Home Blog Page 329

Orang Katolik Tidak Menyembah Patung

265

Pendahuluan

Cerita ini adalah yang saya alami pada tahun 2000. Saat itu saya sedang mengunjungi sanak keluarga suami yang tinggal di Jawa Tengah. Suami saya tidak ikut, karena sedang bertugas di luar negeri. Karena hampir semua dari anggota keluarga mereka beragama Kristen Protestan, maka pada hari Minggu terakhir sebelum saya pulang ke Jakarta, mereka mengajak saya ikut kebaktian di gereja mereka. Karena saya pikir saya toh masih dapat mengikuti misa sore setibanya saya di Jakarta, maka saya setuju saja, karena saya tidak ingin merepotkan mereka untuk mengantarkan saya spesial ke gereja Katolik.

Kebaktian berlangsung khusuk. Injil hari itu adalah mengenai “mengasihi Allah dan sesama”, dan Bapak Pendeta mengutip kesepuluh Perintah Allah yang ada di Kitab Keluaran 20. Ayat ke-3 menekankan supaya kita tidak menyembah allah yang lain selain Allah Tritunggal. “Oh, sama dengan ajaran Gereja Katolik”, pikir saya. Namun penjelasan ayat yang ke-4 dan ke-5 membuat saya terhenyak.[1] Saat itu, beliau meminta seseorang untuk memberikan selembar uang kertas sebagai contoh. Katanya perintah Tuhan pada kedua ayat ini seperti halnya uang kertas, harus tercetak di sisi atas dan di sisi baliknya, kalau tidak, uang tersebut tidak berlaku. Maka kedua ayat itu harus diterapkan sekaligus, karena jika tidak artinya kita melanggar perintah Allah. Maka Pak Pendeta mengatakan kita tidak boleh membuat patung yang menyerupai apapun di langit dan di bumi, dan tidak boleh menyembahnya. Dia menyebutkan ‘kekeliruan’ gereja lain (beliau tidak menyebutkan Gereja Katolik) yang mengajarkan bahwa membuat patung itu boleh saja, asalkan kita tidak sujud menyembahnya sebagai Allah. Kemudian, beliau bertanya kepada jemaat, siapa dari antara hadirin yang berpendapat demikian. Hati saya bergemuruh, karena yang saya tahu, yang dilarang adalah membuat ‘patung’ yang kemudian disembah sebagai Tuhan. Jadi, saya memutuskan untuk mengangkat tangan saya, walaupun saya dipandang dengan tatapan aneh oleh banyak yang hadir. Hanya ada dua orang (termasuk saya) yang mengangkat tangan, dari sekitar 400 orang yang hadir. “Anggapan yang keliru”, kata Bapak Pendeta, dan saya bertekad dalam hati untuk menjelaskan hal ini kepadanya setelah kebaktian.

Sayangnya, saya tidak berkesempatan untuk bertemu dengan Pak Pendeta setelah kebaktian. Saya pulang ke Jakarta dengan hati gundah. Satu minggu berikutnya saya isi dengan mempelajari Kitab Suci dan buku-buku ajaran Gereja Katolik mengenai hal patung ini. Minggu berikutnya saya menulis surat kepada beliau, dengan menuliskan ayat-ayat Alkitab yang menjadi dasar bagi Gereja Katolik yang menganggap bahwa membuat patung, memajang patung ataupun berdoa di depan patung bukanlah suatu penyembahan berhala, asalkan kita tidak tunduk menyembah patung itu dan menganggapnya sebagai Tuhan. Sampai sekarang, saya tidak pernah menerima balasan dari Bapak Pendeta tersebut. Namun, saya hanya berharap agar beliau dapat memahami dasar pengajaran Gereja Katolik dalam hal patung ini dan tidak beranggapan bahwa Gereja Katolik mengajarkan sesuatu yang ‘keliru’.

Surat kami kepada Bapak Pendeta

Berikut ini saya sertakan surat kepada Bapak Pendeta tersebut, yang sesungguhnya dapat ditujukan juga kepada siapa saja yang menganggap orang Katolik menyembah patung:

Salam damai dalam kasih Kristus,

Pertama-tama saya ingin mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Kebaktian Minggu tanggal 17 September 2000, yang bertemakan “Kasihilah Tuhan dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu, dan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”.

Saya terkesan dengan kotbah tersebut, hanya ada beberapa bagian yang berbeda dengan pengajaran di dalam Gereja saya, yaitu Gereja Katolik. Memang, Pak Pendeta tidak menyebut langsung ‘Gereja Katolik’ dalam khotbah Bapak, tetapi saya merasa terdorong untuk menjelaskan hal itu mengingat banyaknya kesalahpahaman yang terjadi antara jemaat Kristen Protestan dangan kami umat Katolik.

Dan setelah mendiskusikannya dengan suami saya, maka kami memutuskan untuk menulis surat ini dalam semangat kasih persaudaraan dalam Kristus.

Kami menyadari, bahwa perbedaan adalah hal yang wajar. Dan dengan semangat mencari kebenaran itu sendiri yang berasal dari Tuhan, kami ingin menjelaskan hal-hal dan latar belakang, serta dasar iman Katolik yang berkaitan dengan kotbah Bapak pada saat itu, yaitu mengenai ayat:

Keluaran 20:3-5 (menurut : Lembaga Alkitab Indonesia, 1999)

3)Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.

4)Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.

5)Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci aku.

Menurut khotbah Bapak, ayat yang ke-4 dan ke-5 tidak dapat dipisahkan, sehingga artinya adalah kita tidak boleh membuat patung, dan tidak boleh menyembah sujud kepadanya.

(Analogi yang Bapak sampaikan pada waktu itu adalah uang kertas dua puluh ribu rupiah yang memiliki 2 sisi). Jadi anggapan bahwa membuat patung itu diperbolehkan asal tidak sujud menyembahnya, dianggap KELIRU.

Kami ingin mengutip dari beberapa ayat kitab suci dari beberapa terjemahan, untuk mengurangi kemungkinan distorsi dari bahasa itu sendiri.

3) You shall not have other gods besides me (NAB, CCB); no other gods before me (RSV, NIV, KJV);

4) You shall not carve idols (NAB); a graven image (RSV); any graven image (NIV, KJV); a carved image (CCB) for yourselves in the shape of anything in the sky above or on the earth below or in the waters beneath the earth;

5)you shall not bow down (NAB, RSV, NIV, KJV, CCB) before them or worship them: for I the LORD your God am a jealous God, visiting the iniquity of the fathers upon the children to the third and the fourth generation of those who hate me.

Catatan: NAB= New American Bible; RSV= Revised Standard Version; NIV= New International Version; CCB= Christian Community Bible.

Dari referensi di atas, maka terlihat bahwa istilah yang digunakan adalah:

Carved idol, yang artinya adalah “patung berhala” dan carved/graven image yang berarti “ukiran dari suatu gambaran”. Kalaupun hal ini masih bisa diperdebatkan, namun tetap tidak mengurangi esensi dari ayat tersebut, bahwa yang paling penting adalah kita tidak membuat image/patung/gambaran untuk disembah sebagai allah lain (dalam kaitannya dengan ayat yang ke 3).

Jadi, penyembahan “patung berhala” adalah dosa. Namun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa orang-orang Katolik adalah “sebagian orang Kristen” yang menyembah “patung” karena memiliki patung Yesus, Maria, santo/santa adalah sungguh-sungguh keliru. Hal ini adalah karena kesalahpahaman atau pengabaian dari apa yang dikatakan oleh kitab suci tentang maksud dan penggunaan patung. (Karena orang Katolik tidak menghormati patung, tetapi menghormati pribadi yang digambarkan di dalamnya). [2]

Anggapan bahwa “Tuhan melarang penggunaan image/gambaran/patung”, seperti yang dikotbahkan Bapak, menjadi anggapan umum jemaat Protestan, (sedangkan Gereja Katolik memang melarang patung berhala, tetapi tidak melarang penggunaan patung untuk keperluan ibadah, karena patung hanya merupakan lambang saja yang membantu untuk mengarahkan hati kepada Tuhan).

Kalau kita sungguh-sungguh menyelidiki seluruh kitab suci, kita dapat menemukan bahwa penggunaan image/gambaran/patung dalam ibadah kepada Tuhan diperbolehkan, bahkan Allah sendiri yang “memerintahkan” penggunaan hal tersebut.

Tuhan memerintahkan untuk membuat patung untuk keperluan ibadah

Di samping kutipan kitab Keluaran 20:4-5, marilah kita melihat beberapa kutipan lain dimana Tuhan memerintahkan untuk membuat patung yang digunakan sebagai lambang yang memberikan gambaran/menunjuk kepada kehadiran Yesus pada Perjanjian Baru dan kekal, sebagai yang terkandung dalam ‘Tabut Perjanjian baru’ itu sendiri, dan Putera Allah yang ditinggikan[3]:

1. Keluaran 25:1,18-20

Berfirmanlah Tuhan kepada Musa: “Dan haruslah kau buat dua kerub (English: cherubims/angels) dari emas, kau buatlah itu dari emas tempaan, pada kedua ujung tutup pendamaian itu. Buatlah satu kerub pada ujung sebelah sini, dan satu kerub pada ujung sebelah sana; seiras dengan tutup pendamaian itu kamu buatlah kerub itu di atas kedua ujungnya”. Kerub-kerub itu harus mengembangkan kedua sayapnya ke atas, sedang sayap-sayapnya menudungi tutup pendamaian itu dan mukanya menghadap kepada masing-masing; kepada tutup pendamaian itulah harus menghadap muka kerub-kerub itu.”

2. Ketika raja Daud memberikan rencana pembuatan bait Allah kepada Salomo

2. 1 Tawarikh 28:18-19

”..juga emas yang disucikan untuk mezbah pembakaran ukupan seberat yang diperlukan dan emas yang diperlukan untuk pembentukan kereta yang menjadi tumpangan kedua kerub yang mengembangkan sayapnya sambil menudungi tabut perjanjian Tuhan. Semuanya itu terdapat dalam tulisan yang diilhamkan kepadaku oleh Tuhan yang berisi petunjuk tentang segala pelaksanaan rencana itu.”

Lihatlah bahwa semua yang tertulis di atas diilhami oleh Tuhan sendiri.

Memang bukan raja Daud yang membangun bait Allah, melainkan raja Salomo pada tahun ke-empat setelah ia menjadi raja atas Israel. Dan dia melakukan yang diperintahkan oleh raja Daud, seperti yang tertulis dalam kitab 1 Raja-raja 6:23-35, “selanjutnya di dalam ruang belakang itu dibuatnya dua kerub dari kayu minyak, masing-masing sepuluh hasta tingginya ……..” (Dua kerub yang terdapat pada bait Allah ini menunjuk kepada kehadiran Allah di dalam tabut perjanjian; dan Yesuslah yang kemudian menjadi pemenuhan dari perjanjian Allah ini).

3. Yehezkiel 41:17-18

… dan di seluruh dinding bagian dalam dan bagian luar, terukir gambar-gambar kerub dan pohon-pohon korma, di antara dua kerub sebatang pohon korma, dan masing-masing kerub itu mempunyai dua muka.

4. Bilangan 21:8

Maka berfirmanlah Tuhan kepada Musa:”Buatlah (sebuah patung) ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup.” (Ular ini yang ditinggikan Musa menjadi gambaran dari Yesus Putera Allah yang harus ditinggikan (Yoh 3:14)).

Berdasarkan dasar-dasar tersebut di atas, yang dilarang adalah image/ gambaran/ patung yang dijadikan “allah-allah yang lain” dan menyaingi Allah yang Satu. Yang dilarang oleh hukum Allah adalah pemujaan terhadap image /gambaran/patung itu sendiri. Dengan demikian, Keluaran 20:4-5 berkaitkan dengan Keluaran 20:3, yaitu jangan ada padamu allah lain di hadapanKu.

Bagaimana kita menjelaskan kontradiksi ayat-ayat tersebut diatas butir 1-4 dengan kitab Keluaran 20:4-5?

Jawabannya sangat sederhana. Kerub/malaikat tidak dianggap sebagai allah dan tidak memerlukan pemujaan: Mereka adalah gambaran hamba Tuhan. Hal yang sama diterima oleh gereja Katolik saat ini, adalah penggunaan patung Yesus, Maria, santo/santa karena mereka bukan allah melainkan gambaran hamba Tuhan. (Jadi kita tidak menghormati patung itu apalagi menyembahnya, melainkan menghormati pribadi yang dilambangkannya, karena mereka membantu kita mengarahkan hati kepada Allah dan bukannya menjadi ‘saingan’ Allah).

Bagaimana umat Katolik menggunakan image/gambaran/patung:

1. Sebagai salah satu alat bantu umat untuk lebih menghayati kedekatannya dengan Yesus Kristus.

Penggunaan patung, lukisan, elemen artistik lainnya bagi umat Katolik adalah untuk membantu mengingat seseorang atau sesuatu yang digambarkannya. Sama seperti seseorang mengingat ibunya dengan melihat fotonya, demikian juga umat Katolik mengingat Yesus, Maria dan orang kudus lainnya dengan melihat patung/ gambar mereka. (Lagipula, Yesus sendiri sebagai Sang Putera Allah telah menjadi manusia, sehingga Yesus sendiri telah menjadi ‘gambaran Allah yang nyata.’ (lihat Kol 1:15) Karena itu, dengan kedatangan Yesus ke dunia, Allah yang tak kelihatan menjadi kelihatan, Allah yang dalam Perjanjian Lama dilarang untuk digambarkan, maka di Perjanjian Baru malah dinyatakan sebagai ‘gambar hidup’ di dalam diri Yesus. Jadi Yesus memperbaharui ‘tata gambar’ tentang Allah, sebab Ia adalah gambaran Allah sendiri.[4]) Renungkanlah ini: Jika di rumah kita memasang gambar/ foto keluarga kita, mengapakah kita tidak boleh memasang gambar/foto Tuhan yang kita sayangi? Gambar/ patung Tuhan Yesus dipasang tidang untuk disembah, tetapi hanya untuk mengingatkan kita tentang betapa istimewanya Ia di dalam hidup kita.

2. Sebagai sarana pengajaran

Umat Katolik juga menggunakan image/gambar/patung sebagai sarana pengajaran, seperti yang diterapkan juga oleh umat Kristen lain terutama dalam mengajar anak-anak di sekolah minggu, seperti: menerangkan siapa Tuhan Yesus, mukjijat yang dibuatNya, dll dengan gambar-gambar. (Kita mengetahui bahwa masalah ‘buta huruf’ baru dapat dikurangi secara signifikan di Eropa pada abad ke-12; bahkan untuk negara-negara Asia dan Afrika baru pada abad 19/20. Jadi tentu selama 12 abad, bahkan lebih, secara khusus, gambar-gambar dan patung mengambil peran untuk pengajaran iman, karena praktis, mayoritas orang pada saat itu tidak dapat membaca! Penggunaan gambar/ patung untuk maksud pengajaran ini tentu bukan berhala, karena mereka akhirnya malah menuntun orang beriman kepada Tuhan. Hal serupa terjadi waktu kita pertama kali mengajar anak-anak kecil mengenali benda-benda tertentu. Kita membuat/ menunjukkan pada mereka gambar-gambar sederhana, seperti apel, ikan, rumah, dst. Tentu saja hal ini tidak bertentangan dengan perintah Tuhan. Jadi membuat gambar yang menyerupai sesuatu di sekitar kita bukan merupakan dosa asal kita tidak menyembah gambar- gambar itu).

3. Digunakan untuk peristiwa-peristiwa tertentu

Umat Katolik juga menggunakan hal tersebut dalam kesempatan tertentu, sama seperti umat Kristen pada umumnya mempunyai patung-patung kandang natal, gambar peristiwa natal, atau mengirim kartu natal bergambar pada hari natal. (Jika membuat segala gambar/ patung yang menyerupai segala sesuatu dianggap dosa, apakah berarti kebiasaan mengirimkan kartu Natal dan menghias pohon Natal dengan kandang Natal, adalah dosa? Jika ya berarti bahkan menonton TV pun adalah dosa, melihat segala buku bergambar adalah dosa, menggambar/ melukis adalah dosa, karena semua objeknya adalah segala sesuatu yang ‘menyerupai apapun yang di langit dan di bumi’).

Kesimpulan

Jadi, Tuhan memang melarang pemujaan terhadap image/gambaran/patung, tetapi Ia tidak melarang pembuatan image/ gambaran tersebut secara umum. Seandainya Ia melarangnya, maka film, televisi, video, foto, lukisan, kartu natal bergambar, uang, ataupun gambar-gambar lainya akan juga dilarang, karena semua itu mengandung unsur image/ gambaran yang menyerupai sesuatu di bumi atau di atas bumi….(lihat Kel 20:4) Karena itu, Gereja Katolik melihat ayat ke-4 ini sebagai kelanjutan dari ayat ke-3, yaitu, agar jangan kita membuat gambar/ patung untuk disembah sebagai allah lain di hadapan Allah.

Dengan demikian sebenarnya menjadi sangat jelas bahwa baik umat Katolik maupun umat Kristen lainnya hanya memuja Tuhan yang satu dan sama, dan sama-sama menentang penyembahan patung berhala.

Kami yakin bahwa masih ada perbedaan-perbedaan yang ada dalam pengajaran Katolik dan Kristen Protestan. Alangkah baiknya jika kita masing-masing mau mengerti dasar-dasar atau latar belakang alkitabiah dan ajaran Gereja yang mendasari pengajaran tersebut untuk mengetahui kebenaran itu sendiri. Janganlah kita lupa bahwa di antara kita lebih banyak persamaannya dari pada perbedaannya.

Akhirnya, kami mengucapkan salam hangat kami untuk Bapak Pendeta dan seluruh jemaat Bapak. Semoga kasih Tuhan Yesus selalu mengikat kita semua sebagai satu saudara.

Salam dalam damai Kristus,

Ingrid Listiati & Wijoyo Tay

Penutup

Surat ini saya kirimkan kepada Bapak Pendeta tersebut. Nama dan alamat bapak Pendeta tersebut sengaja tidak saya cantumkan di sini karena saya pandang tidak perlu, karena yang terpenting adalah isi dari surat tersebut, untuk kita renungkan bersama. Kesaksian serupa ini mungkin dapat pula saudara/i alami dengan situasi yang berbeda, dan saya berharap artikel ini dapat sedikit membantu. Di atas semua itu, ingatlah bahwa kita harus selalu siap untuk menjelaskan iman kita, namun harus selalu dengan kelemah-lembutan dan hormat (lih. 1Pet 3:15).

Perlu kita ingat di sini bahwa berhala yang lebih ‘berbahaya’ sekarang adalah bukan terbatas hanya patung, tetapi segala ciptaan yang kita anggap lebih utama dari Tuhan, misal, uang, TV, pekerjaan, kedudukan, kecantikan, koleksi barang antik, main game, dst., yang menggeserkan peran Tuhan di dalam hidup kita, dan yang menyita waktu kita sampai tidak ada waktu untuk ke gereja, berdoa dan membaca sabda-Nya. Hal ini malah lebih nyata pada jaman sekarang, ketimbang hal membuat patung lembu tuangan (lih. Ul 9:16), namun prinsipnya sama, yaitu menyembah ciptaan dan bukan Sang Pencipta.

Mari kita refleksikan, apa yang menjadi ‘patung berhala’ di dalam hidup kita, yang mengambil tempat Tuhan di hati kita. Mari kita berdoa agar Tuhan membantu kita mengangkat keterikatan kita terhadap benda-benda tersebut. Dengan demikian kita dapat mengasihi Allah dengan lebih sungguh, tidak hanya di mulut, tetapi sungguh turun sampai ke hati.


[1] Perintah kedua yang dibahas oleh Bapak Pendeta adalah “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit… di bumi … atau yang ada di dalam air di bawah bumi.”(Kel 20:4) Dalam pengajaran Gereja Katolik, perintah kedua adalah: “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan (Kel 20:7), karena ayat ke-4 yang mengacu pada patung berhala merupakan kesatuan/kelanjutan dari perintah pertama yaitu, “Jangan ada allah lain dihadapan-Ku…”(Kel 20:3)

[2] Lihat Katekismus Gereja Katolik 2132, Penghormatan Kristen terhadap gambar tidak bertentangan dengan perintah pertama, yang melarang patung berhala. Karena ‘penghormatan yang kita berikan kepada satu gambar menyangkut gambar asli di baliknya” (Basilius Spir 18,45) dan “siapa yang menghormati gambar, menghormati pribadi yang digambarkan di dalamnya” (Konsili Nisea II, DS 601). Penghormatan yang kita berikan kepada gambar-gambar adalah satu ‘penghormatan yang khidmat’, bukan penyembahan; penyembahan hanya boleh diberikan kepada Allah.

[3] Lihat KGK 2130, Tetapi di dalam Perjanjian Lama, Allah sudah menyuruh dan mengizinkan pembuatan patung, yang sebagai lambang harus menunjuk kepada keselamatan dengan perantaraan Sabda yang menjadi manusia: sebagai contoh, ular tembaga (bdk Bil 21:4-9; Keb 16-5-14, Yoh 3:14-15), tabut perjanjian dan kerub (bdk. Kel 25:10-22; 1 Raj 6:23-28; 7:23-26).

[4] Lihat KGK 2131, …Dengan penjelmaan menjadi manusia, Putera Allah membuka satu “tata gambar” yang baru.

Bunda Maria, tetap Perawan, mungkinkah?

84

Pendahuluan

Pernahkah anda mendengar komentar-komentar seperti: “Bunda Maria tetap perawan? Ah, tidak mungkin…” atau “Bagi saya, tidak penting Bunda Maria perawan atau bukan…” atau “Bunda Maria itu yang tetap perawan jiwanya, bukan tubuhnya…” Semua komentar ini meragukan atau mempertanyakan keperawanan Maria, atau bahkan menganggapnya tidak penting. Gereja Katolik tidak mengajarkan demikian, karena keperawanan Maria membawa arti penting, yang menunjukkan kesempurnaan kasih Allah dalam melaksanakan rencana keselamatanNya, dan bahwa Yesus yang dilahirkan oleh Bunda Maria adalah sungguh-sungguh Allah. Karena itu, Gereja dipanggil untuk menjaga kemurnian ajarannya, dan mencontoh teladan hidup Maria yang murni jiwa dan raganya.

Bunda Maria, tetap perawan

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Bunda Maria adalah tetap perawan, sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan Yesus. ((Lihat Michael O’Caroll C.S. Sp, Theotokos, A Theological Encyclopedia of the Blessed Virgin Mary, ( Michael Glazier Inc. Dublin, Ireland, reprint in 1982 in the USA), p. 357. “Mary of Nazareth conceived her Son Jesus while remaining a virgin; her virginity was not altered by childbirth; she remained a virgin in her marriage with St. Joseph.” Jadi, Maria tetap perawan sebelum, pada saat dan setelah melahirkan Yesus (virginitas ante partum, in partu, post partum) )) Semua orang Kristen percaya bahwa Bunda Maria adalah perawan sebelum melahirkan Yesus, dan banyak dari mereka percaya bahwa Maria tetap perawan pada saat melahirkan Yesus. Tetapi hanya sedikit umat gereja Kristen Protestan yang percaya bahwa Bunda Maria tetaplah perawan setelah melahirkan Yesus Kristus. Kenapa hal Maria yang tetap perawan ini menjadi penting? Karena menurut sejarah, penyangkalan terhadap Maria yang tetap perawan akan menuju kepada penyangkalan terhadap kelahiran Yesus melalui Perawan Maria (the virgin birth of Christ), yang kemudian menjadi penyangkalan akan keilahian Yesus.  ((Robert Payesko, The Truth about Mary, A Summary of the Trilogy, (Queenship Publishing Company, CA, 1998), p.110)) Berikut ini kita lihat penjelasan mengenai hal keperawanan Maria menurut pengajaran Gereja Katolik, yang berdasarkan Kitab Suci, tulisan para Bapa Gereja, dan berdasarkan akal sehat. Juga kita lihat pengajaran dari para pendiri gereja Protestan, karena mereka semua sebenarnya juga mengakui keperawanan Maria.

Ayat dari Kitab Suci yang paling sering dikutip

1. Matius 13:55, Mrk 6:3 “Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?”

Di dalam Alkitab, istilah “saudara” dipakai untuk menjelaskan banyak arti. Kata “saudara” memang dapat berarti saudara kandung, namun dapat juga berarti saudara seiman (Kis 21:7), saudara sebangsa (Kis 22:1), ataupun kerabat, seperti pada kitab asli bahasa Ibrani yang mengatakan Lot sebagai saudara Abraham (Kej 14:14), padahal Lot adalah keponakan Abraham.

Jadi untuk memeriksa apakah Yakobus dan Yusuf itu adalah saudara Yesus, kita melihat kepada ayat-ayat yang lain, yaitu ayat Matius 27:56 dan Markus 15:40, yang menuliskan nama-nama perempuan yang ‘melihat dari jauh’ ketika Yesus disalibkan. Mereka adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Yohanes, dan ibu anak-anak Zebedeus (Mat 27:56); atau Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus Muda, Yoses dan Salome (Mar 15:40). Alkitab menunjukkan bahwa Maria ibu Yakobus ini tidak sama dengan Bunda Maria. ((Maria ibu Yakobus dan Yoses (Yusuf) dicatat dalam Alkitab sebagai salah satu wanita yang menyaksikan penyaliban Kristus (Mt 25:56; Mk 15:40) dan kubur Yesus yang kosong/ kebangkitan Yesus (Mk 16:1; Lk 24:10) ))

Mungkin yang paling jelas adalah kutipan dari Injil Yohanes, yang menyebutkan bahwa yang hadir dekat salib Yesus adalah, Bunda Maria, saudara Bunda Maria yang juga bernama Maria, istri dari Klopas, dan Maria Magdalena (Yoh 19:25). Jadi di sini jelaslah bahwa Maria (saudara Bunda Maria) ini adalah istri Klopas/ Kleopas ((Kleopas adalah salah satu dari murid-murid Yesus yang berjalan ke Emmaus dan mengalami penampakan diri Yesus setelah kebangkitan-Nya (Luk 24:18) )), yang adalah juga ibu dari Yakobus dan Yoses. Kesimpulannya, Yakobus dan Yoses ini bukanlah saudara kandung Yesus.

2. Mat 1:24-25: Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki …

Banyak saudara-saudari kita dari gereja lain mengartikan ayat ini bahwa Maria tidak lagi perawan setelah melahirkan Yesus. Kata kuncinya di sini adalah kata ‘sampai’. Di dalam Alkitab, kata ‘sampai‘ ini tidak selalu berarti diikuti oleh perubahan kondisi. Contoh, pada 1 Kor 15:25, dikatakan, “Karena Ia harus memegang pemerintahan sebagai Raja sampai Allah meletakkan semua musuh-Nya di bawah kaki-Nya.” Hal ini tidak bermaksud bahwa setelah Yesus mengalahkan musuh-Nya Ia tidak lagi menjadi Raja.

3. Luk 2:7: …dan ia (Maria) melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin…

Kata kunci di sini adalah, ‘sulung’. Sulung di sini tidak berarti bahwa Yesus kemudian mempunyai adik-adik. ‘Sulung’ di dalam Alkitab menerangkan hak istimewa dari seseorang. Contoh, pada Kitab Mazmur, Allah menyebut Daud ‘anak sulung’ (Mzm 89:28), meskipun Daud adalah anak ke-8 dari Isai (1 Sam 16).

Allah menyebut bangsa Israel disebut sebagai anak yang sulung (Kel 4:22). Kristus disebut ‘sulung’ adalah untuk menunjukkan bahwa Ia adalah ‘Israel’ yang baru, yang menjadi yang sulung dari banyak saudara (Rom 8:29), yang sulung dari segala ciptaan (Kol 1:15).

4. Mat 15:1-9 dan Yoh 19:27: Dalam Injil Matius bab 15, Yesus mengecam orang-orang Farisi yang mempersembahkan korban tetapi kemudian menelantarkan orang tua mereka. Hukum pada Perjanjian Lama seharusnya mewajibkan seorang anak untuk menanggung orang tuanya, sehingga praktek orang Farisi yang melanggar hal ini membuat Yesus menyebut mereka sebagai ‘munafik’ (Mat 15:1-7).

Dalam Yoh 19:26-27, pada saat Yesus disalibkan, Yesus memberikan Maria ibu-Nya kepada Yohanes (anak Zebedeus) rasul yang dikasihi-Nya, yang bukan saudara-Nya. Seandainya Yesus mempunyai adik-adik, seperti yang dianggap oleh gereja Protestan, perbuatan Yesus ini sungguh tidak masuk di akal. Yesus yang mengecam orang Farisi yang menelantarkan orang tuanya tidak mungkin menyebabkan saudara-Nya sendiri menelantarkan ibu-Nya. Kenyataan bahwa Yesus mempercayakan Maria kepada Yohanes adalah karena Ia tidak mempunyai saudara kandung, karena Bapa Yusuf-pun telah meninggal dunia, dan Yesus tidak mau meninggalkan ibu-Nya sebatang kara.

5. Luk 1:34: Kata Maria kepada malaikat itu, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi karena aku belum bersuami?”

Ayat ini sesungguhnya merupakan terjemahan dari “How shall this be, since I have no husband” (RSV) atau, “I am a virgin” (Jerusalem Bible), atau “I know not man” (Douay -Rheims terjemahan dari Vulgate). Sesungguhnya terjemahan yang benar adalah aku tidak bersuami (jika mengikuti RSV), atau aku seorang perawan (Jerusalem Bible) atau aku tidak mengenal/ berhubungan dengan laki-laki (D-R). Kalimat ini hanya masuk akal jika Maria telah memiliki kaul keperawanan -meskipun pada saat itu ia sudah bertunangan dengan Yusuf- karena, jika tidak demikian, pernyataan ini akan terdengar ‘ganjil’. Sebagai contoh, jika seseorang ditawari rokok, dan ia menjawab ‘saya tidak merokok’, maka maksudnya adalah ‘saya tidak pernah merokok’, dan bukan ‘saya tidak sedang merokok sekarang’. ((Lihat Rene Laurentine, A Short Treatise on the Virgin Mary, (Washington, New Jersey: AMI Press, 1991),p 285))

Pengajaran Bapa Gereja dari Gereja awal

Para Bapa Gereja secara konsisten mengajarkan Maria tetap Perawan (Perpetual Virginity of Mary). Sejarah membuktikan bahwa pengajaran tentang keperawanan Maria ini telah berakar dari sejak Gereja awal, seperti pengajaran dari:

1. Ignatius dari Antiokhia (meninggal tahun 110), Origen (233), Hilarius dari Poiters (m. 367) dan Gregorius Nissa (m. 394). ((Robert Payesko, The Truth about Mary, Volume II, p. 2-155))

2. St. Athanasius (293-373) menyebutkan Maria sebagai Perawan selamanya (Ever Virgin) ((St. Athanasius, Discourses Against the Arians, 2, 70, Jurgens, Vol.1, n. 767a)) dalam bukunya Discourses Against the Arians.

3. St. Jerome (347- 420) tidak hanya menyebutkan keperawanan Maria, tetapi juga keperawanan Yusuf. Ia menulis, “…You say that Mary did nor continue a virgin: I claim still more, that Joseph himself on account of Mary was (also) a virgin, so that from wedlock a virgin son was born.” ((St. Jerome, The Perpetual Virginity of Blessed Mary, Chap 21, seperti dikutip oleh John R. Willis, SJ, The Teaching of the Church Fathers (Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, original print by Herder and Herder, 1966) p. 358))

4. St. Agustinus dan St. Ambrosius (akhir abad ke- 4), mengajarkan keperawanan Maria sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan Yesus Kristus, sehingga Maria adalah perawan selamanya. ((Lihat St. Agustinus, Sermons, 186, Heresies, 56; Jurgens, vol.3, n. 1518 dan 1974d.)) Dengan kuasa Roh Kudus yang sama, Yesus lahir tanpa merusak keperawanan Bunda Maria, seperti halnya setelah kebangkitan-Nya, Dia dapat datang ke dalam ruang tempat para murid-Nya berdoa, tanpa merusak semua pintu yang terkunci (Lih. Yoh 20:26). ((St. Agustinus, Letters no. 137., seperti dikutip oleh John R. Willis, SJ, The Teaching of the Church Fathers, p. 360.)) Roh Kudus yang  membangkitkan Yesus dari mati adalah Roh Kudus yang sama yang membentuk Yesus dalam rahim Bunda Maria. Maka kelahiran Yesus dan kebangkitan-Nya merupakan peristiwa yang ajaib: kelahirannya tidak merusak keperawanan Maria, seperti kebangkitan-Nya tidak merusak pintu yang terkunci.

St. Agustinus mengajarkan, “It is not right that He who came to heal corruption should by His advent violate integrity.” (Adalah tidak mungkin bahwa Ia yang datang untuk menyembuhkan korupsi/kerusakan, malah merusak keutuhan.” ((St. Agustinus, Serm. 189, n.2; PL 38, 1005))

4. St. Petrus Kristologus (406- 450), St. Paus Leo Agung (440-461)dan St. Yohanes Damaskus (676- 749) juga mengatakan hal yang sama. ((St Petrus Kristologus, “The Virgin conceives, the Virgin brings forth her child, and she remains a virgin.” (Sermons, no. 117); St Leo Agung, “…a Virgin conceived, a Virgin bare and a Virgin she remained.”))

5. Konsili Konstantinopel II (553) menyebutkan Bunda Maria sebagai, “kudus, mulia, dan tetap-Perawan Maria”. ((Robert Payesko, The Truth about Mary, Volume II, Mary in Scripture and the Historic of Christian Faith, (Queenship Publishing Company, CA, 1998), p.2-155,

Salah satu butir pengajaran untuk menjawab ajaran yang keliru tentang Bunda Maria di dalam Konsili Konstantinopel II, butir 6, “If anyone declares that it can be only inexactly and not truly said that the holy and glorious ever-virgin Mary is the mother of God, or says that she is so only in some relative way, considering that she bore a mere man and that God the Word was not made into human flesh in her, holding rather that the nativity of a man from her was referred, as they say, to God the Word as he was with the man who came into being; if anyone misrepresents the holy synod of Chalcedon, alleging that it claimed that the virgin was the mother of God only according to that heretical understanding which the blasphemous Theodore put forward; or if anyone says that she is the mother of a man or the Christ-bearer, that is the mother of Christ, suggesting that Christ is not God; and does not formally confess that she is properly and truly the mother of God, because he who before all ages was born of the Father, God the Word, has been made into human flesh in these latter days and has been born to her, and it was in this religious understanding that the holy synod of Chalcedon formally stated its belief that she was the mother of God: let him be anathema.”))

Konsili ini merangkum ajaran-ajaran penting berkaitan dengan bahwa Yesus, adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Termasuk dalam ajaran ini adalah tentang keperawanan Maria.

Pengajaran Magisterium Gereja Katolik

Doktrin dari keperawanan Maria, sebelum, pada saat dan sesudah kelahiran Yesus dinyatakan secara defintif oleh Paus St. Martin I di Sinode Lateran tahun 649, yang berbunyi:

The blessed ever-virginal and immaculate Mary conceived, without seed, by the Holy Spirit and without loss of integrity brought Him forth, and after His birth preserved her virginity inviolate.” ((Denzinger’s Enchiridion Symbolorum (DS, 256)).

Terjemahannya:

Maria yang tetap perawan dan tak bernoda yang terberkati, mengandung tanpa benih manusia, oleh Roh Kudus, dan tanpa kehilangan keutuhan melahirkan Dia dan sesudahnya tetap perawan (keperawanannya tidak ‘rusak’).

Maka, seperti Kritus yang bangkit dengan tubuh-Nya dapat menembus pintu-pintu rumah yang terkunci (lihat Yoh 20: 26), maka pada saat kelahiran-Nya, Ia pun lahir dengan tidak merusak keperawanan ibu-Nya, yaitu Bunda Maria.

Pengajaran dari para pendiri gereja Protestan

Mungkin banyak dari saudara-saudari yang kita yang beragama Kristen non-Katolik tidak mengetahui bahwa para pendiri gereja Protestan awal juga mengajarkan mengenai hal Maria yang tetap perawan, seperti berikut ini:

1. Martin Luther (1483-1546): “Sudah menjadi iman kita bahwa Maria adalah Ibu Tuhan dan tetap perawan…. Kristus, kita percaya, lahir dari rahim yang tetap sempurna (‘a womb left perfectly intact’).” ((Diterjemahkan dari Martin Luther, Works of Luther, Vol. 11, p. 319-320; Vol. 6, p. 510.))

2. John Calvin (1509-1564): “Ada orang-orang yang ingin mengartikan dari perikop Mat 1:25 bahwa Perawan Maria mempunyai anak-anak selain dari Kristus, Putera Allah, dan bahwa Yusuf berhubungan dengannya kemudian, tetapi, betapa bodohnya pemikiran seperti ini! Sebab penulis Injil tidak bermaksud merekam apa yang terjadi sesudahnya; ia hanya mau menyampaikan dengan jelas hal ketaatan Yusuf dan untuk menyatakan bahwa Yusuf telah diyakinkan bahwa Tuhanlah yang mengirimkan malaikatNya kepada Maria. Yusuf tidak pernah berhubungan dengan Maria …(He had therefore never dwelt with her nor had he shared her company)… Dan selanjutnya Tuhan kita Yesus Kristus dikatakan sebagai yang sulung. Hal ini bukan berarti bahwa ada anak yang kedua dan ketiga, tetapi karena penulis Injil ingin menyampaikan hak-hak yang lebih tinggi (precedence). Alkitab menyebutkan hal ‘sulung’ (firstborn), baik ada atau tidaknya anak yang kedua.” ((Diterjemahkan dari John Calvin, Sermon on Matthew, 1:22-25, published in 1562.))

John Calvin bahkan mengecam Helvidius, yang mengatakan bahwa Maria mempunyai banyak anak. ((Lihat Bernard Leeming, “Protestants and Our Lady, Marian Library Studies, January 1967, p.9.))

3. Ulrich Zwingli (1484-1531): “Saya yakin dan percaya bahwa Maria, sesuai dengan perkataan Injil, sebagai Perawan murni melahirkan Putera Allah dan pada saat melahirkan dan sesudahnya selalu tetap murni dan tetap perawan (‘forever remained a pure, intact Virgin’).” ((Diterjemahkan dari Zwingli Opera, Vol. 1, p. 424.))

4. John Wesley (1703-1791)menulis: “Saya percaya bahwa Dia (Tuhan Yesus) telah menjadi manusia, menyatukan kemanusiaan dengan keilahian dalam satu Pribadi; dikandung oleh satu kuasa Roh-Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria yang terberkati, yang setelah melahirkan-Nya tetap murni dan tetap perawan tak bernoda.” ((Diterjemahkan dari John Wesley, Letter to a Roman Catholic, July 18, 1749.))

Pentingnya Keperawanan Maria bagi Gereja

Keperawanan Maria berakibat penting pada Gereja karena Maria adalah ‘model’/ teladan bagi Gereja. Misteri keperawanan Maria dilanjutkan oleh Gereja dalam dua hal. Yang pertama Gereja menjaga kemurnian pengajarannya terhadap ajaran yang menyimpang (“heresy“). Kedua, Gereja memberikan tempat khusus pada penerapan ‘keperawanan’ secara jasmani, sepanjang sejarah Gereja. ((Lihat Hugo Rahner, SJ., Our Lady and the Church, (Zaccheus Press, 2004, reprint, original print by Tyrolia- Verlag, Innsbruck, Vienna, 1961), p. 32-33)) Keperawanan jasmani ini bukan dimaksudkan untuk merendahkan arti perkawinan, tetapi untuk menunjukkan kesempurnaan sesuai dengan teladan yang dicontohkan oleh Yesus sendiri yang mempersembahkan seluruh tubuh dan jiwa untuk pemenuhan rencana keselamatan Allah.

Roh Kudus yang bekerja menaungi Bunda Maria untuk mengandung dan melahirkan Yesus itu juga bekerja menaungi kita saat kita menerima Sakramen Pembaptisan. Dengan demikian, Kristus juga menjadikan Gereja-Nya sebagai Perawan, sebagaimana Bunda Maria adalah Perawan.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa pengajaran Gereja Katolik tentang Bunda Maria yang tetap Perawan memiliki dasar yang kuat. Sebagai orang Katolik kitapun harus meyakini tentang keperawanan Bunda Maria ini, dan mensyukuri teladan kemurniannya. Maka, janganlah kita sampai meragukan keperawanan Maria, hanya karena kita berpikir itu tidaklah mungkin dari kacamata kita sebagai manusia. Karena tiada yang mustahil bagi Allah, apalagi jika itu menyangkut segala pernyataan tentang Diri-Nya yang kudus dan penuh kasih. Dengan perbuatan-Nya menguduskan Maria sedemikian rupa, Ia menunjukkan betapa kasih-Nya yang sempurna tidak meninggalkan sedikitpun cacat dan noda pada kemurnian Bunda Maria. Bunda Maria menjadi teladan bagi Gereja yang menjunjung tinggi nilai kemurnian tubuh dan jiwa dalam mengabdi Tuhan, dan memberi contoh bagi kita bagaimana memberikan diri seutuhnya bagi rencana Keselamatan Allah.


Kerajaan Allah sudah dekat (Mat 9:35-10:8)

12

Doa sebelum membaca sabda Tuhan:

Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh kudus, Datanglah Roh Kudus, penuhilah hatiku. Nyalakanlah di dalamnya Api cinta-Mu. Pimpinlah agar aku dapat memahami Sabda-Mu, merenungkannya, meresapkan dan menerapkannya di dalam kehidupanku. Amin. Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh kudus, Amin.

Mat 9:35- 10:8

    • 9:35. Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.
    • 9:36 Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.
    • 9:37-38 Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.”
    • 10:1. Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan.
    • 10:2-4 Inilah nama kedua belas rasul itu: Pertama Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya, dan Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, Filipus dan Bartolomeus, Tomas dan Matius pemungut cukai, Yakobus anak Alfeus, dan Tadeus, Simon orang Zelot dan Yudas Iskariot yang mengkhianati Dia.
    • 10:5-6 Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: “Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.
    • 10:7 Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat.
    • 10:8 Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.

Pembahasan secara umum: Apa sih Kerajaan Allah itu

“Kerajaan Allah” yang didirikan oleh Yesus Kristus sang Mesias adalah topik utama Injil Matius, Markus dan Lukas.[1] Karenanya, kita sering mendengar kata “Kerajaan Allah” dan tentu kita semua berharap untuk masuk ke dalamnya. Syukur kepada Tuhan, oleh kemurahan-Nya, kita semua yang sudah dibaptis dan menjadi anggota Gereja-Nya, telah termasuk dalam bilangan Kerajaan Allah itu (lih. Mat 28:18-20),[2] namun kita harus terus berjuang untuk tetap melaksanakan perintah Tuhan untuk tetap tinggal di dalamnya (lih. Mat 7:21). Kerajaan Allah memang bersifat rohani, tinggal di hati kita, dan sudah dimulai sejak kita hidup di dunia, tetapi kesempurnaannya dicapai saat akhir jaman, saat Kristus menyatakan DiriNya (lih. Kol 3:4).

Kerajaan Allah dalam Injil Matius

Injil Matius sering disebut sebagai “Injil Pemenuhan” dan “Injil Kerajaan“, dan kedua tema ini sesungguhnya mengacu pada satu maksud, yaitu bahwa kedatangan Kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang baru, melainkan pemenuhan dari janji-janji Tuhan pada Perjanjian Lama. Injil Matius dikenal sebagai “Injil Kerajaan”, karena begitu seringnya Injil ini menyebutkan tentang Kerajaan Allah yang disebut sebagai Kerajaan Sorga, yaitu sebanyak 51 kali.[3] Sorga di sini adalah istilah dalam bahasa Aram yang berarti sama dengan ‘Allah’.

Injil Matius mengajarkan beberapa makna Kerajaan Allah, yaitu Kerajaan Kristus Sang Mesias di dunia, pemenuhan Kerajaan Allah di Surga, dan pengakuan akan hak Allah di dalam setiap jiwa manusia.[4] Karena begitu pentingnya Kerajaan Allah ini, maka Yesus mengajarkan kita dalam doa “Bapa Kami” untuk memohon kedatangan Kerajaan Sorga, yaitu pada saat kehendak-Nya terjadi di dunia ini, termasuk di dalam diri kita. Sekarang masalahnya, sungguhkah kita menghayati permohonan ini yang setiap kali kita ucapkan dalam doa Bapa Kami, “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu…” Selanjutnya, Konsili Vatikan II menjelaskan, bahwa “Gereja merupakan benih dan awal mula Kerajaan itu di dunia. Sementara itu, Gereja lambat-laun berkembang, mendambakan Kerajaan yang sempurna, dan dengan sekuat tenaga berharap dan menginginkan, agar kelak dipersatukan dengan Rajanya dalam kemuliaan benih awal Kerajaan Allah” (Lumen Gentium, 5).

Kerajaan Allah seperti dijabarkan dalam Mat 9:35- 10:8

Pada pembahasan perikop ini, kita melihat bahwa Yesus datang ke dunia untuk memberitakan tentang Kerajaan Allah. Sebagai pemenuhan janji Allah, Yesus adalah pendiri Kerajaan Allah itu di dunia, yang diawali dengan pewartaan ajaran-Nya dan ditandai dengan mukjizat-mukjizat. Tugas pewartaan dan kuasa melakukan mukjizat itu kemudian diberikan kepada para rasul. Sampai sekarang kita melihat bagaimana pewartaan dan kuasa mukjizat itu diteruskan oleh para pengganti para rasul di dalam Gereja-Nya, maka kita dapat mengetahui bahwa Kerajaan Allah yang dikatakan di dalam Injil merupakan sesuatu yang terjadi saat ini dan terus disempurnakan sampai akhir jaman.

Mat 9:35 Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.

Dari perikop sebelumnya, kita mengetahui bahwa Yesus tidak hanya mengajar tetapi juga menyembuhkan. Ia menyembuhkan orang lumpuh (Mat 9:1-8), wanita yang sakit perdarahan (9:20-22), dua orang buta (9:27-30), orang bisu dan kerasukan setan (9:32-34), bahkan Ia membangkitkan orang mati, yaitu anak kepala rumah ibadat (9:23-26). Sungguh tiada yang mustahil bagi Yesus, sebab Ia adalah Putera Allah. Namun yang perlu kita perhatikan juga adalah bagaimana Yesus melihat dosa sebagai kelemahan manusia, seperti pada kisah orang lumpuh itu. Yesus mengampuni dosanya terlebih dahulu, dan sebagai akibatnya orang lumpuh itu berjalan (lih. Mat 9:2-7).

Permenungan pribadi:

  • Apakah aku percaya bahwa tiada yang mustahil bagi Tuhan? Dan bahwa jika Ia mau, Ia dapat menyembuhkan aku?
  • Jika aku sakit dan datang kepada Tuhan untuk minta disembuhkan, apakah aku terlebih dahulu mohon ampun untuk segala dosaku? Ataukah aku hanya terpaku pada penyakitku saja?
  • Bagaimana reaksi-ku jika aku menyaksikan sendiri kesembuhan yang dialami oleh seseorang karena rahmat Tuhan, apakah aku percaya dan memuji Tuhan, ataukah aku bersikap ‘curiga’?

9:36 Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.

Yesus menyembuhkan karena Ia mengasihi. Mari kita mengingat, bahwa Yesus adalah perwujudan belas kasihan Allah yang sempurna kepada manusia (lihat artikel: Belas Kasihan Tuhan adalah Kabar Gembira utama!). Ia adalah Sang Gembala yang baik, yang selalu rindu untuk mempersatukan domba-domba-Nya. Di sini kita melihat betapa segala mukjizat yang dilakukan-Nya adalah untuk membawa manusia untuk bersatu di dalam satu kawanan, dengan Ia sendiri sebagai Kepalanya.

Permenungan pribadi:

  • Apakah aku selalu mengingat belas kasihan Yesus, sehingga aku selalu mau untuk tinggal di dalam kawanan domba-Nya? Apakah aku segera bertobat setiap kali kusadari aku telah berdosa dan meninggalkan kawanan tersebut?
  • Apakah aku berbelas kasihan terhadap sesama, terutama pada mereka yang sakit, menderita, atau mereka yang rindu untuk mengenal Yesus lebih dalam? Apa yang kulakukan terhadap mereka?
  • Apa yang sudah kuperbuat untuk memperkenalkan Yesus pada orang lain?
  • Apakah aku termasuk golongan orang-orang yang berjuang untuk persatuan Gereja, ataukah yang memecah- belah Gereja?

9:37-38 Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.”

Ayat ini begitu ‘pas’ untuk menggambarkan saat ini, yaitu bahwa ada banyak orang yang rindu untuk menerima Kabar Gembira, sedangkan jumlah para pekerja/ pewarta Kabar Gembira itu sedikit. Yesus menginginkan kita berdoa memohon kepada Tuhan agar Ia menggerakkan banyak orang mau bekerja mewartakan Injil Kerajaan Allah ini. Dan dengan doa kita, Allah berjanji akan mengirimkan para pekerja itu.

Permenungan pribadi:

  • Apakah aku sudah berdoa untuk rahmat panggilan Allah, agar semakin banyak orang mau terlibat dalam tugas pewartaan Injil ini, entah melalui kehidupan membiara ataupun kerasulan awam?
  • Apakah aku sendiri terpanggil untuk secara khusus menjadi imam/ biarawati? Apakah aku sudah dengan sungguh-sungguh berdoa untuk mengetahui kehendak Allah dalam hidupku?
  • Jika aku sudah berkeluarga dan memiliki anak-anak: apakah aku sendiri sudah membina iman mereka, dan mengarahkan mereka, jika ada yang ingin menjadi biarawan/ biarawati?

10:1 Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan

Untuk meluaskan Kerajaan Allah, Yesus memilih kedua belas rasul yang diberi-Nya kuasa melakukan mukjizat dan kesembuhan. Di sini kita melihat bahwa pemilihan para rasul berkaitan dengan misi pewartaan Kerajaan Allah. Karena itu hirarki Gereja yang menjadi penerus para rasul itu (Paus, para uskup dan imam) melanjutkan karya Kristus untuk membangun Kerajaan Allah di dunia ini.

Di sini kita juga melihat bahwa menjadi rasul itu bukan merupakan ‘hak’ seseorang, tetapi merupakan ‘karunia’. Tak seorangpun dapat meng-klaim bahwa ia berhak untuk menjadi seorang imam, namun Yesus sendiri yang dengan kebijaksanaan dan kemurahan hati-Nya memilih orang-orang tertentu untuk menjadi para rasul-Nya.

Permenungan pribadi:

  • Percayakah aku pada kuasa sakramen-sakramen Gereja, yang melaluinya Kristus memberikan kuasa kepada para penerus rasul-Nya untuk mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan penyakit?
  • Apakah aku cukup menghormati para penerus rasul Kristus, yaitu para imam uskup, dan Paus dalam sikap dan percakapanku sehari-hari? Apakah aku menerima ajaran mereka dan menerapkannya?
  • Bagaimana reaksiku jika ada orang yang meng-klaim ia ‘berhak’ menjadi imam dan memisahkan diri dari kesatuan Gereja?
  • Jika aku seorang imam, sadarkah aku jika Tuhan telah mengurapiku, menguduskan tanganku untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya? Dan bahwa kuasa-Nya yang ajaib telah diberikan-Nya kepadaku untuk menguduskan umat-Nya?

10:2-4 Inilah nama kedua belas rasul itu: Pertama Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya, dan Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, Filipus dan Bartolomeus, Tomas dan Matius pemungut cukai, Yakobus anak Alfeus, dan Tadeus, Simon orang Zelot dan Yudas Iskariot yang mengkhianati Dia.

Yesus memilih kedua belas rasul, yang dimulai dengan Petrus. Ayat ini adalah satu di antara banyak ayat dalam Kitab Suci yang selalu menyebutkan Petrus sebagai yang pertama dari semua rasul yang lain (lih. Mat 10:1-4; Mrk 3:16-19; Luk 6:14-16; Acts 1:13). Kadang-kadang para rasul disebut sebagai Petrus dan teman-temannya (Luk 9:32). Petrus sering berbicara atas nama semua rasul (Mt 18:21; Mrk 8:29; Luk 12:41; Jn 6:69). Nama Petrus ditulis di dalam Alkitab sebanyak 191 kali (162 kali sebagai Petrus atau Simon Petrus, 23 kali sebagai Simon, and 6 kali sebagai Kephas). Sebagai perbandingan, Yohanes hanya disebut sebanyak 48 kali. Archbishop Fulton Sheen pernah menghitung bahwa semua nama rasul digabungkan hanya disebut 130 kali. Semua hal ini menunjukkan keutamaan Rasul Petrus dibandingkan dengan rasul-rasul yang lain.

Kedua belas rasul yang dipilih oleh Yesus ini adalah orang-orang sederhana. Mereka kebanyakan adalah nelayan. Namun begitu dipilih, mereka meninggalkan pekerjaan mereka dan langsung mengikuti Yesus. Kerajaan Allah dimulai dari orang-orang kecil dan sederhana, maka tak heran Yesus menyebutkan bahwa Kerajaan Allah adalah seperti biji sesawi, biji yang kecil namun setelah bertumbuh dapat menjadi besar (Mat 13:31-32).

Permenungan pribadi:

  • Apakah aku menghormati Paus Benediktus XVI sebagai pengganti rasul Petrus? Apakah aku berdoa baginya, dan bagi intensi-intensinya?
  • Apakah tanggapanku jika mendengar bahwa Allah memilih orang-orang yang sederhana? Apakah aku bersyukur atau mencemooh?

10:5-6 Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: “Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.

Ayat ini kadang disalah-artikan, karena tidak dibaca dalam konteks keseluruhan ayat di Alkitab. Malah ada orang-orang yang berpendapat bahwa Yesus hanya datang untuk orang Yahudi. Tentu saja tidak demikian. Yesus ingin sebanyak mungkin orang dapat masuk menjadi anggota Kerajaan Allah, seperti yang dikatakan-Nya dalam amanat agung sebelum Ia naik ke surga (Mat 28:18-20). Pada kesempatan itu, Yesus juga menjanjikan karunia Roh Kudus yang menjadikan para rasul sebagai saksi-Nya mulai dari Yerusalem, lalu meluas ke seluruh Yudea dan Samaria, dan akhirnya sampai ke ujung bumi (Kis 1:8). Jadi Kerajaan Allah direncanakan Yesus untuk disebarkan ke seluruh dunia, dan karenanya bersifat universal, yaitu untuk semua orang.

Kenyataan bahwa Yesus memerintahkan agar para rasul pergi mewartakan kepada umat Israel terlebih dahulu itu berhubungan dengan rencana Allah yang telah memilih Israel sebagai bangsa pertama untuk menerima tawaran Sang Mesias.[5]

Permenungan pribadi:

  • Apakah aku termasuk dalam bilangan ‘domba yang hilang’?
  • Apakah aku telah mewartakan Kristus pertama-tama di dalam lingkungan keluargaku? Di dalam lingkungan pekerjaanku?
  • Apa yang kuperbuat jika aku mendengar seorang teman/ saudaraku meninggalkan Gereja/ tidak lagi beriman kepada Kristus? Apakah aku mengajaknya kembali?
  • Apakah aku pilih-pilih dalam berteman? Apakah aku sudah menyapa mereka yang belum pernah menyapaku?
  • Apa yang kuperbuat untuk membuat umat di paroki lebih bersatu, saling memperhatikan dan menolong, terutama kepada yang menderita dan berkekurangan?

10:7 Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat.

Perkataan Yesus ini mengingatkan kita pada seruan Yohanes Pembaptis (Mat 3:2). Injil Matius menyebutkan seruan Yohanes ini setelah menjabarkan kisah kelahiran Yesus, sang ‘Raja’ (Mat 2:2) yang disembah oleh para Majus. “Kerajaan Sorga sudah dekat”, di sini menunjuk kepada Yesus, Sang Mesias; karena misi Yohanes Pembaptis adalah untuk mempersiapkan kedatangan Yesus Kristus. Kerajaan Sorga yang disebutkan oleh Yesus juga menunjuk kepada diri-Nya, seperti yang dijelaskan oleh Yesus sendiri melalui perumpamaan penabur (lihat Mat 13:24 dan 13:37). Yesus ‘menabur benih’ di dunia, dan benih gandum itu akan dibiarkan tumbuh bersama lalang sampai masa menuai di akhir jaman (Mat 13:30). Di sini kita melihat bahwa Kerajaan Allah telah didirikan oleh Yesus, namun kesempurnaannya dicapai pada akhir jaman, saat gandum itu dipisahkan dari lalang; saat orang-orang yang baik dipisahkan dari yang jahat.

Kerajaan Sorga ini mengacu pada Kerajaan Allah yang diberitakan oleh Yesus melalui ajaran-ajaran-Nya yang disertai dengan tanda-tanda mukjizat-Nya. Perintah Yesus ini serupa dengan dikatakan-Nya sebelum Dia naik ke surga, “…pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu….” (Mat 28:20). Dengan demikian, Yesus menjadikan Pembaptisan sebagai pintu gerbang untuk memasuki Kerajaan Allah itu, dan Pembaptisan harus diikuti dengan melaksanakan segala perintah-Nya.

Sekarang, apakah Kerajaan Allah sudah dekat bagi kita? Jawabnya tentu, YA! Karena Yesus sang Raja hadir dalam Ekaristi, jadi setiap kita menyambut Ekaristi, kita menyambut Yesus dan KerajaanNya, karena keduanya tak terpisahkan. Jadi Kerajaan Allah bukan saja hanya dekat, tetapi malah menghampiri dan bersatu dengan kita di dalam Ekaristi. Saat kita menerima Ekaristi, Kerajaan Allah bagi kita adalah di sini dan sekarang (‘here and now’), yang merupakan gambaran jaminan kemuliaan Kerajaan Surgawi yang akan datang.[6](lihat artikel: Sudahkah Kita Pahami Pengertian Ekaristi?) Ekaristi memampukan kita untuk tinggal di dalam kasih dan berbuat kasih, sehingga dengan demikian kita dapat menjadi saksi yang hidup tentang kehadiran Kerajaan Allah di dunia ini. Jadi, walaupun kesempurnaan Kerajaan Allah itu dicapai di surga, namun sejak sekarang sudah dapat kita alami. Kehadiran Kristus di hati kita menjadikan Kerajaan Allah itu hadir ‘di sini dan sekarang’.

Sebagai tambahan, menurut Paus Benediktus XVI dalam bukunya Jesus of Nazareth, Kerajaan Allah dapat diartikan dalam 3 hal: 1) Yesus sendiri, karena seperti diajarkan oleh Origen, Yesus adalah Kerajaan Allah yang menjelma menjadi manusia; 2) Kerajaan Allah ada di dalam hati manusia yang berdoa memohon kedatangan Kerajaan Allah itu; 3) Gereja yang merupakan perwujudan Kerajaan Allah di dalam sejarah manusia.[7]

Permenungan pribadi:

  • Apakah aku menghayati kedatangan Kerajaan Allah, saat aku menyambut Yesus yang hadir dalam Ekaristi?
  • Apakah aku layak disebut sebagai anggota Kerajaan Allah? Bagaimana dengan perkataan dan perbuatanku, apakah sesuai dengan ajaran Kristus?
  • Apakah aku cukup mensyukuri rahmat Pembaptisanku?
  • Apakah aku memiliki semangat untuk menyebarkan Injil Kerajaan Allah kepada semua orang?
  • Apakah aku sudah berbuat kasih untuk memberi kesaksian tentang kehadiran Tuhan di dalam hidupku?
  • Apakah aku menyadari bahwa di dalam hatiku ada Kerajaan Allah?
  • Apakah aku menghormati Gereja dan semua ajarannya, karena Gereja adalah perwujudan Kerajaan Allah di dunia?

10:8 Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.

Kuasa untuk melakukan tanda mukjizat diberikan oleh Yesus kepada para rasul secara cuma-cuma, karena itu Yesus tidak menginginkan mereka menarik keuntungan materi dari pelayanan mereka. Inilah yang menjadi tanda para hamba Allah sejati. Jika mereka meniru teladan Yesus dan para rasul, maka mereka haruslah hidup sederhana, tanpa menarik keuntungan pribadi dari segala pelayanan misi Kerajaan Allah.

Permenungan pribadi:

  • Jika aku melakukan tugas pewartaan Injil, apakah aku mencari keuntungan pribadi dari tugas pelayanan tersebut?
  • Jika aku mampu, apakah aku mau melakukan tugas pelayanan di Gereja dengan cuma-cuma? Dan melakukannya dengan suka cita?
  • Jika aku ketahui ada tetangga/ umat yang sakit, maukah aku mengunjungi dan berdoa bagi kesembuhannya?
  • Apakah aku mendukung semua pastor, terutama pastor paroki, dengan doa-doaku, agar Roh Kudus memberkati karya mereka untuk menyembuhkan dan mengusir kuasa jahat?

Marilah kita berdoa

Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.

Bapa di Surga, aku mengucap syukur untuk Sabda-Mu yang mengingatkan aku tentang indahnya Kerajaan-Mu. Aku bersyukur karena Engkau telah mengangkatku untuk menjadi anggota Kerajaan-Mu lewat Sakramen Pembaptisan. Terima kasih ya Tuhan, untuk karunia rahmat Pembaptisan ini. Ampunilah aku jika aku belum sungguh-sungguh layak disebut sebagai anggota Kerajaan-Mu, terutama jika aku kurang mengimani bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, jika aku kurang bersyukur kepada-Mu dan jika aku gagal melakukan semua ajaran-Mu. Buatlah aku menyadari bahwa dengan menyambut Kristus dalam Ekaristi, aku menyambut Engkau sendiri. Bukalah mata hatiku agar melihat bahwa di dalam Ekaristi aku menerima mukjizat terbesar: Engkau yang ilahi mau masuk ke dalam tubuhku yang fana, karena Engkau mau mengangkatku, menyembuhkanku, dan membebaskan aku dari kematian kekal akibat dari dosa-dosaku. Yesus, bantulah aku supaya dapat hidup sesuai dengan ajaran-Mu agar dengan demikian aku dapat menjadi saksi yang hidup untuk meluaskan Kerajaan-Mu. Bantulah aku untuk taat kepada mereka yang telah Engkau pilih sebagai penerus para rasul-Mu, agar bersama-sama dengan mereka, aku dapat turut mewartakan Kerajaan-Mu sampai ke ujung dunia.

Bapa, terimalah doa ini yang kusampaikan di dalam nama Putera-Mu Yesus Kristus.

Dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. Amin.


[1] John E. Steinmueller and Kathryn Sullivan, Catholic Biblical Encyclopedia, New Testament, (Joseph F. Wagner Inc., NY, 1956), p. 374.

[2] Lihat Lumen Gentium, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, 9, “Kedudukan umat itu ialah martabat dan kebebasan anak-anak Allah. Roh kudus diam di hati mereka bagaikan dalam kenisah. Hukumnya perintah baru itu mencintai, seperti Kristus sendiri telah mencintai kita (lih. Yoh 13:34). Tujuannya Kerajaan Allah, yang oleh Allah sendiri telah dimulai di dunia, untuk selanjutnya disebarluaskan, hingga pada akhir zaman diselesaikan oleh-Nya juga, bila Kristus, hidup kita, menampakkan diri (lih. Kol 3:4), dan bila “makhluk sendiri akan di merdekakan dari perbudakan kebinasaan dan memasuki kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Rom 8:21). Oleh karena itu umat masehi, meskipun kenyataannya tidak merangkum semua orang, dan tak jarang nampak sebagai kawanan kecil, namun bagi seluruh bangsa manusia merupakan benih kesatuan, harapan dan keselamatan yang kuat. Terbentuk oleh Kristus sebagai persekutuan hidup, cinta kasih dan kebenaran, umat itu oleh-Nya diangkat juga menjadi upaya penebusan bagi semua orang, dan diutus keseluruh bumi sebagai cahaya dan garam dunia (lih. Mat 5:13-16).”

[3] Dom Bernard Orchard, A Catholic Commentary on Holy Scripture, (Thomas Nelson and Sons, NY, 1953) p. 852-853, Injil Matius menyebutkan tentang “Kerajaan” ini sebanyak 51 kali, sedangkan Markus 14 kali, dan Lukas 39 kali.

[4] Ibid., p. 853

[5] Ibid., p. 869

[6] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1402, 1419

[7] Joseph Ratzinger, Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, (Double Day, New York, USA, 2007), p.49-50

Belas kasihan Tuhan adalah Kabar Gembira utama!

3

Allah mengasihi kita

Mungkin kita pernah bertanya dalam hati: apakah topik yang dapat dibicarakan jika pertama kali kita ingin memperkenalkan iman kita kepada orang lain. Ya, tidak ada hal yang lebih utama daripada ini: Allah mengasihi kita manusia sehingga Ia mengutus Yesus Putera-Nya ke dunia untuk menghapus dosa-dosa kita, agar kita memperoleh hidup yang kekal (Yoh 3:16). Mungkin hal ini sudah sering kita dengar, tetapi baiklah kita meresapkannya kembali, sebab semakin kita menghayati pesan ini, semakin kita diubahkan oleh Tuhan menjadi orang-orang yang selalu bersyukur, dan bertumbuh di dalam iman dan kasih kepada-Nya. Jika kita hidup sesuai dengan pesan yang akan kita wartakan, maka pewartaan kita akan menjadi lebih berdaya guna. Paus Yohanes Paulus II dengan jelas menyampaikan pesan kasih Allah ini dalam surat ensikliknya yang berjudul “Penyelamat Manusia” (Redemptor Hominis ((Redemptor Hominis adalah Surat Ensiklik pertama Paus Yohanes Paulus II setelah beliau diangkat menjadi Paus pada tahun 1978.)) /RH) dan “Belas Kasihan Tuhan” (Dives in Misericordia /DM). Tulisan berikut ini adalah ulasan yang mengambil sumber utama dari kedua surat ensiklik tersebut.

Yesus, Allah yang menjadi manusia

Allah yang Maha Besar bersemayam dalam terang yang tak terhampiri (1Tim 6:16). Kita dapat melihat kebesaran Allah itu lewat alam semesta dan segala ciptaanNya, namun semua itu tidak dapat menggambarkan dengan jelas tentang DiriNya. ((Dives in Misericordia (DM 2). )) “Tak ada seorangpun yang pernah melihat Allah”, kata Rasul Yohanes, “dan hanya Kristus yang ada di pangkuan Allah yang menyatakan Dia” (Yoh 1:18). Di dalam Kristus, Allah yang tidak kelihatan menjadi kelihatan. Melalui perkataan dan perbuatan Kristus, dan terutama melalui kurban salib dan kebangkitan-Nya, kita melihat bukti kasih Allah itu. “Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya…” (Yoh 15:13). Kristus menggenapi perkataan-Nya ini dengan wafat-Nya di kayu salib. Salib Kristus menjadi tanda misteri kasih Allah yang tak terbatas. Di sana kita melihat kasih yang lebih besar dari segala dosa dan kelemahan; kasih yang lebih kuat daripada maut, kasih Allah yang selalu siap mengampuni selalu siap merangkul anak-anak-Nya yang bertobat. Ya, kasih Allah ini menjelma menjadi manusia ((Ibid.)); sehingga dalam sejarah manusia, pernyataan kasih Tuhan itu mengambil bentuk dan nama, yaitu, Yesus Kristus. ((Redemptor Hominis (RH 9). ))

Siapa yang melihat Yesus, melihat Bapa

Filipus, salah seorang dari kedua belas rasul pernah meminta pada Yesus untuk menunjukkan Allah Bapa kepada mereka. Rupanya tiga tahun hidup bersama Yesus, tidak membuatnya mengenali bahwa Yesus adalah gambaran Allah Bapa sendiri. Yesus menjawabnya, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9). Gambaran Allah Bapa yang dinyatakan Yesus adalah Bapa yang penuh belas kasihan, yang mau menyelamatkan kita manusia.  Maka misteri Keselamatan adalah cerminan kasih Ilahi dari Allah. ((RH 9, Paus Yohanes Paulus II menyebutkan hal ini sebagai the Divine dimension of the Mystery of Redemption.))

Maka mari kita melihat ke dalam diri kita sendiri. Mungkin, kita juga mempunyai pertanyaan seperti Rasul Filipus, walaupun tidak persis sama. Kita mempertanyakan sejauh mana Allah mengasihi kita; kita meminta bukti  kasih Allah dengan memohon mukjizat atau pengabulan doa. Walaupun memohon pertolongan Tuhan tidaklah salah, namun ada baiknya selalu kita resapkan di dalam hati bahwa dalam keadaan apapun, Allah itu peduli, dan menaruh belas kasihan kepada kita yang berharap kepada-Nya. Sebab perbuatan kasih yang terbesar sudah dilakukan-Nya, yaitu memberikan hidup-Nya sendiri bagi kita, agar kita memperoleh anugerah kehidupan yang kekal.

Siapa yang melihat Yesus, melihat gambaran dirinya sendiri

Manusia tidak dapat hidup tanpa kasih. ((RH 10)) Jika manusia tidak pernah mengalami kasih, dan tidak membuat kasih sebagai bagian dari hidupnya sendiri, ia tidak akan pernah mengalami kebahagiaan di dalam hidupnya. Itulah sebabnya, salib Kristus menunjukkan pada kita bagaimana seharusnya kita hidup. Sebagaimana Kristus hidup di dunia untuk mengasihi kita dan berkurban untuk kita, maka kita-pun hidup untuk membagikan kasih kepada orang lain dan memberikan diri kita kepada orang lain. ((Ibid., Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa pengurbanan Kristus menunjukkan bahwa hakekat dan tujuan manusia diciptakan adalah untuk membagikan kasih. Ini disebut sebagai the human dimension of the Mystery of Redemption.)) Hanya dengan hidup melaksanakan kasih yang mau ‘berkurban’ seperti yang kita lihat dalam diri Kristus, kita akan menemukan arti hidup ini.

Dengan merenungkan pengorbanan Kristus di salib, dan membawa hidup kita -beserta semua pergumulan, kelemahan dan dosa-dosa kita- kehadirat-Nya, kita disadarkan akan kedalaman misteri kasih Allah itu. Kita akan menyembah Tuhan dengan kekaguman di dalam hati: betapa sungguh berharganya kita ini di mata Tuhan, sehingga Ia memberikan AnakNya sendiri untuk wafat bagi kita (Yoh 3:16). Kristus menjadi pernyataan belas kasihan Allah yang sempurna, yang menyempurnakan belas kasih-Nya yang telah dinyatakan sejak penciptaan dunia. Belas kasih Allah kepada kita manusia yang berdosa inilah yang menjadi pesan utama pewartaan kita. Betapa dunia sekitar kita perlu untuk mendengar kabar gembira ini, sebab belas kasihan Allah inilah yang sanggup memulihkan dan memperbaharui hidup kita, sehingga kita benar-benar dapat menjadi ciptaan baru yang menjalani hidup yang baru di dalam Tuhan, yang memampukan kita untuk mengasihi dan menemukan kebahagiaan sejati.

Belas kasih Allah di dalam Perjanjian Lama

Di Perjanjian Lama, kita telah melihat pengalaman akan belas kasihan Allah yang tak terputuskan, baik yang ditujukan kepada perorangan maupun kepada bangsa Israel. Bangsa Israel yang dipilih Allah sering tidak setia, mereka berkali-kali melanggar perjanjian dengan Allah. Namun jika mereka bertobat, Allah menerima mereka kembali. Belas kasihan di sini menunjuk pada kasih yang lebih besar daripada dosa dan ketidak-setiaan bangsa Israel.

Di Perjanjian Lama kita melihat bagaimana penderitaan karena dosa membawa orang-orang Israel untuk memohon belas kasihan Tuhan. Belas kasihan Tuhan seolah-olah dipertentangkan dengan keadilan Tuhan yang tidak berkompromi dengan dosa. Padahal walaupun berbeda dengan keadilan, belas kasihan Tuhan tidak bertentangan dengan keadilan. Belas kasihan Allah lebih besar dari keadilan. Untuk memahami hal ini kita harus melihat kepada awal mula penciptaan, di mana Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga besar seluruh manusia yang berdasarkan kasih, yang tidak menginginkan segala yang jahat terhadap sesama. ((DM 4.)) Jadi keadilan yang dinyatakan Tuhan, adalah demi kasih-Nya kepada manusia.

Belas kasih Allah di dalam Perjanjian Baru

Belas kasihan Allah digambarkan dengan sangat indah di dalam perumpamaan Anak yang hilang, pada Injil Lukas (Luk 15:11-32). ((Lihat DM 5)) Dalam kisah ini, diceriterakan bahwa setelah menerima bagian kekayaan dari ayahnya, si anak bungsu menghambur-hamburkan harta itu, sampai akhirnya ia kehabisan segala miliknya, dan menjadi pekerja di kandang babi. Begitu kelaparannya si anak itu, sehingga ia sampai sangat ingin mengambil makanan babi itu, tetapi tak seorangpun memberikannya kepadanya. Dalam keterpurukannya ini, si anak bungsu itu terhenyak dan berpikir untuk kembali ke rumah bapanya. Melalui segala dosa dan kesalahannya, si bungsu merasakan kehilangan martabatnya sebagai anak bapa. Ia ingin kembali ke rumah bapanya dan bekerja sebagai orang upahan saja. Ia siap menanggung malu, karena menyadari bahwa ia tidak layak disebut ‘anak’ lagi. Si bungsu kemudian pulang ke rumah bapa, yang ternyata telah menunggunya sejak lama untuk menerimanya kembali. Alkitab menulis, “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia”. Ia bertobat, dan bapanya menyambutnya dengan gembira (Luk 15:20).

Betapa besar belas kasihan bapa itu, yang mengalahkan batas-batas keadilan. Karena jika menurut keadilan, anak bungsu itu layak untuk menjadi orang upahan. Sedikit demi sedikit, ia akan dapat mengumpulkan uang, walaupun mungkin tak akan pernah sama dengan apa yang dulu telah diterimanya dari bapanya. Ini adalah ukuran keadilan, karena dia bukan hanya telah menghambur-hamburkan uang bapanya, tetapi juga telah melukai hati bapanya oleh karena perbuatannya. Namun lihatlah, betapa besar belas kasihan sang bapa. Ia setia sebagai seorang bapa; ia setia untuk selalu mengasihi anaknya. Kesetiaan ini ditunjukkan tidak hanya dengan kesediaannya mengampuni anaknya, tetapi juga karena ia mengampuni dengan suka cita. Sebab, anaknya yang telah ‘mati’, hidup kembali; hilang namun didapat kembali (Luk 15:32). Bapanya bersuka cita, sebab si bungsu dapat memperoleh martabatnya kembali sebagai ‘anak’-nya. ((Lihat DM 6)) Inilah gambaran Bapa kita di Surga, yang dengan belas kasihNya selalu menanti kita kembali dari segala pelanggaran dan dosa kita, agar Ia dapat mengembalikan martabat kita sebagai anak-anak-Nya.

Belas kasih Allah dialami melalui pertobatan

Perumpamaan Anak yang Hilang (lih. Luk 15:11-32) menggambarkan kenyataan yang sederhana dan mendalam tentang pertobatan. Pertobatan adalah pernyataan tentang rahmat kasih yang bekerja dan kehadiran belas kasihan Allah dalam kehidupan seseorang. ((Ibid.)) Belas kasih Allah di sini tidak dimaksudkan untuk merendahkan si penerima tetapi untuk memberikan martabat yang sepantasnya kepadanya. Dalam perumpamaan Anak yang Hilang tersebut, kenyataan belas kasih bapanya inilah yang disadari oleh si anak bungsu itu sehingga ia dapat melihat dirinya sendiri dan segala perbuatannya dalam terang kebenaran. Belas kasih bapanya inilah yang kemudian mengembalikan martabatnya sebagai ‘anak’ dan memperbolehkannya untuk kembali mengambil bagian dalam kehidupan bapanya.

Dengan kadar yang berbeda, mungkin kita semua pernah mengalami sebagai ‘anak yang hilang’ di dalam hidup kita. Pada saat kita terpuruk oleh berbagai masalah, misalnya sakit, masalah pekerjaan atau keuangan, masalah keluarga, kita menjadi sadar bahwa kita telah sekian lama meninggalkan Tuhan, terlalu disibukkan oleh urusan kita sendiri, atau kurang bergantung pada Tuhan. Kitapun mengalami pertobatan seperti di anak bungsu. Sepantasnya kita mengingat bahwa belas kasih Allah-lah yang menggerakkan kita untuk berbalik kembali kepada-Nya, namun kitapun harus menjawab dorongan tersebut dengan kehendak kita sendiri. Semakin kita menyadari akan belas kasih Tuhan, semakin kita harus selalu mempunyai keinginan untuk selalu bertobat,  yaitu ‘pulang’ kembali ke rumah Bapa. Allah Bapa selalu menantikan kita; Ia siap mengampuni dan menerima kita kembali. Namun kita harus membuat keputusan: “Aku mau pulang. Ampunilah aku, ya Tuhan, sebab aku telah berdosa terhadap Engkau… ” Dan sungguh, belas kasih Allah akan menyambut kita dan seluruh isi Surga bersuka cita atas pertobatan kita.

Belas kasih Allah mencapai puncaknya dalam Misteri Paska Kristus

Jadi belas kasih Allah itu lebih besar dari pada dosa manusia. Belas kasih Allah mengalahkan segala yang jahat untuk mendatangkan kebaikan bagi kita manusia. Belas kasih Allah ini mencapai puncaknya di dalam Yesus Kristus,  yang telah menyerahkan Diri-Nya untuk menyelamatkan kita melalui Misteri Paska-Nya -yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Melalui Misteri Paska Kristus ini, kita menerima pengampunan dan belas kasih Allah yang mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya, dan di dalam Kristus, kita mengambil bagian dalam kehidupan Ilahi-Nya.

Misteri Paska ini diawali dengan sengsara Kristus yang menghantar-Nya ke bukit Golgota, tempat Ia disalibkan. Salib Kristus menjadi saksi akan begitu dahsyatnya pengaruh kejahatan terhadap Putera Allah, walaupun Ia tidak berdosa. Di atas kayu salib, Yesus menanggung akibat dosa-dosa kita, karena kasih-Nya kepada kita manusia. Karenanya, salib Kristus menjadi bukti keadilan dan belas kasih Tuhan yang mengalahkan akar dari segala kejahatan di dalam sejarah kehidupan manusia, yaitu dosa dan maut. Salib menjadi sentuhan kasih ilahi pada luka kehidupan manusia yang terdalam. ((Lihat DM 8)) Pandanglah Salib itu, dan temukanlah bukti kasih Allah yang melampaui segalanya!

Namun, kasih Allah tidak berhenti pada Salib. Sebab salib  Kristus diikuti oleh kebangkitan-Nya. Di dalam kebangkitan-Nya, Kristus menyatakan belas kasih Tuhan, justru karena Ia menerima Salib sebagai jalan untuk mencapai kebangkitan. ((Ibid.)) Karena itu, saat kita merenungkan salib Kristus, iman dan pengharapan kita tertuju pada Kristus yang bangkit. Kristus yang bangkit dari mati adalah bukti yang nyata bahwa kasih Allah mengalahkan maut. Kepada belas kasih Bapa inilah kita menggantungkan harapan iman kita, bahwa jika kita setia menanggung salib kehidupan kita bersama Kristus, kitapun akan dibangkitkan bersama-sama dengan Dia (Rom 8:17). Karena itu, hidup kita hanya berarti jika kita mempersatukannya dengan kehidupan Kristus, sebab oleh-Nya kita menerima belas kasih Tuhan yang tiada batasnya. Kita memang dapat senantiasa mempersatukan hidup kita dengan misteri kehidupan Yesus, yaitu pada saat kita berdoa, bekerja dan kapan saja, tetapi persatuan kita dengan Kristus yang paling nyata adalah di dalam Ekaristi. Sebab di dalam Ekaristi, oleh kuasa Roh Kudus, Misteri Paska Kristus ini dihadirkan kembali oleh Gereja dan kita memperoleh buah-buahnya (Lihat artikel tentang Sudahkah kita pahami pengertian Ekaristi?). Kristus yang telah mengalahkan maut, menjadikan misteri kehidupan-Nya tetap ‘hidup’ sampai sekarang. Ia tetap bekerja melalui Gereja-Nya sampai akhir zaman untuk mendatangkan keselamatan bagi kita yang percaya kepada-Nya.

Misteri Kristus sebagai dasar misi Gereja

Karena Gereja adalah Tubuh Kristus, maka karya Gereja adalah karya Kristus. Apa yang menjadi titik perhatian Kristus, juga menjadi perhatian Gereja. Karena Kristus menaruh perhatian pada setiap orang maka Gereja-pun harus bersikap demikian. Kristus menjadi manusia, supaya Ia dapat mempersatukan diri-Nya dengan setiap orang. ((RH 13)) Dengan demikian, manusia dapat melihat cerminan kehidupannya di dalam diri Yesus. Sebab dengan menjadi manusia, Yesus menjalani tahap-tahap kehidupan mulai dari bayi sampai dewasa, seperti kita manusia, hanya saja Ia tidak berdosa. Ia sengaja memilih tempat terendah saat menjalani kehidupanNya itu: dilahirkan di kandang hewan, hidup miskin sebagai tukang kayu, mengajar tanpa mengenal lelah, mengabarkan belas kasih Allah, yang digenapinya sendiri dengan sengsara, wafat dan kebangkitanNya. Dengan menjadi manusia inilah, Yesus Sang Kehidupan merangkul setiap dari kita untuk mengambil bagian dalam kehidupan-Nya, terutama dalam misteri keselamatanNya, agar kita memperoleh kepenuhan hidup sebagai manusia.

Misteri Paska Kristus dihadirkan oleh kuasa Roh Kudus di dalam Gereja. Sebelum Kristus naik ke surga, Kristus mempercayakan karya penyelamatan kepada Gereja (lih. Mat 16:18-19; 28:19-20; Yoh 20:21-23). Para rasul, yang mewakili Gereja diberi perintah oleh Kristus untuk membaptis, untuk mengampuni dosa orang yang bertobat, dan mengajar segenap ajaran Kristus kepada dunia agar sebanyak mungkin orang dapat diselamatkan (lih. 1Tim 2:4). Kita yang dibaptis, artinya adalah, kita telah digabungkan ke dalam kematian Kristus, agar kita dapat dibangkitkan bersama dengan Dia dan memperoleh hidup yang kekal yaitu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus (lih. Rom 6:3-11).

Misteri Paska Kristus dihadirkan oleh Gereja, secara khusus melalui sakramen-sakramennya, maka sakramen-sakramen ini merupakan tanda dan sarana yang dipilih oleh Tuhan untuk menyertai dan menguduskan umat-Nya. Jika dalam Perjanjian Lama penyertaan Tuhan dinyatakan dengan bagaimana Tuhan menguduskan umat-Nya melalui bermacam kurban – seperti: kurban bakaran, kurban sajian, kurban keselamatan, kurban penghapus dosa, dst (lih. Im 1-7) – betapa lebih sempurnanya Allah menguduskan umat pilihan-Nya yang baru, yaitu Gereja, dalam Perjanjian Baru. Allah menguduskan Gereja-Nya dengan kurban yang sempurna, yaitu Kristus, Putera-Nya sendiri. Jika dahulu dalam Perjanjian Lama, darah anak domba jantan dan lembu jantan dan percikan abunya dapat menguduskan bangsa Israel secara lahiriah, betapa lebih sempurna-nya darah Kristus sebagai kurban yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita (lih. Ibr 9:12-14). Oleh kuasa Roh Kudus yang mengatasi ruang dan waktu, kurban Kristus yang satu dan sama ini dihadirkan kembali secara sakramental; agar kita dapat memperoleh buah-buahnya yaitu: persatuan kita dengan Kristus dikuatkan, kehidupan rahmat yang kita terima pada saat dibaptis ditingkatkan, kita dipisahkan dari dosa dan dikuatkan untuk menolak dosa, untuk berbuat kasih, untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan dosa-dosa ringan, dan kita dipersatukan dengan sesama anggota Tubuh Kristus, serta kita didorong untuk memperhatikan kaum miskin. Singkatnya, oleh kurban Kristus, Sang Anak Domba Allah, kita dikuduskan oleh Allah; sebab pengudusan kita adalah kehendak-Nya bagi kita (lih.1Tes 4:3).

Kekudusan: kasih kepada Tuhan dan sesama menjadi hukum utama yang diwartakan

Kekudusan, yaitu kasih kepada Tuhan dan kepada sesama, menjadi hukum yang terutama untuk diwartakan. Karena Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8, 16) maka sudah menjadi sifat Allah bahwa Ia mengasihi kita manusia. Kasihnya tidak berhenti hingga manusia dapat mengalaminya; melainkan lebih dari itu, yaitu hingga manusia dapat diubah untuk menjadi semakin mirip dengan Diri-Nya yang adalah Kasih itu sendiri. Panggilan terhadap kesempurnaan kasih, atau yang disebut sebagai kekudusan ini, adalah panggilan Allah yang ditujukan kepada semua orang, sebagaimana disebutkan dalam Konsili Vatikan II. ((lih. Lumen Gentium bab V)) Oleh karena itu, jika kita ingin turut menyebarkan Kabar Gembira, kita juga perlu menyampaikan panggilan ini: bahwa Allah begitu mengasihi kita, namun Allah tidak berhenti sampai di situ; Ia menghendaki kita untuk bertumbuh di dalam kasih dan kekudusan, sehingga kita dapat semakin menyerupai Dia.

Karena berharganya manusia di mata Kristus, maka Gereja sebagai Tubuh Kristus membawa misi untuk memperhatikan martabat semua manusia. Konsili Vatikan II menggarisbawahi pentingnya Gereja membuat dunia menjadi semakin manusiawi. ((Lihat Gaudium et Spes, Dokumen Vatikan II tentang Peran Gereja di dalam Dunia Modern, 40.)) Hal ini dicapai dengan mempraktekkan belas kasihan dan pengampunan. Kasih dan pengampunan ini harus nyata diberikan, pertama-tama kepada orang-orang yang terdekat dengan kita; antara suami dan istri, orang tua dan anak, antara sahabat, dan hal ini harus diajarkan di dalam pendidikan dan pelayanan Gereja. Dari sini belas kasih Tuhan kemudian diteruskan ke dalam lingkungan masyarakat. Dengan mengampuni, maka kita menjadi saksi hidup akan belas kasih yang lebih kuat daripada dosa. ((Lihat DM 14.)) Belas kasihan yang kita terima dari Tuhan hendaknya menjadi sumber pertobatan kita yang terus menerus, agar kita selalu hidup dalam persekutuan dengan Tuhan. ((Lihat DM 13.)) Mari kita memohon belas kasihan Tuhan, dan agar setelah menerima belas kasihan-Nya, kitapun dapat meneruskan belas kasih itu kepada semua orang, terutama mereka yang membutuhkan uluran tangan kita. Dengan demikian, kita sebagai anggota-anggota Gereja memperoleh kehidupan sejati, yaitu pada saat kita mengakui dan mewartakan belas kasih, dan pada saat kita membawa semua orang kepada Sang Sumber Belas Kasih, yaitu Kristus Penyelamat kita. ((Ibid.))

Kesimpulan

Belas kasihan Tuhan adalah Kabar Gembira utama yang harus kita wartakan. Belas kasih Tuhan yang sempurna kita lihat dalam diri Kristus. Melalui salib dan kebangkitan Kristus (Misteri Paska), kita melihat belas kasihan Allah yang mengalahkan dosa dan maut. Kita menerima kembali belas kasih ini setiap kali kita mengambil bagian di dalam perayaan Ekaristi. Setelah menerima belas kasihan dari Tuhan, kita selayaknya juga berbelas kasih pada orang lain, dan untuk seterusnya kita hidup dalam pertobatan yang terus menerus. Dengan demikian kita menjadi saksi hidup akan belas kasih Tuhan.

Bapa Surgawi, terima kasih atas belas kasih-Mu yang kami terima melalui Yesus Putera-Mu. Bantulah kami agar mampu menjadi pembawa belas kasih-Mu kepada sesama kami. Amin.”


Tuhan memilih orang sederhana

14

Yesus dalam Roh Kudus berkata, “Aku bersyukur kepada-Mu Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.” (Luk 10:21)

Dengan seijin Pastur Dionico Maximo Tzul (Pastor Max), kami mencantumkan kesaksiannya di website ini. Berikut ini adalah kesaksian dari Pastor Max dari Guatemala, Amerika Tengah. Ia adalah seorang pastor missionaris, anggota dari Missionary Fraternity of Mary. Ia berasal dari suku Indian yang bernama Mayan, kebudayaan Quiche. Kesaksiannya disampaikan dalam homili di paroki St. Therese of Lisieux, Rothchild, Wisconsin, USA, pada hari Minggu tanggal 29 Juni 2008.

Tuhan memilih orang sederhana, yang memiliki iman dan kepasrahan yang teguh kepada-Nya.

guatemala Saya keluar dari sekolah pada umur 12 tahun, setelah saya tamat SD. Setelah itu saya bekerja sebagai penjahit selama 6 tahun. Keluarga saya sangat miskin, sehingga saya tidak dapat melanjutkan sekolah. Pada umur 18 tahun saya merasakan dorongan yang kuat untuk mejadi seorang pastor, tetapi saya ragu-ragu karena saya hanya tamatan SD. Tapi kemudian saya memberanikan diri pergi ke beberapa seminari, dengan harapan agar saya dapat diterima. Namun, mereka tidak dapat menerima saya karena mereka tidak punya dana subsidi untuk para calon pastor yang miskin.

Pada tahun 1982, saya pergi mengikuti retret di Keuskupan Quetzaltenango, dan di sanalah Tuhan membuka pintu bagi saya untuk masuk di seminari dasar. Saya menghabiskan waktu 3 tahun di sana, namun saya tetap merasa tidak pasti, karena saya tidak mendapat dukungan dari orang tua saya. Orang tua saya tidak dapat mendukung, bukan hanya karena mereka tidak punya uang, tetapi juga karena saya anak laki-laki satu-satunya di dalam keluarga. Mereka sangat mengharapkan saya menikah dan membentuk keluarga. Di samping itu, saya ingin membantu orang tua saya mendukung mereka dari segi ekonomi.

Di bulan November 1985, saya meninggalkan seminari dasar dan pergi ke kota Guatemala untuk mencari pekerjaan. Tetapi sebelum saya pergi, saya melihat brosur Missionary Fraternity of Mary, yang bertuliskan, “Apakah engkau ingin menjadi pastor missionaris? Bergabunglah dengan kami.” Brosur itu menyertakan alamat Fraternity.

Hati saya dipenuhi pergumulan, sampai akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi Fraternity. Saya bertemu dengan pastor pendiri Fraternity, yang berkata, “Selamat datang. Di sinilah tempat bagimu untuk menjadi seorang pastor.” Segera kukatakan sejujurnya, bahwa saya tidak punya uang untuk membayar pendidikanku, dan saya pun tidak tahu apakah saya dapat diterima menjadi seorang pastor, apalagi karena saya berasal dari suku Indian asli. Lalu pastor kepala itu berkata, “Apakah engkau pernah mendengar tentang penyelenggaraan Tuhan? Tuhan mengasihimu, dan jika Ia menginginkan engkau menjadi seorang pastor, Ia akan membukakan jalan bagimu. Banyak orang perlu mendengar Kabar Gembira (Injil). Jika engkau merasa terpanggil, jawablah panggilan itu, janganlah engkau bimbang akan soal biaya.. Mantapkanlah dirimu akan panggilan hidup itu, dan percayalah Tuhan akan mengatasi hal yang lain-lainnya.”

Tangan Tuhan membimbingku

Sekarang sudah 12 tahun berlalu. Saya sudah 12 tahun menjadi seorang pastor. Dan saya sekarang dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal Fraternity di Guatemala. Belas kasihan Tuhan dan penyelenggaraan-Nya menyertaiku sampai sekarang. Dan saya sangat mensyukuri rahmat panggilan Tuhan ini.

Sekarang, ayah saya sangat mendukung dan sangat senang, bahwa saya menjadi seorang imam. Saya teringat, pada saya mempersembahkan misa yang pertama kali setelah saya ditahbiskan, ayah saya berbicara setelah misa, mohon ampun pada Tuhan dan juga beliau minta maaf pada saya, karena dulu beliau tidak setuju waktu saya menjawab panggilan untuk menjadi imam. Lalu, ayah saya mengatakan pada semua yang datang, betapa beliau sangat bersyukur bahwa saya akhirnya dapat menjadi seorang imam misionaris. Betapa hati saya bersyukur mendengarnya! Rencana Tuhan memang sangat indah dan ajaib. Terpujilah Tuhan!

Catatan:

Sudah sekitar 500 tahun, Guatemala menerima para misionaris dari Eropa dan Amerika. Ternyata pelayanan para misionaris itu menghasilkan buahnya, yaitu lahirlah sebuah komunitas yang bertujuan untuk misi. Missionary Fraternity of Mary didirikan di Guatemala pada tahun 1985, dimulai dengan 7 orang frater. Sekarang ini ada 190 seminarians dari bangsa dan budaya yang berbeda-beda. Selama 23 tahun ini Fraternity sudah mentahbiskan 220 pastor, termasuk Pastor Max, dan mereka mengirimkan pastor pastornya ke 10 negara.

Marilah kita berdoa,

Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.

Bapa yang di surga, kami bersyukur atas besarnya kasih karunia yang Engkau nyatakan dalam kehidupan Pastor Max. Terima kasih ya Tuhan, untuk karunia panggilan hidup membiara yang Engkau berikan kepada Pastor Max, dan kepada semua imam di seluruh dunia. Terimakasih untuk karya kerasulan misioner mereka sehingga kami dapat menerima Kabar Gembira. Kami bersyukur, sebab melalui mereka kami dapat menerima rahmat-Mu di dalam sakramen-sakramen, terutama kami dapat menerima Tubuh dan Darah Yesus Putera-Mu di dalam Ekaristi. Bapa Pengasih, kami mohon rahmat panggilan-Mu pada kaum muda. Mampukanlah mereka untuk menjawab panggilan itu seperti Pastor Max. Kami juga mohon penyertaan-Mu untuk para imam-Mu. Jadikanlah mereka imam yang kudus, yang menggembalakan kami umat-Mu dengan kasih yang mereka terima dari-Mu. Bantulah mereka dalam karya pelayanan mereka, hiburlah dan kuatkanlah mereka jika mereka menghadapi kesulitan. Hindarkanlah mereka dari segala yang jahat dan jadikanlah mereka makin hari makin menyerupai Kristus Putera-Mu. Biarlah melalui mereka, semakin banyak orang dapat mengenal Engkau sebagai Allah yang Maha Kasih, dan semakin banyak orang menyambut dan mengasihi Engkau.
Doa ini kami naikkan dalam nama Yesus, Putera-Mu, Sang Gembala kami yang baik.

Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 3)

29

Pendahuluan:

Tulisan ini adalah bagian ke 3 dari topik “Apakah berdoa itu percuma?” (Silakan melihat juga bagian 1, bagian 2, bagian 3, bagian 4) Kesalahan doa yang ketiga adalah memaksakan kehendak kita kepada Tuhan sampai ingin mengubah Tuhan untuk mengikuti keinginan kita. Pendapat ini keliru, karena Tuhan adalah Maha tahu dan Maha sempurna, sehingga Tuhan tidak dapat berubah.

Mengapa kita berdoa?

Doa sudah menjadi bagian hakiki dari kehidupan semua orang dari semua agama, karena manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. ((31, 356, 1721, 2002.)) Dalam tulisan pertama telah dibahas kesalahan persepsi doa, yaitu: Tuhan tidak campur tangan dalam kejadiaan di dunia ini. Dalam tulisan ke-2, kita telah melihat kesalahan pendapat yang mengatakan semuanya sudah diatur dan ditakdirkan oleh Tuhan, sehingga tidak perlu lagi berdoa. Dengan pembuktian yang sama dari St. Thomas Aquinas, kita akan menelusuri kesalahan persepsi kita tentang doa yang ke-3. ((St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2.))

Kesalahan 3: Berdoa dapat mengubah keputusan Tuhan dan Alkitab sendiri mengajarkan bahwa doa manusia dapat merubah keputusan Tuhan.

Dalam hidup sehari-hari, kita sering mendengar pendapat bahwa berdoa sangatlah penting, karena kita dapat memenangkan hati Tuhan dan mengubah keputusan-Nya. Kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh, sehingga Tuhan berbelas kasih kepada kita dan kemudian mengubah keputusan-Nya sesuai dengan kemauan kita. Bahkan jika kita berdoa dalam nama Yesus, apa yang kita minta pasti akan dikabulkan.

Perjanjian Lama mencatat cerita tentang nabi Nuh, di mana Tuhan menyesal bahwa Dia telah menciptakan manusia (Kej 6:5-6). Lalu Abraham, berdoa bagi orang-orang di Sodom dan Gomorah, seolah-olah bernegosiasi dengan Tuhan (Kej 18:23-33). Musa berdoa dengan sungguh-sungguh bagi kaum Israel, sehingga kemarahan Tuhan tidak terjadi (Kel 32:7-14). Bukankah semua itu adalah tanda bahwa keputusan Tuhan dapat berubah?

Di Perjanjian Baru, Yesus sendiri mengatakan, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan” (Mat 7:7-8). Kemudian, Yesus juga mengatakan bahwa apa saja yang kita minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, maka kita akan menerimanya (lih. Mat 21:22). Dan kembali Yesus menegaskan “apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Mar 11:24). Ayat- ayat ini sepertinya mengatakan bahwa Yesus akan mengabulkan doa kita sesuai dengan permintaan kita.

Tuhan tidak berubah

Mari kita meneliti lebih jauh tentang pendapat ini. Pertama, apakah benar bahwa kita dapat mengubah keputusan Tuhan? Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah Maha Tahu, Maha Sempurna, maka konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah “Tuhan tidak mungkin berubah“. Berubah adalah suatu pernyataan yamg mempunyai implikasi perubahan dari sesuatu yang kurang baik menjadi lebih baik atau sebaliknya. Padahal di dalam Tuhan tidak ada perubahan (lihat artikel: Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?). Karena Tuhan Maha Tahu dan Maha Sempurna, maka sebelum dunia ini diciptakan Dia telah mengetahui secara persis apa yang terjadi, juga keinginan dan permohonan doa kita. Dan di dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya, Dia tahu secara persis apa yang terbaik buat kita. Jadi kalau kita mengatakan Tuhan dapat berubah karena doa kita, maka sebetulnya kita membuat kontradiksi tentang hakekat Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Sempurna, seolah-olah kita “lebih tahu” apa yang terbaik buat kita daripada Tuhan. Hal ini tentu tidak mungkin.

Pengajaran bahwa “Tuhan tidak mungkin berubah dalam hal pengabulan doa” ini termasuk sulit diterima, karena sering tanpa sengaja kita berpikir bahwa proses pengabulan doa oleh Tuhan itu adalah proses yang linier. Kita memohon tentang hal A, lalu Tuhan dapat mengabulkan atau tidak, yang baru Tuhan putuskan pada saat/ setelah kita memohon. Padahal tidaklah demikian. Tuhan sudah terlebih dahulu mengetahui segala kemungkinan yang akan terjadi, sebagai hasil dari pilihan kehendak bebas kita, pada saat awal mula dunia. Pada saat kita memohon A, Dia sudah mengetahui bahwa Ia akan menjawab dengan B, atau kalau kita memutuskan untuk tidak berdoa, dan berbuat X, Dia sudah tahu akan memberi Y. Dalam hal ini, B selalu lebih baik daripada A, dan Y adalah konsekuensi dari X. Nah, kalau kita bertanya akankah B diberikan kalau kita tidak berdoa, jawabnya adalah tidak (yang diberi adalah Y). Makanya kita perlu berdoa. Dalam hal ini Tuhan tidak berubah, karena dengan sifatNya yang Maha Tahu, Tuhan telah mengetahui segalanya. Nothing takes God by surprise. Tidak ada sesuatu hal yang mengejutkan Tuhan, sehingga Ia perlu berubah. Ia sudah mengetahui segalanya dan segala sesuatu telah direncanakan-Nya dengan sempurna.

Sekarang kita melihat contoh kejadian di Perjanjian Lama. Perkataan “Tuhan menyesal” dalam kisah nabi Nuh adalah suatu perkataan yang mencoba mengekpresikan Tuhan dari sisi manusia. Tuhan tidak berubah dan menyesal, karena Dia adalah Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Semua keputusan-Nya berdasarkan kebijaksanaan dan Kasih-Nya untuk keselamatan umat manusia.

Bagaimana dengan Abraham dan Musa yang seolah-olah bernegosiasi dengan Tuhan? Dalam hal ini, kita harus memegang teguh prinsip bahwa Tuhan tidak mungkin berubah, yang artinya tidak memungkinkan adanya negosiasi. Abraham dan Musa adalah merupakan gambaran/prefigurement dari diri Yesus. Kita juga melihat bagaimana Kitab Suci menggambarkan kedekatan mereka dengan Tuhan. Mereka tidak memikirkan kepentingan pribadi. Dalam pemikiran Abraham dan Musa, membantu manusia menuju Tanah Terjanji dan memberikan kemuliaan kepada Tuhan adalah yang paling penting dalam hidup mereka. Dan ini adalah sama dengan pemikiran Tuhan. Ini hanya mungkin dicapai pada orang-orang dengan derajat kasih yang begitu tinggi (dalam kadar “heroic love“). ((Reginald Garrigou-Lagrange, Christian Perfection and Contemplation: According to St. Thomas Aquinas and St. John of the Cross (Tan Books & Publishers, 2004), p.147 Lagrange membagi derajat kasih menjadi tiga, dimana terdiri dari: 1) Pemula (beginners) adalah mereka yang usahanya berfokus pada perjuangan untuk melawan dosa, 2) tahap pencerahan (Illuminative way), dimana mereka membuat kemajuan di dalam kebajikan dalam terang iman dan kontemplasi. 3) Tahap sempurna (unitive way/ heroic love), dimana mereka hidup dengan persatuan kasih yang begitu erat dengan Tuhan.)) Jadi terkabulnya doa bukan berarti mereka dapat mengubah keputusan Tuhan, namun karena 1) mereka diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam karya keselamatan, yang pada akhirnya dipenuhi secara sempurna dalam diri Yesus Kristus (KGK, 2574), 2) kedekatan mereka dengan Tuhan, sehingga apa yang mereka pikirkan dan doakan adalah sesuai dengan keinginan Tuhan (KGK, 2577).

Tuhan mengubah kita melalui doa.

Memang keputusan Tuhan tidak dapat berubah, karena Dia Maha Tahu dan Maha Sempurna. Namun Tuhan menginginkan kita mengikuti jejak Abraham dan Musa, agar kita turut berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan, salah satunya yaitu dengan berdoa. Jadi, kita berdoa bukan untuk mengubah keputusan Tuhan – karena itu tidak mungkin – namun mempersiapkan sikap hati kita untuk menerima apa yang kita minta dalam doa ((St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2 – St. Thomas mengutip St. Gregory “By asking, men may deserve to receive that almighty God from all eternity is disposed to give.”)) atau mengubah sikap hati kita jika doa kita tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Di dalam kebijaksanaan dan kasihNya, Tuhan telah melihat bahwa kita akan menerima suatu jawaban doa lewat doa-doa yang kita panjatkan. Jadi di dalam kasus Abraham dan Musa, sebelum terbentuknya dunia ini, Tuhan sudah melihat bahwa Abraham dan Musa akan berpartisipasi dalam karya keselamatan bangsa Israel, dan doa mereka dikabulkan oleh-Nya lewat doa-doa mereka yang mengalir dari kasih.

Hal lain yang penting adalah, dengan bertekun dalam doa, kita tidak mengubah Tuhan, namun kita diubah oleh Tuhan. Kita melihat contoh dari Rasul Paulus, ketika dia berdoa agar Tuhan “mengambil duri di dalam dagingnya” ((Orchard, A Catholic Commentary on Holy Scripture (Thomas Nelson & Sons, 1953), p.1110. Dijelaskan bahwa duri di dalam daging dapat berarti tubuh atau juga pikiran, yang menjadi bagian dari manusia. Pengarang disini mencoba membuka arti yang luas dari duri di dalam daging, baik tubuh secara jasmani, atau juga dapat berarti keinginan untuk berbuat dosa (concupiscence).)) , namun doanya tidak dijawab Tuhan menurut kehendak St. Paulus (2 Kor 12:7-10). Namun dengan kejadian ini, Rasul Paulus mendapatkan sesuatu yang lebih baik, bahwa dia menjadi rendah hati dan tidak bermegah dengan berkat-berkat yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Bahkan Rasul Paulus dapat menerima dengan senang dan rela menghadapi segala kesulitan, siksaan, tantangan untuk kemuliaan nama Tuhan. Dari sini, kita melihat Rasul Paulus diubah oleh Tuhan, untuk menerima kehendakNya seperti yang difirmankan-Nya,”… sebab dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor 12:9).

Tapi Yesus menyuruh untuk meminta, mencari, mengetok, dan apa saja yang kamu minta akan diberikan.

Mari sekarang kita menelaah perkataan Yesus dalam Mat 21:22 dan Mar 11:24. Yesus mengatakan bahwa kalau kita mendoakan dengan penuh kepercayaan bahwa kita telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepada kita. Kalau kita membaca dengan seksama, kita harus melihat bahwa kunci dari ayat ini adalah “iman” (Mat 21:21; Mar 11:22). Iman yang ditekankan di sini adalah iman yang hidup. Iman yang bukan cuma slogan, hanya dimulut, namun tanpa perbuatan (Yak 2:26). Iman seperti ini adalah iman dan percaya yang dicontohkan oleh Abraham dan Musa. Iman yang menempatkan kebenaran Tuhan lebih tinggi daripada kepentingan sendiri (KGK, 150). Iman seperti inilah yang membuat doa menjadi selaras dengan apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh Tuhan. Dengan kata lain, karena sesuai dengan kehendak Tuhan, maka doa yang mengalir dari iman seperti ini akan dikabulkan oleh Tuhan. Iman seperti ini hanya meminta sesuatu yang berguna untuk keselamatan kekal, permohonan yang baik untuk menuju ke kehidupan kekal. Ini juga bisa berarti sesuatu yang sifatnya sementara sejauh ini mendukung kita menuju tujuan akhir.

Namun bukankah Yesus sendiri juga mengatakan bahwa setiap orang yang meminta, mencari, dan mengetok akan dipenuhi permintaannya? (Mat 7:7-8). Ayat inilah yang sering dipakai untuk menekankan bahwa doa yang sungguh-sungguh dan terus-menerus dapat mengubah keputusan Tuhan. Namun, apakah kalau doa tidak sesuai dengan kehendak Tuhan maka akan dikabulkan? Bagaimana kita tahu bahwa doa kita sesuai dengan kehendak Tuhan? Kalau kita perhatikan, Yesus tidak berkata kalau kamu minta A, maka kamu akan mendapatkan A. Berdasarkan kasih dan kebijaksanaan-Nya, kadangkala Tuhan memberikan sesuatu yang sama sekali lain dari yang kita minta. Dia tahu yang terbaik buat kita melebihi pengetahuan dan kasih kita akan diri kita sendiri. Jadi, kalau dalam beberapa hal Tuhan tidak mengabulkan doa kita, hal ini disebabkan karena Tuhan mengasihi kita. (pembahasan lengkap tentang ayat ini dapat dilihat di: Apakah Berdoa itu Percuma – bagian 4).

Kita sering melihat atau mendengar cerita bahwa suatu keluarga berdoa sungguh-sungguh untuk kesembuhan anggota keluarga mereka, namun yang terjadi adalah bertolak belakang dengan apa yang diminta dalam doa. Masih teringat di hati umat Katolik seluruh dunia, ketika Paus Yohanes Paulus II terbaring sakit menjelang ajalnya dan semua orang mendoakan Paus yang kita kasihi. Namun doa seluruh umat beriman tidak mengubah keputusan Tuhan. Mungkin ribuan atau jutaan perayaan ekaristi dirayakan dengan intensi doa untuk kesembuhan Paus, namun tidak dapat mengubah keputusan Tuhan. Mungkin ratusan juta umat Katolik – termasuk dari umat Katolik yang benar-benar hidup kudus – berdoa secara pribadi untuk kesembuhan Paus, namun Paus tetap dipanggil Tuhan.Tuhan, di dalam kebijaksanaan-Nya tetap memanggil hamba-Nya yang setia. Bukan karena Dia tidak mendengar doa kita, tapi karena Dia tahu yang paling baik untuk kita dan juga untuk Gereja-Nya.

Namun melalui peristiwa tersebut, begitu banyak orang di dunia ini, termasuk yang tidak mengenal Kristus, yang tidak percaya akan Gereja Katolik sebagai Gereja Kristus, anak-anak muda yang tadinya suam-suam kuku terhadap iman Katolik mereka, tergugah oleh kejadian tersebut. Dan misa pemakamannya menjadi acara pemakaman paling besar dalam sejarah umat manusia. Paus Yohanes Paulus II dalam kematiannya melakukan karya pewartaan yang menjangkau banyak orang, mungkin lebih banyak daripada semasa dia hidup. Dan nama Tuhan dipermuliakan. Dari contoh tersebut, bukan kita yang mengubah Tuhan melalui doa kita, namun kita yang diubah oleh Tuhan untuk kebaikan kita.

Kalaupun doa kita dikabulkan, bukan berarti bahwa kita berhasil untuk mengubah Tuhan, namun sebelum terjadinya dunia ini, dalam kebijaksanaan-Nya dan kasih-Nya, Tuhan sudah melihat adalah baik untuk keselamatan kita dan orang-orang di sekitar kita untuk mengabulkan doa kita. Jadi, janganlah beranggapan bahwa jika ada doa dikabulkan itu disebabkan karena ‘melulu’ permohonan kita. Sebab sesungguhNya pengabulan doa adalah sepenuhnya kehendak Tuhan. Dengan demikian, tidak ada yang dapat dibanggakan dari diri kita. Kita ‘hanya’ patut bersyukur bahwa Tuhan memberi kesempatan pada kita untuk turut mendatangkan kebaikan kepada kita dan sesama melalui doa-doa kita. Maka sikap yang terbaik adalah seperti Bunda Maria, “Terjadilah padaku seturut perkataanMu, ya Tuhan” (Luk 1:38). Mari di dalam keterbatasan kita, kita percayakan doa-doa kita kepada Tuhan dan meyakini bahwa Tuhan lebih bijaksana untuk memutuskan apakah doa kita baik untuk keselamatan jiwa kita. Mari kita juga berpartisipasi dalam karya keselamatan Tuhan melalui doa dan perbuatan yang mengalir dari kasih kita kepada Tuhan, untuk mendatangkan kebaikan buat diri kita dan semua orang.

Marilah kita berdoa.

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

Ya, Tuhan, kembali aku menghadap-Mu, mengakui bahwa Engkau Maha Tahu dan Maha Sempurna. Dalam keterbatasanku, berilah aku kepercayaan kepada-Mu, bahwa segala yang Engkau putuskan adalah demi kebaikanku. Jangan biarkan aku memaksakan kehendakku, ya Bapa, melainkan biarlah kehendak-Mu saja yang terjadi dalam kehidupanku sebab aku percaya, itulah yang terbaik bagiku. Dalam nama Yesus, aku naikkan doa ini.

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab