Home Blog Page 193

Dua Perintah Utama: Mengasihi Tuhan dan Mengasihi Sesama

41

I. Dua Perintah Utama yang sering kita dengar namun sulit untuk dilaksanakan secara sempurna

Bacaan di minggu ke-30 tahun A ini, Gereja memberikan bacaan dari Kel 22:20-26; Mzm 18:2-4,47,51; 1Tes 1:5-10; Mat 22:34-40. Perikop dari Mat 22:34-40, yang juga dituliskan di Mrk 12:28-34; Luk 10:25-28, terasa sangat akrab di telinga kita, karena sering kita dengar dan sering didengungkan dari mimbar, dan lebih tepatnya, karena di dalam dua perintah itu – mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama – terletak seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. Namun, meskipun dua perintah ini sangat sering kita dengar, namun mungkin sangat sulit untuk dilaksanakan. Padahal, kalau kita teliti, manusia secara kodrati dapat mengasihi Tuhan dan sesama. Kodrat ini diangkat derajatnya oleh rahmat Allah dalam Sakramen Baptis, sehingga manusia dapat mengasihi Allah secara lebih sempurna (adi-kodrati), yang berakibat kemampuan yang lebih untuk dapat mengasihi sesama. Mengasihi Tuhan dan sesama, itulah perintah dari Tuhan sendiri, yang menuntun manusia untuk dapat memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan dapat mengantar manusia ke dalam Kerajaan Sorga.

II. Bacaan Matius 22:34-40

34.  Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka
35.  dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia:
36.  “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?”
37.  Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
38.  Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.
39.  Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
40.  Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

III. Telaah Matius 22:34-40

Dari perikop Mat 22:34-40, kita dapat melihat secara gamblang bahwa inti bacaan tersebut adalah jawaban Yesus bahwa hukum yang terutama dalam hukum Taurat adalah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Di perikop sebelumnya – Mat 22:23-33 – kita melihat bahwa Yesus telah memberikan jawaban yang tepat, sehingga orang-orang Saduki yang bertanya tentang kebangkitan badan tidak dapat berkutik lagi. Walaupun orang-orang Farisi senang (lih. Mrk 12:38; Luk 20:39)  bahwa orang-orang Saduki, yang berseberangan dengan mereka akhirnya bungkam karena jawaban Yesus, namun mungkin mereka juga kecewa karena keinginan mereka untuk menjebak Yesus ternyata tidak berhasil. Dan kemudian di ayat 24-25, kita tahu bahwa mereka berkumpul merancang pertanyaan untuk menjebak Yesus. Mungkin, jebakan kaum Farisi telah dirancang dengan sangat hati-hati, karena jebakan pertanyaan mereka tentang membayar pajak kepada kaisar (lih. Mat 22:15-22) telah gagal.

Kali ini, mereka bertanya tentang sesuatu yang dipandang sungguh sulit, yaitu “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” (ay. 36) Yesus kemudian menjawab bahwa hukum yang terutama dan pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi (ay.37-38) dan hukum yang kedua adalah mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri (ay.39). Dengan jawaban ini, maka Yesus telah merangkum semua hukum Taurat, yang disebutkan dalam Ul 6:5 dan Im 19:18.

1. Perintah ganda untuk mengasihi adalah merupakan hukum kodrat

Kalau kita meneliti sepuluh perintah Allah (Kel 20:1-17), maka kita dapat melihat bahwa hukum-hukum di dalam 10 perintah Allah adalah merupakan penjabaran dari hukum kodrat yang sempurna. Hukum kodrat ini adalah hukum atau peraturan yang terpatri di dalam setiap hati manusia. Dalam sepuluh perintah Allah, kita dapat melihat adanya perintah kasih dalam dua kelompok, yaitu hukum 1-3 adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dan hukum 4-10 adalah perintah untuk mengasihi sesama. Urutan ke-10 perintah Allah tidak diberikan atas dasar kebetulan, tetapi menurut St. Thomas Aquinas, memang ada alasannya tergantung dari tingkatan prioritasnya. ((St. Thomas Aquinas, The Aquinas Catechism : A Simple Explanation of the Catholic Faith by the Church’s Greatest Theologian (Manchester  N.H.: Sophia Institute Press, 2000), p.249-250)) Untuk mengasihi Allah, kita harus melakukan tiga hal, yaitu: (1) Tidak boleh mempunyai Allah lain, yang dituliskan: Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepadaKu saja, dan cintailah Aku lebih dari segala Sesuatu; (2) Harus memberikan kepada Allah penghormatan, yang dituliskan: Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat; (3) Kita harus beristirahat di dalam Tuhan, yang dituliskan: Kuduskanlah hari Tuhan. Dan untuk membuktikan kasih kita kepada Allah, maka kita harus mengasihi sesama seperti yang dijabarkan dalam perintah 4-10, yaitu: (1) Kita harus mengasihi orang tua kita, yang dituliskan: Hormatilah ibu-bapamu; (2) Kita tidak boleh melukai sesama kita dengan perbuatan – baik dengan melukai seseorang, yang dituliskan: jangan membunuh; atau merusak perkawinan seseorang, yang dituliskan: Jangan berzinah; atau mengambil barang atau harta milik sesama, yang dituliskan: Jangan mencuri; (3) Kita tidak boleh melukai sesama kita dengan perkataan dan pikiran – melukai dengan perkataan, yang dituliskan: Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu; melukai sesama dengan pikiran, yang dituliskan:  Jangan mengingini istri sesamamu dan Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.

Penjelasan yang lain dari 10 perintah Allah adalah, dalam mengasihi Allah, maka kita harus mempunyai (1) kesetiaan, (2) penghormatan, dan (3) pelayanan; dalam mengasihi sesama, kita harus (4) menjalankan tugas untuk wakil Tuhan di dunia ini dan menjalankan tugas untuk diri sendiri dan sesama dalam (5) melindungi kehidupan, (6) kemurnian, (7) harta milik, (8) kehormatan, (9 dan 10) melindungi kehidupan keluarga.

Sepuluh perintah Allah diberikan secara khusus dan ditulis di atas dua loh batu kepada bangsa Israel. Namun, perintah ini sesungguhnya bukan hanya dituliskan di atas dua loh batu, namun juga dituliskan oleh Tuhan di dalam setiap hati manusia, baik bangsa Israel maupun bangsa lain. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, rasul Paulus menegaskannya demikian “14 Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. 15 Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” (Rom 2:14-15) Ayat ini menunjukkan bahwa semua orang, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi sebenarnya terikat oleh hukum taurat, yang intinya adalah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Dan memang itulah kodrat manusia.

2. Mengapa harus mengasihi?

Kalau manusia diciptakan dengan kodrat untuk dapat mengasihi Allah dan mengasihi sesama, maka pertanyaannya adalah mengapa Allah menciptakan manusia dengan kodrat seperti ini? Jawabnya adalah karena kita menemukan kebahagiaan kita di dalam kasih kepada Tuhan, dan tidak di dalam hal-hal lain, seperti: uang, kehormatan, kekuasaan, kesenangan, bahkan juga kebajikan. Pembahasan tentang hal ini, sudah pernah ditulis di artikel: Kebahagiaan kita hanya ada dalam Tuhan, silakan klik. Maka kalau kita ingin mendapat penghiburan dan kekuatan di dalam hidup ini kita harus kembali kepada Tuhan, kita harus mengasihi Tuhan.

Cobalah kita cari orang yang terlihat sebagai orang yang paling berbahagia di dunia: tiliklah, apakah dia mengasihi Tuhan? Sebab jika ia tidak mengasihi Tuhan, ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh berbahagia. Itulah sebabnya banyak di antara orang-orang yang demikian kemudian dapat melakukan hal-hal yang tragis dalam hidup mereka. Sedangkan sebaliknya, jika kita menemukan orang kelihatannya paling tidak bahagia di mata dunia, namun kalau ia mengasihi Tuhan, maka ternyata ia adalah orang yang paling bahagia, dalam arti yang sesungguhnya, dalam segala sesuatu. Maka sudah selayaknya kita berdoa memohon agar Tuhan membuka mata hati kita agar dapat mencari kebahagiaan di mana kita dapat sungguh menemukannya, yaitu di dalam Tuhan sendiri.

Alasan lain, mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan kodrat untuk mengasihi adalah karena tanpa kasih, manusia tidak dapat mencapai Sorga. Begitu pentingnya kasih, sehingga rasul Yohanes mengatakan “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut.” (1Yoh 3:14b) Dari ayat ini, kita dapat melihat bahwa untuk mendapatkan keselamatan, maka tidak ada cara lain, kecuali mengasihi. St. Agustinus menegaskan bahwa sama seperti manusia mempunyai dua kaki untuk berjalan, maka kita harus mengasihi Tuhan dan sesama untuk dapat mencapai Sorga. Sama seperti burung mempunyai dua sayap untuk terbang, maka kita harus mengasihi Tuhan dan sesama untuk dapat terbang ke Sorga. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa sama seperti orang-orang kudus di Sorga mengasihi Allah dan mengasihi sesamanya, maka kita juga harus melakukan hal yang sama di dunia ini untuk mendapatkan kebahagiaan. Dari sini, kita dapat melihat bahwa mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama sesungguhnya tidak terpisahkan. Rasul Yohanes menegaskan hal ini secara gamblang “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20)

3. Tuhan memampukan kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi

Perintah untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi adalah mengasihi Tuhan dengan keseluruhan diri kita, menempatkan Tuhan lebih utama dalam segala sesuatu, di mana saja, setiap saat dan dalam segala kondisi. Dan kalau bukti kasih kita kepada Tuhan dan tanda kita berdiam di dalam Allah adalah dengan menuruti segala perintah Tuhan (lih. 1John 2:3; 1Yoh 3:24), maka kita akan melihat bahwa sesungguhnya perintah ini sangat berat bagi manusia. Namun, Tuhan tidak akan memberikan perintah yang mustahil, karena Dia menegaskan bahwa kuk yang dipasang-Nya adalah enak dan ringan. (lih. Mat 11:29)

Kunci dari kemampuan kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi serta mengasihi sesama adalah karena Allah telah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Kita yang telah dibaptis telah menerima rahmat Allah yang begitu besar, seperti: menjadi putera/i Allah di dalam Kristus, disatukan dalam Tubuh Mistik Kristus, dibebaskan dari dosa asal, menerima rahmat pengudusan, tiga kebajikan ilahi dan tujuh karunia Roh Kudus. Rahmat dari Allah kemudian diperkuat dengan rahmat yang mengalir dari sakramen-sakramen yang lain, terutama Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi. Dengan bekal rahmat Allah yang begitu luar biasa ini, maka sesungguhnya umat Allah telah dimampukan untuk dapat mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi, sehingga pada akhirnya dapat mengasihi sesama dengan lebih baik lagi.

4. Tiga tingkatan kasih

Apakah setiap orang dapat mengasihi Tuhan dengan derajat yang sama? Sama seperti adanya tingkatan dalam segala hal, maka setiap orang dapat mengasihi Allah dengan derajat yang berbeda-beda. Namun, menjadi tujuan dari umat Allah, agar kita semua dapat mengasihi Tuhan dalam derajat yang sempurna. Dari buku Christian Perfection and Comtemplation: According to St. Thomas Aquinas anda St. John of the Cross karangan Reginald Garrigou Lagrance dan dari tulisan St. Thomas Aquinas pada Summa Theology, II-II, q.34, a.9., maka kita dapat melihat tingkatan kasih:

a. Tingkatan pemula (beginners atau purgative). Pada tingkatan ini, seseorang berusaha agar dia tidak jatuh ke dalam dosa berat, dan juga berusaha untuk melawan kelemahan dan kecenderungan berbuat dosa (concupiscences). Dalam tahap ini, seseorang masih berfokus pada bagaimana caranya untuk menghindari dosa-dosa yang dulunya sering dia lakukan. Sebagai contoh kalau seseorang mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa melawan kemurnian, maka dia berjuang setengah mati agar dia tidak terjerumus ke dalam dosa yang sama. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti: menghindari teman-teman yang dapat menjerumuskannya ke dalam dosa yang sama, menghindari tempat-tempat yang dapat membangkitkan keinginan untuk berbuat cabul, menghindari kesempatan-kesempatan untuk dapat melakukan dosa tersebut. Orang ini menyadari bahwa kalau dia jatuh ke dalam dosa berat yang sama, maka dosa berat tersebut akan menghancurkan kasih. Dengan kata lain, orang-orang dalam tingkatan ini senantiasa berusaha menghindari dosa berat.

b. Tahap kedua (Illuminative Way). Pada tahap ini, seseorang bukan lagi berfokus pada menghindari dosa, melainkan pada bagaimana bertumbuh dalam kebaikan. Mereka membuat kemajuan spiritualitas dalam terang iman dan kontemplasi. Seseorang pada tahap ini mulai berfikir apa yang dapat dilakukannya untuk dapat semakin memberikan kemuliaan bagi nama Tuhan. Dia tidak lagi memikirkan untuk menghindari dosa pornografi sebab pornografi tidak menjadi godaan yang dapat menarik hatinya. Namun dia mulai berfikir, bagaimana dia dapat memberikan kebaikan kepada sesama, sehingga dia dapat membantu orang-orang yang mempunyai ketergantungan terhadap pornografi (dan dosa- dosa berat lainnya). Orang yang dalam tahap ini, bukan hanya berfikir untuk menghindari dosa berat, namun juga dia mencoba mengarahkan hidupnya dan hidup sesamanya kepada Tuhan. Dia mencoba untuk menghilangkan kecenderungan-kecenderungan di dalam dirinya yang menghalanginya untuk bersatu dengan Tuhan. Dia bertumbuh dalam kasih dengan cara berbuat kasih.

c. Tahap sempurna (Univitive Way / Heroic Love). Dalam tahap ini, seseorang secara sadar tidak mau dan dengan segala kekuatannya berusaha untuk menghindari dosa-dosa yang kecil (venial sins) sekalipun. Walaupun kadang dia masih melakukan dosa kecil, namun dosa-dosa kecil ini terjadi dengan tidak disengaja. Secara aktif dia mencoba menghilangkan apa yang tidak sempurna dalam dirinya, sehingga seluruh akal budi, perbuatan dan perkataannya ditujukan untuk menyenangkan hati Tuhan. Dia setia terhadap inspirasi dari Roh Kudus, dan menjalankan semua hal, termasuk hal-hal kecil dengan kasih yang besar. Dia sekaligus lemah lembut namun juga kokoh dalam imannya. Dia memandang rendah hal-hal dunia ini, dan secara aktif dan terus-menerus mempunyai kontemplasi terhadap hal-hal ilahi. Dia mempunyai hati yang besar (magnanimity), sehingga membuatnya dapat menyingkirkan hal-hal dunia agar dia dapat semakin bersatu dengan Tuhan. Bahkan, dia menginginkan persatuan abadi dengan Kristus melebihi apapun di dunia ini. Dalam tahap ini, seseorang juga mempunyai derajat kerendahan hati yang sempurna. Walaupun kehidupan spiritualitasnya berkembang dengan sempurna, namun dia justru melihat dirinya yang paling rendah dari manusia lain. Karena hidupnya senantiasa dipenuhi dengan sinar ilahi, maka dia dapat melihat apa-apa yang tidak sempurna dalam dirinya secara jelas dan pada saat yang bersamaan dia melihat Allah yang adalah segalanya. Dalam kondisi seperti inilah, maka orang dalam derajat kasih yang tertinggi juga akan mempunyai derajat kerendahan hati yang tertinggi.

Yang mungkin tidak kalah pentingnya adalah tiga tingkat kesempurnaan kasih di atas juga berhubungan dengan kasih terhadap sesama. Dalam tingkat awal, seseorang akan mengasihi orang -orang yang ia kenal tanpa mengabaikan orang-orang lain. Di tingkat kedua, seseorang dapat mengasihi orang-orang asing yang tidak dikenalnya. Dan di tingkat kesempurnaan, ia dapat mengasihi musuh-musuhnya. Yang perlu juga menjadi catatan adalah seseorang dapat bertumbuh dari tingkat awal ke tingkat yang lebih tinggi, namun orang juga dapat jatuh dari tingkat yang lebih tinggi ke tingkat yang paling awal. Hanya rahmat Allah dan kesediaan untuk terus bekerjasama dengan rahmat Allah, dan juga tujuh karunia Roh Kudus, yang memungkinkan seseorang untuk mencapai kesempurnaan kasih.

IV. Ajakan untuk mengasihi adalah panggilan untuk hidup kudus

Mengasihi Allah dan sesama merupakan hukum yang terutama bagi umat beriman, dan merupakan panggilan yang diserukan oleh Gereja kepada semua orang yang berkehendak baik. Ini jelas disebutkan di dalam Konsili Vatikan II, tentang Gereja, di bab V, mengenai Panggilan Umum untuk Kesucian dalam Gereja:

“Tuhan Yesuslah Guru dan Teladan ilahi segala kesempurnaan. Dengan kesucian hidup, yang dikerjakan dan dipenuhi-Nya sendiri, Ia mewartakan kepada semua dan masing-masing murid-Nya, bagaimanapun juga corak hidup mereka: “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di sorga sempurna adanya” (Mat 5:48). Sebab kepada semua diutus-Nya Roh Kudus, untuk menggerakkan mereka dari dalam, supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap tenaga mereka (lih. Mrk 12:30), dan saling mencintai seperti Kristus telah mencintai mereka (lih. Yoh 13:34; 15:12). Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam tuhan Yesus, dan dalam baptis iman sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi, maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan Allah mereka wajib mempertahankan dan mengembangkan dalam hidup mereka kesucian yang telah mereka terima. Oleh rasul mereka dinasehati, supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilkan buah-buah Roh yang membawa kepada kesucian (lih. Gal 5:22; Rom 6:22). Akan tetapi karena dalam banyak hal kita semua bersalah (lih. Yak 3:2), kita terus-menerus membutuhkan belaskasihan Allah dan wajib berdoa setiap hari: “Dan ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12).

Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Dengan kesucian sedemikian ini sebuah kehidupan yang lebih manusiawi dapat dimajukan di dalam kehidupan masyarakat di dunia ini. Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus, supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan merupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama. Begitulah kesucian Umat Allah akan bertumbuh dan menghasilkan buah berlimpah, seperti dalam sejarah Gereja telah terbukti dengan cemerlang melalui hidup sekian banyak orang kudus.” (Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 40)

Selanjutnya silakan membaca artikel seri tentang Kesucian/ Kekudusan: Apa itu Kesucian/Kekudusan?; Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus; Refleksi Praktis tentang Kekudusan; Kerendahan Hati: Dasar dan Jalan Menuju Kekudusan

V. Mari mengasihi

Dari pembahasan di atas, maka sudah seharusnya kita berjuang untuk melaksanakan perintah Kristus yang utama, yaitu untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi serta mengasihi sesama seperti diri sendiri. Ini adalah kekudusan yang kepadanya kita semua dipanggil, seturut dengan kehendak Allah (lih. 1Tes 4:3). Hanya dengan mengasihi, manusia dapat memperoleh arti hidup, yaitu kebahagiaan di dunia ini dan pada saatnya nanti, akan kebahagiaan abadi di Sorga. Mari, mulailah dan bertumbuhlah dalam kasih, sebab kita semua diciptakan untuk mengasihi.

Kenapa Tidak Ada Tarian, Sorak sorai dan Tepuk Tangan di Misa?

45

Pertanyaan:

Syalom,

Dalam Mazmur, terdapat ayat yang mengatakan bahwa tepuk tangan, bahkan bersorak dan menari sebagai cara memuji Tuhan tidak dilarang, namun mengapa ’sikap’ tersebut tidak dimasukkan ke dalam liturgi Misa? Kalau boleh, tolong katolisitas menjelaskan mengenai sejarah pembentukan liturgi dan tahap-tahap yang ada di dalamnya. Seperti Pembukaan, Saya Mengaku, Tuhan Kasihanilah Kami, dst, sampai kepada Konsekrasi, dan Berkat Penutup.

Terima kasih banyak.

Tuhan Yesus memberkati!…

Jawaban:

Shalom Ferry,

Walaupun tidak disebutkan di dalam dokumen Gereja, nampaknya, ada beberapa alasan yang masuk akal mengapa tari- tarian, tepuk tangan dan sorak sorai tidak dilakukan di dalam perayaan Misa (Ekaristi) Kudus:

1. Ekaristi adalah perayaan di mana kita dapat menyambut Kristus dan mempersatukan diri kita dengan Kristus Tuhan kita. Jika kita memakai analogi ibadah pada Perjanjian Lama, maka tahap persatuan ini menyerupai penyembahan yang tertinggi di Tempat Maha Kudus dalam Kemah Suci. Segala bentuk pujian sorak sorai dapat dilakukan di pelataran bait Allah (lih. Mzm 100:4), namun sorak sorai itu terhenti setelah imam yang mempimpin ibadah mewakili seluruh umat memasuki Kemah Suci di mana di sana terdapat tabut perjanjian Tuhan. Sang imam itu harus mempersiapkan dirinya dan membersihkan dirinya dari dosa sebelum melakukan pelayanan itu, sebab jika tidak demikian, ia wafat seketika di dalam Kemah Suci itu (lih. Im 22:9). Setelah Yesus wafat, tirai yang memisahkan ruang Bait Suci itu terkoyak (lih. Mat 27:51), dan karena rahmat Allah yang kita terima melalui kurban Kristus, kita umat beriman dapat menghampiri tempat Maha Kudus itu, yaitu tabernakel di mana Kristus bertahta di dalamnya dalam rupa Ekaristi. Namun sikap kita untuk menghampirinya adalah dengan sikap tunduk dan hormat, dan sebelumnya kitapun memeriksa diri kita agar bebas dari segala dosa berat, agar dapat layak menyambut-Nya.

2.  Hakekat perayaan Ekaristi adalah perayaan kurban Kristus yang menyerahkan diri-Nya dengan wafat di kayu salib demi menyelamatkan kita.

KGK 1362    Ekaristi adalah kenangan akan Paska Kristus, yang menghadirkan dan mempersembahkan secara sakramental kurban satu-satunya dalam liturgi Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dalam semua Doa Syukur Agung, sesudah kata-kata penetapan, kita temukan sebuah doa yang dinamakan anamnese atau kenangan.

Walaupun Ekaristi merupakan kenangan Paska Kristus, namun kemenangan Paska ini tidak terlepas dari sengsara dan wafat-Nya yang juga kita kenangkan pada saat yang sama. Maka tidak sepantasnya kita bertepuk, bersorak ataupun menari pada saat kita mengenangkan wafat seseorang, apalagi jika yang kita kenangkan adalah Kristus, yang telah wafat setelah melalui penderitaan yang sedemikian hebat, demi menanggung dosa kita manusia. Sikap yang lebih tepat adalah tunduk dan khidmat sambil mengenang Dia dan bersyukur atas begitu besar rahmat-Nya kepada kita.

3. Karena di sebagian besar budaya di dunia, tari- tarian, sorak sorai dan tepuk tangan di saat ini tidak lagi umum digunakan dalam ibadah penyembahan kepada Tuhan. Tari- tarian di belahan dunia Eropa dan Amerika lebih berkonotasi kepada pertunjukan (performance) daripada ungkapan penyembahan kepada Tuhan. Dengan demikian dalam ritus Latin tidak dikenal tari- tarian dalam ibadah Misa Kudus, karena sejak awal memang tidak ada budaya menari pada bangsa tersebut sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Mungkin akan sedikit berbeda pada budaya Afrika dan Asia, namun secara umum tari- tarian di dalam ibadah, apalagi jika hanya dibawakan oleh sekelompok orang tertentu, akan cenderung menjadi tontonan, dan menggeserkan pusat perhatian yang harusnya diberikan kepada Tuhan.

Cardinal Arinze menjelaskan dengan sangat lugas di U-Tube, tentang hal ini, silakan klik

Atau lebih jelasnya, Cardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) dalam bukunya The Spirit of the Liturgy (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 198, menuliskan demikian:

“Tarian bukanlah merupakan bentuk ekspresi bagi liturgi Kristen. Sekitar abad ke-3, ada usaha dari kalangan Gnostic- Docetic untuk memperkenalkan tarian ke dalam liturgi. Untuk orang- orang ini, penyaliban Kristus hanya merupakan bayangan/ ilusi …. [Bagi mereka] Tarian dapat mengambil tempat bagi liturgi Salib, sebab, toh Salib bagi mereka hanya bayangan. Tarian cultic dalam agama- agama lain mempunyai maksud yang berbeda- beda – mantra, magis imitatif, ekstase mistik – yang semuanya tak ada yang kompatibel dengan maksud utama dari liturgi sebagai “kurban yang pantas” (reasonable sacrifice). Adalah suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi “menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin ditarikan oleh grop dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut pandang profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan. Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi  telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius. Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai bentuk gelitik religius.”

Namun selanjutnya, Cardinal Ratzinger mengatakan juga demikian sehubungan dengan inkulturasi:

“Tak ada ritus Kristen yang memasukkan tarian. Apa yang orang- orang sebut sebagai tarian di bentuk ritus Ethiopia atau Zaire (Kongo) dalam liturgi Roma adalah sebenarnya prosesi ritmis yang teratur, yang sesuai dengan martabat kesempatan tersebut. Hal itu memberikan tata sikap yang teratur di batin dan keteraturan bagi variasi tahap-tahapan liturgi, yang memberikan keindahan, dan di atas semua itu, membuatnya menjadi pantas bagi Tuhan.” (Ibid. p. 199)

Atas pemahaman ini, maka memang masih diperbolehkan adanya semacam tarian (atau lebih tepatnya, disebut prosesi) penghantar persembahan dalam Misa Kudus, yang dalam budaya Afrika, atau budaya tradisional Asia, namun itupun bukan bersifat tontonan, namun hanya menggambarkan ungkapan penghormatan menurut budaya tersebut untuk menggabungkan kurban dari umat (dari “hasil bumi dan usaha manusia”) yang disatukan dengan kurban Kristus dalam Ekaristi.

Jadi prinsipnya, dalam perayaan Ekaristi, yang merupakan bentuk ibadah tertinggi, bentuk penyembahan tidak melibatkan tarian, tepuk tangan ataupun sorak sorai, agar umat dapat lebih memusatkan perhatian kepada kurban Kristus yang sedang dihadirkan kembali di altar, oleh kuasa Roh Kudus. Sedangkan di luar liturgi yang resmi, misalnya di dalam persekutuan doa ataupun pertemuan- pertemuan jemaat lainnya, diperkenankan cara memuji Tuhan dengan sorak sorai, tarian dan tepuk tangan, sebab memang cara- cara tersebut dicatat dalam Kitab Mazmur sebagai cara- cara memuji Tuhan (lih Mzm 47:1, 100: 1-4, 149:3). Namun tentu jika diadakan tarian, tepuk tangan ataupun sorak sorai, semua hal ini melibatkan semua umat yang hadir (jadi tujuannya bukan sebagai tontonan), dan semua ini ditujukan kepada Tuhan, dan bukan kepada para pemimpin pujian ataupun para penari. Selanjutnya jangan dilupakan, bahwa pujian dan penyembahan kepada Tuhan juga dapat dilakukan dengan sikap diam dan hening (lih. Mzm 46:11) karena justru di dalam keheningan itu, kita akan dapat semakin mengalami kehadiran Allah.

Selanjutnya tentang topik kenapa tepuk tangan yang sifatnya applause tidak diperkenankan di Misa Kudus, sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik.

Sedangkan tentang topik tahapan liturgi Ekaristi memang belum secara mendetail kami uraikan, namun sekilas sudah pernah dibahas dalam artikel Cara Mempersiapkan Diri Menyambut Ekaristi, silakan klik.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Kej 28:16-19: Di manakah Betel?

3

Pertanyaan:

Berkah Dalem Bu Ingrid/Pak Steff
Mohon penjelasan kitab Kejadian 28 :16-19, karena ada yang memberi tahu saya bahwa di Kejadian 28 :16-19 itu adalah Mekkah di jaman sekarang ini, yaitu pintu masuk surga, dan batu yang diletakkan sebagai alas tidur Yakub dan mendirikan tugu adalah yang sekarang ini dikelilingi umat muslim di Mekkah itu. Terimakasih mohon pencerahannya.

Jawaban:

Shalom Dominicus Endy,

Kej 16-19 mengatakan:

“Ketika Yakub bangun dari tidurnya, berkatalah ia: “Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya.” Ia takut dan berkata: “Alangkah dahsyatnya tempat ini. Ini tidak lain dari rumah Allah, ini pintu gerbang sorga. Keesokan harinya pagi-pagi Yakub mengambil batu yang dipakainya sebagai alas kepala dan mendirikan itu menjadi tugu dan menuang minyak ke atasnya. Ia menamai tempat itu Betel; dahulu nama kota itu Lus.”

Berikut ini adalah penjelasan yang saya terjemahkan dari A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard, :

Aku tidak mengetahuinya. Yakub mengetahui bahwa Allah hadir di semua tempat. Namun ia berpikir bahwa Allah tidak akan menyatakan Diri-Nya di tanah/ tempat yang pernah dipersembahkan kepada berhala [tempat itu bernama Lus, yang adalah nama bangsa Kanaan, yaitu bangsa yang tidak mengenal Allah]. Maka Yakub beranggapan bahwa tempat itu sebelumnya telah pernah dikonsekrasikan sebagai tempat penyembahan Tuhan yang benar, seperti mungkin oleh Abraham yang pernah tinggal di Betel (Kej 12:8) dan membangun altar di bukit Moria (Kej 22:14) …

Itu adalah tugu atau monumen, atau sebuah altar, yang dikonsekrasikan dengan ritus untuk menyembah Tuhan yang benar. Ini dilakukan Yakub tanpa tahyul; sebagaimana Gereja Katolik menuangkan minyak krisma di atas altar- altarnya, untuk meniru teladan Yakub….”

St. Eusebius dari Caesarea dan St. Jerome (Hieronimus) menjelaskan bahwa Bethel ini adalah desa kecil yang terletak sekitar 12-14 mil di sebelah utara Yerusalem, di sebelah kanan/ timur jalan yang mengarah ke Neapolis. Pada perikop ini, penafsiran para Bapa Gereja lebih menekankan kepada makna mimpi Yakub, yang mendorongnya untuk membangun sebuah tugu dan altar setelah ia bangun dari tidurnya; karena memang itulah inti yang dikisahkan dalam perikop Kej 28 ini. Bahwa Yakub kemudian menduga bahwa tempat itu adalah Bethel ataupun tempat Abraham mempersembahkan Ishak, itu adalah hal sekunder, karena yang dikisahkan di perikop itu adalah bahwa di tempat itu Yakub bermimpi tentang tangga yang menghubungkan antara bumi dengan langit/ surga.

Menurut penjelasan the Navarre Bible, beberapa Bapa Gereja menginterpretasikan tangga ini sebagai penyelenggaraan ilahi yang mencapai dunia melalui pelayanan para malaikat, atau ada pula yang menginterpretasikan tangga ini sebagai penjelmaan/ inkarnasi Kristus menjadi manusia (yang lahir dari garis keturunan Yakub), sebab Inkarnasi Kristus adalah sungguh waktu di mana keilahian dan kemanusiaan tergabung menjadi satu, sebab Kristus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Di dalam Injil Yohanes mimpi Yakub digenapi saat Yesus ditinggikan di kayu salib, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia.” (Yoh 1:51). Interpretasi lainnya adalah bahwa tangga Yakub adalah kayu salib yang olehnya Kristus dan umat Kristiani dapat mencapai kemuliaan surga.

Maka walaupun umat muslim mengklaim bahwa Bethel itu adalah tempat Abraham mempersembahkan anaknya yang mengacu ke Mekkah di Saudi Arabia, namun sesungguhnya hal itu tidak secara langsung dapat disimpulkan dari teks. Sebab kenyataannya ada banyak perdebatan para ahli tentang di mana sebenarnya tempat ini. Umat Yahudi mengklaim bahwa lokasi tersebut adalah di the Temple Mount di Yerusalem (atau juga dikenal dengan Dome of the Rock). Sepanjang pengetahuan saya, Gereja Katolik sendiri tidak mendefinisikan, di mana tempat ini sekarang. Sebab di Kitab Suci Septuaginta di ayat Kej 22:2, bukit Moria sendiri tidak disebutkan sebagai nama tempat Abraham mempersembahkan Ishak, melainkan, “He said to him: Take thy only begotten son Isaac, whom thou lovest, and go into the land of vision [atau high land, menurut terjemahan ke bahasa Inggris dari bahasa Yunani]; and there thou shalt offer him for an holocaust upon one of the mountains which I will shew thee.”  Sedangkan jika mengacu kepada 2 Taw 3:1, maka bukit Moria adalah tempat di mana Raja Salomo mendirikan bait Allah di Yerusalem yaitu di mana Tuhan menampakkan diri kepada Daud, di tempat pengirikan Ornan, orang Yebus itu. Selanjutnya, ada juga interpretasi bahwa bukit Moria itu adalah Moreh, sebuah lokasi di dekat Sikhem, di mana Abraham membangun sebuah altar menurut Kej 12:6. Di sini Moria diperkirakan mengacu kepada sebuah bukit dekat Sikhem, sehingga mendukung pandangan orang-orang Samaria yang percaya bahwa pengorbanan Ishak terjadi di bukit Gerizim yang terletak dekat Sikhem.

Dengan adanya bermacam interpretasi ini, maka mari mengacu saja kepada ajaran para Bapa Gereja, yang memang tidak mempersoalkan di mana persisnya tempat ini, namun lebih kepada menangkap inti yang hendak disampaikan tentang makna perikop mimpi Yakub ini. Yaitu bahwa tangga yang menghubungkan antara surga dan bumi ini akan digenapi di dalam diri Kristus melalui kurban salib-Nya, sehingga melaluinya kita dapat sampai ke surga. Salib Kristus itulah yang menjadi pintu gerbang sorga, sebab oleh karena kurban salib Kristus, pintu surga terbuka bagi kita yang percaya kepada-Nya.

Akhirnya mari kita ingat bersama bahwa Kitab Suci Kristiani diberikan Allah kepada Gereja, sehingga untuk memahaminya kita mengacu kepada ajaran Gereja/ Bapa Gereja, dan bukan kepada pihak- pihak yang tidak percaya kepada ajaran yang disampaikan Gereja.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Berikanlah Apa yang Menjadi Haknya!

7

I. Tentang Keadilan

Bacaan Minggu ke-29 memberikan pengajaran tentang keadilan, yaitu dengan memberikan apa yang menjadi hak kaisar atau orang lain sesuai dengan hak mereka, maupun memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan. Prinsip ini juga memberikan gambaran bahwa tidak ada pertentangan antara ketaatan kepada otoritas dan ketaatan kepada Tuhan; sebab prinsipnya adalah ketaatan kepada Tuhan adalah lebih utama dibandingkan dengan segalanya, seperti yang didengungkan oleh Rasul Petrus dan para rasul yang lain: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia” (Kis 5:29). Karena Tuhan telah menciptakan manusia sebagai gambaran Allah, maka peraturan yang baik – yang dibuat sesuai dengan akal budi – tidak bertentangan dengan peraturan yang diberikan oleh Allah sendiri. Dengan kata lain, hukum ilahi tidaklah bertentangan dengan hukum kodrati, sebaliknya yang ilahi menyempurnakan yang kodrati.

II. Ayat Matius 22:15-22

15.  Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan.
16.  Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka.
17.  Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?”
18.  Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: “Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik?
19.  Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu.” Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya.
20.  Maka Ia bertanya kepada mereka: “Gambar dan tulisan siapakah ini?”
21.  Jawab mereka: “Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”
22.  Mendengar itu heranlah mereka dan meninggalkan Yesus lalu pergi.

III. Telaah dan Interpretasi Matius 22:15-22

1. Telaah Matius 22:15-22

Bacaan Injil Minggu ke-29 masa biasa tahun A, yang diambil dari Mat 22:15-22, memberikan gambaran kepada kita tentang kewajiban kita kepada otoritas dan juga kewajiban kita kepada Allah. Hal ini diperkuat dengan bacaan dari Yes 45:1,4-6, yang memberikan penekanan bahwa Allah adalah penyelenggara dan pemelihara kehidupan umat manusia, sehingga Dia patut kita sembah. Dan Rasul Paulus dalam surat pertamanya kepada jemaat di Tesalonika memberikan apa yang menjadi hak Allah, yaitu dalam segala sesuatu dia senantiasa mengucap syukur kepada Allah (lih. 1Tes 1:1-5).

Dari bacaan Injil Matius 22:15-22, kita dapat melihat pengajaran Kristus tentang keadilan, yang dapat dibagi menjadi: (ay.15-17) Jebakan kaum Farisi kepada Yesus, (ay.18) Yesus mengetahui kejahatan hati kaum Farisi, (ay. 19-21) Jawaban Yesus tentang keadilan, (ay.22) Kaum Farisi pergi dengan tangan hampa. Mari, kita membahasnya secara lebih mendalam.

2. Mat 22:15-17: Jebakan kaum Farisi kepada Yesus

Kita mungkin tahu bahwa orang-orang Farisi sangat membenci Yesus. Namun, untuk memahami kebencian mereka terhadap Yesus, maka bacaan dari Matius bab 22 ini dapat membantu kita dengan lebih baik. Kita perlu mengetahui siapa-siapa saja yang berkuasa pada waktu itu. Dalam tulisan St. Hieronimus (St. Jerome), dikatakan “I say nothing of the Jewish heretics who before the coming of Christ destroyed the law delivered to them: of Dositheus, the leader of the Samaritans who rejected the prophets: of the Sadducees who sprang from his root and denied even the resurrection of the flesh: of the Pharisees who separated themselves from the Jews on account of certain superfluous observances, and took their name from the fact of their dissent: of the Herodians who accepted Herod as the Christ. I come to those heretics who have mangled the Gospels, Saturninus, and the Ophites, the Cainites and Sethites, and Carpocrates, and Cerinthus, and his successor Ebion, and the other pests, the most of which broke out while the apostle John was still alive, and yet we do not read that any of these men were re-baptized.” ((St. Jerome, The Dialogue Against the Luciferians, 23)) Dari tulisan tersebut, kita melihat ada beberapa kelompok yang hidup pada waktu itu, di mana ada tiga kelompok besar, yang besar, yaitu: (a) Kaum Saduki, yang tidak mengakui kebangkitan badan, (b) Kaum Farisi, sebagai kaum eksklusif yang menjalankan hukum-hukum ritual dan tradisi, (c) Kaum Herodian, yang mendukung Herodes sebagai Mesias dan bukan Kristus.

Dalam bacaan Injil ini, kita akan melihat dua kaum yang disebutkan di dalam bacaan, yaitu kaum Herodian dan kaum Farisi secara lebih dekat. Kaum Herodian, dapat dikatakan sebagai pendukung raja Herodes, yang berkuasa pada waktu itu, yang diakui sebagai raja oleh penjajah bangsa Roma. Kaum ini sebenarnya tidak mencampuri tentang agama Yahudi pada waktu itu, namun lebih pada kepentingan politik, yaitu menjaga keamanan di daerah Yudea, yang berarti juga mengatur agar pajak kepada kaisar senantiasa terpenuhi. Sedangkan kaum Farisi adalah sekte Yahudi yang memisahkan diri mereka dari orang Yahudi kebanyakan, serta menekankan pada ritual-ritual yang terlihat. Dijelaskan oleh Josephus, di abad pertama, ada sekitar 6,000 kaum Farisi. ((Josephus, Ant. 17.42))

Di dalam Injil, Yesus menyetujui beberapa hal yang diajarkan oleh kaum Farisi, namun menghujat kedegilan dan kemunafikan mereka (lih. Mat 23:2), karena mereka lebih menekankan perbuatan yang dinilai hanya dari luarnya saja (lih. Luk 11:37-41). Yesus mengatakan bahwa mereka mengabaikan apa yang paling penting dalam hukum Taurat (lih. Mat 23:23; Luk 11:42), serta digambarkan sebagai orang-orang yang sombong (lih. Luk 18:9-14), yang menjauhi pendosa, pemungut pajak dan memandang rendah orang-orang yang dianggap tidak bersih dan berdosa (lih. Mat 9:11; Luk 7:36-39; Luk 15:1-2). Mereka sebenarnya tidak setuju dengan dominasi bangsa Roma, namun menyadari bahwa mereka tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah situasi. Di satu sisi, kaum Herodian adalah orang-orang yang loyal dengan raja Herodes, yang berusaha mempertahankan kekuasaan raja Herodes. Dengan demikian, kaum Herodian dan kaum Farisi sebenarnya saling bertentangan. Sungguh hal yang sangat mengejutkan kalau akhirnya dua kaum yang bertentangan dapat bersatu pada untuk menyingkirkan Yesus. Hal ini disebabkan bahwa Yesus dianggap dapat membahayakan ideologi dan kepercayaan mereka.

Dikatakan di ayat 15 “Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan.” Mengapa mereka ingin menjerat Yesus? Kita tahu bahwa di bab 21 dan 22, Yesus telah menegur kaum Farisi dengan keras, baik melalui beberapa kejadian maupun perumpamaan, seperti: Yesus mengutuk pohon ara (lih. Mat 21:18-22), Perumpamaan tentang dua orang anak (lih. Mat 21:38-32), Perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur (lih. Mat 21:33-46), Perumpamaan tentang perjamuan kawin (lih. Mat 22:1-14). Kebencian mereka terhadap Yesus, adalah karena Yesus dipandang telah melanggar hari Sabat (Mat 12:2; Mrk 2:24; Luk 6:2; Luk 14:1-3; Yoh 5:9), telah melanggar adat istiadat seperti mencuci tangan (Mat 15:1-2; Mrk 7:1-5), telah bergaul dengan pendosa (Mat 9:9-13; Mrk 2:13-17; Luk 5:27-32; Luk 7:36; Luk 15:2), telah mengaku bahwa Dia adalah Putera Allah (Yoh 10:30-33; Yoh 8:58-59). Menyadari bahwa Yesus telah menegur mereka dan memojokkan mereka serta bertentangan dengan ideologi mereka, maka kaum Farisi berkumpul dan berunding untuk dapat menjerat Yesus dengan satu perumpamaan.

Untuk mencapai maksud mereka, maka tanpa segan, mereka mau bekerjasama dengan kaum Herodian, yang sebenarnya secara ideologi bertentangan dengan kaum Farisi (ay.16). Dari kejadian ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kaum Farisi benar-benar membenci Yesus dan memikirkan bagaimana untuk menjatuhkan Yesus dengan segala cara, baik dengan cara yang kasar, maupun dengan jebakan halus. Di ayat 16-17 dikatakan “16 Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. 17  Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” Pertama, di ayat 16, mereka ingin memberikan satu kondisi, bahwa Yesus yang senantiasa jujur mengajarkan tentang perintah Allah, seharusnya juga tidak takut mengatakan kebenaran, termasuk kebenaran tentang membayar pajak kepada kaisar. Kalau Yesus menjawab, bahwa kaum Yahudi harus membayar pajak kepada kaisar, maka akan membuat kaum Yahudi tidak senang. Sedangkan jawaban “tidak” akan membuat kaum Herodian menjadi tidak senang dan dapat menangkap Yesus dengan tuduhan ingin memberontak. Dengan demikian, jawaban “ya” maupun “tidak” adalah jawaban yang mempunyai resiko.

3. Ayat 18: Yesus mengetahui kejahatan hati kaum Farisi

Namun, Yesus mengetahui tujuan dari pertanyaan ini, yang merupakan satu jebakan. Kemudian Yesus berkata “Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik?” Sebelum menjawab pertanyaan mereka, Yesus menunjukkan kedegilan dan kemunafikan hati mereka. Dari sini, kita dapat belajar, bahwa satu perbuatan secara moral dapat dipertanggungjawabkan, kalau juga disertai maksud yang baik, tentu saja harus dibarengi dengan perbuatan (obyek moral) dan kondisi yang baik, yang dapat diterangkan sebagai berikut:

1) Objek moral (moral object), yang merupakan obyek fisik yang berupa tujuan yang terdekat (proximate end) dari sesuatu perbuatan tertentu (sifat dasar perbuatan) di dalam terang akal sehat.

2) Keadaan (circumstances) yaitu keadaan di luar perbuatan tersebut, tetapi yang berhubungan erat dengan perbuatan tersebut, seperti kapan dilakukan, di mana, oleh siapa, berapa banyak, bagaimana dilakukannya, dan dengan bantuan apa.

3) Maksud/tujuan (intention) yaitu tujuan yang lebih tinggi yang menjadi akhir dari perbuatan tersebut.

4. Ayat 19-21: Jawaban Yesus tentang keadilan

Jawaban Yesus, bukanlah sebatas “ya” atau “tidak”, namun Yesus menjawab dengan menggunakan argumentasi yang sungguh luar biasa dan jauh di atas perkiraan mereka. Mereka, yang mungkin berharap bahwa Yesus akan menjawab untuk tidak perlu untuk membayar pajak kepada kaisar, akhirnya harus terperangah dengan jawaban Yesus. Yesus meminta agar mereka menunjukkan mata uang untuk membayar pajak (ay.19) dan meminta agar mereka menjawab gambar dan tulisan siapa di koin tersebut. (ay.20) Kemudian di ayat 21 mereka menjawab bahwa itu adalah gambar dan tulisan kaisar. Dan kemudian Yesus menjawab “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” Jawaban ini mengajarkan kita akan beberapa hal berikut ini:

a. Gambar kaisar dan gambar Allah

Di ayat 20, Yesus bertanya tentang gambar siapa di dalam koin untuk membayar pajak, yang kemudian di ayat 21 dijawab bahwa itu adalah gambar kaisar. Dan kemudian Yesus mengatakan, bahwa karena koin tersebut mempunyai gambar kaisar, maka koin tersebut harus kembali kepada kaisar. Implikasi dari hal ini, maka manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah (Kej 1:27), juga harus memberikan diri seutuhnya kepada Allah.

b. Menerapkan prinsip keadilan

Prinsip keadilan mengatakan bahwa kita harus memberikan kepada seseorang (termasuk Tuhan) apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, Kristus mengajarkan agar kita memberikan keadilan kepada penguasa dengan memberikan apa yang menjadi kewajiban kita kepada penguasa dan pada saat yang bersamaan memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan. Keadilan kepada Tuhan diberikan oleh manusia dalam bentuk kebajikan agama (religion), karena Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara manusia patut mendapatkan pujian dan sembah, yang diwujudkan dalam agama.

Di dalam komunitas dan masyarakat, kita mengenal adanya keadilan, yang disebut: keadilan komutatif, keadilan distributif dan keadilan legal. ((St. Thomas Aquinas, Summa Theology, II-II, q.61, a.1)) Keadilan tersebut mengatur hubungan antar individu atau antar bagian (disebut keadilan komutatif), antara bagian ke keseluruhan (disebut keadilan legal) serta mengatur keseluruhan ke individu (disebut keadilan distributif). Kita melihat Katekismus Gereja Katolik memberikan penjelasan sebagai berikut:

KGK 2411 Kontrak-kontrak berada di bawah tuntutan keadilan komutatif, yang mengatur pertukaran antara pribadi-pribadi dengan memperhatikan hak-hak mereka dengan seksama. Keadilan komutatif wajib sifatnya. Ia menuntut bahwa orang melindungi hak-hak pribadi, membayar kembali utang, dan memegang teguh kewajiban-kewajiban yang telah diterima dengan sukarela. Tanpa keadilan komutatif, tidak mungkin ada suatu bentuk keadilan yang lain. Keadilan komutatif dibedakan dari keadilan legal, yang menyangkut kewajiban para warga negara terhadap persekutuan dan dari keadilan distributif yang mengatur, apa yang harus diberikan persekutuan kepada para warganya, sesuai dengan sumbangan dan kebutuhan mereka.

KGK 2412 Demi keadilan komutatif, kewajiban untuk ganti rugi menuntut bahwa orang mengembalikan barang yang dicuri kepada pemiliknya.Yesus memuji Zakheus karena janjinya: “Sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang, akan kukembalikan empat kali lipat” (Luk 19:8). Siapa yang secara langsung atau tidak langsung mengambil milik orang lain, berkewajiban untuk mengembalikannya, atau membayarnya kembali dengan uang tunai atau dalam natura; demikian juga mengganti kerugian bunga atau manfaat yang pemilik sah dapat terima darinya. Siapa yang dengan salah satu cara telah mengambil keuntungan darinya dengan radar, umpamanya siapa yang menyuruhnya atau yang telah bekerja sama atau yang melindunginya, berkewajiban untuk ganti rugi sesuai dengan tanggung jawab dan keuntungannya.

Hubungan antara individu diatur berdasarkan kesetaraan dan hubungan persekutuan kepada warganya diatur berdasarkan proporsi. Dan setiap individu harus memberikan dirinya kepada persekutuan untuk mencapai kebaikan bersama.

c. Menempatkan Tuhan lebih dari segala sesuatu

Karena “hal yang kekal” lebih utama daripada “hal yang sementara”, maka kewajiban kepada Tuhan harus lebih utama daripada kewajiban kepada kaisar atau sesuatu yang bersifat sementara. Karena jiwa lebih utama daripada tubuh, maka kepentingan spiritualitas harus ditempatkan lebih tinggi daripada kepentingan tubuh. Kewajiban umat beriman untuk menjadi warga negara yang baik ditegaskan oleh Katekismus Gereja Katolik sebagai berikut:

KGK, 2238Mereka yang berada di bawah wewenang harus memandang pimpinannya sebagai pengabdi Allah, yang telah menempatkan mereka untuk mengurus anugerah-Nya (Bdk. Rm 13:1-2.): “tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia… hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalah gunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah” (1 Ptr 2:13.16). Keterlibatan yang loyal memberi hak kepada warga negara, dan kadang-kadang malahan kewajiban, untuk memberi kritik atas cara yang cocok, apa yang rasanya merugikan martabat manusia atau kesejahteraan umum.

KGK, 2239Kewajiban warga negara ialah bersama para pejabat mengembangkan kesejahteraan umum masyarakat dalam semangat kebenaran, keadilan, solidaritas, dan kebebasan. Cinta kepada tanah air dan pengabdian untuk tanah air adalah kewajiban terima kasih dan sesuai dengan tata cinta kasih. Ketaatan kepada wewenang yang sah dan kesiagaan untuk kesejahteraan umum menghendaki agar para warga negara memenuhi tugasnya dalam kehidupan persekutuan negara.

KGK, 2240Ketaatan kepada wewenang dan tanggung jawab untuk kesejahteraan umum, menjadikannya suatu kewajiban moral untuk membayar pajak, melaksanakan hak pilih, dan membela negara.

“Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut, dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat” (Rm 13:7).

Orang Kristen “mendiami tanah airnya sendiri, tetapi seperti orang asing yang bertempat tinggal tetap. Mereka mengambil bagian dalam segala sesuatu sebagai warga negara, dan mereka menanggung segala sesuatu sebagai orang asing… mereka taat kepada hukum yang dikeluarkan, dan dengan cara hidup mereka sendiri mereka melebihi hukum itu…. Allah telah menempatkan mereka di suatu tugas yang begitu penting dan mereka tidak diperbolehkan menarik diri dari sana” (Diognet 5,5.10; 6,10).

Paulus mengajak kita supaya berdoa dan mengucapkan syukur bagi penguasa dan bagi semua orang yang menjalankan kuasa, “agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan” (1 Tim 2:2).

Meskipun demikian, ketaatan terhadap pemerintah tidak dapat melebihi ketaatan kita kepada Allah. Jadi, peraturan-peraturan yang melanggar hukum kodrati dan hukum Allah tidak dapat ditaati. Katekismus Gereja Katolik menuliskan:

KGK, 2242: Warga negara mempunyai kewajiban hati nurani untuk tidak menaati peraturan wewenang negara, kalau peraturan ini bertentangan dengan tata kesusilaan, hak asasi manusia atau nasihat-nasihat Injil. Menolak mematuhi wewenang negara, kalau tuntutannya berlawanan dengan hati nurani yang baik, menemukan pembenarannya di dalam perbedaan antara pelayanan terhadap Allah dan pelayanan terhadap negara. “Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21). “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis 5:29).” Bila para warga negara mengalami tekanan dari pihak pemerintah yang melampaui batas wewenangnya, hendaknya mereka jangan menolak apa pun, yang secara obyektif memang dituntut demi kesejahteraan umum. Tetapi boleh saja mereka memperjuangkan hak-hak mereka serta sesama warga negara melawan penyalahgunaan kekuasaan itu, dengan tetap mengindahkan batas-batas” yang digariskan oleh hukum kodrati dan Injil” (Gaudium et Spes 74,5).

5. Ayat 22: Kaum Farisi pergi dengan tangan hampa

Prinsip yang begitu benar dan indah yang diberikan oleh Yesus membuat kaum Farisi dan kaum Herodian menjadi heran dan kemudian mereka pergi. Tidak diceritakan lagi apakah mereka kemudian percaya akan perkataan Yesus atau tidak. Namun, yang pasti, keinginan mereka untuk menjerat Yesus tidak berhasil.

IV. Keadilan dan damai sejahtera akan berciuman

Perikop di atas memberikan gambaran akan keadilan, yaitu memberikan apa yang menjadi hak orang lain, termasuk Tuhan. Kalau keadilan dapat diterapkan, maka damai sejahtera akan muncul. Kitab Mazmur mengatakan “Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman.” (Mzm 85:11) Jadi, kalau kita mau menciptakan damai sejahtera, maka mulailah dengan bersikap adil. Dengan demikian, keadilan akan bertemu dengan damai sejahtera dalam satu kesatuan.

Doa Rosario : it’s all about Jesus and His love to me

22
Source: wikipedia - A rosary found on board the carrack Mary Rose

Saya memandangi rosario di tangan saya. Dari bahan apapun terbuatnya, butir-butir itu tampak begitu bersahaja. Sesederhana doa-doa berulang yang saya ucapkan di setiap butirnya. Bagaikan kesederhanaan seorang gadis bersahaja di kota kecil Nazaret di Galilea, yang sangat rendah hati dan tulus, yang menyerahkan sepenuhnya keputusan hidupnya pada Allah. Saya tidak ingat lagi pada usia berapa di hidup saya terjadinya awal perkenalan saya dengan benda berbutir-butir yang terangkum menjadi satu untaian ini. Sama seperti reaksi Bunda Maria yang pertama kali terbaca di dalam Kitab Suci adalah rasa terkejut dan kemudian tidak mengerti, dulu saya juga tidak paham mengapa harus mengulangi doa yang sama sebanyak lima kali sepuluh, dan mengapa saya tidak langsung saja berdoa kepada Bapa. Sama seperti seluruh rencana Allah adalah suatu misteri yang amat besar bagi Bunda dalam seluruh perjalanan hidupnya. Bahkan dalam setiap episode perjalanan hidupnya bersama Yesus, ia tidak pernah bisa membayangkan, apalagi memperkirakan, episode seperti apa yang akan dialaminya di hadapan. Semuanya begitu penuh kejutan dengan banyaknya tantangan dan kesukaran. Sampai kemudian di akhir seluruh rancangan yang dijalaninya itu, ia mendapati dirinya dengan hati yang remuk memeluk tubuh Putera-Nya yang bersimbah darah dalam keadaan kaku tidak bernyawa setelah diturunkan dari kayu salib yang hina di mana hidup-Nya berakhir. Namun dengan lemah lembut, ia hanya menyimpan dan merenungkan semua itu dalam hatinya, hatinya yang selalu percaya, percaya sepenuhnya kepada kebaikan dan kebijaksanaan Tuhan.

Demikianlah perjalanan hidup ini saya juga tidak pernah tahu akan menuju ke mana. Rencana Allah dan skenario penyelamatan-Nya yang begitu agung bagi keselamatan saya, juga masih selalu menyisakan misteri bagi akal budi saya. Tetapi, karena butir-butir rosario yang meluncur di antara jemari saya itulah, sambil mendaraskan doa yang sama setiap kali, saya merasa dibimbing oleh Bunda Maria untuk meyakini kasih Allah di balik setiap episode kehidupan yang merupakan misteri itu. Bunda sudah membuktikannya. Ketaatan dan kerendahan hatinya untuk mengatakan ‘ya’ kepada setiap skenario Allah, membuat saya dan seluruh umat manusia di bumi bisa melihat sebuah akhir yang selalunya baik, akhir yang indah dan penuh kemenangan, dari rangkaian peristiwa kehidupan yang panjang dan penuh liku, yang selalu menyisakan ketidakmengertian yang tak berujung bagi akal budiku. Semuanya baik, karena Bunda bertahan sampai akhir. Keyakinan bahwa semuanya akan baik dan semuanya memang baik seperti halnya Bunda sudah menunjukkan teladan itu kepada saya, membuat dalam ketidakmengertian saya, saya berani mencoba berseru dengan penuh keyakinan bersama Bunda, “Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”. Ungkapan seperti itu hanya bisa dinyatakan kepada sosok Tuhan yang selalu mempunyai rancangan yang baik dan tahu memegang kendali untuk membuat segalanya baik. Tak peduli betapapun berat dan pahit prosesnya di tengah-tengah, tetapi bersama Dia dan di dalam Dia, semuanya baik, dan akan berakhir baik. Dan orang pertama yang memberi saya contoh bahwa harapan seperti itu bukanlah harapan yang kosong adalah Bunda Maria, melalui keteladanan seluruh hidupnya.

Sejak pertama kali belajar untuk mengenal siapakah Yesus itu bagi saya, saya semakin menyadari dengan bertambahnya usia, bahwa proses perjalanan mengenal Yesus dan kehendak-Nya bukan proses setahun atau sepuluh tahun, melainkan proses seumur hidup. Saya menemukan bahwa sebagai doa yang dipanjatkan dengan perantaraan Bunda Maria, doa Rosario menolong saya untuk menghayati mengapa Yesus yang adalah Tuhan dan Raja, sudi datang ke dunia untuk menjadi sama seperti saya, dan membebaskan saya dari semua ikatan dunia dan dosa yang membebani manusia. Doa Rosario membawa saya melangkah lebih jauh dalam iman untuk terus menerus diingatkan pada teladan pengurbanan cinta Kristus dan disemangati oleh kerendahan hati Bunda untuk terus mencontoh keteladanan itu, betapapun sulitnya. Hal itu dimungkinkan karena dari seluruh judul dalam peristiwa-peristiwa doa Rosario, hampir seluruhnya bercerita tentang Yesus dan perjalanan hidup-Nya sebagai manusia, hingga kenaikan-Nya ke Surga. Ada empat kategori peristiwa, yaitu Peristiwa Gembira (didoakan hari Senin dan Sabtu), Sedih (didoakan Selasa dan Jumat), Mulia (didoakan Rabu dan Minggu), dan Terang (didoakan Kamis). Masing-masing kategori mempunyai lima peristiwa untuk direnungkan, jadi seluruhnya ada 20 peristiwa, dan dari semua itu nama Bunda Maria hanya disebutkan sebanyak empat kali sebagai judul peristiwa. Dua kali di awal Peristiwa Gembira (Maria menerima kabar dari malaikat dan Maria mengunjungi Elizabeth) serta dua kali di akhir Peristiwa Mulia (Maria diangkat ke Surga dan Maria dimahkotai di Surga). Selebihnya semuanya mengenai Yesus dan yang mengenai Maria pun intinya bercerita tentang Yesus. Sama seperti seorang ibu yang tidak tertarik menceritakan dirinya sendiri atau mencari pujian bagi dirinya sendiri pada saat menceritakan mengenai anak yang dikasihinya, sebagai ibu yang melahirkan-Nya ke dunia, Bunda mengajarkan saya untuk mengenal Yesus lebih baik dan berjalan setiap hari bersama Dia di jalan keteladanan-Nya. Ya, doa Rosario adalah doa Yesus, because it’s all about Jesus, it’s all about His love to me, dan membantu saya untuk terus memahami dan mengalami cinta-Nya kepadaku.

Pengalaman Bunda Maria yang direnungkan secara khusus di dua peristiwa pertama dalam Peristiwa Gembira dan di dua peristiwa terakhir dalam Peristiwa Mulia, menggambarkan bahwa karya keselamatan Allah diawali dari kerjasama Bunda Maria, dan kelak, penggenapan rencana keselamatan-Nya bagi kita juga seperti yang dilakukan Allah kepada Bunda Maria. Sebab jika kita bekerja sama dengan rahmat Allah seperti halnya Bunda Maria, maka kelak kita akan pula menerima janji keselamatan dan mahkota kehidupan sebagaimana digenapi Tuhan di dalam hidup Bunda Maria.

Tuhan Yesus mengatakan dalam Yoh 15:5, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”. Bagaimana saya bisa selalu dekat pada Yesus, bahkan tinggal di dalam Dia dan menyukakan hati-Nya sehingga saya bisa berbuah banyak? Mengerti apa yang menjadi kehendak-Nya, dan terus berjalan di dalam keteladanan pengorbanan salib-Nya yang kudus? Salah satu jawabannya ialah dengan selalu berjalan bersama ibu-Nya dalam doa Rosario. Teladan Bunda Maria mengajarkan saya untuk bertahan dalam kerendahan hati, mempunyai sikap bergantung sepenuhnya kepada Allah, mudah memaafkan dan mengerti sesama, peka terhadap kebutuhan dan kesusahan orang lain, tidak cepat menghakimi suatu peristiwa / sesama yang tidak mengenakkan, merasa diri selalu membutuhkan rahmat pengampunan Tuhan, dan mengajak saya terus menerus mengintrospeksi diri apakah hidup saya sudah selalu selaras dengan cita-cita Puteranya. Doa Rosario membuat saya tidak pernah jauh dari Yesus.

Melalui perenungan peristiwa-peristiwa Rosario, Bunda Maria membawa saya mengenal Alah Tritunggal. Saya belajar dari interaksi Bunda dengan Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus, yang ketiganya saling bersinergi mencapai tujuan keluhuran dan kebahagiaan kekal bagi seluruh umat manusia. Sinergi ketiganya terwujud karena ketaatan Bunda sebagai media penyambung keseluruhan kesempurnaan rancangan-Nya. Bunda mengatakan “ya” kepada Allah Bapa melalui instruksi Malaikat Gabriel yang memberikan kabar gembira kepadanya dalam Peristiwa Gembira. Bunda mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mendampingi sampai akhir Allah Putera yang menjadi manusia dengan misi kesetiaan-Nya untuk menjadi Juruselamat dunia. Kesemuanya dalam Peristiwa Gembira, Sedih, serta Peristiwa Terang (yaitu saat Yesus mengubah air menjadi anggur di Kana. Di Kana itu juga saya diingatkan lagi, bahwa segala kerinduan, kebutuhan, dan keputusasaan saya, segera ditangkap Bunda untuk dibawanya kepada Puteranya, “Mereka kehabisan anggur”). Dan setelah kenaikan Puteranya ke Surga, dalam Peristiwa Mulia, Bunda berkumpul bersama para rasul untuk berdoa dengan tekun dan sehati demi menantikan kedatangan Allah Roh Kudus yang menyempurnakan keseluruhan rencana indah Allah Tritunggal bagi seluruh umat manusia.

Hidup manusia yang singkat ini memang penuh misteri, dan kehendak Bapa yang menciptakan manusia juga sebuah misteri agung yang sering tak terselami. Tetapi kita tidak sendiri dalam menempuh semuanya itu. Dalam perjalanan seumur hidup untuk mengerti dan menjalani kehendak Bapa, Bunda Maria selalu di sisi kita mendampingi perjalanan itu, memastikan kita tidak tersesat atau keliru mengambil jalan, untuk mencapai tujuan akhir yang sesungguhnya dari hidup yang fana ini. Sampai akhir hidup ini, dan bahkan hingga melewati hidup, Bunda Maria mendoakan Anda dan saya. “…Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati, Amin.”

Terima kasih Bunda Maria, atas cinta dan teladan kudus yang engkau tunjukkan kepada kami, terima kasih atas doa dan penyertaanmu yang penuh kesetiaan dalam perjalanan iman kami di dunia. (Triastuti)

Keutamaan Petrus (5): Dalam Gereja di Lima Abad Pertama

20

Keberatan dan Jawaban

Banyak orang yang menolak doktrin tentang keutamaan kepemimpinan dan infalibilitas Bapa Paus, mengemukakan alasannya bahwa doktrin itu tidak diajarkan pada abad- abad awal. Namun sebenarnya ini bukan argumen yang baik; sebab kita mengetahui bahwa kanon Kitab Suci dan juga doktrin tentang Allah Trinitas, juga baru dinyatakan secara definitif di abad ke-4, walaupun doktrin itu sudah ada sejak awal mula Gereja. Apakah dengan demikian artinya Tuhan Yesus tidak dengan jelas mengajarkan tentang Trinitas dan ajaran yang dituliskan dalam Kitab Suci? Tentu saja tidak. Kedua hal itu, termasuk juga hal kepausan telah ada di dalam Kitab Suci seperti halnya sebuah embrio, yang terus mengalami pertumbuhan organik di dalam Gereja. Ini seperti pertumbuhan biji menjadi pohon yang rimbun (lih. Mat 13:31-32).

Keberatan lainnya berkaitan dengan hal otoritas. Seperti halnya di bidang lain -bisnis, keluarga dan organisasi- hal otoritas dapat menjadi akar dari perselisihan; tak terkecuali juga dengan Gereja. Otoritas Gereja ditentang dari semua segi. Kita sering mendengar pandangan yang demikian, “Gereja Katolik memerlukan pemimpin yang kelihatan bagi Gerejanya, sedangkan kami di gereja non- Katolik tidak, sebab kami mempunyai Kristus sebagai Pemimpin kami yang tidak kelihatan.” Apakah pernyataan ini benar? Sebenarnya, tidak juga, sebab kenyataannya gereja- gereja non Katolik masih tetap memiliki pastor/ pendeta (yang kelihatan) untuk memimpin gereja mereka. Apakah Kristus tidak dapat melakukan hal ini bagi mereka? Mengapa mereka tetap memiliki pemimpin yang kelihatan juga, seperti Gereja Katolik? Jawabannya sederhana saja, sebab Kristus sebagai Kepala keluarga (Ef 3:14-15), melibatkan juga kepemimpinan orang- orang tertentu yang memang telah ditugaskan-Nya untuk mengambil bagian dalam hal otoritas kepemimpinan-Nya. Ini sama seperti kepemimpinan seorang ayah dalam keluarga. Maka jika di gereja- gereja non Katolik ada pendeta pemimpin jemaat, maka sangat wajarlah jika di Gereja Katolik juga ada Bapa Paus yang menjadi pemimpin seluruh umat Katolik di dunia.

Melalui artikel seri Keutamaan Paus ini telah kita ketahui dasar Kitab Suci, bukti- bukti yang menunjukkan keberadaan Petrus di Roma, kepemimpinannya, yang jelas terlihat dalam surat- surat Bapa Gereja abad- abad awal. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Roma tidak pernah mensyaratkan pengakuan dari gereja- gereja di lainnya, sebab kepemimpinannya sudah diterima dengan damai. ((lihat J. Michael Miller, The Shepherd and the Rock, (Huntington, Ind: Our Sunday Visitor, 1995), 88)). Dari tulisan para Bapa Gereja kita ketahui bahwa jika sampai terjadi perselisihan di Gereja- gereja lokal, maka mereka akan datang kepada Uskup untuk menyelesaikannya dan akhirnya para Uskup itu akan meminta dukungan dari Roma.

Apa yang diajarkan oleh sejarah Gereja di lima abad pertama?

((disarikan dari Stephen Ray, Upon This Rock, (San Francisco: Ignatius Press, 1999), p. 145-242. Sebelum menjadi Katolik, Stephen Ray adalah seorang Evangelis non Katolik. Ia menyadari bahwa hal yang paling membedakan antara Katolik dan non- Katolik adalah hal otoritas. Maka ia mempelajari Kitab Suci dan tulisan jemaat di lima abad pertama, untuk membuktikan bahwa hal keutamaan Petrus sudah ada sejak Gereja awal.))

1. Cardinal Newman, menjelaskan demikian:

“…. ketika para rasul masih ada, maka tidak diperlukan kuasa Uskup maupun Paus, karena kuasa itu telah dilakukan oleh para Rasul itu sendiri. Sejalan dengan waktu, kuasa Uskup terlihat dengan sendirinya, dan kemudian kuasa Paus. Ketika para Rasul tidak ada lagi, dunia Kristiani tidak dengan sendirinya terbagi menjadi beberapa bagian; tetapi beberapa daerah lokal dapat mengalami perselisihan internal, dan sebagai akibatnya pemimpin lokal diperlukan… Ketika Gereja ditinggal sendiri [tanpa para rasul], gangguan lokal mengakibatkan perlunya kuasa uskup- uskup, dan gangguan ekumenikal [Gereja yang satu dengan yang lain] mengakibatkan perlunya kuasa Paus…. Adalah lebih sedikit kesulitannya bahwa keutamaan Paus tidak [belum] diakui secara resmi di abad ke-2 daripada kesulitannya bahwa tidak ada pengakuan resmi tentang doktrin Trinitas sampai abad ke-4. Tidak ada doktrin didefinisikan, sampai doktrin tersebut dilanggar.” ((John Henry Cardinal Newman, An Essay on the Development of Christian Doctrine 4,3,2 and 4, in Consciense, Consensus, and the Development of Doctrine (New York: Double Day, 1992), 157-158. Cardinal Newman adalah seorang imam gereja Anglikan, sebelum bergabung dalam Gereja Katolik, dan menjadi Kardinal )).

Maka, jika doktrin itu belum dijabarkan secara tertulis, bukan berarti bahwa ajaran itu tidak ada. Namun pada saat ada pelanggarannya di tempat- tempat tertentu, maka Gereja perlu untuk kembali kepada ajaran awal dari para rasul, dan kepada kuasa mengajar dari Rasul Petrus dan para penerusnya, untuk meluruskan dan menjabarkan ajaran tersebut dengan lebih jelas. Inilah yang terjadi pada ajaran tentang Keutamaan Paus dan Trinitas. Tentang Trinitas, sebelum didefinisikan dengan jelas di Konsili Nicea (325), doktrin tersebut sudah diajarkan oleh para Bapa Gereja di abad- abad sebelumnya, seperti pernah dibahas di sini, silakan klik. Sedangkan tentang keutamaan Petrus dan para penerus Petrus di abad pertama nyata dari dokumen paling awal Gereja dari St. Clement dan St. Ignatius dari Antiokhia, seperti sudah pernah ditulis di sini, silakan klik.

2. Para Bapa Gereja mengartikan perikop Mat 16:18 secara literal dan allegoris/ simbolis

Perikop Kitab Suci umumnya mempunyai arti literal, namun dapat juga mempunyai arti dan penerapan lainnya (allegoris, moral, anagogis). Perikop Mat 16, secara literal dapat diartikan sebagai penugasan kepada Rasul Petrus, yang diberikan oleh Kristus. Jika ada Bapa Gereja (misalnya Origen, St. Agustinus) yang mengajarkan bahwa Batu Karang yang disebutkan di sana adalah Kristus, ataupun pengakuan Petrus, ataupun iman Petrus, mereka tidak menolak arti literal dari perikop tersebut.

John Lowe seorang teolog Anglikan menulis, “Pernyataan “Kamu adalah Petrus (Kefas) dan di atas batu karang (kefas) ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku” harus diambil sebagai mengacu kepada Rasul Petrus sendiri. Walaupun benar juga jika dikatakan bahwa pada akhirnya Kristus itulah Batu Karang, (lih. Mat 21:42 dan 1 Kor 3:11), hal itu tidak dikatakan di sini. Dan walaupun juga wajar untuk menjelaskan bahwa batu karang-nya adalah iman Petrus yang melaluinya ia [Petrus] telah mengakui bahwa Yesus adalah Mesias. Tidak diragukan ini adalah dasar homili untuk menjelaskan ke- Mesias-an Tuhan Yesus dan iman Petrus; tetapi dari sudut pandang eksegesis murni… adalah tidak mungkin untuk menyatakan bahwa artinya mengacu kepada kedua arti di atas. Di sini jelas, permainan katanya mengharuskan identifikasi batu karang dengan seseorang yang bernama Petrus. Keengganan untuk menerima hal ini…. disebabkan karena sadar atau tidak sadar berkaitan dengan apa yang disebut kontroversi persyaratan pengakuan [iman Petrus, menurut Protestan]…. Jika kita memutuskan diri dengan kontroversi ini dan melihat hanya kepada teksnya sendiri, kita harus, menurut pandangan saya, setuju bahwa Petrus sendiri-lah yang disebut di sini sebagai batu karang yang di atasnya Gereja akan dibangun.” ((John Lowe, Saint Peter (New York: Oxford Univ. Press: 1956), p. 55-56))

Kesaksian Para Bapa Gereja

Mari sekarang kita melihat cuplikan tulisan para Bapa Gereja sejak abad pertama sampai dengan abad kelima, untuk mengetahui bahwa sudah sejak awal Gereja mengakui keutamaan Rasul Petrus dan para penerusnya, sebagai pemimpin tertinggi Gereja, yang mempunyai kuasa mengajar, memimpin dan menjaga kesatuan Gereja, sesuai dengan apa yang diterima dari Kristus dan para rasul.

St. Yustinus Martir (100- 165)

“Sebab [Kristus] memanggil salah satu murid-Nya- yang dulunya dikenal dengan nama Simon- sebagai Petrus; sebab ia mengenali-Nya sebagai Kristus, Anak Allah yang hidup, dengan wahyu dari Allah Bapa: dan sejak itu kita menemukannya terekam di dalam ingatan para rasul-Nya bahwa Ia [Kristus] adalah Anak Allah….” ((St. Yustinus Martir, Dialogue with Trypho 100, 4-5, ANF 1:249))

Kutipan ini adalah salah satu kutipan awal dari perikop Mat 16 dalam ajaran Bapa Gereja. Di sini memang tujuan St. Yustinus adalah untuk menyatakan ke- Allahan Yesus, untuk menanggapi ajaran sesat di abad pertama yang umumnya berfokus menentang Pribadi Yesus sebagai Anak Allah, seperti pada ajaran Gnostik. Menanggapi ajaran sesat ini, St. Yustinus mengacu kepada perikop Mat 16; yang juga menunjukkan keutamaan Petrus sebagai seorang Rasul Kristus yang menerima wahyu dari Allah Bapa sendiri, sehingga ia dapat mengatakan bahwa Kristus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup.

St. Polycarpus (69- 155)

Dalam suratnya kepada Victor dari Roma, St. Irenaeus menjelaskan bahwa ketika St. Polycarpus ke Roma pada masa Paus Anicetus, mereka tidak setuju tentang hal- hal sehubungan dengan cara perayaan Paskah. Namun mereka segera berdamai dan tidak bertengkar. Polycarpus memutuskan untuk mengikuti tradisi dari Rasul Yohanes, sedangkan Anicetus mempertahankan tradisi yang diturunkannya dari Rasul Petrus. Keduanya saling menghargai dan memelihara perdamaian dengan seluruh Gereja. ((St. Irenaeus, Letter to Victor of Rome, quoted in Eusebius 5, 24, 16-17, NPNF 2, 1:243-244)) Polycarpus yang datang ke Roma dan bertemu Paus Anicetus, tidak dapat mempengaruhi Paus Anicetus untuk menerima tradisi Rasul Yohanes [dalam memperingati Paska] sebab Paus memilih untuk melestarikan apa yang sudah diterimanya dari para pendahulunya [yaitu para penerus rasul Petrus].

Paus St. Soter (166- 174), Paus urutan ke 11 dari Rasul Petrus.

Ahli sejarah Eusebius mengutip tulisan Dionysius kepada Gereja di Roma, kepada Paus Soter, demikian:

“Sebab dari semula, sudah menjadi kebiasanmu untuk berlaku baik terhadap semua saudara seiman dalam berbagai cara, dan untuk mengirimkan bantuan kepada banyak gereja di setiap kota. Dengan demikian membantu mereka yang membutuhkan… engkau, Gereja Roma, mempertahankan tradisi jemaat ini, yang oleh Uskupmu yang terberkati, Soter … tidak hanya dipertahankan melainkan dilengkapi, untuk memenuhi kebutuhan para orang kudus, dan menghibur saudara/i yang di luar negeri [di luar Roma] dengan perkataan berkat, sebagai bapa yang mengasihi anak- anaknya.” ((Eusebius, Church History 4, 23, NPNF 2, 1:201)).

St. Pothinus, Uskup Lyons (77-177)

Pothinus, Uskup Lyons, Gaul menuliskan surat kepada Paus Eleutherus, ketika Gereja di Gaul dilanda heresi (ajaran sesat) Montanism, demikian:

“Kami berdoa, Bapa Eleutherus, agar engkau dapat bergembira di dalam Tuhan dalam segala sesuatu dan selalu. Kami memohon kepada saudara kami dan saudara Irenaeus untuk membawa surat ini kepadamu, dan kami mohon kepadamu untuk menghargainya sebagai seseorang yang bersemangat bagi perjanjian Kristus. Sebab jika jabatan [uskup] dapat menyampaikan kebenaran kepada seseorang, kita harus menugaskan dia [Irenaeus] di antara yang pertama sebagai penatua Gereja…” ((Eusebius, Church History 5, 4, NPNF2, 1:219)). Pothinus akhirnya wafat secara mengenaskan oleh penganiayaan di bawah penguasa Roma, Marcus Aurelius. Perhatikan bahwa di surat ini Pothinus memanggil Eleutherus dengan sebutan Bapa, yang merupakan permohonan kepada Roma agar tidak mentolerir heresi Montanism, yaitu dengan merekomendasikan calon uskup Lyon yang baru yang sangat anti ajaran sesat, yaitu Irenaeus.

St. Hegesippus dari Syria (180)

St. Hegesippus adalah seorang yang hidup setelah para rasul, dan seorang sejarahwan Gereja abad awal. Ia menulis lima buku, Memoirs, untuk menentang ajaran sesat Gnosticism. Ia mengunjungi Roma saat Anicetus menjadi Paus (155-166). Di dalam bukunya, ia menuliskan perjalanannya untuk mengumpulkan informasi tentang ajaran yang benar dari para rasul di berbagai pusat agama Kristen. Di Roma ia bertemu dengan banyak uskup, dan ia menerima ajaran yang sama dari mereka semua. ((lih. Eusebius, Church History 4, 22, 1, NPNF2, 1:198))

“Gereja di Korintus terus berlangsung dalam iman yang benar sampai Primus menjadi Uskup Korintus…. Ketika saya datang ke Roma, saya menetap di sana sampai [masa] Anicetus yang diakonnya bernama Eleutherus. Dan Anicetus dilanjutkan oleh Soter, dan Soter oleh Eleutherus…” ((Eusebius, Church History 4, 22, 2-3 NPNF2, 1:198-99)). Hegesippus mengkoleksi catatan data suksesi Paus dari Rasul Petrus sampai ke jamannya. Suksesi tidak hanya di Roma, tetapi juga di keuskupan lainnya.

Jika suksesi apostolik adalah ajaran yang salah, atau bertentangan dengan ajaran para rasul, maka harusnya para penulis jaman abad awal menentangnya sejak awal, seperti halnya yang dilakukan mereka terhadap ajaran- ajaran sesat. Namun kenyataanya, jalur apostolik ini malah dituliskan oleh banyak jemaat awal.

St. Victor, Uskup Roma ke- 13 setelah Rasul Petrus (189-198)

Berikut ini adalah surat dari Polycrates kepada Paus Victor (198) yang membahas masalah perayaan hari Paskah, di mana semua Gereja sepakat untuk melaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Victor selaku Uskup Roma. Berikut ini yang dikutip oleh Eusebius:

“Sinode dan kongres para uskup diadakan untuk kepentingan ini [atas perintah Paus Victor] dan semuanya, dengan satu kesepakatan, melalui korespondensi yang timbal balik membuat dekrit gerejawi, bahwa misteri kebangkitan Tuhan Yesus harus dirayakan pada hari Tuhan, bukan pada hari lainnya; dan bahwa kita harus menaati penutupan masa prapaska hanya pada hari ini….” ((Eusebius, Church History 5, 23, 2-3 NPNF2, 1:241-42))

Kemudian Eusebius juga mencatat bagaimana Uskup Roma mempraktekkan cara untuk menjaga kemurnian doktrin dan meng- ekskomunikasi para bidat.

“Dan mengapa mereka tidak malu untuk bicara salah tentang Victor…., ia [Victor] telah mengeluarkan Theodotus dari persekutuan …[Theodotus adalah] pemimpin dan bapa dari ajaran sesat yang mengingkari Tuhan, dan yang pertama menyatakan bahwa Kristus hanya manusia biasa saja? …Ini adalah tentang Victor. Masa kepemimpinannya berlangsung sepuluh tahun, dan Zephirinus ditunjuk sebagai penggantinya sekitar tahun ke-9 pada kejayaan Kaisar Severus.” ((Eusebius, Church History 5, 28, 2-3 NPNF2, 1:247))

St. Irenaeus (180)

St. Irenaeus menuliskan dalam bukunya Against Heresies, demikian:

“Karena … adalah terlalu panjang untuk dibahas di buku ini, untuk menuliskan suksesi [jalur apostolik] dari semua Gereja- gereja, kami menyalahkan mereka semua yang, dengan cara apapun, entah karena kesenangan diri sendiri yang jahat, karena mencari kemuliaan diri sendiri, atau karena ketidaktahuan dan pendapat yang keliru, bergabung dengan pertemuan- pertemuan yang tidak sah; ((Gereja perdana mengartikan ‘pertemuan yang tidak sah ini sebagai perkumpulan di luar Gereja Katolik. St. Ignatius dari Antiokhia menyebutkan tentang hal ini demikian, “Siapapun yang mengikuti ia yang membentuk skisma dalam Gereja, ia tidak akan masuk dalam Kerajaan Allah.” (Epistle to the Philadelphians 3,2, ANF 1:80)) [kami melakukan ini, aku mengatakan] dengan menunjukkan bahwa tradisi diperoleh dari para rasul, dari Gereja yang sangat besar, sangat tua, sangat luas dikenal sebagai Gereja yang didirikan dan dipimpin di Roma oleh kedua Rasul yang mulia, Petrus dan Paulus; sebagai iman yang dikhotbahkan kepada manusia, yang sampai kepada jaman kita oleh karena suksesi para uskup. Sebab adalah suatu kepastian bahwa setiap Gereja harus setuju dengan Gereja ini [Gereja Roma], oleh karena otoritasnya yang utama (pre-eminent authority (Inggris) / propter potiorem principalitatem (Latin), yaitu atas semua umat beriman di manapun berada, sepanjang tradisi apostolik telah dipertahankan oleh mereka [para uskup] yang ada di mana- mana.” ((St. Irenaeus, Against Heresies 3,3,4, ANF, 1:415-16))

Di sini jelas St. Irenaeus memberikan prioritas utama kepada Gereja Roma, dan bahwa Gereja Katolik mengajarkan bahwa para uskup mempertahankan tradisi apostolik melalui suksesi apostolik. Seperti Rasul Petrus adalah pemimpin para rasul, maka Gereja- gereja lain berada dalam kepemimpinan Gereja Roma.

“Pada masa Klemens, terjadi pertengkaran yang tidak kecil di antara jemaat di Korintus, Gereja Roma mengirimkan surat yang sangat berkuasa kepada Gereja Korintus, mendorong mereka agar berdamai, memperbaharui iman mereka, dan menyatakan tradisi yang telah diterimanya dari para rasul …. dari dokumen ini, siapapun yang mau, … dapat memahami tradisi apostolik Gereja, sebab Surat ini [surat Klemens] ada lebih dahulu daripada mereka yang sekarang menyebarluaskan ajaran sesat….  Klemens dilanjutkan dengan Evaristus, Allexander mengikuti Evaristus, lalu keenam dari para rasul, Sixtus, … sesudahnya, Teleforus yang menjadi martir; lalu Hyginus; sesudahnya, Pius; lalu sesudahnya Anicetus. Soter setelah melanjutkan Anicetus; Eleutherius, sekarang, di tempat ke duabelas dari para rasul… Dengan urutan ini, dan oleh suksesi ini, tradisi Gereja dari jaman para rasul dan pewartaan kebenaran dapat diturunkan kepada kita. Dan ini adalah bukti yang paling kuat bahwa terdapat iman yang satu dan sama, yang telah dijaga di dalam Gereja dari jaman para rasul sampai sekarang, dan diturunkan di dalam kebenaran.” ((St. Irenaeus, Against Heresies, 3,3,3, in ANF 1;416))

Dari pernyataan ini tidak dapat disangkal adanya keutamaan Gereja Roma yang diakui oleh St. Irenaeus, yang mengatasi Gereja- gereja yang lain. Di sini St. Irenaeus menyatakan bahwa ajaran sesat bukan sebagai ajaran yang menentang Kitab Suci, tetapi ajaran yang menentang Gereja yang memegang tradisi apostolik.

St. Klemens dari Alexandria (190-210)

St. Klemens dari Aleksandria adalah seorang Teolog Yunani, yang adalah murid dari St. Pantaenus. Ia kemudian menggantikan St. Pantaenus sebagai kepala sekolah kateketik, yang menjadi besar di bawah pimpinannya. St. Klemens mengatakan:

“Oleh karena itu, setelah mendengarkan perkataan itu, Rasul Petrus yang terberkati, yang terpilih dan yang utama, yang pertama dari para murid, yang hanya kepadanya Tuhan Yesus sendiri menghormatinya [Mat 17:27], dengan cepat menangkap dan memahami perkataan tersebut.” ((St. Clement of Alexandria, Who is the Rich Man that Shall be Saved? 21, ANF 2:597))

Tertullian (160-225)

Tertullian adalah seorang penulis yang lahir sekitar 60 tahun setelah wafatnya St. Yohanes Rasul. Di awal karirnya, Tertullian adalah seorang pembela iman yang orthodoks, namun menjelang akhir karirnya, ia bergabung dengan aliran sesat Montanism. Maka tulisan- tulisannya juga mencerminkan hal ini. Sebelum bergabung dengan Montanism di tahun 213, ia menulis demikian:

“Apakah ada yang ditahan dari pengetahuan Petrus, yang dipanggil, ‘batu karang yang atasnya Gereja akan didirikan’, yang juga memperoleh ‘kunci-kunci kerajaan surga,’ dengan kuasa, ‘melepas dan mengikat di surga dan di bumi?” ((Tertullian, On Prescription against Heretics 22, ANF 3:253))

Perkataan Tertullian ini menunjukkan salah satu bukti yang kuat bahwa para Bapa Gereja abad awal memahami bahwa ayat Mat 16:18 mengacu kepada Petrus sebagai ‘batu karang’ atau pondasi Gereja.

“Sesudah itu, … ia [Paulus] berkata, ‘ia pergi ke Yerusalem dengan maksud untuk bertemu dengan Petrus’ [Gal 1:18] karena jabatannya (Peter’s office), tidak diragukan lagi, dan demi kepentingan iman dan pengajaran yang sama. ((Tertullian, On Prescription against Heretics 23 ANF 3:254))

‘Jabatan’ yang dimaksud oleh Tertullian adalah seperti yang disebutkan dalam beberapa paragraf sebelumnya. Paulus menyebut Petrus sebagai ‘Kefas’ yang diidentifikasikan oleh Yesus sebagai ‘batu karang’. Paulus, meskipun dipanggil oleh wahyu Kristus, namun tidak melakukan tugasnya terlepas dari Rasul Petrus dan kesebelas rasul lainnya.

“Datanglah sekarang, jika kamu ingin mengikuti keingintahuan dalam urusan keselamatan, pergilah ke Gereja- gereja apostolik di mana di dalamnya tahta/ kursi para rasul masih ada; di mana di dalamnya tulisan- tulisan mereka yang otentik dibacakan…. Achaia ada didekatmu, dan kamu mempunyai Korintus. Jika kamu tidak jauh dari Makedonia, kamu mempunyai Filipi. Kalau kamu dapat menyeberang ke Asia, ada Efesus. Tetapi kalau kami dekat ke Italia, ada Roma, dari mana kami juga memperoleh otoritas. Berbahagialah Gereja itu, yang padanya para rasul menjabarkan pengajaran mereka bersamaan dengan darah mereka; di mana Petrus menjalani penderitaan seperti Kristus, di mana Paulus dimahkotai dengan kematian seperti Yohanes Pembaptis, di mana Yohanes Rasul setelah ditenggelamkan dalam minyak mendidih, tidak mengalami luka, dan diasingkan ke sebuah pulau.” ((Tertullian, On Prescription against Heretics 36, 1 in Jurgens, Faith of the Early Fathers 1:122. Ia juga mengajarkan demikian, “Siapakah yang menjaga iman yang benar? Siapa yang mempunyai Kitab Suci? Oleh siapa dan melalui siapa dan kapan dan kepada siapa ajaran diberikan yang membuat kita menjadi umat Kristen? Ia juga mengajarkan demikian, “Siapakah yang menjaga iman yang benar? Siapa yang mempunyai Kitab Suci? Oleh siapa dan melalui siapa dan kapan dan kepada siapa ajaran diberikan yang membuat kita menjadi umat Kristen? Sebab di manapun kebenaran ajaran Kristen dan iman berada, di sana juga berada Kitab Suci yang benar dan interpretasi yang benar dan semua tradisi Kristen yang benar.” ((James T. Shotwell and Louise Ropes Loomis, The See of Peter, (New York: Columbia, 1927 reprint, 1991) p. 289)).

Selanjutnya, terdapat juga puisi untuk melawan ajaran sesat Marcion. Puisi ini ditulis oleh seorang yang tak dikenal di Gaul, namun kemudian dilestarikan sebagai salah satu karya Tertullian. Puisi ini menjabarkan suksesi kepemimpinan Rasul Petrus dan para penerusnya: ((Poems against the Marcionites, 3, 276-96, In William Jurgen, The Faith of the Early Fathers, (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 1970), 1:390, written prior to 325, in Tertullian: Adversus Marcionem libri Quinque, in Jurgens))

Pada kursi kepemimpinan ini ia sendiri telah duduk, Petrus,
Di Roma yang mulia, memerintahlah Linus, yang pertama dipilih, untuk duduk,
Dan setelah itu, Cletus, juga menerima kawanan dombanya.
Sebagai penggantinya, Anacletus dipilih dengan undi.
Klemens mengikutinya, sebagai tokoh apostolik yang terkenal.
Setelah dia, Evaristus memimpin kawanan…
Alexander, suksesi ke- enam, mempercayakan kawanan kepada Sixtus.
Setelah masanya yang penuh cerita tergenapi, ia memberikannya kepada Telesphorus.
Ia adalah martir yang istimewa dan setia.
Setelah dia, adalah seorang yang mengerti hukum, dan guru yang baik …
Hyginus, pada tempat ke sembilan, kini menerima kursi kepemimpinan.
Lalu Pius, setelahnya, yang adalah saudara kandung Hermas,
seorang gembala yang seperti malaikat, sebab ia mengucapkan kata- kata yang disampaikan kepadanya;
Dan Anicetus, menerima bagiannya di dalam suksesi yang kudus.”

Origen (185- 254)

Origen adalah seorang Teolog yang dihormati di masa Gereja awal. Ia adalah murid St. Klemens dari Aleksandria. Origen mengatakan:

Petrus, yang di atasnya dibangun Gereja Kristus, yang tidak akan dikalahkan oleh alam maut, meninggalkan hanya satu Surat ….” ((Origen, Commentaries on John 5,3, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:202)) “Lihatlah pondasi Gereja yang kuat, batu karang yang besar dan kokoh itu, yang kepada siapa Kristus mendirikan Gereja-Nya!…” ((Origen, Homilies on Exodus 5,4, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:205)) “Meskipun ada banyak orang yang percaya bahwa mereka sendiri memegang ajaran Kristus, namun ada di antara mereka berpikir lain daripada para pendahulu mereka. Ajaran Gereja telah memang diturunkan melalui urutan suksesi dari para rasul, dan tetap ada di Gereja bahkan sampai sekarang…” ((Origen, The Fundamental Doctrines 1, preface 2, (220-230) in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:190))

Berikut ini, adalah kutipan tulisan Origen, yang sering dikutip oleh gereja Protestan yang menginterpretasikan Mat 16:18 secara allegoris/ simbolis:

“Dan mungkin seperti Simon Petrus menjawab dan berkata, “Engkau adalah Kristus, Anak Allah yang hidup,” jika kita mengatakan ini seperti Petrus, tidak oleh darah dan daging yang menyatakannya kepada kita, tetapi oleh terang dari Allah Bapa di surga yang bersinar di hati kita, kitapun juga menjadi seperti Petrus, dinyatakan terberkati, seperti dia, karena dasar yang menjadi alasan ia dinyatakan terberkati, juga ada pada kita…. kita menjadi seorang Petrus… Sebab batu karang adalah setiap murid Kristus yang kepada-Nya mereka minum yang meminum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan atas batu karang ini dibangun setiap perkataan Gereja…; sebab dalam setiap orang sempurna yang mempunyai kombinasi perbuatan dan perkataan dan pemikiran yang terberkati; Gereja dibangun oleh Tuhan…” ((Origen’s Commentary on Mat 12:10-11, ANF 9: 455-456)).

Di sini terlihat bahwa Origen, walaupun mengajarkan interpretasi allegoris/ simbolis dari ayat ini, tetaplah ia tidak menghapuskan interpretasi Mat 16:18 secara literal, sebab dengan jelas ia juga mengajarkan bahwa Petrus adalah batu karang itu. Kemungkinan, Origen mengajarkan interpretasi allegoris untuk Mat 16:18; karena memang secara umum ia mengajarkan adanya 3 arti spiritual dalam teks- teks Kitab Suci yaitu allegoris/ simbolis, moral dan anagogis, di samping arti literal (seperti pernah dijabarkan di sini , silakan klik). Menarik di sini, bahwa gereja-gereja non Katolik yang umumnya menerima arti literal dan menolak interpretasi spiritual, justru pada ayat ini menolak meninterpretasikan secara literal namun secara spiritual. Hal serupa adalah pada saat menginterpretasikan perikop tentang Roti Hidup (Yoh 6).

St. Cyprian dari Carthage (258)

a. Pengajaran St. Cyprian

Tuhan berkata kepada Petrus: “Aku berkata kepadamu,” Ia berkata, ‘bahwa engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya. Dan kepadamu aku akan memberikan kunci Kerajaan Surga: dan apapun yang kamu ikat di dunia akan terikat di surga dan apapun yang kamu lepaskan di dunia akan terlepas di Surga.” Dan lagi Ia berkata kepadanya setelah kebangkitan-Nya, “Gembalakanlah domba- domba-Ku.” Atasnya Ia mendirikan Gereja-Nya, dan kepadanya Ia memberikan perintah untuk menggembalakan domba- domba-Nya; dan meskipun Ia memberikan kuasa serupa kepada semua rasul-Nya, namun Ia mendirikan [hanya] satu kursi kepemimpinan; dan Ia mendirikan dengan kuasa-Nya sendiri sebuah sumber dan alasan mendasar untuk kesatuan itu. Memang para rasul yang lain ada di mana Petrus berada, namun keutamaan diberikan kepada Petrus, di mana sudah dinyatakan dengan jelas bahwa hanya ada satu Gereja dan satu kursi kepemimpinan. Demikian pula, semua gembala dan kawanan dombanya dinyatakan satu, yang diberi makan oleh semua Rasul dengan pemikiran yang satu. Jika seseorang tidak berpegang pada kesatuan dengan Petrus ini, dapatkah ia membayangkan bahwa ia masih memegang iman? Jika ia mengabaikan kursi kepemimpinan Petrus yang atasnya Gereja didirikan, dapatkah ia masih yakin dan percaya bahwa ia berada di dalam Gereja?” ((St. Cyprian, The Unity of the Church, 4, (251-256)in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:220. Menurut Cyprian, The See of Rome is ecclesia principalis unde unitas sacerdotalis exorta est, “The Church which persides in Love” (Gereja yang memimpin di dalam kasih), seperti dikutip dalam John Meyendorff, The Primacy of Peter,  (Crestwood: New York: St. Vladimir’s Seminary Press, 1992) p. 98-99))

Hanya ada satu Tuhan dan satu Kristus, dan satu Gereja dan satu kursi kepemimpinan yang didirikan di atas Petrus, oleh perkataan Tuhan Yesus. Tidaklah mungkin untuk membangun altar yang lain atau imamat yang lain di samping altar yang satu dan imamat yang satu itu. Siapapun yang berkumpul di luar kesatuan itu, akan tercerai berai.” ((St. Cyprian, Letter of Cyprian to All His People [43 (40),5] in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:229)).

b. Surat St. Cyprian kepada Paus Kornelius di Roma (252)

Dalam suratnya kepada Paus Cornelius di Roma (252), Cyprian menulis:

“Dengan uskup yang mereka tunjuk sendiri oleh para heretik, mereka bahkan berlayar dan membawa surat- surat dari para skismatik dan bidat kepada kursi kepemimpinan Petrus dan pimpinan Gereja, di mana kesatuan imamat mempunyai sumbernya; namun mereka [para bidat] tidak berpikir bahwa mereka [Gereja Roma] ini adalah jemaat Roma, yang imannya dipuji oleh Rasul pengkhotbah dan di antara mereka tidak mungkin kesesatan dapat masuk.” ((Letter of Cyprian to Cornelius of Rome 59, 14, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 1: 232))

c. Surat St. Cyprian kepada Antonianus, Uskup Numidia (252)

“Kamu menulis juga bahwa saya harus meneruskan kepada Kornelius [Uskup Roma], kolega kita, salinan dari suratmu, sehingga beliau dapat mengesampingkan semua keresahan dan mengetahui langsung bahwa kamu berada di dalam persekutuan dengan beliau, yaitu dengan Gereja Katolik.” ((Letter of Cyprian to Antonianus, a Bishop in Numidia 55(52), 1, (251-252), in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:230))

Di sini diketahui bahwa St. Cyprian mengajarkan bahwa untuk berada dalam persekutuan dengan seluruh Gereja Katolik, seseorang harus berada dalam persekutuan langsung dengan Uskup Roma.

“Ketika penganiayaan sudah reda, dan kesempatan untuk bertemu memungkinkan; sejumlah besar uskup Afrika …. bertemu bersama … Dan jika sejumlah uskup di Afrika tidak puas, kamu juga menulis ke Roma, kepada Kornelius [Paus], kolega kita tentang hal ini, yang juga akan mengadakan konsili dengan banyak sekali uskup, yang setuju dalam satu pendapat seperti yang kita pegang. ((Letter of Cyprian to Antonianus, a Bishop in Numidia 51, 6, (251-252), ANF, 5:328)).

Melalui surat ini St. Cyprian menyatakan praktek yang terjadi dalam menangani perbedaan pendapat di keuskupannya, dengan mengakui keutamaan Uskup Roma.

“Kornelius dijadikan Uskup [Uskup Roma] oleh keputusan Tuhan dan Kristus, oleh kesaksian hampir semua klerus, oleh dukungan orang- orang yang hadir pada saat itu, oleh kolese para imam yang terberkati, dan orang- orang yang baik lainnya, … di mana adalah tempat Petrus, martabat kursi kepemimpinan imamat. Sebab kursi terisi sesuai dengan kehendak Tuhan dan dengan persetujuan kita semua…. Sebab seseorang tidak dapat mempunyai jabatan gerejawi jika tidak memegang kesatuan dengan Gereja.” ((Letter of Cyprian to Cornelius of Rome 55 (52), 8, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 1: 230))

d. St. Cyprian kepada Paus Stephen (254- 257)

“Cyprian kepada saudaranya [Paus] Stephen, salam …. Adalah pantas bagimu untuk menuliskan surat- surat kepada sesama uskup yang ditunjuk di Gaul, agar tidak menderita lagi karena Marcian….karena ia sepertinya tidak di-ekskomunikasi oleh kami …. Biarlah surat- surat ditujukan olehmu kepada provinsi dan orang- orang yang ada di Arles, yang dengan demikian, Marcian diekskomunikasi; [dan] orang lain dapat menggantikan kedudukannya… Sebab kehormatan dari para pendahulu kami, para martir Paus Kornelius dan Lucius, seharusnya dilestarikan… Tunjukkan kepada kami siapa yang ditunjuk menggantikan Marcian, sehingga kami mengetahui kepada siapa kami mengarahkan saudara- saudara kami, dan kepada siapa kami harus menulis [surat].” ((St. Cyprian, To Father [Pope] Stephen, concerning Maricianus of Arles, who had joined himself to Novatian; Epistle LXVI, ANF 5:367-369.))

Di sini terlihat bahwa St. Cyprian tetap mengakui keutamaan dan kepemimpinan uskup Roma, sebab jika tidak, ia tidak perlu menulis demikian kepada Paus Stephen. Bahkan St. Cyprian yang sering dianggap menentang kepemimpinan Paus ((Cyprian berbeda pandangan dengan Paus Stephen dalam hal menerima baptisan yang dilakukan oleh para heretik. Cyprian berkeras untuk membaptis kembali, sedang Paus Stephen, memegang makna satu baptisan (Ef 4:5) menerima para heretik yang bertobat, tanpa perlu membaptis kembali; sepanjang baptisan diadakan dalam intensi, forma dan materia yang sama seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik)), namun St. Cyprian memohon kepada Uskup Roma (Paus Stephen) untuk melakukan kepemimpinan atas Gereja universal.

e. St. Cyprian kepada semua jemaatNya

“Hanya ada satu Tuhan dan satu Kristus, dan satu Gereja dan satu Tahta yang didirikan di atas Petrus oleh Sabda Tuhan. Adalah tidak mungkin untuk memasang altar yang lain, atau imamat yang lain di samping altar yang satu dan imamat yang satu. Barangsiapa yang mengumpulkan di tempat lain akan tercerai berai.” ((Letter of Cyprian to All His People [43 (40),5] in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1: 229))

Paus Kornelius kepada St. Cyprian dari Carthage (251- 253)

“Kornelius kepada Cyprian, saudaranya, salam … Urbanus dan Sidonus… datang kepada para penatua kita, menjamin bahwa Maximus …yang setara dengan mereka, berkeinginan untuk kembali ke pangkuan Gereja… Semua transaksi ini disampaikan kepada saya… Terdapat satu suara dari semua, pujian kepada Tuhan…. Dan untuk mengutip perkataan mereka sendiri, “Kami”, kata mereka, “mengetahui bahwa Kornelius adalah uskup dari Gereja Katolik yang paling kudus, dipilih oleh Tuhan yang Maha Besar, dan oleh Kristus Tuhan kita…. Sebab meskipun kami sepertinya… memegang persekutuan dengan seseorang yang adalah skismatik dan heretik, namun pikiran kami selalu tulus di dalam Gereja. Sebab kami tidak lalai mengetahui bahwa hanya ada satu Tuhan; bahwa hanya ada satu Kristus Tuhan…, satu Roh Kudus; dan di dalam Gereja Katolik harus hanya ada satu uskup.” ((Cornelius [Pope] to Cyprian, on Return of the Confessors to Unity [Epistle 49,2 (45 in Coxe), ANF 5:323))

Heretik yang dimasud adalah Novatian, yang bertobat dan kembali ke pangkuan Gereja Katolik, dan diterima oleh Paus Kornelius. Kornelius memberitahukan Cyprian akan kembalinya beberapa imam ke pangkuan Gereja, setelah sekian waktu terasingkan dari Gereja karena tipuan ajaran sesat Novatian. Keutamaan Roma di sini nampak sebagai penjaga ajaran yang murni.

Firmilian dari Kaisarea (268)

Dalam suratnya kepada St. Cyprian, Firmilian menulis:

“Tetapi betapa salah dan betapa besar kebutaan seseorang yang berkata bahwa pengampunan dosa dapat diperoleh di sinagoga- sinagoga para heretik (bidat) dan mereka yang tidak bertahan pada pondasi satu Gereja yang didirikan atas batu karang oleh Kristus…., Kristus berkata hanya kepada Petrus: “Apapun yang kamu ikat di dunia akan terikat di surga; dan apapun yang kamu lepaskan di dunia akan terlepas di surga;” dan dengan ini, juga dalam Injil: “Terimalah Roh Kudus: jika kamu mengampuni dosa orang, maka dosanya diampuni; dan jika kamu menyatakan dosanya tetap ada, dosanya tetap ada.” Oleh karena itu, kuasa mengampuni dosa diberikan kepada para rasul, dan kepada Gereja- gereja mereka yang didirikan oleh Kristus: dan kepada para uskup yang meneruskan mereka, yang ditahbiskan untuk menggantikan mereka.” ((Firmilian, Letter to Cyprian 75, 16, (255/256), in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:245))

Firmilian dengan jelas menjelaskan tentang keutamaan Petrus.

Paus Dionysius (268, menjadi Paus sejak 259)

Konsili Ariminum dan Seleucia menuliskan,

“Ada perkara dilaporkan oleh beberapa orang terhadap Uskup Aleksandria, dibawa ke hadapan Uskup Roma, seperti seolah mengatakan bahwa Allah Putera diciptakan dan tidak setara dengan Allah Bapa. Dan, sinoda di Roma yang menolak, uskup Roma mengekspresikan sentimen yang satu dan sama, dalam sebuah surat demi namanya [Uskup Roma]. Ia [Dionysius Uskup Alexandria], dalam mempertahankan dirinya, menulis sebuah buku kepadanya [Dionysius Uskup Roma]….” ((Konsili Ariminum dan Seleucia 3,43, NPNF 2, 4:473))

Di sini terlihat bagaimana Uskup Roma melakukan tugasnya untuk menjaga kemurnian ajaran Gereja- gereja di luar keuskupan Roma.

Aphrahat dari Persia (kemungkinan Uskup Syria, 280-345)

“Daud menerima kerajaan Saul, yang menganiayanya; dan Yesus menerima kerajaan Israel, penganiaya-Nya …. Daud meneruskan kerajaannya kepada Salomo, dan kemudian kembali ke pangkuan leluhur….dan Yesus meneruskan kunci kerajaan-Nya kepada Simon, dan kembali ke pangkuan Dia yang mengutus-Nya.” ((Select Demonstration of Aphrahat 21, 13, NPNF, 13:398, written in 336-345. Di sini Aphrahat mengajarkan bahwa Simon mengambil kedudukan sebagai kepala rumah tangga (steward) yang memerintah dengan kuasa raja, pada saat raja tidak ada di tempat.))

Yakub dari Nisibis (338)

“Dan Simon, kepala para Rasul, yang telah menyangkal Kristus … Tuhan kita menerimanya, dan menjadikannya sebagai pondasi, dan memanggilnya batu karang dasar bangunan Gereja.” ((Jacob of Nisibis, Oratio 7, De Poenit. 6, 57 in Joseph Berington and John Kirk, comps., The Faith of Catholics, ed. T.J. Capel, (New York: Pustet& Co., 1885) 2:13-14))

St. Ephraim (306-373)

Simon, pengikut-Ku, Aku telah menjadikanmu pondasi Gereja yang kudus. Aku memanggilmu Petrus [Kefas, atau batu karang, di dalam bahasa aslinya], sebab engkau akan mendukung semua bangunannya. Engkau adalah inspektur dari mereka yang akan membangun Gereja bagi-Ku di dunia ini. Jika mereka kelihatannya membangun apa yang salah, engkau, pondasinya, akan menghukum mereka. Engkau adalah kepala dari mata air yang daripadanya ajaran-Ku mengalir, engkau adalah pemimpin para murid-Ku. Melalui engkau, Aku akan memberikan minum kepada semua bangsa. Milikmulah kemanisan yang memberi hidup, yang Kuberikan. Aku telah memilihmu, sepertinya sebagai, yang sulung di dalam institusi-Ku, sehingga sebagai ahli waris, engkau dapat mengatur segala milik-Ku. Aku telah memberikan kepadamu kunci kerajaan- Ku. Lihatlah, Aku telah memberikan kepadamu kuasa atas semua milik-Ku!” ((Holimies (Ephraim’s Memre) 4,1, written in 338-373, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:311))

Konsili Nicea (325)

Konsili Nicea dengan jelas merumuskan dalam Credo/ Syahadat Aku Percaya, “Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik“…. Dengan demikian, ini menyebutkan otoritas institusi Gereja. Ini berbeda dengan Credo dari gereja- gereja non- Katolik, yang umumnya hanya menyebutkan “Kitab Suci saja” dan tidak pada institusi yang kelihatan. Jemaat pada abad awal percaya atas otoritas Gereja, dan menyebutkannya dengan jelas pada syahadat, sebab percaya akan otoritas yang diberikan oleh Yesus kepada para rasul.

Konsili Sardika (343)

“Tetapi jika ada uskup yang kalah dalam pengadilan pada kasus tertentu, dan masih percaya bahwa ia mempunyai kasus yang baik, [maka] agar kasusnya dapat diadili kembali, marilah menghormati kenangan Rasul Petrus, dengan membuat mereka yang mengadili untuk menulis kepada Yulius, Uskup Roma, sehingga jika dipandangnya layak, ia akan mengirim para hakim, dan pengadilan dapat diadakan kembali oleh para uskup pada provinsi tetangga.” ((Council of Sardica, canon 3, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:311. Hal ini terjadi atas kasus St. Athanasius yang hampir dapat dikatakan melawan doktrin Arianism seorang diri, tanpa mendapat dukungan dari para Uskup dari Gereja Timur.))

“Jika seseorang menginginkan agar kasusnya didengarkan kembali, dan memohon kepada uskup Roma untuk mengirimkan imam- imam sebagai utusannya untuk mengadili kasus tersebut, adalah kuasa uskup itu [Uskup Roma] untuk melakukan segala sesuatu yang dipandangnya baik; dan jika ia memutuskan bahwa ia akan mengirimkan mereka [utusannya] dan mereka mempunyai kuasa darinya ketika mengadili bersama- sama dengan para uskup; ini harus diperbolehkan. Tapi jika ia menganggap bahwa pengadilan kasus tersebut sudah cukup, ia akan melakukan apapun yang dianggapnya baik menurutnya  kebijaksanaannya yang paling adil. Para uskup menanggapi: hal- hal yang dinyatakan disetujui.” ((Council of Sardica, canon 5, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:308)).

Dari konsili ini, yang dilakukan 18 tahun setelah Konsili pertama di Nicea, dan 55 tahun sebelum penetapan kanon Kitab Suci, diketahui adanya supremasi kepemimpinan Paus (Uskup Roma) terhadap Gereja- gereja lainnya.

St. Athanasius (296- 373) dan Paus Julius

St. Athanasius dikenal sebagai seorang kudus dari Gereja Timur, yang berjuang melawan ajaran sesat Arianisme yang begitu populer di jamannya. Dia hampir tidak memperoleh dukungan dari Gereja Timur, yang banyak terpengaruh atas ajaran Arianism tersebut, dan karena itu ia mencari dukungan dari Paus Yulius yang merupakan penerus Rasul Petrus. Ia mengutip tulisan Paus Yulius untuk membela diri, demikian:

“Mengapa tidak ada yang dikatakan kepada kami [Paus Yulius dan Gereja Roma] tentang Gereja di Alexandria? Apakah kamu tidak tahu bahwa sudah menjadi kebiasaan bahwa pernyataan dituliskan kepada kami [Roma], dan bahwa keputusan yang adil akan dikeluarkan dari tempat ini? Jika terdapat kecurigaan atas Uskup di sana, catatan tentang itu harus dikirimkan ke Gereja di sini [Roma]…. Aku memohon kepadamu… apa yang kutuliskan adalah demi kepentingan bersama. Sebab apa yang kami terima dari Rasul Petrus yang terberkati, kami tunjukkan kepadamu… Demikianlah dituliskan di Konsili Roma, oleh Yulius, Uskup Roma.” ((St. Athanasius, Defence against the Arians 2, 35, NPNF 2: 4:118-19))

Berikut ini adalah tulisan St. Athanasius tentang dua orang yang memberikan tuduhan- tuduhan kepadanya, namun kemudian bertobat, atas teguran dari Paus Yulius:

“Ketika Ursacius dan Valens melihat semua ini, mereka menghukum mereka sendiri atas segala yang telah dilakukannya, dan pergi ke Roma, mengakui kejahatan mereka, dan menyatakan diri menyesal dan memohon ampun, mengirimkan surat kepada Yulius, Uskup Roma, dan kepada kami. Salinannya dikirimkan kepadaku dari Paulinus, Uskup Triveri.” ((St. Athanasius, Defence against the Arians 1, 4, 48, NPNF 2: 4:130)).

“Ursacius dan Valens kepada tuan yang sangat terberkati, Paus Yulius. Telah dikenal luas bahwa kami seperti disebut dalam surat-surat telah melakukan tuntutan- tuntutan yang berat terhadap Uskup Athanasius, dan bahwa, ketika kami ditegur oleh surat- surat Kebaikanmu, kami tidak dapat menanggung akibat dari pernyataan yang kami buat; kami sekarang mengaku di hadapan Kebaikanmu … dengan demikian kami menginginkan persekutuan dengan Athanasius, terutama oleh sebab kekudusanmu, dengan kemurahan hatimu yang khas, yang mengampuni kesalahan kami…. kami tidak akan melawan keputusanmu. Saya Ursacius, menyerahkan pengakuan ini secara langsung, demikian juga saya, Valens.” ((St. Athanasius, Ibid., 130-131)).

St. Hilarius dari Poitiers (315-367/8)

St. Hilarius adalah seperti St. Athanasius dari Gereja Barat. Ia adalah seorang Pujangga Gereja, dan ia berjuang memerangi ajaran sesat Arianism di keuskupannya.

Petrus yang pertama kali percaya, dan menjadi yang pertama dari para rasul.” ((St. Hilary of Potiers, Commentary in Matthew, 7,6, NPNF 2, 9: 105))

Simon yang terberkati, yang setelah pengakuannya akan msiteri [Kristus sebagai Mesias], dijadikan batu karang pondasi Gereja dan menerima kunci kerajaan Surga… Iman inilah yang adalah pondasi Gereja, melalui iman ini alam maut tak akan menguasainya.” ((St. Hilary, On the Trinity, 6, 20, NPNF 2,9, 105))

Selanjutnya, St. Hilarius mengatakan, “Iman inilah yang adalah pondasi Gereja, melalui iman ini alam maut tak akan menguasainya”, ((On the Trinity, 6, 37, NPNF 2,9, 121)) dan inilah yang sering dikutip oleh tokoh non Katolik, di antaranya James White. Namun sayangnya White lupa atau tidak mengutip ajaran yang yang tertulis di buku yang sama, bahwa pondasi tersebut juga adalah Rasul Petrus.

“Ia [Yesus] mengangkat Petrus, yang kepadanya Ia telah memberikan kunci kerajaan surga, yang atasnya Ia akan membangun Gereja-Nya, di mana alam maut tidak akan pernah menguasainya, di mana apapun yang diikat dan dilepaskannya akan menjadi terikat dan terlepas di surga— Petrus yang sama ini …. adalah yang mengakui pertama kali Sang Allah Putera, pondasi Gereja, penjaga pintu kerajaan Surga, dan sesuai dengan keputusannya di dunia Hakim di surga memutuskan.” ((St. Hilary, Tract. in Ps 131, 8, in Joseph Berington and John Kirk, comps, The Faith of Catholics, ed. T.J. Capel 3 vols,( New York: F. Pustet& Co., 1885), 2:14-15.))

“Dan dalam kebenaran pengakuan Petrus memperoleh penghargaan … O, di dalam penunjukanmu, dengan sebuah nama yang baru, pondasi Gereja yang berbahagia, dan sebuah batu karang yang layak bagi pembangunan kembali apa yang tercerai berai dalam hukum maut, dan gerbang maut dan semua jalusi kematian! O, penjaga pintu surga yang terberkati, yang kepadanya diberikan kunci- kunci untuk memasuki pintu masuk keabadian, yang keputusannya di dunia adalah sebuah otoritas yang akan menjadi keputusan di surga, sehingga segala yang diikat atau dilepaskan di dunia akan memperoleh keputusan yang sama di surga.” ((St. Hilary, Commentary on Matthew 7,6, ibid., 2:15))

“Dan engkau, [Paus Yulius], saudara yang sangat terkasih, meskipun tidak hadir secara jasmani, tetapi hadir di dalam pikiran dan kehendak …. Sebab ini akan terlihat menjadi yang terbaik, dan sangat menjadi sesuatu yang layak, jika kepada kepala tersebut, yaitu kepemimpinan Rasul Petrus, para imam Tuhan melapor (atau mengacu) dari setiap  provinsi.” ((St. Hilary, Fragment 2 ex opere Hostorico (ex Epistle Sardic. Council ad Julium) n.9, p. 629, in ibid., 2:68-69)).

St. Macarius dari Mesir (300-390)

“Sebab di jaman dahulu Musa dan Harun menderita, ketika imamat merupakan jabatan mereka; dan Kayafas, ketika ia menempati kursi mereka, menganiaya dan menghukum Tuhan Yesus … Sesudahnya Musa diteruskan oleh Petrus, yang telah menjaga di dalam tangannya, Gereja Kristus yang baru dan imamat yang benar.” ((St. Macarius, Homily 26, in Joseph Berington and John Kirk, comps, The Faith of Catholics, ed. T.J. Capel 3 vols, (New York: F. Pustet& Co., 1885), 2:22.))

Optatus dari Milevis (367)

Optatus dari Milevis adalah seorang pembela terhadap ajaran sesat Donatism, ia menulis:

“Kamu tidak dapat mengingkari bahwa kamu menyadari bahwa di kota Roma kursi episkopal telah pertama kali diberikan kepada Petrus; kursi di mana Petrus duduk, yang sama sebagai kepala- sehingga inilah mengapa ia juga disebut sebagai Kefas- dari semua Rasul- rasul, kursi kepemimpinan di mana kesatuan dipertahankan oleh semua.  Tidak ada rasul lainnya yang secara pribadi maju sendiri dan siapapun yang akan memasang kursi lainnya dalam posisi menentang kursi kepemimpinan akan, dengan kenyataan tersebut, menjadi skismatik dan seorang pendosa. Ia adalah Petrus, yang pertama kali menempati kursi tersebut…. Ia diteruskan oleh Linus, Linus oleh Klemens…. Damasus oleh Siricius,… tetapi aku bertanya kepadamu untuk mengingat asal dari kursi kepemimpinanmu, kamu yang berharap mengklaim bagi dirimu sendiri gelar Gereja yang kudus.” ((Optatus of Milevis, The Schism of the Donatists, 2,2 in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 2:140))

St. Basil Agung (330-379)

“Ketika kita mendengar nama Petrus, … kita menggambarkan dalam pikiran kita sifat- sifat yang berhubungan dengannya… Sebab kita akan,… berpikir tentang… saudara Andreas, ia yang dipanggil dari antara para nelayan kepada pelayanan kerasulan, ia yang demi keutamaan imannya, menerima di atas dirinya sendiri, pembangunan Gereja (jemaat).” ((St. Basil the Great, Adv. Eunom, 4, in Joseph Berington and John Kirk, comps, The Faith of Catholics,  2:22.))

Selanjutnya, St. Basil mengatakan demikian, “… Salah satu dari bukit ini adalah Petrus, yang merupakan batu karang di mana Tuhan Yesus berjanji membangun Gereja-Nya.” ((St. Basil, Commentary on Esai 2, 66, in ibid., 2:22)). Kutipan ini sering dipergunakan oleh para tokoh non Katolik yang mengatakan bahwa Petrus hanya salah satu dari pondasi. Ini memang bukan sesuatu yang baru, sebab dalam Ef 2:20 dikatakan bahwa Gereja dibangun di atas pondasi para rasul dan para nabi. Namun tulisan St. Basil tidak menyampaikan formula yang disampaikan oleh tokoh non Katolik, yaitu seolah mempertentangkan peran Petrus dengan Kristus. Dalam tulisan St Basil, digabungkan tiga metafor: 1) Kristus sendiri sebagai pondasi dengan Tuhan sendiri yang mendirikannya (1 Kor 3:11); 2) Petrus adalah pondasi dan Kristus adalah yang mendirikannya (Mat 16:18); 3) Para rasul dan para nabi adalah pondasinya (Ef 2:20, Why 21:14) dan Kristus sebagai batu penjuru; dan Roh Kudus yang mendirikannya.

Menarik memang jika kita menyimak bahwa mereka yang tidak mengakui keutamaan Petrus, luput/ tidak melihat ajaran St. Basil lainnya, yang jelas menunjukkan keutamaan Petrus dan para penerusnya. Berikut ini adalah surat St. Basil kepada St. Athanasius, di mana St. Basil mengusulkan untuk  memohon kepada Uskup Roma untuk menyelesaikan kekacauan di Gereja Timur akibat ajaran sesat, secara khusus Arianism. St. Basil sepertinya telah memahami bahwa Gereja Roma mempunyai otoritas superior, sehingga berhak untuk mengatur Gereja Timur:

Adalah baik menurutku untuk mengirimkan sebuah surat ke uskup Roma, memohon kepadanya untuk memeriksa keadaan kita, dan karena terdapat kesulitan- kesulitan di dalam hal pengiriman para wakil dari Gereja Barat oleh dekrit sinode, dan untuk memberi advis kepadanya [Uskup Roma] untuk melaksanakan otoritas pribadinya dalam hal ini dengan memilih orang- orang yang cocok…., sesuai juga dengan sifat kelemahlembutan dan keteguhan, untuk mengkoreksi mereka yang tidak teratur di antara kita di sini.” ((St. Basil, Letter 69, to Athanasius, NPNF 2, 8: 165))

Maka di sini kita ketahui bahwa St. Basil mengatakan kepada St. Athanasius bahwa jalan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di Gereja Timur adalah dengan memohon campur tangan uskup Roma. Dengan ini St. Basil mengakui bahwa Gereja Roma memiliki kekuasaan superior terhadap Gereja- gereja Timur.

Lagi, dalam suratnya kepada pemimpin Gereja Barat, St. Basil menulis surat agar nama- nama para bidat diumumkan kepada semua Gereja Timur, agar dapat dapat diusahakan tindak lanjut demi keteraturan Gereja Timur:

Dalam hal ini kami memohon kepadamu [Gereja Barat], untuk mengumumkan secara publik kepada semua Gereja Timur ….. Saya terpaksa menyebutkan nama- nama mereka, supaya engkau sendiri dapat mengenali siapa- siapa yang membuat kekacauan di sini, dan mengumumkannya kepada Gereja Timur agar diketahui …. Karena engkau mempunyai lebih banyak wibawa di hadapan orang- orang, sesuai dengan jarak yang memisahkan tempat kediamanmu dengan mereka, selain dari fakta bahwa engkau dikaruniai dengan rahmat Tuhan untuk menolong mereka yang sedang kesusahan.” ((St. Basil, Letter 263, To the Westerns, NPNF2, 8:32, 377AD))

Dari surat ini kita mengetahui lebih jelas lagi bahwa St. Basil mengakui otoritas Gereja Barat, dalam hal ini Roma. St. Basil meminta campur tangan Roma untuk menyelesaikan kekacauan akibat ajaran para bidat, yaitu Arius, Apollinarius, Paulinus dan lain- lain. Selanjutnya pada surat itu, St. Basil menyebutkan bagaimana seorang bidat (seorang uskup yang telah diasingkan) telah menipu Uskup Roma (Paus Liberius), sehingga akhirnya ia berhasil dikembalikan kepada jabatannya setelah menerima surat dari Paus Liberius. Ini menjadi indikasi bahwa baik uskup yang orthodox maupun uskup bidat sama- sama mengakui kepemimpinan Uskup Roma. Michael Miller menulis, “Pada akhir abad ke-4, banyak jemaat Byzantine menerima bahwa uskup Roma menerima dari Tuhan rahmat untuk mempertahankan dan meneruskan kebenaran Injil yang murni … Gereja Timur mengakui bahwa, dibandingkan dengan mereka sendiri, Gereja Roma telah dibebaskan dari (spared from) ajaran- ajaran sesat…. Hal ini memberikan alasan kepada Gereja Timur untuk menerima peran Gereja Roma dalam hal koinonia …. Karena pergolakan di Timur, pemimpin orthodoks maupun bidaah sama- sama mencari dukungan dan persetujuan keuskupan Roma. Munurut Shotwell dan Loomis, sepanjang krisis, Gereja Timur telah menerima bahwa Roma “telah menerima dari Tuhan melalui Petrus, karunia tak ternilai yang kelihatannya tidak dimiliki oleh Gereja Timur, yaitu kuasa untuk berpedang teguh kepada kebenaran dan meneruskannya dengan murni, tanpa cacat…” (( Michael J. Miller, The Shepherd and the Rock, (Huntington, Ind: Our Sunday Visitor, 1995), p.124-125)).

Dalam suratnya yang lain, yang walaupun tidak menyebutkan nama Paus secara langsung, St. Basil menulis kepada Paus Damasus yang disebutnya sebagai Bapa (Paus), karena ia menyebutkan secara langsung nama Paus pendahulunya yaitu Paus Dionysius. Demikian bunyi suratnya:

Bapa yang terhormat [Paus Damasus], hampir semua Gereja Timur (… dari Illyricum ke Mesir) telah menjadi resah oleh badai yang parah dan dashyat. Bidaah yang lama yang diajarkan oleh Arius, sang musuh kebenaran, sekarang telah timbul kembali dengan berani dan tidak tahu malu. Seperti akar yang asam, ia menghasilkan buah yang mematikan, dan terus menang. Alasannya adalah, di setiap daerah, para pemenang doktrin yang benar malah diasingkan dari Gereja mereka dengan kemarahan, dan pengaturan urusan- urusan jemaat diberikan kepada mereka yang memimpin para jiwa orang sederhana kepada perangkap. Saya telah memandang penuh harap pada kunjungan belas kasihanmu sebagai satu-satunya solusi yang mungkin terhadap kesulitan- kesulitan ini…. Saya telah terpaksa untuk memohon kepadamu melalui surat agar engkau terdorong untuk membantu kami…. Dalam hal ini, saya tidak memohon hal yang baru, tetapi hanya memohon sesuatu yang telah biasa dilakukan dalam kasus orang- orang yang, sebelum jaman kita, terberkati dan dikasihi Tuhan, dan secara khusus di dalam kasus anda sendiri. Sebab saya sungguh teringat, belajar dari jawaban yang diberikan oleh para bapa kami ketika mereka ditanyai, dan dari dokumen- dokumen yang masih ada pada kami, bahwa Uskup [Paus] Dionysius yang saleh dan terberkati, yang terpandang di keuskupanmu karena imannya yang teguh dan semua kebajikan lainnya, telah mengunjungi Gerejaku di Kaisarea dengan suratnya, dan dengan surat mengajar para bapa kami, dan mengirimkan orang- orang untuk membebaskan saudara- saudara kami dari perangkap.” ((St. Basil, Letter 70, NPNF2, 8:166, 366-384 AD))

Dalam suratnya yang lain St. Basil menyebutkan bahwa orang- orang tertentu, “membawa surat- surat dari Gereja Barat, mengalihkan keuskupan Antiokhia kepada mereka” ((NPNF2, 8: 253)). Sekarang, atas hak apa Gereja Roma menyerahkan keuskupan Gereja Timur (dalam hal ini Antiokhia) kepada orang- orang yang tertentu yang dipilihnya? Nampak di sini bahwa Gereja Roma memiliki otoritas mungatur hal- hal gerejawi, dan St. Basil mengakui hal ini. Maka tak berlebihan, jika Ray Ryland dalam majalah This Rock, mengatakan, “Semua ajaran heresi (bidaah) yang penting pada abad- abad awal Gereja terjadi di Gereja Timur. Seringkali bidaah ini didukung oleh para kaisar Timur. Di banyak kesempatan, tahta Patriarkh Timur diduduki oleh para bidat. Jemaat Timur menjadi rentan terhadap ajaran sesat, namun kurang otoritas dominan yang dapat menyelesaikannya. Di dalam setiap kejadian, kepausanlah yang harus menyelamatkannya.” ((Ray Ryland, “Papal Primacy and the Council of Nicaea”, This Rock, June 1997, 26-27)).

St. Gregorius dari Nissa (330-395)

St. Gregorius adalah Bapa Gereja Timur dan adik dari St. Basil. St Gregorius adalah Uskup Nissa di Kapadosia (sekarang Turki) yang disebut dalam 1 Pet 1:1. St Gregorius mengatakan:

Petrus, dengan seluruh jiwanya, menghubungkan dirinya dengan Sang Anak Domba, dan dengan perubahan namanya, ia diubah oleh Tuhan menjadi sesuatu yang lebih ilahi: bukan lagi Simon, tetapi menjadi dan dipanggil sebagai sebuah batu karang (Petrus)…. Petrus yang agung tidak bertumbuh sedikit demi sedikit untuk mencapai rahmat ini, namun seketika ia mendengarkan saudaranya [Andreas], percaya kepada Anak Domba, dan melalui iman disempurnakan, dan karena telah melekat kepada Sang Batu Karang, menjadi batu karang Petrus.” ((St. Gregory of Nissa, Homily 15, in Joseph Berington and John Kirk, The Faith of Catholics, (New York: F. Pustet & Co, 1885), 2:20-21))

“Peringatan Petrus, kepala para rasul, dirayakan; dan dimuliakanlah dengan dia semua anggota Gereja lainnya; tetapi di atas dia Gereja Tuhan didirikan dengan kokoh. Sebab ia adalah, sesuai dengan karunia yang diberikan kepadanya oleh Tuhan, batu yang tak terpecahkan dan teramat kokoh yang atasnya Tuhan telah mendirikan Gereja-Nya.”
((Ibid, 2:21)).

St. Gregorius Naziansa (329-389)

St. Gregorius Naziansa adalah Uskup Konstantinopel, salah satu Bapa Kapadosia, bersama dengan St. Basil dan St. Gregorius Nissa. St. Gregorius Naziansa adalah tokoh penting dalam penentuan final credo Nicea di Konsili Konstantinopel tahun 381. Ia mengajarkan:

“Lihatlah kepada semua murid Kristus, semuanya besar…., salah satunya disebut batu karang [Petrus] dan dipercayakan sebagai pondasi Gereja; sedangkan yang satu lagi disebut yang dikasihi [Yohanes]…, dan yang lainnya menyandang kehormatan….” ((St. Gregory, Oration 26, in Berington dan Kirk, Ibid., 2:21))

“Juga seseorang tidak akan tahu…. apakah keturunannya akan disebut sebagai Paulus yang kudus atau Petrus- yang menjadi batu karang yang tak terpecah dan yang kepadanya diserahkan kunci- kunci [kerajaan Surga].” ((St. Gregory, Carm 2., in Berington dan Kirk, Ibid., 2:21))

Paus St. Damasus I (304- 384)

Paus Damasus I adalah Uskup Roma dari 366 sampai 384. Ia menulis demikian:

“Meskipun semua Gereja- gereja Katolik yang tersebar di seluruh dunia membentuk satu ruang mempelai Kristus, namun Gereja Roma yang suci telah ditempatkan di depan, bukan oleh keputusan- keputusan konsili dari Gereja- gereja lain, tetapi telah menerima keutamaan dari suara surgawi dari Tuhan dan Penyelamat kita, yang berkata: “Kamu adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan maut tidak akan menguasainya; dan Aku akan memberikan kepadamu kunci-kuci Kerajaan Surga, dan apa yang kau ikat di dunia akan terikat di surga, dan apa yang kau lepaskan di dunia akan terlepas di surga”….. Oleh karena itu, Keuskupan yang pertama, adalah keuskupan Rasul Petrus, yaitu Gereja Roma, yang tidak memiliki noda atau cacat atau sejenisnya. Keuskupan kedua, adalah Alexandria, yang dikonsekrasikan atas nama Petrus oleh Markus, muridnya dan penulis Injil, yang diutus ke Mesir oleh Rasul Petrus, di mana ia berkhotbah sabda kebenaran dan menyelesaikannya dengan kemartirannya yang mulia. Keuskupan yang ketiga, adalah di Antiokhia, yang didirikan oleh Rasul Petrus yang terberkati, di mana ia tinggal sebelum ia datang ke Roma, dan di mana nama Kristen pertama kali dipergunakan kepada sebuah bangsa yang baru.” ((St. Damasus, The Decree of Damasus 3, 382AD, in  William Jurgen, The Faith of the Early Fathers, (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 1970), 1: 406-407))

St. Hieronimus (Jerome) kepada Paus Damasus I (374-379)

St. Hieronimus (Jerome) adalah Bapa dan Pujangga Gereja, yang dikenal karena karyanya menerjemahkan Kitab Suci ke dalam Bahasa Latin yang disebut Vulgate. Setelah studinya di Roma ia mengasingkan diri di gurun dan hidup sebagai rahib dan mempelajari Kitab Suci. Setelah ditahbiskan menjadi imam tahun 379 ia tinggal di Konstantinopel dengan St. Gregorius Nazianzen selama 3 tahun. Tahun 382 ia kembali ke Roma, menjadi sekretaris Paus Damasus I. Kemudian, tahun 386 ia tinggal di Betlehem sampai wafatnya tahun 419/ 420.

Ia menulis demikian kepada Paus Damasus:

“Sebab Gereja Timur, tercerai berai karena kekacauan yang berkepanjangan, yang ada di antara orang- orangnya, sedikit demi sedikit merobek jubah Tuhan…. Saya pikir adalah tugas saya untuk berkonsultasi dengan tahta Petrus dan beralih kepada Gereja yang imannya dipuji oleh Rasul Paulus. Saya memohon makanan rohani kepada Gereja yang daripadanya saya menerima Kristus. Jarak yang jauh di laut dan daratan yang membentang di antara kita tidak membelokkan saya dari pencarian ‘mutiara yang mahal harganya’…. Meskipun kebesaranmu menakutkan saya, namun kebaikanmu menarik saya. Dari imam saya menuntut perlindungan terhadap korban, dari gembala perlindungan yang layak bagi domba- domba….. Kata- kata saya diucapkan kepada penerus dari sang nelayan, kepada sang murid Salib. Sebab saya tidak mengikuti pemimpin lain selain dari Kristus, sehingga saya tidak berkomunikasi kepada yang lain tetapi kepadamu, yaitu dengan tahta Petrus. Sebab saya tahu, ini adalah batu karang yang atasnya Gereja didirikan! Ini adalah rumah di mana Anak Domba Paska dimakan dengan benar. Ini adalah bahtera Nuh, dan ia yang tidak ditemukan di dalamnya akan binasa ketika air bah datang. Tetapi karena dosa- dosa saya, saya telah membawa diri saya ke gurun ini yang terletak antara Syria dan tempat pembuangan, saya tidak dapat, karena jarak yang jauh di antara kita, selalu meminta dari kekudusanmu, hal hal yang kudus dari Tuhan.” ((Letter of Jerome to Pope Damasus 15,2 374-379AD, NPNF2, 6:18))

“Gereja di sini terpecah menjadi tiga bagian, masing- masing berusaha menarik saya menjadi bagian dari mereka …. Sementara saya tetap berteriak: ‘Ia yang bergabung dengan tahta Petrus akan saya terima!’… Karena itu saya memohon berkatmu oleh salib Tuhan, oleh kemuliaan iman kita, Kisah Sengsara Kristus, …. beritahukan kepadaku melalui surat, kepada siapa saya harus berkomunikasi di Syria. Jangan membuang satu jiwapun yang untuknya Kristus telah wafat! ((Letter of Jerome to Pope Damasus 16,2 374-379AD, in Jurgens, The Faith of the Church Fathers 2:184))

Di sini, di tengah ajaran sesat dan skisma yang memecah belah Gereja Timur, St. Hieronimus mengacu kepada tahta Rasul Petrus di Gereja Roma, dengan mengatakan bahwa mereka bersama dengan Gereja Roma, adalah mereka yang bersama dengan Kristus. Maka St. Jerome tidak melihat pertentangan antara Kristus dengan keuskupan Roma, melainkan menegaskan bahwa mereka yang mengikuti Uskup Roma pastilah mengikuti Kristus. Ia menjanjikan kesetiaan kepada Roma, karena menghormati Petrus yang di atasnya Kristus mendirikan Gereja-Nya.

Gereja didirikan di atas Petrus: meskipun dimana- mana hal yang sama ditujukan kepada semua Rasul, dan mereka semua menerima kunci-kunci Kerajaan Surga, dan kuasa Gereja tergantung atas mereka semua, namun satu di antara keduabelas murid dipilih sehingga ketika seorang kepala telah ditunjuk, di sana tidak ada kemungkinan bagi skisma.” ((St. Jerome, Against Jovianus 1, 26, NPNF2, 6:366)).

Terhadap perikop ini St. Alfonsus Liguori menulis, “Semua Rasul diutus oleh Yesus Kristus untuk menyebarluaskan iman, dengan kuasa untuk menahbiskan imam, uskup dan mendirikan Gereja…. Namun demikian, kuasa ini, yang disampaikan kepada para Rasul adalah kuasa yang ada di bawah kuasa St. Petrus. Adalah kuasa yang luar biasa yang berakhir pada para Rasul, sedangkan kuasa yang diberikan kepada St. Petrus adalah absolut…. Maka St. Jerome mengatakan bahwa meskipun pada awalnya, ketika iman perlu untuk disebarluaskan, semua Rasul mempunyai kuasa yang sama, namun di atas Petrus sajalah disampaikan kuasa tertinggi (supreme power), supaya ia dapat memimpin sebagai kepala di atas semua yang lain.” ((St. Alphonsus Liguori, Venita della Fede, 3,7, as quoted by Livius, T, St. Peter, Bishop of Rome, (London: Burns & Oats, 1888), p. 258))

“Maka saya pikir, saya perlu memperingatkan kamu, di dalam kebaikan dan kasih, untuk berpegang teguh pada iman Paus Innocent yang kudus, anak rohani dari St. Anastasius, dan penerusnya di tahta apostolik, dan tidak menerima ajaran asing apapun, betapapun kamu menganggap dirimu bijak dan pandai memilah.” ((St. Jerome, Letter 130 to Demetrias, NPNF2, 6:269)).

“Apa hubungannya Paulus dengan Aristoteles? Atau Petrus dengan Plato? Sebab walaupun Plato adalah pengeran filosofi, Petrus adalah kepala para Rasul: di atasnya Gereja Tuhan didirikan dengan kokoh dan tak ada serangan banjir atau badai yang dapat mengguncangkannya.” ((St. Jerome, Against the Pelagians, 1, 14a, 26, NPNF2, 6:455)).

St. Ambrosius dari Milan (340-397)

St. Ambrosius adalah salah satu dari empat Pujangga Gereja dalam Gereja Latin. Sebagai Uskup ia mempertahankan Gereja Milan dari pengaruh ajaran Arianisme, dan membawa Kaisar Roma, Theodosius I, kepada pertobatannya. Ia dikenal sebagai uskup yang bersimpati pada St. Monika, ibu St. Agustinus, dan ia adalah uskup yang menerima Agustinus ke dalam Gereja Katolik. Ia menganggap uskup Roma sebagai gembala Gereja universal. Bersama Sabinus, Bassian dan para uskup lainnya menulis kepada Paus Siricius, tahun 389, demikian:

“Kami mengenali di dalam suratmu kesiagaan sebagai gembala yang baik. Engkau dengan setia menjaga pintu gerbang yang dipasrahkan kepadamu dan dengan perhatian yang saleh engkau menjaga kawanan Kristus (Yoh 10:7-), engkau layak mempunyai domba- domba yang mendengarkan dan mengikuti engkau. Sebab engkau mengenal para domba Kristus, engkau dengan mudahnya menangkap serigala- serigala dan melawan mereka sebagai gembala yang melindungi [dombanya], sebab jika tidak mereka mencerai beraikan kawanan domba Tuhan karena kekurangan iman mereka dan auman mereka yang bengis.” ((Synodal Letter of  Ambrose, Sabinus, Bassian, and Others to Pope Siricius, 42, 1, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 2:148)).

Kepada Petrus sajalah Ia [Kristus] berkata, “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini aku akan mendirikan Gereja-Ku.” Di mana Petrus berada, Gereja berada. Dan di mana Gereja berada, tidak ada kematian, tetapi kehidupan kekal.” ((St. Ambrose, Commentaries on Twelve of David’s Pslams 40, 30))

“… Petrus, setelah dicobai Iblis (Luk 22:31-32), ditempatkan atas Gereja. Karena itu, Tuhan, yang telah melihat hal tersebut sebelum terjadi, setelah itu memilihnya sebagai gembala kawanan domba Tuhan. Sebab kepadanya [Petrus] Ia berkata, tetapi kamu ketika telah insaf, kuatkanlah saudara- saudaramu.” ((St. Ambrose, in Ps 43, n.40, in Joseph Berrington and John Kirk, Faith of Catholics, (New York: F. Pustet & Co, 1900), p. 26))

Kristus adalah Sang Batu Karang, “Sebab mereka minum dari Batu Karang rohani yang mengikuti mereka, dan Batu Karang itu ialah Kristus’, dan Ia tidak menolak untuk mengaruniakan gelar ini bahkan kepada murid-Nya, sehingga ia juga dapat menjadi Petrus [atau Batu Karang] dalam hal, seperti batu karang, ia mempunyai ketetapan yang solid, sebuah iman yang kokoh.” ((St. Ambrose, Exposition in Luc, in Colin Lindsay, The Evidence for Papacy (London: Longman’s, 1890), p. 37. Di sini terlihat bahwa Yesus memberi nama Simon dengan sebutan Petrus, untuk membuatnya mengambil bagian secara unik di dalam pondasi Gereja)).

St. Yohanes Krisostomus (347- 407)

St. Yohanes Krisostomus adalah seorang Pujangga Gereja dan Bapa Gereja dari Gereja Timur (Antiokhia), yang terkenal karena kefasihannya mengajar/ berkhotbah. Menarik untuk disimak, bahwa meskipun Yohanes Krisostomus adalah seorang uskup dari Gereja Timur, ia mengajarkan bahwa Petrus adalah pengajar universal dari Gereja universal. Ia mengatakan:

“[Yesus] berkata kepadanya, “Gembalakanlah domba- domba-Ku”. Dan mengapa… ia berkata demikian kepada Petrus? Ia adalah seorang yang dipilih dari para Rasul, [menjadi] juru bicara bagi para murid, pemimpin kelompok; karena itu juga Paulus pergi mengunjunginya untuk bertanya kepadanya dan bukan kepada orang lain. Dan pada saat yang sama…. Yesus meletakkan ke dalam tangannya otoritas tertinggi di antara para saudara; …. “Jika kamu mengasihi Aku, gembalakanlah saudara- saudaramu.” ((St. John Chrysostom, Homilies on John 88, 1. NPNF I, 14:331.))

“Untuk apa Ia menumpahkan darah-Nya? Adalah agar Ia dapat memenangkan domba- domba-Nya yang dipercayakan-Nya kepada Petrus dan para penerusnya.” ((St. John Chrysostom, De Sacerdotio, 53))

Petrus sendiri adalah pemimpin kepala para Rasul, yang pertama di dalam Gereja, sahabat Kristus, yang menerima wahyu bukan dari manusia tetapi dari Allah Bapa, sebagaimana dikatakan Tuhan Yesus dengan berkata, “Diberkatilah engkau Simon anak Yohanes, sebab daging dan darah tidak menyatakannya kepadamu, tetapi Bapa-Ku yang di surga; inilah Petrus, dan ketika Aku menamai dia Petrus, Aku menamakan batu karang yang tidak terputus, fondasi yang kuat itu, Rasul yang besar yang pertama dari para murid, yang pertama dipanggil dan yang pertama taat.” ((St. John Chrysostom, Homily 3 de Poenit, 4, in Berrington dan Kirk, Ibid ., 2:31))

Selanjutnya, pengakuan St. Yohanes Krisostomus akan Paus ditunjukkan saat mengirim surat kepada Paus Innocentius I untuk memperoleh koreksi dari akta yang ditujukan melawan dia, dan pembatalan hukuman yang dijatuhkan kepadanya, dan penegasan sangsi kepada mereka yang telah melanggar hukum kanon ((cf.  Joseph Hergenrother, Anti Janus, (Dublin: W.B. Kelly, 1870), p. 130-131)).

Maka walaupun St. Yohanes Krisostomus pernah mengatakan tentang Yakobus dan tahta Yerusalem (yang sering dipahami sebagai keuskupan/ tahta pertama di Gereja), namun St. Yohanes Krisostomus memahami bahwa posisi keuskupan Yerusalem berada di bawah panggilan St. Petrus. St. Yohanes Krisostomus menulis, “Jika seseorang bertanya, “Bagaimana Yakobus menerima tahta di Yerusalem? Aku akan menjawab, bahwa Ia menunjuk Petrus sebagai guru, tidak di Yerusalem, tetapi di dunia.” ((St. John Chrysostom, Homily 88, 1, on St. John, NPNF 1, 14:332))

“… Sebab perhatikanlah, mereka ada seratus dua puluh orang, dan Ia meminta satu dari keseluruhan kelompok dengan hak yang baik sebagai yang telah diberi kuasa atas mereka: sebab kepadanya Kristus telah berkata, “Dan ketika kamu sudah insaf, kuatkanlah saudara- saudaramu.” ((St. John Chrysostom, Homily 3, in Acts, NPNF 1, 11:20))

“Apa yang dapat lebih rendah hati daripada jiwa itu [Paulus]? Setelah kesuksesannya, yang tidak kalah dengan Petrus…, tetapi dengan martabat yang sama dengan dia, ia datang kepadanya sebagai penatuanya dan superiornya. Satu- satunya tujuan dari perjalanannya adalah untuk mengunjungi Petrus; dan menunjukkan penghormatan kepada para rasul…. Ia mengatakan, “untuk mengunjungi Petrus”, dia tidak mengatakan untuk melihat/ bertemu, tetapi untuk mengunjungi (ἱστορέω), kata yang digunakan untuk menunjukkan tentang mereka yang mencari pengetahuan/ pengalaman akan suatu kota yang besar dan indah, dan menerapkannya dalam diri mereka sendiri. Dia menganggap layak semua kesukaran agar ia dapat melihat Petrus; dan ini muncul dalam Kisah para rasul juga.” ((St. John Chrysostom, Commentary on Galatians 1, 18, NPNf 1, 13:12-13)).

Socrates Scholasticus (380-450) dan Sozomen (370-439)

Socrates Scholasticus adalah seorang sejarahwan Gereja Yunani. Kebanyakan tulisannya adalah tentang Gereja Timur, dan hanya menyebut Gereja Barat jika ada kaitannya dengan Gereja Timur. Maka ia tidak mempunyai kepentingan untuk mempromosikan Gereja Barat. Namun demikian ia menulis demikian tentang kejadian pada masa St. Athanasius:

“Yulius, Uskup Roma yang mulia tidak hadir, dan juga ia tidak mengirimkan pengganti, meskipun hukum Gereja memerintahkan bahwa semua gereja tidak dapat membuat aturan apapun melawan pendapat Uskup Roma.” ((Socrates Scholasticus, The Ecclesial History 2,8, NPNF 2, 2:38))

“Sementara itu, Athanasius, setelah perjalanan yang panjang sampai di Italia …. pada saat yang sama juga Paulus, uskup Konstantinopel, Asclepas dari Gaza, Maercellus dari Ancyra … dan Lucius dari Adrianopel, setelah dituduh dalam berbagai kasus dan diusir dari gereja- gereja mereka, sampai di kota kerajaan [Roma]. Di sana, masing- masing memaparkan kasusnya di hadapan Yulius, Uskup Yulius, Roma. Ia [Yulius], atas keutamaaan hak istimewa Gereja Roma, mengirimkan mereka kembali ke Gereja Timur, dengan memperkuat mereka dengan surat-surat pengakuan/ persetujuan; dan pada saat yang sama mengembalikan mereka masing- masing ke tempat mereka, dan menegur dengan tajam mereka yang telah memecat mereka. Mengandalkan tanda tangan Uskup Yulius, para uskup itu meninggalkan Roma, dan mengambil kembali hak milik di gereja- gereja mereka dengan menunjukkan surat-surat itu [dari Paus] kepada pihak- pihak kepada siapa surat itu ditujukan.” ((Socrates Scholasticus, The Ecclesial History 2,15, NPNF 2, 2:42))

Demikian pula Salaminius Hermias Sozomen adalah seorang pengacara dari Palestina yang menuliskan sejarah Gereja, menyambung tulisan Eusebius tentang Sejarah Gereja. Sozomen juga menulis hal yang serupa tentang bagaimana para Uskup Gereja- gereja Timur yang diusir oleh gereja- gereja mereka karena mempertahankan credo Nicea, memohon dukungan dan peneguhan dari Uskup Roma. Demikian catatan Sozomen:

“Ia [Yulius] menulis kepada para uskup di Gereja Timur, dan menegur mereka karena telah menghakimi para uskup ini (yang menemui Yulius] dengan tidak adil, dan karena mereka telah merendahkan Gereja karena telah mengabaikan ajaran Konsili Nicea. Ia memanggil beberapa di antara mereka untuk menghadapnya pada suatu hari tertentu, untuk mempertanggungjawabkan kepadanya tentang keputusan mereka, dan mengancam akan menurunkan mereka, jika mereka tidak berhenti membuat inovasi. Ini adalah inti dari surat-suratnya. Athanasius dan Paulus dinyatakan kembali di keuskupan mereka, dan menyampaikan surat Yulius kepada para uskup di Gereja Timur.” ((The Ecclesial History of Sozomen, 3,8, NPNF 2, 2:287)).

“Pada saat yang sama ia [Yulius] menjawab surat para uskup yang bertemu di Antiokhia, sebab ia menerima surat mereka, dan menuduh mereka telah secara diam- diam memperkenalkan inovasi- inovasi (penemuan baru) yang bertentangan dengan ajaran Konsili Nicea, dan [mereka] telah melanggar hukum- hukum Gereja, dengan tidak mengundangnya untuk menghadiri Sinoda mereka; sebab …. ada kanon Gerejawi yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan bertentangan dengan penentuan Uskup Roma adalah nihil/ tidak sah.” ((The Ecclesial History of Sozomen, 3,10, NPNF 2, 2:288-89))

St. Agustinus dari Hippo (354-430)

St. Agustinus adalah salah satu Bapa Gereja yang paling besar dalam Gereja Latin. Ia dibaptis oleh St. Ambrosius di Malam Paska 387, menjadi Uskup Hippo di tahun 395.

Dalam suratnya kepada para heretik/ bidat Donatisme, St Agustinus menulis demikian:

“Sebab jika jalur suksesi para uskup harus diperhitungkan, dengan kepastian yang lebih tinggi dan menguntungkan bagi Gereja, kita menghitung kembali sampai kepada Petrus sendiri, kepada siapa, sebagai yang mengemban figur seluruh Gereja, Tuhan berkata: ‘Di atas batu karang ini Aku mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya!’ Penerus Petrus adalah Linus, dan para penerusnya dalam kesinambungan yang tidak terputus adalah: Klemens, Anakletus, Evaristus, Alexaner, Sixtus, Teleforus, Iginus, Anicetus, Pius, Soter, Eleutherius, Victor, Zephirinus, Calixtus, Urbanus, Pontianus, Antherus, Fabianus, Cornelius, Luciu, Stefanus, Xystus, Dionisius, Felix, Eutychianus, Gaius, Marcellinus, Marcellus, Eusebius, Miltiades, Sylvester, Marcus, Julius, Liberius, Damasus, dan Siricius yang digantikan oleh Uskup Anastasius saat ini. Dalam jalur apostolik ini tidak ditemukan satupun Uskup Donatis.” ((St.Letters of St. Augustine 53, 3, NPNF 1, 1:298. Donatism adalah aliran sesat yang berkembang pada masa St. Agustinus hidup))

Di sini kita melihat adanya pernyataan yang kuat yang mendukung keutamaan Uskup/ Paus di Roma, untuk menolak ajaran sesat. St. Agustinus memberikan dasar untuk menolak para bidat dengan menyatakan adanya tradisi dan suksesi kepemimpinan apostolik di dalam Gereja Katolik. St. Agustinus menanyakan secara rethorik, “Apakah para Donatist mempunyai klaim kebenaran kepada kebenaran? Tidak. Dapatkah mereka mengklaim suksesi apostolik dari Petrus sendiri? Tidak.” Oleh karena itu mereka tidak di dalam Gereja dan tidak dapat mengklaim kembali sampai kepada para rasul. ((Ibid.)).

Selanjutnya, dalam suratnya menanggapi penyerangan yang dilakukan para bidat kepada Caecilianus, Uskup Carthage, St. Agustinus menulis demikian:

“Kota itu (Carthage) mempunyai seorang uskup yang otoritasnya tidak kecil, yang mampu untuk tidak mempedulikan banyaknya para musuhnya yang bersekongkol menyerang dia, ketika ia [Caecilianus] melihat dirinya bersatu dalam surat persekutuan, baik dengan Gereja Roma, yang di dalamnya keutamaan tahta apostolik [apostolicae cathedrae principatus] telah selalu diterapkan– dan dengan daratan yang lain- yang dari mana Injil datang ke Afrika itu sendiri, di mana ia dapat dengan siap sedia memohon tentang kasusnya, jika para penyerangnya berusaha mengasingkan gereja- gereja itu darinya.” ((St. Augustine, Epistle 43,7, in Joseph Berrington and John Kirk, Faith of Catholics, ed. T.J. Capel, vol 2 (New York: F. Pustet & Co, 1885) p. 81-82)).

Untuk menangani ajaran sesat yang terjadi di Afrika Utara, para Uskup, termasuk St. Agustinus, Uskup Hippo, mengirimkan surat untuk memperoleh konfirmasi resmi konsili mereka dari “tahta apostolik”/ Apostolic See. Surat tersebut diawali dengan perkataan, “Sebab Tuhan, dengan kelimpahan yang istimewa dari rahmat-Nya, telah menempatkan engkau di Tahta Apostolik…” Selanjutnya setelah Paus Innocentius I memutuskan mengenai masalah tersebut, mereka [214 para uskup itu termasuk St Agustinus] berkata, “Kami yakin bahwa penilaian harus tetap seperti yang dikeluarkan oleh Uskup [Paus] Innocentius dari tahta Rasul Petrus yang terberkati…”

“[Paus Innocentius] mengacu kepada semuanya, menulis kembali kepada kita dengan cara yang sama di mana adalah sah dan menjadi tugas Tahta Apostolik untuk menuliskannya.” ((St. Augustine, Sermon 186, n.2, in Luke Rivington, The Primitive Church and the See of Peter, (London: Longmans, Green and Co., 1894), p. 290))

Jawablah kepadanya [Paus Innocentius I], ya, seperti kepada Tuhan sendiri, yang kesaksian-Nya digunakan oleh uskup itu.” ((St. Augustine, Lib., i.c. Julian c.4, in Rivington, Ibid.,p. 290))

Maka tidak perlu diragukan bahwa St. Agustinus mengajarkan keutamaan Rasul Petrus, walaupun ia juga mengajarkan bahwa perikop Mat 16:18 mengacu baik kepada kepada Kristus yang kepada-Nya Petrus menyatakan pengakuan imannya, maupun kepada Petrus sendiri:

“Di dalam sebuah perikop di buku ini, saya berkata tentang Rasul Petrus: “Di atasnya Gereja didirikan.” Ide ini juga dinyatakan dalam nyanyian oleh banyak orang di dalam bait yang dikarang oleh St. Ambrosius  … Tetapi saya mengetahui hal itu sering di kemudian hari, maka saya menjelaskan apa yang dikatakan Tuhan: “Kamu adalah Petrus dan di atas batu karang ini aku akan mendirikan Gereja-Ku, “bahwa ini untuk diartikan bahwa [Gereja] didirikan di atas Ia yang di atasnya Petrus mengakui: Engkau adalah Kristus, Anak Allah yang hidup,” dan karena itu Petrus, yang dipanggil setelah batu karang ini, mewakili orang di Gereja yang didirikan di atas batu karang ini, dan telah menerima “kunci- kunci Kerajaan Surga.” Sebab ‘batu karang ini adalah Kristus’, dan dengan mengakui-Nya, seperti juga seluruh Gereja mengakui-Nya, Simon disebut sebagai Petrus. Tetapi biarlah para pembaca memutuskan manakah dari kedua pendapat ini yang lebih mungkin.” ((Retractationes 1,20,1, in St. Augustine: The Retractations, trans, Sis. Mary Inez Bogan (Washington DC: Catholic University of America Press, 1968), 60:90-91)).

Saudara-saudari kita non Katolik kerap mengutip tulisan St. Agustinus yang berkesan seolah tidak mendukung otoritas Petrus. ((Contoh tulisan ini adalah: “Dengan memandang bahwa Kristus adalah batu karang (Petra), Petrus adalah umat Kristen. Sebab batu karang (Petra) adalah sebutan aslinya. Oleh karena itu Petrus disebut dari batu karang, bukan batu karang dari Petrus; sebagaimana Kristus tidak disebut dari Kristen, namun Kristen dari Kristus. Oleh karena itu, Dia berkata, “Engkau adalah Petrus; dan di atas Batu Karang ini” yang mana telah engkau akui, diatas Batu Karang ini yang mana telah engkau nyatakan, dengan berkata, “Engkau adalah Kristus, Putera Allah yang hidup’ akan Kubangun GerejaKu;” yaitu atas DiriKu Sendiri, Putera dari Allah yang hidup, “akan Kubangun GerejaKu.” Aku akan membangunmu diatas DiriKu Sendiri, bukan Diri-Ku Sendiri diatasmu.” (St. Augustine of Hippo, Sermon XXVI. 1:2)

Memang sepertinya dari kutipan ini St. Agustinus mengartikan ‘Batu karang’ sebagai Kristus yang kepada-Nya Petrus menyatakan imannya. Namun kemudian St. Agustinus mempertimbangkan kembali tulisannya ini. Kita ketahui, di saat usianya yang lanjut (72 tahun, 4 tahun sebelum ia wafat) St. Agustinus menuliskan semacam buku review (tinjauan ulang) akan semua tulisan/ ajarannya yang terdahulu dalam suatu tulisan yang diberi judul Retractions yang artinya ‘pertimbangan kembali’. Di sana ia memperjelas maksud pernyataannya tentang hal ini, dan bahwa Batu Karang dalam perikop Mat 16:18 mengacu baik kepada Kristus yang kepada-Nya Petrus menyatakan imannya, maupun kepada Petrus itu sendiri, karena pengakuan imannya itu.))

Namun silakan dilihat di sini bahwa St. Agustinus tidak menolak keutamaan Paus, sebab interpretasi ini tidak membatalkan arti literalnya. Lagipula, di tulisan- tulisannya yang lain, St. Agustinus jelas mendukung keutamaan Rasul Petrus.

Selanjutnya St. Agustinus juga menulis tentang peran Roma sebagai yang mengeluarkan kata terakhir tenteng suatu ajaran tertentu. Ia mengacu kepada keputusan Paus dalan Konsili Carthage dan Milevis (416) yang mengecam ajaran sesat Pelagianisme:

Roma locuta est, causa finita est / Roma sudah bicara [memutuskan], kasus ditutup.” ((St. Augustine, Sermons 131,10, William A. Jurgens, The Faith of the Early Fathers, (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press), 3:28))

Terhadap para pengikut ajaran sesat Manichaeisme, St. Agustinus mengatakan demikian:

“Jangan bicarakan tentang kebijaksanaan yang karenanya kamu [para Manichaean] tidak percaya ada di dalam Gereja Katolik, ada banyak hal lain yang lebih benar menjagaku tetap di dalam pangkuannya. Persetujuan berbagai bangsa menjagaku di dalam Gereja; demikian juga otoritasnya, diawali dengan mukjizat- mukjizat, dipelihara oleh pengharapan, dan diperluas oleh cinta kasih, dan dimantapkan oleh waktu. Suksesi para imam menjaga saya, dimulai dari tahta Petrus Rasul, yang kepadanya Tuhan setelah kebangkitan-Nya memberikan kuasa untuk memberi makan kepada domba- domba-Nya, sampai kepada keuskupan saat ini. … Sebab begitu banyak dan besar ikatan yang berharga yang dimiliki oleh suatu nama Kristen   yang dengan benar menjaga seseorang yang adalah orang percaya di alam Gereja Katolik …Tak seorangpun dapat menggoyangkan saya dari iman yang telah mengikat pikiran saya dengan ikatan yang begitu banyak dan kuat dengan agama Kristen …. Sebab di pihak saya, saya tidak akan percaya kepada Injil kecuali jika otoritas Gereja Katolik mendorong saya.” ((St. Augustine, Against the Epistle of Manichaeus 5,4-5, in Joseph Cullen Ayer, A Source Book for Ancient Church History, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1948), p. 454-455, cf. NPNF 1, 4:130, 131))

Pernyataan ini merangkum pandangan para Bapa Gereja tentang Gereja Katolik, yang merupakan Gereja yang mempunyai kontinuitas dengan para rasul.

Paus Innocentius I (401-417)

“Dalam pencarian akan hal- hal Tuhan, …. mengikuti teladan tradisi kuno, … kamu telah dikuatkan … kekuatan agamamu dengan akal budi yang benar, sebab kamu telah mengakui bahwa keputusan harus mengacu kepada kami dan [keputusan] telah menunjukkan kepadamu bahwa kamu mengetahui apa yang harus diberikan kepada Tahta Apostolik, jika kita semua ditempatkan pada posisi untuk menghendaki agar mengikuti Sang Rasul sendiri yang daripadanya muncul keuskupan dan otoritas total dari nama ini. Mengikuti dia, kita mengetahui bagaimana mengecam kejahatan- kejahatan seperti kita mengetahui bagaimana untuk menyetujui apa yang baik/ terpuji…. [Para Bapa Gereja] tidak menganggap segala sesuatunya sebagai sesuatu yang selesai, meskipun bersangkutan dengan provinsi yang jauh dan terpencil, sampai hal itu telah diperhatikan oleh Tahta ini [Roma], sehingga apa yang adalah keputusan yang benar dapat diteguhkan oleh otoritas total Tahta [Petrus] ini, dan dari situ ke Gereja- gereja lain — sepertihalnya air keluar dari sumbernya sendiri, melalui banyak daerah di seluruh dunia, tetap menjadi cairan yang murni dari kepala yang tidak rusak….” ((Letter of Pope Innocentius I to the Fathers of the Council of Carthage on Jan 27, 417, in Jurgen, Faith of the Early Church Fathers, Ibid., 3:181-182)).

“Jika kasus- kasus yang lebih penting untuk didengarkan, mereka, seperti diputuskan dalam dekrit sinoda, dan seperti kebiasaan mensyaratkan, setelah keputusan keuskupan, diajukan ke Tahta Apostolik [Roma].” ((Letter of Pope Innocentius I to Vitricius, Bishop of Rouen, 2,3,6, dated Feb 15, 404, in in Jurgen, Faith of the Early Church Fathers, Ibid., 3:179)).

Theodoret (393- 466)

Theodoret adalah seorang Uskup Cyrrus di Syria yang memerangi paganisme dan ajaran sesat. Ia mengatakan:

“Tahta yang paling kudus ini telah mempertahankan keutamaan di atas semua Gereja di bumi, untuk sebuah alasan yang sangat istimewa di antara yang lain: … bahwa ia telah tetap utuh/ tidak tersentuh oleh noda kotor ajaran sesat. Tak satu orangpun yang duduk di Tahta; yang telah mengajarkan ajaran sesat: sebaliknya Tahta itu telah mempertahankan rahmat Apostolik yang tidak bernoda.” ((Theodoret, Epistle  116 to Renatus, in Hergenrother, Anti- Janus, Ibid., p.67))

Konsili Efesus (431)

Kata pembuka dari Filipus, wakil dari kepausan:

“Tidak diragukan, dan nyatanya telah diketahui di sepanjang abad, bahwa Rasul Petrus yang kudus dan terberkati, kepala para Rasul, tonggak iman dan pondasi Gereja Katolik, menerima kunci- kunci Kerajaan dari Tuhan kita Yesus Kristus, …. dan bahwa kepadanya telah diberikan kuasa untuk melepas dan mengikat dosa, yang seterusnya sampai sekarang dan selamanya hidup dan memutuskan di dalam para penerusnya. Paus Celestinus yang kudus dan terberkati, menurut urutannya, adalah penerus Rasul Petrus dan menempati tempatnya, dan ia mengirimkan kami untuk memberikan tempatnya di dalam sinoda yang kudus ini…. ” ((Council Ephesus, third session in The First Seven Ecumenical Councils, 325-787, by Leo Donald Davis (Minneapolis: Liturgical Press, 1990) p.157)).

Paus St. Leo I (440-461)

St. Leo Agung adalah salah seorang pemimpin terbesar di Gereja abad awal. Ia tidak saja dikenal di Gereja Latin tetapi juga di Gereja Timur, terutama melalui Konsili Kalsedon (451), yang mengecam ajaran sesat Eutychianism, sebuah bentuk Monophysitism, yaitu ajaran yang mengajarkan bahwa Kristus hanya mempunyai satu kodrat, yaitu kodrat ke-Allahan. Paus Leo Agung mengeluarkan ajaran yang kemudian dikenal dengan sebutan The Tome of Leo, yang bunyinya antara lain dapat dibaca di sini, silakan klik. Di bawah pimpinannya tahta Paus memperoleh kesadaran akan hak- hak prerogatifnya sebagai pusat dan pondasi Gereja.

“Tuhan kita Yesus Kristus, Penyelamat umat manusia, mendirikan agama ilahi, yang oleh rahmat Allah diinginkanNya bersinar kepada segala bangsa …. Tetapi Tuhan menghendaki bahwa sakramen/ sarana rahmat ini berkenaan dengan semua Rasul sedemikian sehingga ia didirikan secara prinsip di dalam Petrus yang terberkati, yang tertinggi di antara semua Rasul. Dan Ia menghendaki agar karunia-Nya mengalir ke seluruh tubuh melalui Petrus sendiri, seperti dari kepala sedemikian, sehingga seseorang yang berani memisahkan dirinya sendiri dari solidaritas kepada Petrus akan menyadari bahwa ia sendiri tidak lagi menjadi pengambil bagian di dalam misteri ilahi … Tahta Apostolik … telah dilaporkan dalam kejadian- kejadian yang tak terhitung banyaknya menjadi tempat konsultasi bagi para uskup … Dan melalui permohonan berbagai kasus kepada tahta ini, keputusan- keputusan telah dibuat, entah penarikan ataupun peneguhan, sebagaimana ditentukan menurut kebiasaan yang telah bertahan lama.” ((Letter of Pope Leo I to Bishops of the Province of Vienne, 10, 1-2, July 445, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 3:269)).

“Semua sama dalam hal telah dipilih, tetapi telah ditentukan bahwa seorang menjadi lebih utama di atas yang lain …. Melalui mereka [para uskup dengan tanggung jawab yang lebih besar] pengaturan Gereja universal akan memusat di dalam satu Tahta Petrus, dan tak ada sesuatupun yang harus merasa ganjil dengan kepala ini.” (Letter of Pope Leo I to Anastasius, Bishop of Thessalonica, 14,11, (446 AD) in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 3:270)).

“Dari seluruh dunia hanya satu, Petrus, yang dipilih untuk memimpin atas panggilan kepada semua bangsa, dan atas semua Rasul yang lain, dan atas semua Bapa Gereja. Oleh karena itu, meskipun di antara umat Allah ada banyak imam dan pastor, sesungguhnya Petruslah yang memimpin mereka semua, yang atasnya adalah Kristus yang menjadi pemimpin tertinggi mereka.” ((Pope Leo I, Sermon 4,2, (461 AD), in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 3:275)).

“Sebab tak seorangpun dapat mengambil resiko atas apapun yang bertentangan dengan ketentuan kanon para Bapa Gereja, yang di kota Nicea telah lama didirikan di atas perintah Roh Kudus, sehingga siapapun yang ingin membuat dekrit yang berbeda mencelakai dirinya sendiri bukannya memperlemah mereka (para Bapa Gereja). Dan jika semua Paus akan tetap melestarikannya sebagaimana seharusnya, akan ada damai sempurna dan harmoni yang utuh di seluruh Gereja-gereja…. Tetapi persetujuan para uskup, yang bertentangan dengan peraturan kanon- kanon yang suci yang disusun di Nicea …., tidak kami akui, dan dengan otoritas Rasul Petrus yang terberkati kami secara absolut membatalkan seluruhnya dalam artian yang komprehensif.” ((Pope Leo I, Epistle 105, NPNF2, 12:76,77))

Konsili Kalsedon (451)

Konsili Kalsedon adalah konsili ekumenis ke -4 yang diadakan oleh perintah kaisar Timur, Marcian, atas prakarsa Paus Leo I. Sekitar 600 Uskup hadir (mayoritas dari Gereja Timur), dengan 2 orang Uskup dari Afrika, dan 2 orang utusan dari Roma. Konsili ini mengecam ajaran Eutychianism, yang mengajarkan bahwa Yesus hanya mempunyai satu kodrat yaitu kodrat ke- Allahan. Definisi Kalsedon diambil berdasarkan formula yang dituliskan oleh Paus Leo I kepada Flavian, Uskup Konstantinopel, dan surat- surat sinode dari St. Silirus (Cyril) dari Aleksandria kepada Nestorius, yaitu bahwa Kristus mempunyai dua kodrat, yaitu ke-Allah-an dan kemanusiaan, yang tidak terpisahkan, yang ada di dalam diri-Nya. Selain itu konsili mempromulgasikan 27 kanon tentang disiplin gerejawi, hirarki dan peraturan kleris.

Setelah The Tome of Leo dibacakan dalam Konsili, maka tanggapan Uskup yang hadir adalah:

Petrus telah berbicara ini melalui Leo“/ Peter has spoken this through Leo ((Response to Pope Leo’s Tome, quoted in John Jay Hughes, Pontiffs: Popes Who Shaped History, (Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor, 1994), p.46 ))

Paus Leo I sendiri tidak hadir dalam Konsili ini. Sesudahnya, para Uskup (mayoritas dari Gereja Timur) yang tergabung dalam Konsili menulis surat demikian kepada Paus Leo I:

“Dan kami selanjutnya memberitahukan kepadamu bahwa kami telah memutuskan tentang hal- hal lain juga demi kebaikan pengaturan dan stabilitas hal- hal gerejawi, percaya bahwa Yang Mulia akan menerima dan meneguhkan hal- hal tersebut …. Karena itu, berkenanlah, bapa yang tersuci dan terberkati, menerima sebagai kehendakmu sendiri, dan sebagai pemimpin pengaturan yang baik hal- hal yang telah kami putuskan demi menghilangkan kebingungan dan demi peneguhan keteraturan Gereja… Demikianlah kami memohon dengan sangat, hormatilah keputusan kami dengan persetujuanmu, dan sebagaimana kami telah tunduk kepada sang kepala, [tentang] perjanjian kami mengenai hal- hal yang mulia, semoga sang kepala juga memenuhi anak- anaknya dengan apa yang pantas …. Sebab agar engkau tahu bahwa kami telah berbuat tidak demi kesenangan ataupun kebencian, tetapi karena telah dibimbing oleh Kehendak Ilahi, kami telah memberitahukan kepadamu keseluruhan jangkauan dari proses untuk memperkuat posisi kami dan untuk meneguhkan dan menetapkan apa yang telah kami lakukan.” ((Letter 98: From the Synod of Chalcedon to Leo, NPNF 2, 12:73))

Pada saat itu Patriarkh Konstantinopel, Anatolius, menulis kepada Paus Leo untuk mengumumkan konsekrasinya dan peneguhannya sebagai pemimpin keuskupan Konstantinopel. (Anatolius ini dipilih menggantikan Flavian yang wafat karena penganiayaan akibat konsili Efesus oleh para pendukung ajaran Eutyches). Untuk menjamin pelestarian ajaran para rasul di keuskupan Konstantinopel, Paus Leo kemudian mensyaratkan Anatolius untuk menandatangani The Tome of Leo, surat kedua St. Sirilus kepada Nestorius dan perikop tulisan para Bapa Gereja yang dilampirkan dalam akta Konsili Efesus. Lalu Pulcheria, Ratu kerajaan, menulis kepada Paus, “Anatolius telah merangkul pengakuan iman Apostolik sebagaimana tertulis dalam surat- suratmu, surat tentang iman Katolik.” Paus Leo menjawab dengan memberi selamat kepada Anatolius, “mereka yang melayani Tuhan kita akan bersukacita bahwa damaimu telah terangkum dalam Tahta Apostolik.” ((S. Herbert Scott, The Eastern Churches and the Papacy, London: Sheed and Ward, 1928), p.189-190)).

St. Sirilus (Cyril) dari Aleksandria (370-444)

St. Sirilus adalah seorang pertapa yang diangkat menjadi Patriarkh Aleksandria (412). Ketika Nestorius (seorang bidat) menjadi uskup Konstantinople (428), keduanya berbeda pandangan. Nestorius menekankan kemanusiaan Yesus sehingga menolak menyebut Bunda Maria sebagai yang mengandung Tuhan (God-bearer/ Theotokos), dan memanggilnya ‘yang mengandung Kristus’ (Christ- bearer), atas dasar ia hanya melahirkan manusia yang kemudian menjadi alat dan bait Allah. Maka Nestorius memisahkan antara kemanusiaan Yesus dengan Sang Firman (Yoh 1:1). Sedangkan St. Sirilus mengatakan, walaupun Kristus mempunyai dua kodrat yang berbeda, yaitu kodrat manusia dan kodrat Allah, namun keduanya bersatu sedemikian (secara hypostatic), sehingga dapat masing- masing kodrat mempunyai sifatnya masing- masing, dalam satu kesatuan Pribadi Yesus. St. Sirilus meminta dukungan kepada Roma (Paus Celestine) untuk klarifikasi dan otoritas dalam menentang ajaran Nestorius.

“Ia [Yesus] tidak lagi memanggilnya Simon, menunjukkan otoritas dan memerintah atasnya, seperti menjadikannya milik-Nya sendiri. Tetapi dengan gelar yang menyerupai benda, ia mengubah namanya menjadi Petrus, dari kata petra (batu karang); sebab diatasnya Ia kemudian mendirikan Gereja-Nya.” ((St. Cyril, Commentary on John, in Joseph Berrington and John Kirk, The Faith of Catholics, (New York: F. Pustet & Co., 1885), 2:46))

“Mereka (para Rasul) bekerja keras untuk belajar melalui seorang, yang paling utama, [yaitu] Petrus.” ((Ibid.))

“Kami belum secara terbuka dan secara publik memisahkan Nestorius dari persekutuan, sebelum memberitahukan keseluruhan masalah kepada Yang Mulia. Maka berkenanlah untuk merumuskan apa yang engkau pandang benar untuk dilakukan. Apakah perlu bagi kamu untuk mempertahankan persekutuan dengan dia, atau untuk mengumumkan secara terbuka, bahwa persekutuan tidak mungkin dipertahankan dengan dia yang mengembangkan dan mengajarkan ajaran yang demikian salah.” ((St. Cyril, In Concl. Ephes, 1,14, as quoted in Paul Bottalla, The Pope and the Church, (London: Burns, Oates and Co., 1868), p.84)).

Menanggapi surat St. Cyril ini Paus Celestine, yang sadar akan otoritas yang diembannya, mengeluarkan pernyataan pengakuan iman dan keputusan, yang menugasi St. Cyril untuk melaksanakannya, dan kepada Nestorius, mengeluarkan peringatan ekskomunikasi, mendesak agar ia [Nestorius] berpegang pada pengajaran yang dinyatakan tersebut. Di sini kita melihat bukti keutamaan Paus. ((Ibid., 86))

St. Petrus Krisologus (400-450)

St. Petrus Krisologus adalah seorang Uskup di Ravenna, Italia. Ia adalah salah seorang Pujangga Gereja. Ia menulis demikian:

“Kami mendesak kamu secara khusus, para saudara yang terhormat, untuk memberi perhatian dengan taat kepada apa yang telah ditulis oleh Paus yang terberkati di Roma; sebab Rasul Petrus yang terberkati, yang hidup dan memerintah di tahtanya sendiri, memberikan kebenaran iman kepada mereka yang mencarinya. Sebab kami, dengan alasan untuk mengejar damai dan iman, tidak dapat mencoba kasus- kasus dalam hal iman tanpa persetujuan Uskup Roma.” ((St. Peter Chrysologus, Letter to Eutyches 25,3, (449 AD), in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 3:268)).

St. Flavian (Uskup/ Patriarkh Konstantinopel- 449)

St. Flavian adalah Uskup/ Patriarkh Konstantinopel yang dikenal dengan kehidupannya yang kudus. Ajaran sesat Eutyches berkembang saat St. Flavian menjadi uskup, sehingga ia terpaksa mengumumkan ekskomunikasi kepada Eutyches, dan keputusan ini didukung oleh Paus. Namun di Konsili Efesus (449) terjadi kekacauan, karena para pendukung Eutcyches menyerbu tempat Konsili dan kemudian menganiaya Flavian, sehingga tiga hari kemudian ia wafat. Sebelum semua ini terjadi ia pernah menulis demikian kepada Paus Leo I:

“Keseluruhan masalah memerlukan hanya keputusan tunggal dari ya dan semua akan terselesaikan dengan damai dan tenang. Surat Anda yang kudus akan, oleh pertolongan Tuhan, mengakhiri keseluruhan ajaran sesat yang telah timbul dan segala kekacauan yang telah diakibatkannya; sehingga pengadaan konsili yang dalam hal ini sulit akan menjadi tidak diperlukan.” ((Letter to Pope Leo, in Vladimir Solovyev, Russia and the Universal Church, (London: Geoffrey Bles,1948), p. 134))

Kesimpulan

Telah banyak bukti dalam sejarah yang menunjukkan tentang keutamaan Rasul Petrus dan para penerusnya. Sesungguhnya ajaran tentang keutamaan Petrus ini merupakan salah satu ajaran yang paling nyata terlihat telah diterapkan dalam kehidupan Gereja sejak awal mula. Penolakan akan ajaran ini sesungguhnya adalah sikap penolakan terhadap kesaksian yang jelas dari fakta yang tidak dapat dipungkiri. Mereka yang menolak ajaran ini, umumnya mengambil sebagian saja kutipan dari tulisan para Bapa Gereja, dan mengartikannya sendiri, tanpa melihat bahwa para Bapa Gereja tidak pernah mengartikan ‘batu karang’ melulu sebagai arti alegoris, yaitu sebagai pengakuan iman Petrus saja; atau bahwa Batu Karang itu hanya mengacu kepada Yesus saja. Sebab Gereja telah sejak awal mula mengartikannya secara literal, bahwa Petruslah batu karang yang dipilih oleh Tuhan Yesus Sang Batu Karang, dan atasnya [Rasul Petrus]  Kristus mendirikan Gereja-Nya. Maka sekalipun ada Bapa Gereja yang menuliskan arti alegoris dalam hal ini, yaitu bahwa ‘batu karang’ itu adalah pengakuan iman Petrus, hal itu tidak untuk diartikan terlepas dari arti literalnya yang juga mereka yakini, yaitu bahwa Rasul Petruslah yang ditunjuk oleh Kristus untuk menjadi ‘batu karang’ yang mempersatukan dan memimpin seluruh Gereja-Nya, dan menjaganya kemurnian ajarannya seperti yang diterimanya dari Kristus dan para rasul. Sejarah membuktikan bagaimana Gereja Roma telah menjadi teladan dalam menjaga kemurnian ajaran iman, dan Paus sebagai penerus Rasul Petrus menjadi pemberi kata akhir jika terjadi perbedaan pandangan di dalam Gereja. Demikianlah sejarah Gereja membuktikan betapa Kristus sendiri memenuhi janji-Nya untuk menjaga Gereja-Nya, agar selalu bertahan walau diterpa badai, sebab Rasul Petrus dan para penerusnya, oleh kuasa yang diberikan Kristus kepada mereka, melestarikan ajaran iman yang dipercayakan kepada mereka.

Santo Petrus, doakanlah kami.

Selanjutnya, dalam suratnya menanggapi penyerangan yang dilakukan para bidat kepada Caecilianus, Uskup Carthage, St. Agustinus menulis demikian:

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab