Home Blog Page 333

Vatikan II

0

Konsili Vatikan II adalah Konsili uskup sedunia yang diadakan di Vatikan, Roma pada tahun 1962-1965 (terdiri dari 4 periode), yang diprakarsai oleh Paus Yohanes XXIII. Tujuannya adalah untuk memperbaharui Gereja secara spiritual dengan cara kembali ke sumber Tradisi Suci yang lama baik yang tertulis (Kitab Suci) maupun yang lisan, seperti dari para Bapa Gereja dan tulisan Para Orang Kudus (ressourcement). Diharapkan dengan demikian, Gereja dapat memperoleh kesegaran baru sehingga dapat menjawab tantangan zaman, dan iman Katolik dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari (aggiornamento). Tujuan akhir dari pembaharuan ini adalah memusatkan Gereja pada pribadi Kristus dan pada Misteri Paska-Nya, yang diterjemahkan oleh Konsili sebagai seruan panggilan kepada semua orang untuk hidup kudus.

Isi dokumen Konsili Vatikan II:

  1. DAFTAR ISI
  2. KATA PENGANTAR
  3. KONSTITUSI
    1. KONSTITUSI DOGMATIS “DEI VERBUM” – TENTANG WAHYU ILAHI
    2. KONSTITUSI DOGMATIS “LUMEN GENTIUM” – TENTANG GEREJA
    3. KONSTITUSI “SACROSANCTUM CONCILIUM” – TENTANG LITURGI SUCI
    4. KONSTITUSI PASTORAL “GAUDIUM ET SPES” – TENTANG GEREJA DALAM DUNIA MODERN
  4. PERNYATAAN
    1. PERNYATAAN “GRAVISSIMUS EDUCATIONIS” – TENTANG PENDIDIKAN KRISTEN
    2. PERNYATAAN “NOSTRA AETATE” – TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTEN
    3. PERNYATAAN “DIGNITATIS HUMANAE” – TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
  5. DEKRIT
    1. DEKRIT “AD GENTES” – TENTANG KEGIATAN MISIONER GEREJA
    2. DEKRIT “PRESBYTERORUM ORDINIS” – TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM
    3. DEKRIT “APOSTOLICAM ACTUOSITATEM” – TENTANG KERASULAN AWAM
    4. DEKRIT “OPTATAM TOTIUS” – TENTANG PEMBINAAN IMAN
    5. DEKRIT “PERFECTAE CARITATIS” – TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS
    6. DEKRIT “CHRISTUS DOMINUS” – TENTANG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA
    7. DEKRIT “UNITATIS REDINTEGRATIO” – TENTANG EKUMENISME
    8. DEKRIT “ORIENTALIUM ECCLESIARUM” – TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR KATOLIK
    9. DEKRIT “INTER MIRIFICA” – TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL

Daftar Isi

0

Daftar isi dari Dokumen Konsili Vatikan II, yang terdiri dari: 4 konstitusi, 3 pernyataan, dan 9 dekrit.

Isi dokumen Konsili Vatikan II:

  1. DAFTAR ISI
  2. KATA PENGANTAR
  3. KONSTITUSI
    1. KONSTITUSI DOGMATIS “DEI VERBUM” – TENTANG WAHYU ILAHI
    2. KONSTITUSI DOGMATIS “LUMEN GENTIUM” – TENTANG GEREJA
    3. KONSTITUSI “SACROSANCTUM CONCILIUM” – TENTANG LITURGI SUCI
    4. KONSTITUSI PASTORAL “GAUDIUM ET SPES” – TENTANG GEREJA DALAM DUNIA MODERN
  4. PERNYATAAN
    1. PERNYATAAN “GRAVISSIMUS EDUCATIONIS” – TENTANG PENDIDIKAN KRISTEN
    2. PERNYATAAN “NOSTRA AETATE” – TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTEN
    3. PERNYATAAN “DIGNITATIS HUMANAE” – TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
  5. DEKRIT
    1. DEKRIT “AD GENTES” – TENTANG KEGIATAN MISIONER GEREJA
    2. DEKRIT “PRESBYTERORUM ORDINIS” – TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM
    3. DEKRIT “APOSTOLICAM ACTUOSITATEM” – TENTANG KERASULAN AWAM
    4. DEKRIT “OPTATAM TOTIUS” – TENTANG PEMBINAAN IMAN
    5. DEKRIT “PERFECTAE CARITATIS” – TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS
    6. DEKRIT “CHRISTUS DOMINUS” – TENTANG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA
    7. DEKRIT “UNITATIS REDINTEGRATIO” – TENTANG EKUMENISME
    8. DEKRIT “ORIENTALIUM ECCLESIARUM” – TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR KATOLIK
    9. DEKRIT “INTER MIRIFICA” – TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL
KONSTITUSI “SACROSANCTUM CONCILIUM” – TENTANG LITURGI SUCI

PENDAHULUAN

BAB I : ASAS-ASAS UMUM UNTUK MEMBAHARUI DAN MENGEMBANGKAN LITURGI

I. Hakekat dan Makna Liturgi Suci Dalam Kehidupan Gereja

5. Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus
6. Karya keselamatan, yang dilestarikan oleh Gereja, terlaksana dalam liturgi
7. Kehadiran Kristus dalam Liturgi
8. Liturgi di dunia ini dan Liturgi di sorga
9. Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja
10. Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja
11. Perlunya persiapan pribadi
12-13 Liturgi dan ulah kesalehan

II. Pendidikan Liturgi dan Keikut-sertaan aktif

14. Pendahuluan
15. Pembinaan para dosen Liturgi
16-18 Pendidikan Liturgi kaum Rohaniwan
19. Pembinaan Liturgis kaum beriman
20. Sarana-sarana audio-visual dan perayaan Liturgi

III. Pembaharuan Liturgi

21. Pendahuluan

A. Kaidah-kaidah umum

22. Pengaturan Liturgi
23. Tradisi dan perkembangan
24. Kitab suci dan Liturgi
25. Peninjauan kembali buku-buku Liturgi

B. Kaidah-kaidah berdasarkan hakekat Liturgi sebagai tindakan Hirarki dan jemaat

26. Liturgi sebagai perayaan Gereja
27. Perayaan bersama
28-29 Martabat perayaan
30-31 Keikut-sertaan aktif umat beriman
32. Liturgi dan kelompok-kelompok sosial

C. Kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral Liturgi

33. Pendahuluan
34. Keserasian upacara-upacara
35. Kitab suci, pewartaan dan katekese dalam Liturgi
36. Bahasa Liturgi

D. Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan Liturgi dengan tabiat perangai dan tradisi bangsa-bangsa

37. Gereja memelihara kekayaan bangsa-bangsa
38. Penyesuaian dan tuntutan masa dan tempat
39. Batas-batas penyesuaian
40. Penyesuaian Liturgi, terutama di daerah misi

IV. Pembinaan kehidupan Liturgi dalam keuskupan dan paroki

41. Kehidupan Liturgi dalam keuskupan
42. Kehidupan Liturgi dalam paroki

V. Pengembangan pastoral Liturgi

43. Pembaharuan Liturgi, rahmat Roh Kudus
44. Komisi Liturgi nasional
45. Komisi Liturgi keuskupan
46. Komisi-komisi musik dan kesenian Liturgi

BAB II : MISTERI EKARISTI SUCI

47. Ekaristi suci dan misteri Paska
48-49 Keikut-sertaan aktif kaum beriman
50. Peninjauan kembali Tata Perayaan Ekaristi
51. Supaya Ekaristi diperkaya dengan sabda Kitab suci
52. Homili
53. Doa umat
54. Bahasa Latin dan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi
55. Komuni suci, puncak keikut-sertaan dalam Misa suci, Komuni dua rupa
56. Kesatuan Misa
57-58 Konselebrasi

BAB III : SAKRAMEN-SAKRAMEN LAINNYA DAN SAKRAMENTALI

59. Hakekat sakramen
60. Sakramentali
61. Nilai pastoral Liturgi, hubungannya dengan misteri Paska
62. Perlunya meninjau kembali upacara Sakramen-Sakramen
63. Bahasa; rituale Romawi dan rituale khusus
64. Katekumenat
65. Inkulturasi inisiasi
66. Peninjauan kembali upacara babtis
67. Peninjauan kembali upacara pembabtisan kanak-kanak
68. Upacara pembabtisan yang singkat
69. Upacara pelengkap
70. Pemberkatan air babtis
71. Peninjauan kembali Sakramen Krisma
72. Peninjauan kembali upacara tobat
73. Peninjauan kembali upacara Pengurapan Orang Sakit
74. Upacara berkesinambungan untuk orang sakit
75. Upacara pengurapan Orang Sakit
76. Peninjauan kembali Sakramen Tahbisan
77. Peninjauan kembali Sakramen Perkawinan
78. Perayaan perkawinan
79. Peninjauan kembali sakramentali
80. Pengikraran kaul religius
81. Peninjauan kembali upacara pemakaman
82. Upacara penguburan anak-anak

BAB IV : IBADAT HARIAN

83-85 Ibadat harian, karya Kristus dan Gereja
86-87 Nilai pastoral Ibadat Harian
88-89 Peninjauan kembali pembagian waktu Ibadat menurut tradisi
90. Ibadat harian, sumber kesalehan
91. Pembagian mazmur-mazmur
92. Penyusunan bacaan-bacaan
93. Peninjauan kembali madah-madah
94. Saat mendoakan Ibadat Harian
95-97 Kewajiban mendoakan Ibadat harian
98. Pujian kepada Allah dalam tarekat-tarekat religius
99. Ibadat Harian bersama
100. Keikut-sertaan umat beriman
101. Bahasa

BAB V : TAHUN LITURGI

102-105 Makna tahun Liturgi
106. Makna hari Minggu ditekankan lagi
107-108 Peninajauan kembali tahun Liturgi
109-110 Masa Prapaska
111. Pesta para kudus

BAB VI : MUSIK LITURGI

112. Matabat musik Liturgi
113. Liturgi meriah
114. Umat beriman diharapkan berperan serta
115. Pendidikan musik
116. Nyanyian Gregorian dan Polifoni
117. Penerbitan buku-buku nyanyian Gregorian
118. Nyanyian rohani umat
119. Musik Liturgi di daerah-daerah Misi
120. Orgel dan alat-alat musik lainnya
121. Panggilan para pengarang musik

BAB VII : KESENIAN RELIGIUS DAN PERLENGKAPAN IBADAT

122. Martabat kesenian religius
123. Corak-corak artistik
124. Karya-karya seni yang menyinggung cita rasa keagamaan
125. Gambar-gambar dan patung-patung
126. Panitia keuskupan untuk Kesenian Liturgi
127. Pembinaan para seniman
128. Peninjauan kembali peraturan tentang kesenian ibadat
129. Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan
130. Penggunaan lambang-lambang jabatan Uskup

LAMPIRAN :

Pernyataan Konsili Ekumenis Vatikan II tentang Peninjauan Kembali Penanggalan Liturgi

 

DEKRIT “INTER MIRIFICA” – TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL

PENDAHULUAN

1. Makna suatu ungkapan
2. Mengapa Konsili membahas masalah komunikasi sosial

BAB I: AJARAN GEREJA

3. Tugas-kewajiban Gereja
4. Hukum moral
5. Hak dan informasi
6. Kesenian dan moral
7. Pemberitaan kejahatan moral
8. Pendapat umum
9. Kewajiban-kewajiban para pemakai media komunikasi sosial
10. Kewajiban-kewajiban kaum muda dan para orang tua
11. Kewajiban-kewajiban para penyelenggara
12. Kewajiban-kewajiban pemerintah

BAB II: KEGIATAN PASTORAL GEREJA

13. Kegiatan para gembala dan umat beriman
14. Prakarsa-prakarsa umat katolik
15. Pembinaan para produsen
16. Pembinaan para pemakai jasa
17. Upaya-upaya teknis dan ekonomis
18. Sekali setahun : hari komunikasi nasional
19. Sekretariat pada Takhta suci
20. Wewenang para Uskup
21. Biro Nasional
22. Organisasi-organisasi internasional

PENUTUP

23. Instruksi pastoral
24. Anjuran akhir

KONSTITUSI DOGMATIS “LUMEN GENTIUM” – TENTANG GEREJA

BAB I: MISTERI GEREJA

1. Pendahuluan
2. Rencana Bapa yang bermaksud menyelamatkan semua orang
3. Perutusan Putera
4. Roh Kudus yang menguduskan Gereja
5. Kerajaan Allah
6. Aneka gambaran Gereja
7. Gereja, Tubuh mistik Kristus
8. Gereja yang kelihatan dan sekaligus rohani

BAB II: UMAT ALLAH

9. Perjanjian Baru dan Umat Baru
10. Imamat umum
11. Pelaksanaan imamat umum dalam Sakramen-Sakramen
12. Perasaan iman dan karisma-karisma umat kristiani
13. Sifat umum dan katolik Umat Allah yang Satu
14. Umat beriman katolik
15. Hubungan Gereja dengan orang kristen bukan katolik
16. Umat bukan kristen
17. Sifat misioner Gereja

BAB III: SUSUNAN HIRARKIS GEREJA, KHUSUSNYA EPISKOPAT

18. Pendahuluan
19. Dewan para Rasul didirikan oleh Kristus
20. Para Uskup pengganti para Rasul
21. Sakramentalitas episkopat
22. Dewan para Uskup dan Ketuanya
23. Uskup setempat dan Gereja universal
24. Tugas para Uskup pada umumnya
25. Tugas mengajar
26. Tugas menguduskan
27. Tugas menggembalakan
28. Para imam biasa
29. Para diakon

BAB IV: PARA AWAM

30. Prakata
31. Apa yang dimaksud dengan istilah “awam”
32. Martabat kaum awam sebagai anggota umat Allah
33. Hidup kaum awam berhubungan dengan keselamatan dan kerasulan
34. Keikut-sertaan kaum awam dalam imamat umum dan ibadat
35. Keikut-sertaan kaum awam dalam tugas kenabian Kristus
36. Keikut-sertaan kaum awam dalam pengabdian rajawi Kristus
37. Hubungan kaum awam dengan Hirarki
38. Penutup

BAB V : PANGGILAN UMUM UNTUK KESUCIAN DALAM GEREJA

39. Prakata
40. Panggilan umum untuk kesucian
41. Bentuk pelaksanaan kesucian
42. Jalan dan upaya kesucian

BAB VI : PARA RELIGIUS

43. Pengikraran nasehat-nasehat Injil dalam Gereja
44. Makna dan arti hidup religius
45. Hubungan para religius dengan Hirarki
46. Penghargaan terhadap hidup religius
47. Penutup

BAB VII : SIFAT ESKATOLOGIS GEREJA MUSAFIR DAN PERSATUANNYA DENGAN GEREJA DI SORGA

48. Pendahuluan
49. Persekutuan antara Gereja di sorga dan Gereja di dunia
50. Hubungan antara Gereja didunia dan Gereja di sorga
51. Beberapa pedoman pastoral

BAB VIII : SANTA PERAWAN MARIA BUNDA ALLAH DALAM MISTERI KRISTUS DAN GEREJA

I. Pendahuluan

52. Santa Perawan dalam misteri Kristus
53. Santa Perawan dan Gereja
54. Maksud Konsili

II. Peran Santa Perawan dalam tata keselamatan

55. Bunda Almasih dalam Perjanjian Lama
56. Maria menerima warta gembira
57. Santa Perawan dan kanak-kanak Yesus
58. Santa Perawan dan hidup Yesus dimuka umum
59. Santa Perawan sesudah Yesus naik ke sorga

III. Santa Perawan dan Gereja

60-62 Maria hamba Tuhan
63-64 Maria pola Gereja
65. Keutamaan-keutamaan Maria, pola bagi Gereja

IV. Kebaktian kepada Santa Perawan dalam Gereja

66. Makna dan dasar bakti kepada Santa Perawan
67. Semangat mewartakan sabda dan kebaktian kepada Santa Perawan

V. Maria, tanda harapan yang pasti dan penghiburan bagi umat Allah

68-69 ……………………………………………………………………………………..

PENGUMUMAN OLEH SEKRETARIS JENDRAL KONSILI

1. Kadar teologis Konstitusi “De Ecclesia”
2. Arti kolegialitas

CATATAN PENJELASAN PENDAHULUAN

DEKRIT “ORIENTALIUM ECCLESIARUM” – TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR KATOLIK

1. Pendahuluan

Gereja-gereja khusus atau ritus-ritus

2. Kemacam-ragaman dalam persekutuan Gereja katolik
3. Kesamaan martabat, hak-hak dan kewajiban-kewajiban
4. Kelestarian Ritus-Ritus dalam suatu persekutuan

Melestarikan pusaka rohani Gereja-Gereja Timur

5. Hak serta kewajiban Gereja-Gereja untuk melestarikan tata-laksana masing-masing
6. Melestarikan upacara-upacara Liturgis Ritus Timur

Para Patriark Timur

7. Siapa Patriark Timur itu?
8. Semua Patriark sederajat martabatnya
9. Wewenang Patriark dan sinode
10. Uskup Agung Utama
11. Didirikan patriarkat-patriarkat baru sejauh perlu

Tata-laksana Sakramen-Sakramen

12. Konsili mengukuhkan tata-laksana Sakramen-Sakramen
13. Pelayanan Sakramen Krisma
14. Penerimaan Sakramen Krisma
15. Ekaristi suci
16. Pelayanan Sakramen Tobat
17. Diakonat dan tahbian-tahbisan tingkat rendah
18. Pernikahan campur

Liturgi

19. Hari-hari raya
20. Hari raya Paska
21. Penyesuaian diri dengan Ritus setempat
22. Pujian Ilahi (ibadat harian)
23. Penggunaan bahasa daerah

Pergaulan dengan para anggota Gereja-Gereja yang terpisah

24. Memelihara persekutuan menurut Dekrit tentang Ekumenisme
25. Syarat untuk kesatuan; kewenangan menjalankan kuasa Tahbisan
26-28 “Communicatio in sacris”
29. Bimbingan para Hirark setempat
30. Penutup

DEKRIT “UNITATIS REDINTEGRATIO” – TENTANG EKUMENISME

1. PENDAHULUAN

BAB I : PRINSIP-PRINSIP KATOLIK UNTUK EKUMENISME.

2. Gereja yang satu dan tunggal
3. Hubungan antara saudara-saudari yang terpisah dan Gereja katolik
4. Ekumenisme

BAB II : PELAKSANAAN EKUMENISME

5. Ekumenisme : tanggung jawab segenap umat beriman
6. Pembaharuan Gereja
7. Pertobatan hati
8. Doa bersama
9. Saling mengenal sebagai saudara
10. Pembinaan ekumenis
11. Cara mengungkapkan dan menguraikan ajaran iman
12. Kerja sama dengan saudara-saudari yang terpisah

BAB III : GEREJA-GEREJA DAN JEMAAT GEREJAWI YANG TERPISAHKAN DARI TAKHTA APOSTOLIK DI ROMA

13. Pendahuluan

I. Tinjauan khusus tentang Gereja-Gereja Timur

14. Semangat dan sejarah Gereja-Gereja Timur
15. Tradisi Liturgi dan hidup rohani dalam Gereja-Gereja Timur
16. Ciri khas Gereja-Gereja Timur berkenaan dengan soal-soal ajaran
17. Penutup

II. Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah di dunia Barat

19. Situasi khusus Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat
20. Iman akan Kristus
21. Pendalaman Kitab suci
22. Hidup sakramental
23. Kehidupan dalam Kristus
24. Penutup

DEKRIT “CHRISTUS DOMINUS” – TENTANG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA

PENDAHULUAN

BAB I : PARA USKUP DAN GEREJA SEMESTA

I. Peranan para Uskup terhadap Gereja semesta

4. Pelaksanaan kekuasaan oleh Dewan para Uskup
5. Majelis atau sinode para Uskup
6. Para Uskup ikut serta memperhatikan semua Gereja-Gereja
7. Cinta kasih yang nyata terhadap para Uskup yang dianiaya

II. Para Uskup dan Takhta suci

8. Kuasa para Uskup dalam keuskupan mereka sendiri
9. Konggregasi-konggregasi dalam Kuria Romawi
10. Para anggota dan para pejabat konggregasi-konggregasi

BAB II : PARA USKUP DAN GEREJA-GEREJA KHUSUS ATAU KEUSKUPAN-KEUSKUPAN

I. Para Uskup diosesan

11. Faham “diosis” atau keuskupan, dan peranan para Uskup dalam keuskupan mereka
12. Tugas mengajar
13. Cara menyajikan ajaran Kristen
14. Pendidikan kateketis
15. Tugas para Uskup untuk menguduskan
16. Tugas penggembalaan Uskup
17. Bentuk-bentuk khusus kerasulan
18. Keprihatinan khusus terhadap kelompok-kelompok umat tertentu
19. Kebebasan para Uskup, hubungan mereka dengan Pemerintah
20. Kebebasan dalam pengangkatan para Uskup
21. Pengunduran diri Uskup dari jabatannya

II. Penentuan batas-batas keuskupan

22. Perlunya meninjau kemabali batas-batas keuskupan
23. Peraturan-peraturan yang harus dipatuhi
24. Diperlukan pendapat Konferensi Uskup

III. Para rekan sekerja Uskup diosesan dalam reksa pastoral

1. Para Uskup Koajutor dan Auksilier

25. Peraturan-peraturan untuk mengangkat Uskup koajutor dan Auksilier
26. Wewenang Uskup Auksilier dan Koajutor

2. Kuria dan Panitia-Panitia Keuskupan

27. Organisasi Kuria Keuskupan dan pembentukan Panitia Pastoral

3. Klerus Diosesan

28. Para imam disesan
29. Para imam yang menjalankan karya antar paroki
30. Para pastor paroki
31. Penunjukan, pemindahan, pemberhentian dan pengunduran diri pastor paroki
32. Pembubaran dan pengubahan paroki

4. Para Religius

33. Para religius dan karya-karya kerasulan
34. Para religius rekan sekerja Uskup dalam karya kerasulan
35. Asas-asas kerasulan para religius dalam keuskupan

BAB III : KERJASAMA PARA USKUP DEMI KESEJAHTERAAN UMUM BERBAGAI GEREJA

I. Sinode, Konsili, dan Khususnya Konferensi Uskup

36. Sinode dan Konsili khusus
37. Pentingnya Konferensi Uskup
38. Hakekat, wewenang dan kerjasama Konferensi-Konferensi

II. Penentuan batas-batas Provinsi-Provinsi gerejawi dan penetapan kawasan-kawasan gerejawi

39. Prinsip untuki meninjau kembali batas-batas yang telah ditetapkan
40. Beberapa pedoman yang harus yang harus dipatuhi
41. Perlu dimintakan pandangan Konferensi-Konferensi Uskup

III. Para Uskup yang menjalankan tugas antar keuskupan

42. Pembentukan biro-biro khusus dan kerjasama dengan para Uskup
43. Vikariat Angkatan Bersenjata
44. KETETAPAN UMUM

DEKRIT “PERFECTAE CARITATIS” – TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS

1. Pendahuluan
2. Asas-asas umum untuk mengadakan pembaharuan yang sesuai
3. Norma-norma praktis pembaharuan yang disesuaikan
4. Mereka yang harus melaksanakan pembaharuan
5. Unsur-unsur yang umum pada pelbagai bentuk hidup religius
6. Hidup rohani harus diutamakan
7. Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi
8. Tarekat-tarekat yang bertujuan kerasulan
9. Kelestarian hidup monastik konventual
10. Hidup religius kaum awam
11. Serikat-serikat sekular
12. Kemurnian
13. Kemiskinan
14. Ketaatan
15. Hidup bersama
16. Pingitan / klausura para rubiah
17. Busana religius
18. Pembinaan para anggota
19. Pendirian tarekat-tarekat baru
20. Bagaimana melestarikan, menyesuaiakan atau meninggalkan karya khusus tarekat
21. Tarekat-tarekat dan biara-biara yang mengalami kemerosotan
22. Perserikatan antara tarekat-tarekat religius
23. Konferensi para Pemimpin tinggi
24. Panggilan religius
25. Penutup

 

DEKRIT “OPTATAM TOTIUS” – TENTANG PEMBINAAN IMAN

Pendahuluan

I. Penyusunan metode pembinaan imam disetiap negara

II. Pengembangan panggilan imam secara lebih intensif

III. Tata-laksana Seminari-seminari tinggi

4. Seluruh pembinaan harus berhubungan erat dengan tujuan pastoral
5. Para pembimbing seminari hendaknya dipilih dengan saksama dan dibina secara efektif
6. Penyaringan dan pengujian para seminaris
7. Seminari hendaknya diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan para seminaris

IV. Pembinaan rohani yang lebih intensif

8. Belajar hidup dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal
9. Belajar membaktikan diri dalam Gereja
10. Belajar menghayati selibat imam
11. Menuju kedewasaan kepribadian
12. Waktu untuk pembinaan rohani yang lebih intensif; masa pembinaan pastoral

V. Peninjauan kembali studi gerejawi

13. Studi persiapan untuk studi gerejawi
14. Studi gerejawi hendaknya lebih diserasikan
15. Peninjauan kembali studi filsafat
16. Peningkatan studi teologi
17. Metode pendidikan yang cocok dalam pelbagai vak
18. Studi khusus bagi mereka yang berbakat tinggi

VI. Pembinaan pastoral

19. Pembinaan dalam pelbagai bentuk reksa pastoral
20. Pembinaan untuk pengembangan kerasulan
21. Melatih diri melalui praktek pastoral

VII. Pembinaan seusai studi

Penutup

PERNYATAAN “GRAVISSIMUS EDUCATIONIS” – TENTANG PENDIDIKAN KRISTEN

Pendahuluan

1. Hak semua orang atas pendidikan
2. Pendidikan kristen
3. Mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan
4. Aneka upaya untuk melayani pendidikan kristen
5. Pentingnya sekolah
6. Kewajiban dan hak-hak orang tua
7. Pendidikan moral dan keagamaan disekolah
8. Sekolah-sekolah katolik
9. Berbagai macam sekolah katolik
10. Fakultas dan universitas katolik
11. Fakultas teologi
12. Koordinasi di bidang persekolahan

Penutup

PERNYATAAN “NOSTRA AETATE” – TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTEN

1. Pendahuluan
2. Berbagai agama bukan kristen
3. Agama Islam
4. Agama Yahudi
5. Persaudaraan semesta tanpa diskriminasi

KONSTITUSI DOGMATIS “DEI VERBUM” – TENTANG WAHYU ILAHI

PENDAHULUAN

BAB I : TENTANG WAHYU SENDIRI

2. Hakekat wahyu
3. Persiapan wahyu Injili
4. Kristus kepenuhan wahyu
5. Menerima wahyu dalam iman
6. Kebenaran-kebenaran yang diwahyukan

BAB II : MENERUSKAN WAHYU ILAHI

7. Para Rasul dan pengganti mereka sebagai pewarta Injil
8. Tradisi suci
9. Hubungan antara Tradisi dan Kitab suci
10. Hubungan keduanya dengan seluruh Gereja dan Magisterium

BAB III : ILHAM ILAHI KITAB SUCI DAN PENAFSIRAN

11. Fakta ilham dan kebenaran Kitab suci
12. Bagaimana Kitab suci harus ditafsirkan
13. Turunnya Allah

BAB IV : PERJANJIAN LAMA

14. Sejarah keselamatan dalam kitab-kitab Perjanjian Lama
15. Arti Perjanjian Lama untuk umat kristen
16. Kesatuan antara kedua perjanjian

BAB V : PERJANJIAN BARU

17. Keluhuran Perjanjian Baru
18. Asal-usul Injil dari para Rasul
19. Sifat historis Injil
20. Kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya

BAB VI : KITAB SUCI DALAM KEHIDUPAN GEREJA

21. Gereja menghormati kitab-kitab suci
22. Dianjurkan terjemahan-terjemahan yang tepat
23. Tugas kerasulan para ahli katolik
24. Pentingnya Kitab suci bagi teologi
25. Dianjurkan pembacaan Kitab suci
26. Akhir kata

 

DEKRIT “APOSTOLICAM ACTUOSITATEM” – TENTANG KERASULAN AWAM

PENDAHULUAN

BAB I : PANGGILAN KAUM AWAM UNTUK MERASUL

2. Keikut-sertaan awam dalam perutusan Gereja
3. Asas-asas kerasulan awam
4. Spiritualitas awam dalam tata kerasulan

BAB II : TUJUAN-TUJUAN YANG HARUS DICAPAI

5. Pendahuluan
6. Kerasulan dimaksudkan untuk mewartakan Injil dan menyucikan umat manusia
7. Pembaharuan tata dunia secara kristen
8. Amal kasih, meterai kerasulan kristen

BAB III : PELBAGAI BIDANG KERASULAN

9. Pendahuluan
10. Jemaat-jemaat gerejawi
11. Keluarga
12. Kaum muda
13. Lingkungan sosial
14. Bidang-bidang nasional dan internasional

BAB IV : BERBAGAI CARA MERASUL

15. Pendahuluan
16. Pentingnya aneka bentuk kerasulan perorangan
17. Kerasulan awam dalam situasi-situasi tertentu
18. Pentingnya kerasulan yang terpadu
19. Aneka bentuk kerasulan terpadu
20. “Aksi Katolik”
21. Pengharapan terhadap organisasi-organisasi
22. Kaum awam yang secara istimewa berbakti kepada gereja

BAB V : TATA-TERTIB YANG HARUS DIINDAHKAN

23. Pendahuluan
24. Hubungan-hubungan dengan hirarki
25. Bantuan para imam bagi kerasulan awam
26. Upaya-upaya yang berguna bagi kerja sama
27. Kerja sama dengan umat kristen dan umat beragama lain

BAB VI : PEMBINAAN UNTUK MERASUL

28. Perlunya pembinaan untuk merasul
29. Dasar-dasar pembinaan awam untuk kerasulan
30. Mereka yang wajib membina sesama untuk kerasulan
31. Upaya-upaya yang digunakan

AJAKAN

PERNYATAAN “DIGNITATIS HUMANAE” – TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

PENDAHULUAN

I : AJARAN UMUM TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

2. Objek dan dasar kebebasan beragama
3. Kebebasan beragama dan hubungan manusia dengan Allah
4. Kebebasan jemaat-jemaat keagamaan
5. Kebebasan beragama dan keluarga
6. Tanggung jawab atas kebebasan beragama
7. Batas-batas kebebasan beragama
8. Pembinaan penggunaan kebebasan

II : KEBEBASAN BERAGAMA DALAM TERANG WAHYU

9. Ajaran tentang kebebasan beragama berakar dalam Wahyu
10. Kebebasan dan Faal iman
11. Cara bertindak Kristus dan para Rasul
12. Gereja menempuh jalan Kristus dan para rasul
13. Kebebasan Gereja
14. Peranan Gereja
15. Penutup

DEKRIT “AD GENTES” – TENTANG KEGIATAN MISIONER GEREJA

PENDAHULUAN

BAB I: ASAS-ASAS AJARAN

2. Rencana Bapa
3. Perutusan Putera
4. Perutusan Roh Kudus
5. Gereja diutus oleh Kristus
6. Kegiatan misioner
7. Alasan dan perlunya kegiatan misioner
8. Kegiatan misioner dalam hidup dan sejarah umat manusia
9. Sifat eskatologis kegiatan misioner

BAB II : KARYA MISIONER SENDIRI

10. Pendahuluan

Art I. Kesaksian kristen

11. Kesaksian hidup dan dialog
12. Kehadiran cinta kasih

Art II. Pewartaan Injil dan penghimpunan umat Allah

13. Pewartaan Injil dan pertobatan
14. Katekumenat dan inisiasi kristen

Art III. Pembinaan jemaat kristen

15. Pembinaan jemaat kristen
16. Pengadaan klerus setempat
17. Pendidikan para katekis
18. Pengembangan hidup religius

BAB III : GEREJA-GEREJA KHUSUS

19. Kemajuan Gereja-Gereja muda
20. Kegiatan misioner Gereja-Gereja khusus
21. Pengembangan kerasulan awam: kemacam-ragaman dalam kesatuan

BAB IV : PARA MISIONARIS

23. Panggilan misioner
24. Spiritualitas misioner
25. Pembinaan rohani dan moral
26. Pembinaan dalam ajaran dan kerasulan
27. Lembaga-lembaga yang berkarya di daerah-daerah misi

BAB V : PENGATURAN KARYA MISIONER

28. Pendahuluan
29. Organisasi umum
30. Organisasi setempat di daerah Misi
31. Koordinasi pada tingkat Regio
32. Organisasi kegiatan Lembaga-Lembaga
33. Koordinasi antara Lembaga-Lembaga
34. Koordinasi antara Lembaga-Lembaga ilmiah

BAB VI : KERJA SAMA

35. Pendahuluan
36. Kewajiban misioner segenap umat Allah
37. Kewajiban misioner jemaat-jemaat kristen
38. Kewajiban misioner para imam
39. Kewajiban misioner tarekat-tarekat religius
40. Kewajiban misioner kaum awam

PENUTUP

DEKRIT “PRESBYTERORUM ORDINIS” – TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM

PENDAHULUAN

BAB I : IMAMAT DALAM PERUTUSAN GEREJA

2. Hakekat imam
3. Situasi para imam di dunia

BAB II : PELAYANAN PARA IMAM

I. Fungsi para imam

4. Para imam, pelayan sabda Allah
5. Para imam, pelayan Sakramen-Sakramen dan Ekaristi
6. Para imam, pemimpin umat Allah

II. Hubungan para imam dengan sesama

7. Hubungan para Uskup dengan para imam
8. Persatuan persaudaraan dan kerja sama antara para imam
9. Hubungan para imam dengan kaum awam

III. Penyebaran para imam dan panggilan-panggilan imam

10. Penyebaran para imam
11. Usaha para imam untuk mendapat panggilan-panggilan imam

BAB III : KEHIDUPAN PARA IMAM

I. Panggilan para imam untuk kesempurnaan

12. Panggilan para imam untuk kesucian
13. Pelaksanaan ketiga fungsi imamat menuntut dan sekaligus mendukung kesucian
14. Keutuhan dan keselarasan kehidupan para imam

II. Tuntutan-tuntutan rohani yang khas dalam kehidupan imam

15. Kerendahan hati dan ketaatan
16. Selibat : diterima dan dihargai sebagai kurnia
17. Sikap terhadap dunia dan harta duniawi. Kemiskinan sukarela

III. Upaya-upaya yang mendukung kehidupan para imam

18. Upaya-upaya untuk mengembangkan hidup rohani
19. Studi dan ilmu pastoral
21. Balas jasa yang wajar bagi para imam
22. Pembentukan kas umu, dan pengadaan jaminan sosial bagi para imam

KATA PENUTUP DAN AJAKAN

KONSTITUSI PASTORAL “GAUDIUM ET SPES” – TENTANG GEREJA DALAM DUNIA MODERN

PENDAHULUAN

1. Hubungan erat antara Gereja dan segenap keluarga bangsa-bangsa
2. Kepada siapa amanat Konsili ditujukan?
3. Pengabdian kepada manusia

PENJELASAN PENDAHULUAN : KENYATAAN MANUSIA DI DUNIA MASA KINI

4. Harapan dan kegelisahan
5. Perubahan situasi yang mendalam
6. Perubahan-perubahan dalam tata masyarakat
7. Perubahan-perubahan psikologis, moral dan keagamaan
8. Berbagai ketidak-seimbangan dalam dunia sekarang
9. Aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin universal
10. Pertanyaan-pertanyaan mendalam umat manusia

BAGIAN I : GEREJA DAN PANGGILAN MANUSIA

11. Menanggapi dorongan Roh Kudus

BAB I : MARTABAT PRIBADI MANUSIA

12. Manusia diciptakan menurut gambar Allah
13. Dosa manusia
14. Kodrat manusia
15. Martabat akalbudi, kebenaran dan kebijaksanaan
16. Martabat hati nurani
17. Keluhuran kebebasan
18. Rahasia maut
19. Bentuk-bentuk dan akar-akar ateisme
20. Ateisme sistematis
21. Sikap Gereja menghadapi ateisme
22. Kristus Manusia Baru

BAB II : MASYARAKAT MANUSIA

23. Maksud Konsili
24. Sifat kebersamaan panggilan manusia dalam rencana Allah
25. Pribadi manusia dan masyarakat manusia saling tergantung
26. Memajukan kesejahteraan umum
27. Sikap hormat terhadap pribadi
28. Sikap hormat dan cinta kasih terhadap lawan
29. Kesamaan hakiki antara semua orang dan keadilan sosial
30. Etika individualis harus diatasi
31. Tanggung jawab dan keikut-sertaan
32. Sabda yang menjelma dan solidaritas manusia

BAB III : KEGIATAN MANUSIA DISELURUH DUNIA

33. Masalah-persoalannya
34. Nilai kegiatan manusiawi
35. Norma kegiatan manusia
36. Otonomi hal-hal duniawi yang sewajarnya
37. Kegiatan manusia dirusak karena dosa
38. Dalam misteri Paska kegiatan manusia mencapai kesempurnaannya
39. Bumi baru dan langit baru

BAB IV: PERANAN GEREJA DALAM DUNIA JAMAN SEKARANG

40. Hubungan timbal balik antara Gereja dan dunia
41. Bantuan yang oleh Gereja mau diberikan kepada setiap orang
42. Bantuan yang diusahakan oleh Gereja untuk diberikan kepada masyarakat manusia
43. Bantuan yang diusahakan oleh Gereja melalui umat Kristen bagi kegiatan manusiawi
44. Bantuan yang diperoleh Gereja dari dunia jaman sekarang
45. Kristus, Alfa dan Omega

BAGIAN II : BEBERAPA MASALAH YANG AMAT MENDESAK

PENDAHULUAN

BAB I : MARTABAT PERKAWINAN DALAM KELUARGA

47. Perkawinan dan keluarga dalam dunia jaman sekarang
48. Kesucian perkawinan dalam keluarga
49. Cinta kasih suami-istri
50. Kesuburan perkawinan
51. Penyelarasan cinta kasih suami-istri dengan sikap hormat terhadap hidup manusiawi
52. Pengembangan perkawinan dan keluarga merupakan tugas semua orang

BAB II: PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN

Pendahuluan
Art I Situasi kebudayaan pada jaman sekarang

54. Pola-pola hidup yang baru
55. Manusia pencipta kebudayaan
56. Kesukaran-kesukaran dan tugas-tugas

Art II Berbagai kaidah untuk dengan tepat mengembangkan kebudayaan

57. Iman dan kebudayaan
58. Hubungan antara Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia
59. Mewujudkan keserasian berbagai nilai dalam pola-pola kebudayaan

Art III Beberapa tugas umat kristen yang cukup mendesak tentang kebudayaan

60. Hak atas buah-hasil kebudayaan hendaknya diakui oleh semua dan diwujudkan secara nyata
61. Pendidikan untuk kebudayaan manusia seutuhnya
62. Menyelaraskan kebudayaan manusia dan masyarakat dengan pendidikan kristen

BAB III: KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI

63. Beberapa segi kehidupan ekonomi

Art I Perkembangan ekonomi

64. Perkembangan ekonomi melayani manusia
65. Kemajuan ekonomi dikendalikan oleh manusia
66. Perbedaan-perbedaan besar dibidang sosial ekonomi perlu disingkirkan

Art II Beberapa prinsip yang mengatur seluruh kehidupan sosial ekonomi

67. Kerja, Persyaratan kerja, istirahat
68. Peran-serta dalam tanggung jawab atas perusahaan dan seluruh pengaturan perekonomian; konflik-konflik mengenai kerja
69. Harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang
70. Penanaman modal dan masalah moneter
71. Soal memperoleh harta-milik dan milik perorangan; masalah tuan tanah
72. Kegiatan sosial ekonomi dan Kerajaan Kristus

BAB IV: HIDUP BERNEGARA

73. Kehidupan umum jaman sekarang
74. Hakekat dan tujuan negara
75. Kerja sama semua orang dalam kehidupan umum
76. Negara dan gereja

BAB V: USAHA DEMI PERDAIAN DAN PEMBENTUKAN PERSEKUTUAN BANGSA-BANGSA

Pendahuluan

78. Hakekat perdamaian

Art I Menghindari perang

79. Keganasan perang harus dikendalikan
80. Perang total
81. Perlombaan senjata
82. Larangan mutlak terhadap perang, dan kegiatan internasional untuk mencegah perang

Art II Pembangunan masyarakat internasional

83. Sebab-musabab perpecahan dan cara mengatasinya
84. Persekutuan bangsa-bangsa dan lembaga-lembaga internasional
85. Kerja sama internasional dibidang ekonomi
86. Beberapa pedoman yang sesuai untuk jaman sekarang
87. Kerja sama internasional sehubungan dengan pertambahan penduduk
88. Peranan umat kristen dalam pemberian bantuan
89. Kehadiran Gereja yang efektif dalam masyarakat internasional
90. Peranan orang-orang kristen dalam lembaga-lembaga internasional

PENUTUP

91. Tugas setiap orang beriman dan Gereja-Gereja khusus
92. Dialog antara semua orang
93. Membangun dunia dan mengarahkannya kepada tujuannya

INDEKS ANALITIS

LAMPIRAN

  1. BEBERAPA PERISTIWA PENTING SELAMA KONSILI VATIKAN II

  2. KONSILI-KONSILI EKUMENIS

Kata Pengantar

0

Ketua Presidium KWI

Ketika persediaan buku Tonggak Sejarah Pedoman Arah, dokumen Konsili Vatikan II terbitan Departemen Dokumentasi dan Penerangan MAWI tahun 1983 mulai menipis jumlahnya, telah dipikirkan masak-masak oleh KaDokPen KWI, apakah akan mencetak ulang ataukah justru mengusahakan sekaligus adanya suatu terjemahan baru. Mengingat buku tersebut disana-sini dirasa perlu disempurnakan terjemahannya, baik yang menyangkut judul, ungkapan maupun isi, maka dianggap mendesak adanya terjemahan baru.

Semula dipikirkan oleh KaDokPen KWI, dokumen tersebut akan diterjemahkan oleh sebuah team yang terdiri dari beberapa teolog dosen STFT dan STFKAT dari berbagai daerah diseluruh Indonesia. Namun cita-cita tersebut ternyata sulit dilaksanakan, karena tidak mudah menemukan dikalangan mereka seseoarang yang mempunyai waktu dan bersedia menterjemahkan dokumen tersebut.

Presidium bersyukur bahwa Pater R. Hardawiryana SJ yang semula diharapkan menjadi koordinator para penterjemah akhirnya bersedia menjadi penterjemah tunggal. Pada rapat tanggal 18 s/d 20 April 1990, Presidium menyetujui usulan KaDokPen agar Pater R. Hardawiryana SJ, akan menterjemahkan seluruh dokumen Vatikan II, sedikit demi sedikit. Untuk tahap pertama, setiap kali satu dokumen selesai diterjemahkan, langsung diterbitkan oleh DOKPEN KWI sebagai Seri Dokumen Gerejani, kemudian disebar, sambil mohon agar mereka yang telah membaca, dan memakai untuk sarana perkuliahan, seminar dls., berkenan menyampaikan koreksi dan usulan penyempurnaan. Setelah semua dokumen selesai diterjemahkan, sertakoreksi telah masuk pula, seluruh dokumen akan dicetak ulang menjadi satu kesatuan, setelah diperiksa ulang oleh para ahli yang berkompeten.

Kami bergembira bahwa akhirnya dapat diterbitkan seluruh dokumen Konsili Vatikan II dalam satu buku. Semoga buku baru ini dapat melayani kebutuhan Gereja Indonesia, karena buku lama telah habis. Dengan semakin sempurna diterjemahkan, inspirasi semangat dan ajaran Konsili Vatikan II yang kita hargai bersama itu dapat semakin baik dibaca, ditangkap, direnungkan, dan diresapkan.

Dalam kesempatan ini, tak lupa kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pater R. Hardawiryana SJ yang telah begitu banyak menyisihkan waktu karena berkenan menjadi penerjemah tunggal. Demikian pula kepada DOKPEN KWI serta semua pihak yang turut serta dalam usaha penerbitan buku baru ini, kami ucapkan banyak terima kasih. Setiap saran, koreksi dan usulan perbaikan tidak hanya kami terima dengan senang hati, melainkan juga sangat kami harapkan.

Jakarta, 2 Februari 1993

Mgr. J. Darmaatmadja. SJ

Ketua Presidium KWI

KATA PENGANTAR DOKPEN KWI

 

Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II telah diterjemahkan secara lengkap atas mandat dari MAWI (KWI) oleh Bapak Dr. J. Riberu yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Dokpen MAWI. Terjemahan ini terbit menjadi satu buku pada permulaan tahun 1984 dan sampai dengan tahun 1992 telah mengalami cetak ulang beberapa kali. Dalam cetakan ulang judul buku diubah dengan judul yang lebih tepat : “DOKUMEN KONSILI VATIKAN II. Tonggak Sejarah, Pedoman Arah”. Tak dapat disangkal bahwa buku ini dipakai secara luas diseluruh Indonesia, tidak hanya dikalangan umat Katolik tetapi juga yang bukan Katolik.

Sementara itu, dirasakan oleh para pemakai bahwa dalam terjemahan ini terdapat pelbagai kelemahan dan ketidaktepatan: judul buku, bahasa, kosakata dan sebagainya. Presidium KWI akhirnya dalam rapatnya tanggal 18 s/d 20 April 1990 memutuskan supaya seluruh dokumen itu diterjemahkan sekali lagi dengan melibatkan sebanyak mungkin ahli, sehingga terjemahan baru tersebut dapat lebih sempurna dan diterima oleh seluas mungkin pemakai. Tugas ini diserahkan kepada Departemen Dokumentasi dan Penerangan (DOKPEN) KWI.

Setelah semua teolog dari STFT dan STF yang ada di Indonesia di Hubungi, ternyata hampir tak ada yang sanggup untuk membantu menterjemahkannya. Syukur kepada Tuhan, bahwa Rama R. Hardawiryana, SJ menyanggupkan diri untuk melakukannya sedikit demi sedikit. Sekarang pekerjaan besar dan berat itu sudah selesai dan sementara itu sudah diterbitkan secara periodik dalam Dokumen Gerejawi yang diterbitkan oleh DOKPEN KWI. Dan sekarang buku yang ada di tangan Anda ini menjadi bukti kerja keras tadi. Kita patut berterimakasih yang sebesar-besarnya kepadanya.

Bahaya dari penerjemahan tunggal ini ialah bahwa kemungkinan untuk berbuat salah menjadi cukup besar. Hal ini kami coba imbangi dengan mengundang para pemakai, khususnya para ahli, untuk menyampaikan penyempurnaannya kepada penerjemah atau kepada kami selaku koordinator. Keuntungan dari penerjemahan tunggal ialah bahwa mutu dan gaya bahasa serta kadar ketelitian dapat dipertanggungjawabkan dalam seluruh dokumen; sesuatu yang agak sulit dipertahankan bila dokumen yang sama diterjemahkan oleh banyak orang.

Akhirnya kami berharap bahwa para pemakai dapat merasakan bahwa terjemahan baru ini sungguh lebih baik dari yang lama dan buku ini dapat lebih berguna bagi keberadaan Gereja Katolik di Indonesia dalam, bersama dengan umat lain, bergereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tercinta ini.

Jakarta, 17 Februari 1993

Alfons S. Suhardi, OFM

KADOKPEN KWI

KONSILI VATIKAN II : 1962 – 1965

Konsili Vatikan II merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Antara tgl. 11 Oktober 1962 dan tgl. 8 Desember 1965 diadakan empat periode sidang. Jumlah Uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara daripada yang menghadiri Konsili-Konsili sebelumnya([1]). Jumlah dokumen yang dihasilkannyapun lebih banyak, dan dampak-pengaruhnya atas kehidupan Gereja katolik lebih besar dari peristiwa manapun sesudah jaman reformasi pada abad XVI.

PERSIAPAN

Baik Paus Pis XI (1922-1939) maupun Paus Pius XII (1939-1958) pernah berfikir tentang membuka kembali Konsili Vatikan I (1869-1870), yang karena pecahnya perang antara Perancis dan Prusia (Jerman) terpaksa dihentikan secara mendadak ([2]). Tetapi Paus Yohanes XXIII-lah yang mengejutkan umat katolik sedunia dengan maklumat beliau yang penuh optimisme pada tgl. 25 Januari 1959, bahwa beliau bermaksud mengundang suatu Konsili ([3]). Yang beliau maksudkan bukan sekedar melanjutkan Konsili Vatikan I, melainkan menyelenggarakan Konsili yang baru sama sekali ([4]). Beliau mengharapkan Konsili akan mengajak Gereja semesta mengevaluasi kehidupan serta pelaksanaan misinya. Ada tiga sasaran yang mau dicapai, yakni : pembaharuan rohani dalam terang injil, penyesuaian dengan masa sekarang (“aggiornamento”) untuk menanggapi tantangan-tantangan zaman modern([5]), dan pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat kristen ([6]).

Persiapan Konsili dimulai dengan undangan yang ditujukan kepada semua Uskup diseluruh dunia, para pemimpin tarekat-tarekat imam religius, universitas-universitas serta fakultas-fakultas katolik, dan para anggota Kuria Romawi, untuk mengemukakan saran-saran mereka bagi permusyawarahan dan penyusuanan acar Konsili. Disepanjang sejarah Gereja belumpernah diadakan konsultasi seluas itu ([7]). Hasilnya ialah lebih dari 9300 saran. Seluruh bahan itu dipilah-pilah, didaftar, dan dibagi-bagikan kepada sepuluh komisi persiapan, yang oleh Paus Yohanes diangkat pada tgl. 5 Juni 1960 untuk menyiapkan konsep-konsep naskah (“schemata”) untuk dibahas dalam Konsili.

Komisi-komisi mengadakan rapat-rapat kerja antara bulan November 1960 dan bulan Juni 1962, dan menghasilkan lebih dari 70 naskah yang kemudian dirangkum menjadi sekitar 20 naskah. Setiap naskah diperiksa oleh Komisi Persiapan Pusat, diperbaiki dengan memperhatikan catatan-catatan yang dilampirkan, dan akhirnya dimohonkan persetujuan Paus. Pada musim panas tahun 1962 sejumlah naskah diedarkan diantara para Uskup sedunia sebagai bahan untuk periode Sidang yang akan dimulai pada musim gugur.

SIDANG PERTAMA

Konsili Vatikan II menyelenggarakan empat periode sidang, yakni: 11 Oktober – 8 Desember 1962, 29 September – 4 Desember 1963, 14 September – 21 November 1964, dan 14 September – 8 Desember 1965. Dalam uraian pengantar ini tidak mungkin memaparkan ikhtisar sejarah Konsili([8]). Tetapi baiklah disajikan catatan tentang periode Sidang Pertama, yang paling dramatis dan paling penting. Suasana dan keputusan-keputusan yang diambil ketika itu menggariskan haluan dasar seluruh Konsili. Ada empat moment yang mempunyai relevansi khas.

Momen relevan yang pertama ialah Amanat Pembukaan yang disampaikan oleh Paus Yohanes XXIII pada tgl.11 Oktober 1962. Beliau mendesak supaya Konsili menempuh arah pastoral ([9]). Menghadapi dunia yang memerlukan uluran belaskasihan([10]). Bukan maksud utamanya untuk mengulang-ulangi saja apa yang jelas sudah merupakan ajaran katolik, atau melontarkan kecaman-kecaman (“anathema”) terhadap kesesatan-kesesatan. Kendati mendesaknya tantangan-tantangan zaman, para Uskup diundang untuk menjauhkan sikap murung terhadap dunia modern, dan untuk merenungkan : mungkinkah Allah justru hendak memulai suatu era baru dalam sejarah manusia? Mereka diharapkan membedakan antara pokok-pokok iman disatu pihak, dan dipihak lain cara-cara mengungkapkannya yang tergantung juga dari situasi dan kondisi yang silih berganti, serta bagaimanapun juga harus menanggapinya. Jadi soal utama ialah : bagaimana pusaka iman diungkapkan dalam konteks situasi masa kini, untuk sungguh menyentuh hati manusia zaman sekarang dan memecahkan masalah-masalahnya yang aktual.

Momen kedua yang relevan ialah : ketika pada sidang kerja pertama para Uskup menyatakan tidak bersedia untuk begitu saja menerima para anggota komisi-komisi Konsili, yang disodorkan dalam daftar yang sudah siap, melainkan memutuskan untuk memilih sendiripara anggota komisi-komisi. Ketika itu peristiwa itu dianggap mengungkapkan, bahwa cukup banyak Uskup tidak setuju dengan nada dan isi pokok banyak naskah yang telah disiapkan. Mereka menginginkan waktu secukupnya untuk saling mengenal, dan memilih para anggota komisi-komisi, sehingga tidak begitu saja diulangi tekanan-tekanan naskah-naskah persiapan.

Momen ketiga yang sinyifikatif ialah perdebatan Konsili tentang Skema mengenai Liturgi. Diskusi itu mencerminkan, bahwa mayoritas para Uskup mendukung ajakan Paus untuk membaharui kehidupan Gereja. Maksud mereka makin jelas, ketika dimulai perdebatan tentang Skema “Tentang Sumber-Sumber Pewahyuan”. Teks itu oleh banyak Uskup dikritik dengan tajam sekali, dan pada pemungutan suara menjelang akhir diskusi lebih dari 60% menghendaki agar Skema dibatalkan.

Meskipun jumlah suara itu tidak mencukupi untuk mengembalikan Skema, Paus Yohanes memerintahkan perombakannya sama sekali. Momen keempat yang dramatis itu menampilkan maksud mayoritas para Uskup untuk menempuh haluan, yang dalam berbagai aspek menyimpang dari sikap-sikap dan strategi-strategi, yang menandai Katolisisme Romawi selama 150 tahun sebelumnya.

Paus Yohanes XXIII meninggal pada bulan Juli 1963, dan digantikan oleh Paus Paulus VI. Salah satu tindakan Paus baru yakni : mengumumnkan bahwa Konsili akan dilanjutkan, dan harus tetap mengikuti haluan yang telah digariskan oleh Paus Yohanes dan dikukukhkan selama periode Sidang I. Selama tiga periode Sidang berikut yang diketuai oleh Paus Paulus VI terlaksanalah karya pokok Konsili.

DOKUMEN-DOKUMEN KONSILI

Konsili Vatikan II menghasilkan enam belas dokumen, yakni empat Konstitusi (tentanag Liturgi, tenteng Gereja, tentang Wahyu Ilahi, dan tentang Gereja dalam Dunia Modern), sembilan Dekrit (tentang Upaya-Upaya komunikasi sosial, tentang Gereja-Gereja Timur Katolik, tentang Ekumenisme, tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, tentang Pembinaan Imam, tentang Kerasulan Awam, tentang Kegiatan Misioner Gereja, dan tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam), dan tiga Pernyataan (tentang Pendidikan Kristen, tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen, dan tentang Kebebasan Beragama). Judul-judul itu sudah menampakkan, betapa luaslah jangkauan Konsili.

Dokumen utama Konsili ialah Konstitusi dogmatis tentang Gereja (“Lumen Gentium”) ([11]). Titik tolaknya ialah Eklesiologi resmi yang dominan menjelang Konsili, dan ditandai dengan tekanan pada dimensi-dimensi kelembagaan Gereja ([12]). Konstitusi mulai dengan pandangan tentang Gereja sebagai Misteri, sebagai persekutuan beriman, yang dipanggil untuk ikut menghayati hidup Tritunggal maha kudus. Persekutuan dalam Allah itu memperbuahkan persekutuan antara para anggota Gereja, yang menjadikan mereka umat Allah, Tubuh Kristus dan Kenisah Roh Kudus. Dalam satu Gereja dimensi Ilahi dan manusiawi menciptakan suatu gejala sosial tersendiri, Gereja Kristus yang “berada dalam” Gereja Katolik Romawi, kendati banyak unsur-unsurnya yang baku terdapat juga diluar batas-batasnya yang kelihatan ([13]).

Selanjutnya “Lumen Gentium” menguraikan, bahwa dalam Gereja sebagai umat Allah terwujudlah Misteri dalam kurun sejarah antara Kenaikan Kristus ke Sorga dan Kedatangan-Nya pada akhir zaman ([14]). Ditekankan kesejahteraan fundamental martabat para anggota, yang mendasari pembedaan-pembedaan antara hirarki, kaum awam dan para religius. Orang menjadi warga penuh dalam Gereja, bila ia memiliki Roh Kristus, dan berada dalam persekutuan iman, Sakramen – Sakramen, dan tata-laksana serta struktur Gerejawi. Gereja itu bersifat “ katolik”, artinya : menjangkau semua bangsa dan kebudayaan, dipanggil untuk menghimpunnya dibawah Kristus Tuhan, dan untuk memperkaya Gereja semesta melalui pertukaran timbal balik sumber-sumber budaya pelbagai bangsa. Dalam Konstitusi ini dan dalam dokumen-dokumen Konsili kuat-kuat menekankan teologi Gereja setempat; dengan kata lain : prinsip, bahwa misteri Gereja selalu diwujudkan dalam jemaat-jemaat setempat, paroki-paroki, keuskupan-keuskupan, wilayah-wilayah geografis dan budaya yang lebih luas. Perspektif itu khususnya nampak dengan jelas dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (“Ad Gentes”).

Perspektif teologis dan rohani dua bab pertama “Lumen Gentium” dijabarkan dalam Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi (“Dei Verbum”) dan Konstitusi tentang Liturgi (“Sacrosanctum Consilium”) ([15]). “Dei Verbum” memandang perwahyuan sebagai komunikasi diri Allah melalui sabda dan karya-Nya, yang mencapai kesempurnaannya dalam Yesus Kristus. Perwahyuan pembawa penebusan itu disalurkan melalui Kitab Suci dan Tradisi. Dalam uraiannya tentang kedua pengantara perwahyuan itu Konsili menekankan peranan sentral Kitab suci, dan mendukung sahnya penelitian modern secara kritis ilmiah. Digarisbawahi pula peranan Tradisi, yang dimengerti sebagai proses hidup menerima serta menafsirkan Kitab suci dalam kenyataan hidup Gereja sehari-hari.

Sesudah pengantar teologis tentang peranan Liturgi dan khususnya Ekaristi suci yang bagi Gereja penting sekali, Konstitusi “Sacrosanctum Concilium” menggariskan prinsip-prinsip pembaharuan hidup liturgis Gereja secara mendalam. Upacara-upacar perlu diperbaharui sedemikian rupa, sehingga lebih jelas melambangkan misteri penyelamatan dan memungkinkan partisipasi aktif yang lebih penuh oleh semua warga Gereja.

Seusai pembahasan Gereja sebagai Misteri dan Umat Allah, “Lumen Gentium” mengarahkan perhatian kepada penggolongan anggota Gereja. Bab III menguraikan peranan hirarki ([16]), khususnya episkopat, dengan maksud mengimbangi tekanan Konsili Vatikan I pada wewenang dan “tidak dapat sesatnya” (“infallibilitas”) Paus, dengan menempatkan pelayanan kesatuan dalam konteks lebih luas Dewan para Uskup. Diajarkan sifat sakramental episkopat, begitu pula tanggung jawab Uskup atas Gereja setempat dan atas kesejahteraan Gereja semesta. Ajaran Konsili Vatikan I tentang Wewenang Mengajar (“Magisterium”) diulangi, tetapi sekaligus ditafsirkan secara lebih penuh dari yang mungkin tercapai pada tahun 1870. Dua artikel terakhir menguraikan imamat, dan mencantumkan keputusan untuki memulihkan diakonat sebagai pelayanan tetap. Bahan Bab III itu dilengkapi dengan Dekrit-Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup (“Christus Dominus”), tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam (“Presbyterorum Ordinis”), dan tentang Pembinaan Imam (“Optatam Totius”).

Bab IV “Lumen Gentium” menguraikan peranan kaum awam ([17]). Disajikan “gambaran tipologis” awam sebagai orang kristen, yang berhak penuh untuk ikut menghayati hidup dan menunaikan misi Gereja, dengan hidup secara kristen dalam dunia sekular. Awam menghadirkan Gereja didunia, dan dipanggil untuk menghadapi masalah-persoalan sehari-hari dengan sabda serta rahmat Kristus. Sekaligus ia menyumbangkan pandangan maupun pengalamannya tentang hidup sekular demi pembangunan Gereja. Prinsip-prinsip yang digariskan dalam Bab ini secara lebih penuh dijabarkan dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam (“Apostolicam Actuositatem”).

Bab VI tentang para religius dalam Gereja menjelaskan makna tiga kaul, yang diikrarkan oleh para religius untuk menerima tangtangan nasehat-nasehat Injili. Bab ini mendorong mereka untuk menunaikan tanggung jawab mereka sendiri demi kehidupan dan misi Gereja. Dekrit “Perfectae Caritatis” menyajikan prinsip-prinsip tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius ([18]), yang sekaligus mencerminkan cita-cita “aggiornamento” untuk seluruh Gereja. 1) kembali kepada Injil sebagai pedoman hidup yang utama; 2) kembali kepada sumber-sumber karisma dan spiritualitas masing-masing tarekat; 3) integrasi dalam Gereja seluruhnya; 4) menanggapi kebutuhan jaman dalam perihidup maupun kerasulan; 5) penghapusan deskriminasi antara para anggota ([19]).

Dalam Bab V dan VII “Lumen Gentium” kembali memandang Gereja semesta, sambil menekankan panggilan semua orang untuk kesucian dan persekutuan Gereja di dunia dengan Gereja yang jaya dalam Kerajaan Allah. Bab terakhir Konstitusi dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria, dan menjadikan peranannya sebagai anggota maupun lambang Gereja kunci untuk menafsirkan teologi tentang Maria.

Eklesiologi “Lumen Gentium” yang lebih mendalam dan lebih kaya besar sekali dampaknya atas hubungan-hubungan ekumenis antara Gereja katolik dengan Gereja-Gereja serta jemaat-jemaat kristen lainnya. Hubungan-hubungan itu oleh Konsili dijajagi baik dalam “Lumen Gentium” maupun dalam Dekrit tentang Ekumenisme (“Unitaris redintegratio”), Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur Katolik (“Orientalium Redintegratio”), dan Dekrit tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan kristen (“Nostra Aetate”). Dokumen-dokumen itu mencetuskan kesanggupan Gereja yang antusias untuk menggantikan sikap curiga dan bermusuhan antar Gereja dan antar Agama dengan sikap dialog dan kerjasama ([20]).

Konsili juga menyajikan dua dokumen untuk menanggapi situasi Gereja dalam dunia modern. “Gaudim Et Spes”, Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Modern, menyajikan citra Gereja yang berbagi kegembiraan dan harapan, penderitaan dan kegelisahan dengan sesama sezaman ([21]).Konstitusi GS mengandaikan semua yang telah ditetapkan oleh Konsili tentang Gereja, tetapi juga melengkapinya, sejauh menekankan bahwa anggota Gereja ialah anggota masyarakat (bdk. GS 1). Dan bahwa Gereja wajib bekerja sama dengan masyarakat (bdk. GS 40) ([22]). Bersama mereka semua Gereja ikut merasa bertanggung jawab untuk mengisi sejarah dunia. Bagian I dokumen menyajikan refleksi teologis tentang hubungan Gereja dan Dunia, serta secara istimewa menekankan, bahwa pihak yang satu mempunyai sumbangannyakepada pihak lain. Asas-asas itu diterapkan dalam bagian II pada masalah-masalah aktual tentang perkawinan dan keluarga, kebudayaan, kehidupan ekonomi, sosial dan politik, serta tentang damai dan perang ([23]).

Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (“Dignitatis Humanae”) mencantumkan pandangan Konsili tentang soal Gereja dan negara. Konsili membela hak pribadi manusiaatas kebebasan beragama, dan menentang camput tangan pemerintah dalam pelaksanaan hak itu. Dalam dokumen itu dan dalam Konstitusi “Gaudium et Spes” Konsili menganjurkan sikap yang jauh lebih terbuka terhadap dunia modern daripada yang terdapat dalam gereja katolik Roma selama 150 tahun sebelumnya.

Konsili ditutup pada tgl. 8 Desember 1965 dengan amanat Paus Paulus VI ([24]), dan pembacaan “Pesan- Pesan Konsili”, yang atas nama para Bapa Konsili dibawakan oleh beberapa Kardinal, dan ditujukan kepada pelbagai kelompok: para pemimpin negara, kaum intelektual, para seniman, kaum wanita, kaum miskin, mereka yang sakit dan menderita, kaum buruh dan generasi muda.

DAMPAK – PENGARUH KONSILI

Sebagai peristiwa Konsili mempunyai pengaruh yang besar sekali. Dalam kenangan Gereja Konsili merupakan pengalaman pertama pelaksanaan kolegial Kewibawaan tertinggi gerejawi ([25]). Gereja, yamh samapai saat itu sering membanggakan sifatnya tetap tak berubah, menjalani evaluasi diri yang mendalam dan bersikap kritis terhadap dirinya. Banyak sikap-sikap dan strategi-strateginya ditinjau kembali dan ditantang dalam terang Injil dan dalam Konfrontasi dengan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang.

Gejala itu berkelanjutan dimasa pasca Konsili. Perubahan-perubahan yang paling menonjol terjadi dalam Liturgi. Sebab Paus Paulus VI tidak hanya menghendaki supaya seruan Konsili untuk membaharui diri dilaksanakan sepenuhnya, tetapi bahkan supaya pembaharuan itu lebih jauh lagi dari apa yang diharapkan Konsili. Dipelbagai bidang kehidupan Gereja disetujuai usaha-usaha pembaharuan : hubungan-hubungan antara klerus dan awam, antara Uskup dan para imam, antara Roma dan Gereja-Gereja setempat, antara umat katolik dan umat beragama lain, dan sebagainya. Usaha-usaha pembahruan yang secara resmi di restui dan didukung sering pula diirngi dengan gerakan-gerakan dikalangan umat yang penuh semangat. Diantara gerakan-gerakan itu ada yang menanggapi serua Konsili dan serasi dengan usaha-usaha pembaruan yang resmi. Ada pula yang bersifat lebih radikal dari apa yang digambarkan atau diperintahkan oleh Konsili.

Konsili disambut secara berlain-lainan dipelbagai kawasan dunia dan oleh bermacam-macam lingkungan buday. Tetapi kiranya tidak berlebihan mengatakan, bahwa tiada Gereja di dunia yang sama sekali tidak terkena dampak dari pembaharuan yang diamanatkan oleh Konsili. Itu sendiri sudah membenarkan tekanan Konsili dalam Gereja setempat dan pada peran serta dan tanggung jawab semua orang kristen dalam kehidupan Gereja. Di beberapa bidang perubahan-perubahan itu begitu pesat dan cukup mendalam, sehingga boleh dipandang sebagai suatu “krisis” dalam Gereja.

Dua puluh tahun sesudah Konsili masih berlangsunglah suatu diskusi yang hangat baik tentang makna Konsili maupun tentang nilai apa yang terjadi sejak saat itu. Pada garis besarnya terdapat tiga tafsiran. Pandangan yang progresif menganggap Konsili moment yang sudah sangat terlambat bagi Gereja yang terlanjur sudah tidak relevan lagi, yang akhirnya mau menatap tantangan-tantangan zaman modern. Pandangan yang tradisional menyepakati, bahwa Konsili mengakibatkan perubahan-perubahan yang cukup besar, tetapi apa yang oleh kelompok yang progresif tadi disambut baik, oleh kelompok tradisional dianggap sebagai suatu “kapitulasi” Gereja yang patut disayangkan terhadap prinsip-prinsip dan gerakan-gerakan yang sebelum itu dengan tepat ditentangnya sejak Revolusi Perancis. Kedua pandangan itu sepakat melihat makna Konsili yang cukup berbobot, sungguhpun keduanya sama sekali tidak setuju dalam cara mereka menilai perkembangan itu.

Diantara kedua posisi yang sama-sama ekstrim itu terdapat pandangan “jalan tengah” yang masih penuh ketegangan juga. Ada yang menganggap Konsili “melulu” sebagai usaha pembahruan, sebenarnya tanpa memaksudkan banyak perkembangan yang de facto menyusulnya. Atas perkembangan-perkembangan itu yang mereka anggap bertanggungjawab ialah kaum progresif, yang mengabaikan cara Konsili merumuskan amanatnya (“huruf” Konsili) untuk membela apa yang mereka anggap “semangat Konsili”. Menurut kelompok “jalan tengah” yang pertama itu, kekeruhan-kekeruhan pasca Vatikan II hanya dapat dijernihkan dengan kembali baik kepada “huruf” maupun kepada semangat Konsili yang sejati.

Kelompok “jalan tengah” lainnya mempertahankan, bahwa – entah apa yang dimaksudkan oleh para Bapa Konsili sendiri- banyak usaha “pembaharuan” yang dulu mereka dukung de facto mempunyai dampak cukup “revolusioner” bagi sikap-sikap, strategi-strategi dan adat kebiasaan umat katolik sehari-hari. Secara khas mereka menunjuk kepada sikap Konsili yang lebih terbuka terhadap dunia modern, kepada seruannya untuk “mawas diri”, dan kepada dukungannya terhadap perwujudan Gereja secara konkrit ditingkat lokal. Menurut tafsiran mereka, Konsili sendirilah yang bertanggungjawab atas banyaknya perubahan-perubahan yang cukup besar dalam Gereja sejak Konsili. Dokumen-dokumen Konsili perlu ditekankan makna historis-sosiologisnya dalam konteks dunia katolik modern. Sinode para Uskup di Roma pada tahun 1985, yang bersidang untuk merayakan ulang tahun ke-20 penutupan Vatikan II, membuka forum diskusi tentang makna Konsili.

Perdebatan tidak menampakkan tanda-tanda mereda, Apakah sebenarnya Konsili itu, betapa relevan dan berjasanya Konsili bagi Gereja, hanya dapat ditentukan dalam rangka penerimaannya oleh Gereja semesta. Agaknya dua dasawarsa masih terlampau singkat untuk mengadakan evaluasi final tentang Konsili Vatikan II. Banyak unsur ajaran Konsili telah dipraktekkan dan diterima penuh syukur dikalangan luas Gereja. Unsur-unsur lain sekarangpun masih perlu dilaksanakan. Tetapi sudah jelaslah, bahwa Konsili Vatikan II merupakan titik balik dalam sejarah dunia modern Gereja katolik, suatu momen dalam proses Gereja mewujudkan diri secara nyata, proses yang baru mulai menampilkan kesungguhan dan kekuatannya.

CATATAN :

  1. Uraian pengantar tentang konsili Vatikan II ini sebagian merupakan saduran karangan Joseph A. Komonchak, “Vatikan Council II” dalam The New Dictionary of Theology, diterbitkan oleh Joseph A. Komonchak, Mary Collins, Dermot A. Lane, Dublin: Gill and Mac-milland Ltd, edisi 1, 1987, hlm.1072-1077. Kecuali itu digunakan sebagai nara sumber antara lain :
  2. Konstitusi Paus Yohanes XXIII, Humanae Salutis, tgal.25 Desember 1961 untuk mengundang Konsili Vatikan II.
  3. Amanat Paus Yohanes XXIII pada pembukaan Konsili, tgl.11 Oktober 1962.
  4. Amanat para Bapa Konsili kepada umat manusia pada awal periode Sidang I Konsili, tgl. 20 Oktober 1962
  5. Dr. B. S. Mardiatmaja SJ, “Gagasan – Gagasan Dogmatik Seputar Konsili Vatikan Kedua”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm.1-22 (termasuk Daftar Kepustakaan).
  6. Tom Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok Konsili Vatikan II”. Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 23-53 (termasuk Daftar Kepustakaan).
  7. Tom Jacobs, “Latar Belakang Dekat Konsili Vatikan II, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 54-71 (termasuk Daftar Kepustakaan).
  8. Dr. C.Groenen OFM, “Gereja Yesus Kristus dari awal (th. ±30) samapai Konsili Vatikan I (1870)”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 72-104 (termasuk Daftar Kepustakaan).
  9. Dr. P.Go O.Carm, “Beberapa Aspek Moral Hasil Konsili Vatikan II”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 105-150.
  10. Dr. P. Go O.Carm, “Beberapa Aspek Hukum Kanonik Hasil Konsili Vatikan II”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 151-165
  11. Adolf heuken SJ, Katekismus Konsili Vatikan II, Jakarta: Cipta Loka Caraka 1987, 224 hlm.

Robert Hardawiryana SJ.


[1] Pada Pembukaan Konsili hadirlah 2540 Bapa Konsili. Baiklah dikenangkan pula dampak relatif cukup besar 29 pengamat dari 17 Gereja lain dan undangan yang bukan katolik, para pendengar pria maupun wanita, perhatian besar media cetak, dan makin banyak tersedianya informasi tentang Konsili.

[2] Tentang Konsili Vatikan I, lihat : H. Jedin, “Sejarah Konsili”, Yogyakarta: Kanisius 1973, hlm.111-138; T. Jacobs, “Latar Belakang dekat Konsili Vatikan II”, khususnya hlm.60-63

[3] Paus Yohanes XXIII, Konstitusi apostolik “Humanae Salutis”, tgl. 25 Desember 1961, memandang sebagai suatu motivasi untuk mengundang Konsili; membuka kemungkinan bagi Gereja untuk memberi sumbangan efektif demi pemecahan soal-soal zaman modern.

[4] Dalam konstitusi apostolik “Humanae Salutis”, tgl. 25 Desember 1961Paus Yohanes XXIII mencetuskan harapan beliau: semoga Konsili Vatikan II merupakan ulangan Pentekosta bagi umat kristen. Juga dogma-dogma Tradisi Gereja ditempatkan dalam konteks baru dan ditafsirkan secara baru.

[5] Paus Paulus VI pada sidang terakhir Konsili mengartikan “aggiornamento” sebagai usaha untuk makin mendalami semangat Konsili dan penerapan setia norma-norma yang digariskan.

[6] Amanat Paus Yohanes XXIII pada pembukaan Konsili, tgl. 11 Oktober 1962, antara lain menekankan perlunya meningkatkan persatuan kristen, bahkan seluruh “keluarga manusia”. Maksud itu terungkap dengan jelas misalnya ketika pada tgl.5 Januari 1964 Paus Paulus VI dalam kunjungan beliau ke Tanah Suci merangkul Atenagoras, Patriark Ortodoks utama dari Gereja Timur. Peristiwa lain: pernyataan bersama, yang diumumkan di Istanbul dan di Vatikan pada tgl. 7 Desember 1965, tentang peristiwa-peristiwa pada tahun 1054, yang menimbulkan perpecahan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks di Istanbul. “Pernyataan Katolik-Ortodoks” itu mengungkapkan kerinduan akan persekutuan makin penuh antara Gereja di Istanbul dan Gereja katolik.

[7] Konstitusi apostolik Paus Yohanes XXIII “Humanae Salutis”, tgl. 25 Desember 1961, menampilkan pentingnya konsultasi seluas itu dalam proses persiapan Konsili.

[8] Lihat : Daftar “Beberapa Peristiwa Penting Selama Konsili Vatikan II”.

[9] Menurut “Presbyterorum Ordinis” 12, tujuan pastoral Konsili ialah : 1) Pembaharuan Gereja, 2) pewartaan Injil diseluruh dunia, dan 3) dialog dengan dunia modern.

[10] Amanat Paus Paulus VI pada hari raya Natal 1965 menggarisbawahi, bahwa suasana dominan selama Konsili diilhami oleh gambaran Injili tentang Gembala Baik, yang tidak berhenti mencari sebelum menemukan domba yang sesat.

[11] Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan pokok …”, hlm.25-38. Suatu “Skematisasi” dokumen-dokumen Konsili Vatikan II dalam tiga bagian (pemahaman diri Gereja, pendalaman tentang hidup Gereja sendiri, dan pendalaman tentang misi Gereja): lih. Martadiatmaja, “Gagasan-gagasan Dogmatik …”, hlm.10-11.

[12] “Lumen Gentium”, dan karena itu seluruh Eklesiologi Vatikan II, dikembangkan berpangkal pada pandangan “Mystici Corporis”, seperti dirumuskan dalam skema I tentang Gereja. “Vatikan II memang membuka pandangan baru terhadap Gereja, tetapi tidak menolak yang lama”, bdk. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.44.

[13] Lih. LG.8; bdk. UR.3.

[14] Seperti terungkap dalam Bab I dan II, pandangan baru tentang Gereja berarti, Suatu sentralisasi vertikal pada Kristus dan suatu desentralisasi horisontal pada umat Allah”, Y. Congar, “L’Eglise : De saint Augustin a I’epoque modernr:, Paris : Cerf 1970, hlm.473.

[15] Tentang bagaimana “Sacrosanctum Concilium” melengkapi “Lumen Gentium”, lihat T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm. 28.

[16] Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.31-32.

[17] Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.33-35.

[18] J. A. Komonchak membuat kesalahan dengan menukarkan bab V (tentang panggilan untuk kesempurnaan) dengan bab VI (para religius), cf. hlm.1075.

[19] Bdk. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.37.

[20] Sebelas hari sesudah Konstitusi tentang Gereja resmi diumumkan pada tgl.21 November 1964, Paus Paulus VI untuk pertama kalinya mengunjungi India, sesudah pada awal tahun itu juga beliau mengunjungi Yordania dan Israel.

[21] Amanat Para Bapa Konsili pada awal Periode Sidang I, tgl.20 Oktober 1962, memandang sebagai isyu yang mendesak secara khas; disamping perdamaian, masalah keadilan sosial, mengacu kepada Ensiklik Paus Yohanes XXIII “Mater et Magistra”. Juga “Pesan-Pesan Akhir Konsili”, Yang disampaikan oleh Paus Paulus VI dan para Bapa Konsili pada tgl.8 Desmber 1965, menggarisbawahi makin perlunya umat kristen melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat modern. Tentang GS lihat T. Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok …”, hlm.39-42.

[22] Boleh dikatakan juga, bahwa “Lumen Gentium” harus dibaca kearah “Gaudium et Spes”, bdk. T. Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok …”, hlm.23.

[23] Amanat para Bapa Konsili pada awal Periode Sidang I, tgl.20 Oktober 1962, mengacu kepada amanat radio Paus Yohanes XXIII , tgl. 11 September 1962, yang menekankan kerinduan umat manusia akan perdamaian.

[24] Dibacakan “Breve” (amanat tertulis singkat) Paus pada hari itu juga, yang menyatakan Konsili ditutup secara resmi, dan bahwa semua Dekrit harus “dilaksanakan dengan seksama oleh segenap umat beriman”.

[25] Dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II ternyata prinsip kolegial dan sinodal dalam kepemimpinan Gereja bukan hanya tidak dihapus, melainkan bahkan dilaksanakan. Sementara Paus diakui primatnya (Vatikan I dan II), Paus tidak dapat diidentikkan begitu saja dengan Dewan para Uskup (Vatikan II).

Dei Verbum (DV)

0

KONSTITUSI DOGMATIS TENTANG WAHYU ILAHI

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

1. (Pendahuluan)

Sambil mendengarkan SABDA ALLAH dengan khidmat dan mewartakannya penuh kepercayaan, Konsili suci mematuhi amanat S. YOHANES: “Kami mewartakan kepadamu hidup kekal, yang ada pada Bapa dan telah nampak kepada kami: Yang kami lihat dan kami dengar, itulah yang kami wartakan kepadamu, supaya kamupun beroleh persekutuan kita bersama Bapa dan Putera-Nya Yesus kristus” (1Yoh1:2-3). Maka dari itu, sambil mengikuti jejak Konsili Trente dan Konsili Vatikan I, Konsili ini bermaksud menyajikan ajaran yang asli tentang wahyu ilahi dan bagaimana itu diteruskan, supaya dengan mendengarkan pewartaan keselamatan seluruh dunia mengimaninya, dengan beriman berharap, dan dengan berharap mencintainya[1]

BAB SATU – TENTANG WAHYU SENDIRI

2. (Hakekat wahyu)

Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef2:18 ; 2Ptr1:4). Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel33:11 ; Yoh15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka didalamnya. Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya. Tetapi melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menandai pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu[2]

3. (Persiapan wahyu ilahi)

Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui sabda-Nya (lih. Yoh 1:3), serta melestarikannya, dalam makhluk-makhluk senantiasa memberikan kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia (lih. Rom1:19-20). Lagi pula karena Ia bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di sorga, Ia sejak awal mula telah menampakkan Diri kepada manusia pertama. Setelah mereka jatuh, dengan menjanjikan penebusan Ia mengangkat mereka untuk mengharapkan keselamatan (lih. Kej3:15). Tiada putus-putusnya Ia memelihara umat manusia, untuk mengurniakan hidup kekal kepada semua, yang mencari keselamatan dan bertekun melakukan apa yang baik (lih. Rom2:6-7). Adapun pada saat yang ditentukan Ia memanggil Abraham untuk menjadikannya bangsa yang besar (lih. Kej12:2). Sesudah para Bapa bangsa Ia membina bangsa itu dengan perantaraan Musa serta para Nabi, supaya mereka mengakui Diri-Nya sebagai satu-satunya Allah yang hidup dan benar, bapa Penyelenggara dan hakim yang adil, dan supaya mereka mendambakan Penebus yang dijanjikan. Dengan demikian berabad-abad lamanya Ia menyiapkan jalan bagi Injil.

4. (Kristus kepenuhan wahyu)

Setelah berulang kali dan dengan berbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan para Nabi, “akhirnya pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera” (Ibr1:1-2). Sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni sabda kekal, yang menyinari semua orang, supaya tinggal ditengah umat manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh1:1-18).

Maka Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai “manusia kepada manusia”[3], “menyampaikan sabda Allah” (Yoh3:34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh5:36 ; Yoh17:4). Oleh karena itu Dia – barang siapa melihat Dia, melihat Bapa juga (lih. Yoh14:9) – dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizatnya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya, dan meneguhkan dengan kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi hidup kekal.

Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (lih. 1Tim6:14 dan Tit2:13).

5. (Menerima wahyu dan iman)

Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom16:26 ; lih. Rom1:5 ; 2Cor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”[4], dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran”[5]. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.

6. (Kebenaran-kebenaran yang diwahyukan)

Dengan wahyu ilahi Allah telah mau menampakkan dan membuka diri-Nya sendiri serta keputusan kehendak-Nya yang abadi tentang keselamatan manusia, yakni “untuk mengikutsertakan manusia dalam harta-harta ilahi, yang sama sekali melampaui daya tangkap akalbudi insani”[6]

Konsili suci mengakui bahwa “Allah, awal dan tujuan segalan sesuatu, dapat diketahui dengan pasti dengan kodrati nalar manusia dari apa yang diciptakan” (lih. Rom1:20). Tetapi Konsili mengajarkan juga bahwa berkat wahyu Allah itulah “segala, yang dalam hal-hal ilahi sebetulnya tidak mustahil diketahui oleh akalbudi manusia, dalam keadaan umat manusia sekarang dapat diketahui oleh semua dengan mudah, dengan kepastian yang teguh dan tanpa tercampuri kekeliruan mana pun juga”[7]

BAB DUA – MENERUSKAN WAHYU ILAHI

7. (Para Rasul dan pengganti mereka sebagai pewarta Injil)

Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, bahwa apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala keturunannya. Maka Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah yang Mahatinggi (lih. 2Kor1:20 ; 2Kor3:13 ; 2Kor4:6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya dengan mulut-nya sendiri, mereka wartakan pada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan[8], dan dengan demikian dibagikan kurnia-kurnia ilahi kepada mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang telah mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari. Perintah Tuhan dijalankan pula oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan[9]

Adapun supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup dalam Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-uskup sebagai pengganti mereka, yang “mereka serahi kedudukan mereka untuk mengajar”[10]

Maka dari itu Tradisi suci dan Kitab suci perjanjian Lama maupun Baru bagaikan cermin bagi Gereja yang mengembara didunia, untuk memandang Allah yang menganugerahinya segala sesuatu, hingga tiba saatnya gereja dihantar untuk menghadap Allah tatap muka, sebagaimana ada-Nya (lih. 1Yoh3:2).

8. (Tradisi suci)

Oleh karena itu pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantian-penggantian yang tiada putusnya. Maka para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lih. 2Tes2:15), dan supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada mereka (lih. Yud 3)[11]. Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya.

Tradisi yang berasal dari para rasul itu berkat bantuan Roh Kudus berkembang dalam Gereja[12]: sebab berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman, yang menyimpannya dalam hati (lih. Luk 2:19 dan 51), merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti. Sebab dalam perkembangan sejarah gereja tiada hentinya menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai terpenuhilah padanya sabda Allah.

Ungkapan-ungkapan para Bapa suci memberi kesaksian akan kehadiran Tradisi itu pun Gereja mengenal kanon Kitab-kitab suci selengkapnya, dan dalam Tradisi itu Kitab suci sendiri dimengerti secara lebih mendalam dan tiada hentinya dihadirkan secara aktif. Demikianlah Allah, yang dulu telah bersabda, tiada hentinya berwawancara dengan Mempelai Putera-Nya yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang menyebabkan suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui gereja dalam dunia, menghantarkan Umat beriman menuju segala kebenaran, dan menyebabkan sabda kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (lih. Kol 3:16).

9. (Hubungan antara Tradisi dan Kitab suci)

Jadi Tradisi suci dan Kitab suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. . Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui kitab suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun Kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama[13]

10. (Hubungan keduanya dengan seluruh Gereja dan magisterium)

Tradisi suci dan Kitab suci merupakan satu perbendaharaan keramat sabda Allah yang dipercayakan kepada gereja. Dengan berpegang teguh padanya seluruh Umat suci bersatu dengan para Gembala dan mereka dan tetap bertekun dalam ajaran para Rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti dan doa-doa (lih. Kis 2:42 yun). Dengan demikian dalam mempertahankan, melaksanakan dan mengakui iman yang diturunkan itu timbullah kerukunan yang khas antara para Uskup dan kaum beriman[14].

Adapun tugas untuk menafsirkan secara otentik sabda Allah yang tertulis dan diturunkan itu[15] dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup[16], yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus. Wewenang Mengajar itu tidak berada diatas sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipeliharanya dengan suci dan diterangkannya dengan setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah.

Maka jelaslah tradisi suci, Kitab suci dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang mahabijaksana, saling berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak dapat ada tanpa kedua lainnya, dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan caranya sendiri, dibawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi keselamatan jiwa-jiwa.

BAB TIGA – ILHAM ILAHI KITAB SUCI DAN PENAFSIRAN

11. (Fakta ilham dan kebenaran Kitab suci)

Yang diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab suci telah ditulis dengan ilham Roh Kudus. Sebab Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang Kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh20:31 ; 2Tim3:16 ; 2Ptr1:19-21 ; 2Ptr3:15-16), dan mempunyai Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja[17]. Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri[18], supaya – sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka[19], – semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh[20]

Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita[21]. Oleh karena itu “seluruh Alkitab diilhami oleh Allah dan berguna untuk mengajar, meyakinkan, menegur dan mendidik dalam kebenaran: supaya manusia (hamba) Allah menjadi sempurna, siap sedia bagi segala pekerjaan yang baik” (2Tim3:16-17 yun).

12. (Bagaimana Kitab suci harus ditafsirkan)

Adapun karena Allah dalam Kitab suci bersabda melalui manusia secara manusia[22], maka untuk menangkap apa yang oleh Allah akan disampaikan kepada kita penafsir Kitab suci harus menyelidiki dengan cermat, apa yang sebenarnya mau disampaikan oleh para penulis suci, dan apa yang mau ditampakkan oleh Allah dengan kata-kata mereka.

Untuk menemukan maksud para pengarang suci antara lain perlu diperhatikan juga “jenis-jenis sastra”. Sebab dengan cara yang berbeda-beda kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dalam nas-nas yang dengan aneka cara bersifat historis, atau profetis, atau poetis, atau dengan jenis sastra lainnya. Selanjutnya penafsiran harus mencari arti, yang hendak diungkapkan dan ternyata jadi diungkapkan oleh pengarang suci dalam keadaan tertentu, sesuai dengan situasi jamannya dan kebudayaannya, melalui jenis-jenis sastra yang ketika itu digunakan[23]. Sebab untuk mengerti dengan seksama apa yang oleh pengarang suci hendak dinyatakan dengan tulisannya, perlu benar-benar diperhatikan baik cara-cara yang lazim dipakai oleh orang-orang pada zaman pengarang itu dalam merasa, berbicara atau bercerita, maupun juga cara-cara yang pada zaman itu biasanya dipakai dalam pergaulan antar manusia[24]

Akan tetapi Kitab suci ditulis dalam Roh Kudus dan harus dibaca dan ditafsirkan Roh itu juga[25]. Maka untuk menggali dengan tepat arti nas-nas suci, perhatian yang sama besarnya harus diberikan kepada isi dan kesatuan seluruh Alkitab, dengan mengindahkan Tradisi hidup seluruh Gereja serta analogi iman. Merupakan kewajiban para ahli Kitab suci: berusaha menurut norma-norma itu untuk semakin mendalam memahami dan menerangkan arti Kitab suci, supaya seolah-oleh berkat penyelidikan yang disiapkan keputusan Gereja menjadi lebih masak. Sebab akhirnya semua yang menyangkut cara menafsirkan Alkitab itu berada dibawah keputusan Gereja, yang menunaikan tugas serta pelayanan memelihara dan menafsirkan sabda allah[26].

13. (Turunnya Allah)

Jadi dalam Kitab suci – sementara kebenaran dan kesucian Allah tetap dipertahankan – nampaklah “turunnya” Kebijaksanaan yang menakjubkan, “supaya kita mengenal kebaikan Allah yang tak terperikan, dan betapa Ia melunakkan bahasa-Nya, dengan memperhatikan serta mengindahkan kodrat kita.”[27] Sebab sabda Allah, yang diungkapkan dengan bahasa manusia, telah menyerupai pembicaraan manusiawi, seperti dulu Sabda Bapa yang kekal, dengan mengenakan daging kelemahan manusiawi, telah menjadi serupa dengan manusia.

BAB EMPAT – PERJANJIAN LAMA

14. (Sejarah keselamatan dalam kitab-kitab Perjanjian Lama)

Allah yang mahakasih dengan penuh perhatian merencanakan dan menyiapkan keselamatan segenap umat manusia. Dalam pada itu Ia dengan penyelenggaraan yang istimewa memilih bagi diri-Nya suatu bangsa, untuk diserahi janji-janji-Nya. Sebab setelah mengadakan perjanjian dengan Abraham (lih. Kej15:18) dan dengan bangsa Israel melalui Musa (lih. Kel24:8), dengan sabda maupun karya-Nya Ia mewahyukan Diri kepada umat yang diperoleh-Nya sebagai satu-satunya Allah yang benar dan hidup sedemikian rupa, sehingga Israel mengalami bagaimanakah Allah bergaul dengan manusia. Dan ketika Allah bersabda melalui para Nabi, Israel semakin mendalam dan terang memahami itu, dan semakin meluas menunjukkannya diantara para bangsa (lih. Mzm21:28-29 ; Mzm95:1-3 ; Yes2:1-4 ; Yer3:17). Adapun tata keselamatan, yang diramalkan, diceritakan dan diterangkan oleh para pengarang suci, sebagai sabda Allah yang benar terdapat dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama. Maka dari itu kitab-kitab itu, yang diilhami oleh Allah, tetap mempunyai nilai abadi: “Sebab apapun yang tertulis, ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita karena kesabaran dan penghiburan Kitab suci mempunyai pengharapan” (Rom15:4).

15. (Arti Perjanjian Lama untuk Umat kristiani)

Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk meyiapkan kedatangan Kristus Penebus seluruh dunia serta Kerajaan al Masih, mewartakannya dengan nubuat-nubuat (lih. Luk24:44 ; Yoh5:39 ; 1Ptr1:10), dan menandakannya dengan pelbagai lambang (lih. 1Kor10:11). Kitab-kitab perjanjian Lama, sesuai dengan keadaan umat manusia sebelum zaman pemulihan keselamatan oleh Kristus, mengungkapkan kepada semua orang pengertian tentang Allah dan manusia serta cara-cara Allah yang adil dan rahim bergaul dengan manusia. Meskipun juga mencantumkan hal-hal yang tidak sempurna dan bersifat sementara, kitab-kitab itu memaparkan cara pendidikan ilahi yang sejati[28]. Maka kitab-kitab itu, yang mengungkapkan kesadaran hidup akan Allah, yang mencantumkan ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang perihidup manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan, akhirnya secara terselubung mengemban keselamatan kita, kitab-kitab itu harus diterima dengan khidmat oleh Umat beriman kristiani.

16. (Kesatuan antara kedua Perjanjian)

Allah, pengilham dan pengarang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru, dalam kebijaksanaan-Nya mengatur (Kitab suci) sedemikian rupa, sehingga Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Lama terbuka dalam Perjanjian Baru[29]. Sebab meskipun Kristus mengadakan Perjanjian yang Baru dalam darah-Nya (lih. Luk 22:20; 1Kor 11:25), namun Kitab-kitab Perjanjian Lama seutuhnya ditampung dalam pewartaan Injil[30], dan dalam Perjanjian Baru memperoleh dan memperlihatkan maknanya yang penuh (lih. Mat5:17 ; Luk24:27 ; Rom16:25-26 ; 2Kor3:14-16) dan sebaliknya juga menyinari dan menjelaskan Perjanjian Baru.

BAB LIMA – PERJANJIAN BARU

17. (Keluhuran Perjanjian Baru)

Sabda Allah, yang merupakan kekuatan Allah demi keselamatan semua orang yang beriman (lih. Rom1:16), dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru disajikan secara istimewa dan memperlihatkan daya kekuatannya. Sebab setelah genap waktunya (lih. Gal4:4), Sabda yang menjadi daging dan diam di antara kita penuh rahmat dan kebenaran (lih. Yoh1:14). Kristus mendirikan Kerajaan Allah di dunia, dengan karya dan sabda-Nya menampakkan Bapa-Nya dan Diri-Nya sendiri, dengan wafat, kebangkitan serta kenaikan-Nya penuh kemuliaan, pun dengan mengutus Roh Kudus menyelesaikan karya-Nya. Setelah ditinggikan dari bumi Ia menarik semua orang kepada diri-Nya (lih. Yoh12:32, yun). Dialah satu-satunya, yang mempunyai sabda kehidupan kekal (lih. Yoh6:68). Adapun rahasia itu tidak dinyatakan kepada angkatan-angkatan lain, seperti sekarang telah diwahyukan dalam Roh Kudus kepada para Rasul-Nya yang suci serta para Nabi (lih. Ef3:4-6, yun), supaya mereka mewartakan Injil, membangkitkan iman akan Yesus Kristus dan Tuhan, dan menghimpun Gereja. Tentang peristiwa-peristiwa itu dalam kitab-kitab Perjanjian Baru terdapat kesaksian kekal dan ilahi.

18. (Asal-usul Injil dari para Rasul)

Semua orang tahu, bahwa diantara semua kitab, juga yang termasuk Perjanjian Baru, Injillah yang sewajarnya menduduki tempat istimewa. Sebab Injil merupakan kesaksian utama tentang hidup dan ajaran Sabda yang menjadi daging, Penyelamat kita.

Selalu dan di mana-mana Gereja mempertahankan dan tetap berpandangan, bahwa keempat Injil berasal dari para rasul. Sebab apa yang atas perintah Kristus diwartakan oleh para rasul, kemudian dengan ilham Roh ilahi diteruskan secara tertulis kepada kita oleh mereka dan orang-orang kerasulan, sebagai dasar iman, yakni Injil dalam keempat bentuknya menurut Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes[31]

19. (Sifat historis Injil)

Bunda Gereja yang kudus dimasa lampau mempertahankan dan tetap setia berpegang teguh pada pandangan, bahwa keempat Injil tersebut, yang sifat historisnya diakui tanpa ragu-ragu, dengan setia meneruskan apa yang oleh Yesus Putera Allah selama hidupnya diantara manusia sungguh telah dikerjakan dan diajarkan demi keselamatan kekal mereka, sampai hari Ia diangkat (lih. Kis1:1-2). Sesudah kenaikan Tuhan para Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh [32] karena di didik oleh peristiwa-peristiwa mulia Kristus dan oleh terang Roh kebenaran[33]. Adapun cara penulis suci mengarang keempat Injil dan memilih berbagai dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau tertulis; beberapa hal mereka susun secara agak sintetis, atau mereka uraikan dengan memperhatikan keadaan Gereja-gereja; akhirnya dengan tetap mempertahankan bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa, sehingga mereka selalu menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus[34]. Sebab mereka menulis, entah berdasarkan ingatan dan kenangan mereka sendiri, entah berdasarkan kesaksian mereka “yang dari semula menjadi saksi mata dan pelayan sabda”, dengan maksud supaya kita mengenal “kebenaran” kata-kata yang diajarkan kepada kita (lih. Luk1:2-4).

20. (Kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya)

Kecuali memuat keempat Injil kanon Perjanjian Baru juga mencantumkan surat-surat S. Paulus serta tulisan para Rasul lainnya yang dikarang dengan ilham Roh Kudus. Menurut rencana Allah yang bijaksana dalam tulisan-tulisan itu diteguhkan mengenai segala sesuatu mengenai Kristus Tuhan, ajaran-Nya yang sejati semakin jelas, diwartakan daya kekuatan karya ilahi Kristus yang menyelamatkan, dikisahkan awal mula Gereja dan penyebarannya yang mengagumkan, dan dinubuatkan penyelesaiannya dalam kemuliaan.

Sebab Tuhan Yesus menyertai para Rasul-Nya seperti telah dijanjikan-Nya(lih. Mat 28:20), dan Ia mengutus Roh Pembantu kepada mereka, untuk membimbing mereka memasuki kepenuhan kebenaran (lih. Yoh16:13).

BAB ENAM – KITAB SUCI DALAM KEHIDUPAN GEREJA

21. (Gereja menghormati kitab-kitab suci)

Kitab-kitab ilahi seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi suci – tiada hentinya menyambut roti kehidupan dari meja sabda Allah maupun Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada Umat beriman. Kitab-kitab itu bersama dengan Tradisi suci selalu dipandang dan tetap dipandang sebagai norma imannya yang tinggi. Sebab kitab-kitab itu diilhami oleh Allah dan sekali untuk selamanya telah dituliskan, serta tanpa perubahan manapun menyampaikan sabda Allah sendiri, lagi pula mendengarkan suara Roh Kudus dalam sabda para Nabi dan para Rasul. Jadi semua pewartaan dalam Gereja seperti juga agama kristiani sendiri harus dipupuk dan diatur oleh Kitab suci. Sebab dalam kitab-kitab suci Bapa yang ada di sorga penuh cinta kasih menjumpai para putera-Nya dan berwawancara dengan mereka. Adapun demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani. Oleh karena itu bagi Kitab suci berlakulah secara istimewa kata-kata: “Memang sabda Allah penuh kehidupan dan kekuatan” (Ibr4:12), “yang berkuasa membangun dan mengurniakan warisan diantara semua para kudus” (Kis 20:32; lih. 1Tes 2:13).

22. (Dianjurkan terjemahan-terjemahan yang tepat)

Bagi kaum beriman kristisni jalan menuju Kitab suci harus terbuka lebar-lebar. Oleh karena itu sejak semula Gereja mengambil alih terjemahan Yunani Perjanjian Lama yang amat kuno, yang disebut “septuaginta”. Gereja selalu menghormati juga terjemahan-terjemahan lain ke dalam bahasa Timur dan Latin, terutama yang disebut “Vulgata”. Tetapi karena sabda Allah harus tersedia pada segala zaman, Gereja dengan perhatian keibuannya mengusahakan, supaya dibuat terjemahan-terjemahan yang sesuai dan cermat ke dalam pelbagai bahasa, terutama berdasarkan teks asli Kitab suci. Bila terjemahan-terjemahan itu – sekiranya ada kesempatan baik dan Pimpinan Gereja menyetujuinya – diselenggarakan atas usaha bersama dengan saudara-saudari terpisah, maka terjemahan-terjemahan itu dapat digunakan oleh semua orang kristiani.

23. (Tugas kerasulan para ahli katolik)

Mempelai Sabda yang menjadi daging, yakni Gereja, dengan bimbingan Roh Kudus berusaha memperoleh pengertian yang semakin mendalam tentang Kitab suci, supaya tiada hentinya menyediakan santapan sabda-sabda ilahi bagi para puteranya. Oleh karena itu Gereja dengan tepat pula memajukan usaha mempelajari para Bapa Gereja yang suci dari Timur maupun Barat serta liturgi-liturgi suci. Para ahli Kitab suci katolik dan ahli teologi lainnya dalam kerja sama yang erat harus berusaha, supaya mereka dibawah pengawasan Wewenang Mengajar yang suci dan dengan upaya-upaya yang tepat menyelidiki dan menguraikan Kitab suci sedemikian rupa, sehingga sebanyak mungkin pelayan sabda ilahi dengan hasil yang baik dapat menyajikan santapan Kitab suci kepada Umat Allah, untuk menerangi budi, meneguhkan kehendak, dan mengobarkan hati sesama untuk mengasihi Allah[35]. Konsili suci mendorong para putera Gereja, para ahli Kitab suci, supaya mereka dengan tenaga yang selalu segar dan dengan sanagt tekun meneruskan karya yang telah dimulai dengan baik, menurut kehendak gereja[36]

24. (Pentingnya Kitab suci bagi teologi)

Teologi suci bertumpu pada sabda Allah yang tertulis, bersama dengan Tradisi suci, sebagai landasan yang tetap. Disitulah teologi amat sangat diteguhkan dan selalu diremajakan, dengan menyelidiki dalam terang iman segala kebenaran yang tersimpan dalam rahasia Kristus. Adapun Kitab suci mengemban sabda Allah, dan karena diilhami memang sungguh-sungguh sabda Allah. Maka dari itu pelajaran Kitab suci hendaklah bagaikan jiwa Teologi suci[37]. Namun dengan sabda Alkitab juga pelayanan sabda, yakni pewartaan pastoral, ketekese dan semua pelajaran kristiani – diantaranya homili liturgis harus sungguh diistimewakan – mendapat bahan yang sehat dan berkembang dengan suci.

25. (Dianjurkan pembacaan Kitab suci)

Oleh sebab itu semua rohaniwan, terutama para imam Kristus serta lain-lainnya, yang sebagai diakon atau katekis secara sah menunaikan pelayanan sabda, perlu berpegang teguh pada Alkitab dengan membacanya dengan asyik dan mempelajarinya dengan saksama. Maksudnya jangan sampai ada seorang pun diantara mereka yang menjadi “pewarta lahiriah dan hampa sabda Allah, tetapi tidak mendengarkannya sendiri dalam batin”[38]. Padahal ia wajib menyampaikan kepada kaum beriman yang dipercayakan kepadanya kekayaan sabda Allah yang melimpah, khususnya dalam Liturgi suci. Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp3:8). “Sebab tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus”[39]. Maka hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi nas yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan sabda-sabda ilahi, entah melalui bacaan yang saleh, entah melalui lembaga-lembaga yang cocok untuk itu serta bantuan-bantuan lain, yang berkat persetujuan dan usaha para Gembala Gereja dewasa ini tersebar dimana-mana dengan amat baik. Namun hendaklah mereka ingat, bahwa doa harus menyertai pembacaan Kitab suci, supaya terwujudlah wawancara antara Allah dan manusia. Sebab “kita berbicara dengan-Nya bila berdoa; kita mendengarkan-Nya bila membaca amanat-amanat ilahi”[40]

Adalah tugas para uskup, “yang mengemban ajaran para Rasul”[41], untuk membina dengan baik Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka, supaya dengan tepat menggunakan kitab-kitab ilahi, terutama Perjanjian Baru dan lebih khusus lagi Injil-Injil, dengan menyediakan terjemahan-terjemahan Kitab suci. Terjemahan-terjemahan itu hendaklah dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang diperlukan dan sungguh memadai, supaya putera-puteri Gereja dengan aman dan berguna memakai Kitab suci, dan diresapi dengan semangatnya.

Selain itu hendaknya diusahakan terbitan-terbitan Kitab suci, dibubuhi dengan catatan-catatan yang sesuai, supaya digunakan juga oleh mereka yang bukan kristiani, dan yang cocok dengan keadaan mereka. Hendaknya para Gembala jiwa, serta Umat kristiani dalam keadaan mana pun juga, berusaha untuk dengan pelbagai cara menyebarluaskan terbitan-terbitan itu dengan bijaksana.

26. (Akhir kata)

Maka semoga dengan demikian melalui pembacaan dan studi Kitab suci “sabda Allah berjalan terus dan dimuliakan” (2Tes3:1), perbendaharaan wahyu yang dipercayakan kepada Gereja semakin memenuhi hati orang-orang. Seperti hidup Gereja berkembang karena Umat sering dan dengan rajin menghadiri misteri Ekaristi, begitu pula boleh diharapkan dorongan baru dalam hidup rohani karena sabda Allah yang “tinggal selama-lamanya” (Yes40:8; lih. 1Ptr1:23-2) semakin dihormati.

Semua itu dan setiap hal yang dinyatakan dalam Konstitusi ini berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun kami, atas kekuasaan Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 18 bulan November tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja katolik

(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Lih. S. AGUSTINUS, Tentang mengajar agama kepada mereka yang serba tidak tahu, bab IV, 8: PL 40:316.

[2] Lih. Mat11:27 ; Yoh1:14 dan Yoh1:17 ; Yoh14:6 ; Yoh17:1-3 ; 2Kor3:16 dan 2Kor4:6 ; Ef1:3-14.

[3] Surat kepada Diognetus, bab VII, 4: FUNK, Patres Apostolici, I, hlm. 403.

[4] KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 3 tentang iman: DENZ 1789 (3008).

[5] KONSILI ORANGE II, kanon 7: DENZ. 180 (377); KONSILI VATIKAN I, dalam Konstitusi itu juga: DENZ. 1791 (3010).

[6] KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatik tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu: DENZ. 1786 (3005).

[7] KONSILI VATIKAN I, dalam bab yang sama: DENZ. 1785 dan 1786 (3004 dan 3005).

[8] Lih. Mat 28:19-20 dan Mrk 16:15. KONSILI TRENTE, Sidang IV, dekrit tentang Kanon Kitab suci: DENZ 783 (1591).

[9] Lih. KONSILI TRENTE, teks yang sama; KONSILI VATIKAN I, Sidang III, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu, DENZ. 1787 (3006).

[10] S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, III,3,1: PG 7,848; HARVEY, 2, hlm. 9.

[11] Lih. KONSILI NISEA II: DENZ. 303 (602). KONSILI KONSTANTINOPEL IV, Sidang X, kanon 1: DENZ. 336 (650-652).

[12] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 4 tentang iman dan akalbudi: DENZ. 1800 (3020).

[13] Lih. KONSILI TRENTE, Sidang IV, dalam teks yang sama: DENZ. 783 (1501).

[14] Lih. PIUS XII, Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus, 1 November 1950: AAS 42 (1950) 756; bandingkan dengan ungkapan S. SIPRIANUS, Surat 66,8: HARTEL, III, B, hlm. 733: “Gereja ialah umat yang bersatu dengan Imam dan kawanan yang menganut Gembalanya”.

[15] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 3 tentang iman: DENZ. 1792 (3011).

[16] Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani Generis, 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) 568-569: DENZ. 2314 (3886).

[17] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu: DENZ. 1787 (3006). Komisi Kitab suci, Dekrit 18 Juni 1915: DENZ. 2180 (3629); Enchiridion Biblicum 420. S.S.C.S. OFFICII (Kongregasi Ofisi), surat 22 Desember 1923: Ench. Bibl. 449.

[18] Lih. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante Spiritu, 30 September 1943: AAS 35 (1943) hlm. 314; Ench. Bibl. 556.

[19] “Dalam dan melalui manusia”: lih. Ibr 1:1 dan 4:7 (“dalam”); 2Sam 23:2; Mat 1:22 dan beberapa ditempat lain (“melalui”); KONSILI VATIKAN I: Skema tentang ajaran katolik, catatan 9: Coll. Lac. VII, 522.

[20] LEO XIII, Ensiklik Providentissimus Deus, 18 November 1893: DENZ. 1952 (3293); Ench. Bibl. 125.

[21] Lih. S. AGUSTINUS, Gen. Ad Litt. 2,9,20: PL 34, 270-271; Surat 82,3: PL 33,277: CSEL. 34,2 hlm. 354. S. TOMAS, Tentang kebenaran, soal 12 art. 2 C. KONSILI TRENTE, Sidang IV tentang kitab-kitab kanonik: DENZ. 783 (1501). LEO XIII, Ensiklik Providentissimus Deus, Ench. Bibl. 121, 124, 126-127. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante: Ench. Bibl. 539.

[22] S. AGUSTINUS, Tentang kota Allah, XVII,6,2: PL 41,537: CSEL XL, 2,228.

[23] S. AGUSTINUS, Tentang ajaran kristiani, III, 18,26: PL 34, 75-76.

[24] PIUS XII, ditempat yang telah dikutib: DENZ. 2294 (3829-3830); Ench. Bibl. 557-562.

[25] Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus, 15 September 1920: Ench. Bibl. 469. S. HIRONIMUS, Tentang Gal 5:19-21: PL 26,417A.

[26] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu: DENZ. 1788 (3007).

[27] S. YOHANES KRISOSTOMUS, Tentang Kej 3,8 (homili 17,1): PG 53,134: “Melunakkan” dalam bahasa Yunani “synkatabasis”.

[28] PIUS XI, Ensiklik Mit brenneder Sorge, 14 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 151.

[29] S. AGUSTINUS, Quaest. In Hept. 2,73: PL 34,623.

[30] S. IRENIUS, melawan bidaah-bidaah, III,21,3: PG 7,950; (=25,1: HARVEY 2, hlm. 115). S. SIRILUS dari Yerusalem, Katekese 4,35: PG 33,497. TEODORUS dari Mopsuesta, Tentang Zef 1:4-6: PG 66,425D-435A.

[31] Lih. S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, III,11,8: PG 7:885; terb. SAGNARD, hlm. 194.

[32] Yoh 2:22; 12:16; lih. 14:26; 16:12-13; 7:39.

[33] Lih. Yoh 14:26; 16:13.

[34] Lih. Instruksi Sancta Mater Ecclesia, yang dikeluarkan oleh panitia Kepausan untuk memajukan studi Kitab suci: AAS 56 (1964) hlm. 715.

[35] Lih. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante: Ench. Bibl. 551, 552, 567. KOMISI KEPAUSAN UNTUK KITAB SUCI, Instruksi tentang cara yang tepat untuk mengajarkan Kitab suci di seminari-seminari bagi calon imam dan di kolese-kolese para religius, 13 Mei 1950: AAS 42 (1950) hlm. 495-505.

[36] Lih. PIUS XII, kutipan yang sama: Ench. Bibl. 569.

[37] Lih. LEO XIII, Ensiklik Providentissimus: Ench. Bibl. 114; BENEDIKTUS XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus: Ench. Bibl. 483.

[38] S. AGUSTINUS, Kotbah 179,1: PL 38,966.

[39] S. HIRONIMUS, Komentar pada Yesaya, Pendahuluan: PL 24,17. – Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus: Ench. Bibl. 475-480. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante: Ench. Bibl. 544.

[40] S. AMBROSIUS, Tentang tugas-tugas para pelayan I, 20,88: PL 1650.

[41] S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, IV,32,1: PG 7,1071 )= 49,2) HARVEY, 2, hlm. 255.

Lumen Gentium (LG)

0

KONSTITUSI DOGMATIS TENTANG GEREJA

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA-BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

BAB SATU – MISTERI GEREJA

1. (Pendahuluan)

TERANG PARA BANGSALAH Kristus itu. Maka Konsili suci ini, yang terhimpun dalam Roh Kudus, ingin sekali menerangi semua orang dalam cahaya Kristus, yang bersinar pada wajah Gereja, dengan mewartakan Injil kepada semua makhluk (Lih. Mrk 16:15). Namun Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Maka dari itu menganut ajaran Konsili-konsili sebelum ini, Gereja bermaksud menyatakan dengan lebih cermat kepada umatnya yang beriman dan kepada seluruh dunia, manakah hakekat dan perutusannya bagi semua orang. Keadaan zaman sekarang lebih mendesak Gereja untuk menunaikan tugas secara lebih erat berkat pelbagai hubungan sosial, teknis dan budaya, memperoleh kesatuan sepenuhnya dalam Kristus.

2. (Rencana Bapa yang bermaksud menyelamatkan semua orang)

Atas keputusan kebijaksanaan serta kebaikan-Nya yang sama sekali bebas dan rahasia, Bapa yang kekal menciptakan dunia semesta. Ia menetapkan, bahwa Ia akan mengangkat manusia untuk ikut serta menghayati hidup Ilahi. Ketika dalam diri Adam umat manusia jatuh, Ia tidak meninggalkan mereka, melainkan selalu membantu mereka supaya selamat, demi Kristus Penebus, “citra Allah yang tak kelihatan, yang sulung dari segala makluk” (Kol 1:15). Adapun semua orang, yang sebelum segala zaman telah dipilih oleh Bapa, telah dikenal-Nya dan ditentukan-Nya sejak semula, untuk menyerupai citra putera-Nya, supaya Dialah yang menjadi sulung diantara banyak saudara (Rom 8:29). Bapa menetapkan untuk menghimpun mereka yang beriman akan Kristus dalam Gereja kudus. Gereja itu sejak awal dunia telah dipralambangkan, serta disiapkan dalam sejarah bangsa Israel dan dalam Perjanjian Lama[1]. Gereja didirikan pada zaman terakhir, ditampilkan berkat pencurahan Roh, dan akan disempurnakan pada akhir zaman. Dan pada saat itu seperti tercantum dalam karya tulis para Bapa yang suci, semua orang yang benar sejar Adam, “dari Abil yang saleh hingga orang terpilih yang terakhir”[2], akan dipersatukan dalam Gereja semesta dihadirat Bapa.

3. (Perutusan Putera)

Maka datanglah Putera. Ia diutus oleh Bapa, yang sebelum dunia terjadi telah memilih kita dalam Dia, dan menentukan, bahwa kita akan diangkat-Nya menjadi putera-putera-Nya. Sebab Bapa berkenan membaharui segala sesuatu dalam Kristus (lih Ef 1:4-5 dan 10). Demikianlah untuk memenuhi kehendak Bapa Kristus memulai Kerajaan sorga di dunia, dan mewahyukan rahasia-Nya kepada kita, serta dengan ketaatan-Nya Ia melaksanakan penebusan kita. Gereja, atau kerajaan Kristus yang sudah hadir dalam misteri, atas kekuatan Allah berkembang secara nampak di dunia. Permulaan dan pertumbuhan itulah yang ditandakan dengan darah dan air, yang mengalir dari lambung Yesus yang terluka di kayu salib (lih Yoh 19:34). Itulah pula yang diwartakan sebelumnya ketika Tuhan bersabda tentang wafat-Nya disalib: “Dan apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang kepada-Ku” (Yoh 12:32 yun). Setiap kali dialtar dirayakan korban salib, tempat “Anak Domba Paska kita, yakni Kristus, telah dikorbankan” (1Kor 5:7), dilaksanakanlah karya penebusan kita. Dengan sakramen roti Ekaristi itu sekaligus dilambangkan dan dilaksanakan kesatuan umat beriman, yang merupakan satu tubuh dalam Kristus (lih 1Kor 10:17). Semua orang dipanggil ke arah persatuan dengan Kristus itu. Dialah terang dunia. Kita berasal daripada-Nya, hidup karena-Nya, menuju kepada-Nya.

4. (Roh Kudus yang menguduskan Gereja)

Ketika sudah selesailah karya, yang oleh Bapa dipercayakan kepada Putera untuk dilaksanakan di dunia (lih Yoh 17:4), diutuslah Roh Kudus pada hari Pentakosta, untuk tiada hentinya menguduskan Gereja. Dengan demikian umat beriman akan dapat mendekati Bapa melalui Kristus dalam satu Roh (lih Ef 2:18). Dialah Roh kehidupan atau sumber air yang memancar untuk hidup kekal (lih Yoh 4:14; 7:38-39). Melalui Dia Bapa menghidupkan orang-orang yang mati karena dosa, sampai Ia membangkitkan tubuh mereka yang fana dalam Kristus (lih Rom 8:10-11). Roh itu tinggal dalam Gereja dan dalam hati umat beriman bagaikan dalam kenisah (lih 1Kor 3:16; 6:19). Dalam diri mereka Ia berdoa dan memberi kesaksian tentang pengangkatan mereka menjadi putera (lih Gal 4:6; Rom 8:15-16 dan 26). Oleh Roh Gereja diantar kepada segala kebenaran (lih Yoh 16:13), dipersatukan dalam persekutuan serta pelayanan, diperlengkapi dan dibimbing dengan aneka kurnia hirarkis dan karismatis, serta disemarakkan dengan buah-buah-Nya (lih Ef 4:11-12; 1Kor 12:4; Gal 5:22). Dengan kekuatan Injil Roh meremajakan Gereja dan tiada hentinya membaharuinya, serta mengantarkannya kepada persatuan sempurna dengan Mempelainya[3]. Sebab Roh dan Mempelai berkata kepada Tuhan Yesus: “Datanglah!” (lihat Why 22:17).

Demikianlah seluruh Gereja nampak sebagai “umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus”[4].

5. (Kerajaan Allah)

Misteri Gereja Kudus itu diperlihatkan ketika didirikan. Sebab Tuhan Yesus mengawali Gereja-Nya dengan mewartakan kabar bahagia, yakni kedatangan Kerajaan Allah yang sudah berabad-abad lamanya dijanjikan dalam Alkitab: “Waktunya telah genap, dan Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15; lih Mat 4:17). Kerajaan itu menampakkan diri kepada orang-orang dalam sabda, karya dan kehadiran Kristus. Memang, sabda Tuhan diibaratkan benih, yang ditaburkan diladang (lih Mrk 4:14), mereka yang mendengarkan sabda itu dengan iman dan termasuk kawanan kecil Kristus (lih Luk 12:32), telah menerima kerajaan itu sendiri. Kemudian benih itu bertunas dan bertumbuh atas kekuatannya sendiri hingga waktu panen (lih Mrk 4:26-29). Mukjizat-mukjizat Yesus pun menguatkan, bahwa Kerajaan itu sudah tiba di dunia: “Jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Luk 11:20; lih Mat 12:28). Tetapi terutama Kerajaan itu tampil dalam Pribadi Kristus sendiri, Putera Allah dan Putera manusia, yang datang “untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45).

Adapun sesudah menanggung maut di kayu salib demi umat manusia, kemudian bangkit, Yesus nampak ditetapkan sebagai Tuhan dan Kristus serta Imam untuk selamanya (lih Kis 2:36; Ibr 5:6; 7:17-21). Ia mencurahkan Roh yang dijanjikan oleh Bapa ke dalam hati para murid-Nya (lih Kis 2:33). Oleh karena itu Gereja, yang diperlengkapi dengan kurnia-kurnia Pendirinya, dan yang dengan setia mematuhi perintah-perintah-Nya tentang cinta kasih, kerendahan hati dan ingkar diri, menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah, dan mendirikannya di tengah semua Bangsa. Gereja merupakan benih dan awal mula Kerajaan itu di dunia. Sementara itu Gereja lambat-laun berkembang, mendambakan Kerajaan yang sempurna, dan dengan sekuat tenaga berharap dan menginginkan, agar kelak dipersatukan dengan Rajanya dalam kemuliaan.

6. (Aneka Gambaran Gereja)

Seperti dalam Perjanjian Lama wahyu tentang Kerajaan sering disampaikan dalam lambang-lambang, begitu pula sekarang makna Gereja yang mendalam, kita tangkap melalui pelbagai gambaran. Gambaran-gambaran itu diambil entah dari alam gembala atau petani, entah dari pembangunan ataupun dari hidup keluarga dan perkawinan. Semua itu telah disiapkan dalam kitab-kitab para nabi.

Adapun Gereja itu kandang, dan satu-satunya pintu yang harus dilalui ialah Kristus (lih Yoh 10:1-10). Gereja juga kawanan, yang seperti dulu telah difirmankan akan digembalakan oleh Allah sendiri (lih Yes 40:11; Yeh 34:11 dst). Domba-dombanya, meskipun dipimpin oleh gembala-gembala manusiawi, namun tiada hentinya dibimbing dan dipelihara oleh Kristus sendiri, Sang Gembala Baik dan Pemimpin para gembala (bdk Yoh 10:11; 1Ptr 5:4), yang telah merelakan hidup-Nya demi domba-domba (lih Yoh 10:11-15).

Gereja itu tanaman atau ladang Allah (lih 1Kor 3:9). Di ladang itu tumbuhlah pohon zaitun bahari, yang akar Kudusnya ialah para Bapa bangsa. Di situ telah terlaksana dan akan terlaksanalah perdamaian antara bangsa Yahudi dan kaum kafir (lih Rom 11:13-26). Gereja ditanam oleh Petani Sorgawi sebagai kebun anggur terpilih (lih Mat 21:33-43 par.; Yes 5:1 dst.). Kristuslah pokok anggur yang sejati. Dialah yang memberi hidup dan kesuburan kepada cabang-cabang, yakni kita, yang karena Gereja tinggal dalam Dia, dan yang tidak mampu berbuat apa pun tanpa Dia (lih Yoh 15:1-15).

Sering pula Gereja disebut bangunan Allah (lih 1Kor 3:9). Tuhan sendiri mengibaratkan diri-Nya sebagai batu, yang dibuang oleh para pembangun, tetapi malahan menjadi batu sendi (lih Mat 21:42 par.; Kis 4:11; 1Ptr 2:7; Mzm 117:22). Di atas dasar itulah Gereja dibangun oleh para Rasul (lih 1Kor 3:11), dan memperoleh kekuatan dan kekompakan dari pada-Nya. Bangunan itu diberi pelbagai nama; rumah Allah (lih 1Tim 3:15), tempat tinggal keluarga-Nya; kediaman Allah dalam Roh (lih Ef 2:19-22), kemah Allah ditengah manusia (Why 21:3), dan terutama Kenisah Kudus. Kenisah itu diperagakan sebagai gedung-gedung ibadat dan dipuji-puji oleh para Bapa suci, Yerusalem baru[5]. Sebab disitulah kita bagaikan batu-batu yang hidup dibangun di dunia ini (lih 1Ptr 2:5). Yohanes memandang kota suci itu, ketika pembaharuan bumi turun dari Allah di sorga, siap sedia ibarat mempelai yang berhias bagi suaminya (Why 21:1 dsl.).

Gereja juga digelari “Yerusalem yang turun dari atas” dan “bunda kita” (Gal 4:26; lih Why 12:17), dan dilukiskan sebagai mempelai nirmala bagi Anak Domba yang tak bernoda (lih Why 19:7; 21:2 dan 9:22:17). Kristus “mengasihinya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya” (Ef 5:29). Ia memurnikan dan menghendakinya bersatu dengan diri-Nya serta patuh kepada-Nya dalam cinta kasih dan kesetiaan (lih Ef 5:24). Akhirnya Kristus melimpahinya dengan kurnia-kurnia sorgawi untuk selamanya, supaya kita memahami cinta Allah dan Kristus terhadap kita, yang melampaui segala pengetahuan (lih Ef 3:19). Adapun selama mengembara di dunia ini jauh dari Tuhan (lih 2Kor 5:6), Gereja merasa diri sebagai buangan, sehingga ia mencari dan memikirkan perkara-perkara yang diatas, tempat Kristus duduk di sisi kanan Allah. Di situlah hidup Gereja tersembunyi bersama Kristus dalam Allah, sehingga saatnya tampil dalam kemuliaan bersama dengan Mempelainya (lih Kol 3:1-4).

7. (Gereja, Tubuh mistik Kristus)

Dalam kodrat manusiawi yang disatukan dengan diri-Nya Putera Allah telah mengalahkan maut dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Demikianlah Ia telah menebus manusia dan mengubahnya menjadi ciptaan baru (lih Gal 6:15; 2Kor 5:17). Sebab Ia telah mengumpulkan saudara-saudara-Nya dari segala bangsa, dan dengan mengaruniakan Roh-Nya Ia secara gaib membentuk mereka menjadi Tubuh-Nya.

Dalam Tubuh itu hidup Kristus dicurahkan kedalam umat beriman. Melalui sakramen-sakramen mereka itu secara rahasia namun nyata dipersatukan dengan Kristus yang telah menderita dan dimuliakan[6]. Sebab berkat Baptis kita menjadi serupa dengan Kristus : “karena dalam satu Roh kita semua telah dibabtis menjadi satu Tubuh” (1Kor 12:13). Dengan upacara suci itu dilambangkan dan diwujudkan persekutuan dengan wafat dan Kebangkitan Kristus : “Sebab oleh babtis kita telah dikuburkan bersama dengan Dia ke dalam kematian”; tetapi bila “kita telah dijadikan satu dengan apa yang serupa dengan wafat-Nya, kita juga akan disatukan dengan apa yang serupa dengan kebangkitan-Nya” (Rom 6:4-5). Dalam pemecahan roti ekaristis kita secara nyata ikut serta dalam Tubuh Tuhan; maka kita diangkat untuk bersatu dengan Dia dan bersatu antara kita. “Karena roti adalah satu, maka kita yang banyak ini merupakan satu Tubuh; sebab kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor 10:17). Demikianlah kita semua dijadikan anggota Tubuh itu (lih 1Kor 12:27), “sedangkan masing-masing menjadi anggota yang seorang terhadap yang lain” (Rom 12:5).

Adapun semua anggota tubuh manusia, biarpun banyak jumlahnya, membentuk hanya satu Tubuh, begitu pula para beriman dalam Kristus (lih 1Kor 12:12). Juga dalam pembangunan Tubuh Kristus terhadap aneka ragam anggota dan jabatan. Satulah Roh, yang membagikan aneka anugrah-Nya sekedar kekayaan-Nya dan menurut kebutuhan pelayanan, supaya bermanfaat bagi Gereja (lih 1Kor 12:1-11). Diantara karunia-karunia itu rahmat para Rasul mendapat tempat istimewa. Sebab Roh sendiri menaruh juga para pengemban karisma dibawah kewibawaan mereka (lih 1Kor 14). Roh itu juga secara langsung menyatukan Tubuh dengan daya-kekuatan-Nya dan melalui hubungan batin antara para anggota. Ia menumbuhkan cinta kasih diantara umat beriman dan mendorong mereka untuk mencintai. Maka, bila ada satu anggota yang menderita, semua anggota ikut menderita; atau bila satu anggota dihormati, semua anggota ikut bergembira (lih 1Kor 12:26).

Kepala Tubuh itu Kristus. Ia citra Allah yang tak kelihatan, dan dalam Dia segala-sesuatu telah diciptakan. Ia mendahului semua orang, dan segala-galanya berada dalam Dia. Ialah Kepala Tubuh yakni Gereja. Ia pula pokok pangkal, yang sulung dari orang mati, supaya dalam segala-sesuatu Dialah yang utama (lih Kor 1:15-18). Dengan kekuatan-Nya yang agung Ia berdaulat atas langit dan bumi; dan dengan kesempurnaan serta karya-Nya yang amat luhur Ia memenuhi seluruh Tubuh dengan kekayaan kemuliaan-Nya (lih Ef 1:18-23).[7]

Semua anggota harus menyerupai Kristus, sampai Ia terbentuk dalam mereka (lih Gal 4:19). Maka dari itu kita diperkenankan memasuki misteri-misteri hidup-Nya, disamakan dengan-Nya, ikut mati dan bangkit bersama dengan-Nya, hingga kita ikut memerintah bersama dengan-Nya (lih Flp 3:21; 2Tim 2:11; Ef 2:6; Kol 2:12; dan lain-lain). Selama masih mengembara didunia, dan mengikut-jejak-Nya dalam kesusahan dan penganiyaan, kita digabungkan dengan kesengsaraan-Nya sebagai Tubuh dan Kepala; kita menderita bersama dengan-Nya, supaya kelak ikut dimuliakan bersama dengan-Nya pula (lih Rom 8:17).

Dari Kristus “seluruh Tubuh, yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh urat-urat dan sendi-sendi, menerima pertumbuhan ilahinya” (Kol 2:19). Senantiasa Ia membagi-bagikan karunia-karunia pelayanan dalam Tubuh-Nya, yakni Gereja. Berkat kekuatan-Nya, kita saling melayani dengan karunia-karunia itu agar selamat. Demikianlah, sementara mengamalkan kebenaran dalam cinta kasih, kita bertumbuh melalui segalanya menjadi Dia, yang menjadi Kepala kita (lih Ef 4:11-16 yun).

Supaya kita tiada hentinya diperbaharui dalam Kristus (lih Ef 4:23), Ia mengaruniakan Roh-Nya kepada kita. Roh itu satu dan sama dalam Kepala maupun dalam para anggota-Nya dan menghidupkan, menyatukan serta menggerakkan seluruh Tubuh sedemikian rupa, sehingga peran-Nya oleh para Bapa suci dapat dibandingkan dengan fungsi, yang dijalankan oleh azas kehidupan atau jiwa dalam tubuh manusia[8].

Adapun Kristus mencintai Gereja sebagai Mempelai-Nya. Ia menjdi teladan bagi suami yang mengasihi isterinya sebagai TubuhNya sendiri (lih Ef 5:25-28). Sedangkan Gereja patuh kepada Kepalanya (Ay. 23-24). “Sebab dalam Dia tinggallah seluruh kepenuhan Allah secara badaniah” (Kol 2:9). Ia memenuhi Gereja, yang merupakan Tubuh dan kepenuhan-Nya, dengan karunia-karunia ilahi-Nya (lih Ef 1:22-23), supaya Gereja menuju dan mencapai segenap kepenuhan Allah (lih Ef 3:19).

8. (Gereja yang kelihatan dan sekaligus rohani)

Kristus, satu-satunya Pengantara, didunia ini telah membentuk Gereja-Nya yang kudus, persekutuan iman, harapan dan cinta kasih, sebagai himpunan yang kelihatan. Ia tiada hentinya memelihara Gereja[9]. Melalui Gereja Ia melimpahkan kebenaran dan rahmat kepada semua orang. Adapun serikat yang dilengkapi dengan jabatan hirarkis dan Tubuh mistik Kristus, kelompok yang nampak dan persekutuan rohani, Gereja di dunia dan Gereja yang diperkaya dengan karunia-karunia sorgawi janganlah dipandang sebagai dua hal; melainkan semua itu merupakan satu kenyataan yang kompleks, dan terwujudkan karena perpaduan unsur manusiawi dan ilahi[10]. Maka berdasarkan analogi yang cukup tepat Gereja dibandingkan dengan misteri Sabda yang menjelma. Sebab seperti kodrat yang dikenakan oleh Sabda ilahi melayani-Nya sebagai upaya keselamatan yang hidup, satu dengan-Nya dan tak terceraikan daripada-Nya, begitu pula himpunan sosial Gereja melayani Roh Kristus, yang menghimpunkannya demi pertumbuhan Tubuh-Nya (lih Ef 4:16)[11].

Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik[12]. Sesudah kebangkitan-Nya Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15). Gereja itu, yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya[13], walaupun di luar persekutuan itupun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik.

Seperti Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pula Gereja dipanggil untuk menempuh jalan yang sama, supaya menyalurkan buah-buah keselamatan kepada manusia. Kristus Yesus “walaupun dalam rupa Allah, – telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2:6-7). Dan demi kita Ia “menjadi miskin, meskipun Ia kaya” (2Kor 8:9). Demikianlah Gereja, kendati memerlukan upaya-upaya manusiawi untuk menunaikan perutusan-Nya, didirikan bukan untuk mengejar kemuliaan duniawi, melainkan untuk menyebarluaskan kerendahan hati dan pengikraran diri juga melalui tedanNya. Kristus diutus oleh Bapa untuk “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, – untuk menyembuhkan mereka yang putus asa” (Luk 4:18), untuk “mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19:10). Begitu pula Gereja melimpahkan cinta kasihnya kepada semua orang yang terkena oleh kelemahan manusiawi. Bahkan dalam mereka yang miskin dan menderita Gereja mengenali citra Pendirinya yang miskin dan menderita, berusaha meringankan kemelaratan mereka dan bermaksud melayani Kristus dalam diri mereka. Namun sedangkan Kristus, yang “suci, tanpa kesalahan, tanpa noda” (Ibr 7:26), tidak mengenal dosa (lih Ibr 2:17), Gereja merangkum pendosa-pendosa dalam pengakuannya sendiri. Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan.

“Dengan mengembara diantara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju”[14]. Gereja mewartakan salib dan wafat Tuhan, hingga Ia datang (lih 1Kor 11:26). Sementara itu Gereja diteguhkan oleh daya Tuhan yang telah bangkit, untuk dapat mengatasi sengsara dan kesulitannya, baik dari dalam maupun dari luar, dengan kesabaran dan cinta kasih, dan untuk dengan setia mewahyukan misteri Tuhan di dunia, kendati dalam kegelapan, sampai ditampakkan pada akhir Zaman dalam cahaya yang penuh.

BAB DUA – UMAT ALLAH

9. (Perjanjian Baru dan Umat Baru)

Disegala zaman dan pada semua bangsa Allah berkenan akan siapa saja yang menyegani-Nya dan mengamalkan kebenaran (lih. Kis 10:35). Namun Allah bermaksud menguduskan dan menyelatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan yang lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan suci. Maka Ia memilih bangsa Israel sebagai umat-Nya, mengadakan perjanjian dengan mereka, dan mendidik mereka langkah demi langkah, dengan menampakkan diri-Nya serta rencana kehendak-Nya dalam sejarah, dan dengan menguduskan mereka bagi diri-Nya. Tetapi itu semua telah terjadi untuk menyiapkan dan melambangkan perjanjian baru dan sempurna, yang akan diadakan dalam Kristus, dan demi perwahyuan lebih penuh yang akan disampaikan melalui sabda Allah sendiri yang menjadi daging. “Sesungguhnya akan tiba saatnya – demikianlah firman Tuhan, – Aku akan mengikat perjanjian baru dengan keluarga Israel dan keluarga Yuda – Aku menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka, dan akan menulisnya dalam hati mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku – Sebab semua akan mengenal aku, mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar – itulah firman Tuhan” (Yer 31:31-34). Perjanjian baru itu diadakan oleh Kristus, yakni wasiat baru dalam darah-Nya (lih. 1Kor 11:25). Dari bangsa Yahudi maupun kaum kafir Ia memanggil suatu bangsa, yang akan bersatu padu bukan menurut daging, melainkan dalam Roh, dan akan menjadi umat Allah yang baru. Sebab mereka yang beriman akan Kristus, yang dilahirkan kembali bukan dari benih yang punah, melainkan dari yang tak dapat punah karena sabda Allah yang hidup (lih. 1Ptr 1:23), bukan dari daging, melainkan dari air dan Roh kudus (lih. Yoh 3:5-6), akhirnya dihimpun menjadi “keturunan terpilih, imamat rajawi, bangsa suci, umat pusaka – yang dulu bukan umat, tetapi sekarang umat Allah” (1Ptr 2:9-10).

Kepala umat masehi itu Kristus, “yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan demi pembenaran kita” (Rom 4:25), dan sekarang setelah memperoleh nama – berdaulat dengan mulia di sorga. Kedudukan umat itu ialah martabat dan kebebasan anak-anak Allah. Roh kudus diam di hati mereka bagaikan dalam kenisah. Hukumnya perintah baru itu mencintai, seperti Kristus sendiri telah mencintai kita (lih. Yoh 13:34). Tujuannya Kerajaan Allah, yang oleh Allah sendiri telah dimulai di dunia, untuk selanjutnya disebarluaskan, hingga pada akhir zaman diselesaikan oleh-Nya juga, bila Kristus, hidup kita, menampakkan diri (lih. Kol 3:4), dan bila “makhluk sendiri akan di merdekakan dari perbudakan kebinasaan dan memasuki kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Rom 8:21). Oleh karena itu umat masehi, meskipun kenyataannya tidak merangkum semua orang, dan tak jarang nampak sebagai kawanan kecil, namun bagi seluruh bangsa manusia merupakan benih kesatuan, harapan dan keselamatan yang kuat. Terbentuk oleh Kristus sebagai persekutuan hidup, cinta kasih dan kebenaran, umat itu oleh-Nya diangkat juga menjadi upaya penebusan bagi semua orang, dan diutus keseluruh bumi sebagai cahaya dan garam dunia (lih. Mat 5:13-16).

Adapun seperti Israel menurut daging, yang mengembara di padang gurun, sudah di sebut Gereja (jemaat) Allah (lih. Neh 13:1; Bil 20:4; Ul 23:1 dst), begitu pula Israel baru, yang berjalan dalam masa sekarang dan mencari kota yang tetap dimasa mendatang (lih. Ibr 13:14), juga disebut Gereja Kristus (lih. Mat 16:18). Sebab Ia sendiri telah memperolehnya dengan darah-Nya (lih. Kis 20:28), memenuhinya dengan Roh-Nya, dan melengkapinya dengan sarana-sarana yang tepat untuk mewujudkan persatuan yang nampak dan bersifat sosial. Allah memanggil untuk berhimpum mereka, yang penuh iman mengarahkan pandangan kepada Yesus, pencipta keselamatan serta dasar kesatuan dan perdamaian. Ia membentuk mereka menjadi Gereja, supaya bagi semua dan setiap orang menjadi sakramen kelihatan, yang menandakan kesatuan yang menyelamatkan itu[15]. Gereja, yang harus diperluas ke segala daerah, memasuki sejarah umat manusia, tetapi sekaligus melampaui masa dan batas-batas para bangsa. Dalam perjalannya menghadapi cobaan-cobaan dan kesulitan-kesulitan Gereja diteguhkan oleh daya rahmat Allah, yang dijanjikan oleh Tuhan kepadanya. Maksudnya supaya jangan menyimpang dari kesetiaan sempurna akibat kelemahan daging, melainkan tetap menjadi mempelai yang pantas bai Tuhannya, dan tiada hentinya membaharui diri dibawah gerakan Roh Kudus, sehingga kelak melalui salib mencapai cahaya yang tak kunjung terbenam.

10. (Imamat umum)

Kristus Tuhan, Imam Agung yang dipilih dari antara manusia (lih. Ibr 5:1-5), menjadikan umat baru “kerajaan dan imam-imam bagi Allah dan Bapa-Nya” (Why 1:6; lih. 5:9-10). Sebab mereka yang di babtis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci, untuk sebagai orang kristiani, dengan segala perbuatan mereka, mempersembahkan korban rohani, dan untuk mewartakan daya-kekuatan Dia, yang telah memanggil mereka dari kegelapan kedalam cahaya-Nya yang mengagumkan(lih. 1Ptr 2:4-10). Maka hendaknya seluruh murid Kristus, yang bertekun dalam doa dan memuji Allah (lih. Kis 2:42-47), mempersembahkan diri sebagai korban yang hidup, suci, berkenan kepada Allah (lih. Rom 11:1). Hendaknya mereka diseluruh bumi memberi kesaksian tentang Kristus, dan kepada mereka yang memintanya memberi pertanggung-jawaban tentang harapan akan hidup kekal, yang ada pada mereka (lih. 1Ptr 3:15).

Adapun imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda hakekatnya dan bukan hanya tingkatnya, saling terarahkan. Sebab keduanya dengan cara khasnyamasing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus[16]. Dengan kekuasaan kudus yang ada padanya imam pejabat membentuk dan memimpin umat keimaman. Ia menyelenggarakan korban Ekaristi atas nama Kristus, dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama segenap umat. Sedangkan umat beriman berkat imamat rajawi mereka ikut serta dalam persembahan Ekaristi[17]. Imamat itu mereka laksanakan dalam menyambut sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif.

11. (Pelaksanaan imamat umum dalam sakramen-sakramen)

Sifat suci persekutuan keimanan yang tersusun secara organis itu diwujudkan baik dengan menerima sakramen-sakramen maupun dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan. Dengan babtis kaum beriman dimasukkan ke dalam tubuh Gereja; dengan menerima meterai mereka ditugaskan untuk menyelenggarakan ibadat agama kristiani; karena sudah dilahirkan kembali menjadi anak-anak Allah, mereka wajib mengakui dimuka orang-orang iman, yang telah mereka terima dari Allah melalui Gereja[18]. Berkat sakramen penguatan mereka terikat pada Gereja secara lebih sempurna, dan diperkaya dengan daya kekuatan Roh Kudus yang istimewa; dengan demikian mereka semakin diwajibkan untuk menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi Kristus yang sejati, dengan perkataan maupun perbuatan[19]. Dengan ikut serta dalam korban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah[20]; demikianlah semua menjalankan peranannya sendiri dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur, melainkan masing-masing dengan caranya sendiri. Kemudian, sesudah memperoleh kekuatan dari Tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkrit menampilkan kesatuan Umat Allah, yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara mengagumkan.

Mereka yang menerima sakramen tobat memperoleh pengampunan dari belas-kasihan Allah atas penghinaan mereka terhadap-Nya; sekaligus mereka didamaikan oleh gereja, yang telah mereka lukai dengan berdosa, dan yang membantu pertobatan mereka dengan cinta kasih, teladan serta doa-doanya. Melalui perminyakan suci orang sakit dan doa para imam seluruh Gereja menyerahkan mereka yang sakit kepada Tuhan yang bersengsara dan telah dimuliakan, supa Ia menyembuhkan dan menyelamatkan mereka (lih. Yak 5:14-16); bahkan Gereja mendorong mereka untuk secara bebas menggabungkan diri dengan sengsara dan wafat Kristus (lih. Rom 8:17; Kol 1:24; 2Tim 2:11-12; 1Ptr 4:13), dan dengan demikian mereka memberi sumbangan bagi kesejahteraan Umat Allah. Lagi pula, mereka diantara umat beriman yang ditandai dengan tahbisan suci, diangkat untuk atas nama Kristus menggembalakan Gereja dengan sabda dan rahmat Allah. Akhirnya para suami-isteri Kristiani dengan sakramen perkawinan menandakan misteri kesatuan dan cinta kasih yang subur antara Kristus dan gereja, dan ikut serta menghayati misteri itu (lih. Ef 5:32); atas kekuatan sakramen mereka itu dalam hidup berkeluarga maupun dalam menerima serta mendidik anak saling membantu untuk menjadi suci; dengan demikian dalam status hidup dan kedudukannya mereka mempunyai kurnia yang khas ditengah Umat Allah (lih. 1Kor 7:7)[21]. Sebab dari persatuan suami-isteri itu tumbuhlah keluarga, tempat lahirnya warga-warga baru masyarakat manusia, yang berkat rahmat Roh Kudus karena babtis diangkat menjadi anak-anak Allah dari abda ke abad. Dalam Gereja-keluarga itu hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani.

Diteguhkan dengan upaya-upaya keselamatan sebanyak dan sebesar itu, semua orang beriman, dalam keadaan dan status manapun juga, dipanggil oleh Tuhan untuk menuju kesucian yang sempurna seperti Bapa sendiri sempurna, masing-masing melalui jalannya sendiri.

12. (Perasaan iman dan karisma-karisma umat kristiani)

Umat Allah yang kudus mengambil bagian juga dalam tugas kenabian Kristus, dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentang-Nya terutama melalui hidup iman dan cinta kasih, pun pula dengan mempersembahkan kepada Allah korban pujian, kesaksian ucapan bibir yang mengakui nama-Nya (lih. Ibr 13:15). Keseluruhan kaum beriman, yang telah diurapi oleh Yang Kudus (lih 1 Yoh 2:20 dan 27), tidak dapat sesat dalam beriman; dan mereka menyatakan sifat yang istimewa ini melalui ketajaman iman adikodrati segenap umat, ketika dari Uskup hingga para awam beriman yang terkecil”[22], secara keseluruhan menyatakan kesepakatan mereka tentang perkara-perkara iman dan moral. Ketajaman (discernment) dalam hal iman tersebut dibangkitkan dan dipelihara oleh Roh Kebenaran. Discernment ini dilakukan dalam bimbingan wewenang mengajar yang suci, dalam ketaatan yang setia dan penuh hormat, di mana Umat Allah menerimanya tidak sebagai perkataan manusia, melainkan sungguh sebagai sabda Allah (lih. 1Tes 2:13). Melalui hal ini, Umat Allah tanpa menyimpang berpegang teguh pada iman, yang sekali dan selama- lamanya telah diserahkan kepada para kudus (Yud 3);menyelaminya dengan semakin mendalam dengan pemikiran yang benar, dan menerapkannya dengan semakin penuh dalam kehidupan mereka.

Selain itu, tidak hanya melalui sakramen- sakramen dan pelayanan Gereja saja, bahwa Roh Kudus menyucikan dan membimbing Umat Allah dan menghiasinya dengan kebajikan- kebajikan, melainkan, Ia juga “membagi-bagikan” kurnia-kurnia-Nya “kepada masing-masing menurut kehendak-Nya” (1Kor 12:11). Di kalangan umat dari segala lapisan Ia membagi-bagikan rahmat istimewa pula, yang menjadikan mereka cakap dan bersedia untuk menerima pelbagai karya atau tugas, yang berguna untuk membaharui Gereja serta meneruskan pembangunannya, menurut ayat berikut : “Kepada setiap orang dianugerahkan pernyataan Roh demi kepentingan bersama” (1Kor 12:7). Karisma-karisma itu, entah yang amat istimewa, entah yang lebih sederhana dan tersebar lebih luas, hendaknya diterima dengan rasa syukur dan gembira, sebab karunia- karunia tersebut sangat sesuai dan berguna untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan Gereja. Namun kurnia-kurnia yang luar biasa janganlah dikejar-kejar begitu saja; jangan pula terlalu banyak hasil yang pasti diharapkan daripadanya untuk karya kerasulan. Adapun keputusan tentang tulennya karisma-karisma itu, begitu pula tentang penggunaannya secara layak/ teratur, termasuk dalam wewenang mereka yang bertugas memimpin dalam Gereja. Terutama mereka itulah yang berfungsi, bukan untuk memadamkan Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (lih. 1Tes 5:12 dan 19-21).

13. (Sifat umum dan katolik Umat Allah yang satu)

Semua orang dipanggil kepada Umat Allah yang baru. Maka umat itu, yang tetap satu dan tunggal, harus disebarluaskan keseluruh dunia dan melalui segala abad, supaya terpenuhilah rencana kehendak Allah, yang pada awal mula menciptakan satu kodrat manusia, dan menetapkan untuk akhirnya menghimpun dan mempersatukan lagi anak-anak-Nya yang tersebar (lih. Yoh 11:52). Sebab demi tujuan itulah Allah mengutus Putera-Nya, yang dijadikan-Nya ahli waris alam semesta (lih. Ibr 1:2), agar Ia menjadi Guru, Raja dan Imam bagi semua orang, Kepala umat anak-anak Allah yang baru dan universal. Demi tujuan itu pulalah Allah mengutus Roh Putera-Nya, Tuhan yang menghidupkan, yang bagi seluruh Gereja dan masing-masing serta segenap orang beriman menjadi azas penghimpun dan pemersatu dalam ajaran para rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti, dan doa-doa (lih. Kis 1:42 yun.).

Jadi satu Umat Allah itu hidup ditengah segala bangsa dunia, warga Kerajaan yang tidak bersifat duniawi melainkan sorgawi. Sebab semua orang beriman, yang tersebar diseluruh dunia, dalam Roh Kudus berhubungan dengan anggota-anggota lain. Demikianlah “dia yang tinggal di Roma mengakui orang-orang India sebagai saudaranya”[23]. Namun karena Kerajaan Kristus bukan dari dunia ini (lih. Yoh 18:36), maka Gereja dan Umat Allah, dengan membawa masuk Kerajaan itu, tidak mengurangi sedikitpun kesejahteraan materiil bangsa manapun juga. Malahan sebaliknya, Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya. Sebab Gereja tetap ingat, bahwa harus ikut mengumpulkan bersama dengan Sang Raja, yang diserahi segala bangsa sebagai warisan (lih. Mzm 2:8), untuk mengantarkan persembahan dan upeti kedalam kota-Nya (lih. Mzm 71/72:10; Yes 60:4-7; Why 21:24). Sifat universal, yang menyemarakkan Umat Allah itu, merupakan kurnia Tuhan sendiri. Karenanya Gereja yang katolik secara tepat-guna dan tiada hentinya berusaha merangkum segenap umat manusia beserta segala harta kekayaannya dibawah kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya[24].

Berkat ciri katolik itu setiap bagian Gereja menyumbangkan kepunyaannya sendiri kepada bagian-bagian lainnya dan kepada seluruh Gereja. Dengan demikian Gereja semesta dan masing-masing bagiannya berkembang, karena semuanya saling berbagi dan serentak menuju kepenuhannya dalam kesatuan. Maka dari itu umat Allah bukan hanya dihimpun dari pelbagai bangsa, melainkan dalam dirinya sendiri pun tersusun dari aneka golongan. Sebab diantara para anggotanya terdapat kemacam-ragaman, entah karena jabatan, sebab ada beberapa yang menjalankan pelayanan suci demi kesejahteraan saudara-saudara mereka, entah karena corak dan tata-tertib kehidupan, sebab cukup banyaklah yang dalam status hidup bakti (religius) menuju kesucian melalui jalan yang lebih sempit, yang mendorong saudara-saudara dengan teladan mereka. Maka dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat Gereja-Gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sendiri, sedangkan tetap utuhlah primat takhta Petrus, yang mengetuai segenap persekutuan cinta kasih[25], melindungi keanekaragam yang wajar, dan sekaligus menjaga, agar hal-hal yang khusus jangan merugikan kesatuan, melainkan justru menguntungkannya. Maka antara pelbagai bagian Gereja perlu ada ikatan persekutuan yang mesra mengenai kekayaan rohani, para pekerja dalam kerasulan dan bantuan materiil. Sebab para anggota umat Allah dipanggil untuk saling berbagi harta-benda, dan bagi masing-masing Gereja pun berlaku amnat Rasul: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan kurnia yang telah diperoleh setiap orang, sebabgia pengurus aneka rahmat Allah yang baik.” (1Ptr 4:10).

Jadi kepada kesatuan katolik Umat Allah itulah, yang melambangkan dan memajukan perdamaian semesta, semua orang dipanggil. Mereka termasuk kesatuan itu atau terarahkan kepadanya dengan aneka cara, baik kaum beriman katolik, umat lainnya yang beriman akan Kristus, maupun semua orang tanpa kecuali, yang karena rahmat Allah dipanggil kepada keselamatan.

14. (Umat beriman katolik)

Maka terutama kepada umat beriman Katoliklah Konsili suci mengarahkan perhatiannya. Berdasarkan Kitab suci dan Tradisi, Konsili mengajarkan bahwa Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan baptis (lih. Mrk 16:16; Yoh 3:5). Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.

Dimasukkan sepenuhnya ke dalam sertifikat Gereja, mereka, yang mempunyai Roh Kristus, menerima baik seluruh tata-susunan Gereja serta semua upaya keselamatan yang diadakan di dalamnya, dan dalam himpunannya yang kelihatan digabungkan dengan Kristus yang membimbingnya melalui Imam Agung dan para uskup, dengan ikatan-ikatan ini, yakni: pengakuan iman, sakramen-sakramen dan kepemimpinan gerejani serta persekutuan. Tetapi tidak diselamatkan orang, yang meskipun termasuk anggota Gereja namun tidak bertambah dalam cinta-kasih; jadi yang “dengan badan” memang berada dalam pangkuan Gereja, melainkan tidak “dengan hatinya”[26]. Pun hendaklah semua putera Gereja menyadari, bahwa mereka menikmati keadaan yang istimewa itu bukan karena jasa-jasa mereka sendiri, melainkan berkat rahmat Kristus yang istimewa pula. Dan bila mereka tidak menanggapi rahmat itu dengan pikiran, perkataan dan perbuatan, mereka bukan saja tidak diselamatkan, malahan akan diadili lebih keras[27].

Para calon baptis, yang karena dorongan Roh Kudus dengan jelas meminta supaya dimasukkan ke dalam Gereja, karena kemauan itu sendiri sudah tergabung padanya. Bunda Gereja sudah memeluk mereka sebagai putera-puteranya dengan cinta kasih dan perhatiannya.

15. (Hubungan gereja dengan orang kristen bukan katolik)

Gereja tahu, bahwa karena banyak alasan ia berhubungan dengan mereka, yang karena dibaptis mengemban nama kristen, tetapi tidak mengakui ajaran iman seutuhnya atau tidak memelihara kesatuan persekutuan di bawah Pengganti Petrus [28]. Sebab memang banyaklah yang menghormati Kitab suci sebagai tolak ukur iman dan kehidupan, menunjukkan semangat keagamaan yang sejati, penuh kasih beriman akan Allah Bapa yang mahakuasa dan akan Kristus, Putera Allah dan Penyelamat[29], ditandai oleh baptis yang menghubungkan mereka dengan Kristus, bahkan mengakui dan menerima sakramen-sakramen lainnya juga di Gereja-Gereja atau jemaat-jemaat gerejani mereka sendiri. Banyak pula di antara mereka yang mempunyai Uskup-uskup, merayakan Ekaristi suci, dan memelihara hormat bakti kepada Santa Perawan Bunda Allah[30]. Selain itu ada persekutuan doa-doa dan kurnia-kurnia rohani lainnya; bahkan ada suatu hubungan sejati dalam Roh Kudus, yang memang dengan daya pengudusan-Nya juga berkarya di antara mereka dengan melimpahkan anugerah-anugerah serta rahmat-rahmat-Nya, dan menguatkan beberapa di kalangan mereka hingga menumpahkan darahnya. Demikianlah Roh membangkitkan pada semua murid Kristus keinginan dan kegiatan, supaya semua saja dengan cara yang ditetapkan oleh Kristus secara damai dipersatukan dalam satu kawanan di bawah satu Gembala[31]. Untuk mencapai tujuan itu Bunda Gereja tiada hentinya berdoa, berharap dan berusaha, serta mendorong para puteranya untuk memurnikan dan membaharui diri, supaya tanda Kristus dengan lebih cemerlang bersinar pada wajah Gereja.

16. (Umat bukan-kristiani)

Akhirnya mereka yang belum menerima Injil dengan berbagai alasan diarahkan kepada Umat Allah[32]. Terutama bangsa yang telah dianugerahi perjanjian dan janji-janji, serta merupakan asal kelahiran Kristus menurut daging (lih. Rom 9:4-5), bangsa terpilih yang amat disayangi karena para leluhur; sebab Allah tidak menyesali kurnia-kurnia serta panggilan-Nya (lih. Rom 11:28-29). Namun rencana keselamatan juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta; di antara mereka terdapat terutama kaum muslimin, yang menyatakan bahwa mereka berpegang pada iman Abraham, dan bersama kita bersujud menyembah Allah yang tunggal dan maha rahim, yang akan menghakimi manusia pada hari kiamat. Pun dari umat lain, yang mencari Allah yang tak mereka kenal dalam bayangan dan gambaran, tidak jauhlah Allah, karena Ia memberi semua kehidupan dan nafas dan segalanya (lih. Kis 17:25-28), dan sebagai Penyelamat menghendaki keselamatan semua orang (lih. 1Tim 2:4). Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal[33]. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apapun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, Gereja dipandang sebagai persiapan Injil[34], dan sebagai kurnia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan. Tetapi sering orang-orang, karena ditipu oleh si Jahat, jatuh ke dalam pikiran-pikiran yang sesat, yang mengubah kebenaran Allah menjadi dusta, dengan lebih mengabdi kepada ciptaan daripada Sang Pencipta (lih. Rom 1:21 dan 25). Atau mereka hidup dan mati tanpa Allah di dunia ini dan menghadapi bahaya putus asa yang amat berat. Maka dari itu, dengan mengingat perintah Tuhan: “Wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15), Gereja dengan sungguh-sungguh berusaha mendukung misi-misi, untuk memajukan kemuliaan Allah dan keselamatan semua orang itu.

17. (Sifat misioner Gereja)

Sebab seperti Putera diutus oleh Bapa, begitu pula Ia sendiri mengutus para Rasul (lih. Yoh 20:21), sabda-Nya: “Pergilah, ajarilah semua bangsa, dan babtislah mereka atas nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka menaati segala-sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:19-20). Perintah resmi Kristus itu mewartakan kebenaran yang menyelamatkan itu oleh Gereja diterima dari para Rasul, dan harus dilaksanakan sampai ujung bumi (lih. Kis 1:8). Maka Gereja mengambil alih sabda Rasul: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil!” (1Kor 9:16). Maka dari itu gereja terus-menerus mengutus para pewarta, sampai Gereja-Gereja baru terbentuk sepenuhnya, dan mereka sendiripun melanjutkan karya pewartaan Injil. Sebab Gereja didorong oleh Roh Kudus untuk ikut mengusahakan, agar rencana Allah, yang menetapkan Kristus sebagai azas keselamatan bagi seluruh dunia, terlaksana secara efektif. Dengan mewartakan Injil Gereja mengundang mereka yang mendengarnya kepada iman dan pengakuan iman, menyiapkan mereka untuk menerima baptis, membebaskan mereka dari perbudakan kesesatan, dan menyaturagakan mereka kedalam Kristus, supaya karena cinta kasih mereka bertumbuh ke arah Dia hingga kepenuhannya. Dengan usaha-usahanya Gereja menyebabkan, bahwa segala kebaikan yang tertaburkan dalam hati serta budi orang-orang, atau dalam upacara-upacara dan kebudayaan para bangsa sendiri, bukan saja tidak hilang, melainkan disehatkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, demi tersipu-sipunya setan dan kebahagiaan manusia. Setiap murid Kristus mengemban beban untuk menyiarkan iman sekadar kemampuannya[35]. Setiap orang dapat membabtis orang beriman. Tetapi tugas imamlah melaksanakan pembangunan Tubuh Kristus dengan mempersembahkan korban Ekaristi. Dengan demikian terpenuhilah sabda Allah melalui nabi: “Dari terbitnya matahari sampai terbenamnya besarlah nama-Ku diantara para bangsa, dan disetiap tempat dikorbankan dan dipersembahkanlah persembahan murni kepada nama-Ku” (Mal 1:11)[36]. Begitulah Gereja sekaligus berdoa dan berkarya, agar kepenuhan dunia seluruhnya beralih menjadi Umat Allah, Tubuh Tuhan dan Kenisah Roh Kudus, dan supaya dalam Kristus, Kepala semua orang, di persembahkan kepada Sang Pencipta dan Bapa semesta alam segala hormat dan kemuliaan.

BAB TIGA – SUSUNAN HIRARKIS GEREJA, KHUSUSNYA EPISKOPAT

18. (Pendahuluan)

Untuk menggembalakan dan senantiasa mengembangkan umat Allah, Kristus Tuhan mengadakan dalam Gereja-Nya aneka pelayanan, yang tujuannya kesejahteraan seluruh Tubuh. Sebab para pelayan, yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani saudara-saudara mereka, supaya semua yang termasuk Umat Allah, dan karena itu mempunyai martabat kristiani sejati, dengan bebas dan teratur bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dan dengan demikian mencapai keselamatan.

Mengikuti jejak Konsili Vatikan I, Konsili suci ini mengajarkan dan menyatakan, bahwa Yesus Kristus Gembala kekal telah mendirikan Gereja Kudus, dengan mengutus para Rasul seperti Ia sendiri di utus oleh Bapa (lih. Yoh 20:21). Para pengganti mereka yakni para Uskup, dikehendaki-Nya untuk menjadi gembala dalam gereja-Nya hingga akhir zaman. Namun supaya episkopat itu sendiri tetap satu dan tak terbagi, Ia mengangkat santo Petrus menjadi ketua para Rasul lainnya. Dan dalam diri Petrus itu Ia menetapkan adanya azas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan[37]. Ajaran tentang penetapan, kelestarian, kuasa dan arti Primat Kudus Imam Agung di Roma maupun tentang Wewenang Mengajarnya yang tak dapat sesat, oleh Konsili suci sekali lagi dikemukakan kepada semua orang beriman untuk diimani dengan teguh. Dan melanjutkan apa yang sudah dimulai itu Konsili memutuskan, untuk menyatakan dan memaklumkan di hadapan mereka semua ajaran tentang para uskup, pengganti para Rasul, yang beserta pengganti Petrus, Wakil Kristus[38] dan Kepala Gereja semesta yang kelihatan, memimpin rumah Allah yang hidup.

19. (Dewan para Rasul didirikan oleh Kristus)

Setelah berdoa kepada Bapa, Tuhan Yesus memanggil kepada-Nya mereka yang dikendaki-Nya sendiri. Diangkat-Nya duabelas orang, untuk ikut serta dengan-Nya, dan untuk diutus mewartakan Kerajaan Allah (lih. Mark 3:13-19; Mat 10:1-42). Para Rasul itu (lih. Luk 6:13) di bentuk-Nya menjadi semacam dewan atau badan yang tetap. Sebagai ketua dewan diangkat-Nya Petrus, yang dipilih dari antara mereka (lih. Yoh 21:15-17). Ia mengutus mereka pertama-tama kepada umat Israel, kemudian kepada semua bangsa (lih. Rom 1:16), supaya mereka, dengan mengambil bagian dalam kekuasaan-Nya, menjadikan semua bangsa murid-murid-Nya, serta menguduskan dan memimpin mereka (lih. Mat 28:16-20; Mrk 16:15; Luk 24:45-48; Yoh 20:21-23). Demikianlah mereka akan menyebarluaskan Gereja, dan di bawah bimbingan Tuhan menggembalakannya dalam pelayanan, di sepanjang masa hingga akhir jaman (lih. Mat 28:20). Pada hari Pentekosta mereka diteguhkan sepenuhnya dalam perutusan itu (lih. Kis 2:1-36) sesuai dengan janji Tuhan: Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi (Kis 1:8). Adapun para Rasul dimana-mana mewartakan Injil (lih. Mrk 16:20), yang berkat karya Roh kudus diterima baik oleh mereka dan di atas Santo petrus, ketua mereka, sedangkan Yesus Kristus sendiri menjadi batu sendinya (lih. Why 21:14; Mat 16:18; Ef 2:20)[39].

20. (Para Uskup pengganti para Rasul)

Perutusan ilahi, yang dipercayakan kristus kepada para rasul itu, akan berlangsung sampai akhir zaman (lih. Mat 28:20). Sebab Injil, yang harus mereka wartakan, bagi Gereja merupakan azas seluruh kehidupan untuk selamanya. Maka dari itu dalam himpunan yang tersusun secara hirarkis itu para Rasul telah berusaha mengangkat para pengganti mereka.

Mereka tidak hanya mempunyai berbagai macam pembantu dalam pelayanan[40]. Melainkan supaya perutusan yang dipercayakan kepada para Rasul dapat dilanjutkan sesudah mereka meninggal, mereka menyerahkan kepada para pembantu mereka yang terdekat – seakan-akan sebagai wasiat – tugas untuk menyempurnakan dan meneguhkan karya yang telah mereka mulai[41]. Kepada mereka itu para Rasul berpesan, agar mereka menjaga seluruh kawanan, tempat Roh Kudus mengangkat mereka untuk menggembalakan jemaat Allah (lih. Kis 20:28). Jadi para Rasul mengangkat orang-orang seperti itu; dan kemudian memberi perintah, supaya bila mereka sendiri meninggal, orang-orang lain yang terbukti baik mengambil alih pelayanan mereka[42]. Di antara pelbagai pelayanan, yang sejak awal mula dijalankan dalam Gereja itu, menurut tradisi yang mendapat tempat utama ialah tugas mereka yang diangkat menjadi Uskup, dan yang karena pergantian yang berlangsung sejak permulaan[43] membawa ranting benih rasuli[44]. Demikianlah menurut kesaksian S. Ireneus, melalui mereka yang oleh para Rasul diangkat menjadi uskup serta para pengganti mereka sampai akhir zaman kita, tradisi rasuli dinyatakan[45] dan dipelihara[46] diseluruh dunia.

Jadi para Uskup menerima tugas melayani jemaat bersama dengan para pembantu mereka, yakni para imam dan diakon[47]. Sebagai wakil Allah mereka memimpin kawanan[48] yang mereka gembalakan, sebagai guru dalam ajaran, imam dalam ibadat suci, pelayanan dalam bimbingan[49]. Seperti tugas, yang oleh Tuhan secara khas diserahkan kepada Petrus ketua para rasul, dan harus diteruskan kepada para penggantinya, tetaplah adanya, begitu pula tetaplah tugas para rasul menggembalakan Gereja, yang tiada hentinya harus dilaksanakan oleh pangkat suci para Uskup[50]. Maka dari itu Konsili suci mengajarkan, bahwa atas penetapan ilahi para Uskup menggantikan para Rasul[51] sebagai gembala Gereja. Barangsiapa mendengarkan mereka, mendengarkan Kristus; tetapi barang siapa menolak mereka, menolak Kristus dan Dia yang mengutus Kristus (lih. Luk 10:16)[52].

21. (Sakramen imamat)

Jadi dalam diri para Uskup, yang dibantu oleh para imam, hadirlah ditengah umat beriman Tuhan Yesus kristus, Imam Agung tertinggi. Sebab meskipun Ia duduk di sisi kanan Allah Bapa, Ia tidak terpisahklan dari himpunan para imam agung-Nya[53]. Melainkan terutama melalui pengabdian mereka yang mulia Ia mewartakan sabda Allah kepada semua bangsa, dan tiada hentinya Ia menerima sakramen-sakramen iman kepada umat beriman. Melalui tugas kebapaan mereka (lih. 1Kor 4:15) Yesus menyaturagakan anggota-anggota baru ke dalam tubuh-Nya karena kelahiran kembali dari atas. Akhirnya melalui kebijaksanaan dan kearifan mereka ia membimbing dan mengarahkan Umat Perjanjian baru dalam perjalanannya menuju kebahagiaan kekal. Para gembala yang dipilih untuk menggembalakan kawanan Tuhan itu pelayan-pelayan Kristus dan pembagi rahasia-rahasia Allah (lih. 1Kor 4:1). Kepada mereka dipercayakan kesaksian akan Injil tentang rahmat Allah (lih. Rom 15:16; Kis 20:24) serta pelayanan Roh dan kebenaran dalam kemuliaan (lih. 2Kor 3:8-9).

Untuk menunaikan tugas-tugas yang semulia itu para rasul diperkaya dengan pencurahan istimewa Roh Kudus, yang turun dari Kristus atas diri mereka (lih. Kis 1:8; 2:4; Yoh 20:22-23). Dengan penumpangan tangan mereka sendiri meneruskan kurnia rohani itu kepada para pembantu mereka (lih. 1Tim 4:14; 2Tim 1:6-7). Kurnia itu sampai sekarang disampaikan melalui tahbisan Uskup[54]. Adapun Konsili suci mengajarkan bahwa dengan tahbisan Uskup diterimakan kepenuhan sakramen Imamat, yakni yang dalam kebiasaan liturgi Gereja maupun melalui suara para Bapa suci disebut imamat tertinggi, keseluruhan pelayan suci[55]. Adapun dengan tahbisan (konsekrasi) Uskup diberikan tugas menyucikan, selain itu juga tugas mengajar dan membimbing. Namun menurut hakikatnya tugas-tugas itu hanya dapat dilaksanakan dalam persekutuan hirarkis dengan Kepala serta para anggota Dewan. Sebab menurut tradisi, yang dinyatakan terutama dalam upacara-upacara liturgis dan kebiasaan Gereja Timur maupun barat, cukup jelaslah, bahwa dengan penumpangan tangan dan kata-kata tahbisan diberikan rahmat Roh Kudus[56] serta meterai suci[57] sedemikian rupa, sehingga para Uskup secara mulia dan kelihatan mengemban peran Kristus sebagai Guru, Gembala, dan Imam Agung, dan bertindak atas nama-Nya[58]. Adalah wewenang para Uskup untuk dengan sakramen tahbisan mengangkat para terpilih baru ke dalam Dewan para Uskup.

22. (Kolegialitas Dewan para Uskup)

Seperti Santo Petrus dan para Rasul lainnya atas penetapan Tuhan merupakan satu Dewan para Rasul, begitu pula Imam Agung di Roma, pengganti Petrus, bersama para Uskup, merupakan himpunan yang serupa. Adanya kebiasaan amat kuno, bahwa para Uskup di seluruh dunia berhubungan satu dengan lainnya serta dengan Uskup di Roma dalam ikatan kesatuan, cinta kasih dan damai[59], begitu pula adanya Konsili-konsili yang dihimpun[60] untuk mengambil keputusan-keputusan bersama yang amat penting[61], sesudah ketetapan dipertimbangkan dalam musyawarah banyak orang[62], semua itu memperlihatkan sifat dan hakikat kolegial pangkat Uskup. Sifat itu dengan jelas sekali terbukti dari Konsili-konsili Ekumenis, yang diselenggarakan di sepanjang abad-abad yang lampau. Sifat itu tercermin pula pada kebiasaan yang berlaku sejak zaman kuno, yakni mengundang Uskup-Uskup untuk ikut berperan dalam mengangkat orang terpilih baru bagi pelayanan imamat agung. Seseorang menjadi anggota Dewan para Uskup dengan menerima tahbisan sakramental dan berdasarkan persekutuan hirarkis dengan Kepala maupun para anggota Dewan.

Adapun Dewan atau Badan para Uskup hanyalah berwibawa bila bersatu dengan Imam Agung di Roma, pengganti Petrus, sebagai Kepalanya. Kuasa Keutamaan Paus terhadap semua, baik para Gembala maupun para beriman, tetap berlaku seutuhnya. Sebab Imam Agung di Roma berdasarkan tugasnya, yakni sebagai Wakil Kristus dan Gembala Gereja semesta, mempunyai kuasa penuh, tertinggi dan universal terhadap Gereja; dan kuasa itu selalu dapat dijalankannya dengan bebas. Sedangkan Badan para Uskup, yang menggantikan Dewan para Rasul dan tugas mengajar dan bimbingan pastoral, bahkan yang melestarikan Badan para Rasul, bersama dengan Imam Agung di Roma selaku Kepalanya, dan tidak pernah tanpa Kepala itu, merupakan subjek kuasa tertinggi dan penuh juga terhadap Gereja[63]; tetapi kuasa itu hanyalah dapat dijalankan dengan persetujuan Imam Agung di Roma. Hanya Simonlah yang oleh Tuhan ditempatkan sebagai batu karang dan juru kunci Gereja (lih. Mat 16:18-19), dan diangkat menjadi Gembala seluruh kawanan-Nya (lih. Yoh 21:15 dsl.). Tetapi tugas mengikat dan melepaskan, yang diserahkan kepada Petrus (lih. Mat 16:19), ternyata diberikan juga kepada Dewan para Rasul dalam persekutuan dengan Kepalanya (lih. Mat 18:18; 28:16-20)[64]. Sejauh terdiri dari banyak orang, Dewan itu mengungkapkan kemacam-ragaman dan sifat universal Umat Allah; tetapi sejauh terhimpun dibawah satu kepala, mengungkapkan kesatuan kawanan Kristus. Dalam Dewan itu para Uskup, sementara mengakui dengan setia kedudukan utama dan tertinggi Kepalanya, melaksanakan kuasanya sendiri demi kesejahteraan umat beriman mereka, bahkan demi kesejahteraan Gereja semesta; dan Roh Kudus tiada hentinya meneguhkan tata-susunan organis serta kerukunannya. Kuasa tertinggi terhadap Gereja seluruhnya, yang ada pada dewan itu, secara meriah dijalankan dalam Konsili Ekumenis. Tidak pernah ada Konsili Ekumenis, yang tidak disahkan atau sekurang-kurangnya diterima baik oleh pengganti Petrus. Adalah hak khusus Imam Agung di Roma untuk mengundang Konsili itu, dan memimpin serta mengesahkannya[65]. Kuasa kolegial itu dapat juga dijalankan oleh para Uskup bersama Paus, kalau mereka tersebar diseluruh dunia, asal saja Kepala Dewan mengundang mereka untuk melaksanakan tindakan kolegial, atau setidak-tidaknya menyetujui atau dengan bebas menerima kegiatan bersama para Uskup yang terpencar, sehingga sungguh-sungguh terjadi tindakan kolegial.

23. (Uskup setempat dan Gereja universal)

Persatuan kolegial nampak juga dalam hubungan timbal-balik antara masing-masing Uskup dan Gereja-Gereja khusus serta Gereja semesta. Imam Agung di Roma, sebagai pengganti Petrus, menjadi azas dan dasar yang kekal dan kelihatan bagi kesatuan para Uskup maupun segenap kaum beriman[66]. Sedangkan masing-masing Uskup menjadi azas dan dasar kelihatan bagi kesatuan dalam Gereja khususnya[67], yang terbentuk menurut citra Gereja semesta. Gereja katolik yang satu dan tunggal berada dalam Gereja-Gereja khusus dan terhimpun daripadanya[68]. Maka dari itu masing-masing Uskup mewakili Gerejanya sendiri, sedangkan semua Uskup bersama Paus mewakili seluruh Gereja dalam ikatan damai, cinta kasih dan kesatuan.

Masing-masing Uskup, yang mengetuai Gereja khusus, menjalankan kepemimpinan pastoralnya terhadap bagian Umat Allah yang dipercayakan kepadanya, bukan terhadap Gereja-Gereja lain atau Gereja semesta. Tetapi sebagai anggota Dewan para Uskup dan pengganti para Rasul yang sah mereka masing-masing – atas penetapan dan perintah Kristus – wajib menaruh perhatian terhadap seluruh Gereja[69]. Meskipun perhatian itu tidak diwujudkan melalui tindakan menurut wewenang hukumnya, namun sangat bermanfaat bagi seluruh Gereja. Sebab semua Uskup wajib memajukan dan melindungi kesatuan iman dan tata-tertib yang berlaku umum bagi segenap Gereja, mendidik umat beriman untuk mencintai seluruh Tubuh Kristus yang mistik, terutama para anggotanya yang miskin serta bersedih hati, dan mereka yang menanggung penganiayaan demi kebenaran (lih. Mat 5:10); akhirnya memajukan segala kegiatan, yang umum bagi seluruh Gereja, terutama agar supaya iman berkembang dan cahaya kebenaran yang penuh terbit bagi semua orang. Memang sudah pastilah bahwa, bila mereka membimbing dengan baik Gereja mereka sendiri sebagai bagian Gereja semesta, mereka memberi sumbangan yang nyata bagi kesejahteraan seluruh Tubuh mistik, yang merupakan badan Gereja-Gereja itu[70].

Penyelenggaraan pewartaan Injil di seluruh dunia merupakan kewajiban badan para Gembala, yang kesemuanya bersama-sama menerima perintah Kristus, dan dengan demikian juga mendapat tugas bersama, seperti telah ditegaskan oleh Paus Coelestinus kepada para bapa Konsili di Efesus[71]. Maka masing-masing Uskup, sejauh pelaksanaan tugas mereka sendiri mengizinkannya, wajib ikut serta dalam kerja sama antara mereka sendiri dan dengan pengganti Petrus, yang secara istimewa diserahi tugas menyiarkan iman kristiani[72]. Maka untuk daerah-daerah misi mereka wajib sedapat mungkin menyediakan pekerja-pekerja panenan, maupun bantuan-bantuan rohani dan jasmani, bukan hanya langsung dari mereka sendiri, melainkan juga dengan membangkitkan semangat kerjasama yang berkobar diantara umat beriman. Akhirnya hendaklah para Uskup, dalam persekutuan semesta cinta kasih, dengan sukarela memberi bantuan persaudaraan kepada Gereja-Gereja lain, terutama yang lebih dekat dan miskin, menurut teladan mulia Gereja kuno.

Berkat penyelenggaraan ilahi terjadilah, bahwa pelbagai Gereja, yang didirikan di pelbagai tempat oleh para Rasul serta para pengganti mereka, sesudah waktu tertentu bergabung menjadi berbagai kelompok yang tersusun secara organis. Dengan tetap mempertahankan kesatuan iman serta susunan satu-satunya yang berasal dari Allah bagi seluruh Gereja, kelompok-kelompok itu mempunyai tata-tertib mereka sendiri, tata-cara liturgi mereka sendiri, dan warisan teologis serta rohani mereka sendiri[73]. Diantaranya ada beberapa, khususnya Gereja-Gereja patriarkal kuno, yang ibarat ibu dalam iman, melahirkan Gereja-Gereja lain sebagai anak-anaknya. Gereja-Gereja kuno itu sampai sekarang tetap berhubungan dengan Gereja-gereja cabang mereka karena ikatan cinta kasih yang lebih erat dalam hidup sakramental dan dengan saling menghormati hak-hak serta kewajiban mereka[74]. Keanekaragaman Gereja-Gereja setempat yang menuju kesatuan itu dengan cemerlang memperlihatkan sifat katolik Gereja yang tak terbagi. Begitu pula konferensi-konferensi Uskup sekarang ini dapat memberi sumbangan bermacam-macam yang berfaedah, supaya semangat kolegial mencapai penerapannya yang kongkret.

24. (Tugas para Uskup pada umumnya)

Dari Tuhan, yang diserahi segala kuasa di langit dan di bumui, para Uskup selaku pengganti para Rasul menerima perutusan untuk mengajar semua suku bangsa dan mewartakan Injil kepada segenap makhluk, supaya semua orang, karena iman, babtis dan pelaksanaan perintah-perintah memperoleh keselamatan (lih. Mat 28:18-20; Mrk 16:15-16; Kis 26:17 dsl.). Untuk menunaikan perutusan itu, Kristus Tuhan menjanjikan Roh Kudus kepada para Rasul, dan pada hari Pantekosta mengutus-Nya dari sorga, supaya mereka karena kekuatan Roh menjadi saksi-saksi-Nya hingga ke ujung bumi, dihadapan kaum kafir, para bangsa dan raja-raja (lih. Kis 1:8; 2:1; dsl; 9:15). Adapun tugas yang oleh Tuhan diserahkan kepada para gembala umat-Nya itu, sungguh-sungguh merupakan pengabdian, yang dalam Kitab suci dengan tepat di sebut diakonia atau pelayanan (lih. Kis 1:17 dan 25; 21:19; Rom 11:13; 1Tim 1:12).

Para Uskup dapat menerima misi kanonik menurut adat-kebiasaan yang sah, yang tidak di cabut oleh kuasa tertinggi dan universal Gereja, atau sesuai dengan hukum yang oleh kewibawaan itu juga ditetapkan atau diakui, atau secara langsung oleh pengganti Petrus sendiri. Bila beliau tidak setuju atau tidak menerima mereka ke dalam persekutuan apostolis, para Uskup tidak dapat diterima dalam jabatan itu[75].

25. (Tugas mengajar)

Diantara tugas-tugas para Uskup pewartaan Injillah yang terpenting[76]. Sebab para Uskup itu pewarta iman, yang mengantarkan murid-murid baru kepada Kristus.Mereka mengajar yang otentik, atau mengemban kewibawaan Kristus, artinya: mewartakan kepada Umat yang diserahkan kepada mereka iman yang harus dipercayai dan diterapkan pada perilaku manusia. Di bawah cahaya Roh Kudus mereka menjelaskan iman dengan mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaan Perwahyuan (lih. Mat 13:52). Mereka membuat iman itu berbuah, dan dengan waspada menanggulangi kesesatan-kesesatan yang mengancam kawanan mereka (lih. 2Tim 4:1-4). Bila para Uskup mengajar dalam persekutuan dengan Imam Agung di Roma, mereka harus dihormati oleh semua sebagai saksi kebenaran ilahi dan katolik. Kaum beriman wajib menyambut dengan baik ajaran Uskup mereka tentang iman dan kesusilaan, yang disampaikan atas nama Kristus, dan mematuhinya dengan ketaatan hati yang suci. Kepatuhan kehendak dan akalbudi yang suci itu secara istimewa harus ditunjukkan terhadap wewenang mengajar otentik Imam Agung di Roma, juga bila beliau tidak beramanat ex cathedra; yakni sedemikian rupa, sehingga wewenang beliau yang tertinggi untuk mengajar diakui penuh hormat, dan ajaran yang beliau kemukakan diterima setulus hati, sesuai dengan maksud dan kehendak beliau yang nyata, yang dapat diketahui terutama atau dari sifat dokumen-dokumen, atau karena ajaran tertentu sering beliau kemukakan, atau juga dari cara beliau berbicara.

Biarpun Uskup masing-masing tidak mempunyai kurnia istimewa tidak dapat sesat, namun kalau mereka – juga bila tersebar di seluruh dunia, tetapi tetap berada dalam persekutuan antar mereka dan dengan pengganti Petrus – dalam ajaran otentik tentang perkara iman dan kesusilaan sepakat bahwa suatu ajaran tertentu harus diterima secara definitif, merekapun memaklumkan ajaran Kristus tanpa dapat sesat[77]. Dan itu terjadi dengan lebih jelas lagi, bila mereka bersidang dalam Konsili Ekumenis, serta bertindak sebagai guru dan hakim iman serta kesusilaan terhadap Gereja semesta; keputusan-keputusan mereka harus diterima dengan kepatuhan iman[78].

Adapaun ciri tidak dapat sesat itu, yang atas kehendak Penebus ilahi dimiliki Gereja-Nya dalam menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan, meliputi seluruh perbendaharaan Wahyu ilahi, yang harus dijagai dengan cermat dan diuraikan dengan setia. Ciri tidak dapat sesat itu ada pada Imam Agung di Roma, Kepala Dewan para Uskup, berdasarkan tugas beliau, bila selaku gembala dan guru tertinggi segenap Umat beriman, yang meneguhkan saudara-saudara beliau dalam iman (lih. Luk 22:32), menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan dengan tindakan definitif[79]. Oleh karena itu sepantasnyalah dikatakan, bahwa ketetapan-ketetapan ajaran beliau tidak mungkin diubah dari dirinya sendiri, dan bukan karena persetujuan Gereja. Sebab ketetapan-ketetapan itu dikemukakan dengan bantuan Roh Kudus, yang dijanjikan kepada Gereja dalam diri Santo Petrus. Oleh karena itu tidak membutuhkan persetujuan orang-orang lain, lagi pula tidak ada kemungkinan naik banding kepada keputusan yang lain. Sebab disitulah Imam Agung di Roma mengemukakan ajaran beliau bukan sebagai perorangan prive; melainkan selaku guru tertinggi Gereja semesta, yang secara istimewa mengemban kurnia tidak dapat sesat Gereja sendiri, beliau menjelaskan atau menjaga ajaran iman katolik[80]. Sifat tidak dapat sesat yang dijanjikan kepada Gereja, ada pula pada badan para Uskup, bila melaksanakan wewenang tertinggi untuk mengajar bersama dengan pengganti Petrus. Ketetapan-ketetapan ajaran itu tidak akan pernah tidak disetujui oleh Gereja berkat karya Roh Kudus itu juga, yang memelihara dan memajukan seluruh kawanan Kristus dalam kesatuan iman[81].

Tetapi bila Imam Agung di Roma atau badan para Uskup bersama dengan beliau menetapkan ajaran, itu mereka kemukakan sesuai dengan Wahyu sendiri, yang harus dipegang teguh oleh semua orang yang menjadi pedoman hidup mereka. Wahyu itu secara tertulis atau melalui tradisi secara utuh diteruskan melalui pergantian para Uskup yang sah, dan terutama berkat usaha Imam Agung di Roma sendiri. Berkat cahaya Roh kebenaran wahyu itu dalam Gereja dijaga dengan cermat dan diuraikan dengan setia[82]. Untuk mendalaminya dengan seksama dan menyatakannya dengan tepat, Imam Agung di Roma dan para Uskup, sesuai dengan jabatan mereka dan pentingnya perkaranya, harus memberi perhatian sepenuhnya dan menggunakan upaya-upaya yang serasi[83]. Tetapi mereka tidak menerima adanya wahyu umum yang baru, yang termasuk perbendaharaan ilahi iman[84].

26. (Tugas menguduskan)

Uskup mempunyai kepenuhan sakramen Tahbisan, maka ia menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi”[85], terutama dalam Ekaristi, yang dipersembahkannya sendiri atau yang dipersembahkan atas kehendaknya[86], dan yang tiada hentinya menjadi sumber kehidupan dan pertumbuhan Gereja. Gereja Kristus itu sungguh hadir dalam semua jemaat beriman setempat yang sah, yang mematuhi para gembala mereka, dan dalam Perjanjian Baru disebut Gereja([87]). Gereja-Gereja itu ditempatnya masing-masing merupakan umat baru yang dipanggil oleh Allah, dalam Roh Kudus dan dengan sepenuh-penuhnya (lih 1Tes 1:5). Di situ umat beriman berhimpun karena pewartaan Injil Kristus, dan dirayakan misteri Perjamuan Tuhan, “supaya karena Tubuh dan Darah Tuhan semua saudara perhimpunan dihubungkan erta-erat”[88]. Di setiap himpunan di sekitar altar, dengan pelayanan suci Uskup[89], tampillah lambang cinta kasih dan “kesatuan tubuh mistik itu, syarat mutlak untuk keselamatan”[90]. Di jemaat-jemaat itu, meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus; dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik[91]. Sebab “keikut-sertaan dalam tubuh dan darah Kristus tidak lain berarti berubah menjadi apa yang kita sambut”[92].

Adapun semua perayaan Ekaristi yang sah dipimpin oleh Uskup. Ia diserahi tugas mempersembahkan ibadat agama kristiani kepada Allah yang maha agung, dan mengaturnya menurut perintah Tuhan dan hukum Gereja, yang untuk keuskupan masih perlu diperinci menurut pandangan Uskup sendiri.

Demikianlah para Uskup, dengan berdoa dan bekerja bagi Umat, membagikan kepenuhan kesucian Kristus dengan pelbagai cara dan secara melimpah. Dengan pelayanan sabda mereka menyampaikan kekuatan Allah kepada Umat beriman demi keselamatannya (lih. Rom 1:16). Dengan sakramen-sakramen, yang pembagiannya mereka urus dengan kewibawaan mereka supaya teratur dan bermanfaat[93], mereka menguduskan umat beriman. Mereka mengatur penerimaan babtis, yang memperoleh keikut-sertaan dalam imamat rajawi Kristus. Merekalah pelayan sesungguhnya sakramen penguatan, mereka pula yang menerima tahbisan-tahbisan suci dan mengatur dan mengurus tata-tertib pertobatan. Dengan saksama mereka mendorong dan mendidik Umat, supaya dengan iman dan hormat menunaikan perannya dalam liturgi, dan terutama dalam korban kudus misa. Akhirnya mereka wajib membantu umat yang mereka pimpin dengan teladan hidup mereka, yakni dengan mengendalikan perilaku mereka dan menjauhkan dari segala cela, dan – sedapat mungkin, dengan pertolongan Tuhan – mengubahnya menjadi baik. Dengan demikian mereka akan mencapai hidup kekal, bersama dengan kawanan yang dipercayakan kepada mereka[94].

27.(Tugas menggembalakan)

Para Uskup membimbing Gereja-Gereja khusus yang dipercayakan kepada mereka sebagai wakil dan utusan Kristus[95], dengan petunjuk-petunjuk, nasehat-nasehat dan teladan mereka, tetapi juga dengan kewibawaan dan kuasa suci. Kuasa itu hanyalah mereka gunakan untuk membangun kawanan mereka dalam kebenaran dan kesucian, dengan mengingat bahwa yang terbesar hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan (lih. Luk 22:26-27). Kuasa, yang mereka jalankan sendiri atas nama Kristus itu, bersifat pribadi, biasa dan langsung, walaupun penggunaannya akhirnya diatur oleh kewibawaan tertinggi Gereja, dan dapat diketahui batasan-batasan tertentu, demi faedahnya bagi Gereja atau Umat beriman. Berkat kuasa itu para Uskup mempunyai hak suci dan kewajiban dihadapan Tuhan untuk menyusun undang-undang bagi bawahan mereka, untuk bertindak sebagai hakim, dan untuk mengatur segala-sesuatu, yang termasuk ibadat dan kerasulan.

Secara penuh mereka diserahi tugas kegembalaan, atau pemeliharaan biasa dan sehari-hari terhadap kawanan mereka. Mereka itu jangan dianggap sebagai wakil Imam Agung di Roma, sebab mereka mengemban kuasa mereka sendiri, dan dalam arti yang sesungguhnya disebut pembesar umat yang mereka bimbing[96]. Maka kuasa mereka tidak dihapus oleh kuasa tertinggi dan universal, melainkan justru ditegaskan, diteguhkan dan dipertahankan[97]. Sebab Roh Kudus memelihara secara utuh bentuk pemerintahan yang ditetapkan oleh Kristus Tuhan dalam Gereja-Nya.

Uskup diutus oleh Bapa-keluarga untuk memimpin keluarga-Nya. Maka hendaknya ia mengingat teladan Gembala Baik, yang datang tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani (lih. Mat 20:28; Mrk 10:45), dan menyerahkan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya (lih. Yoh 10:11). Ia diambil dari manusia dan merasa lemah sendiri. Maka ia dapat memahami mereka yang tidak tahu dan sesat (lih. Ibr 5:1-2). Hendaklah ia selalu bersedia mendengarkan bawahannya, yang dikasihinya sebagai anak-anaknya sendiri dan diajaknya untuk dengan gembira bekerja sama dengannya. Ia kelak akan memberikan pertanggunjawaban atas jiwa-jiwa mereka dihadapan Allah (lih. Ibr 13:17). Maka hendaklah ia dalam doa, pewartaan dan segala macam amal cinta kasih memperhatikan mereka maupun orang-orang, yang telah dipercayakan kepadanya dalam Tuhan. Seperti Rasul Paulus ia berhutang kepada semua. Maka hendaklah ia bersedia mewartakan Injil kepada semua orang (lih. Rom 1:14-15), dan mendorong Umatnya yang beriman untuk ikut serta dalam kegiatan kerasulan dan misi. Adapun kaum beriman wajib patuh terhadap uskup, seperti Gereja terhadap Yesus Kristus, dan seperti Yesus Kristus terhadap Bapa. Demikianlah semua akan sehati karena bersatu[98], dan melimpah rasa syukurnya demi kemuliaan Allah (lih. 2Kor 4:15).

28. (Para imam biasa)

Kristus, yang dikuduskan oleh Bapa dan diutus ke dunia (lih. Yoh 10:36), melalui para Rasul-Nya mengikut-sertakan para pengganti mereka, yakni Uskup-Uskup, dalam kekudusan dan perutusan-Nya[99]. Para Uskup yang sah menyerahkan tugas pelayanan mereka kepada pelbagai orang dalam Gereja dalam tingkat yang berbeda-beda. Demikianlah pelayanan gerejani yang di tetapkan oleh Allah dijalankan dalam berbagai pangkat oleh mereka, yang sejak kuno di sebut Uskup, Iman dan Diakon[100]. Para imam tidak menerima puncak imamat, dan dalam melaksanakan kuasa mereka tergantung dari para Uskup. Namun mereka sama-sama imam seperti para Uskup[101], dan berdasarkan sakramen Tahbisan[102] mereka ditahbiskan menurut citra Kristus, Imam Agung yang abadi (lih. Ibr 5:1-10; 7:24; 9:11-28), untuk mewartakan Injil serta menggembalakan Umat beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi, sebagai imam sejati Perjanjian Baru[103]. Mereka ikut serta dalam tugas Kristus Pengantara tunggal (lih 1Tim 2:5) pada tingkat pelayanan mereka, dan mewartakan sabda ilahi pada semua orang. Tetapi tugas suci mereka terutama mereka laksanakan dalam ibadat Ekaristi atau synaxys. Di situ mereka bertindak atas nama Kristus[104], dan dengan memaklumkan misteri-Nya mereka menggabungkan doa-doa Umat beriman dengan korban Kepala mereka. Dalam korban Misa mereka menghadirkan serta menerapkan[105] satu-satunya korban Perjanjian Baru, yakni korban Kristus, yang satu kali mempersembahkan diri kepada Bapa sebagai korban tak bernoda (lih. Ibr 9:11-28), hingga kedatangan Tuhan (lih. 1Kor 11:26). Bagi kaum beriman yang bertobat atau sedang sakit mereka menjalankan pelayanan amat penting, yakni pelayanan pendamaian dan peringatan, serta mereka mengantarkan kebutuhan-kebutuhan dan doa kaum beriman kepada Allah Bapa (lih. Ibr 5:1-3). Dengan menunaikan tugas Kristus selaku Gembala dan Kepala menurut tingkat kewibawaan mereka[106], mereka menghimpun keluarga Allah sebagai rukun persaudaraan yang berjiwa kesatuan[107], dan dalam Roh menghantarkannya kepada Allah Bapa melalui Kristus. Ditengah kawanan mereka bersujud kepada-Nya dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:24). Akhirnya, mereka berjerih-payah dalam pewartaan sabda dan pengajaran (lih. 1Tim 5:17), sambil mengimani apa yang dalam renungan mereka baca dalam hukum Tuhan; sambil mengajarkan apa yang mereka imani, dan menghayati apa yang mereka ajarkan[108].

Sebagai pembantu yang arif badan para Uskup[109], sebagai penolong dan organ mereka, para imam dipanggil untuk melayani Umat Allah. Bersama uskup mereka imam-imam merupakan satu presbiterium (dewan imam)[110], NAMUN DIBEBANI PELBAGAI TUGAS. Dimasing-masing jemaat setempat, mereka dalam arti tertentu menghadirkan Uskup, yang mereka dukung dengan semangat percaya dan kebesaran hati. Sesuai dengan bagian mereka, mereka ikut mengemban tugas serta keprihatinan Uskup dan ikut menunaikannya dengan ketekunan setiap hari. Dibawah kewibawaan Uskup para imam menguduskan dan membimbing bagian kawanan Tuhan yang di serahkan kepada mereka. Mereka menampilkan Gereja semesta di tempat mereka, dan mereka memberi sumbangan sungguh berarti dalam membangun seluruh tubuh Kristus (lih. Ef 4:12). Sambil selalu memperhatikan kesejahteraan anak-anak Allah, mereka hendaknya mendukung karya pastoral seluruh keuskupan, bahkan seluruh Gereja. Karena keterlibatan mereka dalam imamat dan perutusan itu hendaklah para imam memandang Uskup sebagai bapa mereka, dan mematuhinya penuh hormat. Sedangkan Uskup hendaknya memandang para imam, rekan-rekan sekerjanya, sebagai putera dan sahabat, seperti Kristus sudah tidak menyebut para murid-Nya hamba lagi, melainkan sahabat (lih. Yoh 15:15). Jadi berdasarkan Tahbisan dan pelayanan, semua imam, baik diosesan maupun religius, digabungkan dengan badan para Uskup, dan sesuai dengan panggilan serta rahmat yang mereka terima mengabdi kepada kesejahteraan segenap Gereja.

Oleh karena tahbisan suci dan perutusan bersama, semua imam saling berhubungan dalam persaudaraan yang akrab. Persaudaraan itu dengan iklas dan rela hati akan tampil dalam saling memberi bantuan, baik rohani maupun jasmani, di bidang pastoral maupun pribadi, dalam pertemuan-pertemuan maupun dalam persekutuan hidup, karya dan cinta kasih.

Hendaklah mereka sebagai bapa dalam Kristus memelihara kaum beriman, yang mereka lahirkan secara rohani dengan Babtis dan pengajaran (lih. 1Kor 4:15; 1Ptr 1:23). Hendaklah mereka penuh semangat menjadi teladan bagi kawanan mereka (lih. 1Ptr 5:3), dan mengetuai serta melayani jemaat setempat mereka sedemikian rupa, sehingga jemaat itu layak dapat di sebut dengan nama, yang menjadi lambang kehormatan bagi satu Umat Allah seluruhnya, yakni Gereja Allah (lih. 1Kor 1:2; 2Kor 1:1; dan di tempat-tempat lain). Hendaklah mereka menyadari, bahwa dengan perilaku serta kesibukan-kesibukan mereka sehari-hari mereka harus memperlihatkan citra pelayanan imam dan pastoral yang sejati, kepada kaum beriman maupun tak beriman, kepada Umat katolik maupun bukan katolik, dan wjib memberikan kesaksian kebenaran dan hidup kepada semua orang. Hendaklah mereka sebagai gembala baik juga mencari mereka (lih. Luk 15:4-7), yang memang di babtis dalam Gereja katolik, tetapi tidak lagi menerima sakramen-sakramen, bahkan telah meninggalkan iman.

Karena sekarang ini umat manusia semakin merupakan kesatuan dibidang kenegaraan, ekonomi dan sosial, maka semakin perlu pulalah para imam bersatu padu dalam segala usaha dan karya dibawah bimbingan para Uskup dan Imam Agung Tertinggi. Hendaklah mereka menyingkirkan apa saja yang menimbulkan perpecahan, supaya segenap umat manusia dibawa ke dalam kesatuan keluarga Allah.

29. (Para diakon)

Pada tingkat hirarki yang lebih rendah terdapat para Diakon, yang ditumpangi tangan “bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan”[111]. Sebab dengan diteguhkan rahmat sakramental mereka mengabdikan diri kepada Umat Allah dalam perayaan liturgi, sabda dan amal kasih, dalam persekutuan dengan Uskup dan para imamnya. Adapun tugas diakon, sejauh dipercayakan kepadanya oleh kewibawaan yang berwenang, yakni: menerimakan Babtis secara meriah, menyimpan dan membagikan Ekaristi, atas nama Gereja menjadi saksi perkawinan dan memberkatinya, mengantarkan Komuni suci terakhir kepada orang yang mendekati ajalnya, membacakan Kitab suci kepada kaum beriman, mengajar dan menasehati Umat, memimpin ibadat dan doa kaum beriman, menerimakan sakramen-sakramentali, memimpin upacara jenazah dan pemakaman. Sambil membaktikan diri kepada tugas-tugas cinta kasih dan administrasi, hendaklah para diakon mengingat nasehat Santo Polikarpus: “Hendaknya mereka selalu bertindak penuh belaskasihan dan rajin, sesuai dengan kebenaran Tuhan, yang telah menjadi hamba semua orang”[112].

Namun karena tugas-tugas yang bagi kehidupan Gereja sangat penting itu menurut tata-tertib yang sekarang berlaku di Gereja latin di pelbagai daerah sulit dapat dijalankan, maka dimasa mendatang Diakonat dapat diadakan lagi sebagai tingkat hirarki tersendiri dan tetap. Adalah tugas berbagai macam konferensi Uskup setempat yang berwewenang, untuk menetapkan dengan persetujuan Imam Agung Tertinggi sendiri, apakah dan dimanakah sebaiknya diangkat diakon-diakon seperti itu demi pemeliharaan jiwa.jiwa. Dengan ijin Imam Agung di Roma diakonat itu dapat diterimakan kepada pria yang sudah lebih masak usianya, juga yang berkeluarga; pun juga kepada pemuda yang cakap tetapi bagi mereka ini hukum selibat harus dipertahankan.

BAB EMPAT – PARA AWAM

30.(Prakata)

Seusai menguraikan tugas hirarki, Konsili suci dengan rela mengarahkan perhatiannyakepada status kaum beriman kristiani yang disebut awam. Segala sesuatu, yang telah dikatakan tentang Umat Allah, sama-sama dimaksudkan bagi kaum awam, pria maupun wanita, mengingat kedudukan dan perutusan mereka. Karena situasi khas seperti zaman kita sekarang hal-hal itu perlu diselidiki azas-azasnya secara lebih mendalam. Sebab para Gembala Gereja betul-betul memahami, betapa besar sumbangan kaum awam bagi kesejahteraan seluruh Gereja. Para Gembala mengetahui bahwa mereka diangkat oleh Kristus bukan untuk mengemban sendiri seluruh misi penyelamatan Gereja di dunia. Melainkan tugas mereka yang mulia yakni: menggembalakan Umat beriman dan mengakui pelayanan-pelayanan serta kurnia-kurnia (karisma) mereka sedemikian rupa sehingga semua saja dengan cara mereka sendiri sehati-sejiwa bekerja sama untuk mendukung karya bersama. Sebab mereka semua wajib “menjalankan kebenaran dalam cinta kasih, dan dalam segalanya bertumbuh dalam Kristus, yakni Kepala kita: dari pada-Nya bertumbuhlah seluruh tubuh, guna membangun diri dalam cinta kasih, dipersatukan dan di hubungkan dengan segala macam sendi-sendi, yang harus melayani keseluruhannya sekedar pekerjaan yang sesuai dengan tenaga masing-masing anggota” (Ef 4:15-16).

31.(Apa yang dimaksud dengan istilah “awam”)

Yang dimaksud dengan istilah awam disini ialah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja. Jadi kaum beriman kristiani, yang berkat Babtis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat kristiani dalam Gereja dan di dunia.

Ciri khas dan istimewa kaum awam yakni sifat keduniaannya. Sebab mereka yang termasuk golongan imam, meskipun kadang-kadang memang dapat berkecimpung dalam urusan-urusan keduniaan, juga dengan mengamalkan profesi keduniaan, berdasarkan panggilan khusus dan tugas mereka terutama diperuntukkan bagi pelayanan suci. Sedangkan para religius dengan status hidup mereka memberi kesaksian yang cemerlang dan luhur, bahwa dunia tidak dapat diubah dan dipersembahkan kepada Allah, tanpa semangat Sabda Bahagia. Berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari kerajaan Allah, dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada ditengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial. Hidup mereka kurang lebih terjalin dengan itu semua. Di situlah mereka dipanggil oleh Allah, untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia bagaikan dari dalam. Begitulah mereka memancarkan iman, harapan dan cinta kasih terutama dengan kesaksian hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada sesama. Jadi tugas mereka yang istimewa yakni: menyinari dan mengatur semua hal-hal fana, yang erat-erat melibatkan mereka, sedemikian rupa, sehingga itu semua selalu terlaksana dan berkembang menurut kehendak Kristus, demi kemuliaan Sang Pencipta dan Penebus.

32.(Martabat kaum awam sebagai anggota Umat Allah)

Atas penetapan ilahi Gereja kudus diatur dan dipimpin dengan keanekaragaman yang mengagumkan. “Sebab seperti kita dalam satu tubuh mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama: begitu pula kita yang banyak ini merupakan satu tubuh dalam Kristus, sedangkan kita masing-masing merupakan anggota yang seorang terhadap yang lain” (Rom 12:4-5).

Jadi satulah Umat Allah yang terpilih: satu Tuhan, “satu iman, satu Baptis” (Ef 4:5). Samalah martabat para anggota karena kelahiran mereka kembali dalam Kristus; sama rahmat para putera; sama pula panggilan kepada kesempurnaan; satu keselamatan, satu harapan dan tak terbagilah cinta kasih. Jadi dalam kristus dan dalam Gereja tidak ada perbedaan karena suku atau bangsa, karena kondisi sosial atau jenis kelamin. Sebab “tidak ada Yahudi atau Yunani: tidak ada budak atau orang merdeka: tidak ada pria atau wanita. Sebab kamu semua itu ‘satu’ dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28 yun; lih. Kol 3:11).

Maka kendati dalam Gereja tidak semua menempuh jalan yang semua jalan yang sama, namun semua dipanggil dalam kesucian, dan menerima iman yang sama dalam kebenaran Allah (lih 2Ptr 1:1). Meskipuan ada yang atas kehendak Kristus diangkat menjadi guru, pembagi misteri-misteri dan gembala bagi sesam, namun semua toh sungguh-sungguh sederajat martabatnya, sederajat pula kegiatan yang umum bagi semua orang beriman dalam membangun Tubuh Kristus. Sebab pembedaan yang diadakan Tuhan antara lain para pelayan yang ditahbiskan dan para anggota Umat Allah yang lain, membawa serta suatu hubungan, sebab para gembala dan orang-orang beriman lainnya saling terikat karena kebutuhan mereka bersama. Dengan menganut teladan Tuhan, para Gembala Gereja saling mengabdi dan melayani Umat beriman lainnya. Sedangkan kaum beriman dengan suka hati bekerja sama dengan para Gembala dan guru mereka. Begitulah dengan aneka cara semua memberi kesaksian tentang kesatuan yang mengagumkan dalam Tubuh Kristus: sebab keanekaan rahmat, pelayanan dan kegiatan manghimpun para anak Allah menjadi satu, sebab “semua itu dikerjakan oleh Roh yang satu dan sama” (1Kor 12:11).

Berkat kerahiman Allah para awam bersaudarakan Kristus, yang sungguhpun Ia Tuhan segala sesuatu – telah datang tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani (lih Mat 20:28). Begitu pula kaum awam bersaudarakan mereka, yang diangkat kedalam pelayanan suci, dan dengan mengajar, menguduskan serta membimbing dengan kewibawaan Kristus menggembalakan keluarga Allah sedemikian rupa, sehingga perintah baru tentang cinta kasih dilaksanakan oleh semua. Perihal itu bagus sekali dikatakan oleh S. Agustinus : “Bila saya merasa takut karena saya ini untuk kamu, saya merasa terhibur karena saya bersama kamu. Sebab bagi kamu saya ini uskup, bersama kamu saya orang krisstiani. Uskup itu nama jabatan, kristiani nama rahmat; yang pertama merupakan resiko, yang lain keselamatan”[113].

33. (Hidup kaum awam berhubung dengan keselamatan dan kerasulan)

Semua para awam, yang terhimpun dalam Umat Allah dan berada dalam satu Tubuh Kristus di bawah satu kepala, tanpa kecuali dipanggil untuk sebagai anggota yang hidup menyumbangkan segenap tenaga, yang mereka terima berkat kebaikan Sang Pencipta dan rahmat Sang Penebus demi perkembangan Gereja serta pengudusannya terus menerus.

Adapun kerasulan kaum awam itu keikut-sertaan dalam perutusan keselamatan Gereja sendiri. Dengan Baptis dan Penguatan semua ditugaskan oleh Tuhan sendiri untuk kerasulan itu. Dengan sakramen-sakramen, terutama Ekaristi suci, diberikan dan dipelihara cinta kasih terhadap Allah dan manusia, yang menjiwai seluruh kerasulan. Tetapi kaum awam khususnya dipanggil untuk menghadirkan dan mengaktifkan Gereja di daerah-daerah dan keadaan-keadaan, tempat Gereja tidak dapat menggarami dunia selain berkat jasa mereka[114]. Demikianlah setiap orang awam, karena kurnia-kurnia yang diterimanya, menjadi saksi dan sarana hidup perutusan Gereja sendiri “menurut ukuran anugerah Kristus” (Ef 4:7).

Selain kerasulan yang merupakan kewajiban semua orang beriman kristiani tanpa kecuali itu, kaum awam juga dapat dipanggil dengan aneka cara untuk bekerja sama secara lebih langsung dengan kerasulan Hirarki[115], menyerupai pria-pria dan wanita-wanita, yang membantu Rasul Paulus dalam pewartaan Injil dengan banyak berjerih-payah dalam Tuhan (lih. Flp 4:3; Rom 16:3 dsl.). Di samping itu mereka cakap juga untuk diangkat oleh Hirarki, guna menunaikan berbagai tugas gerejani demi tujuan rohani.

Jadi semua orang awam mengemban kewajiban mulia untuk berusaha, supaya rencana keselamatan ilahi semakin mencapai semua orang di segala zaman dan dimana-mana. Oleh karena itu hendaklah dengan cara manapun juga terbuka jalan bagi mereka, supaya mereka sendiri sekadar kemampuan mereka dan sesuai dengan kebutuhan zaman – dengan giat ikut serta melaksanakan karya keselamatan Gereja.

34.(Keikut-sertaan kaum awam dalam imamat umum dan ibadat)

Imam Tertinggi dan Abadi Kristus Yesus bermaksud melangsungkan kesaksian dan palayanan-Nya melalui kaum awam juga. Maka oleh Roh-Nya Ia tiada hentinya menghidupkan dan mendorong mereka untuk menjalankan segala karya yang baik dan sempurna.

Sebab mereka, yang erat-erat disatukan-Nya dengan hidup dan perutusan-Nya, juga diikutsertakan-Nya dalam tugas imamat-Nya untuk melaksanakan ibadat rohani, supaya Allah dimuliakan dan umat manusia diselamatkan. Oleh karena itu para awam, sebagai orang yang menyerahkan diri kepada Kristus dan diurapi dengan Roh Kudus, secara ajaib dipanggil dan disiapkan, supaya secara makin melimpah menghasilkan buah-buah Roh dalam diri mereka. Sebab semua karya, doa-doa dan usaha kerasulan mereka, hidup mereka selaku suami-isteri dan dalam keluarga, jerih-payah mereka sehari-hari, istirahat bagi jiwa dan badan mereka, bila dijalankan dalam Roh, bahkan beban-beban hidup bila ditanggung dengan sabar, menjadi korban rohani, yang dengan perantaraan Yesus Kristus berkenan kepada Allah (lih. 1Ptr 2:5). Korban itu dalam perayaan Ekaristi, bersama dengan persembahan Tubuh Tuhan, penuh khidmat dipersembahkan kepada Bapa. Demikianlah para awam pun juga sebagai penyembah Allah, yang dimana-mana hidup dengan suci, membaktikan dunia kepada Allah.

35. (Keikut-sertaan kaum awam dalam tugas kenabian Kristus)

Kristus Nabi Agung telah memaklumkan Kerajaan Bapa dengan kesaksian hidup maupun kekuatan sabda-Nya. Ia menunaikan tugas kenabian-Nya hingga penampakan kemuliaan sepenuhnya bukan saja melalui Hirarki yang mengajar atas nama dan dengan kewibawaan-Nya, melainkan juga melalui para awam. Karena itulah awam diangkat-Nya menjadi saksi dan dibekali-Nya dengan perasaan iman dan rahmat sabda (lih. Kis 2:17-18; Why 19:10), supaya kekuatan Injil bersinar dalam hidup sehari-hari, dalam keluarga maupun masyarakat. Mereka membawakan diri sebagai pengemban janji-janji, bila dengan keteguhan iman dan harapan menggunakan waktu sekarang dengan tepat (lih. Ef 5:16; Kol 4:5), dan mendambakan dengan dengan sabar kemuliaan yang akan datang (lih. Rom 8:25). Namun harapan itu janganlah mereka sembunyikan di lubuk hati. Hendaklah itu mereka ungkapkan dengan pertobatan tiada hentinya dan dengan perjuangan “melawan para penguasa dunia kegelapan, menentang roh-roh jahat” (Ef 6:12), juga melalui struktur-struktur hidup duniawi.

Sakramen-sakramen Hukum Baru, yang memelihara hidup dan kerasulan kaum beriman, melambangkan sorga baru dan dunia baru (lih. Why 21:1). Begitu pula para awam menjadi bentara yang tangguh, pewarta iman akan hal-hal yang diharapkan (lih. Ibr 11:1), bila mereka tanpa ragu-ragu memadukan pengakuan iman dengan penghayatan iman. Penyiaran Injil itu, yakni pewartaan Kristus, yang disampaikan dengan kesaksian hidup dan kata-kata, memperoleh ciri yang khas dan daya-guna yang istimewa justru karena dijalankan dalam keadaan-keadaan biasa dunia ini.

Dalam tugas itu nampak sangat berharga status kehidupan yang dikuduskan dengan sakramen khusus, yakni hidup perkawinan dan berkeluarga. Di sini terdapat latihan dan pendidikan yang sangat baik bagi kerasulan awam, bila agama kristiani merasuki dan makin mengubah seluruh tata-susunan kehidupan. Di situ suami-isteri mempunyai panggilan mereka sendiri, yakni: memberi kesaksian iman dan cinta akan Kristus seorang terhadap yang lain, dan kepada anak-anak mereka. Keluarga kristiani dengan lantang mewartakan baik kekuatan Kerajaan Allah sekarang maupun harapan akan hidup bahagia. Demikianlah keluarga dengan teladan maupun kesaksiannya menunjukkan dosa dunia, dan menerangi mereka yang mencari kebenaran.

Maka dari itu para awam, juga kalau mereka sibuk dengan urusan keduniaan, dapat dan harus menjalankan kegiatan yang berharga untuk mewartakan Injil kepada dunia. Memang, karena tidak ada imam-imam atau mereka dihalang-halangi dalam penganiayaan, beberapa awam sekedar kemampuan mereka mengambil alih beberapa tugas suci. Banyaklah sudah yang membaktikan segenap tenaga mereka dalam karya kerasulan. Akan tetapi semua wajib bekerja sama demi penyebarluasan dan perkembangan Kerajaan Kristus di dunia. Oleh karena itu hendaklah para awam dengan tekun berusaha makin mendalami arti kebenaran yang diwahyukan, dan sepenuh hati memohon kurnia kebijaksanaan dari Allah.

36. (Keikut-sertaan kaum awam dalam pengabdian rajawi Kristus)

Kristus, yang taat sampai mati dan karena itu dimuliakan oleh Bapa (lih. Flp 2:8-9), telah memasuki kemuliaan kerajaan-Nya. Segala-sesuatu ditaklukkan kepada-Nya, sampai Ia menaklukkan diri dan segenap alam tercipta kepada Bapa, supaya Allah menjadi semua dalam segalanya (lih. 1Kor 15:27-28). Kuasa itu disalurkan-Nya kepada para murid, supaya merekapun diangkat ke dalam kebebasan rajawi, dan dengan mengingkari diri serta hidup suci mengalahkan kerajaan dosa dalam diri mereka sendiri (lih. Rom 6:12); bahkan supaya mereka melayani Kristus juga dalam sesama, dan dengan demikian dengan rendah hati dan kesabaran mengantarkan saudara-saudaranya kepada Sang Raja: mengabdi kepada-Nya berarti memerintah. Sebab Tuhan ingin memperluas kerajaan-Nya juga melalui kaum beriman awam, yakni kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kesucian dan rahmat, kerajaan keadilan, cinta kasih dan damai[116]. Dalam kerajaan itu makhluk akan dibebaskan dari perbudakan kebinasaan, dan memasuki kebebasan kemuliaan anak-anak Allah (lih. Rom 8:21). Sungguh agunglah janji, agung pula perintah yang di berikan kepada para murid : “Sebab segala-sesuatu itu milikmu, tetapi kamu milik Kristus, dan Kristus milik Allah” (1Kor 3:23).

Jadi kaum beriman wajib mengakui makna sedalam-dalamnya, nilai serta tujuan segenap alam tercipta, yakni: demi kemuliaan Allah. Lagi pula mereka wajib saling membantu juga melalui kegiatan duniawi untuk hidup dengan lebih suci, supaya dunia diresapi semangat Kristus, dan dengan lebih tepat mencapai tujuannya dalam keadilan, cinta kasih dan damai. Dalam menunaikan tugas umum itu para awam memainkan peran utama. Maka dengan kompetisinya di bidang profan serta dengan kegiatannya, yang dari dalam diangkat oleh rahmat Kristus, hendaklah mereka memberi sumbangan yang andal, supaya hal-hal tercipta dikelola dengan kerja manusia, keahlian teknis, serta kebudayaan yang bermutu, menurut penetapan Sang Pencipta dan dalam cahaya Sabda-Nya, sehingga bermanfaat bagi semua orang tanpa kecuali, dan dengan caranya sendiri mengantar kepada kemajuan umum dalam kebebasan manusiawi dan kristiani. Demikianlah Kristus melalui para anggota Gereja akan semakin menyinari segenap masyarakat manusia dengan cahaya-Nya yang menyelamatkan.

Selain itu hendaklah kaum awam dengan kerja sama yang serta menyehatkan lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi masyarakat, bila ada yang merangsang untuk berdosa. Maksudnya yakni supaya itu semua disesuaikan dengan norma-norma keadilan, dan menunjang pengamalan keutamaan-keutamaan, bukan malahan merintanginya. Dengan demikian mereka meresapi kebudayaan dan kegiatan manusia dengan nilai moral. Begitu pula ladang dunia disiapkan lebih baik untuk menampung benih sabda ilahi; pun pintu gerbang Gereja terbuka lebih lebar, supaya pewartaan perdamaian dapat memasuki dunia.

Demi terlaksananya tata-keselamatan hendaklah kaum beriman belajar membedakan dengan cermat antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka selaku anggota Gereja, dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat manusia. Hendaklah mereka berusaha memperpadukan keduanya secara selaras, dengan mengingat bahwa dalam perkara duniawi manapun mereka wajib menganut suara hati kristiani. Sebab tindakan manusia satu pun, juga dalam urusan-urusan duniawi, yang dapat dilepaskan dari kedaulatan Allah. Tetapi pada zaman kita sekarang sangat perlu bahwa dalam cara bertindak kaum beriman pembedaan dan sekaligus keselarasanitu menjadi sejelas mungkin, supaya perutusan Gereja dapat lebih penuh menanggapi situasi-situasi khas dunia masa kini. Sebab memang harus diakui bahwa masyarakat duniawi, yang dengan tepat menyelenggarakan urusan-urusan duniawi, mempunyai azas-azasnya sendiri. Begitu pula sudah sepantasnya ditolak ajaran sesat, yang memperjuangkan pembangunan masyarakat tanpa mengindahkan agama sedikitpun, dan bermaksud memerangi serta menghapus kebebasan beragama para warga negara.[117]

37.(Hubungan kaum awam dengan Hirarki)

Dari harta-kekayaan rohani Gereja kaum awam, seperti semua orang beriman kristiani, berhak menerima secara melimpah melalui pelayanan para Gembala hirarkis, terutama bantuan sabda Allah dan sakramen-sakramen[118]. Hendaklah para awam mengemukakan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka kepada para imam, dengan kebebasan dan kepercayaan, seperti layaknya bagi anak-anak Allah dan saudara-saudara dalam Kristus. Sekadar ilmu-pengetahuan, kompetensi dan kecakapan mereka para awam mempunyai kesempatan, bahkan kadang-kadang juga kewajiban, untuk menyatakan pandangan mereka tentang hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja[119]. Bila itu terjadi, hendaklah itu dijalankan melalui lembaga-lembaga yang didirikan gereja untuk itu, dan selalu dengan jujur, tegas dan bijaksana, dengan hormat dan cinta kasih terhadap mereka, yang karena tugas suci bertindak atas nama Kristus.

Hendaklah para awam, seperti semua orang beriman kristiani, mengikuti teladan Kristus, yang dengan ketaatan-Nya sampai mati, membuka jalan yang membahagiakan bagi semua orang, jalan kebebasan anak-anak Allah. Hendaklah mereka dengan ketaatan kristiani bersedia menerima apa yang ditetapkan oleh para Gembala hirarkis sejauh menghadirkan Kristus, sebagai guru dan pemimpin dalam Gereja. Dan janganlah mereka lupa mendoakan di hadirat Allah para Pemimpin mereka, – sebab para Pemimpin itu berjaga karena akan memberi pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa kita, – supaya itu mereka jalankan dengan gembira tanpa keluh-kesah (lih. Ibr 13:1).

Sebaliknya hendaklah para Gembala hirarkis mengakui dan memajukan martabat serta tanggung jawab kaum awam dalam gereja. Dan hendaklah mereka diberi kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak; bahkan mereka pantas diberi hati, supaya secara spontan memulai kegiatan-kegiatan juga. Hendaklah para Gembala dengan kasih kebapaan, penuh perhatian dalam Kristus, mempertimbangkan prakarsa-prakarsa , usul-usul serta keinginan-keinginan yang diajukan oleh kaum awam[120]. Hendaklah para Gembala dengan saksama mengakui kebebasan sewajarnya, yang ada pada semua warga masyarakat duniawi.

Dari pergaulan persaudaraan antara kaum awam dan para Gembala itu boleh diharapkan banyak manfaat bagi Gereja. Sebab dengan demikian dalam para awam diteguhkan kesadaran bertanggungjawab dan ditingkatkan semangat. Lagi pula tenaga kaum awam lebih mudah digabungkan dengan karya para Gembala. Sebaliknya, dibantu oleh pengalaman para awam, para Gembala dapat mengadakan penegasan yang lebih jelas dan tepat dalam perkara-perkara rohani maupun jasmani. Dengan demikian seluruh Gereja, dikukuhkan oleh semua anggotanya akan menunaikan secara lebih tepat guna perutusannya demi kehidupan dunia.

38.(Penutup)

Setiap orang awam wajib menjadi saksi kebangkitan dan kehidupan Tuhan Yesus serta menjadi tanda Allah yang hidup dihadapan dunia. Semua serentak dan masing-masing untuk bagiannya sendiri wajib memperkaya dunia dengan buah-buah rohani (lih. Gal 5:22), dan menyebarkan di dalamnya semangat, yang menjiwai mereka yang miskin, lemah lembut dan cinta damai, yang dalam Injil dinyatakan bahagia oleh Tuhan (lih. Mat 5:3-9). Pendek kata: “Seperti jiwa dalam tubuh, begitulah umat kristiani dalam dunia”[121].

BAB LIMA – PANGGILAN UMUM UNTUK KEKUDUSAN DALAM GEREJA

39.(prakata)

Kita mengimani bahwa Gereja, yang misterinya diuraikan oleh Konsili suci, tidak dapat kehilangan kesuciannya. Sebab Kristus, Putera Allah, yang bersama Bapa dan Roh Kudus dipuji bahwa “hanya Dialah Kudus”[122], mengasihi Gereja sebagai mempelai-Nya, dengan menyerahkan diri baginya untuk menguduskannya (lih. Ef 5:25-26). Ia menyatukannya dengan diri-Nya sebagai tubuh-Nya sendiri dan menyempurnakannya dengan kurnia Roh Kudus, demi kemuliaan Allah. Maka dalam Gereja semua anggota, entah termasuk Hirarki entah digembalakan olehnya, dipanggil untuk kekudusan, yang menurut amanat Rasul: “Sebab inilah kehendak Allah: pengudusanmu” (1Tes 4:3; lih. Ef 1:4). Adapun kekudusan Gereja itu tiada hentinya dinyatakan dan harus dinyatakan di dalam buah-buah rahmat, yang dihasilkan oleh Roh Kudus dalam kaum beriman. Kekudusan itu dengan aneka cara terungkapkan pada masing-masing orang, yang dalam jalan hidupnya menuju kesempurnaan cinta kasih, sehingga memberi teladan baik kepada sesama. Secara khas pula kekudusan ini nampak dalam pelaksanaan nasehat-nasehat, yang lazim disebut “nasehat Injil”. Pelaksanaan nasehat-nasehat itu di bawah dorongan Roh Kudus yang ditempuh oleh banyak orang Kristiani, entah secara perorangan, entah dalam corak atau status hidup yang disahkan oleh Gereja,  memberikan dan harus memberikan di dunia ini kesaksian dan teladan yang ulung tentang kekudusan itu.

40.(Panggilan umum kepada kekudusan)

Tuhan Yesus,  Guru dan Teladan ilahi segala kesempurnaan, mengajarkan kekudusan hidup kepada setiap murid-Nya di dalam setiap keadaan. Ia sendiri adalah pencipta dan pelaksana kekudusan ini dalam hidup: “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di sorga sempurna adanya” (Mat 5:48)[123]. Memang, kepada semua orang  diutus-Nya Roh Kudus, untuk menggerakkan mereka dari dalam, supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap kekuatan mereka (lih. Mrk 12:30), dan agar mereka saling mencintai seperti Kristus telah mencintai mereka (lih. Yoh 13:34; 15:12). Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam Tuhan Yesus, dan dalam Pembaptisan iman sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi. Dengan cara ini, mereka sungguh dijadikan kudus. Maka juga dengan karunia Allah, mereka wajib mempertahankan dan melengkapi dalam hidup mereka, kekudusan yang telah mereka terima. Oleh rasul [Rasul Paulus] mereka dinasehati, supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilkan buah-buah Roh dalam kekudusan (lih. Gal 5:22; Rom 6:22). Akan tetapi karena dalam banyak hal kita semua bersalah (lih. Yak 3:2), kita terus-menerus membutuhkan belas kasihan Allah dan wajib berdoa setiap hari: “Dan ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12)[124].

Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih[125]; dengan kekudusan sedemikian, cara hidup yang lebih manusiawi dapat dikembangkan di dalam masyarakat di dunia ini. Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus. Mereka harus mengikuti jejak-Nya dan menyesuaikan diri mereka dengan citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segala sesuatu. Mereka harus dengan segenap jiwa membaktikan diri bagi kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama. Dengan demikian, kekudusan Umat Allah akan bertumbuh dan menghasilkan buah berlimpah, seperti dalam sejarah Gereja telah diperlihatkan secara mengagumkan oleh kehidupan sekian banyak orang kudus.

41.(Bentuk pelaksanaan kekudusan)

Ada banyak jenjang dan tugas-tugas kehidupan namun kekudusan adalah satu dan sama, yaitu kekudusan yang ditumbuhkan oleh semua orang, yang digerakkan oleh Roh Allah, dan yang  mematuhi suara Bapa serta menyembah Allah Bapa dalam roh dan kebenaran. Mereka mengikuti Kristus yang miskin, rendah hati dan memanggul salib-Nya, agar mereka pantas ikut menikmati kemuliaan-Nya. Adapun setiap orang, menurut kurnia dan tugasnya sendiri, wajib melangkah tanpa ragu-ragu menempuh jalan iman yang hidup, yang membangkitkan harapan dan perbuatan-perbuatan  melalui cinta kasih.

Terutama, para Gembala kawanan Kristuslah yang wajib menjalankan pelayanan mereka dengan kudus dan gembira, dengan rendah hati dan berani, menurut citra Imam Agung dan Abadi, Gembala dan Pengawas jiwa kita. Dengan demikian pelayanan yang mereka lakukan juga bagi mereka sendiri akan menjadi upaya pengudusan yang ulung. Mereka yang dipilih untuk mengemban kepenuhan imamat dikurniai kemampuan untuk melaksanakan tugas yang sempurna tentang kasih penggembalaan melalui rahmat sakramen Tahbisan Suci. Tugas sempurna kasih penggembalaan ini dilakukan di dalam setiap bentuk perhatian/pengabdian Uskup dan pelayanan, doa, pengorbanan, dan khotbah [126]. Oleh rahmat sakramental yang sama, mereka dikaruniai keberanian supaya jangan takut menyerahkan jiwa demi domba-domba, dan kemampuan untuk memajukan kekudusan yang lebih tinggi di dalam Gereja dengan contoh hidup mereka sehari-hari, dengan menjadi teladan bagi kawanan mereka (lih. 1Ptr 5:3).

Para imam, yang serupa dengan para Uskup dalam derajat tertentu di dalam partisipasi mereka dalam sakramen Tahbisan Suci, menjadi mahkota rohani bagi para Uskup [127],. Mereka ikut-serta mengemban rahmat tugas para Uskup, dan mereka hendaknya bertumbuh dari hari ke hari dalam kasih mereka kepada Allah dan sesama mereka dengan melaksanakan tugas mereka melalui Kristus, satu-satunya Pengantara yang kekal. Hendaklah mereka memelihara ikatan persekutuan para imam, melimpah dalam segala kebaikan rohani, dan dengan demikian memberi kesaksian hidup tentang Allah kepada semua orang[128]. Semua ini harus mereka lakukan untuk memajukan para imam itu, yang dalam perjalanan waktu meninggalkan contoh kekudusan yang gemilang, dengan pengabdian mereka yang sering amat sederhana dan tersembunyi. Pujian terhadap mereka menggema dalam Gereja Allah. Melalui tugas jabatan mereka untuk berdoa dan mempersembahkan korban bagi jemaat mereka dan segenap Umat Allah, mereka harus meningkat kepada taraf kekudusan yang lebih tinggi. Dengan menyadari apa yang mereka lakukan dan berusaha menghayati apa yang mereka lakukan [129] para imam ini, dalam karya-karya apostolik hendaknya tidak terperangkap oleh bahaya-bahaya dan kesukaran-kesukaran, melainkan hendaklah justru karena itu mereka mencapai taraf kekudusan yang lebih tinggi. Mereka harus memupuk dan menguatkan kegiatan- kegiatan mereka dengan kelimpahan hasil kontemplasi, dan melakukan semua ini demi kebaikan seluruh Gereja Allah. Hendaklah semua imam, dan terutama mereka yang karena alasan khas tahbisan mereka disebut imam diosesan (projo), mengingat betapa besar nilainya bagi pertumbuhan kekudusan mereka, kesetiaan dan kerjasama yang ikhlas dan murah hati dengan Uskup mereka.

Ikut serta pula dalam perutusan dan rahmat imam tertinggi adalah para pelayan di tingkat yang lebih rendah, terutama para Diakon, yang seperti para pelayan itu, yang adalah pelayan misteri-misteri Kristus dan Gereja[130], wajib mempertahankan kemurniannya dari segala perilaku buruk dan berdiri di hadapan orang banyak sebagai personifikasi kebaikan dan sahabat Allah (lih. 1Tim 3:8-10 dan 12-13). Para rohaniwan, yang dipanggil oleh Tuhan dan dikhususkan bagi-Nya, agar menyiapkan diri untuk tugas-tugas pelayanan di bawah pengawasan para gembala rohani, wajib menyesuaikan budi dan hati mereka dengan pilihan yang istimewa ini. Mereka akan mencapai ini dengan bertekun dalam doa, dengan cinta kasih yang berkobar, dengan mencita-citakan apa saja yang benar, adil dan pantas dipuji. Mereka akan mencapai semua ini demi kemuliaan dan keluhuran Allah. Menyusul mereka, terdapat pula para awam yang terpilih oleh Allah, dan dipilih oleh Uskup. Para awam ini membaktikan diri sepenuhnya kepada karya kerasulan – untuk bekerja di ladang Tuhan dengan menghasilkan banyak buah[131].

Selanjutnya, para suami-isteri dan orangtua kristiani wajib mengikuti jalan hidup mereka dengan cinta kasih yang setia. Mereka harus saling mendukung dalam rahmat, sepanjang hidup mereka. Mereka harus meresapkan ajaran kristiani maupun keutamaan-keutamaan Injil di dalam hati keturunan (anak-anak) mereka, yang mereka sambut dengan kasih sebagai karunia Tuhan. Sebab dengan cara ini mereka memberi teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua orang, dan dengan demikian mereka membangun persaudaraan kasih, dan dengan melakukannya, mereka menjadi saksi serta pendukung kesuburan Bunda Gereja yang kudus; dengan kehidupan yang sedemikian, mereka adalah tanda dan sekaligus pengambil bagian di dalam cinta kasih yang sama, yang dengannya Kristus mengasihi mempelai-Nya, yang kepadanya Ia [Kristus] menyerahkan diri-Nya [132]. Teladan serupa disajikan dengan cara lain oleh para janda dan mereka yang tidak menikah, yang juga dapat menyumbang banyak sekali bagi kesucian dan karya apostolik dalam Gereja. Akhirnya, mereka yang bekerja – dan tak jarang menanggung beban kerja yang berat- hendaknya menjadikan diri mereka sendiri lebih baik melalui pekerjaan mereka. Mereka harus membantu sesama warga, mengangkat segenap masyarakat dan bahkan alam ciptaan kepada keadaan yang lebih baik. Sungguh, hendaklah mereka dengan cinta kasih yang aktif, dalam pengharapan yang penuh suka cita dan dengan saling menanggung beban dengan sukarela, meneladan Kristus, yang dulu bekerja dengan tangan-Nya dengan alat tukang kayu, dan yang dalam kesatuan dengan Bapa-Nya, terus bekerja demi keselamatan semua orang. Maka, di dalam pekerjaan mereka sehari-hari ini, hendaknya mereka [para pekerja] mendaki untuk mencapai tingkat kekudusan dan kegiatan apostolik yang lebih tinggi.

Semoga mereka semua yang ditimpa oleh kemiskinan, kelemahan, penyakit dan pelbagai kesukaran, atau yang menanggung penganiayaan demi kebenaran – semoga mereka semua mengetahui bahwa mereka dipersatukan dengan Kristus yang menderita dalam cara yang istimewa demi keselamatan dunia. Tuhan menyebut mereka berbahagia di dalam Injil-Nya, dan mereka adalah orang-orang yang kepadanya “Allah, sumber segala rahmat, yang dalam Kristus Yesus telah memanggil kita ke dalam kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan dan mengokohkan, sesudah mereka menderita seketika lamanya” (1Ptr 5:10).

Jadi semua orang beriman kristiani dalam kondisi apapun hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka – dan memang melalui itu semua- dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala-sesuatu dari tangan Bapa di sorga, dan jika mereka bekerja sama dengan kehendak ilahi. Di dalam tugas sehari-hari ini, mereka akan menyatakan kepada semua orang, cinta kasih Allah terhadap dunia.

42. (Jalan dan upaya kekudusan)

“Allah itu kasih, dan barang siapa tetap berada dalam kasih, ia tinggal dalam Allah dan Allah dalam dia” (1Yoh 4:16). Adapun Allah mencurahkan cinta kasih-Nya ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang dikurniakan kepada kita (lih. Rom 5:5). Maka dari itu kurnia yang pertama dan paling perlu adalah cinta kasih, yang dengannya  kita mencintai Allah melebihi segala sesuatu dan mengasihi sesama demi Dia. Memang, agar cinta kasih sebagaimana benih yang baik dapat bertumbuh dalam jiwa dan menghasilkan buah, setiap orang beriman wajib mendengarkan sabda Allah dengan suka hati, dan menerima kehendak-Nya, dan harus melengkapi dengan tindakan mereka apa yang telah Tuhan mulai, dengan pertolongan rahmat Tuhan. Tindakan- tindakan ini terdiri dari: menerima sakramen-sakramen, terutama Ekaristi, dan kerap ikut serta dalam perayaan liturgi,  juga dengan berdoa, mengingkari diri, melayani sesama secara aktif, dan mengamalkan segala  kebajikan. Sebab cinta kasih, sebagai pengikat kesempurnaan dan kepenuhan hukum (lih. Kol 3:14; Rom 13:10), mengatasi semua cara untuk mencapai kekudusan dan memberikan hidup kepada semua cara ini. [133] Cinta kasihlah yang mengarahkan kita kepada tujuan akhir kita. Maka cinta kasih akan Allah maupun akan sesama merupakan ciri murid Kristus yang sejati.

Karena Yesus, Putera Allah, telah menyatakan cinta kasih-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita, maka demikian juga, tak seorang pun mempunyai cinta kasih yang lebih besar daripada ia yang menyerahkan hidupnya untuk Kristus dan saudara-saudaranya (lih. 1Yoh 3:16; Yoh 15:13). Sudah sejak masa permulaan ada orang-orang Kristiani yang telah dipanggil, dan selalu masih ada yang akan dipanggil, untuk memberi kesaksian cinta kasih yang tertinggi itu di hadapan semua orang, khususnya di hadapan para penganiaya. Maka Gereja memandang kematian sebagai martir sebagai kurnia yang luar biasa dan bukti cinta kasih yang tertinggi, yang menjadikan murid serupa dengan Gurunya yang dengan rela menerima kematian demi keselamatan dunia,  dan juga serupa dengan Dia dalam menumpahkan darahnya. Meskipun hanya sedikit orang yang diberi kesempatan ini, namun semua [umat beriman] harus siap-sedia mengakui Kristus di muka orang-orang. Mereka harus siap membuat pernyataan iman ini di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja, untuk mengikuti jalan salib Kristus.

Demikian juga, kekudusan Gereja secara istimewa ditingkatkan oleh pelaksanaan aneka macam nasehat, yang oleh Tuhan dalam Injil disampaikan kepada para murid-Nya[134]. Posisi utama di antara semua ini dipegang oleh keperawanan atau status selibat (lih. 1Kor 7:32-34). Ini adalah kurnia berharga dari rahmat ilahi, yang oleh Bapa dianugerahkan kepada beberapa orang tertentu (lih. Mat 19:11; 1Kor 7:7), supaya melaluinya mereka lebih mudah membaktikan diri seutuhnya kepada Allah, dengan hati tak terbagi (lih. 1Kor 7:32-34)[135]. Tarak sempurna demi Kerajaan sorga itu dalam Gereja selalu dihargai secara istimewa. Alasannya adalah bahwa tarak sempurna demi kasih kepada Tuhan adalah dorongan terhadap cinta kasih, dan adalah jelas suatu sumber kesuburan rohani yang luar biasa di dunia.

Gereja juga tetap mengingatkan anjuran Rasul, yang mengundang kaum beriman untuk mengamalkan cinta kasih, dan mendorong mereka supaya mengalami secara pribadi apa yang telah Kristus kenali di dalam diri-Nya sendiri. Ini adalah Kristus Yesus yang sama, “yang telah mengosongkan Diri-Nya dan mengenakan rupa seorang hamba, – dan menjadi taat sampai mati” (Flp 2:7-8), dan demi kita “menjadi miskin, meskipun Ia kaya” (2Kor 8:9). Karena para murid harus selalu meniru dan memberikan kesaksian tentang cinta kasih dan kerendahan hati Kristus, Bunda Gereja bergembira, bahwa dalam pangkuannya terdapat banyak pria dan wanita, yang mengikuti dari dekat Sang Penyelamat, yang menurut pemahaman kita, telah merendahkan Diri-Nya sendiri.  Ada beberapa orang yang dalam kebebasannya sebagai anak-anak Allah,  menerima kemiskinan serta mengingkari keinginan-keinginan mereka sendiri. Lebih jauh lagi, beberapa dari mereka atas kemauan sendiri menempatkan diri di bawah kuasa seseorang yang lain, di dalam hal kesempurnaan demi kasih kepada Allah. Ini melampaui ketentuan perintah yang diwajibkan tetapi dilakukan,  agar menjadi lebih menyerupai Kristus yang taat[136].

Maka semua orang beriman Kristiani diajak untuk berjuang mengejar kekudusan dan kesempurnaan status hidup mereka. Memang, mereka mempunyai kewajiban untuk berjuang dengan keras. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena penggunaan hal-hal duniawi dan keterikatan kepada kekayaan yang melawan semangat kemiskinan menurut Injil. Itulah maksud nasehat Rasul kepada mereka yang menggunakan barang-barang duniawi ini: janganlah mereka menerima pengertian dunia, sebab dunia ini sebagaimana yang kita lihat, sedang/ akan berlalu (lih. 1Kor 7:31 )[137].

BAB ENAM – PARA RELIGIUS

43. (Pengikraran nasehat-nasehat Injil dalam Gereja)

Nasehat-nasehat Injil tentang kemurnian yang dibaktikan kepada Allah, kemiskinan dan ketaatan, didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan, dan dianjurkan oleh para Rasul, para Bapa, para guru serta para gembala Gereja. Maka nasehat-nasehat itu merupakan kurnia ilahi, yang oleh Gereja diterima dari Tuhannya dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmat-Nya. Adapun pimpinan Gereja sendiri, di bawah bimbingan Roh Kudus, telah memperhatikan penafsirannya, pengaturan pelaksanaannya, pun juga penetapan bentuk-bentuk penghayatan yang tetap. Dengan demikian berkembanglah pelbagai bentuk kehidupan menyendiri maupun bersama, dan pelbagai keluarga, bagaikan pada pohon yang tumbuh di ladang Tuhan dari benih ilahi, dan yang secara ajaib telah banyak bercabang-cabang. Itu semua menambah jasa sumbangan baik bagi kemajuan para anggotanya maupun bagi kesejahteraan seluruh Tubuh Kristus[138]. Sebab keluarga-keluarga itu menyediakan upaya-upaya bagi para anggotanya berupa cara hidup yang lebih tetap dan teguh, ajaran yang tangguh untuk mengejar kesempurnaan, persekutuan antar saudara dalam perjuangan untuk Kristus, kebebasan yang diteguhkan oleh ketaatan. Dengan demikian para anggota mampu menepati ikrar religius mereka dengan aman dan mengamalkannya dengan setia, dan melangkah maju di jalan cinta kasih dengan hati gembira[139]].

Ditinjau dari sudut susunan ilahi dan hirarkis Gereja, status religius itu bukan jalan tengah antara perihidup para imam dan kaum awam. Tetapi dari kedua golongan itu ada sejumlah orang beriman kristiani, yang dipanggil oleh Allah untuk menerima kurnia istimewa dalam kehidupan Gereja, dan untuk dengan cara masing-masing menyumbangkan jasa mereka bagi misi keselamatan Gereja [140].

44. (Makna dan arti hidup religius)

Dengan kaul-kaul atau ikatan suci lainnya yang dengan caranya yang khas menyerupai kaul, orang beriman kristiani mewajibkan diri untuk hidup menurut tiga nasehat Injil tersebut. Ia mengabdikan diri seutuhnya kepada Allah yang dicintainya mengatasi segala sesuatu. Dengan demikian ia terikat untuk mengabdi Allah serta meluhurkan-Nya karena alasan yang baru dan istimewa. Karena Baptis ia telah mati bagi dosa dan dikuduskan kepada Allah. Tetapi supaya dapat memperoleh buah-buah rahmat Baptis yang lebih melimpah, ia menghendaki untuk dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil dalam Gereja dibebaskan dari rintangan-rintangan, yang mungkin menjauhkannya dari cinta kasih yang berkobar dan dari kesempurnaan bakti kepada Allah, dan secara lebih erat ia disucikan untuk mengabdi Allah [141]. Adapun pengabdian akan makin sempurna, bila dengan ikatan yang lebih kuat dan tetap makin jelas dilambangkan Kristus, yang dengan ikatan tak terputuskan bersatu dengan Gereja mempelai-Nya.

Nasehat-nasehat Injil, karena mendorong mereka yang mengikrarkannya kepada cinta kasih [142], secara istimewa menghubungkan mereka itu dengan Gereja dan misterinya. Maka dari itu hidup rohani mereka juga harus dibaktikan kepada kesejahteraan seluruh Gereja. Dari situ muncullah tugas, untuk – sekadar tenaga dan menurut bentuk khas panggilannya- entah dengan doa atau dengan karya-kegiatan, berjerih-payah guna mengakarkan dan mengukuhkan Kerajaan Kristus di hati orang-orang, dan untuk memperluasnya ke segala penjuru dunia. Oleh karena itu Gereja melindungi dan memajukan corak khas pelbagai tarekat religius.

Maka pengikraran nasehat-nasehat Injil merupakan tanda, yang dapat dan harus menarik secara efektif semua anggota Gereja, untuk menunaikan tugas-tugas panggilan kristiani dengan tekun. Sebab umat Allah tidak mempunyai kediaman tetap di sini, melainkan mencari kediaman yang akan datang. Maka status religius, yang lebih membebaskan para anggotanya dari keprihatinan-keprihatinan duniawi, juga lebih jelas memperlihatkan kepada semua orang beriman harta sorgawi yang sudah hadir di dunia ini, memberi kesaksian akan hidup baru dan kekal yang diperoleh berkat penebusan Kristus, dan mewartakan kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan Kerajaan sorgawi. Corak hidup, yang dikenakan oleh Putera Allah ketika Ia memasuki dunia ini untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan yang dikemukakan-Nya kepada para murid yang mengikuti-Nya, yang diteladan dari lebih dekat oleh status religius, dan senantiasa dihadirkan dalam Gereja. Akhirnya status itu juga secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya yang serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu. Selain itu juga memperlihatkan kepada semua orang keagungan mahabesar kekuatan Kristus yang meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas, yang berkarya secara mengagumkan dalam Gereja.

Jadi meskipun status yang terwujudkan dengan pengikraran nasehat-nasehat Injil itu tidak termasuk susunan hirarkis Gereja, namun tidak dapat diceraikan dari kehidupan dan kesucian Gereja.

45. (Hubungan para religius dengan Hirarki)

Tugas Hirarki Gereja yakni menggembalakan umat Allah dan membimbingnya ke ladang yang berumput lebat (Lih. Ye 34:14). Maka Hirarki juga harus secara bijaksana mengatur dengan undang-undangnya pelaksanaan nasehat-nasehat Injil, yang secara istimewa mendukung penyempurnaan cinta kasih akan Allah dan terhadap sesama [143]. Dengan penuh perhatian mengikuti dorongan Roh Kudus, Hirarki menerima pedoman-pedoman hidup, yang diajukan oleh tokoh-tokoh religius pria maupun wanita, dan setelah dibubuhi ketentuan-ketentuan lebih rinci, mengesahkannya dengan resmi. Tarekat-tarekat yang telah didirikan di mana-mana untuk membangun Tubuh Kristus, didampingi dengan pengawasan dan perlindungan kewibawaannya, supaya berkembang dan subur berbuah menurut semangat para pendirinya.

Namun supaya kebutuhan-kebutuhan seluruh kawanan Tuhan ditanggapi secara lebih baik, Imam Agung, berdasarkan kedudukannya sebagai kepala seluruh Gereja, demi kepentingan bersama dapat menarik setiap lembaga kesempurnaan untuk masing-masing anggotanya dari lingkup kuasa para Uskup setempat, dan membawahkan mereka hanya kepada dirinya [144]. Begitu juga mereka dapat dibiarkan atau diserahkan dibawah kewenangan patriarkat mereka sendiri. Dalam menunaikan tugas terhadap Gereja menurut corak khas hidup mereka, para anggota tarekat wajib menunjukkan sikap hormat dan taat menurut hukum Gereja kepada para Uskup, demi kewibawaan pastoral mereka di Gereja-Gereja khusus, serta demi kesatuan dan kerukunan yang diperlukan dalam karya kerasulan [145].

Adapun dengan pengesahannya Gereja tidak hanya mengangkat ikrar religius kepada martabat status kanonik, melainkan juga menampilkannya sebagai status yang ditakdirkan kepada Allah dalam upacara Liturgi. Sebab dengan kewibawaan yang oleh Allah diserahkan kepadanya Gereja menerima kaul-kaul yang diikrarkan, dengan doanya yang resmi memohonkan bantuan dan rahmat Allah bagi mereka yang mengikrarkannya, mempercayakan mereka kepada Allah, dan memberi mereka berkat rohani, sambil menyatukan persembahan diri mereka dengan korban Ekaristi.

46. (Penghargaan terhadap hidup religius)

Hendaklah para religius sungguh-sungguh berusaha, supaya melalui mereka Gereja benar-benar makin hari makin jelas menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun tidak beriman, entah bila ia sedang berdoa di atas bukit, entah bila sedang mewartakan Kerajaan Allah kepada rakyat, entah bila Ia sedang menyembuhkan mereka yang sakit dan terluka, serta mempertobatkan kaum pendosa kepada hidup yang baik, atau sedang memberkati kanak-kanak dan berbuat baik terhadap semua orang, senantiasa dalam kepatuhan kepada kehendak bapa yang mengutus-Nya [146].

Akhirnya hendaklah semua orang menginsyafi, bahwa mengikrarkan nasehat-nasehat Injil memang berarti mengorbankan hal-hal yang pantas dinilai tinggi, namun tidak merintangi kemajuan pribadi manusia yang sejati, melainkan pada hakikatnya sangat mendukungnya. Sebab seperti nampak jelas pada teladan sekian banyak pendiri yang kudus – nasehat-nasehat itu, bila diterima secara sukarela menurut panggilan pribadi masing-masing, sangat mendukung pemurnian hati dan kebebasan rohani, tiada hentinya membangkitkan semangat cinta kasih, dan terutama mampu menjadikan hidup orang kristen lebih serupa dengan corak hidup dalam keperawanan dan kemiskinan, yang telah dipilih oleh Kristus Tuhan sendiri, dan yang telah dihayati penuh semangat oleh Bunda-Nya yang tetap perawan. Jangan pula orang mengira, bahwa para religius karena serah diri mereka atau terasingkan dari orang-orang, atau tidak berguna lagi bagi masyarakat duniawi. Sebab meskipun ada kalanya mereka itu tidak langsung berhubungan dengan sesama, namun secara lebih mendalam mereka mengenangkan sesama dalam kasih mesra Kristus, dan secara rohani bekerja sama dengan sesama, supaya pembangunan masyarakat duniawi selalu bertumpu pada Tuhan dan diarahkan kepada-Nya, sehingga para pembangunnya jangan bekerja dengan sia-sia [147].

Oleh sebab itu Konsili suci akhirnya meneguhkan dan memuji semua pria dan wanita, para Bruder dan Suster, yang dalam biara-biara, atau di sekolah-sekolah dan rumah sakit, atau di daerah-daerah misi, dengan kesetiaan yang andal dan kerendahan hati, ikut merias Mempelai Kristus dalam serah diri kepada Allah seperti telah diuraikan, dan berbakti kepada semua orang dengan kebesaran hati, dalam pengabdian yang bermacam ragam.

47. (Penutup)

Maka dari itu hendaklah setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan nasehat-nasehat Injil sungguh-sungguh berusaha, supaya ia bertahan dan semakin maju dalam panggilan yang diterimanya dari Allah, demi makin suburnya kesudian Gereja, supaya makin dimuliakanlah Tritunggal yang satu tak terbagi, yang dalam Kristus dan dengan perantaraan Kristus menjadi sumber dan asal segala kesucian.

BAB TUJUH – SIFAT ESKATOLOGIS GEREJA MUSAFIR DAN PERSATUANNYA DENGAN GEREJA DI SORGA

48. (Pendahuluan)

Dalam Yesus Kristus kita semua dipanggil kepada Gereja, dan disitu kita memperoleh kesucian berkat rahmat Allah. Gereja itu baru mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di sorga, bila akan tiba saatnya segala-sesuatu diperbaharui (Kis 3:21), dan bila bersama dengan umat manusia dunia semesta pun, yang berhubungan erat secara dengan manusia dan bergerak ke arah tujuannya melalui manusia, akan diperbaharui secara sempurna dalam Kristus (lih. Ef 1:10; Kol 1:20; 2Ptr 3:10-13).

Adapun Kristus, yang ditinggikan dari bumi, menarik semua orang kepada diri-Nya (lih. Yoh. 12:32). Sesudah bangkit dari kematian (lih. Rom 6:9) Ia mengutus Roh-Nya yang menghidupkan ke dalam hati para murid-Nya, dan melalui Roh itu Ia menjadikan Tubuh-Nya, yakni Gereja, sakramen keselamatan bagi semua orang. Ia duduk di sisi kanan Bapa, namun tiada hentinya berkarya di dunia, untuk mengantar orang-orang kepada Gereja, dan melalui Gereja menyatukan mereka lebih erat dengan diri-Nya; lagipula untuk memberi mereka santapan Tubuh dan Darah-Nya sendiri, serta dengan demikian mengikut-sertakan mereka dalam kehidupan-Nya yang mulia. Jadi pembaharuan, janji yang kita dambakan, telah mulai dalam Kristus, digerakkan dengan perutusan Roh Kudus, dan karena Roh itu berlangsung terus dalam Gereja. Berkat iman kita di situ menerima pengertian tentang makna hidup kita yang fana, sementara karya yang oleh Bapa dipercayakan kepada kita di dunia kita selesaikan dengan baik dalam harapan akan kebahagiaan di masa mendatang, dan kita mengerjakan keselamatan kita (lih. Flp 2:12).

Jadi sudah tibalah bagi kita akhir zaman (lih. 1Kor 10:11). Pembaharuan dunia telah ditetapkan, tak dapat dibatalkan, dan secara nyata mulai terlaksana di dunia ini. Sebab sejak di dunia ini Gereja ditandai kesucian yang sesungguhnya meskipun tidak sempurna. Tetapi sampai nanti terwujudkan langit baru dan bumi baru, yang diwarnai keadilan (lih. 2Ptr 3:13), Gereja yang tengah mengembara, dalam sakramen-sakramen serta lembaga-lembaganya yang termasuk zaman ini, mengemban citra zaman sekarang yang akan lalu. Gereja berada di tengah alam tercipta, yang hingga kini berkeluh-kesah dan menanggung sakit bersalin, serta merindukan saat anak-anak Allah dinyatakan (lih. Rom 8:19-22).

Jadi kita, yang bersatu dengan kristus dalam Gereja, dan ditandai dengan Roh Kudus yakni “jaminan warisan kita” (Ef 1:14), disebut anak-anak Allah dan memang demikian adanya (lih. 1Yoh 3:2). Namun kita belum tampil bersama Kristus dalam kemuliaan (lih. Kol 3:4), saatnya kita akan menyerupai Allah, karena kita akan memandang Dia sebagaimana adanya (lih. 1Yoh 3:2). Maka “selama mendiami tubuh ini, kita masih jauh dari Tuhan” (2Kor 5:6); dan kita, yang membawa kurnia-sulung Roh, berkeluh-kesah dalam hati (lih. Rom 8:23) serta ingin bersama dengan kristus (lih. Flp 1:23). Namun oleh cinta itu juga kita di desak, untuk lebih penuh hidup bagi Dia, yang telah wafat dan bangkit bagi kita (lih. 2Kor 5:15). Maka kita berusaha untuk dalam segalanya berkenan kepada Tuhan (lih. 2Kor 5:9). Dan kita kenakan perlengkapan senjata Allah, supaya kita mampu bertahan menentang tipu muslihat iblis serta mengadakan perlawanan pada hari yang jahat (lih. Ef 6:11-13). Tetapi karena kita tidak mengetahui hari maupun jamnya, atas anjuran Tuhan kita wajib berjaga terus-menerus, agar setelah mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia hanya satu kali saja (lih. Ibr 9:27), kita bersama dengan-Nya memasuki pesta pernikahan, dan pantas digolongkan pada mereka yang diberkati (lih. Mat 25: 31-46), dan supaya janganlah kita seperti hamba yang jahat dan malas (lih. Mat 25:26) diperintahkan enyah ke dalam api yang kekal (lih. Mat 25:41), ke dalam kegelapan di luar, di tempat “ratapan dan kertakan gigi” (Mat 22:13 dan 25:30). Sebab, sebelum memerintah bersama Kristus dalam kemuliaan-Nya, kita semua akan menghadapi “takhta pengadilan Kristus, supaya masing-masing menerima ganjaran bagi apa yang dijalankannya dalam hidup ini, entah itu baik atau jahat” (2Kor 5:10). Dan pada akhir zaman “mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk kehidupan kekal, sedangkan mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh 5:29); lih. Mat 25:46). Maka dari itu, mengingat bahwa “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita kelak” (Rom 8:18; lih. 2Tim 2:11-12), dalam keteguhan iman kita mendambakan “pengharapan yang membahagiakan serta pernyataan kemuliaan Allah dan Penyelamat kita yang mahaagung, Yesus Kristus” (Tit 2:13), “yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga menyerupai Tubuh-Nya yang mulia” (Flp 3:21), dan yang akan datang “untuk dimuliakan di antara para kudus-Nya, dan untuk dikagumi oleh semua orang yang beriman” (2Tes 1:10).

49. (Persekutuan antara Gereja di sorga dan Gereja di dunia)

Jadi hingga saat ini Tuhan datang dalam keagungan-Nya beserta semua malaikat (lih Mat 25:31), dan saatnya segala sesuatu takluk kepada-Nya sesudah maut dihancurkan (lih. 1Kor 15:26-27), ada diantara para murid-Nya yang masih mengembara di dunia, dan ada yang telah meninggal dan mengalami penyucian, ada pula yang menikmati kemuliaan sambil memandang “dengan jelas Allah Tritunggal sendiri sebagaimana ada-Nya” [148]. Tetapi kita semua, kendati pada taraf dan dengan cara yang berbeda, saling berhubungan dalam cinta kasih yang sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah pujian yang sama kehadirat Allah kita. Sebab semua orang, yang menjadi milik Kristus dan didiami oleh Roh-Nya, berpadu menjadi satu Gereja, dan saling erat berhubungan dalam Dia (lih. Ef 4:16). Jadi persatuan mereka yang sedang dalam perjalanan dengan para saudara yang sudah beristirahat dalam damai kristus, sama sekali tidak terputus. Bahkan menurut iman Gereja yang abadi diteguhkan karena saling berbagi harta rohani [149]. Sebab karena para penghuni sorga bersatu lebih erat dengan kristus, mereka lebih meneguhkan seluruh Gereja dalam kesuciannya; mereka menambah keagungan ibadat kepada Allah, yang dilaksanakan oleh Gereja di dunia; dan dengan pelabagi cara mereka membawa sumbangan bagi penyempurnaan pembangunannya (lih. 1Kor 12:12-27) [150]. Sebab mereka, yang telah ditampung di tanah air dan menetap pada Tuhan (lih. 2Kor 5:8), karena Dia, bersama Dia dan dalam Dia tidak pernah berhenti menjadi pengantara kita di hadirat Bapa [151], sambil mempersembahkan pahala-pahala, yang telah mereka peroleh di dunia, melalui pengantara tunggal antara Allah dan manusia, yakni kristus Yesus (lih. 1Tim 2:5), sambil melayani Tuhan dalam segalanya, dan melengkapi Tubuh-Nya, yakni Gereja (lih. Kol 1:24) [152]. Demikianlah kelemahan kita amat banyak dibantu oleh perhatian mereka sebagai saudara.

50. (Hubungan antara Gereja di dunia dan gereja di sorga)

Gereja kaum musafir menyadari sepenuhnya persekutuan dalam Tubuh mistik Kristus itu. Sejak masa pertama agama kristiani Gereja dengan sangat khidmat merayakan kenangan mereka yang telah meninggal [153]. Dan karena “inilah suatu pikiran yang murshid dan saleh: mendoakan mereka yang meninggal supaya dilepaskan dari dosa-dosa mereka” (2Mak 12:46), maka Gereja juga mempersembahkan korban-korban silih bagi mereka. Adapun Gereja selalu percaya, bahwa Rasul-Rasul dan para martir Kristus, yang dengan menumpahkan darah memberi kesaksian iman dan cinta kasih yang amat luhur, dalam Kristus berhubungan lebih erat dengan kita. Dengan bakti yang istimewa Gereja menghormati mereka bersama dengan Santa Perawan Maria dan para Malaikat kudus [154], serta dengan khidmat memohon bantuan perantaraan mereka. Pada golongan mereka segera bergabunglah orang-orang lain, yang lebih dari dekat meneladan keperawanan dan kemiskinan Kristus [155]; lalu akhirnya kelompok lain lagi, yang – karena mereka dengan cemerlang mengamalkan keutamaan-keutamaan kristiani [156] serta menampilkan kurnia-kurnia ilahi – mengundang kaum beriman untuk berbakti dengan takzim dan meneladan mereka [157].

Sebab sementara merenungkan hidup mereka yang dengan setia mengikuti Kristus, kita mendapat dorongan baru untuk mencari kota yang akan datang (lih. Ibr 13:14 dan 11:10). Sekaligus kita ditunjukkan jalan yang sangat aman, untuk di tengah situasi dunia yang silih berganti, sesuai dengan kedudukan dan kondisi masing-masing, dan dapat mencapai persatuan yang sempurna dengan Kristus atau kesucian [158]. Dalam hidup mereka yang sama-sama manusia seperti kita, tetapi secara lebih sempurna diubah menjadi serupa dengan citra Kristus (lih. 2Kor 3:18), Allah secara hidup-hidup menampakkan kehadiran serta wajah-Nya. Dalam diri mereka Ia menyapa kita, dan menyampaikan kepada kita tanda Kerajaan-Nya [159]. Kita yang mempunyai banyak saksi ibarat awan yang meliputi kita (lih. Ibr 12:1), dan yang menghadapi kesaksian sejelas itu tentang kebenaran Injil, kuat-kuat tertarik kepadanya.

Namun kita merayakan kenangan para penghuni sorga bukan hanya karena teladan mereka. Melainkan lebih supaya persatuan segenap Gereja dalam Roh diteguhkan dengan mengamalkan cinta kasih persaudaraan (lih. Ef 4:1-6). Sebab seperti persekutuan kristiani antara para musafir mengantarkan kita untuk mendekati Kristus, begitu pula untuk keikutsertaan dengan para Kudus menghubungkan kita dengan kristus, yang bagaikan Sumber dan Kepala mengalirkan segala rahmat dan kehidupan Umat Allah sendiri [160]. Jadi memang sungguh sepantasnya, bahwa kita mengasihi para sahabat serta sesama ahli waris Yesus Kristus itu, serta-merta saudara-saudara dan penderma-penderma kita yang ulung. Sudah selayaknya pula kita bersyukur kepada Allah atas mereka [161]. Sepantasnya juga “kita dengan rendah hati berseru kepada mereka, dan mempercayakan diri kepada doa-doa, bantuan serta pertolongan mereka, untuk memperoleh kurnia-kurnia Allah dengan perantaraan Putera-Nya Yesus Kristus Tuhan kita, satu-satunya Penebus dan Penyelamat kita” [162]. Sebab segala kesaksian cinta kasih kita yang sejati terhadap para penghuni sorga pada hakekatnya tertujukan kepada Kristus dan bermuara pada Dia, “mahkota semua para Kudus” [163], serta dengan perantaraan-Nya mencapai Allah, yang mengagumkan dalam para Kudus-Nya, dan diagungkan dalam diri mereka [164].

Akan tetapi terutama dalam Liturgi suci secara paling luhur persatuan kita dengan Gereja di sorga diwujudkan dengan nyata. Di situlah kekuatan Roh Kudus melalui perlambangan sakramen berkarya pada diri kita. Dalam Liturgi kita bersama bergembira merayakan dan memuji keagungan Allah [165]. Kita semua, yang dalam darah Kristus ditebus dari setiap suku dan bahasa dan kaum bangsa (lih. Why 5:9), serta dihimpun ke dalam satu Gereja, dengan satu madah pujian meluhurkan Allah Tritunggal. Jadi sambil merayakan korban Ekaristi kita seerat mungkin digabungkan dengan ibadat Gereja di sorga, sementara kita berada dalam satu persekutuan, dan merayakan kenangan terutama S. Maria yang mulia dan tetap Perawan, pun pula S. Josef, para Rasul serta para martir yang suci, dan semua para Kudus [166].

51. (Beberapa pedoman pastoral)

Itulah iman yang layak kita hormati, pusaka para leluhur kita: iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulai di sorga, atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran. Konsili suci ini penuh khidmat menerima iman itu, dan menyajikan lagi ketetapan-ketetapan Konsili-konsili suci Nisea II [167], Florensia [168] dan Trente [169]. Namun sekaligus Konsili dalam keprihatinan pastoralnya mendorong semua pihak yang bersangkutan, supaya di sana-sini bila terjadi penyalahgunaan, penyelewengan atau penyimpangan, mereka berusaha menyangkal atau membetulkannya, dan membaharui segalanya demi pujian yang lebih penuh kepada Kristus dan Allah. Maka hendaklah mereka mengajarkan kepada Umat beriman, bahwa ibadat yang sejati kepada para kudus bukan pertama-tama diwujudkan dalam banyaknya perbuatan lahiriah, melainkan terutama dalam besarnya cinta kasih kita yang disertai tindakan nyata. Demikianlah, supaya kita dan gereja bertambah sejahtera, kita mencari “teladan melalui pergaulan dengan para Kudus, kebahagiaan yang sama melalui persekutuan dengan mereka, dan bantuan melalui pengantaraan mereka” [170]. Di lain pihak hendaklah mereka ajarkan kepada kaum beriman, bahwa hubungan kita dengan penghuni sorga itu – asal ditinjau dalam terang iman yang lebih penuh – sama sekali tidak melemahkan ibadat sujud, yang dalam Roh kita persembahkan kepada Allah Bapa melalui Kristus, melainkan justru memperkaya secara limpah [171].

Sebab kita semua anak-anak Allah, dan merupakan satu keluarga dalam Kristus (lih. Ibr 3:6). Sementara kita saling mencintai dan serentak memuji Tritunggal Mahakudus, dan dengan demikian berhubungan seorang dengan yang lain, kita memenuhi panggilan Gereja yang terdalam, dan sekarang pun sudah mulai menikmati Liturgi dalam kemuliaan yang sempurna [172]. Bila Kristus kelak menampakkan Diri, dan mereka yang mati akan bangkit mulia, kemuliaan Allah akan menyinari Kota Surgawi, dan Anak Dombalah lampunya (lih. Why 21:24). Pada saat itulah seluruh gereja para Kudus dalam kebahagiaan cinta kasih yang terluhur akan bersujud menyembah Allah dan “Anak Domba yang telah di sembelih” (Why 5:12). Mereka akan serentak berseru: “Bagi Dia yang duduk di takhta dan bagi Anak Domba: puji-pujian, dan hormat, dan kemuliaan, dan kuasa sampai selama-lamanya” (Why 5:13-14).

BAB DELAPAN – SANTA PERAWAN MARIA BUNDA ALLAH DALAM MISTERI KRISTUS DAN GEREJA

I. PENDAHULUAN

52. (Santa Perawan dalam misteri kristus)

Ketika Allah yang maha baik dan maha bijaksana hendak melaksanakan penebusan dunia, “setelah genap waktunya, Ia mengutus Putera-Nya, yang lahir dari seorang wanita – supaya kita diterima menjadi anak” (Gal 4:4-5). “Untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita Ia turun dari sorga, dan Ia menjadi Daging oleh Roh Kudus dari perawan Maria [173]. Misteri ilahi keselamatan itu diwahyukan kepada kita dan tetap berlangsung dalam Gereja, yang oleh Tuhan dijadikan Tubuh-Nya. Di situ kaum beriman, dalam persatuan dengan Kristus Kepala, dan dalam persekutuan dalam semua para Kudus-Nya, wajib pula merayakan kenangan “pertama-tama Maria yang mulia dan tetap Perawan, Bunda Allah serta Tuhan kita Yesus Kristus” [174].

53. (Santa Perawan dan Gereja)

Sebab perawan Maria, yang sesudah warta Malaikat menerima Sabda Allah dalam hati maupun tubuhnya, serta memberikan Hidup kepada dunia, diakui dan dihormati sebagai Bunda Allah dan penebus yang sesungguhnya. Karena pahala putera-Nya ia ditebus secara lebih unggul, serta dipersatukan dengan-Nya dalam ikatan yang erat dan tidak terputuskan. Ia dianugerahi kurnia serta martabat yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi Puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus. Karena anugerah rahmat yang sangat istimewa itu ia jauh lebih unggul dari semua makhluk lainnya, baik di sorga maupun di bumi. Namun sebagai keturunan Adam Ia termasuk golongan semua orang yang harus diselamatkan. Bahkan “ia memang Bunda para anggota Kristus. Karena dengan cinta kasih ia menyumbangkan kerjasamanya, supaya dalam Gereja lahirlah kaum beriman, yang menjadi anggota-anggota Kepala itu.” [175]. Oleh karena itu ia menerima salam sebagai anggota Gereja yang serba unggul dan sangat istimewa, pun juga sebagai pola-teladannya yang mengagumkan dalam iman dan cinta kasih. Menganut bimbingan Roh Kudus Gereja katolik menghadapinya penuh rasa kasih-sayang sebagai bundanya yang tercinta.

54. (Maksud Konsili)

Maka sementara menguraikan ajaran tentang Gereja, tempat Penebus ilahi melaksanakan penyelamatan, Konsili suci hendak menjelaskan dengan cermat baik peran Santa Perawan dalam misteri Sabda yang menjelma serta Tubuh mistik-Nya, maupun tugas kewajiban mereka yang sudah ditebus terhadap Bunda Allah, Bunda kristus dan Bunda orang-orang, terutama yang beriman. Namun Konsili tidak bermaksud menyajikan ajaran yang lengkap tentang Maria, atau memutuskan soal-soal yang kendati jerih payah para teolog belum sepenuhnya menjadi jelas. Oleh karena itu tetap berlakulah pandangan-pandangan, yang dalam aliran-aliran katolik dikemukakan secara bebas tentang Maria, yang dalam Gereja kudus menduduki tempat paling luhur sesudah Kristus dan paling dekat dengan kita [176].

II. PERAN SERTA PERAWAN DALAM TATA KESELAMATAN

55. (Bunda Almasih dalam Perjanjian Lama)

Kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru, begitu pula Tradisi yang terhormat, memperlihatkan peran Bunda Penyelamat dalam tata keselamatan dengan cara yang semakin jelas, dan seperti menyajikannya untuk kita renungkan. Ada pun Kitab-kitab Perjanjian Lama melukiskan sejarah keselamatan, yang lambat-laun menyiapkan kedatangan Kristus di dunia. Naskah-naskah kuno itu, sebagaimana dibaca dalam Gereja dan dimengerti dalam terang perwahyuan lebih lanjut yang penuh, langkah-demi langkah makin jelas mengutarakan citra seorang wanita, Bunda Penebus. Dalam terang itu ia sudah dibayangkan secara profetis dalam janji yang diberikan kepada leluhur pertama yang jatuh berdosa, Ia adalah Perawan yang mengandung dan melahirkan seorang Anak laki- laki, yang akan diberi nama Imanuel (lih. Yes 7:14; bdk. Mi 5:2-3; Mat 1:22-23). Dialah yang unggul di tengah umat Tuhan yang rendah dan miskin, yang penuh kepercayaan mendambakan serta menerima keselamatan dari pada-Nya. Akhirnya ketika muncullah ia, Puteri Sion yang amat mulia, sesudah pemenuhan janji lama dinanti-nantikan, genaplah masanya. Mulailah tata keselamatan yang baru, ketika Putera Allah mengenakan kodrat manusia dari padanya, untuk membebaskan manusia dari dosa melalui rahasia-rahasia hidup-Nya dalam daging.

56. (Maria menerima warta gembira)

Adapun Bapa yang penuh belaskasihan menghendaki, supaya penjelmaan Sabda didahului oleh persetujuan dari pihak dia, yang telah ditetapkan menjadi Bunda-Nya. Dengan demikian, seperti dulu wanita mendatangkan maut, sekarang pun wanitalah yang mendatangkan kehidupan. Itu secara amat istimewa berlaku tentang Bunda Yesus, yang telah melimpahkan kepada dunia Hidup sendiri yang membaharui segalanya, dan yang oleh Allah dianugerahkan kurnia-kurnia yang layak bagi tugas seluhur itu. Maka tidak mengherankan juga, bahwa di antara para Bapa suci menjadi lazim untuk menyebut Bunda Allah suci seutuhnya dan tidak terkena oleh cemar dosa manapun juga, bagaikan makhluk yang diciptakan dan dibentuk baru oleh Roh Kudus [177]. Perawan dari Nazaret itu sejak saat pertama dalam rahim dikurniai dengan semarak kesucian yang istimewa. Atas titah Allah ia diberi salam oleh Malaikat pembawa Warta dan disebut “penuh rahmat” (Luk 1:38). Demikianlah Maria Puteri Adam menyetujui sabda ilahi, dan menjadi Bunda Yesus. Dengan sepenuh hati yang tak terhambat oleh dosa mana pun ia memeluk kehendak Allah yang menyelamatkan, dan membaktikan diri seutuhnya sebagai hamba Tuhan kepada pribadi serta karya Putera-Nya, untuk di bawah Dia dan beserta Dia, berkat rahmat Allah yang mahakuasa, mengabdikan diri kepada misteri penebusan. Maka memang tepatlah pandangan para Bapa suci, bahwa Maria tidak secara pasif belaka digunakan oleh Allah, melainkan bekerja sama dengan penyelamatan umat manusia dengan iman serta kepatuhannya yang bebas. Sebab, seperti dikatakan oleh S. Ireneus, “dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia” [178]. Maka tidak sedikitlah para Bapa zaman kuno, yang dalam pewartaan mereka dengan rela hati meyatakan bersama Ireneus: “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh perawan Maria karena imannya” [179]. Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria “bunda mereka yang hidup” [180]. Sering pula mereka menyatakan: “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria” [181].

57. (Santa Perawan dan masa kanak-kanak Yesus)

Adapun persatuan Bunda dengan Puteranya dalam karya penyelamatan itu terungkapkan sejak saat Kristus dikandung oleh Santa perawan hingga wafat-Nya. Pertama-tama, ketika Maria berangkat dan bergegas-gegas mengunjungi Elisabet, dan diberi ucapan salam sebagai yang terberkati oleh Elisabet karena  Maria beriman akan janji keselamatan dan sang  perintis [St. Yohanes Pembaptis] melonjak gembira dalam rahim ibunya (lih. Luk 1:41-45). Kesatuan ini juga dinyatakan pada hari kelahiran Tuhan Yesus, yang tidak mengurangi keutuhan keperawanan ibunya, melainkan menyucikannya ketika Sang Bunda Allah dengan penuh kegembiraan menunjukkan Puteranya yang sulung kepada para Gembala dan para Majus [182]. Ketika Maria mempersembahkan Yesus kepada Allah di kenisah, sesudah menyerahkan persembahan kaum miskin,  ia [Maria] mendengarkan Simeon yang sekaligus menyatakan, bahwa Puteranya akan menjadi tanda yang akan menimbulkan perbantahan dan bahwa suatu pedang akan menembus jiwa Bunda-Nya, supaya pikiran hati banyak orang menjadi nyata (lih. Luk 2:34-35). Ketika orang tua Yesus dengan sedih hati mencari Putera mereka yang hilang, mereka menemukan-Nya di kenisah sedang berada dalam perkara-perkara Bapa-Nya, dan mereka tidak memahami apa yang dikatakan oleh Putera mereka. Tetapi Bundanya menyimpan itu semua dalam hatinya dan merenungkannya (lih. Luk 2:41-51).

58. (Santa Perawan dan hidup Yesus di muka umum)

Dalam hidup Yesus di muka umum tampillah Bunda-Nya dengan penuh makna, pada permulaan, ketika pada pesta pernikahan di Kana yang di Galilea ia tergerak oleh belas kasihan, dan dengan perantaraannya mendorong Yesus Almasih untuk mengerjakan tanda-Nya yang pertama (lih. Yoh 2:1-11). Dalam pewartaan Yesus, ia [Maria] menerima sabda-Nya, ketika Puteranya mengagungkan Kerajaan di atas pemikiran dan ikatan daging serta darah, dan menyatakan berbahagialah mereka yang mendengar dan melakukan sabda Allah (lih. Mrk 3:35 dan paralelnya; Luk 11:27-28), seperti yang dilakukannya sendiri dengan setia (lih. Luk 2:19 dan 51). Demikianlah Santa Perawan juga melangkah maju dalam peziarahan iman. Dengan setia ia mempertahankan persatuannya dengan Puteranya hingga di salib, ketika ia sesuai dengan rencana Allah berdiri di dekatnya (lih. Yoh 19:25). Disitulah ia menanggung penderitaan yang dahsyat bersama dengan Puteranya yang tunggal. Dengan hati keibuannya ia menggabungkan diri dengan korban-Nya, yang penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkannya. Dan akhirnya Yesus Kristus juga, menjelang wafat-Nya di kayu salib, ia dikurniakan kepada murid menjadi Bundanya dengan kata-kata ini: “Wanita, inilah anakmu” (lih. Yoh 19:26-27) [183].

59. (Santa Perawan sesudah Yesus naik ke sorga)

Allah tidak berkenan mewahyukan misteri keselamatan umat manusia secara resmi, sebelum mencurahkan Roh yang dijanjikan oleh Kristus. Maka kita saksikan para Rasul sebelum hari Pentakosta “bertekun sehati sejiwa dalam doa bersama beberapa wanita, dan Maria Bunda Yesus serat saudara-saudari-Nya” (Kis 1:14). Kita lihat Maria juga dengan doa-doanya memohon kurnia Roh, yang pada saat Warta Gembira dulu sudah menaunginya. Akhirnya Perawan tak bernoda, yang tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal [184], sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat melalui kemuliaan di sorga beserta badan dan jiwanya [185]. Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya, Tuan di atas segala tuan (lih. Why 19:16), yang telah mengalahkan dosa dan maut [186].

III. SANTA PERAWAN DAN GEREJA

60. (Maria hamba Tuhan)

Pengantara kita hanya ada satu, menurut sabda Rasul: “Sebab Allah itu esa, dan esa pula pengantara antara Allah dan manusia, yakni manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang” (1Tim 2:5-6). Adapun peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari suatu keharusan objektif, melainkan dari kebaikan ilahi, pun dari kelimpahan pahala Kristus. Pengaruh itu bertumpu pada pengantaraan-Nya, sama sekali tergantung dari padanya, dan menimba segala kekuatannya dari padanya. Pengaruh itu sama sekali tidak merintangi persatuan langsung kaum beriman dengan Kristus, melainkan justru mendukungnya.

61.

Sehubungan dengan penjelmaan Sabda ilahi Santa Perawan sejak kekal telah ditetapkan untuk menjadi Bunda Allah. Berdasarkan rencana penyelenggaraan ilahi ia di dunia ini menjadi Bunda Penebus, dan mengatasi semua orang lain dan dengan cara yang istimewa menjadi sang pendamping yang istimewa dan hamba Tuhan yang rendah hati. Dengan mengandung Kristus, melahirkan-Nya, membesarkan-Nya, menghadapkan-Nya kepada Bapa di kenisah, serta dengan ikut menderita dengan Puteranya yang wafat di kayu salib, ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya juru selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia menjadi Bunda kita.

62.

Keibuan Maria dalam tatanan rahmat ini dimulai dengan persetujuannya yang ia berikan di dalam iman pada saat anunsiasi (saat menerima kabar gembira dari malaikat) dan yang dipertahankannya tanpa goyah di kaki salib-Nya, dan berakhir sampai penggenapan kekal dari semua orang terpilih. Setelah diangkat ke Surga, ia tidak mengesampingkan tugas penyelamatan, tetapi dengan doa syafaatnya yang tak terputus, terus menerus membawa bagi kita karunia- karunia keselamatan kekal. Dengan cinta kasih keibuannya ia memperhatikan saudara-saudara Puteranya, yang masih dalam peziarahan dan menghadapi bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran, sampai mereka mencapai tanah air surgawi yang penuh kebahagiaan. Oleh karena itu dalam gereja Santa Perawan disapa dengan gelar Pembela, Pembantu, Penolong, Perantara [188]. Akan tetapi itu diartikan sedemikian rupa, sehingga tidak mengurangi pun tidak menambah martabat serta daya guna Kristus satu-satunya Pengantara [189].

Sebab tiada makhluk satu pun yang pernah dapat disejajarkan dengan Sabda yang menjelma dan Penebus kita. Namun seperti imamat Kristus secara berbeda-beda ikut dihayati oleh para pelayan (imam) maupun oleh Umat beriman, dan seperti satu kebaikan Allah terpancarkan secara nyata kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya dengan cara yang berbeda-beda, begitu pula satu-satunya pengantaraan Penebus tidak meniadakan, melainkan membangkitkan pada mereka aneka bentuk kerja sama yang berasal dari satu-satunya sumber.

Adapun Gereja tanpa ragu-ragu mengakui, bahwa Maria memainkan peran sekunder yang berada di bawah peran Kristus ini. Gereja mengetahuinya melalui pengalaman tentangnya yang tiada henti dan menganjurkan kepada kaum beriman, supaya dengan ditopang oleh perlindungan Bunda ini mereka lebih erat menyatukan diri dengan Sang Pengantara dan Penyelamat.

63. (Maria pola Gereja)

Karena kurnia serta peran keibuannya yang ilahi, yang menyatukannya dengan Puteranya Sang Penebus, pun pula karena segala rahmat serta tugas-tugasnya, Santa Perawan juga erat berhubungan dengan Gereja. Seperti telah diajarkan oleh St. Ambrosius, Bunda Allah itu pola Gereja, yakni dalam hal iman, cinta kasih dan persatuan sempurna dengan Kristus [190]. Sebab dalam misteri Gereja, yang tepat juga disebut Bunda dan perawan, Santa Perawan Maria mempunyai tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberi teladan perawan maupun ibu [191]. Sebab dalam iman dan ketaatan ia melahirkan Putera Bapa sendiri di dunia, dan itu tanpa mengenal pria, dalam naungan Roh Kudus, sebagai Hawa yang baru, bukan karena mempercayai ular yang kuno itu, melainkan karena percaya akan utusan Allah, dengan iman yang tak tercemar oleh kebimbangan. Ia telah melahirkan Putera, yang oleh Allah dijadikan yang sulung di antara banyak saudara (Rom 8:29), yakni Umat beriman. Maria bekerja sama dengan cinta kasih keibuannya untuk melahirkan dan mendidik mereka.

64.

Adapun Gereja sendiri – dengan merenungkan kesucian Santa Perawan yang penuh rahasia serta meneladan cinta kasihnya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dengan patuh, dengan menerima sabda Allah dengan setia pula – menjadi ibu juga. Sebab melalui pewartaan dan baptis, Gereja melahirkan bagi hidup baru yang kekal-abadi putera-puteri yang dikandungnya dari Roh Kudus dan lahir dari Allah. Gereja pun perawan, yang dengan utuh murni menjaga kesetiaan yang dijanjikannya kepada Sang Mempelai. Dan sambil mencontoh Bunda Tuhannya, Gereja dengan kekuatan Roh Kudus secara perawan mempertahankan keutuhan imannya, keteguhan harapannya, dan ketulusan cinta kasihnya [192].

65. (Keutamaan-keutamaan Maria, pola bagi Gereja)

Namun sementara dalam diri Santa perawan Gereja telah mencapai kesempurnaannya yang tanpa cacat atau kerut (lih. Ef 5:27), kaum beriman Kristiani sedang berusaha mengalahkan dosa dan mengembangkan kesuciannya. Maka mereka mengangkat pandangannya ke arah Maria, yang bercahaya sebagai pola keutamaan, menyinari segenap jemaat para terpilih. Penuh khidmat Gereja mengenangkan Maria, serta merenungkannya dalam terang Sabda yang menjadi manusia, dan dengan demikian ia penuh hormat makin mendalam memasuki sejarah keselamatan, dan dengan cara tertentu merangkum serta memantulkan pokok-pokok iman yang terluhur dalam dirinya. Sementara ia diwartakan dan dihormati, ia mengundang Umat beriman untuk mendekati Puteranya serta korban-Nya, pun cinta kasih Bapa. Sedangkan Gereja sambil mencari kemuliaan Kristus makin menyerupai Polanya yang amat mulia. Gereja terus menerus maju dalam iman, harapan dan cinta kasih, serta dalam segalanya mencari dan melaksanakan kehendak Allah. Maka tepatlah, bahwa juga dalam karya kerasulannya Gereja memandang Maria yang melahirkan Kristus; Dia yang dikandung dari Roh Kudus serta lahir dari Perawan, supaya melalui Gereja lahir dan berkembang juga dalam hati kaum beriman. Dalam hidupnya Santa Perawan menjadi teladan cinta kasih keibuan, yang juga harus menjiwai siapa saja yang tergabung dalam misi kerasulan Gereja demi kelahiran baru sesama mereka.

IV. KEBAKTIAN KEPADA SANTA PERAWAN DALAM GEREJA

66. (Makna dan dasar bakti kepada Santa Perawan)

Berkat rahmat Allah Maria diangkat di bawah Puteranya, diatas semua malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci, yang hadir pada misteri-misteri Kristus; dan tepatlah bahwa ia dihormati oleh Gereja dengan kebaktian yang istimewa. Memang sejak zaman kuno Santa Perawan dihormati dengan gelar “Bunda Allah”; dan dalam segala bahaya serta kebutuhan mereka Umat beriman sambil berdoa mencari perlindungannya [193]. Terutama sejak Konsili di Efesus kebaktian Umat Allah terhadap Maria meningkat secara mengagumkan, dalam penghormatan serta cinta kasih, dengan menyerukan namanya dan mencontoh teladannya, menurut ungkapan profetisnya sendiri: “Segala keturunan akan menyebutku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan karya-karya besar padaku” (Luk 1:48). Meskipun kebaktian itu, seperti selalu dijalankan dalam Gereja, memang bersifat istimewa, namun secara hakiki berbeda dengan bakti sembah sujud, yang dipersembahkan kepada Sabda yang menjelma seperti juga kepada Bapa dan Roh Kudus, lagi pula sangat mendukungnya. Sebab ada pelbagai ungkapan sikap bakti terhadap Bunda Allah, yang dalam batas-batas ajaran yang sehat serta benar, menurut situasi semasa dan setempat serta sesuai dengan tabiat dan watak-perangai kaum beriman, telah disetujui oleh Gereja. Dengan ungkapan-ungkapan itu, bila Bunda dihormati, Puteranya pun – segala sesuatu diciptakan untuk Dia (lih. Kol 1:15-16), dan Bapa yang kekal menghendaki agar seluruh kepenuhan-Nya diam dalam Dia (Kol :19), – dikenal, dicintai dan dimuliakan sebagaimana harusnya, serta perintah-perintah-Nya dilaksanakan.

67. (Semangat mewartakan sabda dan kebangkitan kepada S. Perawan)

Ajaran Katolik itu oleh Konsili suci disampaikan sungguh-sungguh. Serta-merta Konsili suci mendorong semua putera Gereja, supaya mereka dengan rela hati mendukung kebaktian kepada Santa perawan, terutama yang bersifat liturgis. Juga supaya mereka sungguh menghargai praktik-praktik dan pengamalan bakti kepadanya, yang di sepanjang zaman oleh dianjurkan oleh wewenang mengajar Gereja; pun juga supaya mereka dengan khidmat mempertahankan apa yang di masa lampau telah ditetapkan mengenai penghormatan patung-patung Kristus, Santa Perawan dan para Kudus [194]. Kepada para teolog serta pewarta sabda Allah Gereja menganjurkan dengan sangat, supaya dalam memandang martabat Bunda Allah yang istimewa mereka pun, dengan sungguh-sungguh mencegah segala ungkapan berlebihan yang palsu seperti juga kepicikan sikap batin [195]. Hendaklah mereka mempelajari Kitab suci, ajaran para Bapa dan Pujangga suci serta liturgi-liturgi Gereja di bawah bimbingan Wewenang mengajar Gereja, dan dengan cermat menjelaskan tugas-tugas serta kurnia-kurnia istimewa Santa Perawan, yang senantiasa tertujukan pada Kristus, sumber segala kebenaran, kesucian dan kesalehan. Hendaknya mereka dengan sungguh-sungguh mencegah apa-apa saja, yang dalam kata-kata atau perbuatan dapat menyesatkan para saudara terpisah atau siapa saja selain mereka mengenai ajaran Gereja yang benar. Selanjutnya hendaklah kaum beriman mengingat, bahwa bakti yang sejati tidak terdiri dari perasaan yang mandul dan bersifat sementara, tidak pula dalam sikap mudah percaya tanpa dasar. Bakti itu bersumber pada iman yang sejati, yang mengajak kita untuk mengakui keunggulan Bunda Allah, dan mendorong kita untuk sebagai putera-puteranya mencintai Bunda kita dan meneladan keutamaan-keutamaannya.

V. MARIA, TANDA HARAPAN YANG PASTI DAN PENGHIBURAN BAGI UMAT ALLAH YANG MENGEMBARA DI DUNIA

68.

Sementara itu, seperti halnya Bunda Yesus yang telah dimuliakan di Surga dengan badan dan jiwanya, adalah gambaran dan permulaan Gereja yang harus mencapai kesempurnaannya di masa yang akan datang, begitu pula di dunia ini ia [Maria] menyinari Umat Allah yang sedang mengembara sebagai tanda harapan yang pasti dan penghiburan, sampai tibalah hari Tuhan (lih. 2Ptr 3:10).

69.

Bagi Konsili suci ini merupakan kegembiraan dan penghiburan yang besar, bahwa juga dikalangan para saudara yang terpisah ada yang menghormati Bunda Tuhan dan Penyelamat sebagaimana harusnya, khususnya dalam Gereja-Gereja Timur, yang dengan semangat berkobar dan jiwa bakti yang tulus merayakan ibadat kepada Bunda Allah yang tetap Perawan [196]. Hendaklah segenap Umat kristiani sepenuh hati menyampaikan doa-permohonan kepada Bunda Allah dan Bunda umat manusia, supaya dia, yang dengan doa-doanya menyertai Gereja pada awal-mula, sekarang pun di sorga – dalam kemuliaannya melampaui semua para suci dan para malaikat, dalam persekutuan para kudus – menjadi pengantara pada Puteranya, sampai semua keluarga bangsa-bangsa, entah yang ditandai dengan nama kristiani, entah yang belum mengenal Sang Penyelamat, dapat dihimpun bersama dengan kebahagiaan dalam damai dan kerukunan menjadi satu Umat Allah, demi kemuliaan Tritunggal yang Mahakudus dan Esa yang tak terbagi.

Semua dan masing-masing pokok yang telah diuraikan dalam Konstitusi dogmatis ini berkenan kepada para Bapa. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 21 bulan November tahun 1964.

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

DARI RISALAH KONSILI EKUMENIS VATIKAN II

PENGUMUMAN

Oleh Sekretaris Jenderal Konsili

Pada Sidang Umum ke-125, tanggal 16 November 1964.1

(1. Kadar teologis Konstitusi “De Ecclesia”)

Ditanyakan manakah seharusnya kualifikasi teologis ajaran, yang dipaparkan dalam Skema “de Ecclesia” dan yang diajukan untuk pemungutan suara.

Komisi untuk Ajaran menjawab pertanyaan itu dalam membahas “Modi” (amandemen-amandemen) mengenai bab III Skema “De Ecclesia“, sebagai berikut:

“Dengan sendirinya sudah jelaslah, bahwa teks Konsili selalu harus ditafsirkan menurut peraturan-peraturan umum, yang diketahui oleh siapa pun”.

Pada kesempatan itu Konstitusi untuk Ajaran mengacu kepada Pernyataan pada tgl. 6 maret 1964, yang teksnya kami kutib di sini:

“Mengingat kebiasaan Konsili-Konsili serta tujuan pastoral Konsili sekarang ini, Konsili ini hanyalah mendefinisikan perkara-perkara iman dan kesusilaan yang harus dipegang teguh oleh Gereja, dan yang oleh Konsili sendiri secara eksplisit dinyatakan sebagai perkara iman dan kesusilaan”.

“Sedangkan hal-hal lain, yang dikemukakan oleh Konsili sebagai ajaran Magisterium Tertinggi Gereja, harus diterima dan dimengerti oleh semua dan setiap orang beriman, menurut maksud Konsili sendiri, yang menjadi nyata baik dari bahan yang diuraikan, maupun dari cara merumuskannya, menurut norma-norma penafsiran teologis”.

(2. Arti kolegialitas).2

Oleh kewibawaan tertinggi kemudian telah disampaikan kepada para Bapa Konsili Catatan penjelasan Pendahuluan pada “Modi” 3 tentang bab III Skema “de Ecclesia“. Ajaran, yang diuraikan dalam bab III itu harus dijelaskan dan dimengerti menurut maksud catatan itu.

CATATAN PENJELASAN PENDAHULUAN

“Komisi memutuskan untuk mengawali pembahasan amandemen-amandemen dengan catatan-catatan umum berikut:

1. “Collegium” (“Dewan”) tidak diartikan secara yuridis melulu, yakni dalam arti kelompok yang terdiri dari anggota-anggota yang sederajat, seolah-olah mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada ketua, melainkan dalam arti kelompok yang tetap, yang struktur maupun kewibawaannya harus dijabarkan dari Perwahyuan. Oleh karena itu dari Jawaban terhadap Modus 12 secara eksplisit dikatakan tentang “Dua belas”, bahwa Tuhan menetapkan mereka “bagaikan Dewan atau kelompok yang tetap” (ad modum collegii seu coetus stabilis 4). Bdk. Juga Modus 53, c.berdasarkan itu pula, tentang Dewan para Uskup acap kali dipakai juga istilah “Ordo” (Tingkat) atau “Corpus” (Badan). Kesejajaran antara Petrus serta para Rasul lainnya di satu pihak, dan Imam Agung Tertinggi serta para Uskup di lain pihak, tidak berarti penerusan kekuasaan luar biasa para Rasul kepada para pengganti mereka; jadi juga tidak berarti – seperti sudah jelas – kesetaraan (“aequalitas”) antara Kepala dan anggota Dewan, melainkan melulu keserupaan, kemiripan (“proportionalitas“) antara relasi pertama (Petrus – para Rasul) dan relasi kedua (Paus – para Uskup). Maka Komisi memutuskan untuk menulis dalam artikel 22: bukan “eadem” melainkan “pari ratione“. Bdk. Modus 57.

2. Seseorang menjadi anggota Dewan berdasarkan pentakdisan menjadi Uskup dan persekutuan hirarkis dengan Kepala maupun para anggota Dewan. Bdk. Art 22, pada akhir § 1.

Dalam pentakdisan diberikan partisipasi antologis dalam tugas-tugas (“munera”) kudus, seperti jelas sekali ternyata dari Tradisi, juga Tradisi Liturgi. Dengan sengaja digunakan istilah “munerum” (tugas-tugas), bukan “potestatu” (kekuasaan), karena istilah terakhir itu dapat dimengerti sebagai kekuasaan yang langsung siap untuk bertindak. Tetapi supaya ada kekuasaan yang sia langsung bertindak itu, masih juga diperlukan penentuan kanonik atau yuridis oleh kewibawaan hirarkis. Penentuan kekuasaan itu dapat berupa penyerahan fungsi khusus atau pengangkatan bawahan untuk suatu fungsi, dan diberikan menurut norma-norma yang disetujui oleh Kewibawaan tertinggi. Norma lebih lanjut seperti itu pada hakekatnya diperlukan, karena yang dimaksudkan ialah fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh pelbagai subjek, yang atas kehendak Kristus bekerja sama dengan hirarkis. Sudah jelaslah, bahwa “persekutuan” itu berlangsung dalam kehidupan Gereja menurut situasi zaman, sebelum bagaikan “dibukukan” dalam hukum.

Oleh karena itu dikatakan secara eksplisit, bahwa diperlukan persekutuan Hirarkis dengan Kepala serta anggota Gereja. Persekutuan ialah pengertian, yang dalam Gereja kuno (seperti sekarang pula, terutama di Timur) dianggap sangat penting. Yang dimaksudkan bukanlah suatu perasaan yang kabur, melainkan suatu kenyataan organis, yang memerlukan bentuk yuridis pun sekaligus dijiwai oleh cinta kasih. Maka Komisi, praktis dengan kesepakatan bulat, memutuskan: harus ditulis “dalam persekutuan hirarkis“. Bdk. Modus 40, pun juga apa yang dikatakan tentang “misi kanonik”, dalam art. 24.

Dokumen-dokumen para paus pada masa akhir ini tentang yurisdiksi para Uskup harus ditafsirkan dalam arti penentuan kekuasaan yang masih perlu itu.

3. Tentang Dewan (“Collegium”), yang tidak dapat tanpa Kepala, dikatakan: “merupakan subyek kuasa tertinggi dan penuh terhadap seluruh Gereja”. Hal itu perlu disetujui, supaya kepenuhan kekuasaan paus jangan dipertanyakan. Sebab Dewan harus selalu mencakup Kepalanya, yang di dalam Dewan itu tetap menjalankan tugasnya seutuhnya selaku Wakil Kristus dan Gembala Gereja semesta. Dengan kata lain pembedaan bukan antara Paus (di satu pihak) dan para Uskup secara kolektif (di pihak lainnya), melainkan antara Paus dipandang tersendiri dan paus bersama para Uskup. Karena Paus ialah Kepala Dewan, maka dia seorang diri dapat menjalankan berbagai tindakan, yang sama sekali tidak dapat dijalankan oleh para Uskup; misalnya: mengundang Dewan untuk berkumpul dan memimpinnya, menyetujui norma-norma untuk bertindak, dan lain-lain. Bdk. Modus 81. Terserah kepada kebijakan Paus, yang diserahi reksa pastoral terhadap seluruh kawanan kristus, untuk – sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan gereja yang silih silih-berganti di sepanjang sejarah, – menentukan cara reksa pastoral itu seyogyanya dijalankan, entah secara pribadi, entah secara kolegial. Paus mengambil langkah untuk mengatur, mendorong, menyetujui pelaksanaan kolegial, demi kesejahteraan Gereja, menurut kebijaksanaannya.

4. Sebagai Gembala Tertinggi Gereja paus setiap saat dapat menjalankan kekuasaannya, kapan saja berkenan kepadanya, bila itu diperlukan oleh tugasnya. Sedangkan Dewan para Uskup, walaupun senantiasa ada, tidak dengan sendirinya terus menerus bertindak secara kolegial dalam arti yang sempit, sebagaimana ternyata juga dari Tradisi Gereja. Dengan kata lain, Dewan tidak selalu “dalam keadaan bertindak sepenuhnya”, bahkan hanya saat-saat tertentu saja menjalankan tindakan kolegial dalam arti yang sempit, itu pun hanya atas persetujuan Kepala. Dikatakan “atas persetujuan Kepala“, supaya jangan ada yang berfikir tentang sifat tergantung bagaikan dari seseorang yang berada di luar Dewan. Istilah “persetujuan” justru menunjukkan adanya persekutuan antara Kepada dan para anggota, dan mencakup perlunya tindakan yang termasuk kompetensi kepala. Hal itu secara eksplisit ditegaskan dalam artikel 22 § 2, dan di sana dijelaskan juga, menjelang akhir artikel. Rumus negatif “hanya” mencakup semua kasus. Maka jelaslah, bahwa norma-norma yang telah disetujui oleh Kewibawaan tertinggi selalu harus diindahkan. Bdk. Modus 84.

Semuanya itu menyatakan, bahwa yang menjadi pokok yakni: hubungan para Uskup dengan Kepala mereka, dan tidak pernah dimaksudkan: kegiatan para Uskup tanpa tergantung dari Paus. Dalam kasus terakhir ini, karena Kepala tidak mengadakan tindakan, para Uskup juga tidak dapat bertindak sebagai Dewan, seperti jelas pula dari pengertian “Dewan” (“Collegium”). Persekutuan hirarkis semua para Uskup dengan Paus dalam Tradisi jelas sudah lazim.

NB. Tanpa persekutuan hirarkis itu mustahil dijalankan tugas sakramental-ontologis, yang harus dibedakan dari aspek kanonik-yuridis. Akan tetapi Komisi untuk Ajaran berpandangan: bahwa soal-soal sekitar “liseitas” (halalnya) atau “validitas” (sahnya) tindakan disini tidak usah dibahas, melainkan diserahkan kepada perdebatan para teolog, khususnya melalui kekuasaan, yang di facto dijalankan dalam Gereja-Gereja Timur yang terpisah; mengenai penjelasan hal terakhir itu terdapat pelbagai pendapat.

+ PERICLES FELICI

Uskup Agung tituler Samosata,

Sekretaris Jenderal,

Konsili Ekumenis Vatikan II.


[1]Lih S. SIPRIANUS, Surat 64, 4: PL. 3,1017; CSEL (Hartel), III B, hlm.720. – S. SIPRIANUS dari Poiteirs, Komentar pada Mat 23:6: PL. 9,1047. – S.AGUSTINUS, di pelbagai karyanya. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Tentang Kej, 2:10: PG. 69,110A.

[2] Lih S. GREGORIUS AGUNG, Homili tentang Injil, 19,1: PL 76,1154B. – S. AGUSTINUS, Kotbah 341,9,11: PL 39,1499 dsl. – S. YOHANES dari Damsyik, Melawan para pengrusak Ikon 11: PG 96, 1357.

[3] Lih S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah III,24,1: PG 7,966B; HARVEY 2,131; SAGNARD, Source Chr.,hlm. 398.

[4] Lih S. SIPRIANUS, Tentang doa Bapa Kami, 23: PL 4,553; HARTEL,, IIIA, HLM. 285, – S. AGUSTINUS, Kotbah 71, 20, 33: PL 38, 463 dsl. – S. YOHANES dari Damsyik, Melawan para Pengrusak Ikon 12 : PG 96,1358D

[5] Lih ORIGENES, Komentar pada Mat 16:21: PG 13,1443C. – TERTULIANUS, Melawan Marcion 3,7: PL 2,357C; CSEL 47,3 hlm. 386. – Untuk dokumen-dokumen liturgi, lih Sacramentarium Gregorianum: PL 78,160B; atas C. MOHLBERG, Liber Sacramentorum Roma nae Ecclesiae, Roma 1960, hlm. 111, XC: “Allah, yang dari segala perpaduan para kudus membangun kediaman kekal bagi-Mu -” Madah Urbs Jerusalem beata (Kota Yerusalem yang bahagia) dalam brevir monastik, dan Coelestis Urbs (Kota Sorgawi) dalam brevir Romawi.

[6] Lih. S. TOMAS, Summa Theol. III, Soal 62, art. 5,ad 1.

[7] Lih. PIUS XII, Ensiklik MyStici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 208.

[8] Lih. LEO XIII, Ensiklik Illud, 9 Mmey 1897: AAS 29 (1896-1897) hllm.650. PIUS XII, Ensiklik MyStici Corporis : AAS 35 (1943) hlm. 219-220, DENZ. 2288 (3808). S. AGUSTINUS, Kotbah 268, 2 PL 38, 1232 dan lain-lain. S. Yoh. CRISOSTOMUS, Tentang Ef, Homili 9,3: 2 PG 62,, 72. DIDIMUS dari Iskandaria, Tentang Tritunggal 2,1:: PG 39,449 dsl.D. TOMAS, Tentang Kol 1:18, pelaj.5.2 terb. MARIETTI II no.46:”Seperti satu Tubuh terwujudkan dari kesatuan jiwa, begitu pula Gereja dari kesatuan Roh-“.

[9] Lih. LEO XIII Ensiklik Sapientiae christianae, 10 Januari 1890: AAS 22 (1889-90)hlm. 392; Ensiklik Satis coknitum, 29 Juni 1896: AAS 28 (1895-96))hlm. 710 dan 724 dsl. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis: AAS 35 (1943)hlm.199-200.

[10] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, hlm.22 dsl.; ensiklik Humani generis, 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm.571.

[11] Lih. LEO XIII, Ensiklik Satis coknitum, AAS 28 (1895-96) hlm. 713.

[12] Lih. Syahadat para Rasul, DENZ. 6-9 (10-30); Syahadat Nicea-Konstantinopel, DENZ. 86 (150); bandingkan dengan Pengakuan iman konsili Trente, DENZ. 994 dan 999 (1862 dan 1868).

[13] Disebut “Gereja kudus (katolik apostolik) Romawi “dalam Pengakuan iman konsili Trente dan oleh Konsili Vatikan I, Konstitusi dogmatis Dei Filius tentang iman katolik, DENZ. 1782 (3001).

[14] S. AGUSTINUS, Tentang Kota Allah, XVIII, 51, 2.2 PL 41,614.

[15] Lih. S. SIPRIANUS, Surat 69,6: PL 3,1142; HARTEL 3B, hlm. 754; “Sakramen kesatuan yang tak terceraikan”.

[16] Lih. PIUS VII, Amanat Magnificate Dominum, 2 November 1954; AAS 46 (1954) hlm 669; Ensiklik Mediator Dei, 20 November 1947: AAS 39 (1947) hlm. 555

[17] Lih. PIUS XI, Ensiklik Miserentissimus Redemptor, 8 Mei 1928: AAS 20 (1928) hlm. 17 dsl. PIUS XII, Amanat nous avez, 22 September 1956: AAS 48 (1956) hlm. 714.

[18] Lih. S. TOMAS, Summa Theol. III. Soal 63, art. 2.

[19] Lih. S. SIRILUS dari Yerusalem, katekese 17 tentang Roh Kudus, II, 35-37: PG 33, 1009-1012. NIK. KABASILAS, Tentang hidup dalam kristus, buku III, tentang manfaat krisma: PG 150,569-580. S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 65 art. 3, dan soal 72 art. 1 dan 5.

[20] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, 20 November 1947; AAS 39 (1947) khususnya hlm. 552 dsl.

[21] 1Kor 7:7: “Setiap orang menerima dari Allah kurnianya yang khas, yang seorang kurnia ini, yang lain kurnia itu.” Lih. S. AGUSTINUS, Tentang kurnia ketabahan 14, 37: PL 45,1015 dsl.: “Bukan pengendalian diri saja kurnia Allah, melainkan juga kemurnian suami-isteri.”

[22] S. AGUSTINUS, Tentang predestinasi para kudus, 14,27:PL 44, 980.

[23] S. YOH. KRISOSTOMUS, Tentang Yoh., Homili 65,1:PG 59,361.

[24] Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, III, 16,6; III, 22,-3: PG 7,925C-926A dan 955C-958A; HARVEY 2,87 dsl. Dan 120-123; SAGNARD, terb. Sources Chrtiennes, hlm. 290-292 dan 372 dsl.

[25] Lih. S. IGNASIUS martir, Surat kepada umat di Roma, Pendahuluan: terb. FUNK, 1,252.

[26] Lih. S. AGUSTINUS, Tentang babtis melawan Donatus, V,28,39: PL 43,197: “Pasti sudah jelas, bahwa bila dikatakan: di dalam dan di luar Gereja, itu harus diartikan : dengan hatinya, dan bukan dengan badannya.” Lihat dalam karya tulis yang sama, III, 19, 26: kolom 152; V, 18,24: kolom 189; Tentang Yoh, uraian 61,2:PL 35, 1800; pun sering dilain tempat.

[27] Luk 12:48: “Barang siapa menerima banyak, dari padanya akan dituntut banyak pula.” Lih. Mat 5:19-20; 7:2-22; 25:4-46; Yak 2:14.

[28] Lih. LEO XIII, Surat apostolik Praeclara gratulationis, 20 Juni 1894: ASS 26 (1893-94) hlm. 707.

[29] Lih. LEO XIII, Ensiklik Satis cognitum, 29 juni 1896: ASS 28 (1895-96)hlm. 738. Ensiklik Caritatis studium, 25 Juli 1898: ASS 3 (1898-99) hlm. 11. PIUS XII, Amanat radio Nell’alba, 24 Desember 1941: AAS 34 (1942) hlm. 41.

[30] Lih. PIUS XI, Ensiklik Rerum Orientalium, 8 September 1928: AAS 20 (1928) hlm. 287. PIUS XII, Ensiklik Orientalis Ecclesiae, 9 April 1944: AAS 36 (1944) hlm. 137.

[31] Lih. Instruksi Kongregasi S. OFFICII, 20 Desember 1949: AAS 42 (1950) hlm. 142.

[32] Bdk. S. THOMAS, Summa Theol. III, soal 8, art. 3 ad 1.

[33] Lih. Surat Kongegrasi S.OFFICII kepada Uskup Agung Boston, DENZ, 3869-72

[34] Lih. EUSEBIUS dari Sesarea, Persiapan Injil, 1,1: PG 21, 28AB.

[35] Lih. BENEDIKTUS XV, Surat apostolik Maximum illud: AAS 1 (1919)hlm. 440, terutama hlm. Dsl. PIUS XI, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 68-69. PIUS XII, Ensiklik Fidei Donum, 2 April 1957: AAS 49 (1957) hlm. 236-237).

[36] Lih Didache (Pengajaran) 14: terb. FUNK, 1, 32. S. YUSTINUS, Dialog 41: PG 6,564. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, IV, 17,5: PG 7,1023; HARVEY 2, hlm. 199 dsl. KONSILI TRENTE, Sidang 22, bab 1: DENZ. 939 (1742).

[37] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang Gereja Kristus Pastor Aeternus: DENZ. 1821 (3050 DSL.).

[38] Lih. KONSILI FLORENSIA, Dekrit untuk umat Yunani: DENZ. 694 (1307) dan KONSILI VATIKAN I, di tempat yang sama: DENZ. 1826 (3059).

[39] Lih. S. Gregorius, Kitab sakramen-sakramen, Prefasi pada hari raya S. Matias dan S. Tomas: PL 78,51 dan 152; lih. Kodeks Vatikan latin 3548, hlm. 18. S. HILARIUS, Tentang Mzm 67:10: PL 9,450; CSEL 22, hlm. 286. S. HIRONIMUS, Melawan Yovin. 1, 26: PL 23,247A. S. AGUSTINUS, Tentang Mzm 86:4: PL 37,1103. S. GREGORIUS AGUNG, Mor. Tentang Ayub, XXVIII, V:PL 76,455-456. PRIMASIUS, Komentar pada Why V: PL 68,924BC. PASKASIUS RADBERTUS, Tentang Mat, jil. VIII, bab 16: PL 120,561C. Lih. Leo XIII, Surat Et sane, 17 Desember 1888: AAS 21(1888) hlm. 321.

[40] Lih. Kis 6:2-6; 11:30; 13:1; 14:23; 20:17; 1Tes 5:12-13; Flp 1:1; Kol 4:11 dan di berbagai tempat.

[41] Lih. Kis 20:25-27; 2Tim 4:6 dsl. Bdk. 1Tim 5:22; 2Tim 2:2; Tit 1:5; S. KLEMENS dari roma, Surat kepada umat di Korintus 44,2: terb. FUNK, I, hlm. 156.

[42] Lih. S. KLEMENS dari Roma, Surat kepada umat di Korintus 44,3: terb. FUNK, I, hlm. 154 dsl.

[43] Lih. TERTULIANUS, Melawan kaun bidaah 32: PL 2,52 dsl. S. IGNASIUS Martir, di pelbagai tempat.

[44] Lih. TERTULIANUS, Melawan kaun bidaah 32: PL 2,53.

[45] Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah III,3,1: PG 7,848A; HARVEY 2,8; SAGNARD, hlm. 100 dsl.: dinyatakan.

[46] Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah III,2,2: PG 7,847; HARVEY 2,7; SAGNARD, hlm. 100: dipelihara, juga IV,26,2: kolom 1053; HARVEY 2,236, juga IV,33,8: kolom 1077; HARVEY 2,262.

[47] Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Filadelfia, Pendahuluan: terb. FUNK, I, hlm. 264.

[48] Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Filadelfia 1,1; kepada umat di Magnesia 6,1: terb. FUNK, I, hlm. 264 dan 234.

[49] S. KLEMENS dari roma, Surat kepada umat di Korintus, 42, 3-4; 44,3-4; 57,1-2; terb. FUNK, I, 152, 156, 171 dsl. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Filadelfia 2; kepada umat di Smirna 8; kepad umat di Magnesia 3; kepada umat di Tralles 7; terb. FUNK, I, hlm. 265 dsl.; 282; 232; 256 dsl. Dll.; S. YUSTINUS, Apologia 1,65: PG 6,428; S. SIPRIANUS, seringkali disurat-suratnya.

[50] Lihat LEO XIII, Ensiklik Satis cognitum, 29 Juni 1896: ASS 28 (1895-96) hlm. 732.

[51] Lih. KONSILI TRENTE, Tentang sakramen tahbisan, bab 4: DENZ. 960 (1768); KONSILI VATIKAN I, Konstitusi tentang Gereja Kristus Pastor Aeternus, bab 3: DENZ. 1828 (3061). PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 209 dan 212. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 329 par. 1.

[52] Lih. LEO XIII, Surat Et sane, 17 Desember 1888, ASS 21 (1888) hlm. 321 dsl.

[53] Lih. S. LEO AGUNG, Kotbah 5,3: PL 54,154.

[54] KONSILI TRENTE, Sidang 23, bab 3, mengutip 2Tim 1:6-7, untuk membuktikan, bahwa tahbisan itu sakramen yang sesungguhnya: DENZ. 959 (1766(.

[55] Menurut tradisi para Rasul, 3: terb. BOTTE, Sources chrtiennes, hlm. 27-30, kepada Uskup diserahkan primat imamat. Lih. Buku upacara Leonian tentang Sakramen-Sakramen; terb. C. MOHLBERG, Sacramentarium Veronense, Roma 1955, hlm. 119: “Kepada pelayanan imamat yang tertinggi – Laksanakanlah dalam diri para imammu keutuhan rahasia-Mu” – IDEM, Kitab Sakramen-Sakramen Gereja di Roma, Roma 1960, hlm. 121-122: Kurniakanlah kepada mereka, ya Tuhan, takhta keuskupan untuk membimbing Gerejamu serta segenap rakyat. Lih. PL 78,224.

[56] Lih. Tradisi para rasul, 2: terb. BOTTE, hlm. 27.

[57] KONSILI TRENTE, Sidang 23, bab 4, mengajarkan bahwa sakramen tahbisan memberikan meterai yang tidak terhapus: DENZ. 960 (1767). Lih. YOHANES XXIII, Amanat lubilate Deo, o8 Mei 1960: AAS 52 (1960) hlm. 446. PAULUS VI, Homili di basilika Vatikan, 20 Oktober 1963: AAS 55 (1963) hlm. 1014.

[58] S. SIPRIANUS, Surat 63,14: PL 4,386; HARTEL, iii b, HLM. 713: “Imam benar-benar mewakili Kristus”. S. YOH. KRISOSTOMUS, Tentang 2Tim, Homili 2,4: PG 62,612: Imam itu symbolon (lambang) Kristus. S. AMBROSIUS, Tentang Mzm 38:25-26: PL 14,1051-52; CSEL 64,203-204. AMBROSIASTER, Tentang 1Tim 5:19: PL 17,479 C dan Tentang Ef 4:11-12: kolom 387 C. TEODORUS dari Mopsuesta, Homili-Katek. XV,21 dan 24: terb. TONNEAU, hlm. 497 dan 503. HESIKIUS dari Yerusalem, Tentang kitab Imamat, buku 2,9,23: PG 93,894B.

[59] Lih. EUSEBIUS, Sejarah Gereja, V, 24,10: GCS II, 1, hlm. 495; terb. BARDY, Sourses Chrtiennes II, hlm. 69. DIONISIUS, pada EUSEBIUS, Sej. Gereja VII,5,2: GCS II,2, hlm. 638 dsl.; BARDY, II, hlm. 168 dsl.

[60] Lih. Tentang konsili-konsili di zaman kuno, EUSEBIUS, Sej. Ger. V,23-24, GCS II, 1, hlm. 488 dsl.;BARDY,II, hlm. 66 dsl, dan di pelbagai tempat. KONSILI NISEA, kanon 5: conc. Oec. Decr., hlm. 7.

[61] Lih. TERTULIANUS, Tentang Puasa, 13:PL 2, 972B; CSEL 20, hlm. 292 baris 13-16.

[62] Lih. S. SIPRIANUS, Surat 56,3: HARTEL, III B, hlm. 650; BA-YARI, hlm. 154.

[63] Lih. Risalah resmi ZINELLI, dalam KONSILI VATIKAN I: MANSI 52,11092C.

[64] Lih. KONSILI VATIKAN I, Skema Konstitusi dogmatis II tentang Gereja Kristus, bab 4: MANSI 53,310. Lih. Risalah KLEUTGEN tentang skema yang ditinjau kembali: MANSI 53,321B-322B dan penjelasan ZINELLI: MANSI 52,110A. Lih. Juga S. LEO AGUNG, Kotbah 4,3: PL 54,151A.

[65] Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 222 dan 227.

[66] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Pastor Aeternus: DENZ. 1821 (3050 dsl.).

[67] Lih. S. SIPRIANUS, Surat 66,8: HARTEL III, 2, hlm. 733: “Uskup dalam Gereja dan Gereja dalam Uskup”.

[68] Lih. S. SIPRIANUS, Surat 55, 24: HARTEL , hlm. 624, baris 13: “Satu Gereja, tersebar diseluruh dunia, dan terbagi menjadi banyak anggota”. Surat 36,4: HARTEL, hlm. 575, baris 20-21.

[69] Lih. PIUS XII, Ensiklik Fidei Donum, 21 April 1957: AAS 49 (1957) hlm. 237.

[70] Lih. S. HILARIUS dari Poitiers, Tentang Mzm 14:3: PL 9,206; CSEL 22, hlm. 86. S. GREGORIUS AGUNG, Moral. IV,7,12: PL 75,643C. Pseudo BASILIUS, Tentang Yes 15,296: PG 30,637C.

[71] Lih. S. COLESTINUS, Surat 18,1-2, kepada Konsili di Efese: PL 50,505 AB; SCHWARTZ, Acta Conc. Oec. 1,1,1, hlm. 22. Lih. BENEDIKTUS XV, Surat apostolik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 440. PIUS XI, Ensiklik Fidei Donum, di tempat yang sama.

[72] LEO XIII, Ensiklik Grande munus, 30 September 1880: ASS 13 (1880) hlm. 145. Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 1327; kanon 1350 par. 2.

[73] Lih. LEO XIII, Ensiklik Grande munus, 30 September 1880: ASS 13 (1880) hlm. 145. Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 1350 par. 2.

[74] Tentang hak-hak Takhta-takhta patriarkal, lih. KONSILI NISEA, kanon 6 tentang Iskandaria dan Antiokia, dan kanon 7 tentang Yerusalem: Conc. Oec. Decr. Hlm. 8. KONSILI LATERAN IV, tahun 1215, Konstitusi V: Tentang martabat para Baterik: hlm. 212. KONSILI FERRARA-FLORENSIA, hlm. 504.

[75] Lih. Kitab Hukum Kanonik untuk Gereja-Gereja Timur, kanon 216-314: tentang para Batrik; kanon 324-339: Tentang para Uskup Agung yang lebih tinggi derajdnya; kanon 362-391: tentang para pejabat lainnya; khususnya kanon 238 par.3; 216; 240; 251; 255: tentang pengangkatan para Uskup oleh baterik.

[76] Lih. KONSILI TRENTE, Ketetapan tentang Pembaharuan, sidang V, bab 2 no. 9, dan sidang XXIV, kanon 4; Conc. Oec. Decr., hlm. 645 dan 739

[77] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Dei Filius, 3: DENZ, 1792 (3001). Lih. Catatan yang dibutuhkan pada Skema I “tentang Gereja” (dikutib dari S. ROBERTUS BELLARMINUS): MANSI 51, 579C; Juga Skema Konstitusi II “tentang Gereja kristus yang telah di revisi, beserta komentar KLEUTGEN: MANSI 53, 313AB. PIUS IX, Surat Tuas Libenter: DENZ. 1683 (2879).

[78] Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 1322-1323).

[79] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Pastor Aeternus: DENZ 1839 (3074).

[80] Lih. Penjelasan GASSER dalam KONSILI VATIKAN I: MANSI 52, 1213 AC.

[81] Lih. GASSER, di tempat itu juga: MANSI 1214A.

[82] Lih. GASSER, di tempat itu juga: MANSI 1215CD, 1216-1217A.

[83] Lih. GASSER, di tempat itu juga: MANSI 1213.

[84] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Pastor Aeternus, 4: DENZ. 1836 (3070).

[85] Doa tahbisan Uskup menurut tata-upacara (ritus) bizantin: Euchologion to mega, Roma 1873, hlm. 139.

[86] Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Smirna, 8,1: terb. FUNK, I, hlm. 282.

[87] Lih. Kis 8:1; 14:22-23; 20:17, dan di berbagai tempat lainnya.

[88] Doa mozarabis: PL 96,759B.

[89] Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Smirna 8,1: terb. FUNK, I, hlm. 282.

[90] S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 73, art. 3.

[91] Lih. S. AGUSTINUS, Melawan faustus, 12, 20: PL 42, 265; Kotbah 57,7: PL 38, 389, dan lain-lain.

[92] S. LEO AGUNG, Kotbah 63,7: PL 54, 357C.

[93] Lih. Tradisi para rasul menurut Hipolitus, 2,3: terb. BOTTE, hlm. 26-30.

[94] Lih. “teks penyelidikan” pada awal tahbisan Uskup, dan Doa pada akhir Misa tahbisan itu, sesudah Te Deum.

[95] BENEDIKTUS XIV, Breve Romana Ecclesia, 5 Oktober 1752, par. 1: Bullarium Benedicti XIV, jilid IV, Roma 1758, 21: “Uskup membawa citra Kristus, dan melaksanakan tugas-Nya”. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, AAS 35 (1943) hlm. 211: “Mereka menggembalakan dan membimbing kawanan yang diserahkan kepada mereka masing-masing atas nama Kristus”.

[96] Lih. LEO XIII, Ensiklik Satis Cognitum, 29 Juni 1896: ASS 28 (1895-96) hlm. 732. IDEM, Surat Officio sanctissimo, 22 Desember 1887: ASS 20 (1887) hlm. 264. PIUS IX, Surat apostolik kepada para Uskup di Jerman, 12 Maret 1875, dan amanat Konsistori, 15 Maret 1875: DENZ 3112-3117, hanya dalam terbitan baru.

[97] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi Dogmatis Pastor Aeternus, 3: DENZ. 1828 (3061). Lih. Risalah ZINELLI: MANSI 52, 1114D.

[98] Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Efesus 5,1: terb. FUNK, I, hlm. 216.

[99] Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Efesus 5,1: terb. FUNK, I, hlm. 218.

[100] Lih. KONSILI TRENTE, Tentang sakramen Tahbisan, bab 2: DENZ. 958 (1765), dan kanon 6: DENZ. 966 (1776)

[101] Lih. INOSENSIUS I, Surat kepada Desensius: PL 20,554A; MANSI 3,1029; DENZ. 98 (215): “Meskipun para imam itu imam tingkat dua, namun tidak menerima puncak imamat”. S. SIPRIANUS, Surat 61,3: terb. HARTEL, HLM. 696.

[102] Lih. KONSILI TRENTE, Tentang sakramen Tahbisan, DENZ. 956a-968 (1763-1778), dan khususnya kanon 7: DENZ. 967 (1777). PIUS XII, Konstitusi apostolik Sacramentum Ordinis: DENZ. 2301 (3857-61).

[103] Lih. INOSENSIUS I, Surat kepada Desensius. S. GREGORIUS dari Nazianze, Apologia II,22: PG 35,432B. Pseudo-DIONISIUS, Gereja Hie, 1,2: PG 3,372D.

[104] Lih. KONSILI TRENTE, Sidang 22: DENZ. 940 (1743). PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, 20 November 1947: AAS 39 (1947) hlm. 553: DENZ. 2300 (3850).

[105] Lih. KONSILI TRENTE, Sidang 22: DENZ. 940 (1739-40). KONSILI VATI8KAN II, Konstitusi tentang Liturgi suci, Sacrosanctum Concilium, n. 7 dan no. 47, AAS 56 (1964) hlm. 100 dan 113.

[106] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, no. 67.

[107] Lih. S. SIPRIANUS, Surat 11,3: PL 4,242B; HARTEL, II,2, hlm. 497.

[108] Lih. Pontificale Romanum, tentang Tahbisan imam, pada pengenaan pakaian Misa.

[109] Lih. Pontificale Romanum, tentang Tahbisan imam, pendahuluan

[110] Lih. S. INNASIUS Martir, Surat kepada umat di Filadelfia, 4: terb. FUNK, I, hlm. 266. S. KORNELIUS I, S. SIPRIANUS, Surat 48,2: HARTEL, III, 2, HLM. 610.

[111] “Ketetapan-ketetapan Gereja di Mesir”, III, 2: terb. FUNK, Didascalia (pengajaran), II, hlm. 103. Statuta Eccl. Ant. 37-41: MANSI 3,954.

[112] S. POLIKARPUS, Surat kepada Fil. 5,2: terb. FUNK, I, hlm. 300: Dikatakan bahwa Kristus “telah menjadi pelayan semua orang”. Lih. Didache (pengajaran), 15,1: FUNK, I, hlm. 32. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Tralles, 2, 3: FUNK, I, hlm. 242. “Ketetapan-ketetapan para Rasul”, 8, 28, 4: terb. FUNK, Didascalia, I, hlm. 530.

[113] S. AGUSTINUS, Kotbah 340,1: PL 38, 1483.

[114] Lih. PIUS XI, Ensiklik Quadragesimo anno, 15 Mei 1931: AAS 23 (1931) hlm. 221 dsl. PIUS XII, Amanat De quelle consolation, 14 Oktober 1951: AAS 43 (1951) hlm. 790 dsl.

[115] Lih. PIUS XII, Amanat Six ans se sont coules, 5 Oktober 1957: AAS 49 (1957) hlm. 927.

[116] Dari Prefasi hari raya Kristus Raja.

[117] Lih. LEO XIII, Ensiklik Immortale Dei, 1 November 1885: AAS 18 (1885) hlm. 166 dsl. IDEM, Ensiklik Sapientiae Christiance, 10 Januari 1890: AAS 22 (1889-90) hlm. 397 dsl. PIUS XII, Amanat Alla vostra filiale, 23 Maret 1958: AAS 50 (1958) hlm. 220: “sifat keawaman yang sah dan sehat pada negara”.

[118] Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 682.

[119] Lih. PIUS XII, Amanat De quelleconsolation, 14 oktober 1951: AAS 43 (1951) hlm. 789: “Dalam pertempuran-pertempuran yang menentukan ada kalanya dari baris depanlah muncul prakarsa-prakarsa yang paling mengena -” IDEM, Amanat L’importance de la presse catholique, 17 Februari 1950: AAS 42 (1950) hlm. 256.

[120] Lih. 1Tes 5:19 dan 1Yoh 4:1

[121] Surat kepada Diognetus, 6: terb. FUNK, I, hlm. 400. Lihat S. YOH. KRISOSTOMUS, Tentang Mat, Homili 46 (47) 2: PG 58,478, Tentang ragi dalam adonan.

[122] Misal Romawi, “Kemuliaan kepada Allah di sorga”. Lih. Luk 1:35; Mrk 1:24; Luk 4:34; Yoh 6:69: “Yang Kudus dari Allah”; Kis 3:14; 4:27 dan 30; Ibr 7:26; 1Yoh 2:20; Why 3:7.

[123] Lih. ORIGENES, Komentar pada Rom 7:7 PG 14,1122B. Pseudo MAKARIUS, Tentang Doa 11 : PG 34,861AB. S. TOMAS, Summa Theol. II-II, soal 184, art. 3.

[124] Lih. S. AGUSTINUS, Penarikan Kembali, II, 18: PL 32,637 dsl. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 225.

[125] Lih. PIUS XI, Ensiklik Rerum omnium, 26 januari 1923: AAS 15 (1923) hlm. 50 dan 59-60. Ensiklik Casti Connubii, 31 Desember 1930: AAS 22 (1930) hlm. 548. PIUS XII, Konstitusi apostolis Provida Mater, 2 Februari 1947: AAS 39 (1947) hlm. 117. Amanat Annus sacer, 8 Desember 1950: AAS 43 (1951) hlm. 27-28. Amanat Nel darvi, Juli 1956: AAS 48 (1956) hlm. 574 dsl.

[126] Lih. S. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 184, art. 5 dan 6. Tentang kesempurnaan hidup rohani, bab 18. ORIGENES, Tentang Yesaya, Homili 6,1: PG 13,239.

[127] Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Magnesia, 13,1: terb. FUNK, I, hlm. 241.

[128] Lih. S. PIUS X, Amanat Haerent animo, 4 Agustus 1908: ASS 41 (1908) hlm. 560 dsl. Kitab Hukum Kanonik (lama) kanon 124. PIUS XI, Ensiklik Ad catholic sacerdotii, 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 22 dsl.

[129] Tata-laksana Tahbisan Imam, dalam kotbah pada awal upacara.

[130] Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Tralles 2,3: terb. FUNK, I, hlm. 244.

[131] PIUS XII, Amanat Sous la maternelle protection, 9 Desember 1957: AAS 50 (1958) hlm. 36.

[132] PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii, 31 Desember 1930: AAS 22 (1930)hlm. 548 dsl. Lih. S. YOH. KRISOSTOMUS, Tentang Ef, Homili 20,2: PG 62,136 dsl.

[133] Lih. S. AGUSTINUS, Enchriridion (kamus) 121,32: PL 40,288. S. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 184, art. 1. PIUS XII, Amanat apostolik Mentinostrae, 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 660.

[134] Tentang nasehat-nasehat itu pada umumnya, Lih. ORIGENES, Komentar Rom X, 14: PG 14,1275B. S. AGUSTINUS, Tentang keperawanan suci, 15,15: PL 40,403. S. TOMAS, Summa Theol, I-II, soal 100, art. 2 C (pada akhir); II-II, soal 44, art. 4, ad 3.

[135] Tentang keunggulan keperawanan suci, lih. TERTULIANUS, Anjuran tentang kemurnian, 10: PL 2,225C. S. SIPRIANUS, tentang para perawan 3 dan 22: PL 4,443B dan 461A dsl. S. ATANASIUS (?), Tentang para perawan: PG 28,252 dsl. S. YOH KRISOSTOMUS, Tentang para perawan: PG 48,533 dsl.

[136] Tentang kemiskinan rohani, lih. Mat 5:3 dan 19:21; Mrk 10:21; Luk 18:22; tentang ketaatan terdapat contoh Kristus dalam Yoh 4:34 dan 6:38; Flp 2:8-10; Ibr 10:5-7. Banyak sekali teladan dikemukakan oleh para Bapa Gereja dan para pendiri tarekat.

[137] Tentang pelaksanaan nyata nasehat-nasehat, yang tidak di haruskan kepada semua orang, lih. S. YOH KRISOSTOMUS, Tentang Mat, Homili 7,7: PG 57,81 dsl. S. AMBROSIUS, Tentang para janda, 3,23: PL 16,241 dsl.

[138] Lih. ROSWEYDUS, Vitae Patrium (riwayat hidup para Bapa), Antwerpen 1628. Apophtegmata Patrum : PG 65. PALLADIUS, Historia Lausiaca: PG 34,995 dsl.: terb. C. BUTLER, Cambridge 1898 (1904). PIUS XI, Konstitusi apostolik Umbratilem, 8 Juli 1924: AAS 16 (1924) hlm. 386-387. PIUS XII, Amanat Nous sommes heureux, 11 April 1958: AAS 50 (1958) hlm. 283.

[139] PAULUS VI, Amanat Magno Gaudio, 23 Mei 1964: AAS 56 (1964) hlm. 566.

[140] Lih. Kitab Hukum Kanonik (Lama), kanon 487 dan 488,4. PIUS XII, Amanat Annus sacer, 8 Desember 1950: AAS 43 (1951) hlm. 27 dsl. PIUS XII, Konstitusi apostolik Provida Mater, 2 Februari 1947: AAS 39 (1947) hlm. 120 dsl.

[141] PAULUS VI, Amanat Magno Gaudio: AAS 56 (1964) hlm. 567.

[142] Lih. S. TOMAS, Summa Theol. I-II, soal 184 art. 3 dan soal 188 art. 2. S. BONAVENTURA, karya-tulis XI, Pembelaan kaum miskin, bab 3,3: terb. Quaracci, jilid 8, 1898, hlm. 245 a.

[143] Lih. KONSILI VATIKAN I, Skema tentang Gereja kristus, bab XV dan catatan 48: MANSI 51,549 dsl. Dan 619 dsl. LEO XIII, Surat Au milieu des consolations, 23 Desember 1900: AAS 33 (1900-01) hlm. 361. PIUS XII, Konstitusi apostolik Provida Mater: AAS 39 (1947) hlm. 114 dsl.

[144] Lih. LEO XIII, Konstitusi Romanos Pontifices, 8 Mei 1881: AAS 48 (1880-81) hlm. 483. PIUS XII, Amanat Annus sacer, 8 Desember 1950: AAS 48 (1951) hlm. 28 dsl.

[145] Lih. PIUS XII, Amanat Annus sacer: AAS 43 (1951) hlm. 28. PIUS XII, Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae, 31 Mei 1959: AAS 48 (1956) hlm. 355. PAULUS VI, Amanat Mgno gaudio: AAS 56 (1964) hlm. 570-571.

[146] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 214 dsl.

[147] Lih. PIUS XII, Amanat Annus sacer: AAS 43 (1951) hlm.30. Amanat Sous la meternelle protection, 9 Desember 1957: AAS 50 (1958) hlm. 39 dsl.

[148] KONSILI FLORENSIA, Dekrit untuk umat Yunani: DENZ. 693 (1305).

[149] Selain dokumen-dokumen yang lebih kuno melawan setiap bentuk memanggil roh-roh, sejak ALEKSANDER IV, 27 September 1258, lih. Surat edaran Kongregasi S. OFFICII, Tentang penyalahgunaan magnetisme: 4 Agustus 1856: AAS (1865 hlm. 177-178, DENZ. 1653-1654 (2823-2825); jawaban Kongregasi S. OFFICII, 24 April 1917: AAS 9 (1917) hlm. 268, DENZ. 2182 (3642).

[150] Lih. Penjelasan sintetis ajaran paulus ini dalam: PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis: AAS 35 (1943) hlm. 200 dan di pelbagai temapt lainnya.

[151] Lih., antara lain, S. AGUSTINUS, Uraian tentang Mzm 85,24: PL 37,1099. S. HIRONIMUS, Kitab melawan Vigilansius, 6: PL 23,344. S. TOMAS, pada kitab IV Sententiae, dist. 45, soal 3, art. 2. S. BONAVENTURA, pada kitab IV Sententiae, dist. 45, soal 3, art. 2, dan lain-lain.

[152] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis: AAS 35 (1943) hlm. 245.

[153] Lih. banyak tulisan dalam katakombe-katakombe di roma.

[154] Lih. GELASIUS I, Surat ketetapan tentang kitab-kitab yang harus diterima, 3: PL 59,160, DENZ. 165 (353).

[155] Lih. S. METODIUS, Symposium, VII,3: GCS (Bonwetsch), hlm. 74.

[156] Lih. BENEDIKTUS XV, Dekrit pengakuan Keutamaan-keutamaan dalam proses beatifikasi dan kanonisasi hamba Allah Yohanes Nepomusesnus Neumann: AAS 14 (1922) hlm. 23. Berbagai amanat PIUS XI tentang para Kudus: “Inviti all eroismo: Discorsi -” jilid I-III, Roma 1941-1942, di pelbagai temapat, PIUS XII, Discorsi e Radiomessaggi (amanat-amanat dan pidato-pidato radio), jilid X, 1949, hlm. 37-43.

[157] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei: AAS 39 (1947) hlm. 581.

[158] Lih. Ibr 13:7; Pkh 44-50; Ibr 11:3-40; Lih. juga PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei: AAS 39 (1947), hlm. 582-583.

[159] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi tentang Iman Katolik, bab 3: DENZ. 1794 (3013).

[160] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis: AAS 35 (1943) hlm. 216.

[161] Tentang rasa terima kasih terhadap para Kudus sendiri, lih. E. DIEHL, Inscriptiones latinae christianae veteres (tulisan-tulisan latin kristiani kuno) I, 1925, no. 2008, 2382, dan ditempat-tempat lain.

[162] KONSILI TRENTE, Sidang 25: Tentang doa kepada para Kudus: DENZ. 984 (1821).

[163] Brevir Romawi, antifon pembukaan pada hari raya Semua Orang Kudus.

[164] Lih. misalnya 2Tes 1:10.

[165] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, bab 5, art. 104.

[166] Doa Syukur Agung Misa Romawi.

[167] KONSILI NISEA II, Actio VII: DENZ. 302 (600).

[168] KONSILI FLORENSIA, Dekrit untuk umat Yunani: DENZ. 693 (1304).

[169] KONSILI TRENTE, Sidang 25, tentang seruan dan penghormatan terhadap para Kudus, relikwi-relikwi (peninggalan) mereka, dan tentang patung-patung suci: DENZ. 984-988 (1821-1824); Sidang 25, Dekrit tantang Api Penyucian: DENZ. 983 (1820); Sidang 6, Dekrit tentang Pembenaran pendosa, kanon 30: DENZ. 840 (1580).

[170] Misal Romawi, dari Prefasi para Kudus yang diizinkan untuk keuskupan-keuskupan di Perancis.

[171] Lih. S. PETRUS KANISIUS, Catechismus Maior seu Summa Doctrinae christianae (Katekismus Besar atau Rangkuman Ajaran Kristiani), bab III (terb. Kristis F. Streicher), bagian I, hlm. 15-16, no. 44, dan hlm. 100-101, no. 49.

[172] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, bab 1, art. 8.

[173] Syahadat iman dalam Misa Romawi: Syahadat Konstantinopel: MANSI 3,566. Lih. KONSILI EFESUS, dalam MANSI 4,1130 (juga 2,665 dan 4,1071). KONSILI KALSEDON, dalam MANSI 7,111-116. KONSILI KONSTANTINOPEL II, dalam MANSI 9,375-396.

[174] Doa Syukur Agung Misa Romawi.

[175] S. AGUSTINUS, Tentang Keperawanan suci, 6: PL 40,399.

[176] Lih. PAULUS VI, Amanat dalam konsili, tanggal 4 Desember 1963: AAS 56 (1964) hlm. 37.

[177] Lih. S. GERMANUS dari Konstantinopel, homili pada hari raya Warta gembira kepada Bunda Allah: PG 98,328A; Homili pada hari Meninggalnya S. Maria 2: kolom 357. ANASTASIUS dari Antiokia, Kotbah 2 tentang Warta gembira, 2: PG 89,1377AB; Kotbah 3,2: kolom 1388C. S. ANDREAS dari Kreta, Madah pada hari kelahiran S. Perawan 1: kolom 812A; Homili pada hari raya Meninggalnya S. Maria 1: kol. 1068C. S. SOFRONIUS, Amanat 2 pada hari raya Warta gembira, 18: PG 87 (3),3237BD.

[178] Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah III, 22,4: PG 7,959A; HARVEY 2,123.

[179] S. IRENEUS, di tempat yang sama: HARVEY 2,124.

[180] S. EPIFANIUS, Melawan bidaah, 78,18: PG 42,728CD-729AB.

[181] S. HIRONIMUS, Surat 22,21: PL 22,408. Lih. S. AGUSTINUS, Kotbah 51,2,3: PL 38,335; Kotbah 232,2: kolom 1108. S. SIRILUS dari yerusalem, Katekese 12,15: PG 33,741 AB. S. YOHANES dari Damsyik, Homili 2 pada hari raya Meninggalnya S. P. Maria, 3: PG 96,728.

[182] Lih. KONSILI LATERAN tahun 649, kanon 3: MANSI 10,1151. S. LEO AGUNG, surat kepada Flavianus: PL 54,759. KONSILI KALSEDON: MANSI 7,462. S. AMBROSIUS, tentang pendidikan para perawan: PL 16,320.

[183] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) 247-248.

[184] Lih. PIUS IX, Bulla Ineffabilis, 8 Desember 1854: Acta Pii IX, I, I, 616: DENZ. 1641 (2803).

[185] Lih. PIUS XII, Konstitusi apostolik Munificentissimus, 1 November 1950: AAS 42 (1950); DENZ. 2333 (3903). Lih. S. YOHANES dari Damsyik, Pada hari raya Meninggalnya Bunda Allah, Homili 2 dan 3: PG 96,721-761, khususnya kolom 728B. S. GERMANUS dari Konstantinopel, pada hari raya meninggalnya Santa Bunda Allah, Kotbah 1: PG 98 (6),340-348; Kotbah 3: kolom 361. S. MODESTUS dari Yerusalem, Pada hari raya meninggalnya Santa Bunda Allah: PG 86 (2), 3277-3312.

[186] Lih. PIUS XII, Ensiklik Ad coeli Reginam, 11 Oktober 1954: AAS 46 (1954) hlm. 633-636: DENZ. 3913 dsl.

[187] Lih. KLUTGEN, Naskah yang diperbaharui tentang Misteri Sabda ilahi, bab IV, MANSI 53,290. Lih juga S. ANDREAS dari Kreta, Pda hari kelahiran Maria, Kotbah 4: PG 97,865A. S. GERMANIUS dari Konstantinopel, Pada Warta gembira Bunda Allah: PG 98, 321BC; Pada meninggalnya Bunda Allah, III: kolom 361D. S. YOHANES dari Damsyik, Pada hari meninggalnya Santa Perawan Maria, Homili 1,8: PG 96,712BC-713A.

[188] Lih. LEO XIII, Ensiklik Adiutricem populi, 5 September 1895: AAS 15 (1895-96) hlm. 303. S. PIUS X, Ensiklik Ed diem illum, 2 Februari 1904: Acta, I, hlm. 154: DENZ. 1978A (3370). PIUS XI, Ensiklik Miserentissimus, 8 Mei 1928: AAS 20 (1928) hlm. 178. PIUS XII, Amanat radio, 13 Mei 1946: AAS 38 (1946) hlm. 266.

[189] S. AMBROSIUS, Surat 63: PL 16,1218.

[190] S. AMBROSIUS, Penjelasan tantng Lukas II, 7: PL 15,1555.

[191] Lih. Pseudo-PETRUS DAMIANUS, Kotbah 63: PL 144,861AB. GODEFRIDUS dari S. VIKTOR, pada hari kelahiran Santa Maria, manuskrip Paris, Mazarine, 1002, lembar 109 r. GERHOHUS REICH, De gloria et honore filii hominis (tentang kemuliaan dan kehormatan Putera manusia), 10: PL 194,1105AB.

[192] S. AMBROSIUS, di tempat yang sama, dan dalam penjelasan Luk X, 24-25: PL 15,1810. S. AGUSTINUS, tentang Yoh. Traktat 13,12: PL 35,1499. Lih. Kotbah 191,2,3: PL 38, 1010, dan lain-lain. Lih. juga BEDA terhormat, Tentang Luk Penjelasan I, bab 2: PL 92,330. ISAAK DE STELLA, Kotbah 51: PL 194,1863A.

[193] Doa Di bawah perlindunganmu.

[194] KONSILI NISEA II, tahun 787: MANSI 13,378-379; DENZ. 302 (600-601). KONSILI TRENTE, Sidang 25: MANSI 33,171-172.

[195] Lih. PIUS XII, Amanat radio, 24 Oktober 1954: AAS 46 (1954), hlm. 679. Ensiklik Ad coeli Reginam, 11 Oktober 1954: AAS 46 (1954) hlm. 637.

[196] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ecclesiam Dei, 12 November 1923: AAS 15 (1923) hlm. 581. PIUS XII, Ensiklik Fulgens corona, 8 September 1953: AAS 45 (1953) hlm. 590-591.

1 Dua catatan yang di kutib dari Risalah Konsili ini disampaikan kepada para Bapa Konsili untuk menjelaskan suara yang mereka berikan. Keduanya penting untuk menafsirkan Konstitusi ini. Paus Paulus VI menggarisbawahinya dalam amanat beliau kepada para Bapa Konsili menjelang penutupan Sidang III Konsili, pada tanggal 21 November 1964, pada saat beliau secara resmi mengumumkan Konstitusi tentang Gereja, mengenai ajaran tentang martabat Uskup: “- sambil mengindahkan penjelasan-penjelasan yang diberikan baik untuk penafsiran yang harus diberikan kepada istilah-istilah yang digunakan, maupun untuk kualifikasi teologis yang oleh Konsili mau diberikan kepada ajaran yang diuraikan, kami tidak ragu-ragu, berkat pertolongan Allah, untuk secara resmi mengumumkan Konstitusi tentang Gereja” (Doct. Cath. LXI, tgl. 6 Desember 1964, kolom 1589).

2 Kewibawaan tertinggi, yang telah meminta, supaya pembahasan amandemen-amandemen naskah “de Ecclesia” didahului dengan penjelasan pendahuluan, jelas ialah paus Pulus VI sendiri.

3 “Modi” ialah amandemen-amandemen yang diajukan oleh para Bapa Konsili kepada Komisi untuk Ajaran.

4 Lih. Konsili dogmatis tentang gereja, art. 19.

Sacrosanctum Concilium (SC)

0

KONSTITUSI TENTANG LITURGI SUCI

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA-BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI
KONSTITUSI TENTANG LITURGI SUCI

PENDAHULUAN

1.

KONSILI SUCI bermaksud makin meningkatkan kehidupan Kristiani di antara umat beriman; menyesuaikan lebih baik lagi lembaga-lembaga yang dapat berubah dengan kebutuhan zaman kita; memajukan apa saja yang dapat membantu persatuan semua orang yang beriman akan Kristus; dan meneguhkan apa saja yang bermanfaat untuk mengundang semua orang dalam pangkuan Gereja. Oleh karena itu Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan juga pembaharuan dan pengembangan liturgi.

2.

Sebab melalui liturgi dalam Kurban Ilahi Ekaristi, “terlaksanalah karya penebusan kita”[1]. Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan penghayatan, mengungkapkan Misteri Kristus serta hakikat asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain, yakni bahwa Gereja bersifat sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir. Dan semua itu berpadu sedemikian rupa, sehingga dalam Gerja apa yang insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa yang ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang kita cari[2] . Maka dari itu liturgi setiap hari membangun mereka yang berada didalam Gereja menjadi kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh[3] , sampai mereka mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus[4] . Maka liturgi sekaligus secara mengagumkan menguatkan tenaga mereka untuk mewartakan Kristus, dan dengan demikian menunjukan Gereja kepada mereka yang berada di luarnya sebagai tanda yang menjulang di antara bangsa-bangsa[5]. Di bawah tanda itu putera-puteri Allah yang tercerai berai dihimpun menjadi satu[6] , sampai terwujudlah satu kawanan dan satu gembala[7] .

3.

Oleh karena itu dalam hal pengembangan dan pembaharuan liturgi, Konsili suci berpendapat: perlu meningkatkan lagi azas-azas berikut dan menetapkan kaidah-kaidah praktis. Di antara azas-azas dan kaidah-kaidah itu ada beberapa yang dapat dan harus diterapkan pada ritus romawi maupun pada semua ritus lainnya. Namun kaidah-kaidah praktis berikut harus dipandang hanya berlaku bagi ritus romawi, kecuali bila menyangkut hal-hal yang menurut hakekatnya juga mengenai ritus-ritus lain.

4.

Akhirnya, setia mengikuti tradisi, Konsili suci menyatakan pandangan Bunda Gereja yang kudus, bahwa semua ritus yang diakui secara sah mempunyai hak dan martabat yang sama. Gereja menhendaki agar ritus-ritus itu di masa mendatang dilestarikan dan dikembangkan dengan segala daya upaya. Konsili menghimbau agar bilamana perlu ritus-ritus itu ditinjau kembali dengan seksama dan secara menyeluruh, sesuai dengan jiwa tradisi yang sehat, lagi pula diberi gairah baru, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan zaman sekarang.

BAB SATU – AZAS-AZAS UMUM UNTUK MEMBAHARUI DAN MENGEMBANGKAN LITURGI

I. HAKEKAT DAN MAKNA LITURGI SUCI DALAM KEHIDUPAN

5. (Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus)

Allah menghendaki supaya semua manusia selamat dan mengenal kebenaran (1 Tim 2:4). Setelah Ia pada zaman dahulu berulang kali dan dengan pelbagai cara bersabda kepada nenek-moyang kita dengan perantaraan para nabi (Ibr 1:1), ketika genaplah waktunya, Ia mengutus Putera-Nya, Sabda yang menjadi daging dan diurapi Roh Kudus, untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum miskin, untuk menyembuhkan mereka yang remuk redam hatinya[8] , “sebagai tabib jasmani dan rohani”[9] , Pengantara Allah dan manusia[10] . Sebab dalam kesatuan pribadi Sabda kodrat kemanusiaan-Nya menjadi upaya keselamatan kita. Oleh karena itu dalam Kristus “pendamaian kita mencapai puncak kesempurnaannya, dan kita dapat melaksanakan ibadat Ilahi secara penuh”[11] .
Adapun karya penebusan umat manusia dan permuliaan Allah yang sempurna itu telah diawali dengan karya agung Allah di tengah umat Perjanjian Lama. Karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri Paska: sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan. Dengan misteri itu Kristus “menghancurkan maut kita dengan wafat-Nya, dan membangun kembali hidup kita dengan kebangkitan-Nya”[12] . Sebab dari lambung Kristus yang beradu di salib muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan[13] .

6. (Karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja, terlaksana dalam liturgi)

Oleh karena itu, seperti Kristus diutus oleh Bapa, begitu pula Ia mengutus para rasul yang dipenuhi Roh Kudus. Mereka itu diutus bukan hanya untuk mewartakan Injil kepada makhluk[14] , dan memberitakan bahwa Putera Allah dengan wafat dan kebangkitan-Nya telah membebaskan kita dari kuasa setan[15] dan maut, dan telah memindahkan kita ke Kerajaan Bapa; melainkan juga untuk mewujudkan karya keselamatan yang mereka wartakan itu melalui kurban dan Sakramen-sakramen, sebagai pusat seluruh hidup liturgis. Demikianlah melalui baptis orang-orang dimasukkan ke dalam misteri Paska Kristus : mereka mati, dikuburkan dan dibangkitkan bersama Dia[16] ; mereka menerima Roh pengangkatan menjadi putra, dan dalam Roh itu kita berseru : Abba, Bapa (Rom 8:15); demikianlah mereka menjadi penyembah sejati, yang dicari oleh Bapa[17] . Begitu pula setiap kali mereka makan perjamuan Tuhan, mereka mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang[18] . Oleh karena itu pada hari Pentakosta, ketika Gereja tampil di depan dunia, mereka yang menerima amanat Petrus “dibaptis”. Dan mereka “bertekun dalam ajaran para Rasul serta selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa … sambil memuji Allah, dan mereka disukai seluruh rakyat” (Kis 2:41-47). Sejak itu Gereja tidak pernah lalai mengadakan pertemuan untuk merayakan misteri Paska; disitu mereka membaca “apa yang tercantum tentang Dia dalam seluruh Kitab suci (Luk 24:27); mereka merayakan Ekaristi, yang menghadirkan kejayaan-Nya atas maut”[19] , dan sekaligus mengucap syukur kepada “Allah atas karunia-Nya yang tidak terkatakan” (2Kor 9:15) dalam Kristus Yesus, “untuk memuji keagungan-Nya” (Ef 1:12) dengan kekuatan Roh Kudus.

7. (Kehadiran Kristus dalam liturgi)

Untuk melaksanakan karya sebesar itu, Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan, “karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan Diri di kayu salib[20] , maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya Ia hadir dalam Sakramen-sakramen sedemikian rupa, sehingga bila ada orang yang membaptis, Kristus sendirilah yang membaptis[21] . Ia hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab suci dibacakan dalam Gereja. Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur karena Ia sendiri berjanji : bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mat 18:20).
Memang sungguh, dalam karya seagung itu, saat Allah dimuliakan secara sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus selalu menggabungkan Gereja, mempelai-Nya yang amat terkasih, dengan diri-Nya. Gereja yang berseru kepada Tuhannya dan melalui Dia berbakti kepada Bapa yang kekal.
Maka, benarlah bahwa liturgi dipandang sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus. Di dalam liturgi, dengan tanda-tanda lahiriah,  pengudusan manusia dilambangkan dan dihasilkan dengan cara yang sesuai dengan masing-masing tanda ini; di dalam Liturgi, seluruh ibadat publik dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya.
Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama.

8. (Liturgi di dunia ini dan Liturgi di Surga)

Dalam liturgi di dunia ini kita ikut mencicipi liturgi surgawi, yang dirayakan di kota suci Yerusalem, tujuan peziarahan kita. Di sana Kristus duduk di sisi kanan Allah, sebagai pelayan tempat tersuci dan kemah yang sejati[22] . Bersama dengan segenap bala tentara surgawi kita melambungkan kidung kemuliaan kepada Tuhan. Sementara menghormati dan mengenangkan para Kudus kita berharap akan ikut serta dalam persekutuan dengan mereka. Kita mendambakan Tuhan kita Yesus Kristus penyelamat kita, sampai Ia sendiri, hidup kita, akan nampak, dan kita akan nampak bersama dengan-Nya dalam kemuliaan[23] .

9. (Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja)

Liturgi suci tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebab sebelum manusia dapat mengikuti liturgi, ia perlu dipanggil untuk beriman dan bertobat: “bagaimana ia akan berseru kepada Dia yang tidak mereka imani? Atau bagaimana mereka akan mengimani-Nya bila mereka tidak mendengar tentang Dia? Dan bagaimana mereka akan mendengar bila tidak ada pewarta? Lalu bagaimana mereka akan mewartakan kalau tidak diutus?” (Rom 10:14-15).
Oleh karena itu Gereja mewartakan berita keselamatan kepada kaum tak beriman, supaya semua orang mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya lalu bertobat dari jalan hidup mereka seraya menjalankan ulah tapa[24] . Tetapi kepada Umat beriman pun Gereja selalu wajib mewartakan iman dan pertobatan; selain itu harus menyiapkan mereka untuk menerima sakramen-sakramen, mengajar mereka mengamalkan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Kristus[25] , dan mendorong mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Berkat karya-karya itu akan menjadi jelas bahwa kaum beriman Kristiani memang bukan dari dunia ini, melainkan menjadi terang dunia dan memuliakan Bapa di hadapan orang-orang.

10. (Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja)

Akan tetapi liturgi itu puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala daya-kekuatannya. Sebab usah-usaha kerasulan mempunyai tujuan ini: supaya semua orang melalui iman dan baptis menjadi putera-putera Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam Kurban dan menyantap perjamuan Tuhan.
Di lain pihak liturgi sendiri mendorong umat beriman, supaya sesudah dipuaskan “dengan Sakramen-sakramen Paska menjadi sehati-sejiwa dalam kasih”[26] . Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman”[27] . Adapun pembaharuan perjanjian Tuhan dengan manusia dalam Ekaristi menarik dan mengobarkan Umat beriman dalam cinta kasih Kristus yang membara. Jadi dari liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya.

11. (Perlunya persiapan pribadi)

Akan tetapi supaya hasil guna itu diperoleh sepenuhnya, Umat beriman perlu datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya[28] . Maka dari itu hendaklah para gembala rohani memperhatikan dengan seksama, supaya dalam kegiatan liturgi jangan hanya dipatuhi hukum-hukumnya untuk merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya umat beriman ikut merayakannya dengan sadar, aktif dan penuh makna.

12. (Liturgi dan ulah kesalehan)

Akan tetapi hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam liturgi. Sebab semua manusia Kristiani; yang memang dipanggil untuk berdoa bersama, toh harus memasuki biliknya juga untuk berdoa kepada Bapa di tempat yang tersembunyi[29] . Bahkan menurut amanat Rasul (Paulus) ia harus berkajang dalam doa[30] . Dan Rasul itu juga mengajar, supaya kita selalu membawa kematian Yesus dalam tubuh kita, supaya hidup Yesus pun menjadi nyata dalam daging kita yang fana[31] . Maka dari itu dalam kurban Misa kita memohon kepada Tuhan, supaya dengan menerima persembahan kurban rohani, Ia menyempurnakan kita sendiri menjadi kurban abadi bagi diri-Nya[32] .

13.

Ulah kesalehan Umat kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atau penetapan Takhta Apostolik.
Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan.
Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa liturgi, ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada liturgi, dan menghantar Umat kepadaNya; sebab menurut hakikatnya hal besar liturgi memang jauh unggul dari semua ulah kesalehan itu.

II. PENDIDIKAN LITURGI DAN KEIKUTSERTAAN AKTIF

14.

Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi. Keikutsertaan seperti itu dituntut oleh liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban umat kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9; Lih. 2:4-5).
Dalam pembaharuan dan pengembangan liturgi suci keikutsertaan segenap Umat secara penuh dan aktif itu perlu beroleh perhatian yang terbesar. Sebab bagi kaum beriman merupakan sumber utama yang tidak tergantikan, untuk menimba semangat kristiani yang sejati. Maka dari itu dalam seluruh kegiatan pastoral mereka para gembala jiwa harus mengusahakannya dengan rajin melalui pendidikan yang seperlunya.
Akan tetapi supaya itu tercapai tiada harapan lain kecuali bahwa lebih dahulu para gembala jiwa sendiri secara mendalam diresapi semangat dan daya liturgi, serta menjadi mahir untuk memberi pendidikan liturgi. Oleh karena itu sangat perlulah bahwa pertama-tama pendidikan liturgi klerus dimantapkan. Maka Konsili suci memutuskan ketetapan-ketetapan berikut.

15. (Pembinaan para dosen Liturgi)

Para dosen, yang ditugaskan untuk mengajarkan mata kuliah Liturgi di seminari-seminari, rumah-rumah pendidikan para religius dan fakultas-fakultas teologi, perlu dididik dengan sungguh-sungguh di lembaga-lembaga yang secara istimewa diperuntukkan bagi tujuan itu, untuk menunaikan tugas mereka.

16. (Pendidikan Liturgi kaum rohaniwan)

Di seminari-seminari dan di rumah-rumah pendidikan para religius mata kuliah Liturgi harus dipandang sebagai mata kuliah wajib dan penting, sedangkan di fakultas-fakultas teologi sebagai salah satu mata kuliah utama. Mata kuliah Liturgi hendaknya diajarkan dari segi teologi dan sejarah maupun dari segi hidup rohani, pastoral dan hukum. Selain itu hendaklah para dosen mata kuliah lain-lainnya, terutama teologi dogmatis, Kitab suci, teologi hidup rohani dan pastoral, – dengan bertolak dari persyaratan intrinsik masing-masing pokok bahasan, -menguraikan misteri Kristus dan sejarah keselamatan sedemikian rupa, sehingga jelas-jelas nampak hubungannya dengan liturgi dan keterpaduan pembinaan iman.

17.

Hendaklah para rohaniwan di seminari-seminari maupun di rumah-rumah religius, mendapat pembinaan liturgis demi hidup rohani mereka, baik melalui bimbingan yang memadai untuk memahami upacara-upacara suci sendiri, pun juga melalui ulah kesalehan lainnya yang diresapi oleh semangat liturgi. Begitu pula hendaklah mereka belajar mematuhi hukum-hukum liturgi, sehingga kehidupan di seminari-seminari dan tarekat-tarekat religius dirasuki semangat liturgi secara mendalam.

18.

Hendaklah para imam baik diosesan maupun religius, yang sudah berkarya di kebun anggur Tuhan, dibantu dengan segala upaya yang memadai, supaya mereka semakin mendalam memahami apa yang mereka laksanakan dalam pelayanan-pelayanan suci, menghayati hidup liturgis, dan menyalurkannya kepada Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka.

19. (Pembinaan kaum Liturgis beriman)

Hendaklah para gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan liturgi kaum beriman serta secara aktif, baik lahir maupun batin, sesuai dengan umur, situasi, corak hidup dan taraf perkembangan religius mereka. Dengan demikian mereka menunaikan salah satu tugas utama pembagi misteri-misteri Allah yang setia. Dalam hal ini hendaklah mereka membimbing kawanan mereka bukan saja dengan kata-kata, melainkan juga dengan teladan.

20. (Sarana-sarana audio-visual dan perayaan liturgi)

Siaran-siaran upacara suci melalui radio dan televisi, terutama bila meliput perayaan Ekaristi, hendaklah berlangsung dengan bijak dan penuh hormat, di bawah bimbingan dan tanggung jawab seorang ahli, yang ditunjuk oleh para Uskup untuk tugas itu.

III. PEMBAHARUAN LITURGI

21.

Supaya lebih terjamin lah bahwa Umat kristiani memperoleh rahmat berlimpah dalam liturgi suci, Bunda Gereja yang penuh kasih ingin mengusahakan dengan seksama pembaharuan umum liturgi sendiri. Sebab dalam liturgi terdapat unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan oleh Allah, maupun unsur-unsur yang dapat berubah, yang di sepanjang masa dapat atau bahkan mengalami perubahan, sekiranya mungkin telah disusupi hal-hal yang kurang serasi dengan inti hakikat liturgi sendiri, atau sudah menjadi kurang cocok. Adapun dalam pembaharuan itu naskah-naskah dan upacara-upacara harus diatur sedemikian rupa, sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkan. Dengan demikian Umat kristiani sedapat mungkin menangkapnya dengan mudah, dan dapat ikut serta dalam perayaan secara penuh, aktif dan dengan cara yang khas bagi jemaat. Maka Konsili suci menetapkan norma-norma berikut yang lebih bersifat umum.

A. Kaidah-kaidah umum

22. (Pengaturan Liturgi)

(1) Wewenang untuk mengatur liturgi semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada uskup.
(2) Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur perkara-perkara liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada pelbagai macam Konferensi Uskup se-daerah yang didirikan secara sah.
(3) Maka dari itu tidak seorang lainnya pun, meskipun imam, boleh menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa sendiri.

23. (Tradisi dan perkembangan)

Supaya tradisi yang sehat dipertahankan, namun dibuka jalan juga bagi perkembangan yang wajar, hendaknya selalu diadakan lebih dulu penyelidikan teologis, historis, dan pastoral, yang cermat tentang setiap bagian liturgi yang perlu ditinjau kembali. Kecuali itu hendaklah dipertimbangkan baik patokan-patokan umum tentang susunan dan makna liturgi, maupun pengalaman yang diperoleh dari pembaharuan liturgi belakangan ini serta dari izin-izin yang diberikan di sana-sini. Akhirnya janganlah kiranya diadakan hal-hal baru, kecuali bila sungguh-sungguh dan pasti dituntut oleh kepentingan Gereja; dan dalam hal ini hendaknya diusahakan dengan cermat, agar bentuk-bentuk baru itu bertumbuh secara kurang lebih organis dari bentuk-bentuk yang sudah ada. Sedapat mungkin hendaknya dicegah juga, jangan sampai ada perbedaan-perbedaan yang menyolok dalam upacara-upacara di daerah-daerah yang berdekatan.

24. (Kitab suci dan Liturgi)

Dalam perayaan liturgi Kitab suci sangat penting. Sebab dari Kitab sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah liturgi; daripadanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti ditunjukkan oleh tradisi luhur ritus Timur maupun ritus Barat.

25. (Peninjauan kembali buku-buku Liturgi)

Hendaknya buku-buku liturgi selekas mungkin ditinjau kembali, dengan meminta bantuan para ahli dan berkonsultasi dengan para Uskup di pelbagai kawasan dunia.

B. Kaidah-kaidah berdasarkan hakikat liturgi sebagai tindakan Hirarki dan jemaat

26.

Upacara-upacara liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni Umat kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para Uskup[33] . Maka upacara-upacara itu menyangkut seluruh Tubuh Gereja dan menampakkan serta mempengaruhinya; sedangkan masing-masing anggota disentuhnya secara berlain-lainan, menurut keanekaan tingkatan, tugas serta keikutsertaan aktual mereka.

27. (Perayaan bersama)

Setiap kali suatu upacara, menurut hakikatnya yang khas, diselenggarakan sebagai perayaan bersama, dengan dihadiri banyak Umat yang ikut-serta secara aktif, hendaknya ditandaskan, agar bentuk itu sedapat mungkin diutamakan terhadap upacara perorangan yang seolah-olah bersifat pribadi. Terutama itu berlaku bagi perayaan Misa, tanpa mengurangi kenyataan, bahwa setiap Misa pada hakikatnya sudah bersifat resmi dan umum, begitu pula bagi pelayanan Sakramen-sakramen.

28. (Martabat perayaan)

Pada perayaan-perayaan liturgi setiap anggota, entah pelayan (pemimpin) entah Umat, hendaknya dalam menunaikan tugas hanya menjalankan, dan melakukan seutuhnya, apa yang menjadi perannya menurut hakikat perayaan serta kaidah-kaidah liturgi.

29.

Juga para pelayan Misa (putera altar), para lektor, para komentator dan para anggota paduan suara benar-benar menjalankan pelayanan liturgis. Maka hendaknya mereka menunaikan tugas dengan saleh, tulus dan saksama, sebagaimana layak untuk pelayanan seluhur itu, dan sudah semestinya dituntut dari mereka oleh Umat Allah. Maka perlulah mereka secara mendalam diresapi semangat liturgi, masing-masing sekadar kemampuannya, dan dibina untuk membawakan peran mereka dengan tepat dan rapih.

30. (Keikut-sertaan aktif Umat beriman)

Untuk meningkatkan keikutsertaan aktif, hendaknya aklamasi oleh Umat, jawaban-jawaban, pendarasan mazmur, antifon-antifon dan lagu-lagu, pun pula gerak-gerik, peragaan serta sikap badan dikembangkan. Pada saat yang tepat hendaklah diadakan juga saat hening yang khidmat.

31.

Dalam meninjau kembali buku-buku liturgi hendaklah diperhatikan dengan saksama, supaya rubrik-rubrik juga mengatur peran Umat beriman.

32. (Liturgi dan kelompok-kelompok sosial)

Kecuali perbedaan berdasarkan tugas liturgi dan Tahbisan suci, dan selain penghormatan yang menurut kaidah-kaidah liturgi harus diberikan kepada para pemuka-pemuka masyarakat, janganlah diberikan kedudukan istimewa kepada pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu, baik dalam upacara maupun dengan penampilan lahiriah.

C. Kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral liturgi

33.

Meskipun liturgi suci terutama merupakan ibadat kepada Keagungan Ilahi, namun mencakup banyak pengajaran juga bagi Umat beriman[34] . Sebab dalam liturgi Allah bersabda kepada Umat-Nya; Kristus masih mewartakan Injil. Sedangkan Umat menanggapi Allah dengan nyanyian-nyanyian dan doa.
Bahkan bila imam, yang selaku wakil Kristus memimpin jemaat, memanjatkan doa-doa kepada Allah, doa-doa itu diucapkan atas nama segenap Umat suci dan semua orang yang hadir. Adapun lambang-lambang lahir, yang digunakan dalam liturgi suci untuk menandakan hal-hal ilahi yang tidak nampak, dipilih oleh Kristus atau Gereja. Oleh karena itu bukan hanya bila dibacakan “apa yang telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita” (Rom 15:4), melainkan juga sementara Gereja berdoa atau bernyanyi atau melakukan sesuatu, dipupuklah iman para peserta, dan hati mereka diangkat kepada Allah, untuk mempersembahkan penghormatan yang wajar kepada-Nya, dan menerima rahmat-Nya secara lebih melimpah.
Maka dari iru dalam mengadakan pembaharuan kaidah-kaidah umum berikut harus dipatuhi.

34. (Keserasian upacara-upacara)

Hendaklah upacara-upacara bersifat sederhana namun luhur, singkat, jelas, tanpa pengulangan-pengulangan yang tiada gunanya. Hendaknya disesuaikan dengan daya tangkap Umat beriman, dan pada umumnya jangan sampai memerlukan banyak penjelasan.

35. (Kitab suci, pewartaan dan katekese dalam liturgi)

Supaya nampak dengan jelas bahwa dalam liturgi upacara dan sabda berhubungan erat, maka :
(1) Dalam perayaan-perayaan suci hendaknya dimasukkan bacaan Kitab suci yang lebih banyak, lebih bervariasi dan lebih sesuai.
(2) Dalam rubrik-rubrik hendaknya dicatat juga, sejauh tata upacara mengizinkan, saat yang lebih tepat untuk khotbah, sebagai bagian perayaan liturgi. Dan pelayanan pewartaan hendaknya dilaksanakan dengan amat tekun dan saksama. Bahannya terutama hendaklah bersumber pada Kitab suci dan liturgi, sebab khotbah merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgi.
(3) Dengan segala cara hendaknya diusahakan pula katekese yang secara lebih langsung bersifat liturgis; dan dalam upacara-upacara sendiri bila perlu, hendaklah disampaikan ajakan-ajakan singkat oleh imam atau pelayan (petugas) yang berwenang. Tetapi ajakan-ajakan itu hendaknya hanya disampaikan pada saat-saat yang cocok, menurut teks yang sudah ditentukan atau dengan kata-kata yang senada.
(4) Hendaknya dikembangkan perayaan Sabda Allah pada malam menjelang hari-hari raya agung, pada beberapa hari biasa dalam masa Adven dan Prapaska, begitu pula pada hari-hari minggu dan hari-hari raya, terutama di tempat-tempat yang tiada imamnya. Dalam hal itu perayaan hendaknya dipimpin oleh diakon atau orang lain yang diberi wewenang oleh Uskup.

36. (Bahasa Liturgi)

(1) Penggunaan bahasa latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus lain, meskipun ketentuan-ketentuan hukum khusus tetap berlaku.
(2) Akan tetapi dalam Misa, dalam pelayanan Sakramen-sakramen maupun bagian-bagian liturgi lainnya, tidak jarang penggunaan bahasa pribumi dapat sangat bermanfaat bagi Umat. Maka seyogyanyalah diberi kelonggaran yang lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan dan ajakan-ajakan, dan berbagai doa dan nyanyian, menurut kaidah-kaidah yang mengenai hal itu ditetapkan secara tersendiri dalam bab-bab berikut.
(3) Sambil mematuhi kaidah-kaidah itu, pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut pada artikel 22: (2), menetapkan apakah dan bagaimanakah bahasa pribumi digunakan, bila perlu hendaknya ada konsultasi dengan para Uskup tetangga dikawasan yang menggunakan bahasa yang sama. Ketetapan itu memerlukan persetujuan atau pengesahan dari Takhta Apostolik.
(4) Terjemahan teks latin kedalam bahasa pribumi, yang hendak digunakan dalam liturgi, harus disetujui oleh pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti tersebut di atas.

D. Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan liturgi dengan tabiat perangai dan tradisi bangsa-bangsa

37.

Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli.

38.

Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya diberi ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa, terutama di daerah-daerah Misi, juga bila buku-buku liturgi ditinjau kembali. Hal itu hendaklah diperhatikan dengan baik dalam penyusunan upacara-upacara dan penataan rubrik-rubrik.

39.

Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik buku-buku liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22, (2), berhak untuk memerinci penyesuaian-penyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam konsultasi ini.

40.

Tetapi di pelbagai tempat dan situasi, mendesaklah penyesuaian liturgi secara lebih mendalam; karena itu juga menjadi lebih sukar. Maka :
(1) Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti dalam art. 22, (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi. Penyesuaian-penyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang perlu, hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam liturgi.
(2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya, maka Takhta Apostolik akan memberi wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk – bila perlu – dalam beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan.
(3) Ketetapan-ketetapan tentang liturgi biasanya menimbulkan kesulitan-kesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan.

IV. PEMBINAAN KEHIDUPAN LITURGI DALAM KEUSKUPAN DAN PAROKI.

41. (Kehidupan Liturgi dalam keuskupan)

Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Kehidupan Umatnya yang beriman dalam Kristus bersumber dan tergantung dengan cara tertentu dari padanya.
Maka dari itu semua orang harus menaruh penghargaan amat besar terhadap kehidupan liturgi keuskupan di sekitar Uskup, terutama di gereja katedral. Hendaknya mereka yakin, bahwa penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh Umat kudus Allah dalam perayaan liturgi yang sama, terutama dalam satu Ekaristi, dalam satu doa, pada satu altar, dipimpin oleh Uskup yang dikelilingi oleh para imam serta para pelayan lainnya[35] .

42. (Kehidupan Liturgi dalam Paroki)

Dalam Gerejanya Uskup tidak dapat selalu atau dimana-mana memimpin sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah ia membentuk kelompok-kelompok orang beriman, diantaranya yang terpenting yakni paroki-paroki, yang di setiap tempat dikelola di bawah seorang pastor yang mewakili Uskup. Sebab dalam arti tertentu paroki menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan.
Maka dari itu hendaknya kehidupan liturgi paroki serta hubungannya dengan Uskup dipupuk dalam hati dan praktik jemaat beriman serta para rohaniwan. Hendaknya diusahakan, supaya jiwa persekutuan dalam paroki berkembang, terutama dalam perayaan Misa Umat pada hari Minggu.

V. PENGEMBANGAN PASTORAL LITURGI

43. (Pembaharuan Liturgi, rahmat Roh Kudus)

Usaha mengembangkan dan membaharui liturgi suci memang tepat dipandang sebagai tanda penyelenggaraan Allah atas zaman kita, sebagai gerakan Roh Kudus dalam Gerejanya. Dan usaha itu menandai kehidupan Gereja-Nya. Dan usaha itu menandai kehidupan Gereja, bahkan seluruh cara berpandangan dan bertindak religius zaman kita ini dengan ciri yang khas. Maka untuk makin mengembangkan kegiatan pastoral liturgis dalam Gereja, Konsili suci memutuskan:

44. (Komisi Liturgi nasional)

Sebaiknya pemimpin gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22, (2), mendirikan Komisi Liturgi, yang harus didampingi oleh orang-orang ahli dalam ilmu liturgi, musik serta kesenian liturgi, dan di bidang pastoral. Komisi itu sedapat mungkin hendaknya dibantu oleh suatu Lembaga Liturgi Pastoral, yang terdiri dari anggota-anggota yang mahir di bidang itu, bila perlu juga awam.
Di bawah ini bimbingan pimpinan gerejawi setempat, seperti tersebut di atas, komisi itu bertugas membina kegiatan pastoral liturgis dalam kawasannya, dan memajukan studi serta eksperimen-eksperimen yang perlu, kapan saja ada penyesuaian-penyesuaian yang perlu diajukan kepada Takhta Apostolik.

45. (Komisi Liturgi Keuskupan)

Begitu pula di setiap keuskupan hendaknya ada Komisi Liturgi untuk memajukan kegiatan liturgis di bawah bimbingan Uskup.
Ada kalanya dapat berguna, bila berbagai keuskupan mendirikan satu komisi, untuk mengembangkan liturgi melalui musyawarah bersama.

46. (Komisi-komisi lain)

Selain Komisi Liturgi, hendaknya di setiap keuskupan sedapat mungkin didirikan Komisi Musik Liturgi dan Komisi Kesenian Liturgi.
Penting sekali bahwa ketiga Komisi itu bekerja sama secara terpadu; bahkan tidak jarang akan lebih cocok bahwa ketiganya berpadu menjadi satu komisi.

BAB DUA – MISTERI EKARISTI SUCI

47. (Ekaristi suci dan misteri Paska)

Pada perjamuan terakhir, pada malam ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabdikan Kurban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-nya: sakramen cinta kasih, lambang kesatuan, ikatan cinta kasih[36] , perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang[37] .

48. (Keikutsertaan aktif kaum beriman)

Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari – berkat perantaraan Kristus[38] – makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua.

49.

Maka dari itu, dengan memperhatikan perayaan Ekaristi yang dihadiri Umat, terutama pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib, Konsili suci menetapkan hal-hal berikut, supaya kurban Misa, pun juga bentuk upacara-upacaranya, mencapai hasil guna pastoral yang sepenuhnya.

50. (Peninjauan kembali Tata perayaan Ekaristi)

Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannya satu dengan yang lain. Dengan demikian Umat beriman akan lebih mudah ikut-serta dengan khidmat dan aktif.
Maka dari itu hendaknya upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu nampaknya memang berguna atau perlu.

51. (Supaya Ekaristi diperkaya dengan sabda Kitab suci)

Agar santapan sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar, sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting Kitab suci dibacakan kepada Umat.

52. (Homili)

Homili sebagai bagian liturgi sendiri sangat dianjurkan. Di situ hendaknya sepanjang tahun liturgi diuraikan mister-misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab suci. Oleh karena itu dalam Misa hari Minggu dan hari raya wajib yang dihadiri Umat homili jangan ditiadakan, kecuali bila ada alasan yang berat.

53. (Doa Umat)

Hendaknya sesudah Injil dan homili, terutama pada hari Minggu dan hari raya wajib, diadakan lagi Doa Umat atau Doa kaum beriman, supaya bersama dengan Umat dipanjatkanlah doa-doa permohonan bagi Gereja kudus, bagi para pejabat pemerintah, bagi mereka yang sedang tertekan oleh pelbagai kebutuhan, dan bagi semua orang serta keselamatan seluruh dunia[39] .

54. (Bahasa Latin dan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi)

Sesuai dengan artikel 36 konstitusi ini, dalam Misa suci yang dirayakan bersama Umat bahasa pribumi dapat diberi tempat yang sewajarnya, terutama dalam bacaan-bacaan dan doa Umat, dan – sesuai dengan situasi setempat – juga dalam bagian-bagian yang menyangkut Umat.
Tetapi hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau menyanyikan dalam bahasa latin juga bagian-bagian Misa yang tetap yang menyangkut mereka.
Namun bila pemakaian bahasa pribumi yang lebih luas dalam Misa nampaknya cocok, hendaknya ditepati peraturan art. 40 Konstitusi ini.

55. (Komuni suci, puncak keikutsertaan dalam Misa suci; Komuni dua rupa)

Dianjurkan dengan sangat partisipasi Umat yang lebih sempurna dalam Misa, dengan menerima Tubuh Tuhan dari Kurban itu juga sesudah imam menyambut Komuni.
Atas kebijaksanaan para Uskup, Komuni dua rupa dapat diizinkan baik bagi kaum rohaniwan dan religius, maupun bagi kaum awam, dalam hal-hal yang perlu ditentukan oleh Takhta suci, misalnya bagi para tahbisan baru dalam Misa pentahbisan mereka, bagi para prasetyawan dalam Misa pengikraran kaul-kaul religius, bagi para baptisan baru dalam Misa sesudah pembaptisan. Dalam hal itu prinsip-prinsip dogmatis Konsili Trente[40] hendaknya tetap dipertahankan.

56. (Kesatuan Misa)

Misa suci dapat dikatakan terdiri dari dua bagian, yakni liturgi sabda dan liturgi Ekaristi. Keduanya begitu erat berhubungan, sehingga merupakan satu tindakan ibadat. Maka Konsili suci dengan sangat mengajak para gembala jiwa, supaya mereka dalam menyelenggarakan katekese dengan tekun mengajarkan agar Umat beriman menghadiri seluruh Misa, terutama pada hari Minggu dan hari raya wajib.

57. (Konselebrasi)

1. Konselebrasi sungguh cocok untuk menampakkan kesatuan imamat. Hingga sekarang konselebrasi tetap masih dijalankan dalam Gereja Timur maupun Barat.
Maka Konsili berkenan memperluas izin untuk berkonselebrasi sehingga meliputi kesempatan-kesempatan berikut:
1) a). pada hari Kamis Putih, baik dalam Misa Krisma maupun dalam Misa sore Perjamuan Tuhan;
b). pada Misa suci selama Konsili, sidang Konferensi Uskup dan sidang Sinode;
c). pada Misa suci pelantikan seorang Abas.
2) Selain itu, seizin Uskup setempat, yang berwenang menilai baik tidaknya mengadakan konselebrasi:
a) pada Misa komunitas biara dan pada Misa utama dalam gereja-gereja, bila demi kepentingan Umat
beriman tidak diinginkan, bahwa semua imam yang hadir mempersembahkan Misa sendiri-sendiri;
b) pada Misa dalam pertemuan manapun juga, yang dihadiri para imam diosesan maupun religius;
2. 1). Adalah wewenang Uskup untuk mengatur tata cara konselebrasi di keuskupannya.
2). Namun hendaknya setiap imam tetap diperbolehkan mengorbankan Misa sendiri, asal jangan pada saat
yang bersamaan dalam gereja yang sama; juga asal jangan pada hari Kamis Putih Perjamuan Tuhan.

58.

Hendaknya disusun upacara konselebrasi yang baru, dan disisipkan dalam buku Pontificale dan dalam buku Missale Romanum.

BAB TIGA – SAKRAMEN-SAKRAMEN LAINNYA DAN SAKRAMENTALI

59. (Hakikat Sakramen)

Sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah. Tetapi sebagai tanda sakramen juga dimaksudkan untuk mendidik. Sakramen tidak hanya mengandaikan iman, melainkan juga memupuk, meneguhkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan benda. Maka juga disebut sakramen iman. Memang sakramen memperolehkan rahmat, tetapi perayaan sakramen itu sendiri juga dengan amat baik menyiapkan kaum beriman untuk menerima rahmat itu yang membuahkan hasil nyata, untuk menyembah Allah secara benar, dan untuk mengamalkan cinta kasih.
Maka dari itu sangat pentinglah bahwa Umat beriman dengan mudah memahami lambang-lambang Sakramen, dan dengan sepenuh hati sering menerima Sakramen-sakramen, yang diadakan untuk memupuk hidup Kristiani.

60. (Sakramentali)

Selain itu Bunda Gereja kudus telah mengadakan sakramentali, yakni tanda-tanda suci, yang memiliki kemiripan dengan Sakramen-sakramen. Sakramentali itu menandakan kurnia-kurnia, terutama yang bersifat rohani, dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Melalui sakramentali itu hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama Sakramen-sakramen dan pelbagai situasi hidup disucikan.

61. (Nilai pastoral liturgi; hubungannya dengan misteri Paska)

Dengan demikian berkat liturgi Sakramen-sakramen dan sakramentali bagi kaum beriman yang hatinya sungguh siap hampir setiap peristiwa hidup dikuduskan dengan rahmat ilahi yang mengalir dari misteri Paska Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Kristus. Dari misteri itulah semua Sakramen dan sakramentali menerima daya kekuatannya. Dan bila manusia menggunakan benda-benda dengan pantas, boleh dikatakan tidak ada satupun yang tak dapat dimanfaatkan untuk menguduskan manusia dan memuliakan Allah.

62. (Perlunya meninjau kembali upacara Sakramen-sakramen)

Akan tetapi dalam perjalanan sejarah ada beberapa hal yang menyusupi upacara Sakramen-sakramen dan sakramentali, sehingga hakikat serta tujuannya menjadi kurang jelas bagi kita sekarang. Oleh karena itu perlulah beberapa hal dalam upacara itu disesuaikan dengan kebutuhan zaman kita. Maka Konsili suci menetapkan pokok-pokok pembaharuan berikut.

63. (Bahasa; Rituale Romawi dan rituale khusus)

Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali tidak jarang pemakaian bahasa pribumi dapat sangat berguna bagi Umat. Maka hendaknya bahasa pribumi digunakan secara lebih luas menurut kaidah-kaidah berikut:
Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali dapat digunakan bahasa pribumi menurut kaidah art. 36. menurut terbitan baru Rituale Romawi hendaknya oleh pimpinan Gereja setempat yang berwenang menurut art. 22 (2) Konstitusi ini selekas mungkin disiapkan rituale-rituale khusus yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah juga mengenai bahasanya. Dan hendaknya rituale-rituale itu digunakan di daerah-daerah yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Takhta Apostolik. Tetapi dalam menyusun rituale atau kumpulan khas upacara-upacara itu janganlah diabaikan petunjuk-petunjuk yang tercantum dalam Rituale Romawi untuk setiap upacara, entah yang bersifat pastoral dan berupa rubrik, entah yang mempunyai makna sosial istimewa.

64. (Katekumenat)

Katekumenat bertahap untuk orang dewasa hendaklah dihidupkan lagi dan dilaksanakan menurut kebijaksanaan Uskup setempat. Dengan demikian masa katekumenat, yang dimaksudkan untuk pembinaan yang memadai, dapat disucikan dengan merayakan upacara-upacara suci secara berturut-turut.

65.

Selain apa yang terdapat dalam tradisi kristiani, di daerah-daerah Misi boleh dimasukkan juga unsur-unsur inisiasi yang terdapat sebagai kebiasaan masing-masing bangsa, sejauh itu dapat disesuaikan dengan upacara kristiani, menurut kaidah art. 37 – 40 Konstitusi ini.

66. (Peninjauan kembali upacara baptis)

Kedua bentuk upacara pembaptisan orang dewasa, maupun – dengan memperhatikan katekumenat yang diperbaharui – yang meriah, hendaknya ditinjau kembali. Selain itu kedalam Misal Romawi hendaknya dimasukkan Misa khusus: Pada upacara pembaptisan.

67.

Upacara pembaptisan kanak-kanak hendaknya ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kenyataan bahwa yang dibaptis itu masih bayi. Dalam upacara itu hendaknya menjadi lebih jelas peran orang tua dan orangtua baptis beserta tugas-tugas mereka.

68.

Hendaknya dalam upacara Baptis diadakan penyesuaian-penyesuaian menurut kebijaksanaan Uskup setempat, bila banyak orang meminta dibaptis. Begitu pula hendaknya disusun Tata upacara yang lebih ringkas, yang terutama di daerah-daerah Misi dapat dipakai oleh para katekis, dan pada umumnya juga dalam bahaya maut oleh kaum beriman, bila tiada imam atau diakon.

69.

Untuk menggantikan apa yang disebut Tata laksana untuk melengkapi apa yang dilewati dalam pembaptisan kanak-kanak hendaknya disusun upacara baru, supaya secara lebih jelas dan memadai dinyatakan bahwa kanak-kanak yang telah dibaptis dengan rumus singkat sudah diterima ke dalam Gereja.
Begitu pula hendaknya disusun upacara baru untuk mereka yang sudah dibaptis secara sah, lalu hendak berpindah masuk Gereja katolik yang kudus, untuk menyatakan, bahwa mereka diterima ke dalam persekutuan Gereja.

70.

Di luar masa Paska air baptis dapat diberkati dalam upacara Baptis sendiri dengan rumus lebih singkat yang sudah disahkan.

71. (Peninjauan kembali upacara sakramen Krisma)

Upacara Krisma hendaknya ditinjau kembali juga supaya lebih nampak jelas hubungan erat Sakramen itu dengan seluruh inisiasi kristiani. Maka dari itu pembaharuan janji-janji Baptis seyogyanya mendahului penerimaan Sakramen Krisma.
Bila ada kesempatan baik, penerimaan Krisma dapat diselenggarakan dalam Misa suci. Sedangkan mengenai upacara di luar Misa, hendaknya disediakan upacara pendahuluan.

72. (Peninjauan kembali upacara Tobat)

Upacara dan rumus untuk Sakramen Tobat hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga hakikat dan buah Sakramen terungkap secara lebih jelas.

73. (Peninjauan kembali upacara Pengurapan Orang Sakit)

“Pengurapan terakhir”, atau lebih tepat lagi disebut “Pengurapan Orang Sakit”, bukanlah Sakramen bagi mereka yang berada diambang kematian saja. Maka saat yang baik untuk menerimanya pasti sudah tiba, bila orang beriman mulai ada dalam bahaya maut karena menderita sakit atau sudah lanjut usia.

74.

Selain upacara Pengurapan Orang Sakit dan upacara Komuni bekal suci secara terpisah, hendaknya disusun Tata upacara berkesinambungan, yang mencantumkan penerimaan Pengurapan Orang Sakit sesudah Sakramen Tobat dan sebelum Komuni bekal suci.

75.

Jumlah pengurapan hendaknya disesuaikan dengan keadaan si penderita, dan doa-doa yang termasuk upacara Pengurapan Orang Sakit hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga cocok dengan pelbagai keadaan para penderita yang menerima Sakramen.

76. (Peninjauan kembali Sakramen Tahbisan)

Upacara Tahbisan hendaknya ditinjau kembali baik tata-laksananya maupun naskahnya. Amanat Uskup, pada awal Tahbisan imam atau Tahbisan Uskup, dapat disampaikan dalam bahasa pribumi. Dalam Tahbisan Uskup penumpangan tangan boleh dilakukan oleh semua Uskup yang hadir.

77. (Peninjauan kembali Sakramen Perkawinan)

Upacara perayaan Perkawinan, yang terdapat dalam Rituale Romawi, hendaknya ditinjau kembali dan diperkaya, sehingga lebih jelas dilambangkan rahmat Sakramen serta tugas-tugas suami – istri.
“Konsil suci sangat mengharapkan, supaya – sekiranya ada wilayah-wilayah yang dalam merayakan Sakramen Perkawinan mempunyai adat-kebiasaan atau upacara-upacara lain yang layak dipuji, – itu dipertahankan sepenuhnya”[41] .
Kecuali itu pimpinan gerejawi setempat, seperti disebut dalam art. 22, (2) Konstitusi ini, berwenang menyusun upacara khusus yang sesuai dengan adat kebiasaan daerah-daerah serta bangsa-bangsa, menurut kaidah art. 63, dengan tetap mempertahankan hukum, bahwa iman yang menjadi saksi menanyakan dan menerima persetujuan mereka yang menikah.

78.

Pada umumnya upacara perkawinan hendaknya dilangsungkan dalam Misa suci, sesudah pembacaan Injil dan Homili, sebelum Doa Umat. Doa atas mempelai wanita hendaknya, dipugar dengan baik, sehingga mencantumkan dengan jelas bahwa kedua mempelai sama-sama mempunyai kewajiban untuk saling setia. Doa itu dapat diucapkan dalam bahasa pribumi.
Tetapi bila Sakramen Perkawinan dirayakan tanpa Misa, hendaknya pada awal upacara dibacakan Epistola dan Injil Misa untuk mempelai, dan berkat mempelai hendaknya selalu diberikan.

79. (Peninjauan kembali sakramentali)

Hendaknya sakramentali ditinjau kembali dengan mengindahkan kaidah-kaidah dasar tentang keikut-sertaan kaum beriman secara sadar dan aktif dan dengan mudah, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan zaman kita. Dalam meninjau kembali buku-buku Kumpulan Upacara (rituale) menurut kaidah art. 63, dapat ditambahkan juga sakramentali baru sejauh diperlukan.
Pemberkatan-pemberkatan dengan kuasa khusus hendaknya sesedikit mungkin, dan hanya diperuntukan bagi para Uskup dan pimpinan gerejawi.
Hendaknya diusahakan agar beberapa sakramentali dapat dilayani oleh para awam yang pantas untuk tugas itu, sekurang-kurangnya dalam keadaan-keadaan istimewa dan sesuai dengan kebijakan Uskup.

80. (Pengikraran kaul religius)

Upacara Prasetya para Perawan, yang terdapat dalam Pontifikale Romawi, hendaknya ditinjau kembali.
Selain itu hendaknya disusun upacara pengikraran kaul religius dan pembaharuan kaul-kaul, meningkatkan keutuhan, kesederhanaan dan keluhuran upacara. Upacara itu hendaknya dilaksanakan oleh mereka, yang mengikrarkan atau membaharui kaul-kaul dalam Misa. Hukum khas tetap dipertahankan.
Sangat dianjurkan supaya pengikraran kaul religius dilaksanakan dalam Misa.

81. (Peninjauan kembali upacara pemakaman)

Upacara pemakaman hendaknya mengungkapkan dengan lebih jelas ciri Paska kematian Kristiani, dan hendaknya lebih disesuaikan dengan situasi dan adat-istiadat masing-masing daerah, termasuk mengenai warna liturginya.

82.

Hendaknya upacara penguburan anak-anak ditinjau kembali, dan disusun rumus Misa yang khusus.

BAB EMPAT – IBADAT HARIAN

83. (Ibadat harian, karya Kristus dan Gereja)

Dengan mengenakan kodrat manusiawi, Kristus Yesus, Imam Agung Perjanjian Baru dan kekal, telah memasukkan ke dalam pengasingan di dunia ini madah, yang di sepanjang segala abad dinyanyikan di bangsal surgawi. Ia menghimpun seluruh umat manusia di sekeliling-Nya, dan mengikutsertakannya melambungkan kidung pujian ilahi-Nya.
Sebab Ia melestarikan tugas imamat-Nya itu melalui Gereja-nya. Gereja tiada putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian.

84.

Berdasarkan Tradisi kristiani yang kuno Ibadat Harian disusun sedemikian rupa, sehingga seluruh kurun hari dan malam disucikan dengan pujian kepada Allah. Adapun bila nyanyian pujian yang mengagumkan itu dilaksanakan dengan baik oleh para imam dan orang-orang lain, yang atas ketetapan Gereja ditugaskan untuk maksud itu, atau oleh Umat beriman, sambil berdoa bersama dengan Imam memakai bentuk yang telah disahkan, pada saat itu sungguh merupakan suara Sang Mempelai sendiri, yang berwawancara dengan Mempelai Pria, bahkan juga doa Kristus beserta Tubuh-Nya kepada Bapa.

85.

Maka dari itu semua orang yang mendoakan Ibadat Harian, menunaikan tugas Gereja, maupun ikut serta dalam kehormatan tertinggi Mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan pujian kepada Allah mereka berdiri di hadapan takhta atas nama Bunda Gereja.

86. (Nilai pastoral Ibadat Harian)

Para imam yang mengemban pelayanan pastoral yang suci, akan mendoakan Ibadat Harian dengan makin bersemangat, semakin mereka sadari secara mendalam bahwa mereka harus mematuhi nasehat Paulus: “Berdoalah tiada hentinya” (1Tes 5:17). Sebab hanya Tuhanlah yang dapat mengurniakan hasil guna dan pertumbuhan kepada karya yang mereka laksanakan, menurut sabda-Nya: “Tanpa Aku kamu tidak berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Maka ketika mengangkat para diakon, para Rasul berkata: “Kamu sendiri akan memusatkan pikiran pada pelayanan sabda” (Kis 6:4).

87.

Tetapi supaya dalam kenyataan sekarang ini Ibadat Harian didoakan dengan lebih baik dan lebih sempurna oleh para imam maupun para anggota Gereja lainnya, konsili suci – seraya melanjutkan pembaharuan yang telah dirintis dengan baik oleh Takhta suci – berkenan menetapkan hal-hal berikut tentang Ibadat Harian menurut Ritus Romawi.

88. (Peninjauan kembali pembagian waktu Ibadat menurut Tradisi)

Tujuan Ibadat Harian yakni pengudusan seluruh hati. Maka pembagian waktu ibadat yang kita waris hendaknya ditata kembali sedemikian rupa, sehingga ibadat-ibadat sedapat mungkin dilaksanakan pada saat yang tepat, sekaligus juga diperhitungkan situasi hidup zaman sekarang, terutama bagi mereka yang bertekun menjalankan karya-karya kerasulan.

89.

Maka penataan kembali Ibadat harian hendaknya dilaksanakan menurut kaidah-kaidah berikut:
a) menurut tradisi mulia Gereja semesta, Laudes atau Ibadat Pagi dan Vesper atau Ibadat Sore harus dipandang dan dirayakan sebagai poros rangkap Ibadat Harian, sebagai dua Ibadat yang utama;
b) Ibadat penutup (Kompletorium) hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga sungguh cocok dengan akhir hari;
c) Yang disebut Matinium, meskipun bila didaras dalam koor tetap memiliki ciri pujian malam, hendaklah disesuaikan sedemikian rupa,sehingga dapat didoakan setiap saat pada siang hari; dan jumlah mazmurnya hendaknya jangan terlalu banyak, sedangkan bacaan-bacaannya hendaknya lebih panjang;
d) Ibadat Prima hendaklah ditiadakan;
e) Dalam koor ibadat-ibadat singkat, yakni Tertia, Sexta dan Nona, hendaklah dipertahankan. Dalam pendarasan di luar koor boleh dipilih salah satu dari ketiganya, yakni yang cocok dengan saat hari yang bersangkutan.

90. (Ibadat Harian sumber kesalehan)

Kecuali itu sebagai doa resmi Gereja Ibadat Harian menjadi sumber kesalehan dan membekali doa pribadi. Oleh karena itu para imam dan semua orang lain yang ikut mendaras Ibadat Harian diminta dalam Tuhan supaya dalam melaksanakannya hati mereka berpadu dengan apa uang mereka ucapkan. Supaya itu tercapai dengan lebih baik , hendaknya mereka mengusahakan pembinaan yang lebih mendalam tentang liturgi dan Kitab suci, terutama mazmur-mazmur.
Adapun dalam melaksanakan pembaharuan hendaknya perbendaharaan Ibadat Romawi yang terpuji dan abadi itu disesuaikan sedemikian rupa, sehingga siapa saja yang mewarisinya dapat menikmatinya secara lebih leluasa dan lebih mudah.

91. (Pembagian mazmur-mazmur)

Supaya pembagian waktu Ibadat Harian, seperti telah diutarakan dalam art. 89, sungguh dapat ditepati, hendaknya mazmur-mazmur jangan lagi dibagi-bagikan dalam lingkaran satu pekan, melainkan dalam kurun waktu yang lebih lama.
Karya peninjauan kembali lingkaran mazmur, yang sudah dirintis dengan begitu baik, hendaknya disesuaikan selekas mungkin. Hendaklah diperhatikan gaya bahasa Latin Kristiani, pemakiannya dalam liturgi, juga dalam nyayian, dan seluruh tradisi Gereja Latin.

92. (Penyusunan bacaan-bacaan)

Mengenai bacaan-bacaan hendaklah dijalankan hal-hal berikut:
a) Bacaan-bacaan Kitab suci hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga harta kekayaan sabda ilahi dengan mudah tersedia dalam kelimpahannya yang lebih penuh;
b) Bacaan-bacaan dari karya para Bapa dan para Pujangga Gereja serta dari Pengarang gerejawi hendaknya dipilih dengan lebih baik;
c) Kisah para Martir atau riwayat para Kudus hendaknya disesuaikan dengan kebenaran sejarah.

93. (Peninjauan kembali madah-madah)

Bila dirasa berguna, hendaknya madah-madah dikembalikan kepada bentuknya yang asli, dengan meniadakan atau mengubah apa yang berbau mitologi atau kurang selaras dengan kesalehan kristiani. Bila dipandang sesuai, hendaknya ditampung juga madah-madah yang terdapat dalam perbendaharaan madah.

94. (Saat mendoakan Ibadat Harian)

Supaya seluruh hari sungguh disucikan, dan Ibadat Harian didaras dengan penuh buah rohani, lebih baiklah bahwa untuk menunaikan iba dat-ibadat diambil saat, yang paling dekat dengan yang sesungguhnya bagi setiap ibadat kanonik.

95. (Kewajiban mendoakan Ibadat Harian)

Komunitas-komunitas yang terikat kewajiban doa koor, disamping mengadakan Misa komunitas, setiap hari wajib merayakan Ibadat Harian dalam koor. Khususnya:
a) Dewan Pembantu Uskup, para rahib dan rubiah, serta para imam biarawan lainya, yang terikat pada Ibadat Harian bersama menurut hukum atau konstitusi tarekat, wajib mendoakan seluruh Ibadat Harian;
b) Dewan para imam katedral atau para penasehat Uskup wajib mendoakan bagian-bagian Ibadat Harian, yang diwajibkan berdasarkan hukum umum atau hukum khusus;
c) Semua anggota komunitas-komunitas itu, yang telah menerima Tahbisan tinggi, atau sudah mengikrarkan kaul-kaul meriah, kecuali para bruder, wajib mendaras sendiri bagian-bagian Ibadat Harian yang tidak mereka doakan dalam koor.

96.

Para rohaniwan (klerus), yang tidak terikat kewajiban doa koor, bila sudah menerima Tahbisan tinggi, setiap hari wajib mendoakan seluruh Ibadat Harian, entah secara bersama, entah sendiri-sendiri, menurut kaidah art. 89.

97.

Hendaknya ada rubrik yang menetapkan, kapan ibadat harian seyogyanya diganti dengan kegiatan liturgis lain. Bila ada hal-hal khusus dan ada alasan yang memadai, Uskup dapat membebaskan bawahannya dari kewajiban mendoakan Ibadat Harian seluruhnya atau sebagian, atau menggantinya dengan kewajiban lain.

98. (Pujian kepada Allah dalam tarekat-tarekat relegius)

Para anggota setiap Tarekat status kesempurnaan, yang berdasarkan Konstitusi mendoakan beberapa bagian Ibadat Harian, melaksanakan doa resmi Gereja.
Begitu pula mereka melakukan doa resmi Gereja, bila berdasarkan Konstitusi mendaras suatu Ofisi singkat, asal Ofisi itu disusun menurut pola Ibadat Harian dan disahkan menurut hukum.

99. (Ibadat Harian bersama)

Ibadat harian merupakan suara Gereja atau segenap Tubuh mistik yang memuji Allah secara resmi. Maka dianjurkan supaya para rohaniwan yang tidak terikat kewajiban doa koor, pun terutama para imam yang hidup bersama atau sedang bersidang, sekurang-kurangnya mendoakan bersama suatu bagian Ibadat Harian.
Semua saja yang mendoakan Ibadat Harian dalam koor atau hanya bersama, hendaklah menunaikan tugas yang dipercayakan kepada mereka itu sesempurna mungkin, baik dengan sikap batin yang saleh, maupun dengan penampilan yang khidmat.
Selain itu lebih baiklah, bahwa – bila keadaan mengizinkan – Ibadat Harian dinyayikan dalam koor maupun secara bersama.

100. (Keikut-sertaan Umat beriman)

Para gembala jiwa hendaknya berusaha, supaya ibadat-ibadat pokok, terutama Ibadat Sore, pada hari Minggu dan hari-hari raya yang lebih meriah dirayakan bersam di gereja. Dianjurkan agar para awam pun mendaras Ibadat Harian, entah bersama para imam, entah antar mereka sendiri, atau bahkan secara perorangan.

101. (Bahasa)

(1) Sesuai dengan tradisi Ritus Latin yang sudah berabad-abad, hendaknya dalam Ibadat Harian dipertahankan bahasa Latin bagi kaum rohaniwan. Namun dalam hal-hal tertentu Uskup berwenang mengizinkan penggunaan terjemahan dalam bahasa pribumi menurut kaidah art. 36, bagi para rohaniwan, yang dengan memakai bahasa Latin mengalami hambatan berat untuk mendoakan Ibadat Harian sebagaimana mestinya.
(2) Para rubiah, begitu pula para anggota Tarekat-tarekat hidup membiara, baik pr ia bukan rohaniwan maupun wanita, dapat diizinkan oleh Pembesar yang berwenang untuk mendoakan Ibadat Harian, juga dalam koor, dalam bahasa pribumi, asal terjemahan itu sudah disahkan.
(3) Setiap rohaniwan yang wajib mendoakan Ibadat Harian, bila bersama dengan jemaat beriman, atau bersama dengan mereka yang disebutkan pada (2), merayakan Ibadat itu dalam bahasa pribumi, sudah memenuhi kewajibannya, asal naskah terjemahannya sudah disahkan.

BAB LIMA – TAHUN LITURGI

102. (Makna tahun liturgi)

Bunda Gereja yang penuh kasih memandang sebagai tugasnya: pada hari-hari tertentu di sepanjang tahun merayakan karya penyelamatan Mempelai ilahinya dengan kenangan suci. Sekali seminggu, pada hari yang disebut Hari Tuhan, Gereja mengenangkan Kebangkitan Tuhan, yang sekali setahun, pada hari raya agung Paska, juga dirayakannya bersama dengan Sengsara-Nya yang suci.
Namun selama kurun waktu setahun Gereja memaparkan seluruh misteri Kristus, dari Penjelmaan serta Kelahiran-Nya hingga Kenaikan-Nya, sampai hari Pentakosta dan sampai penantian kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan.
Dengan mengenangkan misteri-misteri Penebusan itu Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhan-nya sedemikian rupa, sehingga rahasia-rahasia itu senantiasa hadir dengan cara tertentu. Umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan.

103.

Dalam merayakan lingkaran tahunan misteri-misteri Kristus itu Gereja suci menghormati Santa Maria Bunda Allah dengan cinta kasih yang istimewa, karena secara tak terceraikan terlibat dalam karya penyelamatan Puteranya. Dalam diri Maria Gereja mengagumi dan memuliakan buah Penebusan yang serba unggul, dan dengan gembira merenungkan apa yang sepenuhnya dicita-citakan dan didambakan sendiri bagaikan dalam citra yang paling jernih.

104.

Selain itu Gereja menyisipkan kenangan para Martir dan para Kudus lainnya ke dalam lingkaran tahun liturgi. Berkat rahmat Allah yang bermacam-macam mereka telah mencapai kesempurnaan dan memperoleh keselamatan kekal, dan sekarang melambungkan pujian sempurna kepada Allah di surga, serta menjadi pengantara kita. Sebab dengan mengenangkan hari kelahiran para Kudus (di surga) Gereja mewartakan misteri Paska dalam diri para Kudus yang telah menderita dan dimuliakan bersama Kristus. Gereja menyajikan kepada kaum beriman teladan mereka, yang menarik semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan karena pahala-pahala mereka, yang menarik semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan karena pahala-pahala mereka Gereja memohonkan karunia-karunia Allah.

105.

Akhirnya dalam berbagai masa sepanjang tahun, menganut adat-istiadat yang diwariskan, Gereja menyempurnakan pembinaan Umat beriman, melalui kegiatan-kegiatan kesalehan yang bersifat rohani maupun jasmani, pengajaran, doa permohonan, ulah tobat dan amal belas kasihan.
Oleh karena itu Konsili suci berkenan menetapkan pokok-pokok berikut.

106. (Makna hari Minggu ditekankan lagi)

Berdasarkan Tradisi para Rasul yang berasal mula pada hari Kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari Minggu. Pada hari itu Umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut-serta dalam perayaan Ekaristi, dan dengan demikian mengenangkan Sengsara, Kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat Kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati (1Ptr 1:3). Demikianlah hari Minggu itu pangkal segala hari pesta. Hari itu hendaknya dianjurkan dan ditandaskan bagi kesalehan kaum beriman, sehingga juga menjadi hari kegembiraan dan bebas dari kerja. Kecuali bila memang sungguh sangat penting, perayaan-perayaan lain jangan diutamakan terhadap Minggu, sebab perayaan Minggu memang merupakan dasar dan inti segenap tahun liturgi.

107. (Peninjauan kembali tahun liturgi)

Tahun liturgi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga kebiasaan-kebiasaan dan tata-tertib masa-masa suci yang sudah turun-temurun tetap dipelihara, atau dikembalikan sesuai dengan keadaan zaman sekarang, namun cirinya yang asli tetap dipertahankan, untuk sungguh-sungguh memupuk kesalehan kaum beriman dalam merayakan misteri-misteri Penebusan kristiani, terutama misteri Paska. Sekiranya diperlukan penyesuaian-penyesuaian menurut situasi setempat hendaknya itu dijalankan menurut kaidah art. 39 dan 40.

108.

Perhatian kaum beriman hendaknya pertama-tama diarahkan kepada hari-hari raya Tuhan, sebab pada hari-hari itulah dirayakan mister-misteri keselamatan sepanjang tahun. Maka dari itu Masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesta para Kudus, supaya seluruh lingkaran misteri-misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya.

109. (Masa Prapaska)

Hendaklah baik dalam liturgi maupun dalam katekese liturgis ditampilkan lebih jelas dua ciri khas mas “empat puluh hari”[42] , yakni terutama mengenangkan atau menyiapkan Baptis dan membina pertobatan. Masa itu secara lebih intensif mengajak Umat beriman untuk mendengarkan sabda Allah dan berdoa, dan dengan demikian menyiapkan mereka untuk merayakan misteri Paska. Maka dari itu: a) Unsur-unsur liturgi empat puluh hari yang berkenaan dengan Baptis hendaknya dimanfaatkan secara lebih luas; bila dipandang bermanfaat, hendaknya beberapa unsur dari Tradisi zaman dahulu dikembalikan; b) Hal itu berlaku juga bagi unsur-unsur yang menyangkut pertobatan Mengenai katekese hendaknya ditanamkan dalam hati kaum beriman baik dampak sosial dosa, maupun hakikat khas pertobatan, yakni menolak dosa sebagai penghinaan terhadap Allah; jangan pula diabaikan peran Gereja dalam tindak pertobatan, dan hendaknya doa-doa untuk para pendosa sangat dianjurkan.

110.

Pertobatan selama masa empat puluh hari hendaknya jangan hanya bersifat batin dan perorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial kemasyarakatan. Adapun praktek pertobatan, sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan zaman kita sekarang dan pelbagai daerah pun juga dengan situasi Umat beriman, hendaknya makin digairahkan, dan dianjurkan oleh pimpinan gerejawi seperti disebut dalam artikel 22.
Namun puasa Paska hendaknya dipandang keramat, dan dilaksanakan di mana-mana pada hari Jumat kengan Sengsara dan Wafat Tuhan, dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabtu suci, supaya dengan demikian hati kita terangkat dan terbuka, untuk menyambut kegembiraan hari Kebangkitan Tuhan.

111. (Pesta para Kudus)

Menurut Tradisi para Kudus dihormati dalam Gereja, dan relikwi asli serta gambar dan arca mereka mendapat penghormatan. Pesta para Kudus mewartakan karya-karya agung Kristus dalam diri para hamba-Nya dan menyajikan kepada Umat beriman teladan-teladan yang patut ditiru. Agas pesta para Kudus jangan diutamakan terhadap hari-hari raya uang merupakan kenangan misteri-misteri keselamatan sendiri, hendaknya banyak di antaranya diserahkan perayaannya kepada masing-masing Gereja khusus atau bangsa atau Tarekat religius. Hendaknya yang dirayakan oleh seluruh Gereja hanyalah pesta-pesta, yang mengenangkan para Kudus yang sungguh-sungguh penting bagi Gereja semesta.

BAB ENAM – MUSIK LITURGI

112. (Martabat musik Liturgi)

Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyanyian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian liturgi meriah yang penting atau integral.
Ternyata lagu-lagu ibadat sangat dipuji baik oleh Kitab suci[43] , maupun oleh para Bapa Gereja; begitu pula oleh para Paus, yang – dipelopori oleh Santo Pius X, -akhir-akhir ini semakin cermat menguraikan peran serta musik liturgi mendukung ibadat Tuhan.
Maka musik liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah.
Maka dengan mengindahkan kaidah-kaidah serta peraturan-peraturan menurut Tradisi dan tertib gerejawi, pun dengan memperhatikan tujuan musik liturgi, yakni kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman, Konsili suci menetapkan hal-hal berikut.

113. (Liturgi meriah)

Upacara liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyanyian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas liturgi, dan bila Umat ikut serta secara aktif,
Mengenai bahasa yang harus dipakai hendaknya dipatuhi ketentuan-ketentuan menurut art. 36; mengenai Misa suci lihat art. 54; mengenai Sakramen-sakramen lihat art. 63; mengenai Ibadat Harian lihat art. 101.

114.

Khazanah musik liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat mungkin. Paduan suara hendaknya dibina dengan sungguh-sungguh, terutama di gereja-gereja katedral. Para Uskup dan para gembala jiwa lainnya hendaknya berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara liturgi yang dinyanyikan segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka, menurut kaidah art. 28 dan 30.

115. (Pendidikan musik)

Pendidikan dan pelaksanaan musik hendaknya mendapat perhatian besar di Seminari-seminari, di novisiat-novisiat serta rumah-rumah pendidikan para religius wanita maupun pria, pun juga di lembaga-lembaga lainnya dan di sekolah-sekolah katolik. Untuk melaksanakan pendidikan seperti itu hendaknya para pengajar musik liturgi disiapkan dengan saksama.
Kecuali itu dianjurkan, supaya – bila keadaan mengizinkan – didirikan Lembaga-lembaga musik liturgi tingkat lebih lanjut.
Para pengarang lagu dan para penyanyi, khususnya anak-anak, hendaknya mendapat kesempatan kesempatan untuk pembinaan liturgi yang memadai.

116. (Nyanyian Gregorian dan Polifoni)

Gereja memandang nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas bagi liturgi Romawi. Maka dari itu – bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting – nyanyian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara liturgi.
Jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara liturgi, menurut ketentuan pada art. 30.

117. (Penerbitan buku-buku nyanyian Gregorian)

Hendaknya terbitan, otentik buku-buku nyanyian Gregorian diselesaikan. Di samping itu hendaknya disiapkan terbitan lebih kritis buku-buku yang telah diterbitkan sesudah pembaharuan oleh Santo Pius X.
Berfaedah pula bila disiapkan terbitan yang mencantumkan lagu-lagu yang lebih sederhana, untuk dipakai dalam gereja-gereja kecil.

118. (Nyanyian rohani umat)

Nyanyian rohani Umat hendaknya dikembangkan secara ahli, sehingga kaum beriman dapat bernyanyi dalam kegiatan-kegiatan devosional dan perayaan-perayaan ibadat, menurut kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan rubrik.

119. (Musik Liturgi di daerah-daerah Misi)

Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan 40.
Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan musik tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat.

120. (Orgel dan alat-alat musik lainnya)

Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke surga.
Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.

121. (Panggilan para pengarang musik)

Dipenuhi semangat kristiani, hendaknya para seniman musik menyadari, bahwa mereka dipanggil untuk mengembangkan musik liturgi dan memperkaya khazanahnya.
Hendaklah mereka mengarang lagu-lagu, yang mempunyai sifat-sifat musik liturgi yang sesungguhnya, dan tidak hanya dapat dinyanyikan oleh paduan-paduan suara yang besar, melainkan cocok juga bagi paduan-paduan suara yang kecil, dan mengembangkan keikutsertaan aktif segenap jemaat beriman.
Syair-syair bagi nyanyian liturgi hendaknya selaras dengan ajaran Katolik, bahkan terutama hendaklah ditimba dari Kitab suci dan sumber-sumber liturgi.

BAB TUJUH – KESENIAN RELIGIUS DAN PERLENGKAPAN IBADAT

122. (Martabat kesenian religius)

Pada budidaya rohani manusia yang paling luhur sangat wajarlah digolongkan seni indah, terutama kesenian religius beserta puncaknya, yakni kesenian liturgi. Pada hakikatnya kesenian liturgi itu dimaksudkan untuk dengan cara yang tak terperikan dalam karya manusia. Lagi pula semakin dikhususkan bagi Allah dan untuk memajukan puji-syukur serta kemuliaan-Nya, karena tiada tujuannya yang lain kecuali untuk dengan buah-hasilnya membantu manusia sedapat mungkin mengangkat hatinya kepada Allah.
Maka dari itu Bunda Gereja yang mulia senantiasa bersikap terbuka terhadap seni indah. Gereja selalu berusaha menemukan pelayanannya yang luhur, terutama supaya perlengkapan ibadat suci sungguh menjadi layak, indah dan permai, merupakan tanda dan lambang kenyataan surgawi; dan untuk itu Gereja selalu membina para seniman. Bahkan tepatlah Gereja selalu memandang diri berhak menilai seni indah, dan menetapkan manakah di antara karya para seniman yang selaras dengan iman, ketaqwaan dan hukum-hukum keagamaan yang tradisional, serta yang cocok untuk digunakan dalam ibadat.
Secara istimewa Gereja mengusahakan, supaya perlengkapan ibadat secara layak dan indah menyemarakkan ibadat, dengan mengizinkan dalam bahan, bentuk atau motif hiasan perubahan-perubahan, yang berkat kemajuan tehnik muncul di sepanjang sejarah.
Maka mengenai hal-hal itu para Bapa Konsili berkenan menetapkan pokok-pokok berikut.

123. (Corak-corak artistik)

Gereja tidak menganggap satu corak kesenian pun sebagai khas bagi dirinya. Melainkan seraya memperhatikan sifat-perangai dan situasi para bangsa dan kebutuhan-kebutuhan pelbagai Ritus Gereja menyambut baik bentuk-bentuk kesenian setiap zaman, serta mengusahakan agar di sepanjang zaman khazanah kesenian dikelola dengan cermat. Juga kesenian zaman kita sekarang, pun kesenian semua bangsa dan daerah, hendaknya diberi keleluasaan dalam Gereja, asal dengan khidmat dan hormat sebagaimana harusnya mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan hormat sebagaimana harusnya mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan ritus-ritus. Dengan demikian kesenian diharapkan dapat menggabungkan suaranya pada kidung pujian yang mengagumkan, yang di masa lampau oleh para seniman yang ulang telah dianjungkan kepada imam katolik.

124.

Dalam memajukan dan mendukung kesenian ibadat para pemimpin Gereja hendaknya berusaha memperhatikan pertama-tama keindahan yang luhur dan bukan kemewahan. Itu hendaknya berlaku juga bagi busana dan hiasan-hiasan untuk ibadat.
Hendaknya para Uskup sungguh berusaha untuk mencegah, jangan sampai rumah-rumah Allah dan tempat-tempat ibadat lainnya kemasukan karya-karya para seniman, yang bertentangan dengan iman serta kesusilaan dan dengan kesalehan kristiani, ataupun menyinggung cita-rasa keagamaan yang sejati entah karena bentuknya serba jelek, entah karena kurangnya mutu seni, entah karena hanya setengah-setengah atau tiruan belaka. Dalam mendirikan gereja-gereja hendaknya diusahakan dengan saksama, supaya gedung-gedung itu memadai untuk menyelenggarakan upacara-upacara liturgi dan memungkinkan Umat beriman ikut-serta secara aktif.

125. (Gambar-gambar dan patung-patung)

Kebiasaan menempatkan gambar-gambar atau patung-patung kudus dalam gereja untuk dihormati oleh kaum beriman hendaknya dilestarikan. Tetapi jumlahnya jangan berlebih-lebihan, dan hendaknya disusun dengan laras, supaya jangan terasa janggal oleh Umat kristiani, dan jangan memungkinkan timbulnya devosi yang kurang kuat.

126.

Untuk menilai karya-karya seni hendaknya para Uskup mendengarkan Panitia keuskupan untuk Kesenian liturgi, dan – bila perlu – juga pakar-pakar lain, serta Panitia-panitia yang disebut dalam art. 44, 45, 46.
Hendaknya para Pimpinan Gereja menjaga dengan saksama, jangan sampai perlengkapan ibadat atau karya-karya seni, yang merupakan hiasan rumah Allah, dipindah-tangankan atau rusak.

127. (Pembinaan para seniman)

Hendaknya para Uskup – entah mereka sendiri, atau melalui imam yang cocok untuk tugas itu, mahir dan mempunyai minat besar terhadap kesenian, – memberi perhatian kepada para seniman, supaya mereka diresapi semangat kesenian ibadat dan liturgi suci.
Selain itu dianjurkan, supaya di daerah-daerah yang kiranya memerlukannya didirikan sekolah-sekolah atau akademi-akademi kesenian ibadat untuk membina para seniman.
Semua seniman, yang terdorong oleh bakat mereka bermaksud mengabdikan diri kepada kemuliaan Allah dalam Gereja suci hendaknya selalu ingat, bahwa mereka dipanggil untuk dengan cara tertentu meneladan Allah Pencipta, dan menghadapi karya-karya yang dikhususkan bagi ibadat katolik, bagi pembinaan serta ketaqwaan Umat beriman, dan bagi pendidikan keagamaan mereka.

128. (Peninjauan kembali peraturan tentang kesenian ibadat)

Bersama dengan peninjauan kembali buku-buku liturgi menurut kaidah art. 25, hendaknya Hukum serta ketetapan-ketetapan Gereja mengenai benda-benda perlengkapan ibadat pun selekas mungkin ditinjau kembali. Adapun peraturan-peraturan itu terutama menyangkut pembangunan rumah-rumah ibadat yang pantas dan cocok, mengenai bentuk dan pembuatan altar, mengenai keanggunan, penempatan serta keamanan tabernakel untuk Ekaristi suci, mengenai letak panti Baptis yang baik dan kelayakannya, begitu pula mengenai cara memperlakukan dengan tepat gambar-gambar atau patung-patung kudus, hiasan maupun pajangan. Apa saja yang kiranya kurang cocok dengan liturgi baru hendaknya diperbaiki atau ditiadakan. Sedangkan apapun yang memajukannya dilestarikan atau ditambahkan.
Dalam hal itu, terutama berkenaan dengan bahan dan bentuk perlengkapan serta pakaian ibadat, diberikan wewenang kepada Konferensi Uskup se-wilayah, untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan serta adat-istiadat setempat, menurut kaidar art. 22 Konferensi ini.

129. (Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan)

Selama menekuni studi filsafat dan teologi, para rohaniwan hendaknya mendapat pelajaran tentang sejarah kesenian gerejawi serta perkembangannya, pun juga tentang azaz-azaz yang sehat, yang harus mendasari karya-karya kesenian itu. Dengan demikian mereka akan menghargai dan menjaga lestarinya peninggalan-peninggalan Gereja yang terhormat, dan akan mampu memberi nasehat-nasehat yang cocok kepada para seniman untuk mengerjakan karya mereka.

130. (Penggunaan lambang-lambang jabatan Uskup)

Sudah sepantasnyalah lambang-lambang jabatan Uskup hanya boleh dikenakan oleh para rohaniwan yang ditandai oleh materai episkopal, atau mempunyai suatu yurisdiksi istimewa.

LAMPIRAN – PERNYATAAN KONSILI EKUMENIS VATIKAN II TENTANG PENINJAUAN KEMBALI PENANGGALAN LITURGI

Banyaklah jumlah mereka yang berhasrat, agar hari raya Paska ditetapkan pada hari Minggu tertentu, dan disusun penanggalan liturgi yang tetap. Konsili Ekumenis Vatikan II menilai hasrat itu sangat penting, dan telah mempertimbangkan dengan cermat semua akibat yang mungkin timbul bila penanggalan baru itu mulai digunakan. Maka Konsili menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
1. Konsili suci tidak berkeberatan, bahwa hari raya Paska ditetapkan pada hari Minggu tertentu dalam Penanggalan Gregorian, asal mereka yang berkepentingan menyetujuinya, terutama para saudara yang berada di luar persekutuan dengan Takhta Apostolik.
2. Begitu pula Konsili suci menyatakan dirinya tidak berkeberatan terhadap usaha-usaha yang telah dirintis, untuk mengadakan penanggalan tetap dalam masyarakat sipil.
Akan tetapi di antara pelbagai sistem, yang dipikirkan untuk menciptakan penanggalan yang tetap dan memberlakukannya bagi masyarakat sipil, yang tidak ditentang oleh Gereja hanyalah sistem-sistem, yang melestarikan serta mempertahankan pekan dengan tujuh hari termasuk hari Minggu, tanpa menyisipkan hari-hari lain di luar pekan itu, sehingga rangkaian pekan-pekan tetap terpelihara seutuhnya kecuali bila ada alasan-alasan yang sungguh berat. Mengenai hal itu Takhta Apostolik lah yang akan mengambil keputusan.
Semua itu dan setiap hal yang dinyatakan dalam Konstitusi ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun Kami, dengan kuasa kerasulan yang diserahkan Kristus kepada Kami, bersama dengan para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam Roh Khusus. Dan Kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah.
Roma, di Gereja Santo Petrus, tanggal 4 Desember tahun 1963
Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)
——————————

[1] Doa persembahan pada hari Minggu IX sesudah Pentakosta.

[2] Lih. Ibr 13:14.

[3] Lih. Ef 2:21-22.

[4] Lih. Ef 4:13.

[5] Lih. Yes 11:12.

[6] Lih. Lih. Yoh 11:52.

[7] Lih. Yoh 10:16.

[8] Lih. Yes 61:1; Luk 4:18.

[9] S. IGNASIUS Martir, Surat kepada Jemaat di Efesus, 7,2:FUNK I, 218.

[10] Lih. 1 Tim 2:5.

[11] Tata-upacara sakramen dari Verona (Sacramentarium Veronense/Leonianum): MOHLBERG, Roma 1956, n. 1265, hlm.162.

[12] Prefasi pada hari Raya Paska dalam Misal Romawi.

[13] Lih. Doa sesudah bacaan kedua pada malam Paska menurut Misal Romawi, sebelum pembaharuan Pekan Suci.

[14] Lih. Mrk 16:15.

[15] Lih. Kis 26:18.

[16] Lih. Rom 6:4; Ef 2:6; Kol 3:1; 2Tim 2:11.

[17] Lih. Yoh 4:23.

[18] Lih. 1Kor 11:26.

[19] KONSILI TRENTE, Sidang 13, 11 Oktober 1551, Dekrit tentang Ekaristi Suci, bab 5: CONCILIUM TRIDENTINUM, Diariorum, Actorum, Epistolarum, Tractatuum nova collectio, terb. Soc. Gorresiana, jilid VIII, Actorum, bagian IV Freiburg im Breisgau, 1961,hlm.202.

[20] KONSILI TRENTE, Sidang XXII, 17 September 1562: Ajaran tentang kurban Misa suci, Bab 2: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutib, jilid VIII, Actorum, bagian V, Freiburg im Breisgau 1919, hlm. 960.

[21] Lih. S. AGUSTINUS, Tentang Injil Yohanes, Tractat VI, I, 7: PL 35,1428.

[22] Lih. Why 21:2; Kol 3:1; Ibr 8:2.

[23] Lih. Flp 3:20; Kol 3:4.

[24] Lih. Yoh 17:3; Luk 24:27; Kis 2:38.

[25] Lih. Mat 28:20.

[26] Doa Penutup pada malam pasaka dan hari Minggu Paska.

[27] Doa Pembukaan pada hari Selasa dalam Pekan Paska.

[28] Lih. 2Kor 6:1.

[29] Lih. Mat 6:6.

[30] Lih. 1Tes 5:17.

[31] Lih. 2Kor 4:10-11.

[32] Doa Persembahan pada hari Senin dalam Pekan Pentekosta.

[33] S. SIPRIANUS, Tentang Kesatuan Gereja Katolik, 7: CSEL (HARTEL) III, 1, hlm.215-216. Lih. Surat 66, n. 8,3: CSEL III, 2, hlm. 732-733.

[34] Lih. KONSILI TRENTE, Sidang 22, 17 September 1562, Ajaran tentang Kurban Misa, bab 8: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutib, VIII, 961.

[35] Lih. S. IGNATIUS Martir, Surat kepada jemaat di Magnesia 7; kepada jemaat di Filipi 4; kepada jemaat di Smirna 8: FUNK 1, 236, 266, 281.

[36] Lih. S. AGUSTINUS, Tentang Injil Yohanes, Traktat XXVI, VI, 13: PL 35, 1613.

[37] Brevir Romawi, pada hari raya Tubuh Kristus yang mahakudus, Ibadat sore II antifon pada Magnificat.

[38] Lih. S. SIRILUS dari Iskandaria, Komentar pada Injil Yohanes, Jilid XI, bab XI-XII: PG 74, 557-564.

[39] Lih. Tim 2:1-2.

[40] Lih. KONSILI TRENTE, Sidang XXI, 16 Juli 1562, Ajaran tentang Komuni dua rupa dan Komuni kanak-kanak, bab I-3: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutip, VIII, 698-699.

[41] KONSILI TRENTE, Sidang XXIV, 11 November 1563, Tentang Pembaharuan, bab I: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutip IX, Acta bagian VI, Freibureg im Breisgau 1924, hlm. 969. Lih Rituale Romanum, judul VIII, bab II n. 6.

[42] Istilah latin: tempus quadragesimale secara harafiah berarti “masa empat puluh hari”; dulu diartikan sebagai “masa Puasa”; sekarang diistilahkan “masa Prapaska”.

[43] Lih. Ef 5:19; Kol 3:16.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab