Home Blog Page 74

Kebahagiaan Hanya di dalam Tuhan: Bagaimana St. Thomas “Membaptis” Filsafat Aristoteles

2

Pencarian kebahagiaan manusia yang dilakukan Aristoteles berujung di pengertian kebahagiaan sebagai penyempurnaan dalam aktivitas berakal budi. Aristoteles kemudian menjelaskan kebahagiaan ini sebagai suatu bentuk kehidupan berkebajikan (life expressing virtue)yang terus-menerus, dan bukan hanya sementara saja. Walaupun ia melanjutkan diskusi mengenai “kebajikan” itu sendiri, Aristoteles tidak memberikan kepastian bagaimana kebahagiaan seperti itu dapat ditemukan manusia. Dalam hal ini, pewahyuan tentunya berperan besar. Seperti yang dikatakan Katekismus, pewahyuan Allah membuat sesuatu yang tidak pasti menjadi pasti bagi manusia, agar manusia dapat percaya dengan mudah, keteguhan yang kokoh, dan tanpa tercampur kesalahan atau kesesatan. ((cf. KGK 38)) Dengan bantuan pewahyuan, St. Thomas secara indahnya meneruskan pencarian Aristoteles dan memberikan manusia suatu kepastian di mana kebahagiaan itu dapat ditemukan.

Kebahagiaan akhir manusia terletak pada penyempurnaan aktivitas berakal budi

St. Thomas akan membawa argumennya berdasarkan hasil pencarian Aristoteles bahwa kebahagiaan manusia terletak pada penyempurnaan aktivitas berakal budinya. St. Thomas kemudian menjelaskan bagaimana penyempurnaan aktivitas berakal budi itu dapat tercapai.

Penyempurnaan aktivitas berakal budi adalah mengetahui esensi sesuatu

Penyempurnaan setiap kekuatan manusia ((Kekuatan-kekuatan dasar manusia (basic powers of man) dapat dikelompokkan menjadi intelek/akal budi (intellect/reason), kehendak (will), dan kesukaan/gairah (passions). )) itu berdasarkan natur dari objeknya. Sebagai contoh, penyempurnaan dari kehendak (the will) adalah kasih (charity), yaitu menghendaki kebaikan yang lain, karena objek dari kehendak adalah kebaikan (good). ((cf. St. Thomas, STh. II-II, q. 172, a. 2, ad. 1; Kehendak dan kesukaan/gairah selalu mencari “kebaikan”, baik “kebaikan” yang sesungguhnya, ataupun “kebaikan” yang hanya tampak demikian)) Maka, penyempurnaan dari akal budi adalah mengetahui esensi dari sesuatu, karena esensi, yaitu “apa hal itu” (what it is), adalah yang dicari akal budi. ((cf. Aristoteles, De Anima, iii, 6.)) Akal budi manusia tidak hanya melihat/memahami aksiden, seperti spektrum warna, bentuk, dan ukuran pada objek-objek di sekitarnya. Kita tidak hanya melihat lingkaran, warna hijau, dan bentuk memanjang, tetapi akal budi manusia melihat matahari, pohon-pohon, dan sungai dengan “menggabungkan” aksiden-aksiden tersebut (warna, bentuk, ukuran, dan sebagainya) dan melihatnya sebagai suatu esensi (matahari, pohon, sungai, dan sebagainya). Sebagai contoh lainnya, ketika seseorang memandang crucifix, ia tidak hanya melihat bentuk salib, warna cokelat, dan tekstur kasar; akal budinya melihat esensi dari objek tersebut, yaitu crucifix. Maka, penyempurnaan aktivitas berakal budi, berdasarkan objeknya, adalah mengetahui esensi dari suatu objek.

Manusia lebih mencari esensi dari sebab daripada akibat.

Setelah terbukti bahwa kebahagiaan manusia terletak pada aktivitas tertingginya, yaitu berakal budi, dan dengan berakal budi ia mencari esensi dari sesuatu dan bukan sekedar aksiden, maka pertanyaannya adalah apakah manusia mencari esensi dari suatu sebab atau akibat. Nampaknya, manusia secara natural ingin mencari esensi dari sebab. Hal ini dikarenakan manusia hanya dapat melihat secara langsung esensi dari akibat, sedangkan sebabnya hanya diketahui sejauh kita tahu bahwa segala sesuatu ada penyebabnya. ((Dengan melihat/mengerti esensi dari akibat, kita melihat “apa (akibat/hal) itu” (what it is). Namun dengan melihat akibat, kita tahu mengenai sebab bahwa “(sebab/hal) itu ada” (that it is), namun belum mengetahui “apa (sebab) itu” (what it is). Kenyataan ini lah yang membuat kita terus bertanya-tanya mengenai sebab.)) Ketika kita melihat esensi dari asap, kita tahu bahwa asap itu ada penyebabnya. ((Dalam hal ini, asap adalah “akibat” sejauh asap memiliki “sebab”.)) Ini membuat kita ingin mencari penyebabnya, dan setelah kita melihat esensi dari penyebabnya, misalnya api, kita pun tahu bahwa api itu ada penyebabnya. ((Dalam hal ini, api adalah “akibat” sejauh api memiliki “sebab”.)) Sebagai contoh lain seperti yang diberikan St. Thomas, bila kita melihat gerhana matahari, dan tahu bahwa hal tersebut pasti disebabkan oleh sesuatu, kita akan terus bertanya-tanya tentang penyebabnya sampai kita melihat/mengerti esensi dari sebab gerhana itu. Namun, kita akan tetap bertanya-tanya selama penyebab dari gerhana itu juga disebabkan oleh hal lain. Maka, manusia dengan akal budinya selalu memiliki kerinduan untuk mencari esensi penyebab dari akibat yang dilihatnya.

Manusia belum bahagia selama akal budinya masih mencari sesuatu.

Nampaknya jelas bahwa selama kekuatan tertingginya, yaitu akal budi, masih mencari sesuatu, manusia belum dapat dikatakan berbahagia. Selama binatang, yang kekuatan tertingginya adalah kesukaan/gairah, masih mencari sesuatu yang lebih disukainya, ia masih belum berbahagia. Selama seorang nahkoda, sejauh ia seorang nahkoda, masih mencari tujuan akhir bagi kapal yang dikemudikannya, ia belum “berbahagia” atau belum memenuhi tujuan akhir dari keberadaannya. Dengan demikian, selama akal budi manusia masih mencari esensi dari sesuatu, manusia belum dapat dikatakan berbahagia atau berhasil mencapai tujuan akhirnya.

Kebahagiaan sempurna manusia terletak pada pengetahuan akan esensi dari Sebab Pertama.

Kita telah menyetujui bahwa, pertama, manusia tidak pernah puas selama akal budinya masih dapat mencari sesuatu. Kemudian, manusia selalu ingin mencari esensi dari sebab dan bukan sekedar akibat. Dengan demikian, kebahagiaan sempurna manusia terletak pada pengetahuan/penglihatan akan esensi dari Sebab Pertama (First Cause), yaitu sesuatu yang tidak disebabkan oleh hal lain. ((Sebab Pertama pasti ada karena tidak mungkin ada rangkaian sebab-akibat yang tak terhingga (lihat bagian pertama dalam pembuktian adanya tujuan akhir manusia dengan argumen reductio ad absurdum). Lihat pula STh. I, q. 2, a. 3.)) Setelah mengetahui/melihat esensi dari Sebab Pertama ini, ia dengan akal budinya tidak lagi mencari hal lain karena tidak ada yang menjadi sebab dari Sebab Pertama. Maka, kebahagiaan manusia dicapai setelah akal budinya melihat Sebab Pertama.

Kebahagian manusia hanya ada di dalam kesatuannya dengan Allah

Aristoteles telah membuktikan keberadaan dari Sebab Pertama, namun ia tidak mengembangkan pribadi tersebut lebih jauh dari sekedar Pure Act yang abstrak dan nonpersonal. St. Thomas kemudian menerangkan sosok Sebab Pertama ini dengan menyebutnya sebagai “Allah” dalam quinque viae (lima jalan) yang ia berikan untuk membuktikan eksistensi Allah. Maka, untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, yaitu tujuan akhir manusia, akal budi perlu mencapai esensi dari Sebab Pertama, yaitu Allah. Namun, di dunia ini kita belum dapat melihat esensi Allah secara sempurna: kita hanya tahu bahwa Allah “itu ada” (that He is) berdasarkan ciptaan-ciptaannya, tetapi tidak tahu secara sempurna “apa itu” (what He is) Allah. Dengan demikian, penyempurnaan akal budi manusia hanya ada di dalam kesatuannya dengan Allah di dunia yang akan datang, di mana kebahagiaan dan tujuan akhir manusia dapat tercapai dengan melihat “apa itu” Allah melalui Beatific Vision.

Kesimpulan

Pada akhirnya, walaupun tanpa pewahyuan, kita dapat secara jelas dan yakin mengetahui bahwa manusia memiliki tujuan akhir dan hidupnya tidak tanpa arah atau tujuan; tujuan itu adalah yang kita mengerti sebagai kebahagiaan, yaitu sesuatu yang dicari demi hal itu sendiri dan tidak demi hal lain. Aristoteles pun menegaskan bahwa kebahagiaan itu tidak terletak pada sekedar kesenangan atau kenikmatan, atau bahkan uang, tetapi pada aktivitas manusia yang paling mulia dan unik, yaitu berakal budi. St. Thomas, yang menyempurnakan pemahaman Aristoteles mengenai Allah menjadi pribadi yang personal dan jelas keberadaannya, meyakinkan bahwa penyempurnaan aktivitas manusia itu hanya ada di dalam Allah, karena hanya setelah melihat Allah akal budi manusia akan terpuaskan. Dengan demikian, pewahyuan Allah tidak menggantikan posisi filsafat Aristoteles, melainkan memperjelas, menyempurnakan, dan memberikan kepastian kepada kita mengenai kebenarannya.

St. Thomas juga melengkapi bahwa Allah tidak hanya memenuhi kerinduan akal budi manusia sebagai kekuatan tertingginya, namun hanya Allah pula yang dapat memenuhi semua kekuatan manusia, yaitu kehendak (will) dan kesukaan/gairah (passions), dan tidak ada ciptaan yang dapat memberikan manusia kebahagian yang sempurna. ((cf. STh. I-II, q. 2, a. 8)) Orang-orang yang menganggap mereka dapat mendapatkan kebahagiaan di dunia ini jelas tertipu. Secara sederhana, sesuatu tidak dapat dipuaskan oleh hal yang di bawah kodratnya. Seekor sapi tidak dapat dipuaskan dengan berperilaku seperti tumbuhan: hanya berdiam diri dan makan. Demikian pula dengan manusia. Manusia tidak dapat dipuaskan dengan dunia ini sebab akal budinya dapat beraktivitas secara lebih tinggi dan mulia dari sekedar eksistensi fisik dunia ini. Pernyataan ini menjadi masuk akal: karena manusia memiliki kemampuan berakal budi yang merupakan partisipasi dalam suatu kenyataan yang lebih tinggi, hanya pribadi yang lebih tinggi yang dapat memuaskan manusia secara penuh, dan pribadi itu adalah yang kita pahami sebagai Allah.

Bukti nyata dari argumen ini adalah kehidupan orang-orang kudus: mereka menyadari bahwa kebahagiaan hanya ada di dalam Allah, dan mereka sebagai manusia memiliki kodrat untuk mencari kebahagiaan. Maka, mereka tidak menyia-nyiakan hidupnya mencari ciptaan-ciptaan, melainkan mereka langsung mencari Pencipta, yaitu melalui kehidupannya yang merefleksikan kehidupan surgawi. Inilah poin utama dari rangkaian artikel ini: kembali pada pernyataan pertama yang dibuat Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, bahwa semua aktivitas mengarah kepada suatu tujuan, tindakan kita harus didasari oleh tujuan yang kita hendaki, karena dengan demikianlah tujuan itu dapat tercapai. Mengetahui bahwa tujuan akhir manusia adalah kesatuannya di dalam Allah, tidak ada alasan yang masuk akal bagi manusia untuk tidak menjadi seperti orang-orang kudus: hanya melakukan segala hal yang membawa jiwanya semakin dekat kepada Sang Sebab Pertama.

“Engkau [Allah] telah membuat kami dan menarik kami pada-Mu, dan hati kami tidak akan tenang hingga ia beristirahat dalam Engkau” (St. Agustinus, The Confessions I, 1).

Pasar Kekudusan

2

Selama berada di biara ini, aku merangkap sebagai seksi bulog, menangani urusan logistik biara. Tentu saja, namanya bulog, pasti dekat dengan makanan-makanan enak dan kulkas. Sayangnya, semua makanan dan cemilan adalah milik komunitas. Jadi, bila satu makan, semua makan bersama. Tidak ada ceritanya cemilan pribadi di dapur. Apa boleh buat, cemilan-cemilan sedap hanya sebatas pandangan mata. Tidak ada perlakuan khusus untukku, biarpun aku adalah sie bulog. Hixx… :’(

Menjadi bulog memiliki resiko tersendiri. Salah satunya (yang cukup berat) adalah belanja pagi. Dalam keadaan biasa, para anggota biara sudah bangun cukup subuh untuk ibadat pagi. Namun, seolah belum cukup subuh, sie bulog harus bangun lebih pagi lagi untuk belanja kebutuhan dapur biara di pasar. Balapan bangun pagi sama ayam berkokok. Akibatnya, waktu istirahat berkurang dan aku bangun subuh untuk berangkat belanja sambil setengah sadar seperti zombie. Kadang, aku mengomel dengan tugas kehormatan ini.

Seperti pasar-pasar pada umumnya, pasar langganan belanjaku ini sangat ramai. Berjejal dengan orang-orang, becek, nggak ada ojek lagi… untung nggak hujan. Ada beragam orang dengan beragam kepentingan. Ada tante-tante dan mbak-mbak yang belanja, tawar-menawar dengan pedagang yang sewot gara-gara ditawar terlalu murah. Ada bapak-bapak yang mengangkuti barang dagangan ke dalam truk untuk disalurkan ke tempat lain, ada pula yang menurunkan muatan. Walau begitu, ada satu warna yang sama yang aku lihat dalam diri mereka : pengorbanan demi orang lain. Para pedagang berjualan demi mengepulkan asap dapur mereka. Maksudnya, buat masak makanan sehari-hari, bukan buat main petasan. Para ibu-ibu berbelanja demi kebutuhan dapur mereka, untuk memasak sarapan, makan siang, dan makan malam suami dan anak-anak. Kalau mbak-mbak pembantu, ya demi gaji yang lancar, yang juga untuk keluarga mereka di kampung. Satu hal lagi adalah mereka bangun lebih pagi dari aku, karena mereka sudah sampai duluan daripada aku.

Pasar ini lebih dari sekedar tempat transaksi ekonomi, melainkan juga transaksi kekudusan. Setiap orang berkorban demi orang lain, mempersembahkan diri mereka sebagai kurban. Ini adalah tempat penuh rahmat dan kesempatan emas untuk berkorban. Pada gilirannya, Allah akan memberkati setiap persembahan dengan kurban cinta Putra-Nya. Jika dipikir-pikir, aku bodoh sekali. Aku juga berbelanja di pasar ini demi orang lain, yakni demi saudara-saudaraku di biara. Mengapa aku menyia-nyiakan kesempatan berkorban ini dan menodainya dengan mengeluh dan bersungut-sungut? Seharusnya aku melakukannya dengan gembira.

Setiap saat dalam hidup sangat berharga, terutama untuk berkorban demi pengudusan diri sendiri dan orang lain. Kegiatan kecil seperti berbelanja di pasar juga adalah alat bagi Tuhan untuk mengajariku tentang pengorbanan. Aku dapat belajar menjadi kudus dengan hal-hal kecil ini dan melakukannya sekarang, bukan nanti atau esok.

“Tidak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar. Tapi, kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” – Bt. Teresa dari Kalkutta.

Kenangan

0

Misa Jumat Pertama di Jakarta, tanggal 06 Juni 2014, menjadi sebuah permenungan tentang perjalanan kehidupan. Pom bensin yang menjadi tanda arah ke tujuan ternyata tidak kelihatan. Kaca mobil yang terlalu gelap mungkin menjadi tumpuan kesalahan dan yang pasti karena pikiran sedang lelana (mengembara) tanpa tujuan. Kebablasan (keterusan) ke tempat yang jauh menjadi akibatnya. Kejengkelan dan ketegangan mempengaruhi suasana jiwa. Wajah luyu dan agak manyun merupakan ekspresinya. Aku berusaha tetap tersenyum walaupun berat.

Pengalaman salah jalan itu ternyata juga mempengaruhi konsentrasi perjalanan pulang. Karena salah mengambil arah, saya terjebak macet selama dua jam. Ketakutan akan jam Three in One membuat aku tak berdaya. Aku menyetir mobil dengan pasrah. Kepasrahan ternyata membuat arah pulang menjadi jelas. Saya pun sampai di pastoran dengan selamat dan bisa beristirahat sejenak sebelum Misa Lingkungan Santa Theresia, Paroki Santa Odilia – Tangerang, jam 19.30 malam.

Kepenatan ternyata tidak hilang begitu saja dengan berjalannya waktu. Wajahku ternyata tidak seceria biasanya ketika seorang nenek datang menemuiku. Ia mengatakan kepadaku: “Romo, aku datang karena kangen dengan Romo. Mo, apa yang sedang terjadi dengan Romo”. Aku menerangkan bahwa aku baru saja pulang setelah berjam-jam berkutat dengan kemacetan lalu lintas karena salah mengambil jalan. Ia kemudian menyanyikan sebuah lagu dengan suara pelo/agak cedal karena memang giginya tinggal dua: “Buat apa susah, buat apa susah karena susah itu tidak ada gunanya”. Ia kemudian menyampaikan kata-kata bijaksana yang di luar dugaan: “Salah jalan dalam lalu lintas tidak seberat salah kehidupan karena kita akan ditegur oleh suara hati kita sendiri. Terjebak dalam kemacetan lalu lintas tidak separah dengan kemacetan hidup. Dalam hidupku yang sudah semakin tua ini, aku sudah sering mengalami kemacetan dalam kehidupan. Kadang-kadang rejeki lancar dan kadang-kadang macet dan tak kunjung datang pertolongan. Kadang-kadang aku sakit dan kadang-kadang sehat. Ketika suami dipanggil yang ilahi, hidupku kadang-kadang sepi karena harus hidup sendiri. Apalagi anak-anak sudah pada membentuk keluarga sendiri”.

Aku termangu mendengarkan ungkapan nenek itu. Aku pun bertanya kepadanya: “Oma, mengapa Oma tetap senantiasa tersenyum kalau hidup Oma itu berat”. Ia menjawabku dengan jitu dalam sebuah rumusan yang aku bantu: “Hidupku ini bagaikan sebuah perjalanan ke sebuah bukit yang tinggi. Di dalam setiap langkahku, aku selalu mengambil kerikil yang aku temui dan aku masukkan ke dalam kantong yang aku bawa. Beban-beban itu tidak berat, malah sangat indah karena aku tahu tempat di mana aku harus meletakkannya”. Setelah mengatakan demikian, ia mengeluarkan Kitab Suci dari tasnya yang sudah tua. Ia mengambil dua jenis daun dari dalam Kitab Suci ini. Daun itu adalah daun pohon beringin dan daun kluwih (sejenis daun nangka): “Kula saged mikul bebaning urip kanti bingahing manah amarginipun ron waringin (daun beringin) dan ron kluwih (daun sejenis nangka yang mengandung makna luwih/lebih) sakti punika. Ron waringin punika nggambaraken Gusti Allah Ingkang Maha Asih. Gusti Allah ingkang Maha Asih punika teras ngayomi kula kanti maringi kekiatan ingkang linuwih, asmanipun injih punika Roh Suci, ingkang dipun gambaraken kanti ron kluwih/ Aku dapat memikul beban kehidupan ini dengan hati yang bersukacita karena daun beringin dan daun kluwih (sejenis nangka) sakti ini. Daun beringin melambangkan Tuhan Allah Yang Mahakasih. Tuhan Allah Yang Mahakasih ini senantiasa melindungiku dengan kekuatan yang lebih, yaitu Roh Suci, yang dilambangkan dengan daun kluwih. Lalu aku bertanya: “Di mana Oma meletakkan semua kerikil kehidupan ?” “Aku meletakkan semua kerikil kehidupan dalam sebuah kenangan. Di dalam setiap kerikil kehidupanku senantiasa ada kenangan akan pertolongan Tuhan”, jawabnya.

Pesan dari sejengkal pengalaman sederhana ini: “Jadikan semua masa silam yang kelam dan menyedihkan sebagai sebuah kenangan akan penyertaan Tuhan. Dalam puncak kehidupan, kita akhirnya dapat melihat hamparan sebuah cerita indah peziarahan hidup yang mampu mengenyahkan keputusasaan bagi yang membacanya”. Pemazmur meneguhan keyakinan ini: “Jika aku berada dalam kesesakan, Engkau mempertahankan hidupku; terhadap amarah musuhku Engkau mengulurkan tangan-Mu, dan tangan kanan-Mu menyelamatkan aku” (Mazmur 138:7).

Tuhan Memberkati.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Menghitung Hari

0

Suara sayup-sayup nyanyian “Yerusalem, Yerusalem, lihatlah Rajamu’, di Gereja Santa Odilia – Tangerang pada Minggu Palma malam, tanggal 13 April 2014, terdengar indah dari kamarku. Tiba-tiba pegawai sekretariat mengetok pintu kamarku. Ia memberitahukan kepadaku bahwa seorang ibu ingin bertemu denganku. Aku segera turun ke ruang tamu. Aku terkejut ternyata yang ingin bertemu denganku adalah seorang oma yang berusia tujuh puluh sembilan tahun. Ia ditemani oleh anak perempuan dan menantu lelakinya. Ia datang dari jauh, yaitu Paroki Santo Thomas Rasul, Bojong, Jakarta Barat. Ia mengenalku pada saat aku memimpin Adorasi dalam acara Persekutuan Doa Pembaharuan Karismatik Katolik, Bojong. Senyuman tetap menghiasi wajahya walaupun ia pasti lelah karena harus melewati kemacetan yang merupakan akibat dari pengecoran di Jalan Bitung-Cikupa-Tangerang.

Mensharingkan pengalamannya tentang kesempatan hidup kembali merupakan tujuan kedatangannya. Ia mengatakan bahwa ia datang kepadaku karena desakan jiwanya untuk membagikan pengalaman imannya tentang pertolongan Allah dalam menghadapi penyakitnya. Ia mempunyai masalah dengan ginjalnya. Beberapa bulan lalu ia harus dirawat di rumah sakit. Ia sempat tak sadarkan diri atau koma selama tiga belas jam. Ia juga sudah menerima Sakramen Perminyakan Suci. Ia justru menjadi sadar kembali setelah menerima sakramen bagi orang sakit itu dan bisa beraktivitas lagi. Pengalaman tak sadarkan diri/koma selama tiga belas jam semakin membuka hatinya akan besarnya dan banyaknya kasih Allah kepadanya. Ia pun semakin mengerti makna perjalanan hidupnya. Tuhan senantiasa mengulurkan tangan-Nya. Pertolongan Tuhan kepadanya sudah tak terhitung jari. Pertolongan Tuhanlah yang memampukannya membesarkan keenam anaknya ketika suaminya meninggal dunia dalam usia muda. Ia berusia tiga puluh empat tahun ketika suaminya menghadap Sang Pencipta. Pada waktu itu anak pertamanya baru berusia tiga belas tahun dan anak bungsunya berusia tiga setengah tahun. Janji Tuhan akan rumah kekal membuatnya terus rela berkorban demi cinta kepada Tuhan dan anak-anaknya.

Ia menguraikan penghayatannya tentang arti peziarahan hidupnya. Aku membantunya untuk merumuskannya: “Sang Pemurah Hati telah membelikan sebidang tanah kepadaku. Ia memberikannya kepadaku gratis. Aku tidak perlu membayarnya kembali. Harga tanah itu sangat mahal, jauh lebih mahal daripada tanah-tanah dalam kompleks termewah di Jakarta. Harga tanah itu tak mungkin terbayarkan dengan apapun karena Sang Pemurah Hati itu telah membayarnya dengan darah-Nya. Sang Pemurah Hati itu adalah Tuhan Yesus Kristus. Ternyata selama tujuh puluh sembilan tahun aku telah mengirimkan material-material yang diperlukan oleh Sang Arsitek Agung untuk membangun rumah yang sangat mewah dan sangat indah bagiku. Rumah itu adalah rumah yang hebat karena tahan banjir, tahan gempa, dan steril dari segala penyakit. Sang Arsitek Agung itu adalah Tuhan Allah. Tuhan Allah telah memberikan tiket kepadaku untuk terbang menuju rumahku itu. Akan tetapi, tiket itu tidak mencantumkan tanggal keberangkatannya. Yang harus aku lakukan adalah senantiasa siap dan siaga agar tidak ketinggalan pesawat ke surga ketika panggilan terbang diserukan. Sambil menunggu keberangkatanku ke rumahku di surga, aku berusaha sedapat mungkin mengirimkan perabot-perabot untuk mengisi rumah masa depanku. Karena itu, aku mohon Romo bisa merayakan Misa atas ulang tahunku yang ke-delapanpuluh sebagai ungkapan syukur atas anugerah kehidupan dan rumah indah di surga yang telah disediakan bagiku”.

Uraian bijak oma itu mengandung peringatan bahwa hidup di dunia ini sangat singkat dibandingkan dengan keabadian: “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap” (Mazmur 90:10). Hidup di dunia ini merupakan sebuah persiapan menuju kehidupan di surga. Kesadaran akan singkatnya kehidupan di dunia harus membentuk hati yang bijaksana: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Hati yang bijaksana adalah hati yang senantiasa ingin memanfaatkan setiap jengkel kehidupan untuk melakukan apa yang berkenan kepada Allah. Penderitaan yang mengiringi perjalanan kehidupan ini dapat dijadikan kesempatan untuk mempercayai Allah secara total sebagai Sang Penolong abadi. Penderitaan juga menjadi sebuah harapan akan rumah indah, yaitu rumah sukacita kekal, yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang setia kepadaNya.

Tuhan Memberkati.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Bersekutu dengan Allah lewat Komuni Kudus

11

[Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus: Ul 8:2-3, 14-16; Mzm 147: 12-20; 1Kor 10:16-17;  Yoh 6:51-58]

Hari Pentakosta belum lama berlalu. Dan di Minggu pertama setelah peringatan hari ulang tahun Gereja itu, kita diajak merenungkan tentang dasar ajaran iman kita, yaitu Allah Tritunggal Mahakudus. Sebab dengan menyadari bahwa Allah yang adalah Kasih (1Yoh 4:8) itu adalah Allah yang satu dalam Tiga Pribadi, maka kitapun menyadari bahwa kita, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, juga dipanggil untuk mengikuti teladan-Nya dalam  mengusahakan kesatuan kasih itu.  Bagi yang menikah, kita dipanggil untuk setia terhadap pasangan kita, sesuai dengan janji perkawinan kita. Bagi yang hidup membiara demi Kerajaan Allah, juga dipanggil untuk setia kepada Allah dengan memegang teguh kaul hidup membiara. Apapun panggilan hidup kita, kita semua dipanggil untuk mengambil bagian dalam kesatuan Allah itu, sebab tujuan akhir hidup kita adalah bersatu dengan Allah, sehingga “Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor 15:28).

Di hari Minggu ini kita masuk lebih dalam lagi dalam permenungan tentang kesatuan dengan Allah itu. Ibaratnya, Minggu lalu kita merenungkan tentang asal dan tujuan akhir hidup kita -yaitu di dalam Allah Tritunggal Mahakudus, namun Minggu ini kita merenungkan bagaimanakah caranya, agar kita dapat sampai ke sana. Bagaimana agar kita dapat sampai kepada kehidupan kekal, di mana kita akan tinggal di dalam Allah dan Allah di dalam kita, sampai selama-lamanya? Untuk itu kita mengacu kepada perkataan Yesus sendiri, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yoh 6:54-56). Betapa kita perlu memohon Roh Kudus untuk senantiasa membimbing agar kita dapat semakin menghayati sabda Yesus ini. Tuhan Yesus telah membuktikan kasih-Nya dengan menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya untuk menyelamatkan kita, dan Ia menghendaki agar kita mengenang-Nya dengan merayakan  peristiwa ini. Jika kita sungguh ingin melaksanakan kehendak-Nya ini, maka kita akan semakin menghargai dan merindukan Komuni kudus. Kita akan lebih bersungguh-sungguh menyiapkan batin sebelum menerima Ekaristi. Kita akan rindu untuk menyambut-Nya lebih sering daripada hanya seminggu sekali. Kita akan berusaha agar seluruh anggota keluarga kita dapat pula menyambut-Nya dalam Ekaristi, agar kelak kita semua berkumpul kembali dalam kehidupan kekal, di dalam Kristus yang telah mempersatukan kita di dalam Tubuh dan Darah-Nya, Jiwa dan ke-Allahan-Nya!  Sebab di dalam  kesatuan dengan Kristus, kita disatukan pula dengan Allah Bapa dan Roh Kudus.

Pesta Tubuh dan Darah Kristus ini pertama kali diadakan bagi seluruh Gereja atas prakarsa Paus Urbanus IV di tahun 1264. Maksudnya adalah untuk membangkitkan devosi terhadap kehadiran Yesus yang nyata di dalam  Ekaristi.  Namun meskipun kita merayakan pesta Tubuh dan Darah Kristus hanya setahun sekali, sesungguhnya Gereja sudah selalu merayakan kebenaran ini sejak abad- abad awal, setiap hari dalam perayaan Ekaristi. Setiap hari, Kristus memberikan diri-Nya bagi Gereja-Nya, menjadi santapan rohani bagi kita umat-Nya, sebagai sumber kekuatan dan pengharapan akan kehidupan kekal yang telah dijanjikan oleh-Nya. Setiap saat Kristus hadir dalam setiap Tabernakel dalam gedung gereja Katolik, untuk menyatakan kesetiaan-Nya kepada umat-Nya yang masih berziarah di dunia ini. Kristus juga dimuliakan di dalam prosesi ataupun adorasi sakramen Mahakudus, dalam penghormatan dan doa-doa yang kita panjatkan di hadapan sakramen Mahakudus tersebut. Di hari yang berbahagia ini, mari kita renungkan perkataan St. Josemaria Escriva, “Sembahlah Kristus dengan penuh hormat…, dalam hadirat-Nya, perbaharuilah persembahan kasihmu yang tulus. Jangan takut untuk mengatakan kepada-Nya bahwa engkau mengasihi-Nya. Bersyukurlah kepada-Nya karena Ia telah memberikan bukti belas kasih-Nya setiap hari, dan doronglah dirimu sendiri untuk menyambut Komuni dengan hati yang penuh iman…. ‘Di sinilah Tuhan mencari hatiku untuk menjadikannya tahta-Nya…’” (Christ is passing by, 161) . Mari, Tuhan Yesus,  bertahtalah di dalam hatiku! Bantulah aku masuk lebih dalam lagi dalam misteri kasih-Mu yang selalu menyertai, dalam Ekaristi.

Kepada kesatuan kasih, Allah memanggil kita

2

[Hari Raya Tritunggal Mahakudus: Kel 34:4-9; Dan 3:52-56; 2Kor 13:11-13;  Yoh 3:16-19]

“Aku memutuskan untuk bercerai dengan suamiku,” demikian tutur sahabat kami. Betapa sangat terkejut kami mendengarnya. Padahal, kenangan akan begitu indahnya pesta perkawinan kedua sahabat kami itu masih begitu melekat dalam ingatan kami. Saat itu keduanya nampak bahagia dan saling mengasihi. Namun sayangnya, kasih itu tidak bertahan lama dan mereka memutuskan untuk berpisah. Entah mengapa, apapun perkataan dan nasihat para sahabat tidak lagi dapat mengubah pendirian keduanya. Kini yang tertinggal adalah harapan dan doa agar suatu saat mereka dapat menyadari makna janji perkawinan mereka di hadapan Tuhan, dan memutuskan untuk kembali bersama sebagai keluarga. Agaknya kemeriahan pesta tidak menjadi ukuran bagi kesetiaan perkawinan. Sebab yang terpenting adalah menjalani kehidupan sesudahnya sebagai pasangan suami istri, yang mensyaratkan pengorbanan, saling mengasihi, saling memberi dan menyertai satu sama lain.

Demikian pula, kita diingatkan kembali akan makna janji Baptis kita, setelah kita merayakan masa Paska. Bagaikan pepatah, bahwa ada saatnya pesta akan berakhir, demikianlah masa perayaan Paska ditutup dengan perayaan Pentakosta. Namun sesungguhnya, Pentakosta tidak merupakan akhir, melainkan awal dari kehidupan Gereja sebagai kesatuan umat Allah. Roh Kudus yang adalah Sang Kasih dan Penghibur, telah dianugerahkan Allah kepada Gereja-Nya, yaitu kepada kita semua, agar kita dapat hidup dalam kesatuan kasih, seperti kehidupan dalam diri Allah sendiri, yaitu kesatuan antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Roh Kudus dikaruniakan kepada kita, agar kita dapat mengikuti teladan kasih Allah itu. Bapa mengasihi Putera, demikian pula sebaliknya, dan Kasih yang sempurna antara Keduanya itu adalah Roh Kudus. Karena  itu, Roh Kudus yang sama itu diutus oleh Bapa dan Putera untuk menyertai kita, agar memampukan kita hidup dalam kasih.

Kasih itu memberi, kasih itu menyertai pihak yang dikasihi. Bacaan pertama mengingatkan kita bahwa sejak dahulu kala, Allah selalu setia menyertai umat-Nya. Ia adalah “Allah yang penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia- Nya!” (Kel 34:6). Maka kita semua dipanggil oleh Tuhan untuk mengikuti teladan-Nya ini: yaitu dengan mengasihi sesama kita, sabar dan setia satu sama lain. Secara khusus, teladan ini mestinya nampak dalam kehidupan suami istri, yang telah berjanji di hadapan Allah untuk saling mengasihi dalam keadaan apapun, sampai selamanya. Memang ini tidak mudah, dan oleh karena itu, Tuhan Yesus sendiri memberikan contohnya kepada kita. Ia telah menyerahkan nyawa-Nya bagi kita, sahabat-  sahabat-Nya (Yoh 15:13).  Tiada teladan kasih yang lebih besar dan lebih sempurna daripada kasih Yesus ini. Kasih-Nya mendorong kita untuk juga memberikan diri kita kepada sesama  dan untuk “hidup sehati dan sepikir dan dalam damai sejahtera” (lih. 2Kor 13:11). Jika Yesus yang adalah Tuhan, rela berkorban untuk kita, maka pantaslah kita juga mau berkorban bagi orang-orang yang kita kasihi. Jika Allah Bapa rela menyerahkan Putera-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita (lih. Yoh 3:16), maka sudah selayaknya kita percaya kepada-Nya, dan mau menerima kasih karunia Allah yang menyelamatkan ini. Jika Bapa dan Putera telah mengutus Roh Kudus-Nya kepada kita dan menjadikan kita sebagai bait-Nya, maka sepantasnya kita berjuang untuk hidup kudus agar Ia tetap tinggal di dalam kita. Sebab Allah menghendaki agar dengan memperoleh Roh-Nya, kita memperoleh kehidupan kekal bersama-Nya dan dengan demikian mengambil bagian dalam kehidupan-Nya sendiri. Bukankah ini adalah kesempurnaan kasih, yaitu jika kita dapat tinggal dalam kesatuan dengan orang yang kita kasihi dan mengalami kehidupan bersamanya sampai selamanya? Sungguh, tiada contoh kasih yang lebih sempurna daripada kasih Allah itu sendiri; dan betapa kita semua telah dipanggil untuk hidup di dalam kasih-Nya itu. Ah, seandainya saja setiap orang percaya menghayati panggilan ini dan mau menghidupinya, mungkin tak akan ada perkawinan yang bubar, dan tak ada keluarga yang tercerai berai…

Ya, Allah Tritunggal Mahakudus, kami mohon pimpinlah kami umat-Mu, untuk hidup di dalam kesatuan kasih seturut teladan-Mu. Semoga dalam kesatuan kasih ini,  kelak Engkau perkenankan kami untuk mengambil bagian dalam  kehidupan kekal bersama-Mu.”

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab