dua ribu tahun yang lalu. Kuasa Roh Kudus-Nya yang telah membangkitkan-Nya dari kematian, memungkinkan Kristus untuk hadir kembali mengatasi ruang dan waktu, dalam pembacaan Sabda Allah dan kurban Ekaristi, di tengah-tengah Gereja-Nya sampai akhir zaman. Kristus Sang Roti Hidup memang menghendaki agar dikenang dengan cara ini, “Inilah Tubuh-Ku… inilah DarahKu…. (Mat 26:26-28). Barangsiapa makan Tubuh-Ku dan minum Darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia….” (lih. Yoh 6:56). Kristus tidak mengatakan bahwa roti itu hanyalah simbol Tubuh-Nya, ataupun anggur itu hanyalah simbol Darah-Nya, namun betapa banyak umat Kristen sekarang ini yang beranggapan demikian. Sebaliknya, Yesus mengatakan bahwa Tubuh-Nya itu adalah benar-benar makanan untuk kita makan, agar kita memperoleh hidup di dalam Dia (lih. Yoh 6:55-57). Maka Yesus menghendaki para murid-Nya untuk mengenangkan perjamuan kudus sebagai suatu kenangan akan pengorbanan-Nya yang sungguh nyata, agar kita dapat memperoleh hidup yang kekal. Kesadaran ini mendorong teman kami untuk membuat keputusan yang cukup besar dalam hidupnya. Katanya, “Akhirnya aku menjadi Katolik, sebab aku ingin lebih penuh mengambil bagian dalam kenangan yang hidup akan kurban Kristus, yang diperingati dalam perayaan Ekaristi. Jika Tuhan Yesus memilih cara ini untuk hadir di tengah umat-Nya, bukankah aku harus mengikuti-Nya? Sudah saatnya aku mengikuti cara yang Kristus kehendaki, agar Ia dapat tinggal di hatiku dan memberiku hidup yang kekal sebagaimana yang dijanjikan-Nya.”

Sungguh, selayaknya kita juga merenungkan kisah perjalanan ke Emaus ini sebagai kisah yang hidup. Sebab kita, seperti kedua murid itu, mungkin juga pernah mengalami kegalauan ataupun alasan yang lain, sehingga kita mau menjalani kehidupan menurut kehendak dan cara kita sendiri. Bukankah pada pagi hari itu, para murid sudah diberitahu oleh wanita yang menjadi saksi kebangkitan Yesus, agar mereka pergi ke Galilea untuk menemui Yesus yang bangkit di sana? (lih. Mat 28:7) Tetapi kedua murid itu malah pergi ke Emaus, yang terletak di sebelah barat Yerusalem, suatu tujuan yang bertentangan dengan arah yang ditunjukkan oleh Kristus. Namun demikian, Kristus berkenan menyapa kedua murid yang sedang galau itu, dan hadir di tengah mereka. Kedua murid itu awalnya tidak menyadari kehadiran Yesus. Tetapi pada saat Yesus mengambil roti, mengucap berkat dan memecah- mecahkannya, mereka  menyadari bahwa Orang yang mereka pikir adalah seorang musafir asing, ternyata adalah Tuhan Yesus yang telah bangkit dari mati. Sudahkah kita menyadari kehadiran Yesus dalam pemecahan roti setiap kali kita merayakan Ekaristi? Apakah hati kita juga berkobar-kobar saat mendengarkan Sabda Tuhan?

Tuhan Yesus, ubahlah hatiku yang sering bebal ini, agar semakin berkobar saat mendengarkan dan merenungkan Sabda-Mu. Biarlah mata hatiku melihat Engkau yang hadir dalam Ekaristi kudus. Jangan sampai aku yang telah menerima Engkau dalam kepenuhannya, malah menjadi kurang bersyukur dan kurang menghargai pemberian Diri-Mu yang luar biasa ini. O Tuhan Yesus, terima kasih atas kasih setia-Mu yang menyertaiku dan seluruh Gereja-Mu. Mari, tinggallah terus bersama dengan kami, dan tuntunlah kami sampai kepada kehidupan kekal yang Engkau janjikan. Amin.”

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab