Home Blog Page 79

Asal usul Doa Salam Maria

5

Doa ‘Salam Maria’ adalah doa yang dikenal sebagai doa penghormatan Gereja kepada Bunda Maria. Berikut ini adalah sekilas asal usul doa Salam Maria, yang mengambil sumber utama dari link ini, silakan klik:

Umumnya doa ini dijabarkan sebagai doa yang terdiri dari tiga bagian:

1) “Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu…..” merupakan kutipan perkataan Malaikat Gabriel ketika mengunjungi Perawan Maria (lih. Luk 1:28).

2) “Terpujilah Engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu (Yesus)”, diambil dari salam Elisabet kepada Perawan Maria ketika Maria datang mengunjunginya (lih. Luk 1:42)

3) “Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin”, dinyatakan oleh Katekismus Konsili Trente, sebagai doa yang disusun oleh Gereja. Katekismus tersebut menyatakan, “Adalah sangat tepat, bahwa Gereja Tuhan yang kudus menambahkan kepada ucapan syukur ini, permohonan kepada Bunda Allah yang kudus untuk mendoakan kita, dan dengan demikian supaya kita memohon bantuan kepadanya agar oleh doa-doa syafaatnya, ia mengusahakan persahabatan antara Allah dan kita manusia, dan memperoleh bagi kita, berkat yang kita butuhkan untuk hidup sekarang ini dan untuk hidup yang tidak berkesudahan.”

Namun walaupun bagian ketiga ini dikatakan sebagai ‘doa Gereja’ oleh Katekismus Konsili Trente di abad ke-16, permohonan Gereja terhadap bantuan/ perlindungan Bunda Maria, itu bukan baru muncul di abad ke-16. Doa Gereja di abad awal, yang dikenal dengan doa Sub Tuum Praesidium, berbunyi, “Di bawah belas kasihanmu kami berlindung, O Bunda Tuhan. Jangan menolak permohonan kami dalam kesesakan, tetapi bebaskanlah kami dari mara bahaya, [o engkau] yang suci dan terberkati.” (Sub Tuum Praesidium, dari Rylands Papyrus, Mesir, abad ke- 2 atau 3).

Memang, penyusunan doa Salam Maria ini memiliki kisahnya tersendiri. Kata, “Salam Maria, penuh rahmat” (Ave Maria, gratia plena) itu mengacu kepada Kitab Suci terjemahan Vulgata, yang menerjemahkan secara literal, kata Yunani, chaire kecharitomene, yang sekilas sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Kata, “Salam Maria, penuh rahmat” ini telah dipergunakan oleh para Bapa Gereja sebagai ungkapan penghormatan kepada Bunda Maria. Di abad ke-7, St. Gregorius telah memasukkan ungkapan doa “Salam Maria” ini dalam Liber Antiphonarious, sebagai frasa dalam doa persembahan, dalam teks Misa Minggu keempat Masa Adven.  Seabad kemudian, frasa “Salam Maria” ini tercatat sebagai bagian dalam tulisan pengajaran St. Andreas dari Kreta dan St. Yohanes Damaskinus (abad ke 8).

Namun demikian, “Salam Maria” sebagai rumusan doa devosi belum jelas ditemukan sebelum tahun 1050. Dua buah manuskrip tua Anglo-Saxon di British Museum, yang salah satunya berasal dari tahun 1030, menunjukkan bahwa kata, “Salam Maria…. terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu” itu tertulis berulang-ulang dalam sebuah doa penghormatan kepada Bunda Maria.

Tahun 1184, Uskup Agung Canterbury, Abbot Baldwin, menulis:

“Terhadap salam dari Malaikat ini, yang dengannya kita setiap hari menyapa Sang Perawan yang Terberkati dengan devosi sedemikian, kita biasa menambahkan, “dan terpujilah buah tubuhmu,” yang dikatakan oleh Elisabet kemudian, setelah mendengar salam dari Maria, seolah melengkapi perkataan dari malaikat itu, dengan berkata: “Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu.”

Tahun 1196, dekrit sinoda dari Eudes de Sully, Uskup Paris, mengajarkan kepada para klerus, “Salam kepada Perawan Maria” ini sebagai rumusan doa yang telah dikenal di keuskupannya, sebagaimana doa resmi lainnya, seperti doa Bapa Kami dan Aku Percaya. Sejak saat itu, doa Salam Maria ini diperkenalkan dan dianjurkan kepada umat beriman, dimulai dari Sinoda di Durham di Inggris, tahun 1217.

Doa Salam Maria ini kemudian dikenal sebagai doa-doa yang umum didoakan oleh para orang kudus (Santo dan Santa), seperti St. Aybert, St. Louis dari Perancis, St. Margaret, St. Dominic dan doa di biara-biara, sebagai doa ungkapan pertobatan. Doa ini umum diulangi, sampai puluhan kali, 50 atau bahkan 150 kali, mengikuti pola pengulangan doa “Kudus, kudus, kudus” yang terus diulangi tanpa putusnya di hadapan tahta Allah yang Maha Tinggi.

Di zaman St. Louis, doa “Salam Maria” berakhir dengan “… terpujilah buah tubuhmu”. Penambahan “Yesus” sesudah frasa itu umumnya dikenal dari abad 15, menurut anjuran Paus Urban IV (1261) dan Paus Yohanes XXII (1316-1344). Teks doa Salam Maria seperti yang kita ketahui sekarang, tercatat sebagai bagian depan salah satu karya Girolamo Savonarola, di tahun 1495. Savonarola adalah seorang biarawan, yang dikenal sebagai reformer ordo Dominikan. Dua tahun sebelumnya, frasa “Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini. Amin,” tercatat dalam Calendar of Shepherds, edisi bahasa Perancis. Namun penerimaan resmi teks doa Salam Maria selengkapnya, meskipun sudah disebutkan dalam Katekismus Konsili Trente, baru akhirnya dinyatakan dalam Roman Breviary tahun 1568.

Ya Yesus, Engkaulah Tuhanku dan Allahku!

3

[Hari Minggu Paskah ke II, Hari Minggu Kerahiman Ilahi: Kis 2:42-47; Mzm 118:2-24; 1Ptr 1:3-9; Yoh 20:19-31]

Ada banyak orang yang mungkin sulit untuk percaya kepada Tuhan, terutama jika mereka merasa sepertinya Tuhan tidak berbuat apa-apa untuk mengalahkan ketidakadilan. Tak usah susah-susah mencari contoh, nampaknya inilah yang terjadi pada Rasul Tomas. Ia, yang dulunya sempat begitu bersemangat untuk mati bersama Kristus (lih. Yoh 11:16), tak kuasa membendung kekecewaannya ketika melihat Yesus ternyata benar-benar wafat, setelah begitu menderita menanggung fitnah dan siksa di kayu salib, yang bahkan kata-kata tak sanggup untuk menjabarkannya. Kekecewaannya ini mungkin menyebabkannya tidak mau berkumpul bersama dengan para rasul yang lain, pada malam hari kebangkitan Yesus. Di malam itu,  mereka semua, kecuali Tomas, menyaksikan Yesus yang hidup kembali dan hadir di tengah mereka, walaupun semua pintu terkunci rapat. Kesaksian yang penuh semangat dari rekan sesama rasul, “Kami telah melihat Tuhan”, tidaklah membuat Tomas percaya bahwa Yesus sungguh telah bangkit. “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya,” demikian kata Tomas. Suatu ungkapan kekerasan hati, yang mungkin serupa dengan tuntutan sejumlah orang zaman ini, “Sebelum aku melihat Tuhan sendiri menampakkan diri kepadaku, aku tak akan percaya.” Ya, seperti Tomas yang menganggap Yesus telah mati, dan karena itu berakhirlah segalanya; mungkin banyak orang saat ini menganggap Yesus telah mati, dan tidak pernah berarti bagi hidup mereka. Kepada mereka inilah kita diutus untuk menjadi seperti para rasul lainnya yang bersaksi, “Kami telah melihat Tuhan!” Sebab Kristus sungguh hidup dan tetap hadir menyertai kita. Ia rindu agar semua orang mengenal-Nya dan mengalami belas kasih-Nya.

Namun demikian, Yesus memahami kegundahan hati Tomas, yang mewakili kegundahan semua orang yang kurang, atau bahkan tidak percaya. Delapan hari kemudian, Yesus kembali mengunjungi para murid-Nya, dan saat itu Tomas ada di situ. Tanpa perlu diberitahu, Yesus langsung menyapa Tomas dengan lembut, “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.” (Yoh 20: 27) Setelah melihat Kristus, dan membuktikan sendiri bahwa Ia benar-benar Kristus yang telah bangkit, akhirnya Tomas percaya. “Ya Tuhanku, dan Allahku,” demikian kata Tomas. Ia mengakui Kristus sebagai Tuhan yang telah bangkit mengalahkan kematian. Imannya ini bahkan menjadi dasar yang kuat untuk meniru teladan hidup Yesus sampai kepada kesempurnaannya. Rasul Tomas dikenal sebagai pewarta Injil ke mana- mana, bahkan sampai ke India, dan akhirnya wafat sebagai martir. Ia menyerahkan hidupnya untuk Kristus, yang diakuinya sebagai Tuhan dan Allahnya.

Sungguh, pengakuan iman Tomas ini layak untuk juga menjadi pengakuan iman kita. Allah memahami setiap pergumulan kita, dan Ia rindu untuk menyatakan diri-Nya kepada kita, bahwa Ia adalah Allah yang hidup dan Tuhan yang sanggup menolong kita. Sebab meskipun mata jasmani kita tidak dapat melihat Kristus, namun kehadiran-Nya begitu nyata dalam hidup kita. Kita hanya perlu menajamkan mata hati kita untuk melihat penyelenggaraan kasih-Nya setiap hari. Betapa besar kemurahan hati-Nya, betapa sering Ia meluputkan kita dari bencana. Betapa besar belas kasih-Nya yang mengampuni dan menyembuhkan penyakit kita, betapa setia-Nya Ia menyertai dan menghibur kita. Tuhan peduli dan tidak berpangku tangan melihat kesusahan kita. Ia ingin agar kita percaya kepada-Nya, dan berbahagia karena mengandalkan Dia.  Itulah sebabnya Ia berkata, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yoh 20:29).

Hari ini, kita juga merayakan Minggu Kerahiman Ilahi. Kita merayakan belas kasih Allah yang tak terpahami, yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Inti terpenting dari devosi Kerahiman Ilahi adalah kepercayaan yang total kepada Kristus, sebagaimana nyata dalam slogannya, “Yesus, aku mengandalkan Engkau. Jesus, I trust in You.” Kepada St. Faustina Tuhan Yesus berkata, “Dosa ketidakpercayaan melukai-Ku dengan begitu hebatnya…. Tak ada satu jiwapun yang dibenarkan jika ia tidak menaruh kepercayaan kepada belas kasih-Ku…. Jika kepercayaanmu besar, maka kemurahan hati-Ku juga menjadi tak terbatas…. Jiwa yang semakin percaya, akan semakin menerima….”

Mari, di hari Minggu Kerahiman Ilahi ini, kita menyerukan kembali pengakuan iman kita kepada Kristus, “Ya, Yesus, Engkaulah Tuhanku dan Allahku. Aku mengandalkan Engkau. Jadilah Penolong dan Tempat perlindungan bagiku, sampai selamanya. Amin.”

Sejarah Misa Kudus

10

Misa: ibadat yang tertinggi

Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi Suci, Mediator Dei (1947) mendefinisikan liturgi sebagai, “ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus kita sebagai Kepala Gereja kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang dilakukan oleh komunitas umat beriman kepada Pendirinya [yaitu Kristus], dan melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya, liturgi adalah ibadat penyembahan yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus secara keseluruhan, yaitu Kepala dan anggota-anggota-Nya” (Mediator Dei, 20). Definisi ini terpenuhi dalam tingkat yang tertinggi dalam perayaan Ekaristi/ Misa kudus. Sebab dalam Misa Kudus, kurban Kristus yang satu dan sama itu oleh kuasa Roh Kudus, dihadirkan kembali oleh Gereja, untuk keselamatan umat manusia. Maka perayaan Misa adalah doa Gereja yang sempurna (par excellence), yaitu doa Kristus yang dipersembahkan oleh Gereja kepada Allah.

Perjamuan Terakhir: penggenapan perjamuan Paska bangsa Israel

Asal Misa kudus adalah dari Perjamuan Terakhir, yaitu saat Tuhan Yesus menyerahkan kepada para Rasul-Nya misteri Tubuh dan Darah-Nya dalam perjamuan kudus, sebagai persiapan akan kurban Tubuh-Nya dan Darah-Nya yang tertumpah di kayu salib di Golgota. “Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku. …. Inilah cawan perjanjian baru oleh darah-Ku yang ditumpahkan bagimu…” (lih. Luk 22:19). Kurban Kristus menjadi kurban yang menyempurnakan makna kurban anak domba Paska dalam Perjanjian Lama. Darah anak domba yang dibubuhkan di ambang pintu menyelamatkan bangsa Israel dari tulah yang dibawa oleh malaikat maut. Darah Kristus Sang Anak Domba Allah yang tertumpah di kayu salib, menyelamatkan umat manusia dari kuasa dosa dan maut. Pencatatan akan perayaan perjamuan sebagai peringatan kurban Kristus ini, ditulis dalam Injil, maupun oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus:

“Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya.” (1 Kor 11:23-29)

Dari sini diketahui bahwa sejak awal, telah disebutkan perkataan konsekrasi, yaitu perkataan Sabda yang mengubah roti menjadi Tubuh Kristus dan cawan berisi anggur, menjadi Darah-Nya. Demikian pula, ucapan syukur ataupun berkat sebelum konsekrasi, mengingatkan kita akan apa yang diperbuat oleh Kristus sendiri dalam Perjamuan Terakhir (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:17) dan juga sewaktu menampakkan Diri kepada dua orang murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus (lih. Luk 24:13-35). Saat itu, Yesus menjelaskan kepada mereka tentang kitab-kitab para nabi, sebelum Ia mengambil roti, mengucap berkat, memecahkannya dan membagikannya kepada mereka. Kedua bagian ini, yaitu pembacaan Kitab Suci, dan pemecahan roti, menjadi cikal bakal liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi, dalam perayaan Misa Kudus yang dirayakan oleh Gereja Katolik sampai saat ini.

St. Yustinus (w 165)

St. Yustinus Martir adalah seorang Bapa Gereja di abad awal yang menulis tentang pengajaran iman Kristiani. Ia mengajar di Efesus sampai tahun 135. Maka diperkirakan ia mempelajari tentang iman Kristen dari para murid Rasul Yohanes yang hidup di Efesus. Buku St. Yustinus yang terkenal antara lain adalah First Apology (150) yang di dalamnya memuat ajaran tentang Ekaristi dan liturgi. Dalam bab 61-67 St. Yustinus menuliskan secara ringkas tentang tata cara penyembahan Kristiani, dimulai dengan liturgi Baptisan. Ia menulis demikian:

“Tetapi kami, setelah kami membaptisnya, yaitu ia yang telah menjadi percaya dan taat kepada ajaran kami, kami membawanya ke tempat di mana mereka yang disebut jemaat dikumpulkan, supaya kami bersama dapat mempersembahkan doa- doa khusuk untuk kami maupun untuk mereka yang dibaptis, dan semua orang di mana- mana, supaya kami dianggap layak; sekarang bahwa kami telah belajar tentang kebenaran, dengan perbuatan- perbuatan kami menjadi para warga yang baik dan pelaksana perintah- perintah Tuhan, supaya kami dapat diselamatkan dengan keselamatan kekal. Setelah doa- doa tersebut selesai, kami menghormati soeorang dengan yang lainnya… Lalu, dibawalah kepada pemimpin jemaat, roti dan piala anggur yang dicampur dengan air; dan ia mengambil itu, memberi pujian dan kemuliaan kepada Bapa alam semesta, melalui nama Allah Putera dan Roh Kudus, dan mempersembahkan ucapan syukur yang cukup panjang karena kami dianggap layak untuk menerima semua ini dari tangan-Nya. Dan ketika ia [pemimpin jemaat] telah selesai dengan doa dan ucapan syukur, semua orang yang hadir mengucapkan persetujuan mereka dengan mengatakan, Amin. Perkataan Amin adalah jawaban di dalam bahasa Ibrani yang artinya, “terjadilah demikian”. Dan ketika pemimpin telah mengucapkan terima kasih, dan semua orang telah menyatakan persetujuan mereka, mereka yang kami panggil “diakon” memberikan kepada semua yang hadir untuk dapat mengambil bagian roti dan anggur yang dicampur dengan air…. Dan makanan ini kami kenal dengan sebutan Ekaristi, dan tak seorangpun boleh mengambil bagian di dalamnya, selain ia yang percaya bahwa hal- hal yang kami ajarkan adalah benar dan ia yang telah dibaptis untuk penghapusan dosa- dosa, dan untuk kelahiran kembali, dan ia yang hidup sesuai dengan ajaran Kristus. Sebab bukanlah seperti roti dan minuman biasalah yang kami terima, tetapi, seperti Yesus Kristus Penyelamat kita, yang telah menjelma menjadi daging oleh Sabda Allah, mempunyai daging dan darah untuk penyelamatan kita, demikianlah juga, kami diajarkan bahwa makanan yang telah diberkati oleh doa dari Sabda-Nya dan dari perubahannya (transmutation) tubuh dan darah kita dikuatkan, adalah daging/tubuh dan darah Yesus yang telah menjelma menjadi daging. Sebab para rasul, dalam ajaran-ajaran Yesus yang mereka susun yang disebut Injil, telah menurunkan kepada kita apa yang telah diajarkan kepada mereka; yaitu bahwa Yesus mengambil roti, dan ketika Ia telah mengucap syukur, berkata, “Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Daku, inilah Tubuh-Ku: Dan lalu dengan cara yang sama, setelah mengambil piala dan mengucap syukur, Ia berkata, “Inilah Darah-Ku”, dan memberikannya kepada mereka….” (First Apology, ch. 65-66)

Lalu St. Yustinus menyimpulkan tentang tata cara penyembahan Kristiani dengan menyebutkan secara khusus tentang pengudusan hari Minggu sebagai Hari Tuhan dengan Misa Kudus, sebagai berikut:

“Dan selanjutnya kami sehati sepikir dalam hal-hal ini, dan mereka yang berkecukupan membantu yang berkekurangan… Dan pada hari yang disebut Minggu, semua yang hidup di kota maupun di desa berkumpul bersama di satu tempat, dan ajaran-ajaran para rasul atau tulisan- tulisan dari para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengijinkan; lalu ketika pembaca telah berhenti, pemimpin ibadah mengucapkan kata- kata pengajaran dan mendorong agar dilakukannya hal- hal yang baik tersebut. Lalu kami semua berdiri dan berdoa, dan seperti dikatakan sebelumnya, ketika doa selesai, roti dan anggur dan air dibawa, dan pemimpin selanjutnya mempersembahkan doa- doa dan ucapan syukur… dan umat menyetujuinya, dengan mengatakan Amin, dan lalu diadakan pembagian kepada masing- masing umat, dan partisipasi atas apa yang tadi telah diberkati, dan kepada mereka yang tidak hadir, bagiannya akan diberikan oleh diakon. Dan mereka yang mampu dan berkehendak, memberikan (persembahan) yang dianggap layak menurut kemampuan mereka, dan apa yang dikumpulkan oleh pemimpin, ditujukan untuk menolong para yatim piatu dan para janda dan mereka yang, karena sakit maupun sebab lainnya, hidup berkekurangan, dan mereka yang ada dalam penjara dan orang asing di antara kami, pendeknya, ia (pemimpin) mengatur [pertolongan bagi] semua yang berkekurangan. Tetapi hari Minggu adalah hari di mana kami mengadakan ibadah bersama, sebab hari itu adalah hari yang pertama, yaitu pada saat Tuhan, setelah mengadakan pengubahan dalam kegelapan dan materia, telah menciptakan dunia; dan Yesus Kristus Penyelamat kita pada hari yang sama telah bangkit dari mati. Sebab Ia telah disalibkan pada hari sebelum hari Saturnus (Sabtu); dan pada hari setelah hari Saturnus, yaitu hari Minggu, setelah menampakkan diri kepada para rasul dan murid-Nya, Ia mengajarkan kepada mereka hal- hal ini…..” (First Apology, ch. 67)

Demikianlah, sudah sejak awal, jemaat berkumpul, lalu dibacakanlah bacaan-bacaan dari Kitab Suci, dari Perjanjian Lama (kitab para nabi) dan bacaan dari kitab-kitab para Rasul atau Injil, homili dan doa-doa, persembahan roti dan anggur yang dicampur air, dengan rumusan konsekrasi, kemudian Komuni dibagikan dan para diakon diberi tugas untuk mengantar Komuni kepada jemaat yang absen. Juga disebutkan di sana, peran pemimpin perayaan, yaitu bahwa pemimpinlah yang mengucapkan doa syukur [sehubungan dengan persembahan roti dan anggur itu], dan umat menjawab, Amin. Perayaan tersebut diadakan pada hari Minggu, untuk mengenangkan kebangkitan Tuhan Yesus.

St. Hippolytus (235)

St. Yustinus tidak memberikan rumusan ucapan syukur yang didoakan oleh pemimpin ibadat. Seiring dengan waktu, terbentuklah doa ‘anaphora‘, yang artinya ‘mengangkat tinggi/ mempersembahkan’, dan untuk ini kita mengacu kepada doa yang disusun oleh St. Hippolytus. Dalam traktatnya, The Apostolic Tradition, dituliskan demikian:

“Tuhan bersamamu”, dan biarlah semua menjawab: “Dan bersama roh-mu”. “Marilah mengarahkan hati kepada Tuhan”: “Sudah kami arahkan kepada Allah”. “Marilah bersyukur kepada Tuhan”. “Sudah layak dan sepantasnya.” Dan biarlah ia melanjutkan: Kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, melalui Putera-Mu yang terkasih, Yesus Kristus, yang di zaman akhir ini telah Kau-utus kepada kami, Penyelamat dan Penebus dan Utusan kehendak-Mu; yang adalah Sabda-Mu yang tak terpisahkan, yang melalui-Nya Engkau telah menciptakan segala sesuatu dan yang di dalam-Nya Engkau berkenan; yang telah Engkau utus dari surga ke dalam rahim Sang Perawan, dan yang, dengan dikandung, menjelma menjadi daging dan ditunjukkan menjadi Putera-Mu, dilahirkan dari Roh Kudus dan oleh seorang Perawan; yang untuk menggenapi kehendak-Mu dan mempersiapkan bagi-Mu bangsa yang kudus, telah merentangkan tangan-Nya saat Ia menderita supaya Ia dapat melepaskan dari penderitaan, mereka yang telah percaya kepada-Mu.

Ia yang ketika dikhianati sampai kepada menderita dengan rela supaya Ia dapat menghalau kematian dan memutuskan ikatan iblis dan menghancurkan neraka dan menerangi orang-orang benar dan mendirikan perjanjian dan menyatakan kebangkitan, mengambil roti, mengucap syukur kepada-Mu dan berkata: “Terimalah dan makanlah, inilah Tubuh-Ku yang dipecahkan bagimu”. Demikian pula, [mengambil] piala itu, dan berkata: “Inilah Darah-Ku yang ditumpahkan bagimu: lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku.”

Maka, dengan mengenangkan wafat dan kebangkitan-Nya, kami mempersembahkan kepada-Mu roti dan piala ini, mengucap syukur kepada-Mu karena Engkau menganggap kami layak untuk menghadap-Mu dan berbakti kepada-Mu. Dan kami mohon semoga Engkau mengutus Roh Kudus atas kurban Gereja-Mu yang kudus; untuk mempersatukan mereka bersama dalam kesatuan, agar Engkau memberi kepada semua orang kudus yang mengambil bagian dalamnya supaya mereka dapat dipenuhi oleh Roh Kudus untuk menguatkan iman mereka dalam kebenaran, sehingga kami dapat memuji dan memuliakan Engkau melalui Putera-Mu, Yesus Kristus, yang melalui-Nya kemuliaan dan hormat bagi-Mu, Bapa, dan Putera dan Roh Kudus, dalam Gereja-Mu yang kudus, sekarang dan selama-lamanya. Amin.”

Membaca teks ini, kita tidak akan mengalami kesulitan untuk mengenali dalam anafora ini bentuk yang sederhana dan murni dari doa syukur agung dalam Misa Kudus yang ada pada kita sekarang, hanya saja tanpa doa Kudus (Sanctus) dan Mementos (doa bagi yang jemaat yang masih hidup dan yang telah wafat). Dalam doa ini juga sudah ada doa Prefasi, ucapan syukur, atas Inkarnasi Putera Allah, sengsara-Nya, dan buah pengorbanan-Nya, lalu doa Perjamuan Terakhir, dan pernyataan Gereja untuk berlaku taat melakukan perintah-Nya untuk mengenangkan Dia, baik wafat dan kebangkitan-Nya, dalam mempersembahkan roti dan anggur yang dikonsekrasikan. Gereja kemudian memohon Roh Kudus turun atas persembahan itu, agar imannya dikuatkan, dan pujian yang tak berakhir dapat dipersembahkan melalui Kristus kepada Allah Trinitas. Hampir semua yang ada pada teks Misa kita sekarang, telah dikatakan di sini. Betapa kita patut kagum dan bersyukur, akan kesungguhan Gereja untuk melestarikan doa-doa yang merupakan ungkapan iman dalam perayaan Ekaristi.

De Sacramentis (abad ke-4)

Setelah Edict Milan (313) berakhirlah masa penganiayaan Gereja di abad-abad awal. Maka Gereja berkembang pesat, termasuk juga rumusan ibadatnya, termasuk doa-doa untuk Gereja, dan juga rumusan anafora itu sendiri. Liturgi di Gereja Timur dan Barat berkembang; dan mulai digunakan banyak rumusan dalam tahun liturgi. Liturgi Latin mulai lebih banyak dikenal daripada Yunani, dan doa-doa penghantar dalam Misa mulai diatur secara sistematik, dan kanon Misa mulai terbentuk seperti sekarang. Menjelang akhir abad ke-4, St. Ambrosius dari Milan, merumuskan doa-doa ini dalam tulisan ajarannya kepada mereka yang baru dibaptis, De Sacramentis, yang kemudian dilengkapi oleh Paus Gelasius (492-496). Sejak abad ini, banyak gedung-gedung gereja yang megah didirikan. Prosesi perarakan dalam ibadat diadakan, demikian juga dengan pendarasan lagu-lagu chanting dan litani, paduan suara, pengukupan, penggunaan bel dan benda-benda lain untuk ibadat, sikap penghormatan dalam Ekaristi, bahkan sampai kepada pengaturan busana liturgis.

De Sacramentaries (abad ke 5-9)

Doa yang didaraskan oleh imam yang diturunkan sampai kepada kita, ditulis dalam buku yang disebut sacramentaries/ sacramentorium, tiga di antaranya adalah Leonine, Gelasian dan Gregorian.

1. Leonin Sakramentari (540): sejumlah teksnya berasal dari St. Leo (440-461). Kita hanya mempunyai satu manuskrip ini dari abad ke-7, namun sayang tidak lengkap, karena tidak mencakup teks Misa dari masa Natal sampai pertengahan April. Hampir 200 rumusan dari teks misa kita berasal dari teks sakramentari ini.

2. Gelasian Sakramentari: Urutan umum dan rumusan tertentunya dihubungkan dengan tulisan Gelasius (492-496). Ini merupakan teks resmi dan yang sampai kepada kita berasal dari manuskrip di awal abad ke-8. Di sini disampaikan teks Misa dari masa Natal dan Paska, perayaan para Santo/santa, dan Misa pada hari Minggu dan canon untuk Misa votif.

3. Gregorian Sakramentari: diperoleh dari salinan sakramentari yang dikirim oleh Paus Adrian kepada Charlemagne pada tahun 785/786. Ini adalah karya St. Gregorius, dan manuskrip yang sampai kepada kita sekarang berasal dari abad ke-9. Teks awalnya dirancang untuk untuk Misa Paus, sehingga tidak memasukkan Misa Minggu biasa. Di samping sakramentari, juga pada masa ini ditulis leksionari bagi surat-surat para Rasul dan Injil dan antifonari. Kemudian berkembanglah kebiasaan membacakan dari leksionari ini. Pada Abad Pertengahan teks ini dikompilasi menjadi Missale plenarium, yang menjadi cikal bakal terbentuknya Misale Romawi, yang merupakan gabungan dari sakramentari, leksionari dan antifonari.

The Ordines Romani (abad ke 7-14)

Ordines Romani menjabarkan urutan dari Misa Paus dan teks-teks liturgis. Teks ini berasal dari abad ke 7 sampai ke 14. Yang terpenting dari teks ini adalah Ordo Romanus I (dari abad ke-7), yang menjabarkan Misa Romawi pada masa St. Gregorius, fase yang penting dalam evolusi liturgi. Kata “Misa” yang menandai ibadat dan doa ini, berasal dari kata Latin Missa, yang artinya diutus/ dibubarkan. Pada bagian awal/ persiapan, para katekumen diutus [umumnya mereka melanjutkan proses katekumenat di luar perayaan Misa, sementara umat yang lain melanjutkan perayaan]. Setelah perayaan kurban, semua yang hadir diutus.

Misa Paus di zaman Paus Gregorius (awal abad ke-7)

Paus Gregorius adalah tokoh penting yang berpengaruh bagi sejarah penyembahan ilahi dalam Gereja. Karyanya yang terkenal adalah Ordo Romanus I. Urutan-urutan dalam Misa pada saat itu, sangatlah mirip dengan urutan yang ada sekarang. Prosesi pembuka diikuti dengan Kyrie (Tuhan kasihanilah kami) saat Paus menuju kursi selebran, yang terletak di ujung akhir altar. Ia berdoa menghadap ke timur. Ia menutup Kyrie, dan melanjutkan dengan doa Gloria (Kemuliaan), dan kemudian menutup dengan doa. Setelah ritus pembuka ini, kemudian teks Kitab Suci dibacakan. Sub-diakon akan membaca Surat para Rasul, di ambo, yang diikuti dengan teks Kitab Suci yang dinyanyikan berulang (chant), dengan elemen meditasi. Injil dibacakan dengan agung. Diakon meminta berkat Paus, mencium Kitab Suci dan membaca di ambo, yang didahului dengan dua orang pembawa lilin. Bacaan ini diikuti homili. Setelahnya Paus mengajak umat berdoa, sementara akolit dan diakon membentangkan kain di altar. Persembahan diantar ke altar, saat itu Mazmur persembahan dinyanyikan. Paus kemudian mencuci tangan dan kemudian menuju altar untuk mengkonsekrasikan roti dan anggur. Doa konsekrasi didaraskan sebagai peringatan akan perjamuan terakhir yang membawa buah penebusan, ditutup dengan doksologi. Semua doa ini dikenal dengan sebutan canon, karena sifatnya tidak berubah-ubah. Setelah itu doa Bapa Kami didaraskan, dan dimulailah persiapan untuk Komuni. Paus Gregorius menetapkan penempatan doa Bapa Kami, yang didoakan setelah canon. Kemudian Paus memberikan ciuman kudus kepada para pembantunya, dan kepada umat sebagai pernyataan kesatuan dan kasih Kristiani, sebelum menerima Tubuh dan Darah Kristus. Setelah itu tibalah saat pemecahan Hosti, yang dilakukan oleh Paus, dan kemudian juga oleh Uskup, imam dan diakon. Ritus ini dilakukan dalam keheningan. Di abad berikutnya, di zaman Paus Sergius, saat ini diiringi dengan lagu Agnus Dei (Anak Domba Allah). Lalu tibalah saat penerimaan Komuni. Dimulai dari Paus yang mengambil pecahan Hosti dan anggur yang telah dikonsekrasikan. Lalu Paus membagikan Komuni (dalam rupa hosti kudus) kepada para Uskup, imam, diakon dan diakon memberikan kepada mereka Darah Kristus dalam piala kudus. Paus kemudian membagikan Komuni kepada sejumlah umat, ataupun wakil umat, dan para Uskup,  imam dan diakon kepada semua umat yang lain. Ekaristi diterima dalam rupa hosti dan anggur; namun pada masa ini juga sudah diterapkan penerimaan Komuni dalam satu rupa saja. Setelah penerimaan Komuni selesai, Paus kembali ke altar dan mendoakan doa ucapan syukur. Diakon kemudian mengutus jemaat dengan ungkapan Ite missa est. Paus kemudian keluar dalam prosesi sambil memberkati kaum tertahbis maupun umat yang hadir. Demikianlah, mudah bagi kita untuk menangkap kemiripan Misa yang kita rayakan saat ini dengan Misa yang dilakukan di awal abad ke-7, di zaman St. Gregorius ini.

Misa di zaman Abad Pertengahan

Di Abad Pertengahan, terjadi perkembangan iman Kristiani di Eropa. Prosesi religius umum terjadi di mana-mana, perayaan para orang kudus, ziarah ke tempat-tempat suci dan lahirnya banyak ordo religius. Bersamaan dengan itu berkembanglah arsitektur gereja-gereja megah dan katedral yang menjulang tinggi, yang umum dikenal dengan arsitektur Gothic. Kemegahan struktur bangunan yang tinggi memang secara mengagumkan menggambarkan keagungan gereja sebagai rumah Tuhan. Namun di sisi lain, bentuk ruang yang tercipta menimbulkan kesan tinggi dan memanjang sedemikian, sehingga seolah memisahkan imam dan umat. Panti imam, altar dan tabernakel nampak jauh terletak di ujung akhir bangunan, dan terdapat semacam pemisah antara ruang umat dan imam. Demikian juga, umum dibuat partisi besi yang memisahkan paduan suara dengan umat. Entah apakah hal-hal ini membawa pengaruh yang besar kepada umat, namun nyatanya, pada masa ini keikutsertaan umat dalam perayaan Ekaristi semakin berkurang. Misa diadakan dalam bahasa Latin, meskipun masyarakat umum setempat menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Untuk perayaan Misa bagi jumlah jemaat yang kecil, digunakan altar kecil di sisi samping gereja, namun imam tetap merayakannya dalam bahasa Latin. Adanya gap antara umat dan perayaan Ekaristi membawa pengaruh pada umat, yang menjadi rentan terhadap ajaran sesat. Berengarius dari Tour mengajarkan bahwa Yesus tidak sungguh hadir dalam Ekaristi, dan Ekaristi hanya simbol kehadiran-Nya saja. Konsili Lateran IV (1215) mengecam ajaran ini, dan menegaskan dan merumuskan kehadiran Kristus yang nyata dalam Ekaristi, dengan memperkenalkan istilah Trans-substansiasi yang terjadi pada saat konsekrasi, di mana oleh kuasa Roh Kudus, roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Oleh karena itu, di masa ini juga berkembang Adorasi Sakramen Mahakudus, di mana umat diajak untuk menghormati Kristus yang hadir dalam rupa Hosti yang sudah dikonsekrasikan itu.

Misa St. Pius V (abad 16)

Konsili Trente (1545) adalah Konsili yang dimaksudkan untuk menanggapi berbagai ajaran yang menyimpang seiring dengan pemisahan diri Martin Luther dari Gereja Katolik (1517). Konsili Trente juga dimaksudkan untuk mengadakan pembaharuan secara liturgi. Misale yang ada pada kita sekarang adalah karya komisi yang ditunjuk oleh Paus Pius IV, yang diselesaikan oleh Paus Pius V, sesuai dengan arahan Konsili Trente. Misale Paus V dipublikasikan dan dijadikan wajib pada bulan 14 Juli 1570. Dasarnya adalah Misale Kuria Romawi yang disebarkan oleh kaum Fransiskan. Modifikasi yang dilakukan oleh Paus Klemens VII dan Urbanus VIII, dan Pius X, itu tidak berkenaan dengan teks Misa yang tetap/canon, tetapi pada penyesuaian kalender dan tambahan perayaan-perayaan baru dan modifikasi rubrik. Dengan dikeluarkannya Misale Paus V ini, dapat dicapai keseragaman penyelenggaraan Misa di manapun. Di masa ini para imam Jesuit memperkenalkan arsitektur Baroque, di mana ruang gereja tidak lagi menjadi super tinggi, dan pemisahan antara ruang paduan suara dan umat ditiadakan. Jarak antara altar dan umat diperpendek, dan hanya altar rail saja yang masih dipertahankan. Altar ditempatkan rapat ke dinding, yang dihias dari bawah sampai ke langit-langit. Tabernakel diletakkan di altar, dan di atasnya dibuat sebuah ruang untuk pentahtaan bagi Adorasi sakramen Mahakudus. Lagu-lagu liturgi berkembang saat ini, seperti dari Palestrina, Haydn dan Mozart. Sayangnya, lagu-lagu tersebut tidak dengan mudah dapat dinyanyikan oleh umat, sehingga lebih sering Misa yang diadakan adalah Misa tanpa lagu, dan umat menghadirinya dalam keheningan. Namun demikian, bagian-bagian Misa telah dengan jelas terlihat yang masih dipertahankan sampai saat ini, yaitu:

Pembuka: Pujian Confiteor: Pernyataan tobat Kyrie: Tuhan kasihanilah Gloria: Kemuliaan Collect: Doa permohonan

Kemudian seolah Tuhan menanggapi doa-doa kita dengan pengajaran yang disampaikan-Nya melalui Sabda-Nya:

Bacaan surat-surat para Rasul/ kitab Nabi Pendarasan Mazmur Bacaan Injil Homili Credo/ Syahadat

Setelah ini adalah persiapan Gereja dalam mempersembahkan kurban Kristus:

Persiapan persembahan: roti dan anggur dibawa ke altar dan dipersembahkan dalam ritus dan doa. Konsekrasi: persembahan kita diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, doa canon diucapkan. Persiapan Komuni dan Komuni: Doa Bapa Kami, pemecahan Hosti, salam damai, doa sebelum Komuni. Pada saat Komuni, kita menerima kembali persembahan kita, yang telah diubah oleh kuasa Tuhan, dan dengannya kita menerima hidup ilahi.

Setelah penerimaan Komuni, didoakan doa sesudah Komuni, pengutusan, berkat dan penutup.

Perayaan Misa di era Vatikan II

Dokumen pertama yang disetujui oleh Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah Konstitusi tentang Liturgi suci. Namun sekitar seabad sebelum dokumen dikeluarkan sudah terjadi gerakan untuk memperbarui liturgi dalam Gereja. Kaum Benediktin menghidupkan kembali lagu-lagu Gregorian dari abad ke 6/7, di mana semua umat saat itu dapat turut berpartisipasi dalam menyanyikannya. Paus Pius X (1903-1914) juga telah mendorong dinyanyikannya kembali lagu-lagu Gregorian, dan menganjurkan Misa Kudus dan Komuni setiap hari, dan memajukan usia penerimaan Komuni bagi anak-anak menjadi sekitar 7 tahun. Paus Pius XII dalam Mediator Dei (1947) juga memberi perhatian yang serupa terhadap pembaharuan liturgi. Maka pembaharuan liturgi yang ditetapkan dalam Konsili Vatikan II bukan merupakan hasil pemikiran tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari pemikiran para pemimpin Gereja dalam sekitar seabad sebelumnya. Tak mengherankan, ide pembaharuan liturgi ini mendapat dukungan penuh dari para bapa Konsili (2.147 suara mendukung dan hanya 4 suara menentang). Beberapa perubahan terjadi, seperti diperbolehkannya penggunaan bahasa setempat dalam perayaan Misa, sehingga Misa tidak hanya diadakan dalam bahasa Latin. Umat juga didorong untuk berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi dengan turut menyanyikan lagu-lagu pujian dan turut mengucapkan doa dalam beberapa bagian Misa. Para musisi gerejawi didorong untuk menciptakan lagu-lagu liturgis yang agung namun sedapat mungkin dapat dinyanyikan oleh umat. Umat dilibatkan untuk turut menghantarkan persembahan. Umat diperbolehkan menyambut Ekaristi dengan tangan atau dengan mulut, dengan berdiri, atau berlutut. Namun apapun perubahan itu, tidaklah mengubah bagian- bagian esensial dari Misa Kudus, yang berawal mula dari Perjamuan Terakhir Kristus dan para rasul-Nya, yang kemudian bertumbuh seiring dengan pertumbuhan Gereja. Berikut ini adalah tinjauan sekilas terhadap bagian-bagian Misa Kudus dan latar belakang sejarahnya.

Beberapa detail tata cara pelaksanaan Misa Kudus dan latar belakang sejarahnya

Perayaan Misa Kudus diawali dengan prosesi masuk imam selebran menuju altar, diiringi para petugas liturgi.  Telah disebutkan pada zaman Paus Gregorius, Paus menuju altar dan tengkurap dalam doa hening, sebelum menuju ke kursi selebran. Cara ini masih dipertahankan dalam perayaan Jumat Agung. Sejak abad ke-14, selebran membuka Misa dengan Tanda Salib, yang mengingatkan kepada Baptisan, sehingga dengan tanda ini, Baptisan dan Ekaristi dihubungkan, di mana ikatan ini diperkuat dengan pemercikan air suci pada perayaan Misa hari Minggu. Pemercikan diiringi lagu Asperges me, atau dalam masa Paskah Vidi aquam. Kemudian Mazmur tobat (Judica me) didaraskan, atau Confiteor. Diawali dengan imam, lalu para pembantunya, mengakui dosa mereka dan meminta doa satu sama lain. Versi panjang ini berasal dari Abad Pertengahan.

Selebran utama mendekati altar dan mencium altar dengan hormat, sebagai penghormatan kepada relikwi para martir/ orang kudus yang diletakkan di dalam altar batu; dan juga terutama penghormatan kepada Kristus sendiri yang dilambangkan oleh altar itu. Ciuman ini berarti ungkapan kasih dan hormat Gereja kepada Kristus, menghormati kesatuan yang dihasilkan oleh kurban-Nya. Tradisi ini umum dilakukan sejak abad ke-11, demikian juga tradisi memberikan ukupan kepada salib dan altar. Tradisi menyanyikan Introit, yaitu Mazmur dengan ulangan antifon, untuk mengiringi prosesi imam menuju altar, ada sejak abad ke-5. Hal ini dipertahankan terutama untuk perayaan-perayaan besar, seperti pada waktu Rabu Abu, Minggu Palma dan Kamis Putih. Gereja memiliki banyak contoh lagu introit, seperti yang dinyanyikan di Minggu pertama Adven, Minggu Gaudete, Natal, Paska, Kenaikan Yesus ke Surga, dan Pentakosta.

Tradisi mendaraskan Kyrie berasal dari Gereja Timur. Awalnya dalam bentuk litani, yaitu rangkaian permohonan yang ditanggapi dengan: Tuhan kasihanilah kami. Pada awalnya jumlah permohonan tidak dibatasi. Awalnya Paus memberi tanda kepada koor saatnya untuk berhenti bernyanyi, saat ia telah sampai ke kursinya. Pada awalnya doa ini mengacu kepada Kristus, Sang Kyrios. Namun sejak Abad Pertengahan, doa ini ditujukan kepada Allah Trinitas. Doa Kyrie, ini menunjukkan kerinduan Gereja akan kedatangan Kristus, di sini dan pada saat ini, dalam perayaan Ekaristi dan dalam berbagai cara dan sarana rahmat-Nya. Lagu Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus Agnus Dei dinyanyikan bersahut-sahutan antara umat dan koor.

Gloria, adalah doa pujian kepada Allah Trinitas. Dimulai dari doa kemuliaan yang dinyanyikan para malaikat di Betlehem, lalu dilanjutkan dengan pujian kepada Allah Bapa, dan Putera Tunggal-Nya, dan Roh Kudus. Gereja awal menyanyikan Gloria hanya di Misa Malam Natal. Paus Symmachus mulai memasukkan Gloria, pada misa pontifikal dan perayaan martir. Namun sejak abad ke-11, Gloria dinyanyikan di semua Misa hari Minggu, kecuali pada masa tobat, yaitu di masa Adven dan Prapaska.

Collect, berasal dari ad collectam, adalah doa yang dipanjatkan oleh imam selebran, bagi umat. Maksud adanya doa ini adalah untuk memohon kepada Tuhan dengan pengantaraan Putera-Nya dan atas kuasa Roh Kudus. Doa ini merupakan ungkapan iman Gereja, sehingga diungkapkan keyakinan sebagaimana ada dalam dogma, seperti kesempurnaan Tuhan, kejatuhan manusia dan penyelamatan oleh Tuhan, misteri Kristus, dst. Doa diakhiri dengan permohonan akan pengantaraan Kristus, sebab melalui Dia segala rahmat Allah mengalir kepada Gereja. Doa di  dalam nama Kristus, ini merupakan penggenapan Yoh 14:14. Doa ini merupakan akhir bagian pembuka, yang menghantar kepada pembacaan Sabda Tuhan.

Dalam Misa Romawi kuno, terdapat tiga bagian bacaan: satu dari Perjanjian Lama, satu dari Perjanjian Baru dan bacaan terakhir dari Injil. Bacaan dibacakan di ambo, dengan pembaca menghadap ke umat. Pada masa itu semua bacaan dibacakan dalam bahasa Latin. Di antara bacaan, didaraskan Mazmur yang dinyanyikan, bukan sebagai pengiring prosesi, namun sebagai bagian dari pembacaan Sabda. Lagu Alleluia -artinya terpujilah Yahwe- dinyanyikan untuk mempersiapkan kita bagi sukacita Injil. Sampai zaman Paus Gregorius, Alleluia hanya dinyanyikan pada masa Paska. Paus Gregoriuslah yang meluaskan pendarasan Alleluia pada Misa di masa biasa, di luar masa Prapaska. Bacaan Injil merupakan puncak dari Liturgi Sabda. Karena itulah Kitab Injil dibawa di tempat pertama saat prosesi masuk, dan kitab Injil yang melambangkan Sang Sabda kemudian diletakkan di altar. Sesaat sebelum pembacaan Injil, diakon berlutut di hadapan imam untuk memperoleh berkat dari Allah untuk membacakan Injil. Kemudian diiringi oleh petugas pembawa ukupan ataupun lilin, diakon diantar ke ambo, untuk mendaraskan Injil. Semua umat berdiri, untuk menghormati Injil. Injil umumnya merupakan inti pengajaran pada hari tersebut.

Homili yang mengikuti pembacaan Injil, adalah salah satu bagian tertua dari liturgi. Homili ini mengacu kepada apa yang dilakukan oleh Kristus sendiri setelah membaca Kitab Yesaya di sinagoga di Nazareth (lih. Luk 4:16-22). Walaupun di abad-abad pertama homili relatif langka, namun kita memiliki banyak homili dari Paus St. Leo, Gregorius, dan juga dari St. Agustinus. Homili merupakan khotbah sederhana, yang merupakan penjelasan dari salah satu pelajaran dari Misa Kudus pada hari itu, yang dikaitkan dengan keadaan/ kebutuhan umat beriman.

Credo/ Syahadat adalah tanggapan terhadap bacaan Injil. Syahadat yang ada pada kita sekarang merupakan ungkapan iman yang diucapkan pada saat Baptisan. Syahadat Panjang, atau yang dikenal dengan Syahadat Nicea, berasal dari abad ke-4, yaitu hasil Konsili Nicea (325) dan Konstantinopel (391), yang kemudian ditentukan sebagai pernyataan iman Gereja, di Konsili Kalsedon (451). Syahadat ini awalnya dimasukkan ke dalam Misa dalam liturgi Gereja Timur. Di abad ke 6, Gereja Barat di Spanyol memasukkan Syahadat dalam Misa, sebelum pendarasan doa Bapa Kami. Gereja Roma mengadopsi tradisi ini di tahun 1014. Sikap menunduk pada saat mengucapkan “yang dikandung dari Roh Kudus…..” berasal dari kebiasaan pada abad ke-11 ini. Pernyataan iman dalam Syahadat ini merupakan akhir Liturgi Sabda, yang menghantar menuju persembahan kurban.

Setelah Syahadat diungkapkan doa umat untuk berbagai kebutuhan Gereja. Doa umat meriah pada Jumat Agung menjadi gambaran untuk bentuk doa umat ini. St. Yustinus di abad ke-2 memberikan kesaksian tentang sudah adanya doa umat ini dalam tradisi Gereja awal.

Persembahan roti dan anggur pada mulanya adalah roti biasa, namun secara khusus didedikasikan, berbentuk bundar dan ditandai dengan tanda salib atau mahkota. Di abad ke-9 ketentuan tentang hal ini diperketat, agar menjadi semakin indah dan murni, sesuai dengan maksud aslinya. Ketentuan akhirnya memutuskan untuk digunakannya roti tak beragi dalam bentuk koin di Gereja Barat. Roti tak beragi mengacu kepada jenis roti yang digunakan oleh Kristus pada saat Perjamuan Terakhir. Sedangkan anggur yang digunakan umumnya adalah anggur merah. Persembahan ini dihantar ke altar melibatkan umat, untuk menyatakan bahwa persembahan ini bukan hanya persembahan imam, tetapi juga persembahan seluruh umat beriman yang hadir. Sebab menurut Baptisan mereka adalah “imam yang rajani” (1 Ptr 2:9). Persembahan roti dan anggur ini kemudian diletakkan di altar. Anggur ini dicampur setetes air, yang melambangkan kita umat-Nya, maka campuran ini, menurut St. Siprianus, menggambarkan kesatuan antara Kristus dan Gereja; dan kesatuan umat Kristiani di dalam Kristus. Memang, kurban dalam perayaan Ekaristi adalah kurban Kristus; maka persembahan apapun yang diberikan oleh umat sekalian menerima maknanya hanya dari kesatuannya dengan Sang Kurban ilahi itu. Maka Tuhan Yesus adalah satu-satunya Kurban dalam kurban Ekaristi itu, namun kita semua tergabung erat dengan Dia, sebab kita adalah anggota-anggota Tubuh-Nya. Maka persembahan seluruh Gereja ini, tidak menambah apapun terhadap nilai pengorbanan Kristus, sebab terdapat jarak yang tak terbatas antara kita dan Dia, namun kita dengan erat disatukan dengan Dia, di mana Ia berkenan untuk menghubungkan kita dengan Diri-Nya. Selain itu anggur dan air tersebut juga menggambarkan darah dan air yang keluar dari lambung Kristus, ketika lambung-Nya itu ditusuk dengan tombak oleh serdadu yang memastikan kematian-Nya di kayu salib (lih. Yoh 19:34).

Selanjutnya, doa konsekrasi merupakan bagian Misa Kudus yang paling prinsip, yang hampir tidak pernah berubah, yang dikenal juga dengan sebutan canon actionis. Bagian utamanya adalah narasi Perjamuan Terakhir, yang berakhir pada doksologi sebelum doa Bapa Kami. Diawali dengan anafora dan Kudus (Sanctus), doa Konsekrasi ini kemudian diikuti dengan tambahan doa untuk Gereja yang masih berziarah di dunia maupun yang telah beralih dari dunia ini. Adanya anafora (teks dialog, Tuhan bersamamu…), sudah disebutkan dalam tulisan St. Hippolytus. Anafora yang disambung dengan embolisme, (Sungguh layak dan sepantasnya…. ) mengantar kepada pujian Kudus (Sanctus), sebagaimana ditemukan dalam Apostolic Constitutions dan tulisan Serapion, Uskup Thmuis, Mesir di abad ke-4. Teks Kudus, (Sanctus) sendiri berasal dari teks Misa Paus Sixtus II (119-128). Sedangkan penyusun teks canon Romawi diperkirakan adalah Paus Leo Agung (440-461), atau bahkan sebelumnya, Paus Damasus (366-384). Namun demikian, manuskrip kuno yang memuat teks canon seperti yang ada sekarang, dengan sedikit variasinya, berasal dari abad ke-7.

Teks canon konsekrasi ini telah lama diucapkan dengan lantang. Baru pada pertengahan abad ke-8, teks diucapkan dengan suara yang rendah, dan di abad ke-9 menurut Ordo Romanus II, teks canon ini diucapkan dalam hati imam dalam keheningan. Secara umum, terdapat kecenderungan untuk memberikan penghormatan tertinggi terhadap perkataan Sabda pada canon ini, dan suatu misteri tertentu memang menjadi bagian khusus bagi imam yang merayakan Ekaristi tersebut. Doa Konsekrasi ini diawali dengan permohonan kepada Allah untuk menguduskan dan menerima persembahan roti dan anggur, dan mengubahnya menjadi Tubuh dan Darah, Putera-Nya Yesus Kristus. Teks ini berasal dari De Sacramentis, di abad ke-4. Selanjutnya, teks Konsekrasi yang diawali dengan…..”Pada malam sebelum sengsara-Nya…..” dan seterusnya, juga sudah ada dalam De Sacramentis, namun asal usulnya adalah dari Tradisi Para Rasul di abad pertama, sebagaimana yang kemudian dituliskan dalam Injil, dan Surat Rasul Paulus. Pengangkatan hosti dan piala berisi anggur setelah Konsekrasi dimaksudkan untuk menekankan pentingnya saat kurban Kristus itu, untuk disembah oleh umat. Paus Pius X mengajak umat untuk memandang Hosti dan piala yang telah dikonsekrasikan itu dan menyembahnya. Sedangkan sikap imam yang sujud menyembah setelah konsekrasi, ditentukan oleh Paus Pius V. Dering bel dimaksudkan juga untuk menandai momen yang kudus ini. Di berbagai gereja kuno di Eropa, momen ini ditandai dengan dibunyikannya lonceng gereja, sehingga orang yang karena satu dan lain hal tidak dapat mengikuti perayaan Ekaristi, dengan mendengar bunyi lonceng ini, dapat mendaraskan doa iman untuk turut menghormati saat yang istimewa ini. Yaitu saat Allah menghadirkan kembali kurban yang satu dan sama itu, dengan mengubah roti dan anggur, menjadi Tubuh dan Darah Putera-Nya, Yesus Kristus.

Penghormatan akan Tubuh dan Darah Kristus ini diikuti oleh Anamnese, untuk mengenang wafat, kebangkitan dan kedatangan-Nya kembali, dan dengan demikian menggenapi (1 Kor 11:26). Doa bagi Bapa Paus, Uskup dan para pengajar iman, juga doa bagi semua umat yang hadir, merupakan tambahan doa yang melengkapi doa konsekrasi. Dalam doa tambahan ini juga disebutkan penghormatan kepada para kudus, terutama Bunda Maria, yang disebut sebagai “Bunda Tuhan kita Yesus Kristus”, dan juga para Rasul. Demikian juga, disebutkan permohonan doa untuk jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal dunia, agar beroleh istirahat kekal di dalam Kristus. Teks permohonan ini berasal dari teks-teks kuno sejak abad ke-4, walaupun dimasukkannya ke dalam teks dalam setiap Misa Kudus, baru terjadi di abad ke-8. Sebelumnya teks permohonan ini hanya diucapkan pada Misa untuk mendoakan arwah. Namun tradisi mendoakan arwah telah ada sejak zaman Gereja perdana, saat jemaat mendoakan jiwa-jiwa sesama jemaat yang telah mendahului mereka.

Selanjutnya, pengangkatan hosti dan piala anggur yang disertai doksologi, adalah doa pujian tertinggi kepada Allah Trinitas, yang mengakhiri doa konsekrasi. Doa ini diambil dari Surat Rasul Paulus (lih. Rm 11:36). Terhadap pujian tertinggi ini umat menjawab: Amin, sebagai ungkapan iman umat atas misteri kudus yang baru saja terjadi di altar-Nya. Aklamasi Amin, di akhir doa konsekrasi ini, telah disebutkan dalam tulisan St. Yustinus Martir di abad ke-2.

Pendarasan doa Bapa Kami dalam Misa Kudus, ditemukan sejak abad ke-4, atau bahkan abad ke-3, di gereja-gereja yang merayakan Ekaristi setiap hari. Pada Bapa Gereja menghubungkan permohonan untuk  “daily bread” dengan Ekaristi, walaupun secara literal berarti roti/ rejeki sehari-hari. Tertullian menyebut doa Bapa Kami sebagai rangkuman Injil. Doa ini menyatukan kita dengan Roh Kristus sebelum kita mengambil bagian di dalam Tubuh-Nya. Berikutnya adalah Salam Damai (Pax Domini), pemecahan hosti, dan dicampurkannya ke dalam anggur yang telah dikonsekrasikan, sebagaimana telah disebutkan dalam teks Misa di zaman Paus Gregorius.

Di abad ke-8, lagu Anak Domba Allah (Agnus Dei) dinyanyikan pada saat ini. Pencampuran antara Hosti dan anggur ini menunjukkan kesatuan sakramen, dan bahwa konsekrasi kedua materia itu tidak memisahkan antara keduanya. Pencampuran ini juga melambangkan kebangkitan Kristus, di mana Tubuh dan Jiwa-Nya bersatu kembali. Selanjutnya, doa menjelang penerimaan Komuni, “Ya Tuhan saya tidak pantas, Engkau datang pada saya….” berasal dari perkataan sang centurion dalam Injil (lih. Mat 8:8). Permohonan ini mengungkapkan kesadaran kita akan ketidaklayakan kita untuk menerima Kristus, namun juga menyatakan iman kita bahwa Tuhan akan memberikan kesembuhan kepada jiwa kita.

Berikutnya adalah penerimaan Komuni Kudus. Komuni dapat diterima dengan tangan ataupun dengan mulut. Penerimaan dengan tangan mengambil dasar dari tulisan St. Sirilus dari Yerusalem (315-386), “Umat menerima Komuni dengan tangan kanan mendukung tangan kiri, dengan telapak yang membentuk cekungan; dan pada saat Tubuh Kristus diberikan, umat menjawab, Amen.” (Mystagogical Catecheses 5,21). Sedangkan penerimaan Komuni dengan mulut mengambil dasar dari:

  1. Paus St. Leo Agung (440-461) mengajarkan Yohanes bab 6 dengan mengatakan, “Seseorang menerima di mulut apa yang dipercayainya dengan iman.” Ini kemungkinan juga berhubungan dengan teks doa kuno sejak abad ke-4, Quod ore sumpsimus, “Semoga apa yang telah kami terima dengan mulut kami, kami miliki dengan kemurnian hati, dan semoga karunia saat ini menjadi bagi kami obat kekekalan.”
  2. Paus St. Gregorius Agung (590-604), dalam dialognya (Roman 3, c.3) menyebutkan bagaimana Paus St. Agapito melakukan mukjizat pada misa kudus, saat ia memberikan Ekaristi di mulut seseorang. Hal ini juga dikatakan oleh Yohanes Diakon.
  3. Konsili Rouen (650): “Jangan memberikan Ekaristi di tangan orang awam, melainkan di mulut.”
  4. Konsili Trullo (692) melarang pemberian Ekaristi di tangan.
  5. St. Thomas Aquinas (1225-1274) menekankan pentingnya sakramen Tahbisan suci untuk menyentuh dan membagikan Komuni suci.

Dengan mengimani bahwa Kristus hadir seutuhnya baik dalam rupa hosti saja maupun anggur saja, maka sejak abad ke-12 Gereja umumnya memberikan Komuni satu rupa, yaitu dalam rupa Hosti. Setelah penerimaan Komuni, masing-masing umat berdoa secara pribadi dalam keheningan, dan kemudian dilanjutkan dengan doa syukur setelah Komuni oleh imam. Setelah imam mendoakan umat umat, umat diutus, Ite, missa est. Imam memberi berkat penutup dan berakhirlah perayaan Ekaristi. Umat dapat melanjutkan dengan doa syukur secara pribadi dalam keheningan, atas Komuni kudus yang baru saja diterima.

Perayaan Misa: perayaan iman yang hidup dan bertumbuh

Dari catatan di atas dapat dilihat perayaan Misa memiliki dasar yang kuat karena berasal dari ajaran Kristus dan para rasul itu sendiri. Tak mengherankan, jika seseorang mempelajari sejarah Gereja untuk menemukan ibadat seperti apa yang  sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Kristus sendiri, ia akan sampai kepada fakta bahwa ibadat itu adalah perayaan Misa atau yang juga disebut perayaan  Ekaristi Kudus. Selain itu sejarah mencatat bahwa sejak Perjamuan Terakhir memang perayaan Ekaristi mengalami perubahan di sepanjang kehidupan Gereja. Namun secara mendasar, intinya tidak berubah. Yang berubah adalah detail pelaksanaannya, berdasarkan keputusan otoritas Gereja, demi menjadikan perayaan Ekaristi menjadi semakin hidup dan dekat menyatu dengan umat. Tanpa mengesampingkan kesakralannya, Gereja memperbaharui liturgi agar umat dapat semakin menghayatinya dan menjadikannya sumber dan puncak kehidupan mereka sebagai umat Kristiani. Untuk hal ini kita perlu bersyukur kepada Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.

 

Sumber Utama:

Francois Amiot, History of the Mass, Twentieth Century Encyclopedia of Catholicism, vol. 110, (New York: Hawthorn Publishers, 1959)

Apakah hukum Taurat masih tetap berlaku? (Mat 5:17-19)

4

Banyak orang mempertanyakan bagaimana Gereja Katolik menginterpretasikan Injil Matius  yang mengatakan demikian:

“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.” (Mat 5:17-19)

Orang lalu bertanya, apakah jika demikian artinya semua hukum Taurat itu masih berlaku dan harus dilakukan oleh umat Kristen? Bagaimana kita menjelaskannya dengan pernyataan Rasul Paulus yang sepertinya menyatakan sebaliknya?

“sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya…” (Ef 2:15)

Sekilas jika dibaca, sepertinya ayat-ayat tersebut bertentangan satu sama lain. Tetapi kita percaya bahwa Sabda Allah dalam Kitab Suci tidak mungkin bertentangan, sebab tidak ada pertentangan dalam diri Allah yang mewahyukannya. Untuk memperoleh penjelasannya, tak ada cara yang terbaik, selain daripada mengacu kepada ajaran Gereja, yang diwakili oleh para Bapa Gereja, sehubungan dengan ayat-ayat ini. Sebab Kitab Suci diberikan kepada Gereja, maka hanya Gereja-lah yang dapat menginterpretasikannya dengan benar, terutama sehubungan dengan ayat-ayat yang relatif sulit dijelaskan, seperti contohnya ayat-ayat di atas.

Untuk itu, mari kita mengacu kepada ajaran  para Bapa Gereja, dalam hal ini St. Agustinus dan sejumlah Bapa Gereja lainnya:

1. Dalam tulisannya, Against Faustus, St. Agustinus menanggapi keberatan-keberatan Faustus, seorang petinggi aliran sesat Manichaeisme di zamannya, berkenaan dengan ayat Mat 5:17-19 ini, yang kerap ditanyakan kembali oleh banyak orang di zaman sekarang.

Faustus memberikan argumennya, bahwa di Kitab Ulangan, Allah memberikan peraturan, dan ini tidak boleh ditambahi ataupun dikurangi. Terhadap argumen ini, St. Agustinus mengatakan bahwa ‘menggenapi’ tidak sama artinya dengan menambahi ataupun mengurangi. Penggenapan hukum Taurat adalah kasih, yang diberikan oleh Allah dengan mengutus Roh Kudus-Nya. Hukum Taurat digenapi, baik ketika hal-hal yang diperintahkan telah dilakukan, atau ketika hal-hal yang dinubuatkan terjadi.

Faustus mempertanyakan bahwa bukankah dengan mengatakan bahwa Yesus adalah pencipta Perjanjian Baru artinya bahwa Yesus telah membatalkan Perjanjian Lama? St. Agustinus menanggapi demikian: Dalam Perjanjian Lama terdapat banyak gambaran samar- samar akan apa yang akan terjadi di masa mendatang, yang, ketika semua itu digenapi di dalam Kristus, maka gambaran yang samar-samar itu harus dibatalkan/ tidak berlaku lagi. Supaya dengan demikian, hukum Taurat dan kitab para Nabi dapat digenapi, ketika dalam kitab-kitab tersebut tertulis bahwa Allah (akan) memberikan Perjanjian Baru.

Faustus kemudian menanyakan: Bukankah orang Yahudi harus mempertanyakan kamu [St. Agustinus/umat Katolik], mengapa kamu tidak melakukan ketentuan hukum Taurat dan para Nabi, sedangkan Kristus menyatakan bahwa Ia datang tidak untuk menghapuskannya melainkan untuk menggenapinya? Dengan ayat ini konsekuensinya adalah kamu terpaksa menerima semacam takhayul kosong [Faustus menganggap Perjanjian Lama sebagai tahayul], atau menganggap perikop ini sebagai kekeliruan, atau kamu mengingkari bahwa kamu adalah murid Kristus. Terhadap tuduhan ini, St. Agustinus menanggapi: Umat Katolik tidak memiliki kesulitan terhadap perikop ini, seolah mereka tidak menaati hukum Taurat dan kitab para nabi; sebab mereka menerapkan kasih kepada Allah dan kepada sesama, di mana atas hukum inilah “tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 22:40). Dan apapun yang tercantum dalam hukum Taurat dan kitab para nabi telah terlihat dalam hal-hal yang telah ada dalam ritus sakramental, maupun dalam bentuk pengajaran, yang telah digenapi di dalam Kristus dan Gereja-Nya. Oleh karena itu, kami tidak tunduk kepada tahayul yang salah, ataupun menolak perikop Kitab Suci tersebut, ataupun ingkar sebagai murid Kristus. St. Agustinus juga berkata: Mereka yang berkata bahwa ‘jika Kristus tidak meniadakan hukum Taurat dan kitab para nabi, maka ritus Musa akan masih berlaku dalam ketentuan Kristen’, biarlah juga mereka mengatakan bahwa ‘jika Kristus tidak meniadakan hukum Taurat dan kitab para Nabi, maka Ia hanya akan dijanjikan untuk lahir, menderita dan bangkit lagi’. Tetapi karena Ia tidak meniadakan, tetapi menggenapi hukum Taurat dan kitab para nabi, maka kelahiran-Nya, sengsara-Nya dan kebangkitan-Nya sekarang tidak lagi dijanjikan sebagai sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang yang ditandai dengan berbagai sakramen hukum Taurat; melainkan Ia diwartakan sebagai telah lahir, disalibkan dan bangkit, yang sekarang ditandai oleh sakramen-sakramen yang dirayakan oleh umat Kristen. Maka jelaslah, betapa besar kekeliruan mereka yang menganggap bahwa ketika tanda-tanda atau sakramen-sakramen diubah, maka hal-hal itu sendiri menjadi berbeda. Padahal, hal-hal yang sama itu yang menurut ketentuan para Nabi adalah janji-janji, menurut ketentuan Injil adalah hal-hal yang telah digenapi.

Faustus kemudian mempertanyakan pernyataan Kristus, yang dianggapnya adalah perkataan untuk mengambil hati orang Yahudi, agar orang Yahudi mendengarkan Dia; atau kalau tidak, artinya bahwa memang Yesus bermaksud menjadikan semua orang non- Yahudi menjadi taat kepada ketentuan hukum Taurat. [Faustus cenderung kepada opsi pertama]. Faustus kemudian juga membedakan bahwa hukum Taurat ada dua macam, yaitu hukum sebelum Musa dan hukum di zaman Musa. Menurutnya yang tetap berlaku adalah hukum sebelum Musa dan yang pada zaman Musa sudah tidak berlaku. St. Agustinus menjawab bahwa apa yang disebut sebagai hukum Taurat dan kitab para Nabi yang oleh kedatangan Kristus ‘tidak dihapuskan melainkan digenapi’ dinyatakan dalam hukum Taurat yang diberikan oleh Nabi Musa. Pembedaan yang dilakukan oleh Faustus antara ketentuan para nabi sebelum Musa dan hukum Musa, dan kemudian menganggap bahwa Kristus menggenapi yang pertama tetapi membatalkan yang kedua, tidaklah benar. Kami menegaskan bahwa hukum Taurat Musa mewakili sebelum maupun sesudah zaman Musa, untuk maksud yang sementara; dan sekarang ini tidak ditiadakan melainkan digenapi oleh Kristus, sebagaimana terlihat dalam setiap hal yang khusus. Hal ini tidak dipahami oleh mereka yang berkeras dengan kekeliruan mereka, sehingga mereka mengharuskan orang-orang non- Yahudi untuk taat kepada ketentuan Yahudi…

2. Pseudo-Yohanes Krisostomus: Tetapi sebab semua hal yang harus terjadi dari awal mula dunia sampai akhir dunia, ada dalam gambaran yang dinubuatkan dalam hukum Taurat, sehingga Tuhan tidak dapat dianggap tidak tahu akan apa yang akan terjadi. Maka Ia [Kristus] di sini menyatakan bahwa surga dan bumi tidak akan berlalu sampai semua yang telah dinubuatkan dalam hukum Taurat memperoleh penggenapan nyata-nya.

3. St. Agustinus: “Dengan perkataan, ‘satu iota atau satu titikpun tak akan ditiadakan dari hukum Taurat,” kita harus memahaminya sebagai ungkapan metafor tentang kelengkapan/ keseluruhan, yang diperoleh dari huruf-huruf tulisan, di mana iota merupakan bagian terkecil dari huruf, yang dibuat dari satu goresan pena, dan sebuah titik merupakan sebuah tanda kecil di pengakhiran sebuah huruf. Maka perkataan ini menunjukkan bahwa hukum Taurat harus dipenuhi sampai hal-hal yang terkecil (Serm. in Mont. i, 8).

4. Rabanus yang Terberkati: Yesus menyebutkan ‘iota’ dalam bahasa Yunani, dan tidak mengacu kepada huruf Ibrani ‘jot’, sebab iota dalam bahasa Yunani mewakili angka sepuluh, sehingga di sini ada acuan samar-samar kepada Dekalog (Sepuluh Perintah Allah), yang tentangnya Injil adalah penggenapannya yang sempurna.

5. St. Yohanes Krisostomus: Tuhan Yesus menggenapi hukum Taurat dalam tiga cara: 1) dengan ketaatan-Nya terhadap ritus-ritus yang disyaratkan; sehingga Ia berkata, adalah layak bagi kita untuk memenuhi semua keadilan: dan siapakah yang dapat membuktikan bahwa aku berdosa? (lih. Yoh 8:46); 2) Yesus menaati hukum Taurat tidak hanya dengan ketaatan-Nya sendiri kepada hukum itu, tetapi juga dengan memampukan kita untuk memenuhinya. Adalah maksud hukum Taurat untuk membuat orang menjadi benar, tetapi dari dirinya sendiri, hukum itu terlalu lemah; maka Kristus datang untuk menjadikan manusia menjadi benar dan memenuhi maksud dari hukum Taurat. 3) Ia menggenapi hukum Taurat, dengan mengurangi semua ketentuan hukum yang lama, menjadi moralitas/ hukum moral yang lebih tepat dan kuat (Homily xvi.).

6. St. Hieronimus: Ayat-ayat ini berhubungan dengan pembahasan sebelumnya, diarahkan kepada kaum Farisi, yang mengabaikan perintah-perintah Allah dengan membuat tradisi mereka sendiri…. Namun kita juga dapat memaknainya dalam arti lain, yaitu jika pembelajaran kita dari Tuhan Yesus digabungkan dengan dosa, meskipun dosa kecil, maka akan kehilangan tempat yang tinggi. Demikian tak ada gunanya seseorang mengajarkan kebenaran, jika ia sendiri menghancurkan kebenaran dalam hidupnya. Kesempurnaan kebahagiaan adalah bagi orang yang melakukan dalam perbuatannya apa yang ia ajarkan dalam perkataannya.

7. St. Agustinus: “ia yang meniadakan perintah yang terkecil dari perintah Taurat… dan mengajarkan orang lain, akan menduduki tempat terendah….”, tetapi ia yang melaksanakan perintah-perintah terkecil ini, tidaklah untuk dianggap terbesar, namun tidak menjadi sekecil orang yang melanggarnya/ meniadakannya. Namun besarlah seseorang yang melakukan dan mengajarkan hal-hal yang diajarkan oleh Kristus.

Dengan penjelasan para Bapa Gereja ini, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Hukum Taurat tidak dibatalkan tetapi digenapi.

Namun penggenapan hukum Taurat tidak berarti bahwa seluruh hukum Taurat itu diberlakukan kembali dalam Perjanjian Baru  dengan cara yang sama seperti dalam Perjanjian Lama. Sebab maksud hukum Taurat itu adalah untuk diberlakukan sementara sampai kedatangan Kristus yang merupakan penggenapannya. Maka dengan kedatangan Kristus yang memuncak pada wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga, maka segala tanda/sakramen PL yang dimaksudkan untuk mengacu kepada-Nya, diberlakukan dengan cara yang berbeda, yaitu dalam tanda/ sakramen- sakramen PB dalam Gereja, sebagaimana dikehendaki oleh Kristus. Pemberlakuan dengan cara yang berbeda ini adalah penggenapan, dan bukan pembatalan. Sebab Kristus sudah datang, maka gambaran tentang Dia dalam PL diperbaharui, dan tidak untuk dirayakan seolah-olah Kristus belum datang.

2. Hukum Taurat yang tidak berubah adalah hukum moral.

Telah sejak awal, Gereja mengenali adanya jiwa dari segala hukum Taurat dalam Perjanjian Lama yang tidak pernah berubah, yaitu hukum moral yang berpusat pada kasih. Hal ini telah diajarkan oleh para Bapa Gereja sejak abad awal, terutama oleh St. Agustinus dan St. Yohanes Krisostomus. Sedangkan ketentuan-ketentuan Yahudi lainnya, yang diturunkan dari hukum moral ini, kemudian diperbaharui oleh Kristus.

3. Ketiga jenis Hukum Taurat: hukum moral, seremonial dan yudisial

Maka pengelompokan hukum Taurat menjadi tiga jenis: hukum moral, seremonial dan yudisial, bukan semata-mata penemuan mendadak dari St. Thomas Aquinas dari Abad Pertengahan. Adanya perbedaan jenis ketentuan hukum dalam Taurat memang sudah ada sejak hukum itu diberikan. St. Thomas hanya mengidentifikasikan ketiga jenis itu untuk  membantu kita memahami hakekat hukum Taurat, agar kita tetap dapat melihat konsistensi makna dari ayat-ayat dalam KS sehubungan dengan hukum Taurat. Yaitu ketika di satu sisi dikatakan bahwa hukum Taurat tidak dibatalkan tapi digenapi (lih. Mat 5:17-19) namun di sisi lain dikatakan bahwa Kristus membatalkan hukum Taurat dan segala ketentuannya (lih. Ef 2:15). Kristus memang datang untuk memperbaharui hukum Taurat, dan pembaharuan itu mencakup mempertahankan hukum Taurat dalam hal moralitasnya (hukum moral dalam sepuluh perintah Allah), namun berbagai ketentuan lain yang tidak secara langsung berhubungan dengan hukum moral itu, tidak diberlakukan lagi dengan cara yang sama dalam PL. Namun demikian, jiwa yang melatar belakangi segala ketentuan hukum Taurat, yaitu hukum kasih, tetap berlaku bahkan diberlakukan dengan lebih tepat dan ketat, sehingga dapat dikatakan dalam ungkapan metafor bahwa apa yang ditetapkan sebelumnya dalam hukum Taurat, yang merupakan gambaran samar-samar akan kesempurnaan Kristus, tetap berlaku sampai sekecil-kecilnya.

Penjelasan selanjutnya tentang hal ini, silakan klik di sini (Silakan membaca kembali artikel tersebut, yang telah direvisi. Semoga menjadi lebih jelas.)

Karismatik Yang Misioner dan Sakramen “Terima kasih Atas Salib-Mu”

0

(Dari Rekoleksi Tim PDPKK Dekenat Tangerang)

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Rekoleksi Tim PDPKK (Persekutuan Doa Pembaharuan Karismatik Katolik) Dekenat Tangerang – Keuskupan Agung Jakarta, terdiri dari dua belas paroki, diadakan pada tanggal 05-06 April 2014. Enam puluh dua peserta mengikuti rekoleksi yang aku berikan sebagai moderatornya. Tema rekoleksi ini adalah “PDPKK yang Misioner dan Sakramen: Terima kasih Atas Salib-Mu”. Rekoleksi ini sudah dialami peserta sejak perjalanan ke tempat tujuan. Tempat rekoleksi adalah di Hutan Pinus, Joglo, Sukawangi, Bogor. Perjalanan yang jauh, berjam-jam lamanya, serta jalannya yang menanjak, sulit dan terjal, dihayatinya oleh setiap peserta sebagai sebuah resiko dari perutusan seorang misioner, pewarta Injil. Ketika sampai di tempat tujuan, semua peserta merasakan kelegaan dan kebahagiaan karena tempatnya sangat indah. Tempat yang indah melambangkan keindahan surga bagi yang setia pada tugas perutusan Tuhan. Kebahagiaan para peserta itu menunjukkan bahwa tim PDPKK ini sudah menjadi Gereja yang Sakramen. Artinya: orang bisa melihat bahwa PDPKK Dekenat Tangerang telah menjadi tanda keselamatan, yaitu ada kesatuan yang mesra antara umat dengan Allah dan antar sesama, dan menjadi sarana keselamatan, yaitu orang rindu bergabung dalam PDPKK ini untuk mengalami indahnya bersatu dengan Allah dan sesama.

Panggilan PDPKK yang misioner dan sakramen ini dilaksanakan dengan berpartisipasi aktif dalam misi Gereja Keuskupan Agung Jakarta. Gereja Keuskupan Agung Jakarta adalah persekutuan sejati/communio (keluarga Allah) dalam komunitas-komunitas teritorial dan kategorial, yang sedang berjiarah membangun wajah Gereja yang semakin beriman, semakin bersaudara, dan semakin berbelarasa, dengan semangat Gembala yang baik dan murah hati. PDPKK Dekenat Tangerang berusaha mewujudnyatakannya karena panggilan Tuhan bukan hanya untuk menikmati buah Roh, tetapi menghasilkan buah Roh: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikanNya kepadamu” (Yohanes 15:16). Buah Roh itu yang akan terus diusahakan: “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:22-23). Wajah hidup yang semakin beriman, semakin bersaudara, dan semakin berbelarasa pasti akan memancarkan buah Roh tersebut.

Komunitas-komunitas PDPKK di paroki-paroki dalam Dekenat Tangerang akan mengintegrasikan wajah Gereja yang semakin beriman, semakin bersaudara, dan semakin berbelarasa dalam tiga pilar hidup, yaitu tiga “C”:

1. Cultus, yaitu kebersatuan hidup dengan Allah/Iman. Kebersatuan hidup dengan Allah terungkap dalam doa, pujian, sabda, dan terutama dalam Ekaristi.

2. Communio, yaitu kebersatuan hidup dengan sesama, khususnya dalam komunitas/Persaudaraan. Kebersatuan hidup dengan sesama terungkap dalam kemampuan untuk bekerjasama, kemauan untuk menguatkan dan membela, serta kehendak untuk berkorban dan berjuang bersama.

3. Charitas, yaitu kebersatuan dengan orang yang dilayani/Pelayanan. Kebersatuan dengan orang yang dilayani terungkap dalam karya dan pengabdian/pelayanan kasih bagi yang membutuhkan.

Iman/cultus tanpa persaudaraan/communio tidak akan sempurna. Persaudaraan/communio tanpa iman/cultus tidak abadi. Charitas/pelayanan kasih merupakan ungkapan dari iman yang mendalam dan persaudaraan yang sejati.

Pelayanan harus nyata sehingga keselamatan pun terasakan nyata pula: “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yohanes 3:18). PDPKK Dekenat Tangerang mempunyai dua program pelayanan kasih. Program tetap adalah poliklinik keliling bagi masyarakat yang membutuhkan. Program tidak tetap tahun ini akan memberikan makan bagi masyarakat yang kurang mampu di salah satu wilayah paroki di Tangerang. Setiap komunitas PDPKK di masing-masing paroki akan juga membuat program pelayanan kasih sesuai dengan kondisinya.

Tujuan dari pelayanan ini adalah demi kemuliaan Allah. Karena kemuliaan Allah menjadi tujuan pelayanan, tim-tim PDPKK mau melayani dengan membawa Salib Kristus di dalam hati. Sebelum rekoleksi usai, semua peserta mencium Salib Kristus sambil berseru “Terima kasih atas Salib-Mu”. Di dalam Salib ada derita, ada pengorbanan, ketaatan, pengampunan, dan kasih yang tak terhingga. Di dalam Salib Kristus ada keselamatan dan itu yang akan diwartakan.

Rekoleksi ditutup dengan Misa perutusan. Semua peserta siap membawa terang. “All for Jesus”, teriak para peserta. Seorang peserta mengatakan: “Alangkah indahnya melayani dalam kebersamaan. Karena itu, aku memutuskan kembali ke sini setelah bekerja di luar kota untuk menikmati pelayanan lagi bersama di tim PDPKK Dekenat Tangerang ini”.

Tuhan memberkati

Bukan Sekedar Angan

0

Hari Selasa, tanggal 08 April 2014, aku diundang untuk berkotbah dalam Novena Kerahiman Ilahi di Gereja Kristoforus Grogol –Jakarta Barat. Satu jam sebelumnya, aku sudah sampai di tempat. Aku senang dapat menyalami umat yang datang ke Gereja. Kebanyakan umat langsung meminta doa: “Doakan aku, Mo…”. Bagiku menyapa dan mendoakan umat sudah merupakan kotbah yang terbaik karena membuat mereka merasakan kelegaan.

Ketika aku duduk di depan Gereja, tiba-tiba seorang ibu yang berusia enam puluh satu tahun mendatangiku dengan wajah sangat gembira. Ia berkata kepadaku: “Romo, aku harus ke pastoran Romo di Citra Raya -Tangerang”. “Kenapa, Bu ?”, tanyaku. Ibu itu menjelaskan: “Romo, aku mau berterimakasih kepada Tuhan dan Romo. Aku disembuhkan Tuhan secara tak terduga dan ajaib dari sakit nyeri tulang sendi pada pinggang sampai kaki. Anugerah penyembuhan ini aku terima dalam acara Penyembuhan Ilahi melalui Ekaristi yang Romo pimpin di Gereja Kristoforus ini, pada tanggal 06 Maret 2014. Aku sudah menderita sakit ini selama sepuluh tahun. Sakitnya bukan kepalang sampai aku kerap kali menangis. Segala pengobatan dan obat tak dapat menyembuhkanku. Pada waktu itu, aku sebenarnya tidak ada niat untuk datang dalam Misa itu, tetapi temanku mendorongku agar aku mengikuti Misa Kudus. Ketika Romo mengangkat monstrans sambil berkata dengan menunjuk bangku di mana aku duduk ‘Tuhan Yesus menyembuhkan seorang ibu di sini dari penderitaan sakit tulang’, aku menjawab ‘Amin’. Tuhan, aku yakin bahwa bukan aku yang disembuhkan, tetapi pasti orang lain. Aku tetap bahagia karena ada umat yang mengalami penyembuhan dari Tuhan. Esok harinya aku terkejut. Ketika aku bangun untuk mengikuti Misa pagi, aku tidak merasakan lagi sakit pada tulang sendiku. Aku bisa berjalan normal. Kini sudah dua puluh satu hari penyakit nyeri tulang tidak menyerangku lagi”.

Setelah beberapa menit menghilang, ibu itu datang lagi dengan memberikan sebuah amplop: “Romo, ini tanda kasih dan terimakasihku. Doakan aku terus ya Mo”. Aku terharu atas tulisannya yang merupakan ungkapan syukur atas kasih Tuhan dari imannya: “Terima kasih Tuhan Yesus melalui Pastor Felix telah menyembuhkan penyakit tulang sendi saya. Dari Elly Maria Theresia”.

Kesaksian ibu itu atas kesembuhannya menggelorakan semangatku untuk menyampaikan kotbah dengan tema “Harapan kepada Tuhan bukan sekedar angan”. Inti dari kotbahku adalah berharap kepada Tuhan tidak akan mengecewakan: “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Roma 5:5).

Semoga Novena Kerahiman Ilahi dalam misa ‘Konselebrasi” tiga belas imam dengan konselebran utama adalah Romo Yohanes Purwanto, MSC ini menyulutkan api pengharapan kepada Tuhan dalam diri kurang lebih enam ratus umat yang hadir. Pengharapan kepada Tuhan tidak akan pernah sia-sia: “TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia” (Ratapan 3:25).

Pesan yang dapat kita hidupi dari pengalaman ibu itu: Jangan pernah menyerah ketika masalah datang. Mukjizat Tuhan akan datang tanpa disangka bagi yang percaya.

Tuhan Memberkati

Oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab