Home Blog Page 76

Discernment Panggilan Hidup Calon Imam

4

Oleh RD. Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta*)

Pengantar

Tulisan ini untuk para pembina seminari dan pemerhati seminari tentang pembentukan imamat bagian “discernment”. Pembentukan imamat merupakan proses yang progresif dan memiliki dimensi temporal. Seorang pemuda (seminaris) yang masuk ke seminari mengalami pertumbuhan dan kedewasaan pribadi. Secara perlahan dan bertahap ia mengubah dirinya dan gambaran imam yang ideal, mengidentifikasi dirinya seperti Kristus Sang Imam Agung.

Proses ini berlangsung terus menerus, seperti aliran air sungai yang tak terbendung terus mengalir turun menuju ke lembah. Untuk dapat berjalan dalam proses yang benar, seminaris perlu membedakan secara pasti penghalang dan rintangan yang dapat dikenali dari ciri-ciri khususnya. Proses itulah yang disebut “discernment” panggilan.

Allah Memanggil, Gereja Menanggapi

Menjadi imam adalah karunia cuma-cuma dari Tuhan. Tak seorangpun dapat mengatakan pada-Nya siapa yang dipanggil maupun yang tidak. Pada prinsipnya pintu seminari terbuka bagi siapa saja yang merasa terpanggil. Tidak ada diskriminasi atau seleksi yang sewenang-wenang. Imamat adalah perutusan gereja; dengan demikian sesuatu yang berhubungan dengan Gereja haruslah “mengikat dan melepas” (bdk.Mat 18:18). Tak seorangpun yang mengetuk pintu seminaris memerlukan suatu panggilan. Kita diwajibkan untuk menjalankan penglihatan tersebut yakni melihat dengan mata iman panggilan Allah.

Secara esensial, keseluruhan periode pembentukan adalah periode ketajaman. Discernment memegang peranan dalam pembentukan dan kepentingan calon/seminaris itu sendiri. Hal ini benar-benar istimewa pada awalnya. Sebelum masuk ke seminari, penting bagi mereka untuk menganalisis dengan hati-hati apa yang menjadi panggilan hidupnya. Adalah penting untuk mengetahui sedari awal tentang discernment panggilan yang menipu terutama mengenai pemilihan calon yang layak untuk masuk ke seminari. Dalam hal ini tak ada rasa kagum baginya bila ia masuk ke seminari hanya mengandalkan tanda-tanda yang jelas yang menunjukkan bahwa ia terpanggil. Hal ini menjadi tidak adil dengan membawa sikap yang dangkal terhadap proses masuk ke seminari, jika pada akhirnya mengatakan pada calon seminaris bahwa seminari bukanlah tempat baginya. Ada satu pengalaman, menghambat seseorang masuk ke seminari ini berarti mendukung karirnya sebagai awam, merupakan hal yang sangat merusak.

Peduli pada calon lain adalah alasan yang lain untuk mencermati ketajaman panggilan tersebut. Seminaris yang merasa tidak pada tempatnya dan tidak teridentifikasi oleh panggilan imamatnya dapat menjadi unsur negatif di dalam kehidupan seminari. Secara signifikan jumlah yang bersikap diam atau seminaris yang bersikap ragu atau siapapun yang kurang atau tidak memiliki kualitas yang dibutuhkan, membuat lingkungan perkembangan positif seminaris pada umumnya terganggu.

Secara serius dan penuh perhatian, ketajaman panggilan adalah suatu kelayakan. Bahkan saat panggilan terlihat langka, kita membutuhkan pemuda-pemuda dengan panggilan hidup imamat, bukan pada mereka yang mulai tanpa bekal panggilan di jalur yang semestinya, karena hal ini bukan sekadar pertanyaan yang semata-mata untuk memenuhi kekosongan dalam lembaga manusiawi namun untuk menerima siapapun yang merasa dipanggil oleh Tuhan. Pertanyaan dasar yang terlontar adalah: betulkah dia yang sungguh-sungguh telah dipilih oleh Tuhan?

Panduan Untuk Memahami Ketajaman Panggilan Hidup Secara Tepat

Hanya Tuhan yang mengetahui jawaban dari pertanyaan awal ini. Tak ada sistem yang mudah untuk dapat menemukan kehadiran panggilan imamat yang sempurna. Untuk alasan ini, doa merupakan tugas pertama bagi siapapun yang mempunyai tanggungjawab yang sulit untuk dapat masuk dalam pusat pembentukan imamat. Mereka harus ditanya dengan rendah hati tentang cahaya Roh Tuhan yang menerangi akal dan pikiran para pemuda yang mencari jalan masuk ke seminari.

Meskipun ada beberapa kriteria yang tersimpan di benak kita dalam rangka menemukan kehendak Tuhan sejauh ini secara manusiawi hal itu diperbolehkan. Pada tiap kasus individu, sesuai dengan waktu dan tempat terdapat beberapa faktor yang spesifik dan kongkrit tersimpan dalam pikiran, namun kita dapat juga membicarakan beberapa kriteria umum yang diperoleh berdasarkan panggilan dan perutusan imamat dan dari permintaan betapa pentingnya pembentukan untuk menempatkan para calon pada panggilan imamatnya. Kita dapat mengelompokkan kriteria tersebut di seputar dua pendapat yang sangat berhubungan yaitu: kesesuaian dari para calon dan kehadiran nyata dari suatu panggilan ilahi.

Kesesuaian Dari Para Calon

Maksudnya apa? Tidak ada pilihan lain jika seseorang tidak cocok bagi kehidupan imamat, Tuhan pasti tidak akan memanggilnya. Tuhan tidak akan bertentangan dengan Diri-Nya sendiri. Beberapa aspek penting dalam melakukan discernment sebagai faktor menelisik ketajaman panggilan seminaris.

1.Pengetahuan Yang Dimiliki Para Calon

Hal pertama yang dilakukan adalah mempelajari tipe orang-orang yang masuk ke seminari. Caranya, seseorang yang berwenang dalam penerimaan calon seminaris (Rektor dan tim seleksi masuk seminari menengah) wajib meluangkan waktu untuk berbicara dengan para calon, bila memungkinkan hal itu dapat dilakukan pada beberapa kesempatan. Mengenal keluarga dan lingkungan di mana calon seminaris berasal akan sangat membantu. Saat itu, beberapa hal dapat terungkap. Mengenali para calon berarti mengetahui latar belakangnya: pola asuh dan pendidikan, spiritualitas dan perjalanan hidup manusiawinya, kejadian masa lalu, atau situasi yang dapat berpengaruh pada masa depannya.

Psikologi dapat membantu dalam teritori-area yang sedang kita bahas. Hal ini tidak akan terlihat berlebihan untuk mensyaratkan, jika mungkin, diadakan test psikologi secara teliti sebelum memutuskan secara pasti siapa yang berhak masuk ke seminari. Para psikolog yang melaksanakan dan menginterpretasikan hasil uji tersebut tidak hanya profesional dan mampu di bidangnya namun juga harus bisa menunjukkan pengetahuan dan penghargaan dari panggilan imamat. Jika ia seorang imam, itu lebih baik. Jika terdapat kesangsian atau kasus-kasus yang sulit sebaiknya dilanjutkan wawancara dengan psikolog, hal ini untuk memperlihatkan bahwa calon memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Izin masuk bagi calon seminaris tidak akan pernah menjadi hal yang terburu-buru. Waktu diperlukan untuk mengenali para calon dan mereka juga butuh waktu untuk mengenali dirinya sendiri dan menetapkan langkah yang akan mereka ambil. Pada kesempatan ini kita dapat memperpanjang waktu selama pendidikan di seminari kecil. Bagi yang lain, hal ini memantapkan panggilan hidup di bawah bimbingan imam yang mereka kenal atau dengan mengadakan kunjungan ke seminari. Di beberapa tempat, seminar tentang panggilan terbukti berguna dalam memahami ketajaman panggilan hidup.

2.Kesehatan Mental dan Fisik

Pertanyaan tentang kesesuaian bagi panggilan imam melibatkan bermacam aspek manusia. Di tempat pertama, kesehatan fisik yang memadai diperlukan untuk mampu bertahan dari tuntutan hidup di seminari dan dapat bekerja sama dengan rajin sebagai pelayan di ladang anggur Tuhan. Hal ini adalah pengecualian khusus, namun merupakan hal yang sungguh luar biasa dan mengandung alasan yang kuat.

Kesesuaian secara psikologis lebih sulit untuk dievaluasi, meski hal ini tidak begitu menentukan. Bidang yang terbatas dari diskusi yang baru-baru ini kita lakukan, menjadi penghalang bagi kita untuk mempelajari detil-detil yang berkenaan dengan beragam aspek yang terlibat dalam area ini. Kita dapat meyakinkan, bahwa, kesehatan mental adalah prasyarat adanya panggilan hidup. Imam terpanggil untuk memimpin dan membimbing orang lain. Dalam hal ini, kita dapat menjabarkan pertanyaan rasul Paulus dalam surat pertamanya pada Timotius: “Jika seseorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri bagaimanakah ia dapat mengurus jemaat Allah?” (1 Tim 3:5).

Suatu saat seseorang dapat berubah secara psikologis, meski hal itu normal, namun hal itu menunjukkan tanda-tanda kelemahan, hambatan, atau ketidakstabilan. Hal ini tidak selalu bisa dicermati dengan segera dan diputuskan apakan calon tersebut sesuai atau tidak. Kebijaksanaan, akal sehat, pengalaman, dan waktu yang akan memberikan jawaban terbaik.

Penyakit dan keraguan lebih mudah untuk diperhatikan. Jika menghadapi kasus kejiwaan, keputusannya sangat jelas: hal itu tidak mungkin dapat sembuh; pengabaian atau pura-pura hal itu tidak terjadi akan menipu kita sendiri dan calon yang bersangkutan. Bila kita temukan gejala penyakit syaraf, dianjurkan untuk mengadakan test untuk mengambil kesimpulan yang tepat. Dalam hal ini, tidak ada tempat bagi suatu penyakit yang mengganggu proses panggilan seperti sakit syaraf (gila) hal ini membawa konsekuensi yang serius. Jika merasa ragu-ragu, berkonsultasi dengan ahlinya (dokter jiwa) sangat dianjurkan.

3.Beberapa Kebajikan Fundamental

Kita tak dapat berharap bahwa siapapun yang masuk ke seminari telah memiliki kebajikan dan kualitas sebagai seorang imam yang ideal. Jika hal itu terjadi ,maka hal itu tidak dibutuhkan oleh para seminaris. Meski demikian, pembentukan imamat mensyaratkan kualitas manusiawi yang memadai dan dasar iman kristiani untuk dibangun.Tak peduli, meski bukan para calon yang memiliki kebajikan sebagai imam yang baik, kita mempunyai kemampuan untuk memperolehnya.

Tentu saja terdapat kebajikan dan kualitas khusus yang harus dimiliki saat seorang pemuda menjalani panggilan imamatnya, setidaknya sampai batas tertentu, dalam rangka mendukung keberhasilan tahbisan. Contohnya adalah ketulusan. Orang yang tidak jujur dan penuh kepalsuan akan mengalami kesulitan dalam menjalani proses pendewasaan yang semestinya. Ia mungkin mampu mematuhi norma-norma eksternal pada saat ia diamati, namun ia tidak akan pernah memahami prinsip-prinsip pembentukan pribadi. Hal ini akan berpengaruh pada kemampuan dirinya untuk hidup dalam komunitas dan bekerja sama dengan orang lain. Sama halnya, bila seseorang mempunyai perangai dan pola asuh tertentu yang mengakibatkan ia sama sekali tidak mampu hidup bersama orang lain, berdialog, bekerja dalam tim, hingga sulit untuk membayangkan bagaimana ia berhasil membentuk dirinya dalam lingkungan komunitas dan setidaknya membuat dirinya dapat diterima orang lain dalam rangka melaksanakan tugas perutusan sebagai imam di masa depan.

Bersama dengan pembentukan dasar manusiawi, identitas spiritual calon seminaris juga harus dibangun. Setidaknya pengetahuan agama (teologi) dan praktek religius sangat diperlukan, dan kemampuan untuk hidup dalam rahmat. Seorang imam adalah anak Allah, seorang pelayan yang menuntun manusia menuju hidup ilahi dan membawanya kembali melalui pengampunan dosa jika mereka berbuat dosa atau sesat di jalan hidupnya. Jika seseorang dosanya sudah berakar kuat dan tampaknya mustahil untuk dapat diatasi, maka perlu dipikirkan dengan serius sebelum membiarkan dia untuk meneruskan langkahnya. Kita tidak boleh meragukan kekuatan Tuhan, namun kita juga tidak boleh mencobaiNya.

a.Kapasitas Intelektual

Para pembimbing juga harus menganalisis kapasitas intelektual para calon. Disebut sebagai guru dan pembimbing, ia harus dengan cermat mempersiapkan teritori-area yang mensyaratkan pengabdian akademik, seperti filsafat dan teologi. Walaupun dalam sejarah Gereja dibicarakan tentang kepandaian para imam kudus yang beroleh karunia intelektual, kita tidak akan menganggap remeh hal itu. Merupakan suatu ketidakadilan jika menerima seseorang yang pada akhirnya merasa frustasi sebelum mengalami kesulitan dalam menempuh studi imamatnya, atau mengatakan untuk meninggalkan seminari karena ia dianggap tak mampu menyelesaikan studinya. Jika ia telah menyelesaikan studinya, biasanya mereka masuk ke seminari tinggi yang memiliki kesamaan pembentukan manusiawi dan keilmuan untuk mempersiapkan mereka masuk ke wilayah pendidikan yang lebih tinggi.

b.Tidak ada halangan Kanonik (kapasitas personal)

Parameter terakhir yang penting untuk mengukur kesesuaian para calon adalah dengan memperhatikan apakah mereka mengalami kesulitan secara terus menerus atau hanya mengalami sedikit kesulitan dalam rangka memahami hukum kanonik. Hal ini menjadi tidak berguna dan tidak bertanggungjawab jika mengijinkan seseorang masuk ke seminari sedangkan ia tak dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

c.Keberadaan Panggilan Ilahi (kapasitas spiritual)

Hal ini tidak cukup untuk memastikan bahwa seseorang yang memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk masuk ke seminari; kita harus melihat bahwa ia mempunyai “panggilan”. Di sini kita tidak menunjuk “panggilan” sebagai kecenderungan manusia maupun suatu profesi/pekerjaan yang lain. Kita menyebut sebagai suatu panggilan ilahi yang nyata dan pribadi. Hal ini tak mudah untuk dicermati. Faktanya hal ini jauh lebih sulit daripada mencermati kesesuaian para calon secara subjektif. Di sini kita berada sebelum memahami misteri manusia dan di sinilah kita berdiri sebelum memahami misteri Allah.

d.Intensi (motivasi dasar) yang benar dan besar

Hal pertama yang harus diingat adalah intensi yang memotivasi seseorang untuk mencari jalan masuk. Apakah ia merasa terpanggil atau sesuatu yang mendorongnya? Keputusan yang diambil haruslah secara sadar dan bebas. Kewaspadaan dibutuhkan bila calon berada di bawah tekanan, baik secara internal maupun eksternal. Jika permohonannya tidak secara sukarela, maka calon tersebut tidak diijinkan untuk melanjutkan.

Direktur penerimaan seharusnya memastikan agar para calon memahami, setidaknya hal-hal umum, apa dan bagaimana panggilan dan cara hidup imamat dan tepatnya apa yang mereka butuhkan. Sebagai tambahan, direktur penerimaan harus dapat melihat bahwa mereka masuk ke seminari bukan karena terpengaruh misalnya oleh saudara atau didorong oleh alasan lain seperti patah hati, ingin melarikan diri dari dunia, takut menghadapi kerasnya hidup.

Ada beberapa kasus bahwa seseorang masuk ke seminari hanya untuk memperoleh keuntungan akademik. Perhatikan, yang harus diingat ketika orangtua secara gamblang memaksa putra mereka masuk ke seminari. Mereka hanya tertarik bahwa putra mereka akan memperoleh pendidikan murah namun berkualitas. Dengan mengizinkan ia masuk, dalam kasus ini, akan mengalahkan tujuan seminari dan berkompromi untuk sanggup membentuk mereka supaya benar-benar memikirkan panggilan imamatnya. Ini membuktikan hal tersebut akan merusak diri mereka sendiri karena ia hidup dalam kebohongan, di lingkungan di mana ia tidak terpanggil dan ia tidak dapat mengenalinya.

e.Suara Tuhan

Saran yang sangat dibutuhkan untuk para seminaris supaya berdoa secara intensif. Hal ini dimaksudkan juga untuk menguji minat dan motivasi mereka. Dengan cara ini kita dapat mendeteksi adanya kemungkinan sugesti pribadi, tekanan dari luar, bahkan paksaan untuk menjadi imam. Hal ini akan membantu para seminaris untuk semakin memperdalam kehidupan doanya dan memperoleh pengalaman untuk mendengarkan suara Tuhan. Praktek tersebut terbukti dapat menentukan kehidupan seseorang untuk berhenti sebagai seorang seminaris atau imam. Sesekali Tuhan mengijinkan dirinya untuk mendengar secara lebih dalam, ini merupakan saat intim dan langsung. Pada kesempatan lain ia akan berbicara mengenai hal-hal yang penting atau hal-hal yang sepele. Suara Tuhan bergema dengan penuh semangat dan terus menerus di dalam hati para pemuda. Suara tersebut acapkali datang seperti angin yang lembut hampir tak terasa. Semangat itu membuat mereka mengalami cinta Kristus sebagai suatu hal yang bermanfaat. Membuat orang lain menyadari bahwa panenan melimpah namun pekerja sedikit. Secara sederhana hal ini akan mengundang orang lain untuk mendukung panggilannya. Beberapa orang muda yang masuk ke seminari sangat antusias dengan panggilannya, sebagian lebih suka melawan panggilan ilahi tersebut, namun semua tunduk pada yang Kuasa. Beberapa orang melihat panggilannya dengan jelas. Beberapa terasa samar dan meragukan apakah mereka benar-benar terpanggil.

Penutup

Tulisan ini tidak mencari kepastian yang mutlak sebagai proses discernment dalam teritori-area menjawab panggilan Tuhan dan mencari pembuktian. Cahaya yang redup dari suatu panggilan membuat kita berkata, ”mari kita lihat”. Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentang keseluruhan periode pembentukan seminaris khususnya pada tahapan awal, yang merupakan saat untuk mengasah ketajaman panggilan (mengasah discernment). Bila Tuhan tidak memanggil, namun mengizinkan banyak pemuda untuk memulai perjalanan tersebut tentu ada jalan panggilan. Hal ini menjadi suatu alasan tersendiri bahwa seminaris yang berusaha menyerahkan seluruh kehendaknya tidak akan pernah salah di mata Tuhan. Masih banyak hal yang dibicarakan namun kiranya di lain kesempatan kita masih dapat berbicara tentang panggilan Allah menjadi imam. Suatu misteri ilahi di tangan manusiawi yang penuh kelemahan dan dosa.

*) Penulis tim website: Katolisitas, kini sebagai Pastor Paroki St Maria Ratu Rosari, Gianyar, Bali.

Paus Fransiskus: Bunda Maria tataplah kami!

0

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus saat melakukan kunjungan pastoral ke Basilika Bunda Maria dari Bonaria di Cagliari:

Sa paghe ‘e Nostru Segnore siat sempre chin bois

Hari ini keinginan untuk mengunjungi Basilika Bunda Maria dari Bonaria, yang telah saya umumkan di Lapangan Santo Petrus sebelum musim panas dimulai, telah menjadi kenyataan.

1. Saya datang untuk berbagi dengan kalian segala sukacita dan pengharapan, perjuangan dan tanggung jawab, cita-cita dan aspirasi dari pulau kalian, dan untuk memperkuat kalian di dalam iman. Di sini, di Cagliari, sebagaimana di seluruh Sardinia, tidak kekurangan kesulitan –kesulitan – ada begitu banyak – masalah dan kekhawatiran. Saya berpikir terutama dari kurangnya lapangan kerja dan tidak adanya jaminan kelangsungan kerja, dan oleh karenanya ketidakpastian tentang masa depan. Daerah Sardinia kalian yang indah telah lama menderita berbagai situasi kemiskinan, yang telah diperburuk oleh kondisinya sebagai sebuah pulau. Kolaborasi semua orang yang setia, bersama dengan komitmen dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab – termasuk Gereja – adalah perlu dalam upaya untuk menjamin bahwa hak-hak fundamental diberikan kepada orang-orang dan kepada keluarga-keluarga, dan dalam upaya untuk mendorong masyarakat menjadi lebih stabil dan bersifat persaudaraan. Hak untuk bekerja, hak untuk membawa roti ke rumah, roti yang diperoleh melalui kerja harus terjamin! Saya dekat dengan kalian! Saya dekat dengan kalian, saya ingat kalian dalam doa dan saya mendorong kalian untuk bertekun dalam bersaksi dengan nilai-nilai manusiawi dan Kristiani yang begitu mendalam berakar di dalam iman dan sejarah negeri ini dan rakyatnya. Semoga kalian selalu menjaga cahaya pengharapan yang menyala-nyala itu!

2. Saya datang di antara kalian untuk menempatkan diri, bersama-sama dengan kalian, di kaki Bunda kita, yang memberikan kita Putranya. Saya juga menyadari dengan baik bahwa Maria, Bunda kita, adalah luar biasa di hati kalian, karena tempat suci ini memberikan kesaksian, yang kepadanya banyak generasi orang-orang Sardinian telah mendaki- dan akan terus mendaki! – dengan maksud untuk memohon perlindungan Bunda kita dari Bonaria, Pelindung utama pulau itu. Di sini kalian membawa kesukacitaan dan penderitaan-penderitaan dari tanah ini, dari keluarga-keluarga kalian, dan bahkan dari mereka yang anak-anaknya tinggal jauh, yang telah meninggalkannya dengan kepedihan dan kerinduan yang hebat, dalam upaya untuk mencari pekerjaan dan sebuah masa depan bagi dirinya dan bagi mereka yang mengasihi mereka. Hari ini, kita yang berkumpul di sini ingin berterima kasih kepada Maria, karena ia selalu dekat dengan kita. Kita ingin memperbaharui kepercayaan kita dan kasih kita untuknya.

Bacaan pertama yang telah kita dengar menunjukkan kepada kita Maria dalam doa, di Ruang Atas, bersama-sama dengan para Rasul. Maria berdoa, dia berdoa bersama-sama dengan komunitas murid-murid-Nya, dan dia mengajarkan kita untuk memiliki kepercayaan penuh pada Allah dan pada belas kasihan-Nya. Inilah kekuatan doa! Mari kita jangan pernah lelah mengetuk pintu Allah. Setiap hari melalui Maria mari kita bawa seluruh kehidupan kita kepada hati Allah! Ketuklah pintu hati Allah!

Dalam Injil, kiranya, kita memahami tatapan terakhir Yesus kepada ibu-Nya (bdk. Yoh 19:25-27). Dari Salib, Yesus melihat ibu-Nya dan mempercayakan dia kepada Rasul Yohanes, dengan berkata: Inilah puteramu. Kita semua hadir bagai Yohanes, bahkan kita, dan tatapan kasih Yesus mempercayakan kita akan perawatan keibuan Ibu-Nya. Maria akan telah mengingat rupa kasih lainnya, ketika dia masih seorang gadis: tatapan Allah Bapa, yang memandang kerendahan hatinya, sifat kecilnya. Maria mengajarkan kita bahwa Allah tidak meninggalkan kita; Ia dapat melakukan hal-hal besar bahkan dengan kelemahan-kelemahan kita. Marilah kita percaya pada-Nya! Mari kita ketuk pintu hati-Nya!

3. Pemikiran ke-tiga: hari ini saya telah datang di antara kalian, atau lebih tepatnya, kita telah datang bersama-sama, untuk menjumpai tatapan Maria, sejak di sana, sepertinya seolah-olah, tercermin tatapan Bapa, yang telah menjadikan dia Bunda Allah, dan tatapan Putera-Nya di Salib, yang menjadikan dia Ibu kita. Yang dengan tatapan bahwa Maria menjaga kita saat ini. Kita perlu tatapan lembutnya, tatapan keibuannya, yang mengenal kita lebih baik daripada seorang lainnya, tatapannya penuh kasih dan kepedulian. Maria, hari ini kami ingin memberitahumu: Ibu berikan kami tatapanmu! Tatapanmu menuntun kita kepada Allah, tatapanmu adalah sebuah hadiah dari Bapa yang baik yang menantikan kita di setiap tikungan jalan kita, yang adalah sebuah hadiah dari Yesus Kristus di kayu Salib, yang mengambil dirinya menggantikan penderitaan-penderitaan kita, perjuangan-perjuangan kita, dosa kita. Dan dalam upaya untuk menemui Bapa yang penuh kasih ini, hari ini kita katakan kepadanya: Ibu, berikan kami tatapanmu! Mari kita katakan itu semua bersama-sama: “Ibu, berikan kami tatapanmu!”. “Ibu, berikan kami tatapanmu!”.

Sepanjang jalan kita, yang sering kali sulit, kita tidaklah sendirian. Kita yang begitu banyak, kita yang adalah sejumlah orang-orang, dan tatapan Bunda kita itu membantu kita untuk melihat satu sama lainnya sebagai saudara dan saudari. Mari kita pandang satu sama lainnya dengan sebuah cara yang lebih persaudaran! Maria mengajarkan kita untuk memiliki tatapan itu yang berusaha untuk menyambut, menemani dan melindungi. Mari kita belajar untuk melihat satu sama lainnya di bawah tatapan keibuan Maria! Ada orang-orang yang kepadanya kita secara naluriah kurang mempertimbangkannya dan yang sebaliknya berada dalam kebutuhan yang lebih besar: yang paling ditinggalkan itu, orang sakit, mereka yang tidak punya apa-apa untuk hidup, mereka yang tidak mengenal Yesus, para orang muda yang menemukan diri mereka dalam kesulitan, orang-orang muda yang tidak dapat menemukan pekerjaan.

Marilah kita jangan menjadi takut untuk pergi keluar dan memandang para saudara-saudari kita dengan tatapan Bunda kita. Dia mengundang kita untuk menjadi saudara dan saudari sejati. Dan mari kita jangan pernah biarkan sesuatu atau seseorang memisahkan kita dan tatapan Bunda kita. Ibu, berikan kami tatapanmu! Semoga tidak seorang pun bersembunyi dari itu! Semoga hati yang seperti anak kecil kita tahu bagaimana mempertahankan diri dari banyaknya “pembual” yang membuat janji-janji palsu ? Dari mereka yang memiliki sebuah tatapan serakah untuk sebuah kehidupan mudah dan penuh dengan janji-janji yang tidak dapat dipenuhi. Semoga mereka tidak merampas kita dari tatapan Maria, yang penuh kelembutan, yang memberi kita kekuatan dan membangun solidaritas di antara kita. Mari kita katakan bersama-sama: Ibu, berikan kami tatapanmu! Ibu, berikan kami tatapanmu! Ibu, berikan kami tatapanmu!
Nostra Segnora ‘e Bonaria bos acumpanzet sempre in sa vida.
(AR)

Paus Fransiskus,
Cagliari, 22 September 2013
Diterjemahkan dari: www.vatican.va

Paus Fransiskus: Berapa banyak ibu yang meneteskan air mata agar anak – anak mereka kembali kepada Kristus?

0

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus saat membuka Sidang Umum ordo Agustinian:

“Engkau telah menciptakan kami bagi diri-Mu, dan hati kami gelisah, sampai ia beristirahat di dalam Engkau” (Pengakuan-pengakuan, 1, 1, 1). Dengan kata-kata yang terkenal ini St Agustinus menyapa (merujuk kepada) Allah dalam Pengakuan-pengakuan imannya, dan kata-kata ini meringkas seluruh kehidupannya.

“Kegelisahan”: kata ini berkesan bagi saya dan membuat saya berpikir. Saya ingin memulai dengan sebuah pertanyaan: Kegelisahan mendasar apakah yang Agustinus jalani dalam hidupnya? Atau mungkin saya harus katakan: Jenis kegelisahan apakah yang orang agung dan suci ini minta kepada kita untuk bangkit dan untuk terus hidup dalam keberadaan kita sendiri? Saya mengusulkan tiga jenis ini: kegelisahan pencarian yang rohani, kegelisahan perjumpaan dengan Allah, kegelisahan kasih.

1. Yang pertama: kegelisahan pencarian yang rohani. Agustinus menjalani pengalaman hidup yang cukup umum seperti masa kini: yang cukup umum di antara orang-orang muda saat ini. Ia dibesarkan dalam iman Kristiani oleh ibunya, Monika, meskipun ia tidak menerima baptisan. Namun, saat ia tumbuh dewasa ia jatuh menjauh dari iman, yang gagal untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, keinginan-keinginan hatinya, dan tertarik dengan ide-ide lainnya. Dia kemudian bergabung dengan sekelompok kaum Manichaean [red-kepercayaan pada suatu dualisme agama sinkretis di Persia pada abad ke-tiga AD yang mengajarkan pelepasan roh dari materi melalui asketisme/pertapaan], mengabdikan diri dengan rajin pada studinya, tidak meluangkan waktu untuk kesenangan hura-hura, tontonan pertunjukan di masanya itu dan persahabatan-persahabatan yang erat. Ia telah mengalami cinta yang kuat dan memiliki karir yang cemerlang sebagai guru retorika hingga bahkan membawa dia ke istana kekaisaran di Milan. Agustinus adalah seorang pria yang telah “berhasil”, dia punya segalanya. Namun demikian, hatinya masih merindukan makna mendalam kehidupan; hatinya tidak dapat diatasi dengan tidur. Saya boleh katakan seperti hal yang tidak terbius oleh keberhasilan, oleh harta benda, atau oleh kekuasaan. Agustinus tidak menarik ke dalam dirinya sendiri, ia tidak tinggal diam, ia terus melanjutkan usahanya mencari kebenaran, makna hidup. Dia terus mencari wajah Allah. Tentu saja dia telah berbuat kesalahan, ia telah mengambil pilihan-pilihan yang salah, ia telah berdosa, ia adalah seorang pendosa. Namun dia telah memelihara kegelisahan pencarian yang rohani itu. Dengan cara ini dia menemukan bahwa Allah sedang menunggunya, dan memang, bahwa Ia tidak pernah berhenti untuk menjadi yang lebih dulu untuk mencari dia. Saya ingin beritahu mereka yang merasa acuh tak acuh terhadap Allah, terhadap iman, dan mereka yang jauh dari Allah atau yang telah menjauhkan diri dari-Nya, bahwa kita juga, dengan sikap kita yang “menjauhkan” dan “meninggalkan” Allah, yang mungkin nampaknya tidak signifikan tetapi begitu banyak dalam kehidupan kita sehari-hari: lihatlah ke dalam lubuk hati kalian, lihat ke dalam batin milik kalian dan tanyakan pada diri sendiri: apakah kalian memiliki hati yang menginginkan sesuatu yang besar, atau hati yang telah terbuai tidur oleh harta benda? Apakah hati kalian telah memelihara kegelisahan pencarian itu atau apakah kalian telah membiarkan itu tercekik oleh harta benda yang berakhir dengan memperkerasnya? Allah menantikan kalian, Ia mencari kalian; bagaimana kalian menanggapinya? Apakah kalian menyadari situasi jiwa kalian? Atau apakah kalian telah tertidur? Apakah kalian percaya bahwa Allah sedang menunggu kalian atau apakah kebenaran ini hanyalah “kata-kata” saja?

2. Dalam diri Agustinus kegelisahan yang luar biasa dalam hatinya inilah yang telah menyadarkan dia kepada sebuah perjumpaan pribadi dengan Kristus, telah membawa dia untuk memahami bahwa Allah yang jauh yang sedang dia cari adalah Allah yang dekat dengan setiap manusia, Allah dekat dengan hati kita, yang “lebih dalam lagi daripada diriku yang terdalam” (cf. ibid. III, 6, 11). Namun bahkan dalam penemuan dan perjumpaannya dengan Allah, Agustinus tidak berhenti, dia tidak menyerah, dia tidak menarik diri ke dalam dirinya sendiri seperti mereka yang telah sampai, tetapi terus melanjutkan pencariannya. Kegelisahan akan pencarian kebenaran, akan pencarian Allah, telah menjadi kegelisahan untuk mengenal Dia semakin lebih baik dan mengetahui yang keluar dari Diri-Nya untuk membuat orang lain mengenal Dia. Justru itu adalah kegelisahan kasih. Dia telah menginginkan sebuah kehidupan yang penuh damai dari belajar dan berdoa tapi Allah memanggilnya untuk menjadi Pastor di Hippo, dalam sebuah periode yang sulit, dengan sebuah komunitas yang terpecah-belah dan perang di pintu-pintu gerbang. Dan Agustinus membiarkan Allah membuatnya gelisah, ia tidak pernah lelah mewartakan Dia, melakukan evangelisasi dengan keberanian dan tanpa rasa takut, ia telah berusaha untuk menjadi gambaran Yesus Gembala yang Baik yang mengenali domba-domba-Nya (bdk. Yoh 10:14). Memang, sebagaimana saya ingin katakan ulang, ia “telah mengenali bau domba-dombanya”, dan pergi keluar untuk mencari mereka yang telah menyimpang. Agustinus menjalani hidup sebagaimana St Paulus telah instruksikan kepada Timotius dan masing-masing dari kita: ia mewartakan Sabda, dia berjuang keras sepanjang musim yang terus berganti, ia menyatakan Injil dengan hati yang murah hati, dengan hati yang besar (lih. 2 Tim 4:2), hati seorang Pastor yang cemas akan domba-dombanya. Harta karun Agustinus adalah sikap yang luar biasa ini: yang selalu pergi menuju Allah, yang selalu keluar menuju kawanan itu…. Dia adalah orang yang secara konstan merentangkan diri di antara kutub-kutub ini; tidak pernah “memprivatisasi” kasih … selalu melakukan perjalanan! Selalu berada dalam perjalanan, kata Bapa. Juga untuk kalian, selalulah siaga!

Dan hal ini merupakan kedamaian dari kegelisahan. Kita mungkin bertanya pada diri kita sendiri: apakah aku cemas bagi Allah, cemas untuk mewartakanNya, untuk membuatNya dikenal? Atau apakah aku mengijinkan keduniawian yang rohani itu untuk memikatku yang mendorong orang-orang untuk melakukan segalanya demi kasih mereka sendiri? Kita telah mengkonsekrasikan orang-orang dengan berpikir tentang kepentingan-kepentingan pribadi kita, tentang fungsi-fungsi pekerjaan kita, karir-karir kita. Eh! Kita bisa berpikir tentang banyak hal …. Apakah aku, demikian dikatakan, “telah membuat diriku sendiri ‘nyaman'” dalam kehidupan Kristianiku, dalam kehidupan imamatku, dalam kehidupan beragamaku, dan juga dalam kehidupan komunitasku? Atau apakah aku mempertahankan kekuatan kegelisahan itu bagi Allah, karena Firman-Nya yang membuat aku “melangkah keluar” dari diriku sendiri terhadap orang lain?

3. Dan mari kita datang pada jenis terakhir dari kegelisahan itu, kecemasan kasih itu. Di sini saya tidak bisa tidak melihat ibu itu: Monika ini! Berapa banyak air mata yang perempuan kudus itu telah tumpahkan demi pertobatan puteranya! Dan saat ini juga berapa banyak ibu-ibu yang meneteskan air mata agar anak-anak mereka akan kembali kepada Kristus! Jangan kehilangan pengharapan dalam rahmat Allah! Dalam Pengakuan-pengakuan kita membaca kalimat ini bahwa seorang uskup berkata kepada St Monika yang meminta dia untuk membantu puteranya menemukan jalan kepada iman: “itu tidaklah mungkin bahwa putera dari begitu banyak air mata harus binasa” (III, 12, 21). Setelah pertobatannya, Agustinus sendiri, yang ditujukan kepada Allah, menulisnya: “Ibuku, orang setia-Mu, menangis di hadapan-Mu melebihi dari pada ibu-ibu yang biasa menangisi kematian badani anak-anak mereka” (ibid, III, 11, 19). Seorang wanita yang gelisah, wanita ini yang pada akhir hidupnya mengucapkan kata-kata yang indah ini: “cumulatius hoc Mihi Deus praestitit!” [Tuhan telah mengganjar pengharapanku dengan berlimpah-limpah] (ibid., IX, 10, 26). Allah dengan boros telah mengabulkan permintaannya yang penuh dengan air mata! Dan Agustinus adalah pewaris Monika, darinya ia telah menerima benih kegelisahan itu. Ini, kemudian, merupakan kegelisahan kasih: yang tak henti-hentinya mencari kebaikan dari yang lain, dari yang dikasihinya, yang tanpa pernah berhenti dan dengan intensitas yang menuntun bahkan sampai mengeluarkan air mata. Lalu saya berpikir tentang Yesus yang menangis di makam sahabat-Nya, Lazarus; tentang Petrus yang, setelah menyangkal Yesus, menjumpai tatapan-Nya penuh belas kasihan dan kasih, menangis getir, dan tentang ayah yang menantikan di teras akan kedatangan kembali puteranya dan ketika ia sudah melihat dia yang masih jauh berjalan untuk menemuinya; Perawan Maria terlintas dalam pikiran dengan penuh kasih yang mengikuti Putranya Yesus bahkan ke kayu Salib. Apakah kita merasakan kegelisahan kasih itu? Apakah kita percaya pada kasih bagi Allah dan bagi orang lain? Atau kita tidak peduli dengan hal ini? Bukan dengan cara yang abstrak, tidak hanya dalam kata-kata, tetapi sebagai seorang saudara yang nyata kepada mereka yang kita temui, saudara yang berada di samping kita! Apakah kita digerakkan oleh kebutuhan-kebutuhan mereka atau kita tetap tertutup pada diri kita sendiri, dalam komunitas-komunitas kita yang seringnya adalah “komunitas-komunitas yang berguna” bagi kita? Pada saat kita bisa hidup dalam sebuah gedung tanpa mengenal tetangga sebelah kita; atau kita bisa berada dalam sebuah komunitas tanpa benar-benar mengenali saudara kita sendiri: Saya berpikir sedih dengan orang-orang yang dikonsekrasikan itu yang adalah “perjaka-perjaka tua” yang tidak subur. Kegelisahan kasih selalu sebuah insentif [dorongan semangat] untuk pergi ke arah lain, tanpa menunggu yang lain untuk mewujudkan kebutuhannya. Kegelisahan kasih memberi kita karunia produktivitas pastoral, dan kita harus bertanya kepada diri kita sendiri, masing-masing dari kita: apakah kesuburan rohaniku sehat, apakah kerasulanku subur?

Mari kita mohon Tuhan untuk kalian, para Agustinian terkasih yang sedang memulai Sidang Umum kalian, dan untuk semua dari kita, agar Dia tetap menghidupi dalam hati kita kegelisahan yang rohani yang mendorong kita untuk mencari Dia selalu, kegelisahan untuk mewartakan Dia dengan berani, kegelisahan kasih bagi setiap saudara dan saudari. Maka jadilah itu.
(AR)

Paus Fransiskus,
Basilika St Agustinus, Campo Marzio, Roma, 28 Agustus 2013

Diterjemahkan dari: www.vatican.va

Menjadikan Saat Menanti Saat yang Berarti

0

[Hari Minggu Paskah ke VII: Kis 1:12-14; Mzm 27:1-13; 1Ptr 4:13-16; Yoh 17:1-11]

Ada banyak orang yang tidak senang menunggu, karena beranggapan bahwa menunggu itu membosankan. Maka kita sering melihat, bahwa dalam jalur antrian yang panjang, umumnya orang mulai gelisah. Ada yang sibuk memainkan Hp, entah mengirim SMS, bermain game atau, orang yang beruntung mengantri bersama teman, akan menggunakan waktu untuk mengobrol. Tapi biasanya, kalau ditanya, sepertinya orang lebih suka, kalau bisa tidak usah menunggu, langsung mendapat apa yang diharapkan. Namun bacaan- bacaan Kitab Suci pada hari Minggu ini mengingatkan kita untuk menghargai saat-saat menunggu. Sebab menantikan kedatangan janji Tuhan adalah saat-saat yang memberkati.

Bacaan pertama mengisahkan bagaimana para rasul dan para murid Yesus lainnya, termasuk Bunda Maria, tekun berdoa menantikan turunnya Roh Kudus yang dijanjikan oleh Tuhan Yesus. Dikatakan bahwa mereka ‘sehati dalam doa bersama-sama’ (Kis 1:14). Tuhan menghendaki agar kita berdoa, mengarahkan hati dan pikiran kita kepada Tuhan, saat kita menantikan penggenapan janji-Nya. Doa menantikan Roh Kudus inilah yang menjadi cikal bakal tradisi doa novena sembilan hari berturut-turut yang sampai sekarang tetap dipertahankan dalam Gereja Katolik. Menjelang hari Pentakosta, mari kita mengambil bagian dalam doa bersama- sama Gereja, yang menantikan datang-Nya Roh Kudus. Dengan memperingati hari Pentakosta, Gereja menantikan turunnya Roh Kudus secara baru atas kita anggota-anggotanya, sebagaimana dahulu Roh Kudus turun atas para murid Kristus.

Dalam bacaan kedua, Rasul Paulus mengingatkan kita akan arti yang lebih luas dari masa penantian, yaitu kehidupan kita di dunia ini. Rasul Paulus mengingatkan agar kita tidak lekas menjadi tawar hati dalam menjalani kehidupan kita di dunia ini, terutama jika kita mengalami penderitaan maupun berbagai kesulitan untuk melaksanakan perintah Tuhan. Terhadap semua pergumulan ini, Rasul Paulus mengajarkan kepada kita agar mempunyai pengharapan yang teguh, bahwa jika kita setia kepada-Nya, maka kelak kita akan digabungkan dalam kemuliaan-Nya. “Bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya” (1Ptr 4:13). Di sini kita diingatkan, bahwa mengikuti Yesus tidak identik dengan terbebas dari kesulitan dan penderitaan. Sebaliknya, justru kita harus bersuka cita, jika Tuhan mengizinkan kita mengalami penderitaan, sebab jika kita menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus, maka kita kelak dapat mengambil bagian dalam sukacita kemuliaan-Nya. Di dalam Dia, dukacita akan diubah menjadi sukacita (lih. Yoh 16:20).

Selanjutnya dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus mengajarkan kita akan makna hidup kekal yang dijanjikan oleh-Nya. Yaitu, pengenalan akan Allah, sebagai satu-satunya Allah yang benar, dan pengenalan akan Yesus Kristus yang telah diutus-Nya (lih. Yoh 17:3). Jika demikianlah arti hidup kekal, maka bukankah kita perlu bertumbuh dalam pengenalan kita akan Allah? Sebab jangan sampai pengenalan kita akan Dia hanya sebatas di kepala, tetapi belum sampai turun ke hati. Sebab pengenalan akan Allah yang benar dan akan Kristus yang diutus-Nya, membawa kita kepada iman dan pengharapan akan hidup yang kekal, dan kepada kasih yang menyempurnakan. Kristus memahami perjuangan kita untuk mempertahankan iman, harapan dan kasih, maka Ia mendoakan kita semua yang telah percaya kepada-Nya. Kristus menyebut kita semua yang percaya kepada-Nya sebagai milik-Nya, dan karena itu kita semua adalah milik Allah (lih. Yoh 17:9-10). Betapa seharusnya kita bersyukur akan penyertaan Tuhan Yesus ini, yang setia mendampingi kita dan menjadikan kita milik-Nya, agar kita dapat mengambil bagian dalam kemuliaan- Nya!

Maka agar saat menanti dapat menjadi saat yang berarti, mari kita mengingat ketiga hal ini: yaitu, berdoalah,  berharaplah, dan bertumbuhlah dalam pengenalan akan Allah.  Saat menantikan Roh Kudus, namun juga di sepanjang hidup kita, saat kita menantikan penggenapan janji Tuhan, mari kita menujukan mata hati kita kepada-Nya.

Aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm 27:13-14)

Kutemukan Cinta-Nya Membebaskanku Dari Kenikmatan Semu

0

Pengantar dari editor:

Di masa muda yang penuh dengan gejolak perubahan, Gerard Martin Thema terseret dalam pergaulan anak muda pengguna narkotika dan obat terlarang. Terima kasih Gerard untuk keberanian, kasih, dan keterbukaan Gerard menceritakan pengalaman masa lalu yang mencekam ini, supaya orang lain dapat belajar dari kesalahan Gerard dan dengan rasa percaya diri yang sama, terdorong untuk mengandalkan Tuhan semata dan menemukan kekuatan sejati di dalam Dia yang Maha Memelihara. Supaya akhirnya kita dimampukan untuk memilih apa yang membawa kepada kehidupan yang berkelimpahan yang Dia rancang sejak semula untuk anak-anak-Nya. Kini Gerard merasa rindu dan siap untuk membantu sesama yang mengalami masalah yang sama, syukur kepada Tuhan. Semoga kisahnya ini menjadi suluh yang menerangi kaum muda untuk menyadari konsekuensi penggunaan narkoba dan mampu memilih yang benar demi masa depan yang penuh harapan dan kebaikan di dalam Tuhan.

Nama saya Gerard, umur saya saat ini 32 tahun dan sekarang saya bekerja sebagai seorang Konsultan Rekrutmen di perusahaan yang saya dirikan bersama rekan kerja.

Saya seorang mantan pecandu narkoba. Suatu pernyataan yang selama 10 tahun terakhir saya sembunyikan dari lingkungan dan keluarga saya sendiri. Tetapi saat ini berkaca pada hidup saya, saya memutuskan untuk tidak malu menyatakan hal tersebut kembali.

Lebih spesifik, saya adalah mantan pengguna dan pecandu narkoba jenis ekstasi dan ganja. Saya juga beberapa kali menggunakan shabu tetapi memang tidak sampai pada tahap pecandu. Berkenalan dengan ekstasi dimulai pada tahun 1996 ketika saya memasuki masa SMA di salah satu SMA Katolik di Jakarta. Saat itu saya merupakan lulusan SMP yang minder dan tertutup. Saya juga tidak mempunyai banyak teman karena saya senantiasa merasa minder. Saat itu selepas SMP saya sangat ingin mempunyai banyak teman dan sangat ingin masuk ke dalam suatu “geng” untuk merasa dapat “dihargai” oleh lingkungan saya. Saat itu saya sedang mencari jati diri saya.

Saat saya mencari lingkungan pergaulan baru, saya berkenalan dengan beberapa teman yang merupakan pengguna. Melihat teman-teman saya yang merupakan “tokoh” yang disegani di lingkungan sekolah, maka saya sangat tertarik untuk masuk ke dalam “geng” mereka dengan konsekuensi saya harus menjadi pemakai “Inex” atau “Ekstasi”.

Teman-teman baru saya merupakan anak “diskotik” di mana setiap malam Minggu kami selalu pergi ke salah satu diskotik di bilangan Mangga Dua. Di sanalah saya berkenalan dengan dunia narkoba.

Dosis mulai dari seperempat, lanjut ke setengah, sampai dua pil untuk “on” menjadikan saya menjadi pengguna reguler ekstasi. Mulai dari jenis Pink Lady, Blue Ocean, atau jenis lainnya dalam ekstasi membuat kehidupan saya berantakan. Setiap Senin pada hari pertama sekolah setiap minggunya saya sudah memikirkan “on” di hari selain hari Sabtu malam. Setiap Sabtu malam/malam Minggu saya selalu menghabiskan sekitar 8-10 jam di diskotik dengan mengkonsumsi ekstasi. Pernah beberapa kali saya sampai keluar diskotik pada jam 9 pagi yang kalau ditotal saya menghabiskan waktu 14 jam di diskotik tersebut. Es batu, menthol, dan minuman berenergi menjadi teman saya dalam mengkonsumsi ekstasi untuk memaksimalkan “on”. Biasa satu dosis ekstasi akan bertahan sekitar 3-4 jam yang berarti saya bisa menghabiskan 5 pil ekstasi dalam satu malam.

Hidup saya berantakan, saya mulai banyak membolos sekolah, saya mulai banyak mencuri barang milik orangtua di rumah. Saya sampai menggadaikan perhiasan ibu saya untuk mendapatkan uang yang saya habiskan di diskotik. Berat badan saya turun drastis dan selama dua tahun yang saya pikirkan adalah ekstasi dan ekstasi.

Situasi puncak dari kondisi saya adalah saat saya membolos sekolah selama 30 hari berturut-turut tanpa pemberitahuan. Saat itu orang tua saya ditelpon oleh pihak sekolah menanyakan diri saya dan mereka dipanggil ke sekolah untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Saya masih ingat saat itu saya diwajibkan untuk melakukan pengecekan urine tetapi saya berhasil lolos tes urine tersebut karena saya menukar urine saya dengan urine teman yang bukan pengguna.

Meskipun lolos dari tes urine, sekolah tetap memutuskan untuk menskors saya selama satu tahun ajaran. Suatu pukulan untuk saya dan keluarga. Saya masih ingat keluarga saya dikucilkan oleh keluarga besar. Orang tua saya dianggap tidak bisa membesarkan anaknya dengan baik. Saya masih ingat saat itu papa mama saya hampir setiap minggu bertengkar mengenai saya. Sesuatu yang mendorong tumbuhnya kesadaran dalam diri saya.

Saya sangat bersyukur memiliki orangtua yang menyayangi saya. Saat itu mereka dengan sabar mendampingi saya dan menanyakan apa yang saya inginkan untuk masa depan. Tetapi mereka tidak mau kalau saya pindah sekolah. Menurut orang tua saya, apa yang sudah saya mulai harus saya selesaikan juga. Bagi mereka, kalau saya keluar dari SMU tersebut atas kehendak saya maka saya tidak bisa bersekolah di tempat lain. Beruntung pihak sekolah mau menerima saya kembali setelah 9 bulan tidak bersekolah dengan konsekuensi saya harus mengulang kelas 2 SMU saya lagi.

Saat itu saya rasakan dukungan orangtua yang besar yang membuat saya berubah. Selain itu ketidakhadiran teman-teman pengguna karena saya diskors membuat saya punya banyak waktu merenung. Ditambah ayah saya yang melarang saya keluar rumah di malam hari karena saya tidak bersekolah membuat suatu perubahan positif di dalam kehidupan saya.

Saya berhasil lulus SMU dengan 4 tahun masa belajar. Sesuatu yang saya syukuri karena saya bisa menyelesaikan sekolah menengah saya. Dukungan dan cinta kasih yang saya rasakan dari orangtua merupakan anugerah terindah untuk memotivasi saya keluar dari masa kelam saya.

Selepas masa SMU saya memutuskan untuk mencari lingkungan baru dan aktif dalam berbagai kegiatan di universitas dan juga Gereja. Kalau banyak orang beranggapan bahwa masa-masa di SMU merupakan masa terindah mereka, bagi saya masa di universitaslah yang merupakan masa terindah saya karena di universitas saya dapat mengaktualisasikan diri tanpa narkoba.

Saya berhasil keluar dari jeratan narkoba tidak dengan rehab. Saya berhasil keluar karena adanya cinta kasih yang besar dari kedua orangtua. Mereka pun tidak tahu bahwa saya adalah pengguna narkoba. Tetapi di saat saya mulai jatuh lebih dalam ke dalam dunia narkoba, Tuhan menyelamatkan saya dengan cara yang sakit di awal yaitu skors dan hukuman sosial yang menyadarkan saya bahwa Cinta Kasih Tuhan lebih besar dari segalanya.

Saya merasa bersyukur bahwa saya bisa keluar dari jeratan narkoba karena saya mendengar ada dua orang teman yang meninggal akibat over dosis. Teman “geng” yang tidak bisa menyelamatkan dirinya.

Saat ini sudah kurang lebih 15 tahun saya tidak mengkonsumsi narkoba. Sesuatu hal yang baru saya dapatkan yaitu Tuhan sangat sayang kepada saya. Selepas universitas saya berkenalan dengan World Youth Day di mana saya aktif di acara tersebut sampai sekarang.

Narkoba sangat menyesatkan. Enak di awal mengkonsumsi, tetapi menjadi setan bagi masa depan. Saya sangat percaya dukungan cinta kasih dan perhatian menjadi obat paling manjur untuk pengguna. Dukungan doa dan juga komunitas mantan pengguna juga sangat bermanfaat bagi mereka. Oleh karena itu saya siap untuk membantu mereka dan semoga kisah ini menjadi makna positif bagi para pengguna.

Oleh Gerard Martin Thema
Kisah ini juga telah dimuat dalam buletin KELUARGA, terbitan Komisi Keluarga KWI, edisi I / Januari 2014, hlm 27-31.

DOA
Tuhan Bapa di Surga, sepanjang jalan hidupku Engkau telah selalu mengawalku dengan kasih setia-Mu. Sekalipun aku sudah memilih jalanku sendiri dan terjatuh dalam kegelapan, Engkau tidak pernah melepaskan tanganku, Engkau tetap bersamaku. Di saat aku memutuskan untuk menggapai kembali cahaya hidupku, tangan-tanganMu yang kuat segera menopangku dan memulihkan hidupku. Terima kasih Bapa atas kasih setia-Mu. Bimbinglah aku dalam Roh Kudus-Mu bersama teladan pengorbanan Tuhan Yesus Kristus Putera-Mu dan doa Bunda Maria, untuk meneguhkan saudara-saudaraku kaum muda dan khususnya mereka yang mengalami pergumulan yang sama, supaya mereka pun menemukan cahaya mereka lagi dan hidup dalam kelimpahan sebagaimana Engkau rancang bagi kami sejak semula. Amin.

St Paulus dan Setan

2

Kebun dan taman biara ini luas banget!! Di sekeliling kapel, ada padang rumput dan bunga-bunga yang warna-warni. Di bagian belakang biara, ada kebun yang penuh dengan berbagai tanaman, mulai dari pepohonan yang nggak bisa dimakan sampai sayur-sayuran yang siap dipanen demi keselamatan perut para penghuni biara. Kebun dan taman juga pemandangan segar buat mata, terutama waktu pagi. Permasalahannya adalah: kebun dan taman yang lebih luas = pekerjaan tangan yang lebih banyak dan berat!

Pekerjaan yang paling simpel adalah mencabuti rumput liar yang tumbuh, entah di sekitar tanaman atau di sekitar paving stone untuk berjalan dan jogging. Waktu musim kemarau sih agak enteng karena rumput & ilalang nggak begitu banyak. Setelah dicabut, beberapa hari baru mulai tumbuh lagi. Tapi, sekarang sedang musim hujan. Para tanaman mulai jingkrak-jingkrak, termasuk rerumputan liar itu. Mereka tumbuh berjamaah dengan kecepatan tinggi. Setelah hari ini kerja tangan cabutin rumput, eh.. besok mereka datang lagi sama teman-teman se-provinsi. Capek dehh..

Kadang, rasanya aku sedang melakukan pekerjaan percuma. Habisnya, kondisi kebun rasanya sudah tidak tertolong. Terlalu banyak tanaman liar yang menjajah kebun. Lebih gampang dibakar saja supaya tanaman liar itu habis semuanya. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, nanti terong-terong nikmat dan kangkung-kangkung yang cantik bisa ikut terbakar. Kalau terbakar habis, nanti makan pecel dan sambelnya pakai apa dong? Wah, sedih juga ya. Terpaksa, aku kembali jongkok dan mencabuti rerumputan yang mengganggu itu dengan tangan.

Kalau dipikir-pikir, kebun itu kadang-kadang mirip aku ya, tidak tertolong karena dosa yang bertimbun. Dosa-dosa itu datang seperti anjing-anjing biara yang tekun membongkar tong sampah dan nambahin kerjaan sie kebersihan, atau rerumputan liar yang mewabah di kebun di musim hujan. Malah, kayaknya punyaku sudah jadi hutan belantara. Kalau Tuhan nanti nggak tahan lagi sama aku, bisa jadi aku dibakar habis, kayak rencana kejamku terhadap rerumputan liar tadi. Tapi, Ia memang panjang sabar dan penuh kerahiman. “Buluh yang terkulai tidak akan dipatahkannya, sumbu yang pudar takkan dipadamkannya” (Yes 42.3). Diriku yang terjangkit parah oleh “rerumputan liar dosa” tidak dibakar habis olehNya.

Ven. Fulton J. Sheen pernah bilang kalau kemampuan orang menjadi jahat berbanding lurus dengan kemampuannya menjadi baik. Orang yang luar biasa jahat berpotensi menjadi seseorang yang luar biasa baik jika ia bertobat. Orang yang luar biasa baik juga berpotensi menjadi luar biasa jahat jika dia berbalik dari Allah. Contohnya, ya St. Paulus dan Setan. Awalnya, St. Paulus dengan begitu luar biasa kejam memburu dan membunuh umat Kristiani. Setelah bertobat, beliau menjadi salah satu rasul dan pewarta Injil yang luar biasa bersemangat. Bahkan, St. Paulus menghadapi kemartirannya dengan berani di Roma. Begitu juga St. Agustinus dari Hippo, seorang Bapa Gereja yang dulunya seorang bidat dan kumpul kebo dengan wanita. Setelah bertobat, ia menjadi Uskup dan Pujangga Gereja yang kudus dan penuh karya.

Hidup mereka adalah sinar harapan sekaligus peringatan buat aku. Mereka menunjukkan kalau aku, yang parah dan tampak tidak tertolong ini, memiliki kesempatan menjadi orang kudus yang membanggakan bagi Yesus. Kalau aku bertobat terus menerus dan bekerjasama dengan Yesus membabati belantara dosaku dengan tekun, aku akan bisa mendirikan puri batin yang sangat indah untuk Allah. Bagi Allah, tiada yang mustahil.

Tapi, aku harus tetap rendah hati dan waspada. Setan dulunya adalah malaikat yang sangat indah dan mulia. Karena pilihannya adalah berbalik dari Allah, ia jatuh dan berubah menjadi begitu jahat. Begitu parah. Begitu pula aku. Jika aku berbalik dari Allah, belantara dosa ini akan terus bertumbuh dan menutupi semuanya hingga menjadi gelap gulita. Di belakang seorang kudus, ada masa lalu sebagai seorang pendosa. Di depan seorang pendosa, ada harapan menjadi orang kudus di masa depan.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab