Home Blog Page 73

Hasilnya Tergantung dari Tanahnya

0

[Hari Minggu Biasa XV: Yes 55:10-11; Mzm 65:10-14; Rm 8:18-23; Mat13:1-23]

Di hari-hari belakangan ini ramai diberitakan tentang perbedaan hasil penghitungan suara Pemilu, tergantung dari lembaga survey apa yang dijadikan sebagai rujukan. Nampaknya di sini ada faktor manusia yang tidak dapat diabaikan, sehingga, walaupun hal yang diamati sama, namun kesimpulannya bisa berbeda. Bacaan Injil hari ini juga mengisahkan bagaimana dari penabur yang sama dan benih yang sama, dapat dihasilkan hasil yang berbeda. Koq bisa? Sebab benih itu ditaburkan pada jenis tanah yang berbeda-beda. Jika Sang Penabur itu menggambarkan Allah sendiri dan benih itu adalah Sabda-Nya, maka berbagai jenis tanah menggambarkan berbagai jenis keadaan hati manusia yang menerima Sabda-Nya itu. Kini tinggal kita memeriksa diri, apakah hati kita menyerupai pinggir jalan, tanah yang berbatu, tanah yang bersemak duri, atau tanah yang subur?

Walaupun kita berharap menjadi seperti tanah yang subur, namun jangan dilupakan, bahwa tidak tertutup kemungkinan bahwa adakalanya hati kita dapat menjadi seperti jalan yang keras. Benih itu jatuh atasnya, namun dalam sekejap langsung dimakan burung dan lenyaplah sudah. Ini seumpama benih firman Tuhan yang jatuh di hati yang keras, yang acuh, suam-suam kuku dan angkuh. Benih firman yang kita terima dapat saja tidak menghasilkan apa-apa, jika kita mengeraskan hati, acuh tak acuh dan tidak mau merenungkan firman-Nya, terutama jika firman itu menegur kita. Dengan demikian firman Allah yang telah ditaburkan itu tidak menghasilkan apapun dalam hidup kita maupun hidup orang lain di sekitar kita.

Dapat pula terjadi, hati kita menjadi seumpama tanah yang berbatu-batu yang menerima benih itu, yang segera tumbuh, namun karena tanahnya tipis, maka benih itu tak dapat berakar kuat sehingga lekas mati. Demikian pula kita, jika iman kita hanya di permukaan saja, yang mengharapkan segala kemudahan di dalam hidup. Datangnya kesulitan dan ujian hidup dapat membuat kita tidak mampu bertahan, ataupun tak mau berjuang keras dan berkorban demi melaksanakan ajaran iman. St. Yohanes Salib juga menghubungkan keadaan ini dengan keadaan jiwa yang malas untuk mencari Tuhan. Padahal kalau kita benar-benar mencintai Tuhan, kita akan dengan sungguh-sungguh melakukan bagian kita untuk menemukan Dia dalam segala sesuatu yang kita alami dalam hidup ini. Betapa kita perlu memohon kepada Tuhan, agar kita diberi semangat dan hati yang tekun mencari Dia dengan kerinduan dan cinta!

Keadaan ketiga, yang tanpa kita sadari juga dapat memiliki keserupaan dengan hati kita, adalah keadaan tanah yang bersemak duri. St. Yohanes Salib mengingatkan kita bahwa hati kita akan menjadi seperti ini, jika kita mudah kuatir karena memikirkan kekayaan dan hal-hal duniawi lainnya (lih. Spiritual Canticle, 3,1). Sebab walaupun kekayaan adalah sesuatu yang netral, namun jika kita terikat kepadanya, dan menganggapnya sebagai yang terpenting dalam hidup ini, maka hal itu dapat membutakan mata hati kita akan apa yang sebenarnya dikehendaki Tuhan dalam hidup ini. Maka firman Tuhan mengingatkan agar kita tidak menjadi orang yang cinta akan uang, haus kekuasaan dan pujian dari orang lain. Sebab semua ini dapat menghimpit kita, dan menjadi penghalang bagi Tuhan untuk bertahta dalam hati kita.

Akhirnya, baiklah kita sadari bahwa setiap kita sesungguhnya telah menerima rahmat Tuhan yang memampukan kita untuk menjadi seumpama tanah yang subur. Allah mengasihi kita sehingga tidak akan membiarkan kita menjadi seperti tanah yang gersang yang tak mungkin dapat ditanami. Rahmat-Nya tak pernah gagal untuk menjadikan kita bagai tanah yang subur. Selanjutnya, St. Yohanes Krisostomus berkata, “Tanahnya subur, penaburnya sama dan benihnya juga sama. Namun demikian, mengapa ada bagian tanah yang menghasilkan seratus kali lipat, enampuluh maupun tiga puluh kali lipat? Perbedaannya tergantung kepada orang yang menerimanya, sebab meskipun tanahnya baik, tetap ada perbedaan hasilnya antara bidang tanah yang satu dengan yang lain. Masalahnya bukan pada penaburnya ataupun benihnya, tetapi kepada bidang tanah yang menerima benih itu. Ini bukan hasil dari sifat alamiah, tetapi dari sikap batin dan kehendak hati tiap-tiap orang.” (Sermon, 101,3). Hai jiwaku, tanah apakah yang menjadi gambaranmu saat ini?

Ya Tuhan, kumohon, jadikanlah hatiku seperti tanah yang subur bagi benih firman-Mu, dan mampukanlah aku untuk menghasilkan buah bagi kemuliaan-Mu.

Apakah inti dari dokumen Anglicanorum coetibus?

21

Berikut ini adalah ringkasan Konstitusi Apostolik Anglicanorum coetibus

Menyediakan wadah Personal Ordinariates bagi umat Anglikan yang ingin bersatu kembali dengan Gereja Katolik

Berdasarkan keinginan dari kelompok-kelompok Anglikan yang ingin bergabung kembali dengan Gereja Katolik, maka Tahta Apostolik menanggapi permohonan ini dengan gembira. Paus sebagai penerus rasul Petrus dalam hal ini menjalankan mandat yang diberikan oleh Kristus untuk menjamin persatuan keuskupan dan Gereja-gereja.

Gereja didirikan Kristus sebagai “sebuah sakramen- tanda dan alat persekutuan antara Tuhan dan kesatuan semua umat manusia.” (Lumen Gentium 1) Setiap perpecahan yang terjadi di antara umat beriman yang dibaptis dalam Kristus melukai Gereja, bertentangan dengan kehendak Yesus, menjadi skandal bagi dunia dan merusak pewartaan Injil kepada semua umat manusia. Untuk inilah Kristus, sebelum sengsara-Nya, berdoa kepada Allah Bapa demi persatuan para pengikut-Nya (Yoh 17: 20-21)

Roh Kudus mewujudkan Gereja sebagai persekutuan (Communion), dengan prinsip pemersatunya adalah pemecahan roti dan doa (Kis 2:42). Gereja sebagai analogi dari Sabda yang menjelma merupakan sesuatu yang tidak kelihatan dan kelihatan. Maka realitas Gereja sebagai Gereja di dunia dan Gereja yang dikaruniai dengan harta surgawi tidak dapat dianggap sebagai dua realitas yang berbeda, melainkan sebagai satu kesatuan, yaitu Gereja mempunyai dimensi manusiawi dan ilahi. Persekutuan dari umat yang dibaptis di dalam pengajaran para rasul dan pemecahan roti Ekaristi dinyatakan dengan pengakuan iman yang sama, perayaan semua sakramen yang diinstitusikan oleh Kristus dan yang dipimpin oleh Kolose Uskup dalam kesatuan dengan Paus di Roma.

Gereja Kristus yang satu ini, yang kita akui sebagai satu, kudus, katolik dan apostolik ini “adalah Gereja Katolik, dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan dengan Uskup-uskup dalam persekutuan dengannya…..” (Lumen Gentium 8)

Dengan prinsip-prinsip ekklesiologi ini, maka Konstitusi apostolik ini menetapkan struktur umum normatif bagi institue dan kehidupan Ordinariat Personal bagi umat Anglikan yang ingin bergabung dengan Gereja Katolik:

I.

1. Congregation for the Doctrine of the Faith (CDF) mendirikan Ordinariat Personal bagi umat Anglikan yang dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, di dalam batas-batas teritori Konferensi Uskup.

2. Dalam satu teritori tersebut, satu atau lebih Ordinariat dapat dibentuk sesuai kebutuhan.

3. Setiap Ordinariat mempunyai badan yuridis publik (ipso iure), seperti pada keuskupan.

4. Ordinariat terdiri dari kaum awam, kaum klerik dan anggota dari Tarekat Hidup Bhakti (Institutes of Consecrated life) dan Kelompok Kehidupan Apostolik yang berasal dari komunitas Anglikan yang bergabung sepenuhnya dalam Gereja Katolik, atau mereka yang menerima sakramen inisiasi di dalam yurisdiksi Ordinariat.

5. Katekismus Gereja Katolik adalah ekspresi iman Katolik yang diakui oleh para anggota Ordinariat.

II.
Ordinariat Personal ini dipimpin oleh norma-norma hukum universal dan Konstitusi Apostolik dan tunduk di bawah CDF dan diskateri Roman Kuria, juga diatur oleh Norma-norma Komplementer dan norma-norma yang spesifik lainnya.

III.
Ordinariat mempunyai kemampuan hak/ faculty untuk merayakan Ekaristi Kudus dan sakramen-sakramen lainnya, Ibadat Harian dan perayaan-perayaan liturgis lainnya sesuai dengan tradisi Anglikan yang telah disetujui oleh Tahta Suci, untuk menjaga tradisi liturgis, spiritual dan pastoral dari gereja Anglikan yang dalam persekutuan dengan Gereja Katolik, sebagai karunia bersama.

IV.
Sebuah Ordinariat Personal dipercayakan kepada pelayanan pastoral sebuah Ordinaris yang ditunjuk oleh Paus.

V.
Kuasa/ hak Ordinaris adalah:
a. Ordinary: oleh hukum terkait dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya oleh Paus, baik untuk forum internal dan eksternal.
b. Vicarious: dilakukan di dalam nama Paus
c. Personal: dilakukan atas mereka yang menjadi bagian dari Ordinariat.

Kuasa ini dilakukan dengan kuasa Keuskupan lokal, yang tertera dalam norma-norma Komplementer.

VI.
1. Mereka yang melayani sebagai para diakon, imam, atau uskup- uskup Anglikan dan yang memenuhi persyaratan hukum kanonik dan tidak terhambat oleh halangan-halangan irregular, dapat diterima oleh Ordinaris sebagai para kandidat/ calon tertahbis dalam Gereja Katolik. Pada kasus imam-imam yang menikah, maka yang berlaku adalah norma-norma dalam Surat Ensiklik Paus Paulus VI Sacerdotalis coelibatus, n.42 dan pernyataan di bulan Juni (lih. AAS 59 (1967) 674). Sedangkan pelayan yang tidak menikah, harus menaati hukum selibat KHK (Kitab Hukum Kanonik) kan. 277, 1.

2. Ordinaris, sesuasi dengan disiplin Gereja Latin hanya akan menerima para pria selibat untuk menjadi presbiter/ imam. Pihak Ordinaris dapat memohon pada Paus, untuk penerimaan pria yang telah menikah menjadi imam atas dasar kasus per kasus, sesuai dengan kriteria obyektif yang disetujui oleh Tahta Suci.

3. Inkardinasi para klerik diatus sesuai norma-norma KHK.

4. Para imam yang di-incardinate (ditempatkan) di dalam sebuat Ordinariat, berada dalam kesatuan dengan Keuskupan. Mereka harus memajukan kegiatan pastoral dan kegiatan pelayanan kasih sesuai perjanjian atara Ordinaris dan Uskup.

5. Para calon terbaptis dalam Ordinariat harus dipersiapkan terutama dalam hal pengajaran doktrinal dan pastoral.

VII.
1. Ordinaris dengan persetujuan Tahta suci dapat mendirikan Tarekat Hidup Bhakti dan Kelompok Kehidupan Apostolik, sesuai norma-norma dalam KHK. Tarekat Hidup Bhakti yang berasal dapat ditempatkan di bawah yurisdiksi Ordinaris, dengan persetujuan kedua belah pihak.

VIII.
1. Ordinaris, setelah mendengar pendapat Uskup dan persetujuan dari Tahta Suci, dapat mendirikan paroki-paroki bagi umat beriman yang dalam kuasa Ordinariat.

2. Para gembala Ordinariat mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan KHK, ataupun norma-norma Komplementer yang ditentukan.

IX.
Baik umat awam maupun anggota Tarekat Hidup Bhakti dan Kelompok Kehidupan Apostolik, yang berasal dari komunitas Anglikan yang ingin bergabung dengan Ordinariat Personal harus menyatakan keinginannya secara tertulis.

X.
1. Ordinaris dibantu dalam pengaturannya dengan Dewan Kepemimpinan dengan ketentuan yang disetujui oleh Ordinaris dan dikonfirmasi oleh Tahta Suci.

2. Dewan Kepemimpinan yang ada di atas Ordinaris ini terdiri atas 6 orang imam. Konsili ini menjalankan tugasnya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Norma-norma Komplementer.

3. Ordinaris mendirikan Dewan Keuangan sesuai dengan norma-norma KHK.

4. Untuk melayani umat, Dewan Pastoral juga didirikan di Ordinariat.

XI.
Setiap 5 tahun Ordinaris disyaratkan untuk mengunjungi Roma, untuk menghadap dan mempresentasikan kepada Paus melalui CDF, dan berkonsultasi Kongregasi Uskup dan Kongegrasi Evangelisasi Bangsa-bangsa, sebuah laporan tentang status dari Ordinariat.

XII.
Untuk kasus-kasus hukum, tribunal yang kompeten adalah tribunal Keuskupan di mana pihak yang bersangkupan berdomisili, kecuali jika Ordinariat itu telah membentuk tribunalnya sendiri, dan telah disetujui oleh Tahta Suci.

XIII.
Dekrit yang mendirikan sebuah Ordinariat akan menentukan lokasi dari daerahnya, dan jika diperlukan, gereja utamanya.

Konstitusi Apostolik ini diberikan di Roma, 4 November, 2009, pada hari peringatan St. Carolus Borromeus.

Demikian yang dapat kami tuliskan tentang Konstitusi Apostolik ini, yang mengatur penggabungan umat Anglikan yang ingin bergabung sepenuhnya dengan Gereja Katolik. Terlihat di sini bahwa Paus Benediktus XVI dengan bijaksana merangkul kembali umat Anglikan untuk bersatu kembali dengan Gereja Katolik, dengan membentuk wadah Ordinariat di bawah kekuasaan Keuskupan. Ordinariat ini diperbolehkan untuk tetap mempertahankan tradisi mereka dengan persetujuan Tahta suci, namun harus mengikuti ajaran doktrinal dan pastoral Gereja Katolik seperti yang tertera dalam Katekismus Gereja Katolik.

Salah satu hal yang cukup menarik adalah adanya imam-imam yang menikah, dan untuk hal ini akan dilihat kasus per kasus oleh pihak Tahta Suci. Namun yang jelas, seperti diberitakan di berita Vatikan, jika sampai diperbolehkan pada kasus tertentu, namun itu tetap bukan norma umum. Juga, pada level uskup, yang dipilih tetap dari kalangan imam yang tidak menikah/ selibat. Dan untuk masa ke depannya, semua kadidat/ calon imam yang diterima juga oleh Ordinaris juga adalah para pria yang setuju untuk hidup selibat. Maka ‘penyesuaian’ yang terjadi adalah di masa-masa peralihan ini saja, di mana memang saat ini dalam komunitas Anglikan terdapat imam yang menikah, namun selanjutnya norma yang berlaku adalah yang diterapkan dalam Gereja Katolik.

Semoga uraian di atas dapat menjawab pertanyaan anda. Mari mensyukuri fakta kembalinya komunitas Anglikan ke pangkuan Gereja Katolik. Semoga suatu saat nanti Gereja sungguh bisa bersatu seperti yang didoakan oleh Kristus dalam Yoh 17:20-21.

Menanggung Beban dengan Suka Cita, Mungkinkah?

0

[Hari Minggu Biasa XIV: Za 9:9-10; Mzm 145:1-14; Rm 8:9,11-13; Mat 11:25-30]

Banyak sekali orang yang kulihat di mall, mungkin karena sedang masa libur anak-anak sekolah. Ada banyak penjual membuka stand di sana sini, berusaha menarik perhatian pengunjung dengan berbagai harga promosi. Entah kenapa, mataku tertuju pada stand yang menjual alat-alat olah raga, dan di sana ada poster dan TV yang menunjukkan orang memainkan barbel yang dapat digetarkan, untuk membentuk otot tangan yang kuat. Sang pramujual langsung menyapa, “Boleh, silakan mampir dan mencoba…. Bagus lhoini, kak, untuk membakar lemak, membuat tangan jadi kuat dan berotot….” Aku tidak membelinya, namun pikiranku melayang jauh….

Demikianlah, mungkin tak sulit bagi kita untuk menghubungkan kegunaan latihan angkat beban untuk menjadikan otot tangan dan tubuh jasmani kita menjadi lebih kuat. Maka tak heran ada banyak orang yang mau bersusah-susah melakukan angkat beban, entah di rumah, ataupun di fitness center. Namun nampaknya lebih sulit untuk melihat kaitan antara beban kehidupan dengan jiwa rohani kita. Umumnya, tak ada orang senang memikul beban hidup, dan kalau bisa menghindarinya jauh-jauh. Tapi kenyataannya, biarpun kita berusaha menghindarinya, dan tidak pernah memintanya, beban hidup itu datang sendiri kepada kita, entah karena keadaan yang tak terduga ataupun karena keputusan kita sendiri. Pergumulan hidup seperti tak pernah reda dalam kehidupan kita. Sejak kita kecil, memasuki bangku sekolah, kuliah, bekerja, berumah tangga, dan masa tua, semua menyediakan beban dan kesulitannya sendiri-sendiri. Kita mengalami bagaimana hari-hari harus dilalui dengan kerja keras tanpa boleh gampang menyerah. Beragam pengalaman bertemu dengan orang lain juga mewarnai semaraknya kehidupan kita. Kita bersukacita dalam persahabatan yang tulus, namun juga terlukai jika kepercayaan kita diingkari, dan kasih pengorbanan kita dianggap sepi.  Kita bergembira di saat segala sesuatu berjalan mulus sesuai dengan rencana, namun kita mudah putus harapan ketika ujian hidup menerpa, entah karena sakit yang berkepanjangan, jatuh bangun mengalahkan kebiasaan buruk, masalah pekerjaan, ataupun masalah keluarga yang datang silih berganti. Tak mudah memang untuk ‘bersahabat’ dengan beban hidup kita, dan memikulnya dengan hati yang lapang. Tuhan Yesus memahami pergumulan kita, maka Ia memberitahukan kepada kita jalannya agar kita tidak mudah menjadi letih lesu.

Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini mengingatkan sekaligus menegur kita. Yaitu agar kita mau menjalani kehidupan kita bersama Tuhan Yesus, dan belajar dari-Nya kelemahlembutan dan kerendahan hati (lih. Mat 11:29). Sebab pergumulan hidup yang dihadapi tanpa Yesus, cenderung membuat orang menjadi tawar hati, atau bahkan keras hati. Namun bersama Yesus, kita akan memperoleh kekuatan baru untuk menghadapi hidup ini dengan suka cita. Di dalam Dia-lah kita dapat melihat bahwa segala beban kehidupan yang Tuhan izinkan terjadi di dalam kehidupan kita, sebenarnya dimaksudkan agar menempa kita menjadi seorang yang lebih teguh di dalam iman, dan lebih kuat dalam pengharapan dan kasih. Tuhan Yesus akan menopang kita, Ia akan kembali menegakkan kita jika kita terjatuh. Sebab “Tuhan setia dalam perkataan-Nya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya” (Mzm 145:13). Yesus setia menyertai kita, dengan Roh Kudus-Nya yang berdiam di dalam kita, yang kita terima melalui Baptisan. Betapa kita perlu meresapkan kebenaran ini di dalam hati kita: yaitu bahwa Kristus ada di dalam kita, dan Roh-Nya yang telah membangkitkan Dia dari kematian akan terus menghidupkan kita (lih. Rom 8: 9-11). Kristuslah yang memampukan kita menjalani hidup ini, menopang dan membantu kita mengalahkan kelemahan kita, agar kita dapat sampai kepada kepenuhan kebahagiaan abadi di Surga. Untuk itu kita perlu untuk senantiasa bersandar kepada rahmat dan belas kasih Allah.

Maka mari kita melihat hidup tidak pertama-tama sebagai beban, tetapi sebagai jalan yang dapat menghantar kita ke Surga. Mungkin kita sering merasa kecil dan tak berdaya, tetapi justru dalam keterbatasan kita, kita dapat terus mengandalkan Tuhan. St. Theresia dari Liseux  pernah berkata, “Liftyang mengangkatku ke Surga adalah lengan-Mu, O Yesus… Aku harus tetap kecil, menjadi lebih kecil dan semakin kecil. O Tuhanku, Engkau melampaui segala yang kuharapkan, dan aku akan mengumandangkan belas kasih-Mu.” Setiap kali kita merasa lelah di dalam hidup ini, kita dapat mengingat bahwa lengan Tuhan Yesus menopang kita. Oleh karena itu, kita mempunyai alasan untuk bersuka cita, sebab Tuhan tiada pernah meninggalkan kita!

Apa sikap Gereja terhadap pembacaan Kitab Suci dalam bahasa vernakular?

4

Ada sejumlah orang mempertanyakan apa sikap Gereja terhadap pembacaan Kitab Suci dalam bahasa vernakular (non-Latin). Berikut ini adalah penjelasan yang kami sarikan dari link ini, silakan klik, silakan membaca selengkapnya di link tersebut.

Sikap Gereja terhadap pembacaan Kitab Suci dalam bahasa vernakular dapat dilihat dalam praktek dan ketentuan yang dikeluarkannya. Sudah menjadi praktek dari Gereja untuk dengan secepatnya menyediakan kepada bangsa-bangsa yang baru saja menjadi pengikut Kristus, Kitab Suci dalam bahasa mereka. Demikianlah maka sejak dulu ada beragam versi Kitab Suci selain dari bahasa Latin, yaitu versi Armenian, Slavonians, Goths, Italia, Perancis dan Inggris. Sedangkan dari sisi ketentuannya kita dapat membagi sejarahnya menjadi 3 periode:

1. Sepanjang satu millenium pertama, Gereja tidak mempromulgasikan ketentuan apapun tentang pembacaan Kitab Suci dalam bahasa vernakular. Semua umat beriman didorong untuk membaca Kitab Suci menurut kebutuhan spiritual mereka (lih. St. Irenaeus, Against Heresies III.4).

2. Dalam kurun waktu lima ratus tahun setelahnya, terdapat ketentuan-ketentuan lokal tentang penggunaan Kitab Suci dalam bahasa vernakular.

Paus Gregorius VII menulis kepada Duke Bohemia (2 Jan 1080) bahwa ia tidak dapat memperbolehkan publikasi Kitab-kitab Suci dalam bahasa lokal (bahasa Slavik) di negara tersebut. Paus khawatir bahwa pembacaan dalam bahasa lokal akan mengakibatkan sikap kurang hormat dan interpretasi yang salah terhadap teks Kitab Suci (St. Gregorius VII, Epist, vii, xi).

Uskup Metz menulis kepada Paus Innocentius III tentang keberadaan terjemahan Kitab Suci dalam bahasa vernakular yang menyimpang. Ini terkait dengan terjemahan yang dibuat oleh kaum Waldensian dan Albigensian. Selanjutnya tentang ajaran sesat Albigenses, silakan klik di sini. Tahun 1199, Paus menanggapi bahwa secara umum keinginan untuk membaca Kitab Suci adalah sesuatu yang terpuji, namun praktek tersebut (membaca Kitab Suci vernakular terjemahan dari kamu heretik) berbahaya bagi orang-orang yang sederhana dan yang tak terpelajar (“Epist., II, cxli; Hurter, “Gesch. des. Papstes Innocent III”, Hamburg, 1842, IV, 501 sqq.)

Setelah kematian Paus Innocentius III, Sinoda di Toulouse tahun 1229 menghasilkan 14 kanon yang menolak penyalahgunaan Kitab Suci oleh kelompok Katharis. Sinoda di Tarragona tahun 1233 juga mengeluarkan larangan serupa di kanon ke-2, dan larangan ini dimaksudkan hanya untuk diberlakukan di negara-negara yang ada dalam daerah yurisdiksi sinoda-sinoda tersebut (Hefele, “Concilgesch”, Freiburg, 1863, V, 875, 918). Sinoda ketiga di Oxford di tahun 1408, juga menanggapi dengan ketentuan serupa, ketika menghadapi kekacauan yang disebabkan oleh kaum Lollards, yang selain membuat kekacauan dan tindakan anarkis, telah juga memasukkan tambahan-tambahan yang menyesatkan ke dalam teks Kitab Suci vernakular. Sinoda di Oxford tersebut menetapkan bahwa hanya versi Kitab Suci yang disetujui oleh ordinaris lokal (keuskupan) atau konsili provinsi saja, yang boleh dibaca oleh umat awam (Hefele, ibid., VI, 817).

3. Hanya pada awal dari 500 tahun terakhir ini, kita mengetahui ketentuan umum Gereja tentang pembacaan Kitab Suci dalam bahasa vernakular. Tanggal 24 Maret, 1564, Paus Pius IV mempromulgasikan konsitusinya, Dominici gregis, yaitu daftar buku-buku yang dilarang (the Index of prohibited books). Menurut ketentuan ketiga, Kitab Perjanjian Lama dapat dibaca dalam bahasa vernakular oleh orang-orang yang saleh dan terpelajar, menurut penilaian Uskup, sebagai sarana yang membantu untuk memahami Vulgate dengan lebih baik. Ketentuan ke-empat menempatkan kuasa kepada uskup dan inkuisitor, untuk memperbolehkan pembacaan kitab Perjanjian Baru dalam bahasa vernakular kepada umat awam, yang menurut penilaian bapa pengakuan/ pastor mereka, dapat memperoleh manfaatnya dengan melakukan hal ini. Paus Sixtus V membatasi kuasa ini hanya dapat ditentukan oleh dirinya sebagai Paus dan Kongregasi Suci tentang Indeks tersebut dan Paus Klemens VIII menambahkan kepada ketentuan ke-empat dari Indeks, dengan menambahkan Appendix.

Paus Benediktus XIV mensyaratkan bahwa versi vernakular yang dibaca oleh kaum awam harus disetujui oleh Tahta Suci atau versi tersebut dilengkapi dengan catatan dari tulisan-tulisan para Bapa Gereja, atau dari pengarang-pengarang yang saleh dan terpelajar. Maka selanjutnya menjadi pertanyaan terbuka, apakah perintah Paus Benediktus XIV ini dimaksudkan untuk menggantikan ketentuan sebelumnya ataukah untuk membatasinya secara lebih lanjut. Ketidakpastian ini tidak juga dapat dijawab oleh ketiga dokumen ini: Pengecaman terhadap kesalahan-kesalahan Jansenist Quesnel tentang keharusan membaca Kitab Suci, oleh Bulla Unigenitus, yang dikeluarkan oleh Klemens XI (8 Sept 1713, lih. Denzinger, “Enchir.”, nn. 1294-1300). Pengecaman terhadap ajaran Jensenist juga disebutkan dalam Sinoda Pistoia, oleh Bulla Auctorem fidei, 28 Agustus, 1794, oleh Paus Pius VI.  Selanjutnya Paus Pius VII (3 Sept, 1816) juga menulis surat kepada Uskup Mohilef tentang peringatan terhadap bahaya memperbolehkan umat awam secara indiskriminatif membaca Kitab Suci dalam bahasa vernakular. Dekrit yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci tentang Indeks (7 Jan 1836) tersebut memperbolehkan kaum awam untuk membaca versi vernakular dari Kitab Suci, entah yang disetujui oleh Tahta Suci, atau yang dengan catatan-catatan yang diambil dari para Bapa Gereja atau oleh pengarang Katolik yang terpelajar. Ketentuan ini diulangi oleh Paus Gregorius XVI dalam ensikliknya tanggal 8 Mei 1844.

Maka secara umum, Gereja telah selalu memperbolehkan pembacaan Kitab Suci dalam bahasa vernakular, jika  itu baik bagi kebutuhan-kebutuhan rohani anak-anaknya. Gereja telah melarangnya hanya ketika sudah dapat dipastikan akan mengakibatkan bahaya spiritual yang serius bagi umatnya.

Secara khusus, Konsili Vatikan II menganjurkan pembacaan Kitab Suci, demikian:

“25. (Dianjurkan pembacaan Kitab suci)

Oleh sebab itu semua rohaniwan, terutama para imam Kristus serta lain-lainnya, yang sebagai diakon atau katekis secara sah menunaikan pelayanan sabda, perlu berpegang teguh pada Alkitab dengan membacanya dengan asyik dan mempelajarinya dengan saksama. Maksudnya jangan sampai ada seorang pun diantara mereka yang menjadi “pewarta lahiriah dan hampa sabda Allah, tetapi tidak mendengarkannya sendiri dalam batin”[38]. Padahal ia wajib menyampaikan kepada kaum beriman yang dipercayakan kepadanya kekayaan sabda Allah yang melimpah, khususnya dalam Liturgi suci. Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp3:8). “Sebab tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus”[39]. Maka hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi nas yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan sabda-sabda ilahi, entah melalui bacaan yang saleh, entah melalui lembaga-lembaga yang cocok untuk itu serta bantuan-bantuan lain, yang berkat persetujuan dan usaha para Gembala Gereja dewasa ini tersebar dimana-mana dengan amat baik. Namun hendaklah mereka ingat, bahwa doa harus menyertai pembacaan Kitab suci, supaya terwujudlah wawancara antara Allah dan manusia. Sebab “kita berbicara dengan-Nya bila berdoa; kita mendengarkan-Nya bila membaca amanat-amanat ilahi”[40]

Adalah tugas para uskup, “yang mengemban ajaran para Rasul”[41], untuk membina dengan baik Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka, supaya dengan tepat menggunakan kitab-kitab ilahi, terutama Perjanjian Baru dan lebih khusus lagi Injil-Injil, dengan menyediakan terjemahan-terjemahan Kitab suci. Terjemahan-terjemahan itu hendaklah dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang diperlukan dan sungguh memadai, supaya putera-puteri Gereja dengan aman dan berguna memakai Kitab suci, dan diresapi dengan semangatnya.

Selain itu hendaknya diusahakan terbitan-terbitan Kitab suci, dibubuhi dengan catatan-catatan yang sesuai, supaya digunakan juga oleh mereka yang bukan kristiani, dan yang cocok dengan keadaan mereka. Hendaknya para Gembala jiwa, serta Umat kristiani dalam keadaan mana pun juga, berusaha untuk dengan pelbagai cara menyebarluaskan terbitan-terbitan itu dengan bijaksana.”

Bagaikan Roti Ekaristi yang Terpecah Bagi Orang Lain

1

[Hari Raya St. Petrus dan St. Paulus: Kis 12:1-11; Mzm 34:2-9; 2 Tim 4:6-8.17-18; Mat 16:13-19]

Bagaikan cerita bersambung, tiga Minggu terakhir ini, kita merenungkan tiga hal yang saling berkaitan. Pertama, setelah Pentakosta kita diingatkan akan asal dan tujuan akhir hidup kita, yaitu kesatuan kasih dalam Allah Tritunggal Mahakudus. Kedua, bahwa kesatuan kasih itu telah mulai dapat kita alami di dunia ini melalui Ekaristi kudus. Dan ketiga, bahwa kesatuan kasih itu kita peroleh melalui Gereja-Nya yang telah didirikan di atas Rasul Petrus, yang bersama dengan Rasul Paulus, telah menyerahkan nyawa mereka, demi iman mereka akan Kristus. Sebab melalui Gereja, kita menerima Ekaristi kudus; dan dari para Rasul itu kita melihat betapa sempurnanya mereka mengikuti teladan kasih Kristus sampai sehabis-habisnya. Kerelaan mereka untuk wafat sebagai martir menjadikan mereka seperti roti Ekaristi yang terpecah bagi orang lain. Hari Minggu ini kita memperingati Hari Raya St. Petrus dan St. Paulus. Kita merenungkan teladan iman dan kasih mereka, namun juga kasih dan kebijaksanaan Allah yang telah memilih mereka meskipun mereka pernah bersalah terhadap-Nya. Yang satu pernah mengkhianati Kristus, bahkan sampai tiga kali, dan yang lain pernah menolak-Nya dengan menganiaya dan membunuh begitu banyak murid-murid-Nya. Namun belas kasih Allah jauh lebih besar daripada semua dosa itu. Pertobatan kedua Rasul itu membukakan harapan nyata bagi kita, bahwa jika kita bertobat, kitapun akan diterima kembali oleh Allah. Allah siap sedia mengangkat kita agar kita kembali masuk ke dalam kesatuan kasih- Nya yang sempurna. Roh Kudus-Nya akan mengubah kita menjadi orang-orang yang berani menjadi saksi-Nya sampai akhir.

Injil hari ini mengisahkan bahwa Kristus telah mendirikan Gereja-Nya di atas Rasul Petrus, setelah pengakuan imannya akan Kristus sebagai Anak Allah yang hidup (lih. Mat 16: 16-19). Walau tak mudah bagi Rasul Petrus untuk menerima konsekuensi dari pengakuan imannya ini, namun oleh rahmat Allah, ia dimampukan untuk mengikuti jejak Gurunya. Tradisi Roma mengatakan bahwa pada masa penganiayaan jemaat di Roma oleh Kaisar Nero (67 AD),  Rasul Petrus mengikuti desakan jemaat untuk meninggalkan kota Roma, dan melanjutkan kepemimpinan Gereja dari luar kota. Namun sesampainya di luar pintu gerbang kota, konon ia bertemu dengan Kristus yang sedang memanggul salib. Lalu Rasul Petrus bertanya, “Mau ke manakah Engkau, Tuhan? (Quo vadis, Domine?)”. Tuhan Yesus menjawab, “Ke Roma, untuk membiarkan Diri-Ku disalibkan kembali.” Petrus memahami makna ungkapan ini sepenuhnya. Ia segera kembali ke kota Roma, di mana salib telah menunggunya. Tak lama kemudian, Rasul Petrus menerima ajalnya sebagai martir. Para sejarawan mencatat bahwa Rasul Petrus wafat disalib dengan kepala di bawah, sebab ia menganggapnya tidak layak untuk wafat dengan cara yang sama dengan Tuhannya. Ini merupakan penggenapan nubuat akan kematian Rasul Petrus yang dikatakan oleh Kristus (Yoh 21:18-19).  Demikian pula, Rasul Paulus-pun wafat sebagai martir di kota Roma, dengan dipenggal kepalanya.

Setidaknya, sejak abad ke-3, Gereja telah merayakan tanggal 29 Juni sebagai Hari Raya kemartiran St. Petrus dan Paulus. Di hari inilah Gereja merayakan hari yang istimewa bagi keduanya, saat mereka membuktikan iman dan kasih mereka kepada Tuhan sampai ke tingkat yang tertinggi, dan dengan demikian, mengikuti Yesus dengan sempurna. Kitapun sesungguhnya dipanggil untuk menjadi saksi iman, seperti para Rasul itu. Mungkin bentuk kemartiran kita tidak seperti yang dialami oleh mereka, tetapi tetaplah dalam keseharian kita, kita ditantang untuk berani mengasihi dan rela berkorban sampai akhir. Tantangan ini selalu ada, baik di dalam keluarga, komunitas gerejawi, lingkungan pekerjaan, dst. Di kala ada banyak kesulitan ataupun salah paham dalam keluarga, maupun dalam kegiatan paroki, apakah kita cenderung menarik diri dan tidak lagi mau terlibat? Mengundurkan diri, atau bahkan keluar dari Gereja? Semoga pengalaman Rasul Petrus dapat menegur kita, agar kita justru kembali menghadapi permasalahan kita bersama Yesus. Mari, berjuang mematikan ke-egoisan kita, dan membiarkan Kristus mengubah kita menjadi orang- orang yang terus mengasihi, walau pihak yang kita kasihi tidak menghargai, atau bahkan melukai hati kita. Sebab dengan demikian, kita membuktikan kasih kita kepada Tuhan, dan menjadikan diri kita bagaikan roti Ekaristi yang terpecah bagi orang lain, seperti Kristus yang telah lebih dulu melakukannya untuk kita. Maka kita disatukan dengan Kristus, tidak saja dengan menerima Ekaristi, namun juga dengan mengikuti teladan kasih-Nya sampai ajal menjemput kita. Dan dengan penuh harap kita menantikan saatnya agar kita dapat digabungkan dengan para kudus-Nya dalam Kerajaan Surga. Rasul Petrus dan Rasul Paulus, doakanlah kami!

Sejarah Adorasi Sakramen Mahakudus

0

Sejarah Adorasi Sakramen Mahakudus

Ada sejumlah orang mempertanyakan tentang asal usul Adorasi Sakramen Mahakudus. Berikut ini adalah ulasan ringkas tentang sejarah Adorasi Sakramen Mahakudus, yang mengambil sumber utama dari uraian yang disusun oleh Fr. John Hardon, SJ, di situs EWTN, silakan klik.

Fr. Hardon membagi sejarah perkembangan Adorasi sakramen Mahakudus dalam beberapa periode, yaitu:

1. Zaman para Rasul sampai awal Abad Pertengahan
2. Secara khusus masa heresi Berengarius sampai masa St. Fransiskus Asisi
3. Zaman Abad Pertengahan sampai Konsili Trente
4. Perkembangan Adorasi Ekaristi
5. Alasan perkembangan doktrin Ekaristi
6. Ajaran dari Magisterium Gereja
7. Rahmat melalui kemanusiaan Kristus

Zaman para Rasul sampai awal Abad Pertengahan

Di zaman para Rasul, kepercayaan akan kehadiran Kristus secara nyata di dalam Ekaristi bertumbuh dari ajaran para Rasul, terutama, dari Rasul Paulus dan Rasul Yohanes. Mereka mengajarkan bahwa Ekaristi adalah Yesus Kristus yang secara nyata melanjutkan misi penyelamatan-Nya di antara umat manusia. Rasul Paulus dalam suratnya menegur jemaat di Korintus, yang melakukan pemecahan roti dengan cara yang menimbulkan perselisihan, padahal seharusnya Ekaristi adalah tanda yang indah untuk kasih Agape (lih. 1Kor 11:26), yang mempunyai efek mempersatukan Gereja sebagai satu tubuh (lih. 1Kor 10:16-17).

Demikian pula, kita mengetahui bahwa Rasul Yohanes menyampaikannya secara cukup eksplisit dalam Injilnya, yaitu dalam perikop tentang Roti hidup (Yoh 6). Begitu eksplisitnya ajaran itu disampaikan, hingga banyak di antara para murid-Nya saat itu, yang menganggap ajaran itu sulit untuk diterima, sehingga mereka meninggalkan Dia (lih. Yoh 6:66). Hanya para Rasul-Nya, yang saat itu diwakili oleh Rasul Petrus, yang tetap percaya kepada perkataan-Nya. Rasul Petrus berkata, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yoh 6:68-69)

Setelah abad pertama berakhir, St. Ignatius dari Antiokhia menulis surat yang memperingatkan Gereja terhadap ajaran sesat Gnosticism, yang tidak percaya akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi. St. Ignatius mengatakan bahwa mereka ini beranggapan demikian karena mereka tidak percaya akan ajaran para Rasul bahwa di dalam Ekaristi hadirlah Kristus yang sama dengan Kristus yang hidup, wafat dan bangkit dari kematian demi keselamatan kita.

Iman akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi menyebabkan banyak rahib di abad-abad pertama (sampai pertengahan abad ke-3) menyimpan Ekaristi di ruang sel mereka, di gua-gua, sebagaimana terjadi di Gereja Timur, yaitu di Palestina dan Mesir. Di abad kedua, para Paus telah mengirimkan Ekaristi kepada para uskup sebagai tanda kesatuan iman dan pada kesempatan tertentu, para Uskup melakukan hal yang sama kepada para imam di bawah kepemimpinan mereka.

Ketika kehidupan membiara tidak lagi terbatas dalam kehidupan pertapa tetapi kepada kehidupan komunitas, para rahib mempunyai kebiasaan untuk membawa Ekaristi, terutama saat bekerja maupun melakukan perjalanan. Hosti ditempatkan di tempat kecil, atau di tas kecil yang kemudian dikalungkan di leher. Manuskrip Irlandia dan Inggris menyebutkan kebiasaan tentang hal ini. St. Comgall (wafat tahun 601) juga memberi kesaksian tentang hal ini.

Setelah Konsili Nicea (325), Ekaristi mulai disimpan di gereja-gereja dan biara-biara. Alasan utamanya adalah agar dapat disimpan bagi orang-orang sakit dan yang sedang mengalami ajal, maupun untuk perayaan lainnya. Maka kesakralan Ekaristi sudah diakui dan tempat penyimpanannya pun khusus agar  terhindar dari bahaya profanasi.

Sekitar tahun 800-an, Sakramen Mahakudus disimpan di gereja di dekat altar itu sendiri. Praktek menyimpan Ekaristi di biara-biara adalah kebiasaan yang universal sehingga tidak ada bukti yang menyatakan hal yang sebaliknya, bahkan sejak sebelum tahun 1000. Bahkan ada banyak peraturan tertulis yang masih eksis sampai sekarang, yang mensyaratkan perlindungan terhadap elemen-elemen sakral itu, “dari profanasi baik oleh tikus-tikus maupun dari orang-orang yang tidak saleh.” Maka Ekaristi harus disimpan di tempat terkunci dan kuncinya tersimpan di tempat yang tidak mudah dijangkau.

Referensi tentang Sakramen Mahakudus jelas tertulis dalam riwayat St. Basilius (wafat 379). Dikatakan bahwa St. Basilius membagi Hosti Ekaristi menjadi 3 bagian, bagian pertama dimakannya, bagian kedua diberikannya kepada rekan imamnya, dan bagian ketiga ditempatkannya di tempat emas berbentuk burung merpati yang digantung di atas altar.

Referensi berikutnya adalah temuan di biara Benediktin di Monte Cassino, yang dihancurkan di Perang Dunia II adalah dua buah tabernakel kecil kuno, yang terbuat dari emas dan perak. Tabenakel itu adalah milik Paus Victor III (wafat 1087), yang pernah menjadi rahib di biara tersebut sebelum dipilih menjadi Paus.

Secara khusus masa heresi Berengarius sampai masa St. Fransiskus Asisi

Menjelang akhir abad ke-11, kita memasuki era baru sejarah Adorasi Ekaristi. Sampai masa itu, kehadiran Yesus secara nyata dalam Ekaristi tidak dipertanyakan dan sudah dianggap umum dalam iman Katolik. Ekaristi disimpan di gereja- gereja, termasuk kapel-kapel dan biara-biara. Namun kemudian revolusi menghantam Gereja ketika Berengarius (999-1088), seorang pemimpin diakon  di Angers, Perancis, secara publik menolak bahwa Kristus secara nyata dan secara fisik hadir dalam rupa roti dan anggur. Maka ada sejumlah orang yang percaya kepada idenya ini dan mulai menuliskan bahwa Kristus dalam Ekaristi tidaklah sama dengan Kristus dalam Injil, dan karena itu, Ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi.

Begitu seriusnya kasus ini, sehingga Paus Gregorius VII memerintahkan Berengarius untuk menarik kembali ajarannya. Ini adalah pernyataan definitif pertama Gereja tentang apa yang selalu dipercaya, dan tidak pernah secara serius ditentang. Paus Gregorius VII sendiri adalah seorang rahib yang menjadi Paus, yang imannya akan Sakramen Mahakudus telah dipupuk selama bertahun-tahun dalam biara Benediktin.

Ajaran Paus Gregorius tentang Kehadiran Yesus secara nyata dikutip kata per kata oleh dokumen yang ditulis oleh Paus Paulus VI, Mysterium Fidei (1965), untuk menghadapi pandangan yang menentang Ekaristi di zaman kita, sesuatu yang sangat mirip dengan apa yang pernah terjadi di abad ke-11:

“Aku percaya di dalam hatiku dan secara terbuka mengakui bahwa roti dan anggur yang ditempatkan di altar adalah, melalui misteri doa sakral dan perkataan Sang Penebus, secara substansial diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus Tuhan kita, yang sejati dan yang memberi kehidupan, dan bahwa setelah konsekrasi, di sana juga hadir Tubuh Kristus yang sejati yang dilahirkan oleh Sang Perawan, telah dikurbankan bagi keselamatan dunia, digantung di kayu salib dan kini duduk di sisi kanan Allah Bapa, dan bahwa di sana hadir, Darah Kristus yang sejati, yang mengalir dari lambung-Nya. Keduanya hadir bukan hanya sebagai tanda dan ke-efektifan Sakramen tersebut, tetapi di dalam kenyataan yang sebenarnya dan kebenaran dari kodrat dan substansi mereka.”

Dengan pengakuan iman ini, maka gereja-gereja di Eropa mengalami apa yang disebut dengan Eucharistic Renaissance. Saat itulah ditetapkan adanya prosesi-prosesi Sakramen Mahakudus, rumusan doa-doa yang adorasi, umat didorong untuk mengunjungi Sakramen Mahakudus, dst. Sejak abad ke-11 ini, devosi kepada Sakramen Mahakudus dalam Tabernakel menjadi semakin dikenal.

St. Fransiskus Asisi juga merupakan orang kudus yang mempunyai devosi kepada Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Ia berkata:

“Kitab Suci mengajarkan bahwa Bapa berdiam di dalam “terang yang tak terpahami ” (1Tim 6:16) dan bahwa Allah adalah Roh (Yoh 4:24) dan St. Yohanes menambahkan, “Tak seorangpun pernah melihat Allah” (Yoh 1:18). Sebab Allah adalah Roh, Ia hanya dapat dilihat di dalam roh; “Adalah Roh yang memberi kehidupan, daging sama sekali tidak berguna” (Yoh 6:63). Tetapi Allah Putera adalah sehakekat dengan Bapa dan Roh Kudus. Itulah mengapa mereka semua menjadi terkutuk, yang telah melihat Tuhan Yesus Kristus di dalam kemanusiaan-Nya namun tidak melihat ataupun percaya di dalam roh akan ke-Allahan-Nya, bahwa Ia adalah Putera Allah yang sejati. Dengan cara yang sama, mereka semua terkutuk, yang melihat Sakramen Tubuh Kristus yang telah dikonsekrasikan di altar dalam rupa roti dan anggur oleh perkataan Sabda Tuhan kita di tangan para imam-Nya, dan tidak melihat ataupun percaya di dalam roh dan di dalam Allah bahwa ini adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah yang kudus dari Tuhan kita Yesus Kristus.”

Maka tak ada yang mengejutkan ketika Paus Urbanus IV di tahun 1264 kemudian menetapkan perayaan Tubuh Kristus (Corpus Christi). Saat menentukan perayaan itu, Paus menekankan akan kasih Kristus, yang ingin menyertai secara fisik sampai akhir zaman. Paus mengatakan, “Dalam Ekaristi, Kristus di dalam hakekat-Nya sendiri ada bersama kita.” Sebab “ketika mengatakan kepada para Rasul-Nya bahwa Ia akan naik ke Surga, Ia berkata, “Lihatlah, Aku akan menyertaimu selamanya, bahkan sampai akhir zaman” dan dengan demikian menghibur mereka dengan janji yang besar bahwa Ia akan tetap ada dan bersama-sama dengan mereka bahkan dengan kehadiran secara jasmani” (11 Agustus, 1264).

Paus Urbanus IV menugaskan St. Thomas Aquinas untuk menyusun Ibadah Harian untuk perayaan Corpus Christi, untuk diperingati setiap tahun di hari Kamis setelah hari Minggu Tritunggal Mahakudus. Tiga lagu karangan St. Thomas Aquinas adalah:

  1. O, Salutaris Hostia: doa penyembahan/ adorasi kepada Kristus, Kurban yang menyelamatkan yang membuka pintu Surga bagi manusia.
  2. Tatum Ergo Sacramentum: doa Adorasi kepada Sang Sabda yang menjadi manusia, di mana iman menopang apa yang tidak dapat dirasakan oleh perasaan.
  3. Panis Angelicus, doa Adorasi kepada Sang Santapan Rohani, ketika mereka yang rendah hati memperoleh makanannya oleh Tuhan yang menjelma menjadi manusia.

St. Thomas, seperti halnya Gereja, tidak memisahkan antara Ekaristi sebagai Kurban, Komuni dan Kehadiran Kristus yang nyata di dalamnya. Sebab tanpa Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi, maka tidak akan ada Kurban yang nyata dan Komuni yang nyata. St. Thomas mengajarkan bahwa Putera Allah menjadi manusia agar Ia dapat mengurbankan diri-Nya di Kalvari dan kemudian seterusnya mengurbankan diri-Nya dalam Misa Kudus. Kristus menjadi manusia agar Ia dapat memberikan diri-Nya kepada para murid-Nya di Perjamuan Terakhir dan untuk seterusnya memberikan diri-Nya dalam Komuni Kudus.

Zaman Abad Pertengahan sampai Konsili Trente

Sejak perayaan Corpus Christi ditetapkan oleh Paus Urban IV, para Paus terus mempertahankan iman Gereja akan kehadiran Kristus yang tak terputuskan di dunia dalam rupa Ekaristi kudus. Setiap kali ada pertentangan, Gereja kembali mengeluarkan pernyataan yang lebih jelas tentang ajaran mengenai Ekaristi.

Sebelum Konsili Trente

Ada beberapa situasi yang akhirnya diikuti oleh pernyataan Paus:

  1. Di abad ke-14, saat berkomunikasi dengan uskup Armenian yang memohon bantuan subsidi, Paus Klemens IV menanyakan apakah mereka mengakui iman Katolik yang penuh. Di antara pembicaraan itu, Paus mensyaratkan bahwa mereka menerima pernyataan bahwa, “Setelah perkataan konsekrasi, maka hadirlah secara nyata Tubuh Kristus yang sama, dengan Tubuh Kristus yang dilahirkan oleh Perawan Maria dan yang dikurbankan di kayu salib” (29 September, 1351).
  2. Dua puluh tahun kemudian Paus Gregorius XI menentang pandangan yang menganggap bahwa Kristus tidak tetap hadir dalam Ekaristi, ketika rupa Ekaristi mengalami desekrasi/ diperlakukan dengan tidak hormat (lih. pernyataan Paus Gregorius, 8 Agustus 1371).
  3. Terhadap pandangan Calixtines di abad ke-15, yang mengatakan bahwa keseluruhan Kristus tidak diterima kecuali jika umat menerima Komuni kudus dalam dua rupa, Konsili di Constance memutuskan untuk “menyatakan, mendekritkan dan menentukan”, sebagai artikel iman bahwa, “Keseluruhan Tubuh dan Darah Kristus benar-benar terkandung di dalam rupa roti saja dan di dalam rupa anggur saja.” Definisi ini ditegaskan oleh Paus Martinus V (1 September, 1425).

Eksposisi dan penyembahan sakraman Mahakudus menjadi umum sejak abad ke-15. Namun penyembahan ini biasanya diadakan untuk alasan tertentu, misalnya untuk memohon kesembuhan bagi orang-orang sakit, ataupun di saat ajal, agar yang didoakan dapat mengalami kematian yang membahagiakan.

Konsili Trente

Di abad ke-16, seluruh ajaran iman Katolik tentang Ekaristi Kudus ditentang oleh para Reformer Protestan. Sebagai konsekuensinya, Konsili Trente membahas mengenai hal ini secara menyeluruh.

Sakramen-sakramen yang lain tidak memiliki kuasa menguduskan sampai sakramen itu diterimakan, tetapi dalam Ekaristi, Sang Pemberi kekudusan itu sudah hadir sebelum sakramen itu diterimakan. Sebab sebelum para Rasul menerima Ekaristi dari tangan Tuhan kita, Ia telah berkata bahwa adalah Tubuh-Nya itulah yang Ia berikan kepada mereka.

Gereja telah selalu percaya bahwa segera setelah konsekrasi, Tubuh dan Darah yang sesungguhnya dari Tuhan kita, bersama dengan Jiwa dan Ke-Allahan-Nya, hadir dalam rupa roti dan anggur. Tubuh-Nya hadir dalam rupa roti, dan Darah-Nya dalam rupa anggur, melalui perkataan konsekrasi tersebut. Tetapi Tubuh-Nya juga hadir dalam rupa anggur, dan Darah-Nya dalam rupa roti, dan Jiwa-Nya di dalam kedua rupa karena hubungan kodrati dan dalam kebersamaan yang mempersatukan bagian-bagian Kristus Tuhan kita, yang telah bangkit dari kematian dan tidak akan wafat lagi. Selanjutnya ke-Allahan Kristus hadir disebabkan oleh kesatuan hipostatik (hypostatic union) dengan Tubuh dan Jiwa-Nya. Oleh karena itu, adalah sungguh benar bahwa ke-Allahan-Nya hadir dalam salah satu rupa, maupun dalam kedua rupa. Sebab Kristus, secara keseluruhannya, hadir dalam rupa roti dan dalam rupa bagian apapun dari roti itu, dan demikianlah keseluruhan Kristus hadir dalam rupa anggur dan dalam rupa bagian-bagiannya.

Konsili Trente mengajarkan, “Putera Allah yang Tunggal adalah untuk disembah di dalam sakramen Ekaristi, dengan penyembahan termasuk secara eksternal (kelihatan). Karena itu, sakramen adalah untuk dihormati dengan perayaan yang luar biasa dan dengan agung dibawa dari tempat ke tempat dalam prosesi menurut ritus dan kebiasaan universal yang layak dari Gereja yang kudus. Sakramen Ekaristi adalah untuk diperlihatkan secara publik agar dapat disembah.” Pernyataan ini disetujui oleh Paus Yulius III (11 Oktober 1551), dan menjadi dasar bagi ajaran dan kemajuan devosi kepada Sakramen Mahakudus.

Perkembangan Adorasi Ekaristi

Devosi Empat Puluh Jam

Sebelum akhir abad ke-16, Paus Klemens VIII di tahun 1592, yang mengeluarkan dokumen historis yang disebut Quarant Ore (Empat puluh jam).

Devosi ini mencakup 40 jam doa tanpa henti di hadapan Sakramen Mahakudus. Doa ini dilakukan tanpa henti sehingga di gereja-gereja yang berbeda (yang ditentukan oleh Paus) pada hari-hari tertentu, dilakukan devosi 40 jam, dengan pengaturan gereja-gereja dan waktu-waktu yang, setiap jamnya doa-doa dinaikkan tanpa henti di hadapan Tuhan.

Sekitar seabad kemudian, di tahun 1731, Paus Klemen XIII mengeluarkan instruksi yang lebih detail tentang devosi tersebut, yaitu bahwa:

  1. Sakramen Mahakudus ditempatkan terekspos di altar tinggi (high altar).
  2. Patung-patung, relikwi dan gambar-gambar yang ada di sekitar altar agar digeserkan atau diselubungi dengan kain.
  3. Hanya klerus yang dapat melayani eksposisi Sakramen Mahakudus di altar tersebut.
  4. Harus ada penyembah yang hadir tiada terputus di hadapan Sakramen Mahakudus, dan harus melibatkan imam, atau klerus dari ordo yang utama.
  5. Tidak boleh ada Misa yang dilakukan di altar eksposisi tersebut.

Secara berangsur-angsur, devosi 40 jam ini tersebar ke seluruh dunia.

Kitab Hukum Kanonik 1917 menganjurkan agar setiap tahunnya diadakan eksposisi Sakramen Mahakudus agar umat setempat dapat merenungkan dan menyembah Misteri Ekaristi secara lebih khusus (lih. Kan. 942, KHK 1917).

Devosi Penyembahan Abadi

Penyembahan Sakramen Mahakudus secara terus menerus disebut “Penyembahan Abadi” artinya:

  1. Selalu ada seseorang yang menyembah/ berdoa di hadapan Sakraman Mahakudus, jadi secara literal maupun moral penyembahan dilakukan tanpa terputus; hanya terjadi interupsi singkat karena alasan-alasan yang tak terelakkan.
  2. Adorasi tak terputus dilakukan di gereja/ kapel yang khusus.
  3. Adorasi tak terputus di gereja-gereja atau kapel di kawasan tertentu -seperti di keuskupan atau negara- atau seluruh dunia.

Kebiasaan penyembahan abadi ini telah ada sejak abad ke-4, umumnya dilakukan delapan hari setelah Baptisan. Jadi telah lama sebelum ditentukannya perayaan Corpus Christi, kebiasaan menyembah sakramen Mahakudus telah dilakukan baik oleh para religius maupun awam.

Kebiasaan penyembahan Sakramen Mahakudus lebih dikenal oleh umat Katolik di Eropa, secara khusus pada saat Gereja berhasil meluruskan ajaran sesat Albigenses di abad ke 13. Raja Perancis, Louis VII meminta kepada Uskup Avignon untuk mentahtakan Sakramen Mahakudus di kapel Salib Suci (14 Sept, 1226). Pihak Vatikan meratifikasi tradisi ini, dan melanjutkannya sampai tahun 1792 di masa revolusi Perancis. Tradisi ini yang sempat terhenti kemudian diadakan kembali tahun 1829.

Walaupun sudah sejak lama tradisi penyembahan Sakramen Mahakudus ini dikenal, namun dapat dikatakan bahwa baru sejak Konsili Trente, penyembahan abadi ini berkembang mendunia. Sejak itu ada banyak lembaga yang didirikan untuk secara khusus mengadakan adorasi Sakramen Mahakudus sepanjang hari, seperti:  Ordo Benediktin yang mengkhususkan diri untuk penyembahan Sakramen Mahakudus di Austria (1654); Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria, dan Kongregasi Penyembahan Abadi (1817); the Pious Union of the Adorers of the Most Blessed Sacrament (1810); Asosiasi umat untuk Penyembahan abadi Ekaristi (dimulai 1641, berkembang tahun 1753 di Perancis); the Blessed Sacrament Fathers (1856) oleh St. Peter Eymard.

Kunjungan ke Sakramen Mahakudus

Kebiasaan ini dikenal di awal Abad Pertengahan. Para biarawati umumnya memulai hari-hari mereka dengan mengunjungi Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Para sejarawan Katolik menuliskan bahwa sebelum abad ke-14, kebiasaan mengunjungi Sakramen Mahakudus telah menjadi sesuatu yang umum.

Para reformer Protestan di Inggris yang di abad ke-16 menentang kehadiran Kristus dalam Ekaristi, tiga abad kemudian kembali menyakini kehadiran Kristus dalam Ekaristi, sebagaimana dipelopori oleh the Anglican Sisterhood of St. Margaret (1854).

Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus sesering mungkin dianjurkan dalam Kitab Hukum Kanonik. KHK 1917 mengajarkan agar umat setia mengunjungi Sakramen Mahakudus sesering mungkin (Kan. 1273). KHK 1983, secara lebih jelas lagi menyatakan, “Kecuali ada alasan yang berat, gereja yang di dalamnya Sakramen Mahakudus tersimpan, harus dibuka kepada umat beriman selama beberapa jam setiap hari, supaya mereka dapat berdoa di dapan sakramen Mahakudus (Kan. 937). Anggota dari lembaga-lembaga religius setiap hari harus “menyembah Tuhan sendiri yang hadir dalam Sakramen Mahakudus” (Kan. 663,2).

Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus

Devosi Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus dimulai di abad ke-13, dan berkaitan erat dengan penetapan perayaan Corpus Christi. Dua lagu gubahan St. Thomas Aquinas menjadi bagian dari doa Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus tersebut.

Dalam sejarah doa Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus ini terdapat doa penghormatan kepada Perawan Maria yang terberkati, karena tanpa Maria, tidak ada Inkarnasi dan tanpa Inkarnasi, tidak ada Ekaristi. Di masa inilah berkembang kebiasaan di biara-biara untuk menyanyikan juga madah penghormatan kepada Bunda Maria (yang sering disebut Salve ataupun Salut), yang menyertai penyembahan kepada Kristus dalam sakramen Mahakudus, secara khusus ketika sakramen dibawa dalam prosesi dan ketika berkat diberikan kepada para penderita sakit dan cacat, seperti yang umumnya dilakukan di tempat ziarah di Lourdes, Perancis.

Kongres Ekaristi

Pernyataan secara publik tentang iman akan Kehadiran Kristus yang nyata dalam Sakramen Ekaristi dalam kongres Ekaristi, telah dilakukan di Abad Pertengahan. Tetapi kongres internasional pertama tentang Ekaristi dilakukan di tahun 1881, atas prakarsa Marie-Marthe Tamisier seorang awam wanita yang mempunyai devosi kepada Sakramen Mahakudus sejak masa kanak-kanak. Di tahun 1886, di kongres ke-5 yang diadakan di Toulous, 1500 uskup dan imam dan 30,000 awam turut berpartisipasi dalam kongres tersebut.

Sampai sekarang kongres Ekaristi telah dilaksanakan di seluruh benua. Paus Yohanes Paulus II  menghadiri kongres tersebut di tahun 1980, dan menyatakan peran utama kongres tersebut bagi seluruh umat. Kongres Ekaristi paling utama dan terutamanya adalah komunitas besar tentang iman akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi, yang tetap hadir secara sakramental di sepanjang hidup kita sehingga dengan kekuatan-Nya kita dapat menghadapi masalah-masalah kita, kerja keras dan penderitaan kita… Kongres harus menunjukkan secara khusus bahwa umat Tuhan di dunia hidup dari Ekaristi dan menimba kekuatan darinya dalam kekuatan bagi perjuangan dan pergumulan setiap hari (30 Juni dan 9 Juli, 1980).

Perkembangan doktrin Adorasi Ekaristi

Perkembangan devosi terhadap Sakramen Mahakudus berhubungan erat dengan perkembangan ajaran tentang Ekaristi.

Perbendaharaan iman memang tetap sama, namun pemahaman akan ajaran iman ini terus berkembang. Konsili Vatikan II yang diadakan sekitar empat abad setelah Konsili Trente, menjabarkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pijakan bagi perkembangan doktrin tersebut. Yaitu bahwa Wahyu Ilahi yang dinyatakan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci telah dipercayakan kepada Gereja. Peran Gereja tidak saja untuk menjaga Wahyu Ilahi tersebut, namun juga untuk menjelaskan pertumbuhan penghayatan Gereja akan kebenaran ini. Perbendaharaan Wahyu ilahi, “yang datang dari para Rasul berkembang di dalam Gereja, dengan bantuan Roh Kudus”. Maka ada pertumbuhan pemahaman terhadap kenyataan- kenyataan dan kata-kata yang diturunkan [dari para Rasul kepada para penerus mereka] Ini terjadi dalam beberapa cara. Ini terjadi karena kontemplasi dan pembelajaran, maupun karena mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti. Dengan bertambahnya abad demi abad, Gereja selalu bertambah maju menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai akhirnya Sabda Tuhan tergenapi di dalam dirinya (lih. Konsili Vatikan II, Dei Verbum, 8).

Berikut ini adalah pengalaman-pengalaman rohani yang dialami oleh para orang-orang kudus yang diperoleh dari penyembahan Sakramen Mahakudus:

  1. St. Yohanes Fisher (1469-1535) dan St. Thomas More (1478-1535) menimba kekuatan dari sakramen Mahakudus sebelum dibunuh sebagai martir. Dalam doanya sebelum wafatnya, St. Thomas berkata, “O Kristus, Juru selamat yang manis, demi Sengsara-Mu yang sangat pedih, ambillah dariku, ya Tuhan yang baik, rasa suam-suam kuku, atau tepatnya permenunganku yang dingin dan ketumpulanku untuk berdoa kepada-Mu. Dan berikanlah kepadaku, rahmat-Mu agar merindukan Sakramen-sakramen-Mu yang kudus dan secara khusus untuk bersuka cita dalam Kehadiran Tubuh-Mu yang tersuci, Kristus Penyelamatku yang manis, dalam Sakramen Kudus di altar…”
  2. St. Fransiskus Xaverius (1506-1552), setelah berkhotbah dan membaptis sepanjang hari akan menghabiskan waktu di malam hari untuk berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus.
  3. St. Maria Magdalena dei Pazzi (1566-1607), menganjurkan umat di dunia, “Seorang sahabat akan mengunjungi sahabatnya di pagi hari, dan menyapanya di siang hari, sore dan malam hari dan juga bercakap-cakap dengannya sepanjang hari. Demikian pula, kunjungilah Yesus Kristus dalam Sakramen Mahakudus, jika pekerjaanmu memungkinkan itu. Secara khusus di kaki altar, seseorang akan berdoa dengan baik. Dalam setiap kunjunganmu kepada Penyelamat kita, persembahkanlah Darah-Nya yang berharga kepada Bapa yang kekal. Kamu akan mendapatkan bahwa kunjungan ke sakramen ini sangat kondusif untuk meningkatkan kasih ilahi.”
  4. St. Margaret Maria (1647-1680), memperoleh kekuatan dari sakramen Mahakudus untuk dapat menghadapi semua orang yang memperlakukannya dengan cemooh, kebencian, penghinaan, tanpa mengeluh, dan ia mendoakan mereka semua yang melakukan semua itu kepadanya. Saat berdoa di depan sakramen Mahakudus, Kristus menyatakan kepada St. Margaret Maria, “Lihatlah Hati ini yang telah mengasihi umat manusia dengan sangat dan telah melimpahi mereka dengan segala kebaikan, dan untuk kasih yang tak terbatas ini tidak memperoleh balasan, selain pengabaian dan kebencian, dan ini sering dilakukan oleh mereka yang terikat oleh tugas dan kewajiban untuk memberikan kasih yang lebih istimewa.”
  5. St. Alfonsus Liguori (1696-1787): “Tariklah dirimu dari orang-orang dan habiskan waktu setidaknya seperempat jam atau setengah jam di gereja dalam hadirat Tuhan dalam sakramen Mahakudus. Kecap dan lihatlah, betapa manisnya Tuhan dan kamu akan belajar dari pengalamanmu sendiri, betapa banyak rahmat yang akan kamu peroleh darinya.”
  6. St. Yohanes Vianney (1786-1859): “Allah kita tersembunyi di dalam Tabernakel, menantikan agar kita datang dan mengunjungi-Nya dan memohon kepada-Nya… Di Surga, di mana kita akan mulia dan berjaya, kita akan melihat-Nya dalam segala kemuliaan-Nya. Jika Ia telah mempresentasikan Diri-Nya sendiri, di hadapan kita dengan kemuliaan-Nya itu sekarang, kita tidak akan berani mendekat kepada-Nya; tetapi Ia menyembunyikan diri-Nya seperti seorang dalam penjara, yang berkata kepada kita, “Kamu tidak melihat-Ku, tetapi tak mengapa, mintalah kepada-Ku semua yang kauinginkan dan Aku akan mengabulkannya.” St. Yohanes dari Vianney menghabiskan waktu yang panjang di hadapan Sakramen Mahakudus. Dalam homili- homili-Nya, Ia sering menghadap kepada Tabernakel dan berkata dengan penuh perasaan, “Ia ada di sana!”

Ajaran dari Magisterium Gereja

Konsili Trente

Di dalam Sakramen Mahakudus hadirlah Allah yang sama dengan Ia yang disembah oleh para Rasul di Galilea (Dekrit tentang Ekaristi Kudus, bab 5). Ia bukan hanya Allah yang untuk disembah, namun juga Allah yang kepada-Nya kita dapat memohon. Banyaknya pengalaman umat akan kehadiran Yesus ini menghantar kita kepada kesadaran akan betapa literalnya Yesus bersabda ketika Ia berjanji akan menyertai kita sampai akhir zaman.

Paus Leo XIII

Dalam pidatonya dalam kongres Ekaristi, Paus Leo XIII mengatakan bahwa kongres Ekaristi diadakan untuk memperbaiki segala kejahatan yang dilakukan terhadap Sakramen Mahakudus dan untuk mendukung penyembahannya.” Paus mengakui bahwa Adorasi Ekaristi mendatangkan buah-buah adikodrati di manapun praktek ini diadakan dengan iman oleh umat sekalian.

St. Paus Pius X

St. Paus Pius X, mempunyai devosi kepada Kehadiran Yesus dalam sakramen Mahakudus. Ia adalah promotor bagi penerimaan Komuni Pertama pada anak-anak di usia yang dini, dan bagi penerimaan Komuni sesering mungkin (setiap hari). Pada masa kepemimpinan Paus Pius X itulah Kongres Ekaristi dilakukan di Roma. Kongres tersebut adalah yang ke-16 dan dibuka oleh Misa yang dipimpin oleh Paus. Paus Pius XII mengajarkan tentang pendahulunya itu, “Paus Pius X mengenali bahwa Sakramen Mahakudus itulah yang telah menjadi kekuatan untuk memelihara kehidupan Gereja secara mendasar, dan untuk mengangkatnya di atas segala kelompok manusia lainnya.” (Quest’ ore di fulgente, 29 May, 1954).

Paus Benediktus XV dan Pius XI

Paus Benediktus XV dan Pius XI mendorong diadakannya Adorasi Ekaristi dan doa silih dan permohonan kepada Allah kita di depan Sakramen Mahakudus. Benediktus XV yang mengeluarkan Kitab Hukum Kanonik 1917 mengatur tentang penyimpanan Sakramen Mahakudus “dalam setiap paroki… dan di gereja yang berhubungan dengan tempat tinggal kaum religius” (Kanon 1265, 1).Paus Pius XI menghubungkan penyembahan Kristus dalam Sakramen Mahakudus dengan doa silih terhadap dosa. Di tahun 1928, Paus menulis ensiklik tentang Pemulihan bagi Hati kudus Yesus, yang intinya adalah mendorong permohonan bagi belas kasih Allah, secara khusus melalui Sakramen Ekaristi. Paus mendorong umat beriman untuk membuat permohonan silih dan doa-doa yang disebut sebagai doa “Jam suci/ Holy Hour” (Miserentissimus Redemptor, 8 Mei, 1928). Jam suci ini adalah pesan yang diterima oleh St. Margareta Maria di hadapan Sakramen Mahakudus.

Paus Pius XII

Sebelum terpilih menjadi Paus, Kardinal Pacelli adalah utusan Paus dalam Kongres Ekaristi di Budapest, Hungaria. Itu adalah tahun 1938, setahun sebelum meledaklah Perang Dunia II. Setelah menjadi Paus, Paus Pius XII mengeluarkan 41 eksiklik, dan sejumlah di antaranya menunjukkan perkembangan ajaran dalam Gereja Katolik. Dalam ensikliknya, Mediator Dei, terdapat sembilan bagian yang menjabarkan tentang “Adorasi Ekaristi”, yang berkembang sebagai sesuatu yang berbeda dengan Kurban Misa.

  1. Adorasi Ekaristi
    Dasarnya adalah: Kristus dalam sakramen Mahakudus adalah Putera Allah dalam rupa manusia. Ekaristi adalah “sungguh dan secara substansial adalah Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Allahan Tuhan kita Yesus Kristus.” Gereja telah sejak dahulu menyembah Tubuh Kristus dalam rupa roti. St. Agustinus menyatakan: “Tak seorangpun menyantap Tubuh itu, tanpa terlebih dahulu menyembah-Nya… kita berdosa jika kita tidak menyembahnya” (Mediator Dei, 129-130).
  2. Perkembangan Dogmatik
    Penyembahan sakramen Mahakudus tidak sama dengan Kurban Misa. Tradisi menyimpan Ekaristi kudus bagi para penderita sakit dan mereka yang dalam bahaya menunjukkan tradisi penyembahan Sakramen Mahakudus. Sakramen  Sebab Ekaristi adalah Kurban dan Sakramen. Ekaristi tidak saja menghasilkan rahmat, namun mengandung secara tetap, Sang Pemberi rahmat itu sendiri. Maka ketika Gereja meminta kita menyembah Kristus yang tersembunyi dalam Ekaristi dan memohon kepadanya, maka Gereja menyatakan iman yang hidup akan Mempelai-nya yang hadir dalam selubung ini, dan Gereja menyatakan syukur kepada-Nya dan menikmati keeratan persahabatan dengan-Nya (Mediator Dei, 131).
  3. Perkembangan Devosi
    Gereja kini telah mempunyai berbagai bentuk penyembahan tersebut, contohnya: kunjungan ke hadapan Tabernakel setiap hari, Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus, prosesi Ekaristi, terutama di masa Kongres Ekaristi, devosi 40 jam, ataupun Adorasi abadi, dst (Mediator Dei, 132).

Paus St. Yohanes XXIII

Berbeda dengan pendahulunya, Paus ini tidak menulis panjang lebar tentang liturgi Ekaristi, namun menggunakan setiap kesempatan untuk mendorong umat, terutama para imam, untuk berdoa di hadapan sakramen Mahakudus. Dalam kehidupan sebagai imam, tidak ada yang dapat menggantikan saat berdoa dalam keheningan di depan altar. Penyembahan, syukur, doa silih bagi dosa-dosa, berbagai intensi doa, digabungkan semua untuk menumbuhkan kasih sang imam kepada Allah yang Mahatinggi yang kepada-Nya ia telah berkaul dan untuk semua umat yang tergantung kepada pelayanannya sebagai imam. Dengan melakukan kebiasaan adorasi ini, maka kehidupan rohani para imam akan terus bertumbuh dan diperkaya, memberi kekuatan bagi kegiatan-kegiatan misi. Namun meskipun Paus menganjurkan para imam untuk berdoa di depan altar, Paus tetap mengingatkan mereka bahwa “Doa Ekaristi dalam arti yang penuh adalah Kurban Misa Kudus” (Sacredotii Nostri Primordia, 11 Agustus 1959).

Pada malam sebelum diadakannya Konsili Vatikan II, Paus St. Yohanes XXIII berpartisipasi dalam prosesi Sakramen Mahakudus di Roma. Ia menyusun doa bagi Konsili demikian:

“O Yesus, lihatlah kepada kami dari Sakramen-Mu seperti seorang Gembala yang baik… O Yesus, Sang Gembala yang baik, inilah kawanan-Mu yang telah Engkau kumpulkan dari ujung-ujung bumi, kawanan yang mendengarkan Sabda kehidupan, dan bermaksud menjaganya, melaksanakannya, dan mewartakannya. Ini adalah kawanan yang mengikuti Engkau dengan taat, O Yesus, dan berharap dengan sangat untuk melihat, di dalam Konsili ekumenis ini, cerminan dari wajah-Mu di dalam sifat-sifat Gereja-Mu, sang ibu dari semua orang, sang ibu yang membuka lengannya dan hatinya untuk semua orang, dan di sini menantikan, dengan gemetar dan dengan penuh harap, kedatangan semua Uskup-uskupnya” (21 Juni, 1962).

Paus Paulus VI

Meskipun Paus Yohanes XXIII yang membuka Konsili Vatikan II dan masih hidup sampai sesi pertama Konsili di tahun 1962, namun yang mempromulgasikan ke-16 dokumen Konsili adalah penerusnya, yaitu Paus Paulus VI. Dokumen Konsili pertama yang dipromulgasikan adalah Konstitusi tentang Liturgi Suci (4 Des 1963) sekitar 2 tahun kemudian, Paus mengeluarkan ensiklik Mysterium Fidei (3 Sept 1965), yang merupakan tulisan yang memaparkan analisa pengajaran tentang Kehadiran Yesus yang nyata dalam Sakramen Ekaristi: kehadiran Yesus dalam rupa roti dalam Sakramen Mahakudus, dan penyampaian rahmat-Nya melalui kehadiran-Nya secara Ekaristis sekarang di dunia.

  1. Kehadiran-Nya secara nyata dalam Ekaristi.
    Cara yang membuat Kristus hadir di dalam Sakramen ini tidak lain adalah dengan perubahan seluruh substansi dari roti menjadi Tubuh-Nya dan semua substansi anggur menjadi Darah-Nya, dan bahwa perubahan yang unik dan mengagumkan ini yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi . Akibatnya, rupa roti dan anggur memperoleh arti baru dan tujuan akhir yang baru, sebab mereka tidak lagi menjadi roti dan anggur biasa, tetapi menjadi tanda sesuatu yang sakral, tanda makanan rohani…. Tidak ada lagi, apa yang dikandung oleh rupa tersebut sebelumnya, sekarang menjadi sepenuhnya berbeda. Mengapa? Tidak saja karena iman Gereja, tetapi dalam kenyataan obyektif. Setelah perubahan substansi roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, tidak ada yang tertinggal pada roti dan anggur itu kecuali rupa yang terlihat, yang di dalamnya Kristus, secara keseluruhan, dalam kenyataan fisik, hadir secara jasmani (Mysterium Fidei, V)
  2. Penyampaian Rahmat Allah. Jika Kehadiran Yesus dikenali, maka logis jika kita menyembah Sang Penyelamat kita dalam Sakramen Mahakudus.
    Paus mengutip ajaran dari St. Silirus dari Aleksandria, yang mempertahankan kehadiran fisik kemanusiaan Kristus dalam Inkarnasi, seperti halnya juga dalam Ekaristi. St. Sirilus menolak pandangan bahwa jika Ekaristi dibiarkan sampai hari berikutnya, maka tidak lagi menyampaikan rahmat pengudusan. St. Sirilus mengajarkan, “Kristus tidaklah berubah, ataupun Tubuh-Nya yang kudus berubah, tetapi kekuatan dan rahmat yang menghidupkan kembali tetap ada padanya.” (MF VI).
    Begitu roti dan anggur telah dikonsekrasikan dan transubstansiasi telah terjadi, Kristus tetap ada sepanjang rupa Ekaristi tetap ada. Karena itu, sebab Kristus hadir, kemanusiaan-Nya tetap menjadi sumber rahmat yang menghidupkan. Dalam pernyataan kedua bahwa Ekaristi adalah saluran rahmat, Paus Paulus menyebutkan Ekaristi sebagai Kurban dan Komuni, dan Ekaristi sebagai Kehadiran Tuhan. Tidak hanya pada saat Kurban dipersembahkan dan sakramen diterima, tetapi sepanjang Ekaristi disimpan di gereja-gereja/ kapel kita, Kristus adalah sungguh Emmanuel, yaitu “Allah bersama kita”. Siang dan malam Ia ada di tengah kita. Ia tinggal bersama kita, penuh rahmat dan kebenaran… (MF VI)
  3. Tak diragukan lagi, Sang Penyelamat kita yang hidup hadir dalam Sakramen Mahakudus. Namun harus ada iman dari sisi kita. Siapapun yang datang kepada sakramen ini dengan devosi yang istimewa dan berusaha untuk membalas kasih Kristus yang tak terbatas ini, akan mengalami dan memahami secara penuh… betapa berharganya hidup tersembunyi dengan Kristus di dalam Tuhan, dan betapa besar nilainya percakapan dengan Kristus. Sebab tak ada yang lebih menghibur di dunia ini, tak ada yang lebih berdayaguna bagi kemajuan di jalan kekudusan (MF VI).

Paus Yohanes Paulus II

Paus Yohanes Paulus II dikenal sebagai Paus yang paling mengajarkan tentang Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi. “Ekaristi, di Misa dan di luar Misa, adalah Tubuh dan Darah Yesus Kristus, dan karena itu, layak menerima penyembahan yang diberikan kepada Allah yang hidup…” (29 September 1979)

Ekaristi adalah sekaligus sebuah Sakramen Kurban, Sakramen Komuni dan Sakramen Kehadiran (Redemptoris Hominis, IV, 20)

Adalah “Sang Penebus manusia” yang oleh sengsara dan wafat-Nya memperoleh rahmat bagi penyelamatan kita. Tetapi adalah melalui Ekaristi, Kristus yang sama itu sekarang menyalurkan rahmat-Nya ini kepada umat manusia yang berdosa. Gereja hidup dari Ekaristi, oleh kepenuhan Sakramen ini. Melalui Gerejalah rahmat Tuhan yang tak kelihatan dan pengudusan disampaikan kepada jiwa manusia.

Dengan kurban ini, Allah memberikan rahmat-Nya dan kurnia pertobatan, dan Ia mengampuni dosa-dosa. Berkat penebusan Kristus yang diberikan-Nya kepada kita melalui kematian-Nya yang berdarah di Kalvari, kini “kita terima secara berlimpah melalui kurban-Nya yang tidak berdarah” (17 September 1562).

Adalah kehendak Kristus bahwa “Sakramen ini diterima sebagai santapan rohani, untuk mempertahankan dan membangun mereka yang hidup dengan hidup-Nya. Itu juga menjadi “obat untuk membebaskan kita dari kelemahan-kelemahan dan untuk menghindari kita dari dosa berat” (11 Oktober, 1551).

Kehadiran Kristus yang nyata adalah Sakramen dengan cara yang sama seperti kemanusiaan Kristus adalah saluran rahmat bagi mereka yang percaya bahwa Putera Allah menjadi manusia untuk keselamatan kita.

Paus Benediktus XVI

Dalam Ekshortasi Apostoliknya, Sacramentum Caritatis, Paus mengajarkan:

“Dalam Ekaristi, Putera Allah datang untuk menjumpai kita dan menghendaki untuk menjadi satu dengan kita. Adorasi Ekaristi adalah konsekuensi yang kodrati dari perayaan Ekaristi, yang adalah ibadah Adorasi tertinggi bagi Gereja. Menerima Ekaristi artinya menyembah Dia yang kita terima. Hanya dengan cara ini kita menjadi satu dengan Dia, dan kita diberikan, seolah-olah, kesempatan mencicipi keindahan liturgi surgawi. Ibadah Adorasi di luar Misa memperpanjang dan memperdalam semua yang terjadi di sepanjang perayaan liturgi itu sendiri. Sungguh, hanya dalam penyembahanlah, penerimaan yang mendalam dan tulus akan bertumbuh dewasa. Perjumpaan pribadi dengan Tuhanlah yang memperkuat misi sosial yang terkandung dalam Ekaristi, yang meruntuhkan tidak saja dinding-dinding yang memisahkan Allah dengan diri kita, tetapi juga dan secara khusus, dinding-dinding yang memisahkan kita satu sama lain.” (SC, 66)

“Dengan sidang Sinoda, maka saya dengan sungguh merekomendasikan para imam dan para umat untuk melaksanakan Adorasi Ekaristi, baik secara perorangan maupun dalam komunitas. Keuntungan yang besar akan diperoleh dari katekesis yang memadai kepada umat beriman akan pentingnya ibadah penyembahan ini, yang memampukan umat beriman untuk mengalami perayaan liturgi dengan lebih penuh dan menghasilkan buah…. Saya juga menganjurkan, dalam pengajaran katekese, dan secara khusus dalam persiapan penerimaan Komuni Pertama, anak-anak diajarkan arti dan indahnya menghabiskan waktu dengan Yesus dan membantu menanamkan rasa kagum di hadapan kehadiran-Nya dalam Ekaristi…” (SC 67)

Penutup: Rahmat melalui kemanusiaan Kristus

Tema di balik ajaran Gereja tentang Ekaristi adalah kehadiran Kristus yang menghibur/ menopang di dalam Sakramen Mahakudus. Kehadirannya yang nyata dalam arti yang sepenuhnya, kehadiran-Nya yang substansial di mana hadirlah Kristus seluruhnya, [sebagai] Allah dan manusia (Paus St. Yohanes Paulus II, 29 Sept 1979).

Jika ini dihayati, maka tak sulit untuk melihat mengapa doa-doa di hadapan sakramen Mahakudus menjadi sangat berdayaguna. Sebab sakramen ini tidak hanya menyampaikan rahmat, namun mengandung Sang Sumber rahmat itu sendiri, yaitu Yesus Kristus. Yesus yang dahulu melakukan banyak mukjizat, menyembuhkan banyak orang sakit, mengajar dengan penuh kuasa, menubuatkan sengsara dan wafat-Nya… Yesus Sang Putera Allah yang Tunggal yang menjadi manusia, tak hanya pernah hidup di dunia, namun dalam Ekaristi, sekarang tetap hidup di antara kita.

Namun untuk menimba kebijaksanaan dan kekuatan yang tak terbatas dari Ekaristi, kita harus percaya terlebih dahulu. Dalam Ekaristi, hadirlah Kristus, Sang Penyelamat yang sama yang telah mengambil rupa manusia untuk wafat bagi kita di Kalvari, yang telah bangkit dan yang sekarang menyampaikan melalui kemanusiaan-Nya yang kini telah dimuliakan, berkat-berkat keselamatan.

Betapa kita sebagai umat Katolik perlu memohon kepada Tuhan Yesus, agar membantu kita supaya hari demi hari kita dapat semakin menghayati kehadiran-Nya yang nyata dalam Ekaristi. Betapa kita  sepantasnya terus mensyukuri kehadiran Kristus dalam Ekaristi, yang selalu menyertai Gereja-Nya. Saat kita mengumandangkan lagu Panis Angelicus, biarlah hati kita juga terangkat untuk mengakui bahwa Kristus sungguh adalah Sang Roti dari Surga, yang senantiasa dicurahkan untuk menjadi santapan bagi kita yang masih berziarah di dunia ini, dan yang memandang kepada-Nya dalam kerendahan kita, agar Ia menuntun kita sampai kepada terang Ilahi-Nya di Surga. Semoga Kristus membantu kita mengenali Dia yang tersembunyi dalam rupa Hosti kudus, dan tidak membiarkan kita mengeraskan hati seperti orang Farisi, yang karena kedegilan hati, menolak untuk percaya akan Sang Putera Allah yang pernah hadir di hadapan mereka sendiri dalam rupa manusia.

Tuhan Yesus, celikkanlah mata hatiku, agar dapat mengenali kehadiran-Mu yang terselubung, saat aku memandang Ekaristi kudus. Semoga Engkau mengizinkan aku memandang Engkau kembali, saat tiada lagi selubung yang menyembunyikan kemuliaan-Mu, dalam Kerajaan-Mu.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab