Home Blog Page 75

Hidupku, Rosarioku

0

Selama bulan Maria ini, aku bersama anggota biara melakukan Doa Rosario bersama setiap Selasa dan Jumat. Biasanya, aku mendaraskan doa dengan menggunakan untaian kalung Rosario. Namun, di beberapa kesempatan, aku mencoba memakai kedua tanganku sambil mengikuti doa. Tangan kiri untuk menghitung peristiwa, sedangkan tangan kanan untuk dasa Salam Maria. Selebihnya, sudah diingat-ingat dalam kepala.

Setelah mencoba kedua cara yang berbeda, aku menemukan sesuatu. Ada perbedaan menarik antara menggunakan tangan dengan menggunakan untaian Rosario. Mungkin, karena aku telah lama terbiasa dengan kalung, mendoakan Doa Rosario dengan tangan memberikan sensasi baru. Aku lebih terjaga dalam mengikuti setiap peristiwa dan Salam Maria karena selalu siaga mengingat doa dan bagian apa yang selanjutnya didoakan.

Akan tetapi, menggunakan tangan dalam doa ini juga mengajarkan padaku sesuatu yang lain. Aku tidak menggunakan sebuah kalung untuk berdoa, melainkan tubuhku sendiri. Tubuhku adalah alat untuk mendoakan Rosario. Dengan kata lain, akulah Rosario yang sedang aku doakan. Doa Rosario memang sering diidentikkan dengan kalung Rosario. Akan tetapi, aku memutuskan untuk membaktikan hidupku sebagai pendoa. Oleh sebab itu, setiap doa harus menyatu dengan hidupku, termasuk Doa Rosario. Aku harus menjadi Rosario yang hidup, dan doa Rosario harus menjadi hidup dalam diriku.

Seperti doa Rosario, hidupku dimulai dari salib Kristus, ketika aku mengenal dan mengenakan nama Allah Tritunggal Mahakudus melalui Pembaptisan. Aku menjadi ciptaan baru, ciptaan hari ke-8 yang hidup dari pengakuan iman akan Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Seiring jalannya doa Rosario menyusuri Misteri-misteri hidup Kristus, hidupku juga harus melukiskan hidup dan pelayanan Kristus. Sebagaimana Kristus menjalani kehidupan secara utuh, mulai dari Kegembiraan hingga Sengsara, hingga mencapai Terang dan Mulia, aku juga harus bersama Kristus dalam suka dan duka. Aku tidak boleh lari dari penderitaan bersama Yesus yang memurnikan diriku, atau melupakan Yesus ketika kegembiraan datang dengan berlimpah. Sebagaimana Salam Maria didaraskan sepanjang renungan akan Peristiwa-peristiwa hidup Yesus, aku juga hidup mengikuti Yesus bersama Bunda Maria. Aku belajar tentang kesetiaan darinya, berdoa bersamanya, menderita bersamanya, dan menemani Yesus sepanjang jalan hingga akhir hayatnya. Seperti akhir Doa Rosario kembali pada salib Kristus, hidupku bermula dari Kristus dan akan kembali kepada Kristus.

Rosario tidak terbatas pada kalung, tidak juga pada kata-kata yang diulang-ulang. Rosario adalah tentang bagaimana hidupku berjalan mengikuti Yesus bersama Bunda Maria. Paling tidak, aku harus belajar setia seperti Bunda Maria yang setia menemani Yesus hingga puncak Golgota, ketika semua orang lain meninggalkan-Nya. Apabila aku tidak mampu membuat gulali raksasa yang spektakuler, paling tidak aku bisa mempersembahkan manisan-manisan kecil, seperti butiran-butiran kecil manik kalung Rosario. Hidupku adalah Rosarioku.

“Rosario adalah sebuah sekolah untuk mempelajari kesempurnaan Kristen yang sejati” – St. Paus Yohanes XXIII

Doa Novena kepada St Filomena

5

Kami memohon kepadaMu ya Tuhan, untuk mengaruniakan pengampunan atas dosa-dosa kami, melalui perantaraan Sang Santa, perawan dan martir, yang senantiasa berkenan di hadapan-Mu karena kemurniannya yang begitu dihormati dan karena setiap kebaikannya. Amin.

Perawan dan martir yang sangat dihormati, Santa Filomena, pandanglah aku yang bersujud di depan tahta di mana Allah Tritunggal Yang Maha Kudus telah berkenan menempatkanmu. Dengan penuh keyakinan akan perlindunganmu, aku memohon dengan sangat kepadamu untuk menghantarkan doaku kepada Tuhan, dari ketinggian Surga sudilah mengarahkan pandanganmu kepadaku yang hina ini.

Mempelai Kristus, kuatkanlah aku dalam penderitaan, bentengilah aku dalam pencobaan, lindungilah aku dari bahaya-bahaya yang mengelilingku, perolehkanlah bagiku rahmat-rahmat yang kuperlukan, dan khususnya……(sebutkanlah permohonan Anda)….

Di atas semuanya, dampingilah aku di saat ajalku. Santa Filomena, penuh kekuatan bersama Allah, doakanlah kami, amin.

Oh Allah, Tritunggal Maha Kudus, kami mengucapkan syukur kepadaMu untuk rahmat-rahmat yang telah Kau curahkan kepada Perawan Maria Yang Terberkati, dan kepada karya tangan-Mu, Filomena, yang melalui mereka, kami memohonkan belas kasihan-Mu. Amin.

Diterjemahkan secara bebas dari sumber: https://www.ewtn.com/Devotionals/novena/philomena.htm

Apakah arti Paskah, Kematian atau Kebangkitan ?

3

Ada sejumlah orang mempertanyakan apakah arti Paska. Mereka berargumen bahwa Paska artinya adalah kematian dan bukan kebangkitan, dan Paska yang diartikan kebangkitan itu adalah produk Konstantin di tahun 300-an. Benarkah argumen ini?

Berikut ini kami mengambil informasi, yang disarikan dari buku yang berjudul Ancient Israel, karangan Roland de Vaux, vol. 2, (First McGraw-Hill Paperback Edition, 1965), p. 488-493:

Paska, atau Passover dalam bahasa Inggris, berasal dari kata Ibrani, Pesah. Kitab Suci menghubungkan kata itu dengan akar kata psh, yang artinya ‘timpang/ melangkahi/ melewati’ (lih. 2 Sam 4:4),  1Raj 18:21). Dalam tulah terakhir kepada bangsa Mesir, Allah melangkahi/ melewati rumah-rumah yang melakukan persyaratan Paska (Kel 12:13,23,27).

Memang ada teori lain yang menghubungkan kata pesah tersebut dengan kata Akkadian, pashahu, artinya, mendamaikan/ menenangkan. Tetapi kalau dilihat dalam konteks Paska Yahudi, arti ini tidak/ belum ada. Ada juga teori modern yang lain yang menghubungkan dengan pesah dengan kata bahasa Mesir, yang kalau diartikan adalah ‘sebuah pukulan’, sebagaimana memang bangsa Mesir seolah dipukul oleh tulah dari Allah (lih. Kel 11:1, 12:12,13,23,27,29). Namun argumen ini tidaklah kuat, karena sulitlah diterima bahwa bangsa Israel dapat memberikan istilah dari bahasa Mesir, suatu kebiasaan yang menjadi tradisi bangsa mereka sendiri (Yahudi), apalagi tradisi tersebut adalah tradisi yang menentang bangsa Mesir, yaitu pada saat mereka memperingati bebasnya mereka dari bangsa Mesir….

Di luar asal usul kata, bagi bangsa Israel, nampaknya perayaan pesah, awalnya dirayakan oleh para gembala, yang mengurbankan hewan muda mereka, dengan harapan mereka agar kawanan hewan gembalaan bertumbuh subur. Perayaan pesah ini kemudian digabungkan dengan satu perayaan lain, yaitu perayaan Roti tidak beragi, sebuah perayaan agrikultur/ pertanian yang baru mulai dirayakan setelah bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan. Perayaan ini dikaitkan dengan perhitungan minggu, dan dilakukan selama seminggu (Kel 23:15; 34:18), dari satu Sabat ke Sabat berikutnya (Kel 12:16, Ul 16:8; Im 23:6-8). Perayaan panen, ditetapkan pada tujuh minggu setelah perayaan Roti tidak beragi (Im 23:15; Ul 16:9).

Kemudian kedua perayaan tersebut, Paska dan Roti tidak beragi, yang sama-sama dirayakan di musim semi, digabungkan menjadi satu. Perayaan Paska yang sudah ditetapkan pada bulan purnama, tidak diubah, dan perayaan Roti tidak beragi disertakan pada perayaan tersebut, dan untuk dirayakan selama 7 hari (lih. Im 23:5-8). Tradisi kitab-kitab Musa (Pentateukh) menghubungkan perayaan Roti tidak beragi (Kel 23:15; 34:18; Ul 16:3) atau Paska (Ul 16:1 dan 6), atau baik Paska dan Roti tidak beragi (Kel 12:12-39), dengan dibebaskannya bangsa Israel dari Mesir. Kedua ritus kedua perayaan tersebut digabungkan dalam kisah Eksodus bangsa Israel.

Maka walau kedua perayaan itu sudah ada sebelum bangsa Israel lahir sebagai bangsa, namun ada suatu saat, di mana Tuhan meng-intervensi, yaitu saat Ia membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, dan ini menandai terbentuknya israel sebagai satu bangsa sebagai bangsa pilihan Allah. Proses pembebasan ini mencapai puncaknya saat mereka masuk ke Tanah Terjanji. Kedua perayaan tersebut, Paska dan perayaan Roti tidak beragi, memperingati kejadian ini, sehingga inilah yang juga dirayakan sampai kepada zaman Kristus dan para Rasul.

Dengan menyadari bahwa peringatan Paska Yahudi dan perayaan Roti Tidak beragi berlangsung selama 7 hari, kita melihat bahwa kejadian sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus memang terjadi di sekitar jangka waktu perayaan tersebut. Kebangkitan Tuhan Yesus yang terjadi di hari pertama minggu, artinya setelah hari Sabat berakhir, menjadi puncak penggenapan kedua perayaan tersebut dan menyempurnakan maknanya.

Menjawab pertanyaan di atas, Paska/ Pesah tidak berarti kematian, melainkan ‘melangkahi/ melewati’, dalam hal ini konteksnya adalah Allah melangkahi (rumah-rumah umat-Nya yang ditandai dengan darah kurban anak domba) untuk menghantar mereka mencapai Tanah Terjanji. Maka arti kata ‘melangkahi/ melewati’ ini selalu tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan keadaan berikut yang dituju oleh proses melangkahi/ melewati. Dengan berpegang kepada arti ini, tak mengherankan jika kemudian Gereja menghubungkan perayaan Paska ini dengan perayaan Kebangkitan Yesus Sang Anak Domba Allah; sebab melalui kebangkitan Kristus atas kematian-lah, kita umat-Nya dapat dihantar kepada kehidupan kekal di Tanah Terjanji yang sesungguhnya yaitu Surga. Para Rasul kemudian menyebut hari kebangkitan Yesus ini, yang jatuh pada hari Minggu, sebagai Hari Tuhan.

Maka penetapan hari Minggu sebagai hari Tuhan itu sudah ditetapkan sejak Gereja perdana, dan bukan baru ditetapkan di zaman Kaisar Konstantin. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik. Sedangkan bahwa perkataan ‘Paska’ memang mengacu kepada kebangkitan Kristus yang tak terpisahkan dari sengsara dan wafat-Nya, itu memang benar, sehingga Gereja menghubungkan misteri Paska dengan sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga, sebagaimana pernah diulas di artikel ini, silakan klik.

Jadi perayaan Paska sebagai hari Kebangkitan Kristus dan penyebutan hari Minggu sebagai Hari Tuhan (the Lord’s day), itu sudah dirayakan oleh Gereja sejak abad awal. Pelopor yang mempromosikan kembali perayaan Sabat dan bukan hari Minggu, adalah kedua pendiri sekte Anabaptist, yaitu Andreas Fisher dan Oswald Glait di tahun 1527, yang kemudian juga dilakukan oleh penganut Seventh- day Adventists sejak tahun 1844. Namun Gereja Katolik, dan sebagian besar gereja-gereja non-Katolik, tetap berpegang kepada apa yang telah dilaksanakan oleh Gereja selama berabad-abad sejak awal (sebagaimana dikatakan oleh St. Yustinus Martir (100-165), yang dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik), yaitu merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu, untuk memperingati hari kebangkitan Kristus- yaitu hari Paska, yang jatuh pada hari Minggu.

KGK 2174     Yesus telah bangkit dari antara orang mati pada “hari pertama minggu itu” (Mat 28:1; Mrk 16:2; Luk 24:1; Yoh 20:1). Sebagai “hari pertama”, hari kebangkitan Kristus mengingatkan kita akan penciptaan pertama. Sebagai “hari kedelapan” sesudah hari Sabat (Bdk. Mrk 16:1; Mat 28:1), ia menunjuk kepada ciptaan baru yang datang dengan kebangkitan Kristus. Bagi warga Kristen, ia telah menjadi hari segala hari, pesta segala pesta, “hari Tuhan” [he kyriake hemera, dies dominica], “hari Minggu”.
“Pada hari Minggu kami semua berkumpul, karena itulah hari pertama, padanya Allah telah menarik zat perdana dari kegelapan dan telah menciptakan dunia, dan karena Yesus Kristus Penebus kita telah bangkit dari antara orang mati pada hari ini” (St. Yustinus, Apol. 1,67).

Atas dasar logika, bahwa kesaksian yang lebih dapat dipercaya adalah kesaksian dari orang-orang yang lebih dekat kepada kejadian yang terjadi, daripada perkiraan orang-orang yang terpisah sekian abad dari kejadian tersebut; maka kita dapat menyimpulkan bahwa ajaran Gereja Katolik jauh lebih dapat dipercaya daripada klaim sejumlah orang di abad akhir ini. Sebab dari catatan para Bapa Gereja abad awal, telah diketahui bahwa Paska dihubungkan dengan kebangkitan Kristus (walaupun tanpa dipisahkan dari sengsara dan kematian-Nya) dan dirayakan setiap hari Minggu. Kesaksian para Bapa Gereja ini jauh lebih kuat daripada wahyu pribadi sejumlah orang di abad -abad ini yang tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya, ataupun prediksi sejumlah orang di abad-abad ini, yang biar bagaimanapun terpisah jauh dari pemahaman yang lengkap dan sesuai dengan keadaan sesungguhnya di abad pertama.

Sudahkah Api Roh Kudus Mengobarkan Hatiku?

1

[Hari Raya Pentakosta: Kis 2:1-11; Mzm  104:1-34; 1Kor 12:3-13; Yoh 20:19-23]

Orang muda mungkin menghubungkan api dengan asmara, koki menghubungkan api dengan masakan, dan tukang emas menghubungkan api dengan emas murni. Api memang mempunyai sifat yang panas, mengobarkan, memurnikan. Tak mengherankan, bahwa dalam Kitab Suci, api sering digunakan untuk menggambarkan kasih, yang menerangi, menembus segala sesuatu dan memurnikan segala sesuatu. Dalam bacaan pertama Minggu ini, Roh Kudus digambarkan sebagai lidah-lidah api, yang turun disertai dengan tiupan angin keras (lih. Kis 2:2-3). Ini menggambarkan kasih Allah yang turun dengan nyala yang berkobar dan kekuatan, untuk menembus setiap jiwa dan memberikan kehidupan. Pentakosta tidak lagi dimaknai hanya sebagai perayaan panen, atau peringatan saat diberikannya hukum Sepuluh Perintah Allah di Gunung Sinai yang dirayakan 50 hari setelah Paska. Sebab bagi Gereja, panen yang sesungguhnya terjadi ketika Roh Kudus turun atas para Rasul dan para murid Kristus, termasuk kita semua, untuk memimpin kita kepada kehidupan yang berbuah kasih dan sukacita ilahi.

Maka turunnya Roh Kudus di hari Pentakosta, bukanlah hanya merupakan kejadian yang berdiri sendiri yang tidak ada pengaruhnya dalam kehidupan Gereja. Sebaliknya, Roh Kudus tetap turun, untuk menerangi dan menguduskan Gereja sepanjang masa. Seperti api, Roh Kudus menerangi sehingga kebenaran ajaran Kristus menjadi semakin nyata bagi kita. Yesus bersabda, “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran…. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” (Yoh 16:13-14)  Roh Kudus itulah yang akan mengingatkan kita tentang segala yang telah diajarkan oleh Kristus (lih. Yoh 14:26) dan yang akan membimbing kita kepada pengertian yang penuh akan kebenaran ajaran-Nya itu. Sudah selayaknya, kita yang terbatas dalam banyak hal, termasuk dalam pemahaman akan ajaran Kristus, memohon kepada-Nya, agar Roh Kudus-Nya dapat membimbing kita. Sebab pemahaman akan ajaran-Nya akan membantu kita semakin mengasihi Dia. Pepatah, ‘Tak kenal maka tak sayang’ kini mendapat rumusan yang baru: ‘Semakin kenal, semakin sayang’. Ya, dengan semakin mengenali Dia, dan mengenali apa yang diajarkan-Nya, kita akan semakin rindu untuk melakukan kehendak-Nya. Bukankah ini yang terlebih dulu dialami oleh para Rasul di hari Pentakosta? Roh Kudus yang turun atas mereka (lih. Kis 2:4) memberikan pengertian akan segala ajaran Tuhan Yesus; dan ini mengobarkan kasih dan semangat mereka untuk menjadi saksi-saksi iman yang berani ke seluruh dunia, bahkan sampai rela menyerahkan nyawa mereka untuk mewartakan Kristus.

Di bacaan kedua, kita diingatkan bahwa segala karunia pernyataan Roh Kudus diberikan Allah untuk kepentingan bersama (lih. 1Kor 12:7), dan terutama adalah untuk mempersatukan. Sungguh, kita perlu meresapkan kebenaran ini, yang kerap dilupakan, atau diabaikan. Sebab kasih sejati, pertama-tama bukan berarti perasaan yang meluap-luap, tetapi kesediaan untuk mempertahankan kesatuan. Bukankah ini nyata dalam  keluarga, dan secara khusus dalam kasih suami istri? Maka menjadi tantangan bagi kita, jika kita sungguh diperbaharui oleh Roh Kudus dan dikobarkan oleh-Nya: sejauh mana kita menjadi orang-orang yang mengusahakan kesatuan kasih? Mari kita membangun keluarga, Gereja dan masyarakat kita, dengan semangat kasih yang mempersatukan ini.

Akhirnya, jangan dilupakan bahwa api Roh Kudus itu bersifat memurnikan. Artinya, orang yang dipenuhi Roh Kudus itu seharusnya menjadi semakin peka akan dosa- dosa, dan semakin berusaha menghindarinya. Namun demikian, kerap terjadi, betapapun dihindari, kita tetap jatuh di dalam kelemahan dan dosa. Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus memberitahukan kepada kita kehendak-Nya, akan apa yang harus kita lakukan, jika kita jatuh dalam dosa. Yaitu agar kita dapat mengakui dosa-dosa kita di hadapan para penerus Rasul, yang kepada mereka Tuhan Yesus telah memberikan Roh Kudus-Nya, sehingga mereka dapat melepaskan kita dari dosa-dosa kita (lih. Yoh 20:21-23).  Jika demikian kehendak Tuhan Yesus, sudahkah kita melaksanakannya?

Hari ini adalah saatnya menyanyikan madah ini, “Ya, Roh Kudus, kunjungi umat-Mu, kobarkan api kasihnya…. Curahkanlah karunia sapta-Mu, sudi terangi hatinya….”  Namun selanjutnya, mari kita periksa batin kita: sudahkah kita siap untuk ‘dikobarkan’ oleh api kasih Tuhan? Maukah kita semakin mengenali ajaran-Nya, menjadi saksi-Nya,  mengusahakan kesatuan dan semakin menghindari dosa? O, Roh Kudus, datanglah dan ubahlah hatiku, meskipun aku belum siap sepenuhnya!

Tentang Pencucian kaki pada Kamis Putih

1

Belakangan ini ada banyak orang bertanya, mengapa dalam dua tahun ini, di perayaan Ekaristi hari Kamis Putih, Paus melakukan hal yang di luar kebiasaan: tahun lalu Paus membasuh kaki 12 orang penghuni penjara remaja, di antaranya 2 orang remaja putri, dan salah satunya bahkan non-Katolik. Lalu tahun ini, Paus juga membasuh kaki 12 orang di panti jompo dan cacat, beberapa di antaranya non-Katolik dan seorang wanita.

Lalu orang bertanya, apakah sebenarnya Paus boleh melakukan hal itu, adakah ketentuannya?

Untuk membahas tentang hal ini, pertama- tama perlu kita sadari terlebih dahulu bahwa kunjungan ke penjara dan ke panti jompo merupakan perbuatan yang baik dan diajarkan oleh Tuhan Yesus (lih. Mat 25:36-40). Maka di sini Paus nampaknya ingin menekankan misinya sebagai pelayan dan pembawa Kabar Gembira kepada segala bangsa. Namun tidak bisa dipungkiri, tindakan ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Beberapa pertanyaan dan pembahasan di bawah ini, kami sarikan dari beberapa sumber, yaitu dari penjelasan apologist Katolik, Jimmy Akin, yang selengkapnya dapat dibaca di link ini, silakan klik, dan juga dari sumber lainnya, yaitu penjelasan ayat-ayat tentang pembasuhan kaki :

1. Apakah yang dikatakan dalam dokumen Gereja tentang pencucian kaki?

Terdapat dua dokumen kunci yang menyebutkan tentang pencucian kaki, demikian:

1. Dokumen yang menuliskan ketentuan perayaan yang terkait dengan Paskah, yang disebut Paschales Solemnitatis, yang dikeluarkan oleh Congregation of Divine Worship (Kongregasi Penyembahan Ilahi), 1988:

“51. Pencucian kaki dari para laki-laki dewasa yang terpilih, menurut tradisi, dilakukan pada hari ini [Kamis Putih], untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, yang telah datang “bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani.” 
Tradisi ini harus dipertahankan, dan pentingnya maknanya dijelaskan secara sepantasnya.”

2. Dokumen Roman Missal/ Missale Romawi:

10. Setelah Homili, ketika alasan pastoral menyarankan, pencucian kaki dilangsungkan.

Para laki-laki dewasa yang telah dipilih, diarahkan oleh para pelayan untuk duduk di kursi yang telah dipersiapkan di tempat yang layak. Lalu Imam (menanggalkan kasula jika perlu) mendatangi satu persatu, dan dengan bantuan para pelayan, menuangkan air kepada setiap kaki mereka dan mengeringkannya.

Sementara itu sejumlah antifon berikut ini atau lagu-lagu lain yang sesuai dinyanyikan. […]

13. Setelah Pencucian Kaki, Imam mencuci dan mengeringkan tangannya, mengenakan kasulanya kembali dan kembali ke kursinya dan ia melanjutkan dengan Doa Umat.

Maka di sini dapat dilihat bahwa:

1. Teks memang mengatakan bahwa yang dibasuh/ dicuci kakinya adalah laki-laki. Istilah Latin yang digunakan adalah “viri“, yang artinya adalah laki-laki dewasa.

2. Ritus ini adalah optional , bukan keharusan melainkan disarankan (ketika alasan pastoral menyarankan).

3. Tidak disebutkan berapa banyak jumlah orang yang dicuci kakinya. Tidak dikatakan harus 12 orang. 

4. Antifon yang disertakan di sana tidak menyebutkan “rasul”. Antifon tersebut menggunakan istilah yang lebih umum, yaitu “murid”, atau kalau tidak, tidak menyebutkan istilah apapun, hanya menunjukkan teladan Yesus untuk kita ataupun perintah-Nya untuk mengasihi satu sama lain.

2. Bagaimana keputusan Paus Fransiskus terkait dengan dokumen ini?

Keputusan Paus Fransiskus dalam hal ini memang tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh teks dokumen. Dalam kunjungannya ke penjara remaja, Paus memutuskan untuk tidak membasuh laki-laki dewasa, namun remaja putra dan termasuk dua orang remaja putri. Namun fakta bahwa salah satu dari mereka adalah muslim, tidak bersangkutan dengan teks, sebab teks tidak menyebutkan apakah yang dibasuh kakinya harus Katolik. Adalah wajar jika orang menyimpulkan bahwa yang dibasuh kakinya semestinya Katolik, namun secara eksplisit memang tidak disebutkan. 

Juga, dari point 1, kita ketahui bahwa hal pembasuhan kaki bukanlah merupakan bagian yang mutlak harus ada dalam liturgi perayaan Kamis Putih. Dikatakan di sana, adalah bilamana/ ketika alasan pastoral menyarankan (“where a pastoral reason suggest it“). Nampaknya, Paus Fransiskus memutuskan untuk melakukannya dengan cara yang berbeda dari para Paus pendahulunya, demi menyampaikan maksud pastoral untuk menjangkau kaum muda yang tersisih di penjara dan juga kaum manula, tanpa membeda-bedakan agamanya. Pada akhirnya Paus, sebagai wakil Kristus, berhak untuk menginterpretasikan teks dokumen ketentuan Gereja, sesuai dengan maksud utamanya.

3. Apakah Paus melakukan hal itu karena mengembalikan tradisi “Mandatum Pauperam?”

Gereja abad-abad awal telah mempunyai kebiasaan membasuh kaki pada perayaan Kamis Putih. Caremoniale episcoporum (ii, 24) menyerahkan kepada Uskup keputusan untuk membasuh kaki 13 orang miskin -yang kemudian dikenal sebagai tradisi Mandatum Pauperam– atau membasuh 13 orang yang ada di bawah kepemimpinannya, menurut kebiasaan Gereja setempat yang dipimpinnya. Tahun 694 di Sinoda Toledo semua uskup dan imam superior diharuskan melakukan pembasuhan kaki, orang-orang yang ada di bawah kepemimpinan mereka. Di abad ke-12, dimulai kebiasaan membasuh kaki 12 orang sub-diakon (Mandatum Fratrum) oleh Paus dalam perayaan Misa yang dipimpinnya, dan kemudian Paus membasuh kaki 13 orang miskin (Mandatum Frateram) setelah makan malam. Nampaknya di zaman itu terdapat dua jenis pembasuhan kaki pada hari Kamis Putih tersebut, untuk penjabaran selanjutnya, silakan klik di link ini.

Mungkinkah tradisi membasuh kaki kaum miskin/ tersisih ini yang ingin dilakukan oleh Paus? Mungkin saja. Hanya saja karena Paus memasukkan upacara pembasuhan kaki kaum tersisih ini ke dalam liturgi Kamis Putih, maka banyak orang mempertanyakannya. Namun di sini kita melihat secara obyektif, bahwa hal mencuci kaki para kaum tersisih itu bukan ide Paus yang baru ada saat ini. Hal itu sudah dilakukan sejak lama, hanya saja, dulu memang tidak dilakukan di dalam perayaan Ekaristi.

4. Jika Paus melakukan hal yang melampaui apa yang dikatakan oleh Missale Romawi, apakah boleh?

Ya, boleh saja. Paus tidak butuh meminta izin untuk membuat kekecualian tentang bagaimana suatu ketentuan gerejawi itu dipenuhi. Sebab Paus adalah pembuat hukum Gereja, maka ia merangkap sebagai legislator, interpreter dan executor/ pelaksana hukum tersebut, yang dapat memutuskan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan pertimbangan kebijaksanaannya sendiri untuk menyampaikan pesan utama Injil, sesuai dengan keadaan Gereja pada saat tertentu.

Juru bicara kepausan, Fr. Thomas Rosica, mengatakan bahwa maksud Paus Fransiskus merayakan Misa Kamis Putih di penjara Roma (tahun 2013) adalah untuk menekankan esensi makna Injil di hari Kamis Putih, dan suatu tanda sederhana dan indah dari seorang bapa yang ingin merangkul semua yang terpinggirkan di masyarakat…. Itu hendaknya dipandang sebagai tanda sederhana dan spontan dari seorang Uskup Roma, untuk maksud menunjukkan kasih, pengampunan dan belas kasih.

Adalah hak Paus untuk memutuskan sesuai dengan keadaan Gereja di Roma, bagaimana ia hendak menyampaikan maksud utama pesan Injil di hari Kamis Putih tersebut.

5. Kalau Paus dapat melakukan hal itu, dapatkah imam yang lain melakukannya?

Secara teknis, tidak. Jika seorang Paus menilai bahwa sesuai dengan keadaan khusus dari perayaan yang dipimpinnya maka sebuah kekecualian dibuat, namun hal itu tidak menciptakan pola hukum yang memperbolehkan semua Uskup dan imam yang lain untuk melakukan hal yang sama. 

Sebab tidak semua orang memiliki keadaan seperti Paus. Mereka tidak mempunyai keadaan pastoral dan otoritas hukum yang sama dengan Paus, maka wewenang merekapun berbeda dengan wewenang Paus dalam hal ini. 

6. Bagaimana kita memahami ritus ini?

Umumnya orang berpandangan bahwa ritus pembasuhan kaki berhubungan dengan peringatan Yesus membasuh kaki ke-12 murid-Nya, dan karena itu, disebutkan sebagai alasan mengapa yang dibasuh kakinya adalah hanya laki-laki. Namun teks dokumen di atas (lihat no.1) memang tidak menyebutkan angka 12 orang. Kisah pencucian kaki diambil dari Injil Yohanes dan di perikop itu disebutkan istilah “murid-murid” dan bukan “rasul-rasul”, namun kalau Injil tersebut dibaca dalam kesatuan dengan ketiga Injil lainnya, dapat dimengerti bahwa peristiwa pembasuhan kaki pada saat Perjamuan Terakhir itu, memang dilakukan Yesus dengan ke 12 rasul-Nya. Sebab Injil Matius dan Markus menyebut bahwa di Perjamuan Terakhir itu Yesus makan bersama dengan ke-12 murid-Nya (lih. Mat 26:20; Mrk 14:17); dan Injil Lukas menyebutkan bahwa Yesus makan bersama dengan rasul-rasul-Nya (lih. Luk 22:14). Namun adalah fakta bahwa Yohanes memilih kata “murid-murid”, bukan “rasul-rasul” untuk mengisahkan peristiwa pembasuhan kaki dalam Injilnya; dan memang hanya Injil Yohanes yang mengisahkan tentang pembasuhan kaki ini. Maka kemudian Gereja melestarikannya upacara pembasuhan kaki untuk maksud yang lebih luas, dan tidak terbatas kepada para rasul. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, ada pembasuhan kaki juga dilakukan kepada sejumlah kaum miskin. Bahkan upacara ini dilestarikan juga di zaman Abad Pertengahan oleh para raja dan ratu Katolik -seperti yang dilakukan oleh para Raja Inggris  dan Ratu Isabella II dari Spanyol ((Lih. Thurston, Herbert, Lent and Holy Week (London: Longmans, Green, 1856-1939). p. 306-307))- yang mencuci kaki para bawahannya/ para kaum miskin di kerajaan mereka. Namun tentu tidak pada saat perayaan Misa kudus.

Dengan demikian, nampaknya pembasuhan kaki memang memiliki arti yang lebih luas daripada mandat Kristus kepada para Rasul untuk mengenangkan peristiwa kurban Tubuh dan Darah Kristus dengan mengucap syukur/ berkat, memecah-mecah roti dan membagi-bagikan roti tersebut, yang terjadi oleh perkataan konsekrasi dalam perayaan Ekaristi. Sebab untuk hal yang kedua ini, Injil jelas menyebutkan “keduabelas murid” atau “rasul-rasul”, dan dengan demikian, meng-institusikan Ekaristi kepada kedua belas Rasul-Nya, yang kemudian diteruskan oleh mereka kepada para penerus mereka, yaitu para Uskup dan imam melalui tahbisan. Kepada merekalah Tuhan Yesus memberikan kuasa untuk menghadirkan kembali kurban Tubuh dan Darah-Nya (lih. Luk. 22:19).

Sedangkan tentang pembasuhan kaki penekanannya tidak untuk menghadirkan kembali peristiwa itu, tetapi untuk memberikan teladan pelayanan dan kasih Kristus.

Maka tak mengherankan, jika Paschale Solemnitatis kemudian mengatakan:

“51. Pencucian kaki dari para laki-laki dewasa yang terpilih, menurut tradisi, dilakukan pada hari ini [Kamis Putih], untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, yang telah datang “bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani.” 
Tradisi ini harus dipertahankan, dan pentingnya maknanya dijelaskan secara sepantasnya.”

Karena maksud pencucian kaki ini adalah untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, maka tidak ada kaitan langsung antara upacara pembasuhan kaki ini dengan tahbisan imam. Maka sekalipun dari 12 orang yang dibasuh oleh Paus itu ada wanitanya, tidak dapat dikatakan bahwa Paus setuju untuk menahbiskan wanita. Ketika ditanya perihal tahbisan wanita, Paus Fransiskus menjawab, “Sehubungan dengan tahbisan wanita, Gereja telah memutuskan dan mengatakan tidak. Paus Yohanes Paulus II telah mengatakan demikian, dengan rumusan yang definitif. Pintu itu sudah tertutup.” Paus Fransiskus mengacu kepada dokumen yang dituliskan oleh Paus Yohanes Paulus II, Ordinatio Sacerdotalis. Di sana Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa Gereja tidak berhak menahbiskan wanita, dan pandangan ini harus dipegang oleh semua, sebagai sesuatu yang definitif.

7. Kesimpulan

Pada akhirnya baik diingat bahwa ritus pembasuhan kaki adalah ritus optional, dan baru dimasukkan ke dalam bagian Misa pada tahun 1955 oleh Paus Pius XII. Maka walaupun memiliki sejarah yang panjang, namun detail pelaksanaannya memang mengalami perubahan dari masa ke masa. Namun karena tidak menjadi ritus yang mutlak, maka hal tersebut memungkinkan untuk disesuaikan oleh pihak Tahta Suci, jika kelak memang diputuskan demikian.

Jika hal pencucian kaki ini menimbulkan banyak pertanyaan baik dari kalangan umat maupun imam, tentunya ini akan ditanyakan kepada Kongregasi Penyembahan Ilahi, yang berwewenang untuk menjelaskannya lebih lanjut. Namun sejauh ini, sepanjang pengetahuan kami, belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Kongregasi tersebut, selain dari ketentuan Paschales Solemnitatis, 51, seperti telah disebutkan di atas. Maka sebelum dikeluarkan penjelasan lebih lanjut, sebaiknya kita berpegang kepada ketentuan tersebut, namun tetap menghormati keputusan Paus yang pasti mempunyai pertimbangan tersendiri, jika ia memutuskan untuk melakukan kekecualian ataupun penyesuaian dari ketentuan itu.

Surat Gembala KWI Menyambut Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, 9 Juli 2014

1

PILIHLAH SECARA BERTANGGUNGJAWAB, BERLANDASKAN SUARA HATI

Segenap Umat Katolik Indonesia yang terkasih,

Kita bersyukur karena salah satu tahap penting dalam Pemilihan Umum 2014 yaitu pemilihan anggota legislatif telah selesai dengan aman. Kita akan memasuki tahap berikutnya yang sangat penting dan menentukan perjalanan bangsa kita ke depan. Pada tanggal 9 Juli 2014 kita akan kembali memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin bangsa kita selama lima tahun ke depan. Marilah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini kita jadikan kesempatan untuk memperkokoh bangunan demokrasi serta sarana bagi kita untuk ambil bagian dalam membangun dan mengembangkan negeri tercinta kita agar menjadi damai dan sejahtera sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa kita.

Ke depan bangsa kita akan menghadapi tantangan-tantangan berat yang harus diatasi di bawah kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang baru, misalnya masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Masalah dan tantangan lain yang tidak kalah penting adalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, kerusakan lingkungan hidup dan upaya untuk mengembangkan sikap toleran, inklusif dan plural demi terciptanya suasana rukun dan damai dalam masyarakat. Tantangan-tantangan yang berat ini harus diatasi dengan sekuat tenaga dan tanpa henti. Kita semua berharap semoga di bawah kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang akan terpilih, bangsa Indonesia mampu menghadapi, mengatasi, dan menyelesaikan masalah-masalah itu.

Kami mendorong agar pada saat pemilihan mendatang umat memilih sosok yang mempunyai integritas moral. Kita perlu mengetahui rekam jejak para calon Presiden dan Wakil Presiden, khususnya mengamati apakah mereka sungguh-sungguh mempunyai watak pemimpin yang melayani dan yang memperjuangkan nilai-nilai sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja: menghormati kehidupan dan martabat manusia, memperjuangkan kebaikan bersama, mendorong dan menghayati semangat solidaritas dan subsidiaritas serta memberi perhatian lebih kepada warga negara yang kurang beruntung. Kita sungguh mengharapkan pemimpin yang gigih memelihara, mempertahankan, dan mengamalkan Pancasila. Oleh karena itu kenalilah sungguh-sungguh para calon sebelum menjatuhkan pilihan.

Agar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bisa berjalan dengan langsung, umum, bebas dan rahasia serta berkualitas, kita harus mau terlibat. Oleh karena itu kalau saudara dan saudari memiliki kesempatan dan kemampuan, sungguh mulia jika Anda bersedia ikut menjaga agar tidak terjadi kecurangan pada tahap-tahap pemilihan. Hal ini perlu kita lakukan melulu sebagai wujud tanggungjawab kita, bukan karena tidak percaya kepada kinerja penyelenggara Pemilu.

Kami juga menghimbau agar umat Katolik yang terlibat dalam kampanye mengusahakan agar kampanye berjalan dengan santun dan beretika, tidak menggunakan kampanye hitam dan tidak menggunakan isu-isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Khususnya kami berharap agar media massa menjalankan jurnalisme damai dan berimbang. Pemberitaan media massa hendaknya mendukung terciptanya damai, kerukunan serta persaudaraan, mencerdaskan, dan tidak melakukan penyesatan terhadap publik, sebaliknya menjadi corong kebaikan dan kebenaran.

Marilah kita berupaya sungguh-sungguh untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan dengan hati dan pikiran yang jernih. Konferensi Waligereja Indonesia menyerukan agar saudara-saudari menggunakan hak untuk memilih dan jangan tidak ikut memilih. Hendaknya pilihan Anda tidak dipengaruhi oleh uang atau imbalan-imbalan lainnya. Sikap demikian merupakan perwujudan ajaran Gereja yang menyatakan, “Hendaknya semua warga negara menyadari hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum” (Gaudium et Spes 75).

Pada akhirnya, marilah kita dukung dan kita berikan loyalitas kita kepada siapa pun yang akan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014 – 2019. Segala perbedaan pendapat dan pilihan politik, hendaknya berhenti saat Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada bulan Oktober 2014. Kita menempatkan diri sebagai warga negara yang baik, menjadi seratus prosen Katolik dan seratus prosen Indonesia, karena kita adalah bagian sepenuhnya dari bangsa kita, yang ingin menyatu dalam kegembiraan dan harapan, dalam keprihatinan dan kecemasan bangsa kita (bdk. Gaudium et Spes 1).

Marilah kita mengiringi proses pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan memohon berkat dari Tuhan, agar semua berlangsung dengan damai serta berkualitas dan dengan demikian terpilihlah pemimpin yang tepat bagi bangsa Indonesia. Semoga Bunda Maria, Ibu segala bangsa, senantiasa melindungi bangsa dan negara kita dengan doa-doanya.

Jakarta,
26 Mei 2014

P R E S I D I U M
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA,

Mgr. Ignatius Suharyo
K e t u a
Mgr. Johanes Pujasumarta
Sekretaris Jenderal

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab