Home Blog Page 287

Kasih dan keadilan Allah yang dimanifestasikan melalui pengorbanan Kristus

43

Pertanyaan:

St. Thomas Aquinas: “Dengan keadilan-Nya sebab dengan Sengsara Kristus maka Kristus menebus (membayar lunas) dosa-dosa umat manusia dan manusia dibebaskan oleh keadilan Tuhan…”
Anda sendiri: “[sengsara Kristus] bukti keadilan yang sempurna, yang menunjukkan kejamnya akibat dosa, yang harus dipikul oleh Kristus, untuk membebaskan kita manusia dari belenggu dosa. ”

Yesus tidak berdosa tetapi membayar dosa-dosa manusia…
Yesus tidak berdosa tetapi memikul kejamnya akibat dosa….
agar Allah dapat berbuat adil dalam mengampuni dosa manusia?
Apakah artinya kalau tanpa penderitaan Yesus dan Allah mengampuni dosa manusia,
berarti Allah bertindak tidak adil, karena akibat dosa belum dibayar lunas?

Apakah artinya Yesus — atas nama manusia — membayar lunas akibat dosa-dosa
agar manusia tidak perlu membayar lunas dosa-dosanya lagi?

Apakah bedanya konsep ini dgn “penal substitution” ?
Mohon penjelasan… terima kasih. – Fxe

Jawaban:

Shalom Fxe,

Terima kasih atas pertanyaannya tentang dosa dan kaitannya dengan pengorbanan Kristus. Pertanyaan ini sangat bagus, namun harus dijawab dengan menggunakan beberapa istilah yang bersifat teknikal, untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.

1) Dikatakan di dalam Katekismus Gereja Katolik “Sama seperti oleh ketidak-taatan satu orang, semua orang telah menjadi berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar” (Rm 5:19). Oleh ketaatan-Nya sampai mati, Yesus menjadi Hamba Allah yang menderita, “yang sebagai ganti menyerahkan dirinya untuk kurban pemulihan“. “Ia menanggung kejahatan banyak orang” dan demikian “membenarkan banyak orang” dengan “menanggung dosa mereka” (Yes 53:10-12). Yesus telah menebus dosa-dosa kita dan memberi pemulihan kepada Allah Bapa untuk kita” (KGK, 615)

a) Untuk menjawab mengapa harus ada penderitaan Kristus untuk memulihkan hubungan antara manusia dan Tuhan yang terpisah oleh dosa, maka kita harus melihat kodrat dari dosa itu sendiri dan hakekat Allah. Umat manusia yang diwakili oleh Adam telah memilih untuk berbuat dosa atau terpisah dari Allah. Keterpisahan dari Allah adalah suatu kekosongan kasih Allah. Dan kekosongan ini hanya dapat diisi kembali oleh Allah. Manusia tidak dapat mengisi kekosongan ini, karena derajat manusia yang jauh lebih rendah secara tak terhingga dibandingkan dengan Allah, yang diperburuk dengan dosa manusia, sehingga manusia benar-benar terpisah dengan Allah.

Allah adalah kudus. Dan karena kekudusan tidak dapat bercampur dengan dosa, maka manusia yang berdosa tidak dapat bersatu dengan Allah. Dengan kasih-Nya Allah tidak membiarkan manusia untuk tetap dalam kondisi berdosa dan memperoleh siksa abadi di neraka. Namun hakekat yang lain dari Allah adalah adil. Mazmur 116:5 mengatakan “TUHAN adalah pengasih dan adil, Allah kita penyayang.” Oleh karena dosa adalah perlawanan terhadap Allah, maka untuk bersatu kembali dengan Allah, diperlukan suatu keadilan. Di dalam natural order kita dapat mengerti dengan jelas, seperti: kalau orang mencuri, dia akan menerima hukuman. Kalau dia tidak menerima hukuman, maka dia tidak akan pernah merasakan akibat dari dosanya, dan pada saat yang bersamaan dia akan mengulanginya terus-menerus. Dalam tingkatan adi-kodrati (supernatural order): karena yang disakiti adalah Allah (yang derajatnya jauh lebih tinggi dari manusia secara tak terhingga), maka perbuatan dosa mensyaratkan keadilan untuk menyelesaikannya.

b) Pertanyaannya: apakah mungkin Allah menyelamatkan manusia tanpa adanya pengorbanan Kristus? Mungkin saja, karena Allah dapat saja menyelamatkan manusia dengan cara lain. dikatakan “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus (Eph 1:9).” Namun, pengorbanan Kristus menjadi suatu keharusan (yang tidak absolut bagi Allah) dan juga fitting (tepat) untuk memanifestasikan kasih (love), belas kasihan (mercy) dan keadilan (justice) Allah. Alasan lengkap inkarnasi dapat dibaca di artikel “Inkarnasi, Tuhan yang beserta kita” (silakan klik). Lihat juga St. Thomas Summa Theologica, Part III, q. 46. a 1 (silakan klik).

c) Pertanyaan yang lain adalah: apakah mungkin Yesus menyelamatkan manusia hanya dengan inkarnasi dan hanya dengan satu titik darah-Nya? Tentu saja mungkin, karena untuk menjadi manusia, Yesus Tuhan “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Fil 2:6-7). Pengosongan diri, yang menjadikan Allah yang tadinya di luar dimensi waktu menjadi masuk dalam dimensi waktu dan tempat adalah sebagai bukti kasih yang tak terhingga untuk dapat menebus dosa manusia dan ini juga sebagai manifestasi kerendahan hati yang tak terhingga. Namun, Yesus tidak hanya masuk ke dalam dimensi waktu dan tempat untuk menebus dosa manusia, namun “…Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Fil 2:8). Jadi, hanya dengan inkarnasi tanpa kesengsaraan Yesus, Allah tetap bertindak adil dengan mengampuni dosa manusia. Namun, Allah adalah kasih dan adil dalam derajat yang sempurna (absolut). Oleh karena itu, Dia mengkomunikasikan dan memanifestasikan kasih dan keadilan Allah secara sempurna, yaitu dengan mati di kayu salib. Oleh karena itu, pengorbanan Kristus yang taat sampai mati di kayu salib menghasilkan rahmat yang berlimpah dan tak habis-habisnya.

2) Apakah Yesus telah membayar lunas akibat dosa-dosa, sehingga manusia tidak perlu membayar lunas dosa-dosanya? Dengan mati di kayu maka, Kristus yang menjadi pengantara antara manusia dan Tuhan, telah menebus dosa kita, dan memberikan rahmat (grace), yang memungkinkan manusia dapat diselamatkan. Ini adalah meritorious cause keselamatan manusia, yaitu pengorbanan Kristus yang menghasilkan rahmat berlimpah. Dan kalau ditelusuri, maka hal ini disebabkan oleh efficient cause, yaitu belas kasih Allah, yang tidak membiarkan manusia untuk tetap terpisah dari Allah. Nah, kasih Allah dan pengorbanan Kristus telah terjadi. Bagaimana manusia mendapatkan rahmat yang mengalir dari pengorbanan Kristus? melalui instrumental cause – yaitu Sakramen Baptis, yang berarti untuk orang dewasa diperlukan iman. Dan dengan Sakramen Baptis ini, memungkinkan manusia untuk dibenarkan oleh Allah, karena manusia memperoleh rahmat pengudusan (sanctifying grace). Dan inilah yang disebut the formal cause. Dan pada akhirnya rencana keselamatan ini akan membawa kemuliaan bagi nama Tuhan dan keselamatan manusia (disebut final cause).

Kalau disederhanakan: manusia berdosa, sehingga kehilangan keselamatan kekal. Keselamatan kekal ini adalah the final cause. Namun Allah tidak membiarkan itu terjadi karena belas kasih Allah yang tak terhingga bagi manusia (the efficient cause), sehingga Dia memberikan Putera-Nya untuk menebus dosa manusia dengan cara mati di kayu salib dan memberikan rahmat (the meritorious cause). Rahmat ini diterima oleh manusia secara normal (the ordinary means) melalui Sakramen Baptis (the instrumental cause). Dan karena rahmat pengudusan atau sanctifying grace diterima pada saat pembaptisan, maka manusia berkenan dan dibenarkan di hadapan Allah (the formal cause – yaitu keadilan Allah).

3) Dari uraian di atas, maka kalau ditanya:

a) Yesus tidak berdosa tetapi membayar dosa-dosa manusia…. : karena manusia tidak mampu membayar dosanya sendiri. Diperlukan pengantara, yang sungguh Allah dan sungguh manusia untuk dapat menjembatani hubungan antara Tuhan dan manusia yang telah terputus akibat dosa.

b) Yesus tidak berdosa tetapi memikul kejamnya akibat dosa…. agar Allah dapat berbuat adil dalam mengampuni dosa manusia? Apakah artinya kalau tanpa penderitaan Yesus dan Allah mengampuni dosa manusia, berarti Allah bertindak tidak adil, karena akibat dosa belum dibayar lunas?: Dengan inkarnasi dan satu titik darah, sebenarnya telah menjawab keadilan Allah dan membayar lunas semua dosa manusia. Namun kematian Kristus di kayu salib adalah manifestasi kasih dan keadilan Allah yang sempurna, yang dilakukan oleh Kristus dengan dasar kasih yang sempurna, sehingga menyenangkan hati Tuhan dan menghasilkan rahmat berlimpah untuk keselamatan manusia.

c) Apakah artinya Yesus — atas nama manusia — membayar lunas akibat dosa-dosa
agar manusia tidak perlu membayar lunas dosa-dosanya lagi?
: Efficient cause dan meritorious cause telah diberikan kepada manusia, sehingga manusia mungkin untuk mendapatkan keselamatan kekal (final cause). Dan manusia harus menjawab dan menerimanya secara bebas dengan menerima Sakramen Baptis (instumental cause), sehingga mendapatkan rahmat pengudusan dan berkenan di hadapan Allah (formal cause).

Atau secara sederhana, sebuah patung jadi, karena pematung mempergunakan sebuah pahat. Pematung tetap dapat membuat patung tanpa pahat, namun dengan alat yang lain. Namun pahat tidak dapat membuat patung tanpa pematung. Pematung ini telah diberikan dengan kasih Allah dan pengorbanan Kristus. Dan pemahat ini minimal harus menuruti apa yang dikehendaki oleh pematung agar dapat menghasilkan patung yang baik. Untuk menuruti inilah dibutuhkan keinginan bebas yang bekerjasama dengan Allah. Atau dengan kata lain, tanpa kasih Allah dan pengorbanan Kristus, maka manusia tidak mungkin untuk mendapatkan keselamatan.

Dengan dasar di atas, pernyataan bahwa “Yesus telah membayar lunas akibat dosa-dosa agar manusia tidak perlu membayar lunas dosa-dosanya lagi“, harus dimengerti dengan benar. Membayar lunas di sini harus dimengerti sebagai efficient cause dan meritorius cause. Dimana tanpa dua hal ini, tidak mungkin manusia memperoleh keselamatan. Namun di satu sisi, membayar lunas bukan berarti bahwa manusia tidak perlu membayar lunas dosa-dosanya lagi, karena diperlukan kerja sama dari manusia dalam proses keselamatan, yaitu dengan memberikan dirinya dibaptis (instrumental cause). Dan diperlukan kerja sama dari manusia yang telah mendapatkan rahmat pengudusan untuk terus bertumbuh dalam kasih, sehingga pada akhirnya dapat dibenarkan oleh Allah (formal cause), yang pada akhirnya akan menuntun pada keselamatan kekal (final cause). St. Agustinus mengatakan “He, who created you without you, cannot save you without you” atau “Dia, yang menciptakan engkau tanpa engkau, tidak dapat menyelamatkan engkau tanpa engkau.

3) Untuk penal substitution, silakan melihat pembahasan ini (silakan klik). Penal substitution terlalu menekankan konsep keselamatan dari sisi legal justice. Gereja Katolik tidak mengajarkan “penal substitution“, suatu konsep yang mempercayai bahwa Kristus dihukum (penalized) sebagai ganti (subsitution) untuk dosa-dosa manusia. Konsep penal substitution memberikan konsekuensi bahwa Yesus mati di kayu salib sebagai hukuman dari Allah kepada Yesus yang menggantikan manusia. Sebagai konsekuensinya, maka Yesus juga masuk ke dalam nerakan selama tiga hari sebelum kebangkitan-Nya…..dst-nya

Silakan membaca link tersebut, dan kalau masih ada pertanyaan tentang penal substitution, silakan untuk menanyakannya kembali.

Semoga uraian di atas dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

Bolehkah sterilisasi dan nonton blue film ?

10

Pertanyaan:

Dengan hormat,

Status saya sudah kawin, dan belum memiliki anak. Apakah boleh jika saya dan isteri saya tidak ingin memiliki anak selamanya dengan alasan ekonomi atau mencari kebahagiaan hidup (tanpa repot2 mengasuh anak). Apakah boleh mengikuti KB dengan steril (memutus saluran telur istri saya / sperma saya), bagaimana juga dengan keluarga yg sudah punya 3 anak, apakah boleh melakukan steril ? Apakah boleh melakukan oral, anal sex dengan istri sendiri. Apakah boleh menonton film2 sex, sebelum melakukan sex dengan istri dan mengikuti gaya2nya ?

Maaf, apabila pertanyaan saya menjurus ke porno.
Terima kasih banyak, karena jawabannya sangat membantu saya yg sering bingung.

Jawaban:

Shalom Santoso,

1. Mengenai Sterilisasi.

Sebenarnya, tujuan perkawinan menurut ajaran agama Katolik adalah:

KGK 1601    Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen” (CIC can. 1055,  1).

Maka, kita ketahui di sini bahwa terdapat dua tujuan perkawinan Katolik, yang tidak terpisahkan yaitu: 1) kesejahteraan suami istri dan 2) kelahiran dan pendidikan anak. Dengan kedua hal inilah maka pasangan yang menikah mendalami misteri kasih Allah kepada umat-Nya yang dilambangkan dengan perkawinan, seperti yang dinyatakan dalam Alkitab PL, dan PB, dimana Kristus digambarkan sebagai mempelai laki-laki dan Gereja-Nya sebagai mempelai perempuan.

KGK 2369    “Dengan melindungi kedua aspek hakiki [dalam perkawinan, yaitu] persatuan penuh cinta kasih/ unitive dan pembiakan/ procreative, maka hubungan di dalam perkawinan secara penuh dan utuh mempunyai arti cinta kasih timbal balik yang sejati dan pengarahannya ke tugas mulia sebagai orang-tua, untuk mana manusia itu dipanggil” (Humanae Vitae 12).

Pada PL, Allah memerintahkan manusia untuk berkembang biak dan menguasai bumi (lih. Kej 1:28), maka sejak awal mula perkawinan memang dimaksudkan Allah untuk mendatangkan keturunan bagi pasangan suami istri. Maka kesuburan hendaknya dilihat sebagai berkat/ sesuatu yang positif dan bukannya negatif. Katekismus mengajarkan:

KGK 2366     Kesuburan adalah satu anugerah, satu tujuan perkawinan, karena cinta suami isteri dari kodratnya bertujuan supaya subur. Anak tidak ditambahkan dari luar pada cinta suami isteri yang timbal balik ini, ia lahir dalam inti dari saling menyerahkan diri itu, ia merupakan buah dan pemenuhannya. Karena itu Gereja yang “membela kehidupan”, mengajar “bahwa tiap persetubuhan harus tetap diarahkan kepada kelahiran kehidupan manusia” (Humanae Vitae 11). …

KGK 2367     Suami isteri yang dipanggil untuk memberi kehidupan, mengambil bagian dalam kekuatan Pencipta dan ke-Bapa-an Allah Bdk. Ef 3:14; Mat 23:9.. “Dalam tugas menyalurkan hidup manusiawi dan dalam tugas mendidik, yang harus dianggap sebagai perutusan mereka yang khas, suami-isteri menyadari diri sebagai mitra kerja cinta kasih Allah Pencipta dan bagaikan penerjemah-Nya. Maka dari itu hendaknya mereka menunaikan tugas mereka penuh tanggung jawab manusiawi serta kristiani” (Gaudium et Spes 50,2).

Oleh karena itu, baik suami maupun istri selayaknya tidak menghalangi kemungkinan adanya kehidupan baru yang dapat Allah hadirkan sebagai buah kasih suami dan istri. Begitu pasangan memasuki jenjang perkawinan, seharusnya mereka menyadari bahwa mereka masuk dalam rencana kasih Allah, di mana pasangan tersebut merupakan mitra kerja Allah pada saat mereka berkerjasama dengan Allah untuk menghadirkan kehidupan baru dan membesarkan keturunan mereka sesuai dengan rencana Tuhan. Dengan demikian pasangan tersebut menerapkan kasih yang total (total self-giving) baik kepada pasangan maupun kepada anak/ keturunan  mereka, sehingga dengan demikian mereka menjalani panggilan hidup mereka sesuai dengan rencana Allah. Dengan panggilan hidup menjadi orang tua-lah pasangan itu berpartisipasi dalam peran Allah membimbing umat-Nya, yaitu anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka.

Maka kasih di sini memang harus dilihat sebagai kasih yang tidak ditujukan “untuk kebahagiaan hidup berdua tanpa harus mengurus anak.”Pikiran “tidak mau repot mengurus anak” sesungguhnya bertentangan dengan makna perkawinan. Sebab anak sesungguhnya harus dilihat sebagai berkat Allah dan bukan sebagai beban, sebab anak malah dapat melipat gandakan kebahagiaan suami dan istri.

Maka dapat dimengerti, bahwa Gereja Katolik menolak sterilisasi, yang menolak kemungkinan adanya kelahiran anak. Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, Humanae Vitae 14 mengatakan:

“Magisterium Gereja telah menyebutkan berkali-kali bahwa sterilisasi yang langsung/ disengaja itu tidak diperbolehkan, entah sementara atau seterusnya, entah di pihak laki-laki atau wanita.”

Dalam kalimat definitif, Gereja melarang sterilisasi yang disengaja dalam kondisi apapun. Kekecualian hanya diberikan jika misalnya sterilisasi menjadi akibat dari pengobatan penyakit yang berkaitan langsung dengan organ reproduksi, yang tidak dapat dihindari, untuk menyelamatkan jiwa sang istri atau suami yang sakit. Misalnya istri mengidap menyakit kanker rahim, maka rahimnya harus diambil, sehingga praktis ia tidak dapat melahirkan. Hal ini diperbolehkan. Namun pada kasus bukan pengobatan, hal itu dilarang.

Humanae Vitae 15 menyebutkan:

“Gereja memperbolehkan penggunaan pengobatan medis (medical treatment) yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit, meskipun melalui pengobatan ini fungsi pro-creation dapat terhalang/gagal. Pengobatan ini diizinkan, walaupun kondisi infertilitas yang terganggu sudah dapat diperkirakan, asalkan kondisi infertilitas ini tidak dilakukan dengan sengaja, untuk alasan apapun juga.

Jadi untuk menjawab pertanyaan Santoso, apakah menurut Gereja diperbolehkan pasangan menjalani sterilisasi, demi alasan keuangan dan mencari kesenangan suami istri tanpa repot mengurus anak; jawabnya adalah tidak. Silakan anda merenungkan sekali lagi pertanyaan anda, apakah masalahnya keuangan, atau karena tidak ingin repot mengurus anak?

1) Terus terang, masalah keuangan adalah relatif. Apakah kesulitan keuangan yang anda maksudkan adalah sampai, maaf, tidak bisa membeli makanan? Barangkali tidak. Sebab jika anda benar-benar kesulitan keuangan maka lebih baik dana yang ada digunakan untuk membeli makanan daripada menyewa atau membeli film BF. Namun, jika-pun benar, bahwa anda sungguh-sungguh terbatas dalam keuangan, maka silakan memilih KB alamiah yang dilakukan dengan benar.

2) Kebahagiaan dengan tidak repot mengurus anak, sebenarnya merupakan bentuk kesenangan yang tidak melibatkan kasih yang “self-giving“, sebab yang menjadi prioritas adalah keinginan sendiri. Sedangkan kasih yang memberi diri seutuhnya, adalah kasih yang tertuju kepada orang lain, terutama juga kepada Tuhan yang mempunyai rencana kepada kehidupan tiap-tiap orang.

Lalu juga karena pada keluarga yang sudah mempunyai 3 anak, apakah Gereja memperbolehkan sterilisasi? Jawabnya juga tidak. Jika untuk alasan-alasan yang legitim, pasangan berusaha membatasi jumlah anak, maka cara yang diizinkan Gereja adalah KB Alamiah.

Untuk lebih lanjutnya mengenai hal ini, silakan anda membaca artikel Humanae Vitae itu benar, silakan klik. Memang masalah pengaturan kelahiran merupakan masalah yang tidak sederhana, namun kita mungkin perlu mendengarkan nasihat St. Agustinus yang mengajarkan bahwa jika kita memberontak terhadap hukum alam/ kodrat, maka kodrat badaniah kita akan berbalik memberontak terhadap kita. Maka tak mengherankan ada banyaknya efek samping yang mengakibatkan bermacam penyakit yang terjadi sekarang ini. Silakan membacanya di link ini, tentang side effects dari kontrasepsi dan sterilisasi,silakan klik.

Sedangkan apa yang dapat dilakukan jika sterilisasi sudah terlanjur dilakukan, silakan klik.

2. Mengenai oral sex dan anal sex dengan istri sendiri.

Pertanyaan mengenai oral sex dengan istri sudah pernah dijawab di sini, silakan klik. Sedangkan untuk anal sex, saya pikir, itu lebih berkaitan dengan  alasan higienis.  Menurut akal sehat/ demi alasan kesehatan, sebaiknya memang anal sex tidak dilakukan, oleh sebab banyaknya bakteri yang ada di sana, sehingga resiko penyakit akan lebih banyak, dan jika anda mengasihi (diri anda sendiri maupun pasangan anda) dengan tulus, maka selayaknya hal tersebut tidak dilakukan. Biar bagaimanapun, harus dimengerti bahwa hubungan suami istri bukan melulu diartikan sebagai pemuasan hasrat keinginan daging, tetapi merupakan persatuan jiwa dan kasih yang tulus. Dengan pengertian ini maka anda dapat menilai mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak, terutama jika secara akal sehat saja sudah tidak baik.

3. Mengenai nonton blue film (BF) dengan istri.

Menonton blue film adalah suatu tindakan dosa (melawan perintah ke-6), meskipun dilakukan dengan istri/ suami sendiri. Sebab dengan menonton film-film semacam itu, imaginasi seseorang dapat berkembang jauh sesudahnya, tidak terbatas pada saat itu/ sesaat sesudahnya itu saja. Gambar- gambar itu akan tinggal di dalam pikirannya, sehingga akan mempengaruhi pikirannya, bahkan dalam keadaan sehari-hari. Keadaan ini dapat membawanya kepada dosa yang lain, yang dapat mendorongnya untuk mengikuti hawa nafsu yang tidak sehat, yang dapat mengarah kepada “kecanduan” aktivitas seksual. Katekismus mengajarkan:

KGK 2351    Ketidakmurnian adalah satu kenikmatan yang tidak teratur dari keinginan seksual atau satu kerinduan yang tidak teratur kepadanya. Jadikeinginan seksual itu tidak teratur , apabila ia dikejar karena dirinya sendiri dan dengan demikian dilepaskan dari tujuan batinnya untuk melanjutkan kehidupan dan untuk hubungan cinta kasih.

Menonton blue film (BF) dapat membuat orang mengejar kenikmatan seksual sebagai tujuan akhir, dan menutup diri untuk tujuan yang lebih luhur dalam hubungan suami istri, yaitu persatuan batin dan kemungkinan kehadiran kehidupan baru.

Secara sosial juga kebiasaan menonton blue film juga dapat membawa dampak negatif, sebab dengan kegemaran menonton BF (walaupun menonton bersama istri/ suami sendiri), maka seseorang berpartisipasi dalam mendukung usaha bisnis pornografi dan merusak ahklak moral bangsa. Katekismus mengatakan:

KGK 2354    Pornografi mengambil persetubuhan yang sebenarnya atau yang dibuat-buat dengan sengaja dan keintiman para pelaku dan menunjukkannya kepada pihak ketiga. Ia menodai kemurnian, karena ia merusak hubungan suami isteri, penyerahan diri yang intim antara suami dan isteri. Ia sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang, dan penonton). Karena mereka ini menjadi obyek kenikmatan primitif dan sumber keuntungan yang tidak diperbolehkan. Pornografi menempatkan semua yang berperan dalam satu dunia semu. Ia adalah satu pelangaran berat. Pemerintah berkewajiban menghalang-halangi pengadaan dan penyebarluasan bahan-bahan pornografi.

Menonton blue film akan merusak kemurnian pikiran seseorang (dalam hal ini pasangan suami istri itu), sehingga ia bahkan dapat berimajinasi berhubungan dengan orang lain, pada saat berhubungan dengan istri/ suami sendiri. Tak jarang malah orang yang kecanduan menonton film BF akan mengalami ketidakharmonisan dalam hubungan suami istri, karena sedikit demi sedikit, hubungan suami istri akan tereduksi menjadi hubungan untuk mencari kepuasan jasmani, tanpa melibatkan batin.

Sedangkan tujuan seksualitas yang direncanakan Allah bagi manusia adalah:

KGK  2360    Seksualitas diarahkan kepada cinta suami isteri antara pria dan wanita. Di dalam perkawinan keintiman badani suami dan isteri menjadi tanda dan jaminan persekutuan rohani. …

KGK 2361    Oleh karena itu seksualitas, yang bagi pria maupun wanita merupakan upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif bagi suami isteri, sama sekali tidak semata-mata bersifat biologis, tetapi menyangkut inti yang paling dalam dari pribadi manusia. Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi, bila merupakan suatu unsur integral dalam cinta kasih, yaitu bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup” (Familiaris Consortio 11).

Jadi, untuk menjawab pertanyaan anda, bolehkah menonton blue film bersama istri, maka jawabannya adalah tidak, alasannya seperti yang telah saya tuliskan di atas. Jawaban di atas menjabarkan bahwa sebenarnya menonton blue film, baik dengan istri/ suami sendiri atau tidak, itu merupakan perbuatan dosa melanggar kemurnian.

Paus Yohanes Paulus II menuliskan dengan begitu indah dan jelasnya dalam Teologi Tubuh/ Theology of the Body, tentang bagaimana seharusnya kita manusia melihat dan menghargai seksualitas. Kami berharap suatu saat nanti kami dapat mengulasnya di situs Katolisitas.

Demikian yang dapat saya tuliskan untuk menjawab pertanyaan anda, semoga dapat berguna bagi anda. Malam ini sewaktu anda dan istri anda berdoa, pandanglah salib Kristus, dan mohonlah kekuatan daripada-Nya agar anda dapat mempunyai kasih yang rela berkorban, sebab dengan demikian, anda malah akan mengalami kebahagiaan yang Tuhan janjikan.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Iman dan akal budi, St. Agustinus dan Plato, St. Thomas Aquinas dan Aristoteles

11

Pertanyaan:

Dalam Filsafat ada pandangan yang mengklaim bahwa kristianitas mungkin saja dipengaruhi pula oleh pandangan filosofis Yunani Kuno. Hal ini dapat dirujuk pada pandagan St. Thomas Aquinas dan juga Agustinus apakah memang benar demikian? Kemudian apakah filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinos juga menjadi dasar bagi pengungkapan identitas Allah dari sudut pandang filosofis bagi kedua pemikir tersebut? Mohon penjelasannya. Sekian dan Trims utk penjelasannya. Salam – William.

Jawaban:

Shalom William,

Terima kasih atas pertanyaannya tentang kekristenan dan filsafat. Secara prinsip, Gereja Katolik percaya bahwa tidak ada pertentangan antara akal budi (reason) dan iman (faith), karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Kalau sampai akal budi bertentangan dengan iman, maka manusia tidak menggunakan akal budi sebagaimana mustinya atau tidak mempercayai iman yang Ilahi. Karena Tuhan tidak dapat mempertentangkan Diri-Nya sendiri, maka anugerah akal budi dan iman juga tidak mungkin saling bertentangan. Banyak Bapa Gereja yang yang dapat menerangkan misteri iman dengan baik dengan bantuan filosofi. Dan sintesis dari keduanya memuncak dalam tulisan St. Thomas Aquinas, Summa Theology. Berikut ini adalah hubungan antara iman dan akal budi:

1) Kita harus mendudukkan iman dan akal budi pada posisi masing-masing. Akal budi mempunyai keterbatasan, karena memang pemikiran manusia terbatas. Sedangkan iman memberikan kepada kita rencana Allah yang tak mungkin dapat dicapai hanya dengan menggunakan akal budi. Sebagai contoh, dengan akal budi, kita dapat mengetahui bahwa Tuhan adalah satu, Tuhan adalah baik, dll. Namun akal budi tidak dapat mencapai pemahaman bahwa Tuhan adalah satu dalam tiga pribadi. Hal ini hanya mungkin kalau Tuhan sendiri menyatakannya kepada manusia. Setelah Tuhan menyatakannya kepada manusia, maka manusia dapat menguak misteri ini dengan akal budi, misalnya dengan filosofi. Oleh karena itu, akal budi melalui filosofi membantu manusia untuk dapat menguak misteri iman dengan lebih baik dan dengan penjelasan yang masuk diakal. Sedangkan iman menjadi suatu panduan bagi akal budi, sehingga tidak salah arah. Katekismus Gereja Katolik mengatakan:

KGK 50: “Dengan bantuan budi kodratinya, manusia dapat mengenal Allah dengan pasti dari segala karya-Nya. Namun masih ada lagi satu tata pengetahuan, yang tidak dapat dicapai manusia dengan kekuatannya sendiri: yakni wahyu ilahi (Bdk. Konsili Vat I: DS 3015.). Melalui keputusan yang sama sekali bebas, Allah mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia, dan menyingkapkan rahasia-Nya yang paling dalam, keputusan-Nya yang berbelas kasih, yang Ia rencanakan sejak keabadian di dalam Kristus untuk semua manusia. Ia menyingkapkan rencana keselamatan-Nya secara penuh, ketika Ia mengutus Putera-Nya yang terkasih, Tuhan kita Yesus Kristus dan Roh Kudus.

KGK 156: “Alasan untuk percaya tidak terdapat dalam kenyataan bahwa kebenaran yang diwahyukan itu kelihatan benar dan jelas dalam cahaya budi kodrati kita. Kita percaya “karena otoritas Allah yang mewahyukan, yang tidak dapat keliru dan tidak dapat menyesatkan” (Konsili Vatikan I: DS 3008). Namun, “supaya ketaatan iman kita sesuai dengan akal budi, maka Allah menghendaki agar bantuan batin Roh Kudus dihubungkan dengan tanda bukti lahiriah bagi wahyu-Nya” (DS 3009). Maka mujizat Kristus dan para kudus (Bdk. Mrk 16:20; Ibr 2:4), ramalan, penyebaran dan kekudusan Gereja, kesuburannya dan kelanjutannya, “dengan sesungguhnya adalah tanda-tanda wahyu ilahi yang jelas dan sesuai dengan daya tangkap semua orang” (DS 3009), alasan-alasan bagi kredibilitas (Bdk. DS 3013.), yang menunjukkan bahwa “penerimaan iman sekali-kali bukanlah suatu gerakan hati yang buta” (DS 3010).”

KGK 157: “Iman itu pasti, lebih pasti dari setiap pengertian manusiawi, karena ia berdasarkan Sabda Allah yang tidak dapat menipu. Memang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dapat kelihatan gelap bagi budi dan pengalaman manusiawi, tetapi “kepastian melalui cahaya ilahi itu lebih besar daripada kepastian melalui cahaya akal budi alamiah” (Tomas Aqu., s.th. 2-2,171,5 obj.3). “Ribuan kesukar-sulitan tidak sama dengan kebimbangan” (J.H. Newman, apol.).

KGK, 158: “Iman berusaha untuk mengerti (Anselmus prosl.prooem). Orang yang benar-benar percaya, berusaha untuk mengenal lebih baik dia, kepada siapa ia telah memberikan kepercayaannya, dan untuk mengerti lebih baik apa yang telah dinyatakannya. Pengertian yang lebih dalam pada gilirannya akan membangkitkan iman yang lebih kuat, iman yang semakin dijiwai oleh cinta. Rahmat iman membuka “mata hati” (Ef 1:18) menuju suatu pengertian yang hidup mengenai isi wahyu, artinya, mengenai keseluruhan rencana Allah dan misteri iman, demikian juga hubungannya antara yang satu dengan yang lain dan dengan Kristus, pusat misteri yang diwahyukan. “Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui karunia-karunia-Nya” (DV 5). Maka, benar apa yang dikatakan santo Agustinus: “Aku percaya supaya mengerti, dan aku mengerti supaya percaya lebih baik” (serm. 43,7,9).”

KGK, 159: “Iman dan ilmu pengetahuan. “Meskipun iman itu melebihi akal budi, namun tidak pernah bisa ada satu petentangan yang sesungguhnya antara iman dan akal budi: karena Allah sama, yang mewahyukan rahasia-rahasia dan mencurahkan iman telah menempatkan di dalam roh manusia cahaya akal budi; tetapi Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya sendiri, dan tidak pernah yang benar bisa bertentangan dengan yang benar” (Konsili Vatikan I: DS 3017). “Maka dari itu, penyelidikan metodis di semua bidang ilmu, bila dijalankan dengan sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah kesusilaan, tidak akan pernah sungguh bertentangan dengan iman karena hal-hal profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama. Bahkan barang siapa dengan rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki rahasia-rahasia alam, kendati tanpa disadari pun ia bagaikan dituntun oleh tangan Allah yang melestarikan segala sesuatu dan menjadikannya sebagaimana adanya” (GS 36,2).

KGK 274: “Karena itu, iman kita dan harapan kita dengan paling kuat diteguhkan, kalau kita membawa dalam hati kita keyakinan bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Apa saja yang harus diimani – meskipun mulia, mengagumkan, dan jauh melampaui segala susunan dan takaran ciptaan – budi manusia akan menyetujuinya dengan mudah dan tanpa ragu-ragu, apabila ia telah memahami kabar mengenai Allah yang maha kuasa (Catech.R. 1,2,13).

KGK, 1706: “Oleh akal budinya, manusia mendengarkan suara Allah yang mengajaknya “untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat” (GS 16). Setiap manusia diwajibkan untuk mematuhi hukum ini, yang menggema di dalam hati nurani dan dipenuhi dengan cinta kepada Allah dan kepada sesama. Dalam tindakan moral tampaklah martabat manusia.

2) Dalam sejarah perkembangan Gereja, ada begitu banyak Bapa Gereja yang menggabungkan filosofi dengan iman. Kita melihat pada masa awal ada banyak orang Yunani yang juga menjadi Kristen. Dan dengan pengetahuan filosofinya, mereka menjadi pengkotbah dan penulis yang ulung. Kita juga melihat ada yang terjebak dalam filosofi yang bertentangan dengan iman, seperti Origen. Origen, mengikuti Plato mengajarkan akan jiwa-jiwa yang sudah ada sebelumnya (pre-existent souls). Ada yang sama sekali tidak mau menyentuh filosofi, seperti yang ditunjukkan oleh Tertullian, dengan perkataannya yang terkenal “What indeed has Athens to do with Jerusalem?” Tapi akhirnya Tertullian terjebak dalam aliran Montanism. Jadi, pada akhirnya, kita harus membedakan filosofi yang baik dan filosofi yang jelek. Dan peran dari Magisterium Gereja menjadi sangat penting untuk mempertahankan iman yang murni, sehingga iman yang murni dapat diteruskan dari generasi ke generasi.

3) Para Bapa Gereja sampai sekitar jaman St. Agustinus banyak mengambil filosofi dari Plato. Sedangkan sekitar abad ke-13, yang memuncak pada St. Thomas Aquinas, banyak mengambil manfaat dari cara berfikir Aristoteles. Pengaruh dari Plato dan Aristoteles memang dapat kita telusuri dari begitu banyak tulisan Bapa Gereja yang hidup dari satu generasi ke generasi yang lain.

a) Dalam tulisan St. Agustinus di Confessions, dia mengatakan bahwa dia kehilangan iman ketika dia mencari Tuhan di luar dirinya tanpa melihat ke dalam jiwanya. Karena pengaruh filosofi materialism, maka dia sulit menangkap sisi spiritual dari Tuhan dan jiwa. Dan melalui bacaan Neo-Platomist filsuf, maka dia mengatasi hambatan ini, dan dia menuliskan:

Being admonished by these books to return into myself, I entered into my inward soul, guided by thee. This I could do because thou wast my helper. And I entered, and with the eye of my soul—such as it was—saw above the same eye of my soul and above my mind the Immutable Light of God. . . . Nor was it above my mind in the same way as oil is above water, or heaven above earth, but it was higher, because it made me, and I was below it, because I was made by it. He who knows the Truth knows that Light, and he who knows it knows eternity. Love knows it.” (Confessions, 7.10.16)

Dari sini, kita melihat bahwa St. Agustinus menangkap Tuhan yang tidak bersifat material, namun spiritual, Kebenaran yang Utama dan mahluk yang kekal, yang memberikan “being” dan “essence” kepada semua ciptaan-Nya. walaupun neo-platonists memberikan sesuatu yang berharga, namun tidak memberikan apa yang paling dibutuhkan oleh St. Agustinus, yaitu: Jalan kepada Tuhan, Pengantara antara Tuhan dan manusia, yaitu Yesus Kristus. Untuk ini, dia menemukannya di di dalam Perjanjian Baru. Dari sini, kita melihat bagaimana filosofi dan iman menuntun St. Agustinus kepada Kebenaran.

b) Untuk perbandingan antara Aristoteles dan St. Thomas Aquinas, silakan membaca Summa Theology. Di dalam Summa Theology, terlihat bagaimana St. Thomas menggabungkan logic Aristoteles dengan iman, sehingga menghasilkan iman yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jadi, memang para Bapa Gereja banyak menggunakan dasar-dasar filosofi, terutama dari Plato dan Aristoteles untuk dapat memasuki misteri iman dengan lebih baik. Gereja mengambil apa yang baik dari filosofi tersebut, sehingga membantu manusia untuk memahami iman dengan lebih baik. Kalau kita dapat mengerti alasan mengapa kita percaya akan apa yang kita percayai, maka kita dapat mempercayai apa yang kita percayai dengan lebih kuat lagi dan pada akhirnya akan membantu kehidupan spiritual kita.

Semoga uraian di atas dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

Apakah keselamatan yang sudah diperoleh melalui Pembaptisan dapat hilang?

16

Pertanyaan:

Salam damai sejahtera
Dear Ingrid
Kalau kita membahas tentang KESELAMATAN, selalu timbul pro kontra.
Sebagian orang mengatakan keselamatan bisa hilang, sebab itu harus dikerjakan baik2 supaya jangan sampai hilang.
Sebagian orang mempercayai bahwa kalau keselamatan itu anugerah Allah , pasti tidak mungkin akan hilang.
Semua argumen mempunyai ayat2 pendukung yang tertulis dalam Alkitab.

Saya sendiri percaya bahwa keselamatan itu bisa hilang, jika tidak dipelihara dengan se-baik2nya.
Bagaimana menurut Ingrid.
Terima kasih
Mac

Jawaban:

Shalom Machmud,

Ya, saya juga menyadari bahwa memang terdapat perbedaan interpretasi tentang bagaimana seseorang memperoleh keselamatan dan apakah keselamatan yang sudah diperoleh itu dapat hilang. Karena anda menanyakan apa yang menjadi pandangan saya, maka saya akan menuliskan apa yang menjadi pengajaran Gereja Katolik yang saya yakini benar dan paling dapat diterima, baik dari segi akal maupun dari dasar Alkitab-nya.

Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh karena anugerah Allah oleh iman kepada Yesus Kristus yang bekerja oleh kasih (lih. Ef 2:8 dan Gal 5:6), seperti yang telah saya tuliskan artikel di atas. Iman kepada Kristus adalah anugerah Allah, sehingga bukan merupakan hasil perbuatan manusia dari memenuhi hukum Taurat (seperti hukum sunat). Inilah yang berkali-kali ditekankan oleh Rasul Paulus dalam surat-suratnya dan konteks hukum Taurat-lah yang sering disebutnya sebagai adat istiadat manusia, karena kita mengetahui bahwa memang terdapat banyak ‘pengembangan’ hukum Taurat Musa sampai ke detail-detailnya yang dikecam oleh Yesus (Mat 15:1-20; Mrk 7:1-23). Hukum inilah yang tidak mempunyai kuasa untuk memberikan keselamatan, karena keselamatan hanya diperoleh melalui iman kepada Yesus Kristus Tuhan. Namun, iman kepada Kristus ini tidak dapat dipisahkan dari perbuatan kasih. Karena kasih merupakan kesatuan dan bukti dari iman kepada Kristus.

Berikut saya sampaikan cuplikan tanggapan saya terhadap komentar dari saudara kita yang non-Katolik tentang keselamatan (untuk selengkapnya silakan klik di sini):

Mari bersama kita melihat kembali kesimpulan yang disampaikan oleh saudara/i kita yang dari gereja Protestan: “Kita selamat hanya karena iman kepada Yesus Kristus. Perbuatan baik hanya merupakan bukti iman, dan kalau perbuatan baik itu tidak ada maka iman itu sebetulnya mati / tidak ada (Yak 2:17,26), tetapi bagaimanapun juga, perbuatan baik itu sama sekali tidak punya andil dalam keselamatan kita.” Sedangkan kalau menurut Gereja Katolik adalah demikian: Kita selamat hanya karena kasih karunia Allah oleh iman kepada Yesus Kristus (Ef 2:8). Perbuatan baik merupakan bukti iman, dan kalau perbuatan baik itu tidak ada, maka iman itu sebetulnya mati (lih. Yak 2:17, 26). Maka konsekuensi dari pernyataan ini adalah kita tidak dapat terlalu yakin bahwa “sekali selamat tetap selamat,” sebab kenyataannya, seseorang yang telah beriman sekalipun, tetap dapat jatuh dalam dosa dan gagal berbuat baik. Padahal orang yang gagal berbuat baik adalah orang yang tidak beriman (imannya ‘mati’), sedangkan orang yang tidak beriman tidak dapat diselamatkan. Maka perbuatan baik yang merupakan bukti iman yang hidup itu, harus diukur sampai akhir -tidak bisa hanya perbuatan sesaat saja- agar kita dapat membuktikan kepada Tuhan bahwa kita adalah orang yang setia beriman sampai akhir. Dengan demikian, perbuatan baik tidak bisa dipisahkan dari iman, dan keduanya diperhitungkan Tuhan pada saat Penghakiman Terakhir untuk menentukan apakah kita dapat diselamatkan. Sebab pada akhirnya, Tuhan membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya (Why 2:23).

Berikut ini, mari kita melihat ilustrasi yang disampaikan oleh saudara/i kita yang Protestan:

Orang sakit        – obat  – sembuh – bisa berolah raga.
Orang berdosa   – iman – selamat  – berbuat baik.

Keterangan:

Orang sakit bisa sembuh karena obat, bukan karena olah raga. Tetapi bukti bahwa ia sudah sembuh adalah bahwa ia bisa berolah raga kembali. Kalau seseorang mengaku sudah minum obat dan sudah sembuh tetapi tetap tidak bisa berolahraga, maka itu menunjukkan bahwa pengakuannya dusta. Jadi sebetulnya ia belum sembuh, dan juga belum minum obat. Analoginya: orang berdosa bisa selamat karena iman kepada Yesus Kristus, bukan karena berbuat baik. Tetapi bukti bahwa ia sudah selamat adalah bahwa ia lalu berbuat baik. Kalau seseorang mengaku sudah beriman kepada Yesus dan sudah selamat tetapi ia sama sekali tidak mempunyai perbuatan baik / ketaatan kepada Tuhan, maka itu menunjukkan bahwa pengakuannya itu dusta. Jadi sebetulnya ia belum selamat dan belum percaya dengan sungguh-sungguh.

Tanggapan saya:

Illustrasi di atas sebenarnya cukup bagus, tetapi sebenarnya kurang sempurna. Karena, orang yang sakit yang minum obat dan sembuh, dapat memilih untuk tidak berolah raga [walaupun sudah sembuh]. Kemampuan berolah raga di sini tidak langsung menjadi tolok ukur kesembuhan. Jadi mungkin analogi yang lebih tepat adalah demikian: Orang sakit, contohnya sesak nafas, minum obat, lalu sembuh, dan dapat bernafas kembali. Bernafas kembalinya orang itu menjadi tanda kesembuhannya, sama seperti perbuatan baik yang mengalir dari seseorang yang diselamatkan karena iman. Maka, obat sesak nafas tersebut tak terpisahkan dan dibuktikan dengan khasiatnya yaitu kemampuan untuk bernafas kembali. Jika orang belum bisa bernafas dengan baik artinya, obatnya belum tepat, namun jika sudah bisa bernafas kembali artinya obat itu tepat dan manjur. Iman tidak terpisahkan dan dibuktikan dengan perbuatan kasih yang mengalir dari iman. Jika orang tidak berbuat kasih, maka dipertanyakan apakah imannya sudah benar. Perlu pula kita ketahui bahwa dalam keadaan sesak nafas, orang yang sakit masih bisa bernafas, namun kualitasnya kurang/tidak baik.

Demikian pula, orang yang berdosa bahkan orang atheis sekalipun, mereka masih tetap dapat berbuat kasih, hanya saja kualitas perbuatan kasihnya tidak dapat disamakan dengan perbuatan kasih orang yang beriman. Setidaknya, dari segi motivasi sudah pasti berbeda. Orang yang atheis misalnya, tetap dapat berbuat kasih kepada sesama, namun motivasinya tidak demi kasihnya kepada Tuhan, sebab mereka tidak mengenal Tuhan. Maka dalam hal ini kasih mereka tidak mempunyai nilai supernatural, dan terbatas hanya pada kasih kemanusiaan, sehingga nilainya tidak sama dengan kasih Kristiani.

Kita dapat mengambil contoh lain terhadap sakit yang berbeda-beda, namun dalam hal rohani, sakit yang ada hanya akibat dosa. Maka, analoginya menjadi: orang berdosa/ ’sakit rohani’, dengan iman kepada Kristus, ia diubah dan dijadikan sembuh dan diselamatkan, sehingga ia dimampukan untuk tidak berbuat dosa dan berbuat kebaikan/ perbuatan kasih. Namun kemudian, orang yang sudah sehat sekalipun, dapat sakit lagi, dan demikian juga orang yang sudah sembuh secara rohani, dapat jatuh lagi di dalam dosa. Hal inilah yang membedakan pemahaman doktrin “sekali selamat tetap selamat”, dengan ajaran Gereja Katolik. Sebab dengan menggunakan analogi orang sakit tersebut, maka mereka yang percaya “sekali selamat tetap selamat”: 1) tidak mengakui bahwa seseorang yang sudah beriman dapat jatuh dalam dosa lagi; Atau, 2) mereka percaya sekali minum obat, maka seseorang sudah tidak perlu minum obat lagi jika ia jatuh sakit lagi di kemudian hari.

Sedangkan menurut Gereja Katolik, seperti juga diajarkan dalam Alkitab, seseorang yang beriman teguh sekalipun masih tetap jatuh dalam dosa. Sebab,dikatakan dalam surat Rasul Yohanes, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam kita….Jika kita berkata bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita.” (1 Yoh 1:8, 10). Ayat ini dituliskan persis setelah menyatakan bahwa Allah adalah terang, dan jika kita bersekutu dengan Dia, maka kita harus hidup di dalam terang. Maka, kesimpulannya, kita harus terus mengusahakan untuk hidup di dalam terang, dan jika sampai jatuh dalam dosa/ kegelapan, kita harus mengaku dosa, agar Tuhan menyucikan kita dari segala kejahatan (lih. 1 Yoh 1:7,9). Maka “obat” itu, yaitu iman kepada Kristus harus terus kita perbaharui dengan pertobatan yang terus menerus, agar kita dapat terus dikatakan “sembuh”/ diselamatkan.

Jadi perjuangan untuk terus beriman dan melakukan kasih adalah perjuangan seumur hidup. Ini melibatkan pertobatan yang terus menerus dan kerendahan hati untuk menerima kelemahan kita sebagai manusia dan ketergantungan kita kepada rahmat Allah untuk mengampuni kita, menguduskan dan membimbing kita agar dapat hidup lebih baik dari hari ke hari. Rasul Paulus menggambarkan perjuangan untuk mencapai keselamatan tersebut sebagai perjuangan meninggalkan dosa dan berlomba dengan tekun, termasuk tekun memikul salib (Ibr 12:1, 2) dan agar kita senantiasataat dan mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (lih. Fil 2:12). Maka menurut Rasul Paulus, artinya rahmat keselamatan itu harus kita pertahankan, dengan ketaatan terhadap perintah-perintah Allah, terutama perintah kasih. Dengan demikian, kita tidak dapat terlalu yakin bahwa begitu kita dibaptis dan menerima Roh Kudus, langsung pasti kita masuk surga, tanpa memperhitungkan perbuatan kita. Sikap demikian, bahkan tidak sesuai dengan ajaran Rasul Paulus, yang mengatakan bahwa kita harus mempunyai kerendahan hati untuk berjuang dan mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar! Ini artinya kita harus senantiasa mau bertobat dan berbuat kasih. Jika kembali ke analogi orang sakit tadi, artinya, kita harus mau minum obat itu lagi jika kita jatuh sakit. Kita harus selalu memperbaharui iman dan kasih kita kepada Tuhan dengan pertobatan yang terus menerus, sampai kita dapat sungguh-sungguh bersatu dengan-Nya di surga kelak. Di sinilah pentingnya Sakramen Tobat bagi umat Katolik, dan seterusnya agar selalu berusaha hidup dalam kasih/ kekudusan. Lebih lanjut tentang apa itu kekudusan, silakan klik di sini

Maka ya, dalam hal ini pandangan Machmud sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Sebab memang, menurut Gereja Katolik, keselamatan yang sudah kita peroleh melalui Pembaptisan dapat hilang jika kita melakukan dosa berat.  Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

KGK 1472    Supaya mengerti ajaran dan praktik Gereja ini, kita harus mengetahui bahwa dosa mempunyai akibat ganda. Dosa berat merampas dari kita persekutuan dengan Allah dan karena itu membuat kita tidak layak untuk kehidupan abadi….

KGK 1855    Dosa berat merusakkan kasih di dalam hati manusia oleh satu pelanggaran berat melawan hukum Allah. Di dalamnya manusia memalingkan diri dari Allah, tujuan akhir dan kebahagiaannya dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih rendah. Dosa ringan membiarkan kasih tetap ada, walaupun ia telah melanggarnya dan melukainya.

KGK 1856    Karena dosa berat merusakkan prinsip hidup di dalam kita, yaitu kasih, maka ia membutuhkan satu usaha baru dari kerahiman Allah dan suatu pertobatan hati yang secara normal diperoleh dalam Sakramen Pengakuan…

Maka karena dosa berat secara prinsip merusak kasih dalam hati manusia, maka jika seseorang yang sudah dibaptis melakukan dosa berat dan tidak bertobat, maka ia akan kehilangan rahmat keselamatan yang telah diperolehnya sewaktu dibaptis. Hal ini sangat sesuai dengan pengajaran di Alkitab bahwa seseorang yang tidak memiliki kasih tidak dapat masuk dalam kerajaan surga (lih. Mat 25:31-46). Dengan pengertian ini, maka sesungguhnya tidak mungkin seseorang berkeras bahwa asal sudah beriman kepada Kristus, pasti masuk surga, tidak peduli apapun yang dilakukannya sesudahnya. Pendapat ini diyakini oleh Martin Luther, dan ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dan sesungguhnya jika seseorang mau dengan jujur dan terbuka mempelajari, ia akan menemukan bahwa pendapat ini tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Silakan membaca lebih lanjut uraian tentang iman yang tak terpisahkan dari kasih dalam kotbah Paus Benediktus menanggapi “Sola Fide”, silakan klik di sini.

Demikian telah saya sampaikan sekilas ajaran tentang keselamatan menurut ajaran Gereja Katolik. Semoga dapat berguna bagi anda, ya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- https://katolisitas.org

Di manakah sekarang Tabut Perjanjian?

33

Pertanyaan:

Salam damai sejahtera

Dear Ingrid

Barangkali Ingrid bisa juga memberikan sedikit gambaran tentang TABUT, yang konon katanya dibawa oleh anak dari Ratu SYEBA ke Ethiopia.
Apakah Tabut tersebut sudah kembali ke Israel, ataukah tabut tersebut sudah musnah dimakan zaman atau peperangan ?

Terima kasih
Mac

Jawaban:

Shalom Machmud,

Di manakah sekarang Tabut Perjanjian, memang merupakan hal yang diperdebatkan oleh para ahli selama berabad-abad, sehingga kita tidak dapat mengetahui secara persis.

1. Memang ada tradisi Yahudi yang mengatakan tabut perjanjian dibawa ke Ethiophia oleh anak dari Ratu Sheba yang bernama Menelik dan sekarang ada dalam komunitas Axum, namun hal inipun tidak dapat dikonfirmasi, karena yang diperbolehkan masuk ke dalam tenda adalah hanya para pertapa.

2. Ada pula tradisi yang mengatakan berdasarkan tulisan nabi Yeremia yang tertulis dalam 2 Makabe 2:4-8, “Di dalam naskah itu terdapat pula berita bahwa atas ilham Allah nabi itu telah menyuruh, supaya Kemah Suci dan tabut perjanjian menyertai dia ketika ia pergi ke gunung yang telah didaki Musa untuk memandang milik Allah. Setibanya di sana Yeremia menemukan sebuah kediaman yang berupa gua. Kemah Suci , tabut perjanjian dan mezbah ukupan dibawanya masuk, lalu tempat masuk direbat olehnya. Kemudian beberapa orang yang mengiringnya pergi ke sana untuk menandai lagi. Ketika Yeremia dapat tahu tentang hal itu, maka ditegurnyalah mereka, katanya: “Tempat itu harus tetap rahasia sampai Allah mengumpulkan kembali umat serta mengasihianinya lagi. Kelak semuanya akan ditunjukkan oleh Tuhan serta awan akan nampak lagi, sebagaimana dinyatakan kepada Musa, dan sebagaimana Salomopun telah berdoa juga, supaya tempat itu disucikan secara istimewa.” Maka tempat yang disebutkan juga merupakan tempat rahasia.

3. Tradisi lain berasal surat Edras, yang mengatakan bahwa tabut perjanjian dibawa oleh pasukan yang menang dalam penjarahan Yerusalem (IV Esd., x, 22). Hal ini berdasarkan tulisan dalam 2 Raj 25, yang mengatakan pasukan dari Babilonia membawa semua benda-benda dari kuningan, perak dan emas yang ada bait Allah itu (walau tidak disebutkan secara eksplisit tabut perjanjian).

4. Tradisi Talmud
Dikatakan bahwa kemungkinan tabut perjanjian disembunyikan oleh Raja Yosiah di suatu tempat rahasia seperti yang dipersiapkan oleh Raja Salomo, jika Bait Allah diserang atau dibakar. Namun tempat ini tidak diketahui.

5. Ada pula klaim dari archelogist Leen Ritmeyer yang mengadakan penyelidikan di Temple Mount, dan di dalam Dome of the Rock yang ada di Yerusalem. Ia mengklaim telah menemukan tempat di sana yang merupakan tempat Mahakudus di jaman Bait Allah yang pertama. Pada tempat itu terdapat potongan batu yang berukuran sesuai dengan ukuran yang disebutkan dalam Kitab Keluaran. Maka Ritmeyer memperkirakan bahwa Tabut perjanjian dikubur dalam-dalam di bawahnya. Namun sangat tidak mungkin bahwa akan diperbolehkan diadakan penggalian, baik oleh pemerintahan Muslim ataupun Israel.

Bagi saya, tak terlalu penting di mana tabut perjanjian tersebut berada. Yang terpenting adalah bahwa memang dahulu tabut itu pernah ada, dan memang menjadi tempat di mana Allah menyatakan kehadiran dan kemuliaan-Nya. Yang terlebih penting adalah Tabut Perjanjian Baru yang menurut Tradisi Gereja Katolik adalah sebagai berikut:

1. Bunda Maria adalah Tabut Perjanjian Baru, karena ia mengadung Kristus, sang Sabda yang menjadi manusia. Maka jika Tabut Perjanjian Lama mengandung 2 loh batu yang berisi sabda 10 perintah Allah dan roti manna, maka dalam diri Maria yang dikandung adalah Kristus, Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia (Yoh 1: 14) dan yang adalah Sang Roti Hidup (Yoh 6:35). Pemahaman bahwa Bunda Maria adalah Tabut Perjanjian Baru memberikan pemahaman akan kesucian Bunda Maria, karena kalau terhadap Tabut Perjanjian Lama yang hanya menyangkut benda-benda mati saja Allah begitu spesifik dalam menguduskan Tabut-Nya, apalagi ketika isi Tabut Perjanjian Baru itu menyangkut Diri Putera-Nya sendiriyang bukan ‘benda mati’ melainkan Sang Hidup itu sendiri (lih. Yoh 14:6) . Tentu Allah lebih lagi menguduskan Tabut Perjanjian Baru ini yang mengandung Putera-Nya. Jika anda ingin membaca lebih lanjut tentang ini, silakan membaca lebih lanjut di artikel ini, silakan klik.

2. Sekarang kehadiran Kristus secara nyata hadir di dalam setiap tabernakel di dalam gedung Gereja Katolik, di mana disimpan Ekaristi, atau Sang Roti Hidup, yaitu Kristus sendiri. Umat Katolik yang menyambut Ekaristi-pun sebenarnya menjadi “tabut perjanjian baru” yang hidup, karena menerima Yesus di dalam diri mereka. Selanjutnya mengenai hal ini silakan baca di sini, silakan klik.

Demikianlah yang dapat saya tuliskan mengenai tabut perjanjian, semoga berguna bagi anda.

Tentang Kayu Salib Yesus

46

Pertanyaan:

Shalom Pak Stef & Bu Ingrid,

Saya punya satu pertanyaan (yang agak melenceng) mengenai SALIB (kayu) yang di pikul oleh Yesus sampai pada ajalnya itu, apakah ada catatan atau tulisan dimana SALIB (kayu) itu berada? Apakah ada disimpan atau sudah hancur/lapuk?

Maaf sekali lagi, dan thanks. GBU

Simon

Jawaban:

Shalom Simon,

Kisah tentang salib Tuhan Yesus, adalah sebagai berikut: (Sumber: New Advent Catholic Encyclopdia):

Pada tahun 326, ibu dari Kaisar Konstantin, yang bernama  St. Helena (80 thn) melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk membersihkan daerah kubur Yesus. Ia menerima wahyu bahwa ia akan menemukan kubur Yesus, dan Salib-Nya. Tugas ini dilakukan dengan bantuan dari St. Macarius, uskup di kota itu. Orang-orang Yahudi menyembunyikan Salib Yesus di semacam sumur dan ditimbuni oleh batu-batu, agar para beriman tak dapat menghormati Salib itu. Hanya sedikit orang Yahudi yang mengetahui tempat Salib itu dikuburkan, salah satunya bernama, Yudas, yang didorong oleh inspirasi ilahi, menunjukkan kepada para penggali letak dari Salib itu. Yudas ini kemudian menjadi seorang Santo, dengan nama Cyriacus.

Dalam penggalian terdapat tiga salib yang ditemukan. Menurut salah satu tradisi, untuk menentukan yang mana dari salib itu adalah Salib Tuhan Yesus, maka konon St. Macarius memerintahkan ketiga salib itu untuk dibawa ke sisi tempat tidur seorang perempuan yang sakit parah dan hampir meninggal. Persentuhan dengan kedua salib itu,  tidak memberikan akibat apapun kepada perempuan itu, sedangkan persentuhan dengan salib yang ketiga di mana diyakini sebagai Salib Kristus, mengakibatkan perempuan tersebut langsung sembuh. St. Helena-pun mengenali salib yang ketiga ini sebagai Salib Kristus melalui mukjizat: yaitu dengan menyentuhkan Salib Kristus ini dengan seorang pria yang telah wafat, dan ia dapat hidup kembali. Hal ini dituliskan dalam surat St. Paulinus kepada Severus, tertulis dalam Breviary di Paris. Namun demikian, menurut tradisi St. Ambrose, Salib Kristus dikenali di antara tiga salib itu, sebab terdapat naskah yang masih terpaku disana (yang bertuliskan INRI tersebut).

Setelah penemuan ini, maka St. Helena dan Konstantin membangun sebuah basilika yang megah di Kubur Yesus yang Kudus (Holy Sepulchre). Tepat di tempat ditemukannya Salib itu, dibangun sebuah atrium basilika. Sebuah bagian dari Salib Kristus ini tetap berada di Yerusalem, yang diselubungi relikwiari dari perak; sedangkan bagian lainnya, dengan paku-pakunya dikirim kembali ke Kaisar Konstantin, dan bagian inilah yang kemudian diletakkan di dalam patung Konstantin yang berada di Konstantinopel. Paku-paku yang lain kemudian disimpan di ketedral Monza.

Referensi tertulis yang paling awal tentang Salib ini diperoleh dari St. Cyril dari Yerusalem dalam tulisannya “Catecheses” (P.G., XXXIII, 468, 686, 776) yang ditulis tahun 348, sekitar 20 tahun setelah Salib ini ditemukan oleh St. Helena. Salib ini kemudian sempat dibawa lari oleh Raja Persia, Chosroes (Khusrau), yang dikalahkan oleh Raja Heraclius II. Kemudian Salib ini dibawa dalam kemenangan ke Konstantinopel dan pada tahun 629 ke Yerusalem. Namun kemudian, Heraclius dikalahkan oleh kaum muslim dan tahun 647 Yerusalem ditaklukkan oleh mereka.

Pada tgl 14 September 1241, St. Louis dari Perancis membawa fragment dari Salib Suci ini yang diterimanya dari Templars. Fragmen ini lolos dari penghancuran di jaman revolusi dan masih disimpan di Paris. Terdapat juga bagian Salib yang lain berserta dua buah paku, yang diberikan oleh Ratu Anna Gonzaga kepada biaraSaint-Germain-des-Prés. Segera setelah ditemukannya Salib Yesus ini, maka kayunya dipotong-potong menjadi relikwi dan disebarkan ke seluruh dunia. Hal ini kita ketahui dari tulisan-tulisan dari St. Ambrosius, St. Paulinus Nola, Sulpicius Severus, Rufinus, dst. Banyak bagian disimpan di Santa Croce di Gerusalemme, Roma, dan di Notre Dame, Paris (cf. Rohault de Fleury, “Mémoire”, 45-163; Gosselin, Notice historique sur la Sainte Couronne et les autres Instruments de la Passion de Note-Dame de Paris”, Paris, 1828; Sauvage, “Documents sur les reliques de la, Vrai Croix“, Rouen, 1893).

Penyebaran bagian-bagian dari kayu Salib Yesus ini menyebabkan dibuatnya sejumlah besar salib-salib, sejak dari abad ke-4 dan seterusnya, dan banyak di antaranya masih ada sampai sekarang. Sejak abad awal inilah maka dimulai devosi untuk menghormati salib pada hari Jumat Agung, yang dimaksudkan bukan untuk menghormati kayu salib, tetapi untuk menghormati Yesus yang pernah tergantung di kayu salib itu.

Baru-baru ini dibuka perbendaharaan di Sancta Sanctorum dekat Lateran, dimana disimpan benda-benda yang berkaitan dengan kayu Salib Suci, yang memberikan pengetahuan tentang salib-salib yang mengandung partikel kayu Salib Yesus itu, dan gereja-gereja yang dibangun di abad ke-5 dan 6 untuk menghormatinya. Benda yang terkenal yang ditemukan adalah salib votive dari abad ke 5, yang padanya terpasang batu-batu permata,kotak kayu berbentuk salib dengan penutup geser yang bertuliskan, “terang dan hidup” dan salib yang diberi ornamen enamel cloisonnes . Salib votive adalah benda yang paling penting sebab ini berasal pada masa yang sama dengan salib di jaman Justin II yang disimpan di basilika St. Petrus, yang mengandung relikwi dari Salib Suci yang dipasang di batu permata. Ini diyakini sebagai salib yang tertua dalam bentuk logam berharga (De Waal in “Römische Quartalschrift”, VII, 1893, 245 sq.; Molinier, “Hist. générale des arts; L’orfèvrerie religieuse et civile”, Paris, 1901, vol. IV, pt. I, p. 37).

Salib ini yang mengandung relikwi Salib Suci pertama kali ditemukan oleh Paus Sergius I (687-701) di sakristi basilika St. Petrus (cf. Duchesne, Lib. Pont., I, 347, s.v. Sergius) yang disimpan di kotak perak yang terkunci.

Demikian sekilas tentang kayu Salib Yesus. Untuk selengkapnya silakan anda membaca di link ini, silakan klik

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab