Home Blog Page 286

Arti Allah di dalam semua (1 Kor 15:28)

6

Pertanyaan:

Syalom bagi orang yg membaca tulisan ini……..
saya mengutip tulisan Ibu Inggrid :
“Dengan kebangkitan-Nya, Kristus menjadi yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal untuk bangkit dari mati agar segala sesuatu ditaklukkan dan Allah dapat meraja di dalam semua” (lih. 1 Kor 15:20-28).

pertanyaan saya :
1. Apa artinya “agar segala sesuatu ditaklukkan dan Allah dapat meraja di dalam semua”???
2. apa artinya bagi keselamatan manusia dari “kristus menjadi yang sulung” dari orang yg bangkit dari kematian??????

Michael

Jawaban:

Shalom Michael,

1. Arti dari “segala sesuatu ditaklukkan di bawah Kristus…. dan supaya Allah dapat menjadi semua di dalam semua” (1 Kor 15: 28) adalah bahwa dengan kebangkitan Yesus dari kematian, maka Yesus mengalahkan kuasa jahat dan kuasa maut. Maka dengan korban salib dan kebangkitan-Nya, Yesus membebaskan manusia dan segala ciptaan dari pengaruh jahat. Yesus yang telah bangkit akan datang kembali, di akhir dunia nanti, untuk membangkitkan semua orang mati. Kebangkitan orang mati ini diikuti oleh Penghakiman terakhir. Orang-orang jahat akan menerima akibat perbuatannya, namun orang-orang benar akan dimuliakan, dan dibebaskan dari segala pengaruh jahat, di mana tidak ada lagi penderitaan dan maut, tidak ada lagi yang melawan Allah, sehingga Allah dapat meraja di dalam semua. (Sumber: Dom Orchard, A Catholic Commentary on Holy Scripture, (New York: Thomas Nelson and Sons, 1953), p. 1097).

Dalam bukunya “Called to Communion” Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) menghubungkan ayat 1 Kor 15:28 ini dengan Gereja sebagai ekklesia, atau yang berakar dari kata qahal dalam Perjanjian Lama, yang artinya adalah kumpulan bangsa pilihan Allah. Kumpulan bangsa pilihan yang dijanjikan oleh Allah ini dipenuhi di dalam Kristus. “Lahir dari Kristus dan dihidupi oleh Roh Kudus, dinamika ini berpusat pada Kristus yang memberikan Diri-Nya di dalam Tubuh dan Darah-Nya….. Melalui Pembaptisan….kita digabungkan ke dalam Kristus dan dipersatukan dengan Dia sebagai satu subyek; tidak lagi banyak [subyek yang] berdampingan satu dengan lainnya, tetapi “hanya satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:16; 26-29). Hanya Kristus yang mengidentifikasikan DiriNya dengan kita, hanya peleburan ke dalam kesatuan dengan Dia, yang membuat kita sebagai pembawa penggenapan janji itu. Tujuan akhir yang mencakup maksud dari kumpulan ini yaitu kesatuan sempurna- yaitu “persatuan” dengan Sang Allah Putera, yang pada saat yang sama, memungkinkan kumpulan itu untuk masuk ke dalam kesatuan yang hidup dengan Tuhan sendiri, sehingga Tuhan dapat menjadi semua di dalam semua (1 Kor 15:28). ((diterjemahkan dari Called to Communion, Joseph Cardinal Ratzinger, San Francisco, Ignatius Press: 1996) p. 32))

Maka kita mengetahui bahwa tujuan akhir manusia ini telah mulai dimulai di dunia ini di dalam Gereja, melalui Ekaristi, di mana kita merayakan korban Kristus yang mempersatukan umat Allah/ kumpulan bangsa pilihan-Nya ini. Di akhir dunia nanti, kesatuan umat Allah dengan Kristus akan mencapai kesempurnaan-Nya, di mana Allah Tritunggal akan meraja di dalam semua.

Hal ini sesuai dengan pengajaran Katekismus dan Dokumen Konsili Vatikan II:

KGK 760    “Dunia diciptakan demi Gereja”, demikian ungkapan orang-orang Kristen angkatan pertama (Hermas, vis. 2,4, 1). Allah menciptakan dunia supaya mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya. Keikut-sertaan ini terjadi karena manusia-manusia dikumpulkan dalam Kristus, dan “kumpulan” ini adalah Gereja. Gereja adalah tujuan segala sesuatu….
“Sebagaimana kehendak Allah adalah satu karya dan bernama dunia, demikian rencana-Nya adalah keselamatan manusia, dan ini namanya Gereja” (Klemens dari Aleksandria, paed. 1,0,/- f).

Lumen Gentium 1, “Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra (a very closely knit union) dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.”

2. “Kristus menjadi yang sulung” dari orang-orang yang bangkit dari kematian, artinya bahwa Kristus adalah yang pertama bangkit dari kematian untuk masuk ke surga (lihat Kol 1:18).

Ayat ini memang dapat lebih dipahami jika dilihat dengan ayat Rom 5:12-21 yaitu yang membandingkan Kristus dengan Adam. Adam adalah manusia pertama (sulung) yang membawa umat manusia ke dalam dosa, sedangkan Yesus adalah manusia yang pertama (sulung) yang membawa umat manusia ke surga, [karena Ia adalah Tuhan]. Pelanggaran Adam mengakibatkan manusia jatuh dalam dosa, sedangkan ketaatan Kristus membebaskan manusia dari dosa.

Dalam Credo Aku percaya, kita sebagai orang Katolik mempercayai adanya kebangkitan orang mati di akhir jaman nanti, yang dimungkinkan karena Kristus telah mengalahkan kuasa maut dan menjadi yang pertama bangkit dari dari antara orang mati. Dengan kebangkitan-Nya maka Kristus membuka pintu surga bagi kita semua yang percaya kepada-Nya, asalkan kita hidup seturut dengan panggilan kita sebagai umat Allah. Dengan demikian, wafat dan kebangkitan Kristus membawa keselamatan bagi kita, karena dengan pengorbanan-Nya di salib, dan kebangkitan-Nya, Kristus telah menjembatani kembali hubungan antara Allah dan manusia yang telah terputus oleh karena dosa.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Tentang ajaran sesat Arianism

10

Pertanyaan:

Salam kasih dalam Tuhan Yesus Kristus.

Ajaran-ajaran sesat yang terjadi di sepanjang sejarah Gereja yang berusaha menyederhanakan misteri kemanunggalan Kristus (yang adalah sepenuhnya Allah dan manusia), di antaranya, khususnya yang ditulis, dibawah ini :

3. “Arianism (abad ke 3 -4) menolak Allah Tritunggal. Kristus dianggap bukan Tuhan, namun sebagai malaikat yang tertinggi (super-angel)”

Sebab ada yang mengatakan dan tertulis dalam kitabnya bahwa Roh Kudus adalah malaikat (=Jibril).
Mungkin Ibu Inggrid dapat memberikan penjelasan / penjabaran ringkasan tetang ajaran arianism tersebut diatas ?.

Semoga Roh Kudus menerangi kita.
Dari : Julius Santoso.

Jawaban:

Shalom Julius,

1. Arianism adalah bidaah/ heresi yang sangat berbahaya, di awal abad ke -4 (319) karena mengajarkan ajaran sesat dalam hal Trinitas dan Kristologis. Bidaah ini diajarkan oleh Arius, seorang imam dari Alexandria, yang ingin menyederhanakan misteri Trinitas. Ia tidak bisa menerima bahwa Kristus Sang Putera Allah berasal dari Allah Bapa, namun sehakekat dengan Bapa. Maka Arius mengajarkan bahwa karena Yesus ‘berasal’ dari Bapa maka mestinya Ia adalah seorang ciptaan biasa, namun ciptaan yang paling tinggi. Arius tidak memahami bahwa di dalam satu Pribadi Yesus terdapat dua kodrat, yaitu kodrat Allah dan kodrat manusia.

Berikut ini adalah ringkasan ajaran sesat/ heresi Arianism:

– Kristus Sang Putera tidak sama-sama kekal (tak berawal dan berakhir) dengan Bapa, melainkan mempunyai sebuah awal.
– Kristus Sang Putera tidak sehakekat dengan Allah Bapa.
– Allah Bapa secara tak terbatas lebih mulia dari pada Kristus Sang Putera.
– Kristus Sang Putera adalah seorang ciptaan, yang diciptakan dari sesuatu yang tidak ada, berupa kodrat malaikat (super-archangel) yang tidak sehakekat  dengan Allah Bapa.
– Tuhan bukan Trinitas secara kodratnya.
– Kristus Putera Allah bukan Putera Allah secara kodrati, tetapi Putera angkat.
– Kristus Putera Allah diciptakan dengan kehendak bebas Allah Bapa.
– Kristus Putera Allah tidak tanpa cela, tetapi dapat secara kodrati berubah/ berdosa.
– Kristus Putera Allah tidak dapat memahami Allah Bapa.
– Jiwa dari Kristus Putera Allah yang sudah ada sebelumnya (dari super archangel tersebut) mengambil tempat jiwa manusia dalam kemanusiaan Yesus.

Maka menurut Arius, Kristus adalah bukan sungguh-sungguh Allah, namun juga bukan sungguh-sungguh manusia (sebab jiwanya bukan jiwa manusia). Sebagai dasarnya Arius mengambil ayat Yoh Yoh 1:14, “Firman itu menjadi manusia/ “the Word was made flesh”, dan ia berkesimpulan bahwa Firman itu hanya menjelma menjadi daging saja tetapi tidak jiwanya. Prinsip ini kemudian juga diikuti oleh Apollinaris (300-390).

Ajaran sesat ini diluruskan melalui Konsili Nicea (325) yang dihadiri oleh sekitar 300 uskup. Ajaran Arius ini dikecam, dan dianggap sebagai inovasi radikal.  Maka dibuatlah suatu pernyataan Credo, untuk mempertahankan ajaran para rasul, yaitu Kristus adalah “sehakekat dengan Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.” Pada waktu penandatanganan ajaran ini, hampir semua dari para uskup tersebut setuju, hanya terdapat 17 uskup yang enggan bersuara, namun kenyataannya hanya 2 orang uskup yang menolak, ditambah dengan Arius sendiri.

Konsili Nicea ini sering disalah mengerti oleh umat non-Kristen, sebab mereka menyangka bahwa baru pada tahun 325 Yesus dinobatkan sebagai Tuhan. Ini salah besar, sebab pernyataan Kristus sehakekat dengan Allah tersebut dibuat untuk meluruskan ajaran sesat Arianism dan untuk menegaskan kembali iman Gereja yang berasal dari pengajaran para rasul. Maka kita mengenal pernyataan itu sebagai “Syahadat Para Rasul”, karena memang dalam syahadat tersebut tercantum pokok-pokok iman yang diajarkan oleh para rasul.

Perjuangan melawan bidaah Arianism kemudian dilanjutkan oleh St. Athanasius (296-373). Ajaran St. Athanasius yang terkenal adalah bahwa kalau Kristus mempunyai awal mula, maka artinya ada saat bahwa Allah Bapa bukan Allah Bapa, dan di mana Allah Bapa tidak punya Sabda ataupun Kebijaksanaan….Ini jelas bertentangan dengan Wahyu Allah dan akal sehat. “Sebab jika Allah Bapa itu kekal, tak berawal dan tak berakhir maka Sabda-Nya dan Kebijaksanaan-Nya pasti juga kekal, tak berawal dan berakhir.” ((Nicene and Post-Nicene Fathers [NPNF] 4:311))

Demikian yang dapat saya tuliskan mengenai bidaah/ heresi Arianism. Bidaah ini tidak menyebutkan secara khusus tentang Roh Kudus dan menghubungkannya dengan malaikat Gabriel/ Jibril. Namun melalui sejarah kita mengetahui bahwa sudah sejak abad awal ada orang-orang yang berusaha menyederhanakan konsep Trinitas, dan misteri ke-Allahan dan kemanusiaan Yesus.

Dengan mempelajari sejarah Gereja, kita mengetahui betapa pentingnya peran Paus dan para uskup untuk mempertahankan kemurnian ajaran Alkitab dan para rasul, yang memang sering disalah-artikan oleh interpretasi pribadi orang-orang tertentu. Semoga kita semua dapat mempunyai kerendahan hati untuk menerima pengajaran dari para penerus rasul dalam Magisterium Gereja Katolik, dan dengan demikian menerima kemurnian pengajaran Alkitab sesuai dengan pengajaran Tuhan Yesus dan para rasul-Nya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Apakah perbedaan evangelisasi dan katekese?

13

Pertanyaan:

Dear,
aku mau nanya dikit ya:
apa yang dimaksudkan dengan kegiatan evangelisasi pasti bernilai kateketis tetapi tidak semua kegiatan evangelisasi bisa disebut katekese?

syalon n JBU – Chrsnt

Jawaban:

Shalom Chrsnt,

Terima kasih atas pertanyaannya tentang hubungan antara evangelisasi dan katekese. Pertanyaan ini terlihat sederhana, namun sebenarnya tidaklah terlalu sederhana.

1) Mari kita melihat definisi evangelisasi dan katekese:

a) Kita dapat mendefinisikan bahwa evangelisasi adalah pewartaan Kristus, yang dilakukan dengan kesaksian hidup dan kata-kata. Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan “Kaum awam melaksanakan tugasnya sebagai nabi juga melalui penginjilan, “yakni pewartaan Kristus, yang disampaikan dengan kesaksian hidup dan kata kata“. ..” (LG 35).” (KGK, 905).

Kita dapat melihat beberapa hal yang berhubungan dengan evangelisasi di Evangelii Nuntiandi, no: 17, 22-24, 47. Namun, untuk mempersingkat, saya akan kutipkan dari “The General Directory for Catechesis” yang merangkum konsep tentang evangelisasi dari beberapa dokumen, seperti Ad Gentes, Evangelii Nuntiandi, Catechesi Tradendae dan Redemptoris Misssio. Dikatakan bahwa evangelisasi adalah suatu proses, yang melaluinya Gereja:

1) Didorong oleh kasih, mengilhami dan mengubah seluruh tatanan yang bersifat sementara dengan cara mengambil dan memperbaharui budaya.

2) Menjadi saksi di dunia untuk menunjukkan suatu cara yang baru dan menunjukkan kehidupan yang mempunyai karakter kekristenan.

3) Secara eksplisit, memberitakan Injil dengan tujuan utama pewartaan adalah pertobatan.

4) Memperkenalkan iman dan kehidupan kristiani kepada mereka yang telah menerima Kristus atau kepada mereka yang telah berbalik untuk mengikuti Kristus.

5) Secara terus menerus memelihara berkat persatuan dari umat Allah dengan cara memberikan edukasi secara terus menerus di dalam iman (melalui homili-homili dan bentuk lain dari pelayanan sabda), sakramen-sakramen dan perbuatan kasih.

6) Secara terus-menerus mempromosikan misi dengan mengirimkan murid-murid Kristus untuk memberitakan Injil, baik dengan kata-kata maupun perbuatan kepada seluruh dunia, demi keselamatan jiwa-jiwa.

b) Katekese dapat didefinisikan sebagai “pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang dewasa dalam iman, yang pada khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, dan yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan kehidupan Kristen” (KGK, 5). Kristus menjadi pusat dari proses katekese (lih. KGK, 426-427).

Dalam kaitannya dengan Sakramen inisiasi, katekese adalah suatu langkah atau momen dalam proses evangelisasi (Catechesi Tradendae, 18). Dan dikatakan lebih lanjut bahwa katekese adalah suatu periode dimana pertobatan kepada Kristus dilakukan secara formal dan diberikan suatu pengenalan akan Kristus. Dan ini adalah suatu proses magang dalam kehidupan kristiani dan juga suatu proses inisiasi kepada misteri penyelamatan dan kehidupan misioner, yang pada akhirnya menuntun mereka kepada kepenuhan hidup kristiani. (lih. The General Directory for Catechesis, 63)

2) Dari definisi di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa:

a) Yang menjadi pusat dari proses evangelisasi dan katekese adalah Kristus sendiri. Apapun yang diwartakan dan diajarkan di dalam evangelisasi dan katekese harus senantiasa berpusat pada Kristus.

b) Kegiatan evangelisasi sebenarnya bersifat lebih luas dibandingkan dengan katekese. Evangelisasi (baik dalam bentuk kata-kata maupun perbuatan) diperlukan terlebih dahulu sebelum seseorang masuk dalam proses katekese secara formal – dalam kaitannya dengan sakramen inisiasi. Seseorang tidak akan masuk secara formal dalam kelas pelajaran agama Katolik, tanpa dia mempunyai ketertarikan akan Kristus. Oleh karena itu, evangelisasi diperlukan untuk membangkitkan iman, sehingga seseorang ingin mengenal lebih dalam iman Katolik dalam proses katekese. Dan proses katekese ini akan menuntun seseorang kepada kepenuhan hidup kristiani, yang dimanifestasikan dalam sakramen inisiasi (Sakramen Baptis, Sakramen Penguatan, Sakramen Ekaristi).

Namun, evangelisasi harus dilakukan secara terus-menerus, termasuk kepada orang-orang yang telah dibaptis, sehingga mereka terus diperbaharui dengan semangat Injil dan terus berkobar untuk menjadi saksi Kristus yang baik. Namun, katekese juga harus dilakukan secara teru-menerus sehingga orang yang telah dibaptispun dapat terus mendalami, menghayati dan melaksanakan iman Katolik dalam kehidupan nyata.

c) Bagaimana dengan pertanyaan Chrsnt “Kegiatan evangelisasi pasti bernilai kateketis tetapi tidak semua kegiatan evangelisasi bisa disebut katekese?” Pernyataan tersebut benar, karena semua kegiatan evangelisasi (baik dengan perkataan, perbuatan), pasti mempunyai nilai-nilai katekese. Evangelisasi pasti mempunyai nilai-nilai katekese, karena di dalam katekese, seseorang diajarkan seluruh misteri iman secara terstruktur (dibagi menjadi empat: apa yang dipercaya, bagaimana merayakan apa yang dipercaya, bagaimana hidup sesuai dengan apa yang dipercaya, dan doa). Namun memang tidak semua kegiatan evangelisasi (seperti: kegiatan bakti sosial, dll) dapat disebut katakese, karena katekese adalah momen atau saat tertentu yang mempunyai karakter yang khusus – pemaparan dan pengajaran iman secara formal dan terstruktur.

Semoga uraian di atas dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – https://katolisitas.org

Hipnoterapi: bolehkah?

44

Pertanyaan:

Saya senang membaca artikel2 Katolisitas. Tapi belum smua sy baca memang. Tapi lumayan, buat pencerahan. Saya seorang Hypnotherapis/Hypnotist. Saya Katolik tulen, sejak lahir didunia ini. Bagaimana pendapat Katolisitas tentang hipnosis/hipnoterapi? Tmks. Sukses slalu Katolisitas. Salam Joss…

Jawaban:

Shalom Yoseph,

1. Berikut ini kutipan pengajaran dari The Holy Office, Vatikan, 4 Agustus 1956; 26 Juli, 1899, yang saya kutip dari situs EWTN dan Catholic Answers, yang menjabarkan tentang Hipnotis sebagai berikut:

The phenomenon of artificially induced sleep, which renders the victim abnormally open to suggestion. The subject of hypnosis tends to be dominated by the ideas and suggestions of the hypnotist while under the induced spell and later on. According to Catholic principles, hypnotism is not wrong in itself, so that its use under certain circumstances is permissible. But since it deprives the subject of the full use of reason and free will, a justifying cause is necessary for allowing it to be practiced. Moreover, because hypnotism puts the subject’s will in the power of the hypnotist, certain precautions are necessary to safeguard the subject’s virtue, and to protect him or her and others against the danger of being guilty of any injurious actions. For grave reasons, e.g., to cure a drunkard or one with a suicide complex, it is licit to exercise hypnotism, given the precaution that it is done in the presence of a trustworthy witness by a competent and upright hypnotist. The consent, at least presumed, of the subject must also be had. Several documents of the Holy See set down the norms to be followed in the use of hypnotism.”

Terjemahannya:

“Fenomena yang menyebabkan tidur secara buatan, yang mengakibatkan sang korban secara tidak normal dapat terbuka untuk mengikuti saran. Subyek hipnotism cenderung untuk didominasi oleh ide-ide dan saran-saran dari yang meng-hipnotis, ketika di bawah masa sakitnya atau sesudahnya. Menurut prinsip- prinsip Katolik, hipnotism sendiri tidak salah, sehingga penggunaannya di dalam kondisi-kondisi tertentu diijinkan. Namun karena hipnotism mencabut sang subyek/ pasien dari penggunaan akal budi dan keinginan bebasnya secara penuh, [maka] diperlukan sebuah sebab yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memperbolehkan hipnotis ini dipraktekkan. Lagipula, sebab hipnotism meletakkan keinginan subyek/ pasien di dalam kuasa dari yang menghipnotis, maka diperlukan tindakan-tindakan pencegahan untuk menjaga kebajikan subyek/ pasien, dan untuk melindunginya dan orang lain terhadap bahaya menjadi bersalah karena tindakan-tindakan yang dapat melukai. Untuk alasan-alasan yang genting, seperti untuk menyembuhkan seorang pemabuk atau seseorang dengan kelainan yang kompleks ingin bunuh diri, adalah lisit untuk menerapkan hipnotism, asalkan dengan tindakan pencegahan bahwa hal itu diadakan dengan kehadiran seorang saksi yang dapat dipercaya, dengan seorang ahli hipnotis yang sungguh-sungguh kompeten dan jujur/ tulus. Ijin, setidak-tidaknya dianggap/ diperhitungkan, dari subyek/ pasien juga harus ada. Beberapa dokumen dari the Holy See menentukan norma-norma yang harus diikuti di dalam penggunaan hipnotism.”

2. Maka kita ketahui bahwa ada 4 hal yang harus ada sehingga hipnotis/ hipnoterapi dapat secara lisit dilakukan, yaitu: 1) adanya alasan yang genting/ berat; 2) adanya ijin dari orang yang bersangkutan; 3) diadakan tindakan precaution/ pencegahan untuk mengantisipasi hal-hal negatif yang mungkin bakal terjadi,  yaitu dengan kehadiran saksi yang dapat dipercaya, dan 4) dilakukan oleh seorang yang benar- benar ahli dengan integritas yang tinggi, jujur dan tulus.

Pertama, alasan genting di sini misalnya, untuk menolong seseorang yang insomnia berat, pemabuk, kleptomania, penyakit kecanduan lainnya ataupun gejala-gejala histeria yang menyebabkan frigiditas, impotensi, dst. Jadi di sini, alasan entertainment bukanlah alasan yang lisit untuk praktek hipnotis. Kedua, ijin dari pasien di sini diperlukan karena pada dasarnya tidak seorangpun berhak menarik seseorang dari kemampuannya mengontrol keinginan dan akal budinya. Jadi pemaksaan penggunaan hipnotis adalah pelanggaran hak-hak dari subyek/ pasien. Dalam kasus orang yang kurang waras dan anak-anak kecil, maka dokter harus meminta persetujuan dari orang tua atau orang yang bertanggung jawab untuk mengasuh/ memelihara pasien tersebut. Ketiga, tindakan pencegahan adalah bahwa pelaku hipnotis/ hypnotherapist-nya adalah seseorang yang secara medis memenuhi syarat (medically qualified) untuk melakukan hipnotis. Jika yang menghipnotis tidak ahli, maka ia dapat mendatangkan efek negatif terhadap kondisi mental pasien. Dalam hal ini maka dokter ahli dapat mencegah efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan hipnotis. Syarat kedua adalah bahwa harus ada saksi yang diberi kuasa, yang harus mempunyai karakter yang baik, yang berperan untuk melindungi baik pasien maupun dokternya.

3. Jika dilihat dari definisinya hipnosis, yaitu: “kondisi sementara dari pengalihan/ perubahan perhatian yang dapat diakibatkan kepada seseorang oleh orang lain dan di mana berbagai reaksi/ fenomena dapat timbul, baik secara spontan atau sebagai tanggapan atas perkataan atau stimulus lainnya.” (New Catholic Encyclopedia, The Catholic University of America, vol VII, p. 304).

Fenomena di sini terdiri dari perubahan dalam hal kesadaran dan ingatan, peningkatan kecenderungan untuk mendengarkan saran-saran dan penghasilan bermacam tanggapan dan ide yang tidak familiar bagi pasien. Mengingat fenomena akibat yang dapat terjadi, maka terdapat beberapa bahaya, jika hipnoterapi sebagai alat terapi ini dilakukan tidak dengan semestinya. Beberapa pendapat medis merangkum bahaya hipnotism, sebagai berikut: 1) karena yang diterapi adalah gejala, maka penyakitnya sendiri tidak terobati, karena penyebabnya tidak dihilangkan dengan hipnoterapi; 2) ketika hipnoterapi menangani gejala emosional dan bukannya penyebabnya, maka dapat berpengaruh negatif pada kepribadian; 3) hipnoterapi tersebut dapat mengarah kepada khayalan/ angan-angan dan keterpisahan dari realitas, meskipun kelihatannya pasien sedang ‘sadar’; 4) pasien dapat mempunyai kecenderungan abnormal menjadi cepat mengantuk/ tidur; 5) sekali-kali kehilangan ingatan dan keseimbangan mental; 6) perkataan-perkataan pasien menjadi in-koheren/ tidak cocok.

Maka di sini, peran hypnotherapist menjadi sangat dominan, sebab ia dapat mempengaruhi pikiran pasien. Hypnotherapist dapat memasukkan hal-hal positif maupun negatif ke dalam pikiran pasien, sehingga di sinilah peran integritas moral para hypnotherapist untuk hanya memberikan saran-saran yang positif bagi kebaikan pasien. [Karena anda adalah seorang hypnotherapist, ini mungkin kesempatan bagi anda untuk memberikan saran-saran yang berdasarkan ajaran Tuhan Yesus].

4. Perlu dicermati juga adalah praktek New Age tentang hipnotis ini, yang seolah-olah ingin membawa seseorang ke dalam alam kehidupan sebelumnya, karena aliran ini mempercayai re-inkarnasi. Praktek yang demikian sangat bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Fakta menunjukkan bahwa kasus Virginia Tighe dari Colorado, USA, yang sering disebut-sebut sebagai contoh ternyata merupakan fiksi, dan setelah diselidiki (dan dicocokkan dengan fakta sejarah/ kenyataan di masa lampau tentang deskripsi pasien) ternyata hal itu tidak benar. Silakan klik di link ini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kisah Tighe ini.

5. Kesimpulannya, walaupun hipnotism diijinkan, karena pada dasarnya hal itu sendiri tidak dinilai Gereja sebagai perbuatan jahat, namun karena dapat disalahgunakan atau jika tidak dilakukan secara benar dapat mengancam kesehatan mental pasien, maka Gereja menganjurkan agar umat berhati-hati terhadap praktek hipnotism ini.

Silakan melihat dasar yang digunakan Gereja Katolik untuk menilai suatu perbuatan sebagai perbuatan baik/ bermoral atau perbuatan jahat/ tak bermoral di tulisan ini, silakan klik. Dalam kasus hipnoterapi, maka 1) objek moral yaitu terapi yang melibatkan perubahan perhatian pasien tidak dengan sendirinya “evil“/ jahat, namun tergantung 2) circumstance/ keadaan pelaksanaannya dan 3) maksudnya. Kalau keadaan dan maksudnya tidak baik, maka hipnotism merupakan tindakan tidak baik secara moral, sedangkan jika kedua hal tersebut (2 dan 3) dipenuhi dengan baik, maka dapat dikatakan hypnoterapi dapat diterima secara moral.

Contoh: Keadaan pelaksanaannya dikatakan baik/ dapat diterima secara moral, kalau dilakukan atas ijin dari pasien, dan dilakukan oleh terapist yang bermoral dan kompeten, dengan adanya saksi yang  juga bermoral. Intensi/ maksud dikatakan baik/ legitim, jika ditujukan untuk menolong seseorang yang dalam keadaan genting ( in grave reasons), atas usulan pihak medis.

Demikian uraian singkat tentang hipnotism menurut sudut pandang Gereja Katolik. Semoga bermanfaat bagi anda. Saya berharap anda adalah seorang hypnotherapist yang menjalankan tugas anda dalam keadaan medis yang sungguh-sungguh genting, dan bukan untuk sekedar entertainment. Dengan definisi di atas (dengan alasan yang genting, ijin dari yang dihipnotis, harus ada saksi yang dapat dipercaya dan harus dilakukan oleh pakar yang berintegrasi tinggi) maka tidak dibenarkan penggunakan hipnoterapi jika tidak dipenuhi semua syarat di atas, misalnya dengan mendengarkan CD hipnotis sendirian, atau ikut-ikutan menjalani hipnoterapi tanpa tahu persis apakah terapi tersebut benar-benar diperlukannya. Sebab yang diijinkan Gereja adalah hipnoterapi untuk menolong pasien dan bukan untuk ‘main-main’ atau ‘coba-coba’ apalagi hiburan/ bahan tertawaan. Gereja-pun sangat berhati-hati dalam hal ini, sehingga mengingatkan umatnya akan resiko- resiko negatif nya jika hipnoterapi ini tidak dilakukan dengan semestinya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Apakah selama hidupNya di dunia Yesus bukan Allah?

2

Pertanyaan:

[Dari Admin Katolisitas: komentar di bawah ini merupakan kelanjutan dari tanya jawab antara Machmud, Saulus dan Ingrid, yang sebelumnya ada dalam artikel tanya jawab: Apakah mohon doa dari para orang kudus bertentangan dengan firman Tuhan? silakan klik]

Salam damai sejahtera

Dear Ingrid & Saulus

Kita tahu bahwa memang ada perbedaan tafsiran tentang Alkitab antara Katolik dan non Katolik, dan itu sulit agaknya untuk disamakan untuk saat sekarang ini.
Oleh sebab itu mari kita saling menghargai perbedaan tsb, bukan malah mempertentangkannya.
Kalau iman percaya kita bersumber dari Firman Allah Yang Hidup yang sama, mengapa kita tidak bisa mengesampingkan perbedaan itu buat sementara sampai kita mengetahui kebenaran yang sejati itu muncul pada suatu saat nanti (tidak lama lagi).

Tentang keberadaan YESUS, Ingrid dan juga Saulus mempercayai bahwa Yesus itu 100% Allah dan juga 100% manusia.

Namun saya percaya bahwa YESUS selama hidup didunia 33,5 tahun adalah 100% manusia, sebab DIA sudah meninggalkan ke-IlahianNya di surga dan turun kebumi sebagai manusia 100% , tapi jangan lupa bahwa dua pribadi Allah selalu besertanya (yaitu Allah Bapa & Rohkudus).
Oleh sebab itu YESUS (yang 100% manusia) bisa melakukan apa saja yang sesuai kehendak Allah Bapa.

Dalam injil Matius YESUS mengatakan bahwa DIA tidak tahu kapan saatnya akhir zaman itu terjadi, dan pada waktu DIA diperhadapkan dengan perempuan yang tertangkap basah sedang berzinah, DIA juga tidak segera menjawab (karena Bapa & Rohkudus) belum memberikan jawaban baginya;
Oleh sebab itu DIA menulis ditanah menunggu jawaban dari Allah Bapa & Rohkudus.
Juga oleh sebab DIA 100 % manusia maka DIA bisa mati, sebab Allah tidak mungkin bisa mati.
Baru setelah bangkit , DIA kembali menjadi Allah 100% .

Saya sudah berdiskusi tentang hal ini dengan Stef, anda bisa membacanya di web ini.

Untuk hal-hal yang berbeda inilah kita perlu “menebus” waktu untuk me-renung2kan Firman Allah seperti raja DAUD, dan pada saatnya nanti Rohkudus akan memberikan apa yang ingin kita ketahui.
Kita memang belum sempurna , dan jika yang sempurna itu datang maka perbedaan itu sudah tidak ada lagi, percayalah.

Salam
Mac

Jawaban:

Shalom Machmud dan Saulus,

Semoga di dalam diskusi ini kita menyadari bahwa maksud kita berdialog adalah bukan untuk mempertentangkan, tetapi juga bukannya untuk mengesampingkan perbedaan, seolah hal itu tidak dapat membawa kita kepada pemahaman kebenaran. Justru kita sama-sama melihat perbedaan yang ada, semoga dengan kejujuran dan bimbingan Roh Kudus, maka kita dapat sampai kepada kebenaran, yang memang baru dapat kita lihat kesempurnaannya di saat kita sampai di surga. Namun tentu, kita tidak bisa memaksakan pandangan kita kepada orang lain. Pada akhirnya, kita percaya, bahwa kebenaran yang sejati itu akan menarik orang yang mencarinya dengan sendirinya.

Gereja Katolik memang mengajarkan bahwa ketika lahir di dunia, Yesus Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh manusia. Ini adalah sesuatu misteri yang tidak akan pernah lagi terulangi terjadi dalam sejarah manusia, bahwa seseorang Pribadi adalah Allah 100% dan manusia 100%. Memang justru karena keunikan-Nya itu, di sepanjang sejarah banyak orang berusaha menyederhanakannya, namun malah akhirnya tidak konsisten dengan ajaran Alkitab itu sendiri.

1. Jika Machmud mengatakan bahwa ketika lahir di dunia, Yesus menjadi manusia 100% dan bukan Allah, bagaimana anda menjelaskan perkataan Yesus bahwa “sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” (Yoh 8:58)? Atau di Yoh 17:4-5 di mana Ia Yesus berdoa kepada Bapa, “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya. Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.” Di ayat ini jelas Yesus mengatakan secara tidak langsung bahwa Ia adalah sungguh-sungguh manusia namun juga sungguh-sungguh Allah. Dia bukan sekedar 100% manusia yang disertai oleh dua Pribadi Allah yaitu Allah Bapa dan Roh Kudus, melainkan Ia sendiri adalah Putera Allah (yang menjadi manusia), sehingga Ia dapat mengatakan hal-hal demikian.

Dan di dalam Injil, sendiri terlalu banyak bukti yang menunjukkan bahwa Yesus dalam hidupNya selama 33,5 tahun di dunia itu adalah Allah. Hal ini pernah saya tuliskan dalam artikel Kristus yang kita imani = Yesus menurut sejarah, silakan klik. Justru karena keterpaduan antara kodrat-Nya sebagai 100% Allah dan 100% manusia inilah, maka dalam perbuatan-perbuatan-Nya kita melihat bahwa di satu sisi Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah, seperti mengampuni dosa manusia dalam nama-Nya sendiri, mengusir setan, menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati dalam nama-Nya sendiri, namun dengan melibatkan kemanusiaan-Nya, yaitu dengan menggunakan ekspresi, bahasa dan perbuatan manusia. Jadi pada saat melakukan semua mukjizat itu, Ia melakukannya dengan kuasa ke-Allahan-Nya, namun Ia melakukannya dengan tubuh kemanusiaan-Nya, yaitu mulut untuk berbicara, atau tangan untuk menjamah, mata untuk memandang, dst.

Anda menuliskan dalam surat anda tgl 14 Agustus 2009, “Namun dalam hal Musa serta Lazarus , disini kasusnya berbeda. Sebab Yesus itu Tuhan jadi Dia bisa berbicara dengan siapa saja baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Sedangkan kita yang masih hidup hanya bisa berbicara kepada Tuhan melalui DOA DALAM ROH DAN KEBENARAN….” Di sini andapun mengakui bahwa Tuhan Yesus itu Tuhan, padahal pada saat berbicara dengan Musa maupun Lazarus Ia sendiri belum wafat di salib dan bangkit dari kematian. (Sebab di surat di atas anda mengatakan bahwa setelah bangkit dari mati baru Yesus adalah Tuhan).

Mungkin anda beranggapan bahwa melalui Inkarnasi, Yesus meninggalkan ke-Allahan-Nya seperti yang tertulis dalam Fil 2:5-11, namun sesungguhnya kita perlu melihat ayat tersebut dalam kaitannya dengan keseluruhan ayat Alkitab yang lain. Dengan melihat kaitannya dengan keseluruhan Alkitab, maka kita dapat memahami bahwa yang terjadi dalam pengosongan diri/ “kenotik” Kristus itu adalah kenyataan bahwa Yesus yang adalah Allah tak terbatas, (mengatasi ruang dan waktu) berkenan memasuki sejarah manusia dalam segala keterbatasannya. Namun dalam diri Yesus ini, Ia tetaplah Allah (yang mengambil rupa manusia).

Saya berharap anda setuju bahwa Allah tidak mungkin berhenti menjadi Allah, dan kalau Allah berhenti menjadi Allah maka Ia bukan Allah. Atau Allah tidak mungkin menjadi berkurang/ berubah menjadi tidak sempurna, sebab jika demikian itu tidak sesuai dengan sifat Allah yang tetap selamanya. Allah tidak bisa menyangkal Diri-Nya sendiri (lih. 2 Tim 2:13), seperti bahwa Ia adalah setia, penuh kasih, adil, sempurna, tetap selamanya dst, dan karena itu Dia tidak mungkin berubah untuk tidak menjadi Allah. “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.” (Ibr 13:8). Maka “sama” di sini adalah dalam hakekatnya sebagai Allah.

2. Maka dengan prinsip ini kita dapat mengetahui bahwa meskipun Yesus sang Sabda/Firman itu menjelma menjadi manusia, maka Ia tetaplah Allah. Alkitab mengatakan, “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita, ….sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih dan kebenaran.” (Yoh 1:14). Seseorang disebut anak jika ia mempunyai hakekat yang sama dengan bapanya. Maka karena Bapa-nya Kristus adalah Allah, maka Kristus adalah Allah, walaupun Ia mengambil rupa sebagai manusia, sebagai seorang hamba yang rela menderita sampai mati di salib (Fil 2:7-8). Justru korban salib-Nya itu menjadi sesuatu yang tak ternilai harganya, karena yang disalibkan adalah Tuhan sendiri yang mengambil rupa sebagai manusia. Dan karena korban yang tak ternilai ini, maka korban Yesus ini dapat menjadi korban penebusan dosa bagi segenap umat manusia.

Jadi dengan prinsip ini maka dalam Teologi ada istilah yang disebut sebagai “Communicatio idiomatum“/ sharing of properties atau mungkin bisa diterjemahkan sebagai persekutuan predikat, yaitu predikat Allah dan predikat manusia di dalam Pribadi Yesus. Misalnya ungkapan “Kisah Sengsara Tuhan Yesus”, karena yang mengalami sengsara adalah Yesus yang adalah Tuhan atau ” Maria Bunda Allah” karena Maria adalah Bunda Yesus yang selain manusia juga adalah Tuhan, dst.

Berikut ini adalah contoh communicatio idiomatum dalam ayat Alkitab:

1. Mi 5:1: Mesias adalah seorang yang akan lahir di Betlehem (kemanusiaan Kristus) yang permulaannya sudah sejak purbakala (ke-Allahan Kristus)

2. Yes 9:5: Seorang anak laki-laki akan lahir (kemanusiaan Kristus) yang akan disebut sebagai Allah yang perkasa (ke-Allahan Kristus).

3. Yoh 8:58: Yesus berkata (dalam kemanusiaannya), bahwa sebelum Abraham jadi, Aku ada (ke-Allahan Kristus).

4. Yoh 14:6: Yesus berkata, “Aku adalah jalan (mengacu kepada kemanusiaan-Nya), Kebenaran dan Hidup” (mengacu kepada ke-Allahan-Nya).

5. Fil 2:5-11: Allah mengambil rupa seorang hamba, menjadi manusia dan wafat di kayu salib (kemanusiaan dan ke-Allahan Kristus).

6. 1 Kor 2:8, dikatakan “…kalau sekiranya mereka [penguasa dunia] mengenal-Nya, mereka tidak akan menyalibkan Tuhan yang mulia.” Kristus adalah Tuhan yang mulia dalam ke-Allahan-Nya, yang disalibkan dalam kemanusiaan-Nya. Jika dikatakan dalam Injil, “Yesus mati”, maka yang dikatakan mati di sini adalah Yesus dalam seluruh kepribadiaan-Nya, yang adalah Tuhan dan manusia. Memang secara hakikat, Tuhan tidak bisa mati, namun dalam Pribadi Yesus terdapat juga kodrat manusia selain dari kodrat Tuhan, maka Yesus dapat mati. Namun justru karena hakekat/ kodrat Yesus sebagai Allah, maka Ia dapat bangkit dari kematian-Nya, dan ini menjadi mukjizat yang terbesar yang dilakukan oleh-Nya.

7. Kol 1:15-20 Maka dasar teologis dari persekutuan predikat Allah dan predikat manusia adalah adanya “the hypostatic union”, dalam Pribadi Yesus, yaitu Satu Pribadi namun terdiri dari dua kodrat, yaitu Allah dan manusia. Maka Ia adalah Tuhan dan Penyelamat, namun juga Ia sengsara, wafat dan dikuburkan. Namun demikian kedua kodrat tidak tercampur baur. Ini terlihat jelas dalam ayat Kol 1:15-20, di mana dikatakan bahwa segala sesuatu diciptakan di dalam Kristus (mengacu kepada ke-Allahan-Nya) dan sebagai yang sulung yang bangkit dari antara orang mati (mengacu kepada kemanusiaan Yesus). Maka predikat-predikat yang sesuai dengan kedua kodrat tersebut dilakukan oleh Pribadi yang sama yaitu Yesus Kristus.

Jadi walaupun sekarang kita mungkin tidak dapat sepenuhnya memahami misteri kedua kodrat Yesus (sebagai manusia dan Allah), namun bukannya berarti bahwa kalau kita tidak bisa memahami maka hal itu sebaiknya dianggap tidak ada/ atau Yesus hanya punya satu kodrat saja.

Berikut ini adalah ajaran-ajaran sesat yang yang terjadi di sepanjang sejarah Gereja yang berusaha menyederhanakan misteri kemanunggalan Kristus (yang adalah sepenuhnya Allah dan manusia), yang jika diringkas demikian:

1. Docetism, Gnosticism, Manichaeism (abad ke- 1): menolak kemanusiaan Yesus: Penderitaan Yesus di salib dianggap sebagai “kepura-puraan”/ sham bukan sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi.

2. Adoptionism (abad ke- 3) menolak ke-Allahan Kristus. Kristus dianggap sebagai anak adopsi Allah Bapa, namun sebagai anak yang terbesar.

3. Arianism (abad ke 3 -4) menolak Allah Tritunggal. Kristus dianggap bukan Tuhan, namun sebagai malaikat yang tertinggi (super-angel).

4. Apollinarism (abad ke-4) yang menolak kemanusiaan Yesus dengan mengajarkan bahwa Yesus tidak mempunyai jiwa manusia; ke-Allahan-Nya menggantikan jiwa manusia itu.

5. Nestorianism (abad ke-4-5) yang menolak keutuhan Pribadi Yesus. Maka Maria dilihat hanya sebagai ibu Yesus sebagai manusia, bukan ibu Yesus yang adalah Tuhan. Yesus dikatakan sebagai hanya “Temple of the Logos” dan bukannya “Logos“/ Sabda itu sendiri.

6. Monophisitism (abad ke-5) yang menolak adanya kemanusiaan Kristus, dan adanya dua kodrat dalam diri Yesus (sebagai Allah dan manusia). Dikatakan oleh bidaah ini bahwa sebelum inkarnasi ada dua kodrat, namun setelah inkarnasi hanya satu, yaitu ke-Allahan-Nya.

7. Monothelitism (abad ke-7) yang menolak kemanusiaan Yesus dengan mengatakan bahwa di dalam diri Yesus hanya ada satu keinginan dan satu prinsip tingkah laku/ operasi, yaitu yang dari Allah saja.

8. Agnoetae (abad ke-6) yang menolak kepenuhan pengetahuan Yesus sebagai manusia sebagai akibat dari persekutuannya dengan Allah (sehubungan dengan akhir jaman Mrk 13:32). Mengenai hal ini sudah pernah saya tuliskan di sini, silakan klik.

Sebenarnya, mungkin beberapa dari ajaran sesat di atas ini hidup kembali pada jaman sekarang, di mana banyak orang memang ingin menyederhanakan “hypostatic union“/ persatuan yang unik dalam Pribadi Yesus sebagai Allah dan manusia. Konsili di Chalcedon tahun 451, memuat pengajaran dari Paus Leo Agung mengatakan bahwa “Kristus mempunyai dua kodrat, yang tidak tercampur baur, tanpa perubahan, tidak dapat dibagi-bagi dan dipisahkan…. Ia menjadi satu Pribadi dan satu hakikat, tidak terbagi di antara dua pribadi, namun kedua kodrat itu membentuk Pribadi Yesus yang unik, satu dan sama.”

Dalam hal inilah maka kita melihat pentingnya peran pengajaran dari Magisterium Gereja Katolik yang selalu berusaha menjelaskan kemurnian ajaran Alkitab. Sebab interpretasi pribadi tersebut dapat menghasilkan ajaran yang jika dilihat kembali dengan ayat-ayat keseluruhan Alkitab malah tidak cocok. Jika kita mempelajari sejarah Gereja, maka kita dapat melihat ajaran Bapa Gereja ataupun Konsili-konsili yang menjelaskan ajaran Gereja untuk menolak ajaran-ajaran sesat tersebut. Di sinilah kita melihat secara obyektif bahwa Sola Scriptura (Aliktab saja) tidaklah cukup, sebab tanpa bimbingan Gereja, penafsiran Alkitab dapat menghasilkan interpretasi yang bermacam-macam dan tak jarang, bertentangan.

Memang perbedaan interpretasi Alkitab dalam hal ini bisa didiskusikan panjang sekali. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya ketahui dari pengajaran Gereja Katolik. Selebihnya, saya serahkan kepada anda dan kepada para pembaca untuk meresapkannya dalam hati nurani anda. Saya percaya, jika kita semua mencari kebenaran dengan hati yang tulus, maka Roh Kudus akan berkenan menghantarkan kita kepada pengertian yang benar.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Tentang Gereja Kristen Koptik

21

Pertanyaan:

SYALOM PAK STEF/ IBU INGGRID…..

Damai sejahtera selalu….

Saya baru mengetahui adanya Kristen Koptik, yang saya dapatkan dari email yang mengulas tentang novel berjudul “ayat-ayat Cinta” yang heboh itu. Pertanyaan saya ….
1. Apa ada hubungan dengan Katolik Roma? karena mereka meyakini sebagai mata rantai langsung dari Jemaat Mula Mula.
2. Apakah Baptisannya juga sah menurut Gereja Katolik Roma?
3. Banyak tradisi mereka yang diadopsi oleh agama Islam, kok bisa ya, malah Agama Islam lebih mendominasi?
4. Apa benar ada tradisi syalat (dengan 7 waktu) pada jemaat mula-mula?

Untuk lebih jelasnya saya kutipkan langsung. atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih.
Tuhan Yesus memberkati, Georgius

Jawaban:

Shalom Georgius,

Terima kasih untuk pertanyaannya tentang gereja Koptik dan bahkan ulasan tentang cerita “Ayat-ayat Cinta”. (kami menyertakan kutipannya di bawah artikel ini) Kami belum pernah menonton ataupun membaca cerita yang dimaksud, dan baru membaca ringkasannya melalui surat anda. Maka demikianlah tanggapan kami atas pertanyaan anda:

1. Tentang hubungan gereja Koptik dengan Gereja Katolik.

Sejarah mencatat bahwa Gereja Alexandria yang menjadi pusat penyebaran ke Mesir didirikan oleh St. Markus Pengarang Injil. Sampai pada tahun 381 para Patriarkh Alexandria memang mengambil tempat kedua setelah Uskup Roma. Kepemimpinan Patriarkh Alexandria ini mencapai puncaknya pada masa St. Cyril/ Sirilus (412-444) dengan pengajaran yang menjelaskan ke-Allahan Kristus. Namun kemudian penerus St. Cyril yaitu Dioscurus (444-451) mengikuti pengajaran Euthyches menyebabkan gereja Alexandria diguncang oleh bidaah Monophysite yang menentang kemanusiaan Yesus, dengan mengajarkan bahwa hanya ada satu kodrat dalam Kristus, yaitu ke-Allahan-Nya (Menurut bidaah ini, sebelum inkarnasi terdapat dua kodrat, namun setelah inkarnasi hanya satu. Namun ajaran ini: 1) tidak sesuai dengan maksud inkarnasi yaitu Sabda yang menjelma menjadi manusia, dan juga2)  ajaran ini mensyaratkan bahwa sebelum inkarnasi, tubuh dan jiwa Kristus sebagai manusia sudah ada, dan ini tidak mungkin).

Dengan adanya bidaah ini, maka Gereja Alexandria (Koptik) terpisah menjadi dua, yaitu yang Katolik (kemudian dikenal sebagai Melchites), dan yang Monophysites (kemudian dikenal sebagai Jacobites), yang mengikuti bidaah Dioscurus. Pertikaian antara keduanya ini kemudian menjadikan Gereja di sana menjadi lemah. Pada saat inilah yaitu sekitar abad ke-7, agama Islam masuk. Kasus Photius (879) dan Michael Caerularius (1048-58) juga kemudian memperuncing perpecahan gereja Timur Alexandria dengan Gereja Barat/Latin di Roma.

Namun di antara Patriarkh Alexandria tersebut ada yang merujuk kepada Roma, walaupun pada saat itu baik Melchites maupun Jacobites belum ada yang resmi bersatu dengan Roma. Demi usaha persatuan yang dilakukan oleh para patriarkh tersebut inilah maka pada jaman pemerintahan Paus Innocent III (1198-1216) diadakan Patriarkh Latin di Alexandria, yaitu pada tahun 1215 walaupun keberadaannya hanya bertahan sepanjang waktu dominasi Latin di kerajaan Byzantine.

Selanjutnya, pada tahun 1895 Paus Leo XIII mendirikan Patriarkh Koptik dengan pusat Minieh dan Luksor, untuk Gereja-gereja Koptik yang berada dalam persatuan dengan Roma. Gereja inilah yang akhirnya termasuk dalam salah satu dari 22 Gereja-gereja Timur dalam persekutuan dengan Gereja Katolik (Roma), silakan klik di sini untuk melihat lebih lanjut mengenai ke -22 Gereja Timur ini.

Maka, di Mesir sekarang ini, memang terdapat Gereja- gereja yang berada dalam persatuan dengan Gereja Katolik, maupun gereja Orthodox yang tidak mengakui kepemimpinan Roma.

Kami tidak mengetahui,  gereja Koptik yang mana yang diambil sebagai back-ground dalam kisah “Ayat-ayat Cinta” tersebut. Namun apapun gereja yang diambil, sesungguhnya harus tetap diakui bahwa film tersebut merupakan kisah fiktif, dan karenanya penyampaiannya juga bisa distortif. Hal serupa misalnya terjadi pada pengambilan sejarah Gereja yang disampaikan secara distortif pada film Da Vinci Code. Tetapi karena keduanya merupakan kisah fiktif, maka tak ada yang perlu kita risaukan.

2. Apakah Baptisan Gereja Koptik dapat dianggap sah?

Gereja Koptik yang ada dalam persatuan dengan Gereja Katolik merupakan bagian dari Gereja Katolik, sehingga baptisannya sah.

Sedangkan untuk baptisan gereja Koptik yang Ortodox, maka untuk mengetahui sah atau tidaknya, kita memakai rumusan KGK 1256, yaitu sejauh Pembaptisan itu dilakukan dengan intensi/ maksud yang sama dengan Gereja Katolik, dan dilakukan dengan materia dan forma yang benar yaitu: dengan air dan dalam nama Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, maka baptisan dapat dianggap sah.

3. Tradisi mereka diadopsi oleh agama Islam, dan kemudian malah Islam mendominasi.

Sejarah menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya bidah Monophysite, maka kepercayaan umat menjadi ‘simpang siur’, sehingga sulitnya diperoleh pengajaran yang benar, terutama pada kaum awam, karena secara prosentase, kaum yang mengikuti bidaah Monophysite (Jacobites) lebih banyak daripada yang setia kepada pengajaran para rasul (Melchites). Bidaah Monophysites yang mengajarkan bahwa setelah inkarnasi Yesus hanya mempunyai kodrat sebagai Allah, menimbulkan kebingungan kepada umat, yang sebelumnya memperoleh pengajaran bahwa Kristus adalah sungguh- sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Maka dalam kesimpangsiuran ini, pengajaran Islam memperoleh momentum sehingga kemudian mendominasi di sana, yang tentu kita ketahui, bahwa mereka tidak mempercayai bahwa Yesus adalah Allah.

Sebagai tambahan: Kesimpangsiuran tentang bidaah Monophysite ini sebenarnya telah dijernihkan dalam Konsili di Chacedon 451, di mana pengajaran dari Paus Leo Agung dibacakan, yaitu bahwa Kristus mempunyai dua kodrat, yang tidak tercampur baur, tanpa perubahan, tidak dapat dibagi-bagi dan dipisahkan…. Ia menjadi satu Pribadi dan satu hakikat, tidak terbagi di antara dua pribadi, namun kedua kodrat itu membentuk Pribadi Yesus yang unik, satu dan sama.

Memang untuk mengerti pengajaran ini diperlukan kerendahan hati untuk mengakui misteri Allah di dalam diri Kristus. Yesus Kritus mempunyai anugerah kesatuan hypostatik/ “hypostatic union” antara Allah dan manusia di dalam Pribadi-Nya pada saat Ia menjelma menjadi manusia. Sepanjang sejarah, memang terlihat bagaimana orang ingin menyederhanakan misteri ini, sehingga timbullah bermacam- macam bidah di sepanjang sejarah Gereja.

4. Mengenai tradisi shalat/ berdoa 7 waktu, memang telah menjadi tradisi jemaat mula-mula, yang juga dipraktekkan di dalam biara-biara, dan kebanyakan masih diterapkan sampai saat ini. Silakan klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal ini. Namun sekarang berdoa 7 kali ini tidak diharuskan bagi kaum awam, sekalipun tentu saja, jika ada yang mau mengikutinya, ini sungguh merupakan kebiasaan yang sangat baik.

Yang memang dianjurkan oelh Gereja adalah berdoa minimal di pagi dan sore/ malam hari, dan doa sebelum dan sesudah makan. Selanjutnya adalah kebiasaan yang baik, jika dalam doa pagi atau malam hari umat beriman dapat merenungkan Alkitab, berdoa meditasi ataupun devosi, seperti rosario, dst. Juga dianjurkan bagi yang dapat melakukannya, agar mengikuti juga misa harian di gereja, dan mengembangkan kebiasaan berdoa singkat sepanjang hari. Dengan kebiasaan ini, maka hubungan kedekatan dengan Allah yang ingin dicapai dengan berdoa 7 kali tersebut, tetap dapat dipenuhi dengan cara yang lain, yang dapat dilakukan oleh semua orang.

Demikian penjelasan kami tentang pertanyaan anda, semoga ada manfaatnya.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab