Home Blog Page 77

Kebahagiaan Hanya di Dalam Tuhan Menurut Aristoteles

1

Orang-orang di masa moderen ini sulit menerima bahwa kebahagiaan hanya di dalam Tuhan; mereka menyangkal kebenaran itu dengan mengatakan bahwa pernyataan itu hanyalah ungkapan iman dan tidak bisa didemonstrasikan kebenarannya. Penyangkalan ini tidak lain adalah hasil dari lumpuhnya pendidikan modern yang memandang sebelah mata pendidikan klasik, padahal pemikiran dari orang-orang seperti Homer, Aristoteles, St. Augustine, dan St. Thomas Aquinas lah yang membentuk dunia sekarang ini. Tanpa mempelajari Aristoteles dan St. Thomas Aquinas, seseorang akan sulit menerima bahwa sesungguhnya artikel-artikel iman memiliki fondasi rasional yang begitu kokoh, termasuk mengenai “kebahagiaan hanya di dalam Tuhan.”

Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles (384­–322 BC) mendiskusikan tentang Etika, yaitu bagaimana seseorang itu harus hidup dan mengapa ada cara hidup yang lebih sempurna dari yang lainnya. Karya ini, walaupun seringkali dilupakan oleh pendidikan modern, adalah fondasi bagi perkembangan filosofi, politik, dan teologi sejak abad pertengahan. Dalam beberapa buku-buku awalnya dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles mempertanyakan hal-hal fundamental, dan tema yang paling besar adalah mengenai tujuan akhir manusia (atau semua aktivitas manusia). Seperti yang biasa diterapkannya, Aristoteles menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar dengan argumen yang kokoh dan logis. Namun, ketika membahas tentang tujuan akhir manusia yang ia mengerti sebagai “kebahagiaan,” ia hanya berhenti di satu titik abstrak di mana tanpa pewahyuan Allah argumen tersebut sulit dikembangkan lebih jauh. St. Thomas Aquinas kemudian menyempurnakan pencarian jawaban dari pertanyaan “apakah tujuan akhir manusia” dalam karyanya Summa Theologica dengan jawaban yang lebih konkrit, tentunya dibantu oleh keuntungan yang ia dapatkan dari pewahyuan Allah.

Dalam kesempatan ini, logika dan argumen Aristoteles dalam menjelaskan tujuan akhir manusia akan dijabarkan ke dalam enam poin singkat.

Semua aktivitas mengarah kepada suatu tujuan ((Aristoteles, Nicomachean Ethics I:1))

Aristoteles selalu memulai argumennya dengan pernyataan yang kebenarannya dapat diterima semua orang: semua aktivitas mengarah kepada suatu tujuan. Tampaknya, pertanyaan tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya. Tumbuhan bertumbuh untuk suatu tujuan: menghasilkan buah. Sapi memakan rumput untuk suatu tujuan: bertahan hidup. Manusia berolahraga untuk tujuan tertentu: menjaga kesehatan. Semua aktivitas mengarah pada tujuan tertentu dan tidak ada aktivitas yang dilakukan tidak untuk mencapai sesuatu, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Tujuan-tujuan tidak mungkin berjumlah tak terhingga ((NE I:2))

Suatu tujuan itu mengarah pada tujuan lain. Manusia bekerja, misalkan, untuk mencari uang, dan uang digunakan untuk memeroleh makanan, dan seterusnya. Namun, tujuan-tujuan manusia tidak mungkin berjumlah tak terhingga karena, bila manusia memunyai tujuan-tujuan yang tak terhingga, maka manusia tidak memunyai tujuan apapun, dan itu adalah tidak masuk akal. ((Pembuktian pernyataan ini menggunakan metode reductio ad absurdum, yaitu dengan menunjukkan bahwa penyangkalan pernyataan tersebut akan menghasilkan implikasi yang salah atau tidak masuk akal. Contohnya, pernyataan “semua manusia itu bisa meninggal” itu benar karena bila “ada manusia yang tidak bisa meninggal,” maka sekarang ada manusia yang berumur ribuan tahun, dan pernyataan itu adalah tidak masuk akal (absurd).)) Penjelasan argumen tersebut adalah sebagai berikut.

A –> B, B –> C, C –> D

A = tujuan awal

B, C = tujuan pertengahan

D = tujuan akhir

Bila tujuan-tujuan manusia itu tak terhingga, maka tidak ada tujuan akhir (tujuan yang tidak mengarah pada hal lain). Tanpa tujuan akhir (misalkan D), maka tidak mungkin ada tujuan-tujuan pertengahan (misalkan B, C) dan, maka, tidak mungkin ada tujuan awal (misalkan A): pernyataan ini tidak masuk akal karena dengan demikian tidak ada yang pernah terjadi. Maka dari itu, tujuan-tujuan manusia pasti mengarah pada satu tujuan akhir, dan bukan berjumlah tak terhingga.

Tujuan akhir manusia adalah sesuatu yang setelah dicapainya, ia tidak lagi mencari tujuan lain, atau tujuan akhir manusia adalah sesuatu yang dicari demi hal itu sendiri dan tidak demi hal lain. ((NE I:2))

Apa itu “tujuan akhir”? Tujuan dari suatu aktivitas itu berbeda-beda, dan nampaknya, ada tujuan yang lebih penting dan sempurna dari yang lainnya. Tujuan yang paling penting dan sempurna adalah tujuan yang dicari demi tujuan itu sendiri. Uang bukanlah tujuan manusia yang paling penting karena uang digunakan untuk mencari tujuan lain, seperti makanan. Makanan juga bukan tujuan manusia yang paling penting karena makanan digunakan untuk mencari tujuan lain, yaitu bertahan hidup. Bila telah dibuktikan bahwa manusia pasti memiliki tujuan akhir, tujuan akhir tersebut tidak akan dicari demi tujuan lain, melainkan demi tujuan itu sendiri.

Kebahagiaan adalah tujuan akhir manusia ((NE I:2))

Kebahagiaan (Gk. eudaimonia), nampaknya, adalah tujuan akhir manusia, karena kebahagiaan tidak digunakan untuk mencari tujuan lain; kebahagiaan dicari demi kebahagiaan itu sendiri. Sebagai experimen, andaikan kita mengetahui cara langsung untuk mendapatkan kabahagiaan yang sempurna dan abadi; pasti kita tidak ragu untuk menggunakan cara itu, dan uang, kenikmatan, kekuasaan, dan hal-hal lain menjadi tidak penting karena semuanya pun dicari demi kebahagiaan. Namun, apakah kebahagiaan itu? Istilah ini harus dijelaskan sebelum kita bisa memahami apakah tujuan akhir manusia.

Macam-macam kebahagiaan (pendapat orang-orang mengenai kebahagiaan) ((NE I:5))

Aristoteles menganalisa dengan bertanya: apakah pendapat orang-orang mengenai kebahagiaan? Setidaknya ada tiga pendapat umum mengenai apa kebahagiaan itu. Pertama, seseorang mengira bahwa kebahagiaan adalah gratifikasi, atau kesenangan (gratification/pleasure). Namun, tampaknya ini bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya dicari manusia; kehidupan yang hanya mencari hal tersebut tidaklah berbeda dengan kehidupan sapi atau binatang-binatang lainnya yang hanya mencari rumput demi kepuasan dirinya. Manusia seharusnya memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi.

Ada pula yang berpikir bahwa kebahagiaan terletak di kekuasaan politik, yaitu menjalani hidup yang berkebajikan. Ada pula yang berpikir bahwa kebahagiaan terletak di aktivitas intelektual (Gk. theorein). Kepemilikan uang sudah jelas bukanlah kebahagiaan yang dicari manusia karena uang hanyalah alat untuk mendapatkan hal-hal di atas: kesenangan, kekuasaan, dan kecerdasan. Untuk mencari kebahagiaan yang sebenarnya dicari manusia, kita harus melihat apakah fungsi manusia itu yang membedakan dia dari makhluk-makhluk lain karena setiap aktivitas bergantung pada fungsinya.

Kebahagiaan itu harus dicari berdasarkan fungsi unik manusia ((NE I:7))

Ada tiga tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, fungsi manusia adalah sebagai makhluk hidup (living being). Sebagai makhluk hidup, manusia selalu mencari cara untuk mempertahankan eksistensinya, baik dengan makanan ataupun keturunan. Fungsi ini, nampaknya, bukanlah fungsi unik manusia karena semua tumbuhan juga memiliki disposisi atau kecenderungan yang serupa. Pohon berusaha tumbuh ke atas untuk mencari sinar matahari yang akan mempertahankan hidupnya.

Kedua, fungsi manusia adalah sebagai makhluk perasa (sensing being). Selain berusaha mempertahankan hidupnya, manusia juga dapat merasakan sakit dan senang, buruk dan baik, suka dan tidak suka terhadap sesuatu. Namun, ini juga bukanlah fungsi manusia yang paling sempurna karena setiap binatang juga memiliki kecenderungan yang sama: mencari yang baik dan menjauhi yang buruk. Seekor domba akan menjauhi serigala dan mencari gembalanya.

Ketiga, fungsi manusia adalah sebagai makhluk berakal budi (rational being). Tampaknya, inilah fungsi manusia yang paling sempurna karena hanya manusialah yang memiliki kekuatan untuk berakal budi, yaitu kekuatan yang terletak pada aktivitas jiwa/roh manusia. Maka dari itu, bila fungsi utama seorang nahkoda adalah membawa kapalnya sampai di tujuannya, aktivitas itulah yang harus menjadi tujuan utama oleh nahkoda tersebut—selama ia adalah nahkoda (a sailor insofar as a sailor). Sama halnya seperti manusia: bila fungsi utama manusia adalah aktivitas dalam berakal budi, maka tujuan akhir dari manusia, atau kebahagiaan, seharusnya adalah kesempurnaan dalam aktivitas berakal budi.

Kesimpulan: Kebahagiaan menurut Aristoteles

Hidup di abad keempat BC, Aristoteles, tanpa mendapatkan pewayhuan Allah, berhasil mencari tujuan akhir manusia sampai pada pengertian kebahagiaan sebagai penyempurnaan dalam aktivitas berakal budi, dan penyempurnaan ini yang dia mengerti sebagai kebajikan. ((Kebajikan (virtue), dalam hal ini, adalah penyempurnaan aktivitas berakal budi (NE I:7), dan akal budi adalah bagian dari jiwa (NE I:8). Maka, definisi kebahagiaan menurut Aristoteles: Happiness is a sort of activity of the soul expressing virtue (cf. NE I:9,10), dan definisi orang bahagia menurut Aristoteles: “the one who expresses complete virtue in his activities, with an adequate supply of external goods, not for just any time but for a complete life” (NE I:10).)) Namun, pencarian tujuan akhir manusia ini tentu belum sempurna. Selama tujuan akhir manusia belum ditemukan dalam kesempurnaannya, dan karena setiap aktivitas itu dilakukan berdasarkan tujuan akhirnya, Etika masih diselimuti ketidakpastian: bagaimana seseorang harus hidup dan berperilaku? St. Thomas akan melanjutkan pencarian ini, dan dengan bantuan pewahyuan Allah, ia berhasil memberikan jawaban yang lebih pasti mengenai apakah kebahagiaan itu yang sebenarnya dicari manusia.

Jika sudah diberi “Penolong”, sudahkah kita menghargainya?

0

[Hari Minggu Paskah ke VI: Kis 8: 5-8,14-17; Mzm 66:1-20; 1Pet 3:15-18; Yoh 14:15-21]

Siapa sih, yang kalau sedang butuh pertolongan tidak ingin ditolong? Kita semua senang ditolong, dan Tuhan mengetahui bahwa kita membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, Tuhan Yesus menjanjikan Penolong yang akan terus menyertai kita, ketika Ia harus beralih dari kehidupan sebagai manusia di dunia ini. Sang Penolong itu telah diutus kepada kita, yang percaya kepada-Nya .

Bacaan Injil pada hari ini mengingatkan kita akan janji Tuhan Yesus itu. Tuhan Yesus menghendaki agar kita bertumbuh dalam kasih dan menuruti segala perintah-Nya, agar kelak kita dapat sampai kepada kehidupan kekal di Surga. Namun, Tuhan mengetahui bahwa akan sangat sulit bagi kita untuk melakukan kehendak-Nya itu, jika Ia sendiri tidak memampukan kita. Bukankah cukup sulit bagi kita untuk berbuat yang benar dan jujur, jika orang-orang di sekitar kita mencemooh kita? Bukankah tak mudah bagi kita untuk terus mengasihi dan mengampuni?  Memang, jika kita mengandalkan kekuatan sendiri, akan mustahil bagi kita untuk melaksanakan perintah Tuhan. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus memberikan Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran dan Kasih itu, untuk memampukan kita. Ini seumpama orang tua yang memberikan kemampuan dan modal yang cukup kepada anak-anaknya, agar mereka dapat melakukan usaha dengan baik. Atau, seumpama guru yang meneruskan seluruh ilmu dan kemampuannya kepada anak-anak didiknya. Sekarang tergantung kepada tanggapan anak-anak itu sendiri: sejauh mana mereka mau menggunakan kemampuan dan modal yang sudah diberikan oleh orang tua dan guru mereka itu agar sukses dalam usaha dan studi mereka.

Sungguh, Tuhan Yesus telah melakukan sesuatu yang jauh melampaui apa yang diberikan oleh orang tua dan guru yang baik itu. Kristus telah memberikan segala-galanya kepada kita semua para murid-Nya. Setelah menyerahkan nyawa-Nya bagi kita, Ia tidak meninggalkan kita sebagai yatim piatu (lih. Yoh 14:18). Ia selalu menyertai kita dengan Roh Kudus-Nya sendiri yang berdiam di dalam kita (Yoh 14:17). Ya, Tuhan berdiam di dalam kita. Betapa kita perlu meresapkan perkataan ini. Bukankah bagi orang yang saling mengasihi, hal yang terpenting adalah kebersamaan dengan orang yang dikasihi? Allah telah melakukannya untuk kita! Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa secara khusus, melalui sakramen- sakramen Gereja kita menerima kuasa Roh Kudus yang tetap hidup dan menghidupkan kita sebagai murid-murid Kristus (lih. KGK 1116). Melalui sakramen- sakramen itulah, kita menerima kepenuhan hidup di dalam Yesus; dan oleh kuasa Roh Kudus-Nya kita dibimbing kepada seluruh kebenaran yang dijanjikan oleh Kristus itu (lih. KGK 1117).

Belum lama ini kita membaca berita, bahwa Ulf Ekman, seorang pendeta yang mendirikan sekolah Alkitab terbesar di Skandinavia, memutuskan untuk menjadi Katolik. Sekolah itu berperan dalam mendirikan lebih dari 1000 gereja di Rusia. Tentu pergumulan yang dilalui Ekman dan istrinya sebelum memutuskan hal ini, tidaklah kecil. Mereka siap menerima segala konsekuensi dari keputusan mereka, termasuk menjelaskannya kepada sekitar 3,300 orang jemaat yang dipimpinnya selama 30 tahun; dan bahwa dengan menjadi Katolik, Ekman tidak lagi dapat menerima apa-apa yang tadinya menjadi haknya semasa menjadi pendeta di kongregasi tersebut. Namun semua ini mereka tempuh, sebab mereka merindukan kepenuhan janji Tuhan yang mereka sadari ada dalam Gereja Katolik. Kehidupan sakramen, kesatuan dan otoritas kepemimpinan Gereja, itulah yang mendorong Ekman dan istrinya untuk bergabung dalam Gereja Katolik. Mereka rindu untuk menerima kepenuhan pertolongan rahmat Tuhan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang murid Kristus. Telah bertahun-tahun lamanya mereka membawa pergumulan ini dalam doa-doa dan permenungan akan firman Tuhan, dan baru pada tahun inilah mereka mewujudkannya. “Saya memerlukan, kita semua memerlukan, apa yang Tuhan sudah berikan kepada Gereja Katolik untuk hidup sepenuhnya sebagai umat Kristen. Itulah sebabnya, mengapa kami mau menjadi Katolik”, demikian ujar Ekman.

Semoga kisah singkat seorang Ulf Ekman, dapat membuka mata hati kita, untuk semakin menghargai kepenuhan sarana keselamatan yang Tuhan sudah berikan di dalam Gereja Katolik, yang melaluinya Allah berdiam dan tinggal di dalam kita. Roh Kudus, Sang Penolong itu, telah diberikan Allah dalam Gereja-Nya, untuk membantu kita hidup dalam kebenaran dan kasih. Kini pertanyaannya adalah: sudahkah kita menyadarinya, merindukannya dan menghargainya?

Buat apa susah…. susah itu tak ada gunanya!

0

[Hari Minggu Paskah ke V: Kis 6:1-7; Mzm 33: 1-22; 1Ptr 2: 4-9; Yoh 14:1-12]

….Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya…”  Ini lirik lagu masa kecil, yang tadinya kupikir tidak ada kaitannya dengan pesan Injil. Tapi ternyata ajakan untuk tidak susah dan gelisah, menjadi salah satu pesan bacaan Kitab Suci hari ini. Mungkin Tuhan tahu bahwa manusia pada dasarnya mudah gelisah, maka kerap kali Ia mengingatkan kita, bahwa kita tidak perlu resah sebab Ia setia mendampingi kita. Walau mata jasmani kita tidak melihat Dia, namun Allah tidak jauh dengan kita. Allah menghendaki agar kita mengingat besarnya cinta-Nya yang selalu memelihara dan menyertai kita (lih. Mzm 33: 19-22). Jika kita mengingat kasih Tuhan yang tidak pernah meninggalkan kita, bukankah kita memiliki alasan untuk tidak gelisah?

Tetapi nampaknya, bukan hanya kita di zaman sekarang yang mudah gelisah, bahkan para Rasul-pun juga pernah mengalami kegelisahan hati. Ini kita ketahui dari pembicaraan Tuhan Yesus dan para Rasul, ketika sebelumnya Yesus mengatakan bahwa Ia akan pergi ke suatu tempat di mana mereka belum bisa mengikuti-Nya saat itu. Ketika Rasul Petrus berkata ia mau mengikuti Yesus, dan bahkan akan menyerahkan nyawanya untuk mengikuti Dia, Yesus malah memperingatkan Petrus bahwa ia akan menyangkal Yesus sebanyak tiga kali (lih. Yoh 13:38). Hal ini membuat para Rasul yang lain menjadi gelisah: ke manakah Tuhan Yesus akan pergi meninggalkan mereka? Mengapa mereka tidak bisa ikut saat itu? Bahkan Petrus pemimpin para Rasul itupun tidak? Namun Yesus mengetahui kegalauan hati mereka. Jawaban Tuhan Yesus selanjutnya, menjadi juga jawaban bagi kita, setiap kali kita merasa gelisah seperti para Rasul itu. Yesus berkata, “Percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku…. Aku telah menyediakan tempat bagi-mu dan Aku akan membawa kamu ke tempat-Ku supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada.” (Yoh 14:1-3) Setelah wafat dan kebangkitan Kristus, tentu para Rasul memaknai kebenaran perkataan Yesus ini dengan pemahaman yang baru. Sebab jika terhadap kematian, yaitu permasalahan yang dianggap terbesar dan tak ter-elakkan bagi manusia saja Tuhan Yesus mempunyai jalan keluarnya, apalagi terhadap berbagai permasalahan lainnya di dunia ini yang tidak sebesar itu. Tentu dengan kasih penyertaan-Nya, Tuhan Yesus akan mendampingi kita untuk menghadapinya. Maka, kita tidak perlu gelisah, sebab kita mengetahui bahwa tiada hal yang mustahil bagi Allah.

Dengan kebangkitan-Nya dari kematian, Yesus menunjukkan bahwa Ia adalah Sang Hidup yang mengatasi segala kegelapan dan maut. Ia memberikan hidup-Nya kepada kita, agar kita tidak gelisah dalam menjalani kehidupan ini, betapapun gelap lorong yang harus kita lalui, atau betapapun pelik masalah yang kita hadapi. Rasul Petrus berkata dalam suratnya, bahwa Kristus “telah memanggil kamu keluar dari kegelapan untuk masuk ke dalam terang-Nya yang menakjubkan” (1Pet 2:9). Ya, ke dalam terang kehidupan-Nya itulah Kristus telah memanggil kita, dan Ia telah membukakan jalannya. Bersama Yesus kita menjalani kehidupan ini, termasuk jatuh bangunnya, untuk mengatasi berbagai masalah dan kelemahan kita. Sebab kita memiliki pengharapan yang teguh, yaitu bahwa jika kita percaya dan setia menjalani perjalanan hidup kita di dunia ini bersama Tuhan Yesus, maka Ia akan membawa kita kepada tujuan akhir kita, di mana Ia berada dalam kesatuan dengan Allah Bapa. Di sanalah kita dapat memperoleh makna yang terdalam akan perkataan Tuhan Yesus, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9).

Sementara menantikan saat yang membahagiakan itu, mari kita melakukan pekerjaan- pekerjaan kita dengan sepenuh hati. Biarlah melalui pekerjaan kita sehari-hari, kita “memaklumkan perbuatan-perbuatan agung Allah” (1 Pet 2:9).

Tuhan Yesus, aku bersyukur untuk besarnya kuat kuasa kasih-Mu yang mengalahkan maut. Bantulah aku, untuk selalu mengandalkan Engkau dalam kehidupanku. Dengan mata hati tertuju kepada-Mu, biarlah hatiku tidak lekas gelisah dan susah, sebab Engkau selalu menyertaiku dan akan membuka jalan bagiku sampai kelak aku kembali kepada-Mu di  tempat yang Engkau sediakan bagiku. Amin.

Doa pada Jam 3 siang (Jam Kerahiman Ilahi)

2

Ya Yesus,
Engkau telah wafat,
namun sumber kehidupan telah memancar bagi jiwa-jiwa,
Dan terbukalah lautan kerahiman bagi seluruh dunia,
O Sumber kehidupan, Kerahiman ilahi yang tak terselami,
Naungilah segenap dunia, dan curahkanlah diri-Mu pada kami.
O, Darah dan Air, yang telah memancar dari Hati Yesus,
sebagai Sumber Kerahiman bagi kami,
Engkaulah andalanku!

Allah yang Kudus, Kudus dan berkuasa,
Kudus dan kekal, kasihanilah kami,
dan seluruh dunia ….. 3x

Yesus, Raja Kerahiman Ilahi,
Engkaulah Andalanku.

Amin

(dapat dilanjutkan dengan Doa Koronka)

Jika Kasih itu tidak cemburu, mengapa Allah cemburu?

3

Ada orang bertanya, jika Allah adalah Kasih dan kasih itu tidak cemburu (1 Kor 13:4), mengapa  dikatakan bahwa Allah itu cemburu (Kel 20:5; Ul 4:24)?

Istilah ‘cemburu’ yang kita pahami sekarang memang cenderung mengarah kepada arti negatif. Artinya sering dihubungkan dengan rasa iri, atau curiga terhadap pihak lain. Nampaknya inilah yang terjadi dalam jemaat sebagaimana ditulis oleh Rasul Paulus di dalam suratnya di Korintus (lih. 2Kor 12:20) dan Roma (lih. Rm 13:13). Rasul Paulus mengkhawatirkan adanya “perselisihan dan iri hati…./ quarelling and jealousy (RSV) dalam jemaat.

Namun dalam Kitab Suci, kata yang sama, dapat digunakan untuk menggambarkan arti yang baik. Kata ‘cemburu’ dalam bahasa Ibrani adalah qi’nah, atau dalam bahasa Yunani zelos, mempunyai akar kata ‘hangat/ panas’. Maka tergantung konteksnya, kata ‘cemburu’ ini dapat digunakan untuk menggambarkan baik suatu perasaan negatif, ataupun positif. Rasul Paulus menggunakan kata yang sama ini, zeloo, ‘earnestly desire’, yang diterjemahkan LAI dengan ‘berusahalah untuk memperoleh’, yaitu untuk memperoleh karunia-karunia rohani (lih. 1Kor 12:31; 14:1,39). Atau yang lebih eksplisit adalah dalam suratnya yang kedua kepada jemaat Korintus, Rasul Paulus berkata:

“Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus. Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya. Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima.” (2 Kor 11:2-4)

Pada ayat-ayat tersebut, ‘cemburu’ mempunyai arti positif, yaitu: mengasihi sedemikian, sehingga menjaga agar jangan sampai yang dikasihi tersesat dan tidak setia. Dalam arti yang positif inilah, Allah dikatakan sebagai Allah yang cemburu. Allah tidak cemburu dalam arti iri hati terhadap bangsa Israel, tetapi bahwa Ia begitu mengasihi bangsa Israel dengan kasih yang kuat bagaikan api yang panas, yang tidak menghendaki umat-Nya mendua hati. Demikianlah kita membaca dalam Kitab Ulangan, “Sebab TUHAN, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu” (Ul 4:24); sebagai kesimpulan dari nasihat Nabi Musa agar bangsa Israel tidak melupakan perjanjian dengan Allah, dengan menjadi tidak setia (lih. Ul 4:21-23). Di sini Kitab Suci menggambarkan perkawinan rohani antara Allah dengan umat-Nya bagaikan kasih antara suami dan istri. Allah menghendaki agar bangsa pilihan-Nya hanya menyembah-Nya sebagai Allah yang satu-satunya. Sayangnya, bangsa Israel berkali-kali tidak setia kepada Allah, mereka berpaling kepada para dewa/ berhala, sehingga dalam Kitab Suci sering dikatakan bahwa bangsa Israel dan Yehuda ‘bersundal’ (lih. Yer 3:6-10). Sebaliknya, Allah adalah Allah yang tetap setia. Allah tetap menunjukkan bahwa kasih-Nya kepada umat-Nya itu adalah kasih yang begitu total dan kuat/ intense,  yang menghendaki balasan yang serupa. Ia menjaga umat-Nya dengan kasih yang ‘cemburu’ dalam arti positif, yang tak ingin bertoleransi dengan kehadiran allah-allah lain di tengah umat-Nya (lih. Kel 20:3-6, Yos 24:24-16,19-20, dst). Arti ‘cemburu’ ilahi yang sedemikian berbeda dengan ‘cemburu’ yang disebutkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Kor 13:4. Namun karena akar katanya sama, arti positif dan negatif dari kata tersebut, disampaikan dalam kata yang sama.

 

Tuhan, tambahkanlah ‘imam’ kami!

0

[Hari Minggu Paskah ke IV: Kis 2:14, 36-41; Mzm 23: 1-6; 1Ptr 2: 20-25; Yoh 10:1-10]

Konon, salah satu kemajuan suatu paroki ditunjukkan dari berapa banyak anggotanya yang menjadi imam, ataupun menjadi biarawan dan biarawati. Dari paroki kita yang berusia sekitar 37 tahun, sudah adakah yang menjadi imam? Entah karena saking langkanya, atau mungkin belum ada, maka sepertinya tidak terdengar kabar beritanya. Ini sesungguhnya adalah suatu pertanyaan yang pantas kita renungkan. Sebab benih panggilan Tuhan hanya dapat bertumbuh subur dalam keluarga dan paroki yang mendukung pertumbuhan benih tersebut. Sudahkah kita sebagai keluarga maupun paroki, melakukan bagian kita untuk mendukung pertumbuhan benih panggilan Tuhan itu? Jangan-jangan kita hanya rajin berdoa, “Ya Tuhan, biarlah semakin banyak anak muda menjawab panggilan untuk menjadi imam…”, namun di dalam hati lekas menambahkan, “tetapi kalau bisa, jangan anak saya…”

Hari ini kita merayakan bersama Hari Minggu Panggilan. Ya, panggilan Tuhan adalah sesuatu yang perlu kita rayakan, kita doakan, tetapi juga yang kita pupuk dalam hidup sehari-hari. Walaupun tidak semua orang dapat menjawab panggilan untuk menjadi imam, ataupun biarawan dan biarawati, tetapi kita semua dapat mengambil bagian agar panggilan tersebut dapat hidup dan bertumbuh dalam keluarga maupun paroki kita. Sudahkah kita sebagai orang tua meneruskan iman kepada anak-anak kita? Sudahkah kita mendukung mereka untuk melakukan proses discernment agar mengenali jalan panggilan hidup mereka? Sebab panggilan hidup sebagai imam, biarawan dan biarawati, pada dasarnya merupakan pemberian diri yang seutuhnya bagi Kerajaan Allah. Ini merupakan suatu tanggapan terhadap rahmat Allah yang telah terlebih dahulu diterima. Namun untuk sampai kepada keputusan tersebut, diperlukan juga lingkungan yang kondusif bagi generasi muda kita. Jika orang tua terlalu sibuk, ataupun waktu anak-anak didominasi oleh  game di hp dan  game on line hampir sepanjang hari, atau dengan berbagai les pelajaran, sampai tak ada lagi waktu untuk berdoa bersama ataupun sekedar berbicara dari hati ke hati, kapankah orang tua dapat menyampaikan mutiara iman kepada anak-anak? Begitu besarnya daya tarik dunia di sekitar kita, menawarkan banyak berita dan kenikmatan semu, sampai perhatian kita kepada Allah sering kali tidak menempati urutan nomor satu.

Maka tepatlah peringatan dari Rasul Petrus di bacaan pertama hari ini. “Berilah dirimu diselamatkan dari angkatan yang jahat ini” (Kis 2:40). Ya, kita perlu senantiasa memeriksa diri dan bertobat agar menyadari bahwa kita ini milik Tuhan, dan suatu saat akan kembali kepada-Nya. Seperti halnya domba-domba mengikuti gembalanya, demikianlah kita mengikuti Kristus, Sang Gembala kita. Sebagai Gembala yang baik, Kristus telah telah menyatakan kasih-Nya yang tak terhingga, dengan menyerahkan nyawa-Nya untuk kita. Dan oleh bilur-bilur-Nya kita disembuhkan (lih. 1 Ptr 2:24). Teladan kasih-Nya ini memanggil kita untuk melakukan hal yang sama.  Yaitu, untuk memberikan diri kita kepada Allah dan sesama. Memberi diri dalam hal apa? Injil hari ini mengungkapkan salah satu caranya. St. Agustinus mengajarkan bahwa dengan mengumpamakan sebagai pintu, Kristus menghendaki agar kita masuk melaluinya untuk dapat sampai kepada kebahagiaan kekal. Kita masuk melalui pintu itu, kata St. Agustinus,  jika kita mengikuti jejak pengorbanan Kristus dengan kerendahan hati seperti Dia. Demikianlah kita melihat cerminan pengorbanan Kristus sampai pada tingkat yang total dalam kehidupan para imam, biarawan dan biarawati; dan juga orang tua mereka yang mempersembahkan anak-anak mereka kepada Allah itu. Melalui kasih dan pengorbanan mereka semualah, Gereja hidup dan bertumbuh. Sebab melalui para imam, kita menerima Kristus yang menghidupi Gereja-Nya melalui sakramen-sakramen-Nya, khususnya dalam Ekaristi. Ya, Kristus mengundang  para anggota-Nya agar turut serta mengambil bagian dalam kasih dan pengorbanan-Nya, untuk dapat membawa semua kawanan-Nya memasuki kebahagiaan kekal. Adakah kita terpanggil untuk undangan Allah ini? Sudahkah kita tekun berdoa agar Allah memampukan banyak orang muda untuk menanggapi panggilan menjadi imam, biarawan dan biarawati? Termasuk juga, memperkenalkan jalan panggilan Tuhan itu kepada anak-anak kita, ataupun kepada anak-anak baptis kita, dan mendukung jika mereka mau menanggapinya?

Tuhan Yesus, curahkanlah rahmat panggilan suci-Mu kepada banyak orang muda dalam Gereja-Mu. Mampukanlah mereka untuk menanggapinya, dan bantulah kami untuk turut serta menciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan benih panggilan- Mu. Kumohon ya Tuhan, tambahkanlah imam bagi umat-Mu. Amin.”

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab