Home Blog Page 194

Otentisitas dari Markus 16:9-20

13

Pertanyaan:

Salam

Mohon penjelasannya tentang Markus 16:9-20 yang ada di Injil sekarang kenapa tidak terdapat di Codex Sinaiticus dan Codex Vaticanus? Hal tersebut menjadi salah satu dasar bukti bagi agama lain kalau Injil sekarang palsu. Walaupun saya tidak mempercayai hal tersebut tapi penjelasannya akan sangat membantu saya dalam membela iman saya maupun lebih menambah pengetahuan saya tentang kekayaan iman Katolik

Terima kasih

Jawaban:

Shalom Maria,

Jawaban dari Rm Dr. V. Indra Sanjaya, Pr:

Tentu kita tidak bisa menjawab secara pasti mengapa Mrk 16,9-20 tidak terdapat dalam kedua codex itu. Tetapi yang jelas, fakta ini sama sekali bukan dasar bukti bahwa Injil sekarang ini palsu. Baik Codex Sinaiticus maupun Codex Vaticanus hanyalah manuskrip kuno yang memang mungkin bisa memberi kesaksian tentang sebuah teks tertentu.

Harus diakui bahwa Mrk 16,9-20 memang banyak diperdebatkan.

Konsili Trente (8 April 1546) tentang definisi kitab-kitab kanonik menggunakan rumusan “…these books in their entirety and with all their parts…” Yang dimaksud dengan ‘their parts’ kalau saya tidak salah, adalah Mrk 16,9-20; Yoh 7,53-8,11 satu lagi dari Injil Lukas 22,43-44 (?). Dengan demikian, Trente tampaknya tahu bahwa Mrk 16,9-20 bukan asli bagian Injil Markus dan hanya merupakan bagian saja yang mungkin sudah dipakai sejak cukup awal (mungkin abad 3). Yang jelas, Trente menerimanya sebagai ‘suci dan kanonik’.

Pontifical Biblical Commission dalam ‘responsa’ yang bertanggal 26 Juni 1912 pernah menulis demikian:

2156 II. Whether the reasons by which some critics strive to demonstrate that the last twelve verses of the Gospel of Mark [Mark 16:9-20] were not written by Mark himself, but were added by another hand, are such as to give the right to affirm that they are not to be accepted as inspired and canonical; or at least demonstrate that the author of the said verses is not Mark?–Reply: In the negative to both parts.

[dari: http://iteadthomam.blogspot.com/2009/11/responsa-of-pontifical-biblical.html]

Keputusan PBC ini tidak pernah dicabut, walaupun harus diakui bahwa sekarang ini ada banyak orang yang menerima bahwa Mrk 16: 9-20 bukanlah bagian asli dari Injil Markus. Namun Gereja Katolik berpegang pada pernyataan ini, bahwa Mrk 16:9-20 adalah otentik diinspirasikan oleh Roh Kudus dan termasuk di dalam kanon Kitab Suci.

Bagi saya, persoalannya adalah ‘kaca mata’ yang dipakai untuk memahami Alkitab. Kalau saya menggunakan ‘kaca mata’ orang lain untuk membaca Alkitab saya, tentu saya tidak bisa melihat dengan sempurna. Gereja menerima bahwa Kitab Suci adalah tulisan Allah dan manusia. Dan rumusan ini mengandung konsekuensi yang tidak sembarang orang berani menerimanya. DV 13 menyejajarkan Alkitab dengan peristiwa inkarnasi. Seperti dulu Allah yang mahabesar menjadi manusia Yesus dengan segala keterbatasan manusiawinya, demikian juga dalam Kitab Suci, Firman-Nya menjadi bahasa manusia dengan segala keterbatasannya.

Tambahan dari Katolisitas:

Jangan dilupakan bahwa teks Mrk 16:9-20 sudah ada dan dikutip oleh St. Yustinus Martir, Diatessaron dan St. Irenaeus di sekitar tahun 150-170an, dan St. Hippolytus (170 – 235) yang membuktikan bahwa ayat-ayat itu tidak asing bagi para Bapa Gereja tersebut. Dalam bukunya, First Apology, bab XLV, St. Yustinus Martir menghubungkan Mzm 110 sebagai nubuat Mesianis, dan bahwa Mzm 110:2 telah digenapi ketika para murid Yesus, menyebar dari Yerusalem, berkhotbah ke segala penjuru. Penggunaan katanya serupa dengan teks Mrk 16:20 dan konsisten dengan penjelasan ST. Yustinus tentang Injil sinoptik, yaitu kesesuaian antara Mrk 16:20 dengan Luk 24:53. Murid St. Yustinus, yaitu St. Tatian (172) memasukkan ayat Mrk 16:9-20 ke dalam Diatessaron, yaitu penggabungan kisah narasi yang mengambil sumber dari ke-empat Injil. Dan St. Irenaeus dalam bukunya Against Heresies 3:10.6 secara eksplisit mengutip Mrk 16:19, dan mengatakan bahwa ia mengutip dari akhir tulisan Markus. Demikian juga tulisan para  di tahun 200-an, seperti tulisan St. Hippolytus, Porphyry, and the anonymous author of De Rebaptismate. Bukti dari tulisan para Bapa Gereja ini sangatlah penting, karena umurnya lebih tua/ lebih dahulu daripada salinan manuskrip tersebut. Lagipula apa yang disampaikan di ayat-ayat Mrk 16:9-20 juga sesuai dengan apa yang disampaikan di ayat-ayat lainnya di dalam Injil, Kisah para rasul maupun surat-surat para rasul.

Selanjutnya, sebagai umat Katolik, kita juga perlu mempertimbangkan apa yang telah diputuskan oleh Pontifical Biblical Commission (PBC) terutama untuk menyikapi isu-isu yang sulit semacam ini. Walaupun pada tahun 1971 melalui motu Proprio Sedula Cura, Paus Paulus VI menata ulang PBC, sehingga PBC bukan lagi menjadi bagian dari Magisterium Gereja, namun, keputusan-keputusannya, harus kita perhatikan dan memberikan bobot tersendiri, mengingat bahwa mereka adalah komisi Kitab Suci dari pihak kepausan. Di samping itu, hal otentisitas Mrk 16:9-20 juga dinyatakan oleh Konsili Trente, maka keputusan ini mengikat umat beriman.

Beberapa argumentasi berikut ini adalah alasan mengapa kita mempercayai bahwa Mrk 16:9-20 adalah merupakan bagian otentik dari Kitab Suci:

a. Didukung oleh Konsili Trente: Dalam Sess.4 Dec. 1, maka kita melihat bahwa kanon dari Kitab Suci adalah seperti yang tertulis di dalam edisi Latin Vulgate, yang memasukkan Mrk 16:9-20 sebagai bagian dari Markus.

b. Didukung oleh Pontifical Biblical Commission: Dalam jawaban yang diberikan tanggal 26 Juni 1912 atas pertanyaan apakah Markus 16:9-20 tidak ditulis oleh Markus namun ditambahkan kemudian sehingga tidak diinspirasikan dan tidak menjadi bagian dari kanon Kitab Suci serta apakah penulis Kitab Markus adalah bukan Markus, maka PBC mengatakan negatif atau tidak atau dengan kata lain, Markus 16:9-20 adalah bagian otentik dari Kitab Markus dan dikarang oleh Markus.

c. Didukung oleh beberapa manuskrip: Menurut beberapa manuskrip, dan juga Tradisi, kita dapat melihat adanya empat alternatif pengakhiran dari Kitab Markus. Namun akhiran panjang dari Markus (ay.9-20) didukung oleh semua manuskrip Yunani kecuali Vaticanus, dan Siniaticus. Vulgate MSS dan semua MSS dari Old Latin (kecuali k) juga memuatnya, termasuk juga Syriac, Coptic dan versi lain. (Dom Orchard, ed., A Catholic Commentary on Holy Scripture, p.907)

d. Didukung oleh beberapa Bapa Gereja: Beberapa Bapa Gereja yang mendukung adanya akhiran panjang dari Markus, adalah: Papias, Justin, Irenaeus, Tatian, Epiphanius, Chrysostomus, Ambrosius, Agustinus. Dalam tulisan-tulisannya, mereka mengutip Mrk 16:9-20. Kesaksian para Bapa Gereja ini lebih kuat nilainya daripada hipotesa para ahli Kitab Suci di abad-abad terakhir ini yang meragukan keotentikan ayat-ayat tersebut. Bagi Gereja Katolik, pengajaran para Bapa Gereja yang terhubung dengan para rasul ini, dalam hal artikel iman, yang sesuai dengan keseluruhan ajaran para rasul, merupakan bagian dari Tradisi Suci, yang diinspirasikan oleh Roh Kudus.

e. Didukung oleh pengakhiran yang aneh: Kalau Markus 16 berakhir pada ayat 8, maka kita melihat akhir dari Kitab Markus sebagai berikut “And they went out and fled from the tomb; for trembling and astonishment had come upon them; and they said nothing to any one, for they were afraid.” (RSV) atau dalam versi Indonesia “Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapapun juga karena takut.” Bandingkan dengan akhir dari Mrk 16:20 “Merekapun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.” Sungguh sulit dimengerti bahwa Injil yang merupakan kabar gembira harus berakhir dengan ketakutan.

Semoga jawaban dari Romo Indra dan tambahan dari saya dapat berguna bagi para pembaca katolisitas.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org

Membunuh Binatang, Dosakah?

24

Pertanyaan:

Saya ingin mengetahui pandangan Katolik di dalam membunuh binatang, berdosa atau tidak :
– apakah yang tidak berdosa hanya membunuh binatang yang untuk dimakan saja
– apakah yang tidak berdosa hanya kalau membunuhnya tidak disengaja
– apakah membunuh untuk keperluan lain adalah berdosa, seperti misalnya :
membunuh tikus karena binatang tersebut sering membuang kotoran di halaman ( dengan racun )
atau membunuh kucing dsb
membunuh karena hobi berburu, membunuh burung, babi hutan
membunuh karena terpaksa karena bertemu binatang buas yang akan memangsa manusia
– kalau dilarang apakah karena binatang ciptaan Tuhan yang juga harus dihormati, atau mungkin adalah reinkarnasi dari roh roh tertentu
– kalau tidak dilarang / tidak berdosa, bolehkah seseorang mempunyai hobi berburu binatang
Terima kasih GBU

Yongky

Jawaban:

Shalom Yongky,

Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, ijinkan saya mengutip terlebih dahulu apa yang diajarkan oleh Katekismus Gereja Katolik perihal menghormati integritas ciptaan Tuhan yang lain (termasuk hewan dan tumbuhan), demikian:

KGK 2415    Perintah ketujuh juga menuntut agar keutuhan ciptaan diperhatikan. Binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk tak bernyawa, dari kodratnya ditentukan untuk kesejahteraan bersama umat manusia yang kemarin, hari ini, dan esok (bdk. Kej 1:28-31). Kekayaan alam, tumbuh-tumbuhan, dan hewan dunia ini, tidak boleh dimanfaatkan tanpa memperhatikan tuntutan moral. Kekuasaan alas dunia yang hidup dan tidak hidup, yang Pencipta anugerahkan kepada manusia, tidak absolut sifatnya; ia diukur menurut usaha mempertahankan kualitas hidup sesama, termasuk pula generasi yang akan datang; ia menuntut penghormatan kepada keutuhan ciptaan (Bdk. Centessimus Annus 37-38).

KGK 2416    Binatang adalah makhluk-makhluk Allah dan berada di bawah penyelenggaraan ilahi (Bdk. Mat 6:26). Hanya dengan keberadaannya saja mereka memuji dan memuliakan Allah (Bdk. Dan 3:57-58). Karena itu manusia juga harus memberikan kebaikan hati kepada mereka. Kita perhatikan saja, dengan perasaan halus betapa besar para kudus, umpamanya santo Fransiskus dari Assisi dan Filipus Neri, memperlakukan binatang.

KGK 2417    Allah menempatkan binatang di bawah kekuasaan manusia, yang telah Ia ciptakan menurut citra-Nya sendiri (Bdk. Kej 2:19-20;9:1-14). Dengan demikian orang dapat memanfaatkan binatang sebagai makanan dan untuk pembuatan pakaian. Orang dapat menjinakkan mereka, supaya dapat melayani manusia dalam pekerjaannya dan dalam waktu senggangnya. Eksperimen dengan binatang demi kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan dalam batas-batas yang wajar, dapat diterima secara moral, karena mereka dapat menyumbang untuk menyembuhkan dan menyelamatkan manusia.

KGK 2418    Bertentangan dengan martabat manusia ialah menyiksa binatang dan membunuhnya dengan cara yang tidak wajar. Juga tidak layak, kalau manusia mengeluarkan uang untuk binatang, yang pada tempat pertama harus meringankan penderitaan manusia. Orang dapat memiliki hewan, tetapi tidak boleh mencintai mereka sebagaimana layaknya hanya berlaku untuk manusia.

Berpegang pada prinsip yang diajarkan dalam Katekismus, demikianlah saya menanggapi pertanyaan anda:

1&2. Apakah yang tidak berdosa hanya membunuh binatang yang untuk dimakan saja, atau hanya karena tidak sengaja?
Tidak. Sepanjang pembunuhan terhadap binatang itu masih dalam batas- batas yang diperbolehkan oleh moral, maka hal itu bukan dosa. Misalnya, selain untuk makanan, binatang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pakaian, untuk percobaan dalam rangka menyembuhkan dan menyelamatkan manusia (contohnya dalam rangka eksperimen obat- obatan, dst); atau jika binatang tertentu sudah mengganggu ekosistem dan keseimbangan hidup manusia, misalnya menyebabkan wabah penyakit, maka dapat dibunuh, demi mempertahankan kualitas hidup manusia.

3. Apakah membunuh untuk keperluan lain adalah berdosa, seperti misalnya a) membunuh tikus, kucing, b) berburu burung dan babi c) membunuh binatang buas karena akan memangsa manusia?

a) Diperbolehkan, jika alasan membunuh tikus adalah karena tikus membuat kotor dan membawa penyakit. Sedang membunuh kucing, silakan dilihat alasannya, sebab jika tidak ada alasan bahwa mereka telah mengganggu/ menurunkan kualitas hidup manusia, memang sebaiknya tidak dibunuh.

b) Berburu tidaklah merupakan dosa, jika alasannya adalah untuk dimakan. Sebab Tuhan sudah memberikan binatang dan tumbuhan sebagai makanan bagi manusia (lih. Kej 9:3).

c) Diperbolehkan, jika seseorang membunuh binatang buas, karena alasan binatang itu akan memangsanya/ manusia yang lain,  – jadi karena alasan pembelaan diri/ mempertahankan hidup manusia. Namun jika binatang buas itu tidak mengganggu manusia, apalagi merupakan binatang yang harus dilindungi dari kepunahan, maka pembunuhan binatang tersebut tidak dapat dibenarkan secara moral.

4. Jika dilarang membunuh binatang, apakah karena ada reinkarnasi?
Tidak. Iman Kristiani tidak mengajarkan adanya reinkarnasi. Kalau kita mengetahui perbedaan hakekat antara tumbuhan, binatang dan manusia, seperti yang dipaparkan di sini – silakan klik, maka kita juga akan mengetahui bahwa ajaran reinkarnasi bertentangan dengan akal sehat. Manusia yang mempunyai jiwa yang bersifat spiritual dan bersifat kekal, tidak mungkin berubah menjadi binatang, yang mempunyai jiwa yang tidak bersifat spiritual dan tidak kekal. Lagipula, Kitab Suci mengatakan, “…. manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi” (Ibr 9:27). Di sini dikatakan bahwa sesudah wafat, manusia akan diadili; maka ia tidak hidup lagi dan mati lagi. Maka, sesudah wafat, manusia tidak kembali lahir di dunia, apalagi diubah menjadi binatang, yang derajatnya lebih rendah dari manusia.

5. Jika tidak dilarang, bolehkah seseorang mempunyai hobi berburu binatang?
Boleh, asalkan melakukannya masih dalam batas- batas yang diperbolehkan secara moral, yaitu secara garis besar: 1) membunuh binatang tidak dengan cara yang tidak wajar (menyiksa); 2) membunuh binatang dengan maksud yang baik bagi manusia (untuk dimakan, dijadikan pakaian, melindungi manusia dari gangguan binatang tersebut, dst); 3) membunuh binatang bukan hanya demi kepuasan/ kesenangan dan kemudian disia- siakan; 4) Tidak berburu hewan yang dilindungi dari kepunahan (pembunuhan hewan langka ini melanggar hukum). 5) Berburu/ menangkap binatang, namun setelah tertangkap dilepaskan kembali, tanpa melukai/ membunuhnya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Mat 11:25: Tuhan menyatakan diri-Nya kepada orang kecil

5

Pertanyaan:

Syalom.
Mohon penjelasan kepada Ibu Inggrid, Apakah maksud perkataan Yesus dengan : “..Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil”.
Yang berada di dalam Mat 11:25 Pada waktu itu berkatalah Yesus: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.

Terima kasih atas penjelasannya.

Yulius santoso.

Jawaban:

Shalom Yulius,

Demikianlah penjelasan yang saya terjemahkan dari The Navarre Bible tentang Mat 11:25-26:

“Mereka yang bijak dan pandai dari dunia ini, yaitu, mereka yang mengandalkan pemahamannya sendiri, tidak dapat menerima wahyu yang dibawa oleh Kristus kepada kita. Pandangan/ pemahaman adikodrati selalu berhubungan dengan kerendahan hati. Orang yang rendah hati, yang tidak menganggap dirinya penting, dapat melihat/ memahaminya; [sedangkan] orang yang penuh dengan kepercayaan/ keyakinan diri gagal untuk memahami hal- hal yang adikodrati.”

Dan menurut A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Orchard, ed.:

“…. Yesus mengucap syukur kepada Bapa-Nya di surga, sebab Ia telah menyatakan rahasia tentang kedatangan-Nya kepada para murid-Nya, yang menurut pandangan umum yang keliru, adalah mereka yang kecil dan bodoh; dan Bapa telah menyembunyikannya dari para ahli Taurat dan orang- orang Farisi, yang disindir-Nya sebagai orang- orang yang bijak. Melalui doa ini, Yesus memohon kepada Bapa-Nya agar menyelesaikan apa yang telah dimulai-Nya di dalam diri para murid-Nya (St. Hieronimus).— Kristus tidak bersuka cita bahwa hal itu tidak dinyatakan kepada mereka yang bijak, tetapi karena hal itu dinyatakan kepada para pengikutNya yang kecil dan sederhana (St. Thomas Aquinas).”

St. Yohanes Krisostomus menafsirkan perikop ini, sepertinya Kristus akan mengatakan, “Teruskanlah Bapa, sebagaimana yang sudah Kau mulai”; atau mungkin, “Aku berterima kasih kepada-Mu, O Bapa, bahwa hal ini telah menyenangkan hati-Mu, bahwa karena orang- orang bijak dari dunia ini telah menolak Injil, Engkau telah berkenan menyatakannya kepada orang- orang kecil ….”

Nampaknya inti yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa wahyu Allah yang disampaikan Kristus hanya dapat dipahami dengan sikap kerendahan hati, seperti halnya sikap anak- anak atau orang- orang yang sederhana, yaitu dengan sikap miskin di hadapan Allah. Ini sejalan dengan pesan pertama dalam khotbah di bukit (Mat 5:3), “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Maka kita semua dipanggil untuk mempunyai sikap kerendahan hati dan kesederhanaan ini di hadapan Allah, mau mendengarkan dan mau menerima pengajaran iman seperti yang diajarkan oleh Kristus dan para rasul-Nya, tanpa berkeras memegang pandangan sendiri sesuai dengan pemahaman pribadi.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Bapa Gereja mengajarkan wanita kurang sempurna dibanding pria?

6

Pertanyaan:

Yth pengasuh Katolisitas,

Saya iseng-iseng baca debat Ali Sina dan para Muslim di sini: http://alisina.org/gender-apartheid-and-islam/
Saya kaget, para muslim melawan Ali Sina dengan menulis begini:

“As regards the individual nature, woman is defective and misbegotten, for the active power of the male seed tends to the production of a perfect likeness in the masculine sex while the production of a woman comes from a defect in the active power.”- Thomas Aquinas

“Women are vessels of excrement”- St. Augustine

Pertanyaan saya, apakah kutipan berbahasa Inggris di atas benar ucapan/ajaran St Thomas Aquinas dan St Agustinus? Jika itu benar ucapan mereka, itu ada di dokumen apa ya? Jujur saja, saya gak percaya para kudus tersebut menghina gender perempuan.

Terima kasih untuk jawabannya. Shalom.

Jawaban:

Shalom Andreas,

Menarik memang untuk menyoroti tentang hal apakah yang diajarkan oleh Wahyu Allah tentang manusia, dalam hal ini tentang apakah ada persamaan derajat antara pria dan wanita. Sabda Tuhan memang mengatakan, “… manusia diciptakan menurut gambar Allah, laki- laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:26) sehingga mengisyaratkan adanya persamaan derajat antara pria dan wanita. Namun karena persamaan derajat tidak secara eksplisit tertulis, maka hal ini menjadi pembahasan para teolog dan filsuf, tak terkecuali para Bapa Gereja seperti St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas.

Dalam hal ini, pandangan mereka tidaklah dapat dilepaskan dari konteks masyarakat di mana mereka hidup. Penjelasan tentang hal ini dapat dibaca lebih lanjut di penjelasan point 2 di bawah ini.

1. Menurut St. Agustinus

Jika anda ketik kalimat tersebut di google, anda akan menemukan keterangan yang menyertai dalam kutipan, “Women are vessels of excrement“- St. Augustine, sebagai berikut:”Though widely quoted we cannot verify that this is an actual quote by Augustine.” Terjemahannya ialah: “Meskipun sering dikutip kita tidak dapat memverifikasi apakah ini merupakan kutipan yang benar ditulis oleh St. Agustinus.” Maka lebih baik kita tidak membahas kutipan tersebut, karena tidak dapat dipastikan itu adalah perkataan St. Agustinus.

Jika kita ingin membahas, mungkin lebih jelas kita membaca tulisannya yang lain:

“Perempuan bersama dengan laki- laki adalah gambaran Allah sehingga semua hakekatnya adalah satu gambaran. Tetapi ketika perempuan ditugaskan sebagai penolong [laki- laki], yang ditujukan kepada perempuan itu sendiri, ia bukan gambaran Allah: namun demikian apa yang berhubungan dengan laki- laki sendiri, adalah gambaran Allah sebagaimana secara penuh dan komplit ia digabungkan dengan perempuan itu menjadi satu. (St. Agustinus, De Trinitate, 12,7,10).

Dari pernyataan ini memang banyak timbul reaksi yang sepertinya menuduh St. Agustinus sepertinya menganggap perempuan sebagai ‘warga kelas dua’, seperti halnya pandangan orang- orang yang hidup sejaman dengan St. Agustinus. Namun sebenarnya St. Agustinus hanya bermaksud menjelaskan bahwa berdasarkan kenyataan bahwa perempuan diciptakan setelah laki- laki, maka secara fisik dan sosial ia inferior jika dibandingkan dengan laki- laki; dan tentang urutan penciptaan yang sudah ditentukan Allah, St. Agustinus tidak mempertanyakannya (lih. Rev. T.J. van Bavel, O.S.A, Journal Augustiniana, “Augustine’s View on Women”, 1989). Namun demikian, melalui tulisan- tulisan lainnya, St. Agustinus percaya bahwa perempuan secara spiritual dan moral lebih tinggi dari laki- laki. Ia kerap berbicara melawan diskriminasi terhadap perempuan oleh hukum Roma dan pandangannya tentang kasih perkawinan yang mengisyaratkan adanya kesetaraan pria dan wanita sebagai pasangan, belum pernah diajarkan/ dijelaskan dengan rinci oleh orang lain sebelumnya. Maka walaupun terkesan St. Agustinus sepertinya ‘sexist‘ menurut ukuran sekarang, namun ia sangat ‘maju’ dalam hal pandangan tentang persamaan derajat pria dan wanita- jika dibandingkan orang- orang sejamannya.

2. Menurut St. Thomas Aquinas

Mari bersama melihat kutipan tulisan St. Thomas Aquinas dengan lebih lengkap agar dapat lebih dipahami konteksnya:

Reply to Objection 1. “As regards the individual nature, woman is defective and misbegotten, for the active force in the male seed tends to the production of a perfect likeness in the masculine sex; while the production of woman comes from defect in the active force or from some material indisposition, or even from some external influence; such as that of a south wind, which is moist, as the Philosopher observes (De Gener. Animal. iv, 2). On the other hand, as regards human nature in general, woman is not misbegotten, but is included in nature’s intention as directed to the work of generation. Now the general intention of nature depends on God, Who is the universal Author of nature. Therefore, in producing nature, God formed not only the male but also the female.” (Summa Theology I, q.92, a.1)

Di sini terlihat bahwa St. Thomas menggunakan argumen berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan saat itu yang mengajarkan bahwa perempuan dilahirkan sebagai akibat dari 1) kurangnya kekuatan aktif dari benih laki- laki; 2) semacam disposisi yang kurang baik dari material/ zat tubuh atau 3) pengaruh luar seperti angin selatan yang lembab, seperti diamati oleh para ahli. Namun demikian St. Thomas mengajarkan juga kesetaraan peran wanita dengan pria dalam hal mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah, sebab tanpa wanita, pria tidak dapat berkembang biak dan melaksanakan perannya sesuai dengan kehendak Allah.

Menarik jika disimak tulisan St. Thomas yang lain bahwa jenis kelamin perempuan tidak untuk direndahkan, sebab Kristus menjelma menjadi manusia dari seorang perempuan. Selanjutnya St. Thomas juga mengajarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam perkawinan yang tak terceraikan, sebab jika tidak maka hubungan suami istri menjadi semacam perbudakan bagi kaum wanita, “If a husband were permitted to abandon his wife, the society of husband and wife would not be an association of equals but, instead, a sort of slavery on the part of the wife (Summa contra Gentiles III:124:[4]).” Argumen kesetaraan/partnership di dalam perkawinan digunakannya untuk menanggapi pandangan poligami yang tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, demikian: “The greater the friendship is, the more solid and long lasting it will be. Now there seems to be the greatest friendship between husband and wife, for they are united not only in the act of fleshly union, which produces a certain gentle association even among beasts, but also in the partnership of the whole range of domestic activity. Consequently, as an indication of this, man must even “leave his father and mother” for the sake of his wife as it is said in Genesis (2:24)” (Summa contra Gentiles III:123:[6]).

Berikut ini adalah penjelasan yang diberikan oleh Dr. Lawrence Feingold, S.T.L tentang tulisan St. Thomas perihal kekurangan (inferioritas) perempuan jika dibandingkan dengan laki- laki:

Exposition by Dr. Lawrence Feingold (in English) Penjelasan Dr. Lawrence Feingold (terjemahan dalam bahasa Indonesia)
This is a good example of how philosophy and theology can be negatively affected by poor empirical science and the errors contained in secular common opinion. St. Thomas is simply repeating what was commonly thought in classical antiquity and the medieval period.

Even though theology is above empirical science, it sometimes makes use of the findings of science to clarify something. However, when theology takes something from empirical science, it is taking it only as a probable argument that may well turn out to be mistaken. St. Thomas explains this well in the Summa of Theology, q. 1, a. 8: “sacred doctrine makes use even of human reason, not, indeed, to prove faith (for thereby the merit of faith would come to an end), but to make clear other things that are put forward in this doctrine. Since therefore grace does not destroy nature but perfects it, natural reason should minister to faith as the natural bent of the will ministers to charity. . . . Hence sacred doctrine makes use also of the authority of philosophers in those questions in which they were able to know the truth by natural reason, as Paul quotes a saying of Aratus: “As some also of your own poets said: For we are also His offspring” (Acts 17:28). Nevertheless, sacred doctrine makes use of these authorities as extrinsic and probable arguments.”

Thus one should not give too much importance to statements like this from St. Thomas or other medieval authors. It is put forth as a scientific opinion rather than as a revealed truth, and he would be aware that such an argument would be invalidated by an advance in empirical science.

Thus the other cited texts [from Summa Contra Gentiles, III, 123,6 & 124,4] showing the equality between the sexes is a much more important text, because it is properly theological, rather than merely a now completely outdated scientific opinion. It is theological because it is coming from the truth revealed by Christ about the nature of marriage as intended by God.

We shouldn’t be scandalized by the fact that great theologians like St. Thomas shared certain erroneous views that were widespread in his time. The Church lives in human history. The important thing is to distinguish what is coming from scientific or secular opinion (and which should be simply discarded when found erroneous), and what is coming from the sources of revelation and first principles, and thus endures through the centuries.

Ini adalah sebuah contoh bagaimana filosofi dan teologi dapat dipengaruhi secara negatif oleh ilmu pengetahuan empiris yang tidak memadai dan kesalahan- kesalahan yang terkandung dalam pandangan umum di dunia sekular. St. Thomas hanya mengulangi apa yang secara umum diajarkan di masa lalu dan masa Abad Pertengahan.

Meskipun teologi berada di atas ilmu pengetahuan empiris, kadangkala teologi menggunakan penemuan- penemuan ilmu pengetahuan untuk menjelaskan sesuatu. Namun demikian, ketika teologi mengambil sesuatu dari ilmu pengetahuan empiris, teologi hanya mengambilnya sebagai argumen yang mungkin, yang mungkin juga dapat menjadi salah. St. Thomas menjelaskan tentang hal ini dengan baik di dalam bukunya The Summa of Theology, I, q.1,a.8: “..ajaran suci bahkan menggunakan akal budi manusia, memang bukan untuk membuktikan iman (sebab jika demikian iman tidak lagi berguna), tetapi untuk menjelaskan hal- hal lain yang dijabarkan di dalam ajaran ini. Maka, sebab rahmat Tuhan tidak menghancurkan kodrat tetapi menyempurnakannya, akal budi kodrati harus melayani iman sebagaimana kehendak yang diyakinkan kodrat, melayani cinta kasih … Oleh karena itu ajaran suci menggunakan juga otoritas para filsuf, di dalam masalah- masalah di mana mereka dapat mengetahui tentang kebenaran berdasarkan akal budi kodrati, sebagaimana Rasul Paulus mengutip apa yang dikatakan oleh Aratus: “… seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.” (Kis 17:28) Namun demikian, ajaran suci menggunakan otoritas [pandangan filosofi] ini sebagai argumen- argumen dari luar [tidak mendasar] dan argumen yang mungkin benar.”

Oleh karena itu, seseorang tidak perlu menganggap terlalu penting pernyataan- pernyataan seperti ini dari St. Thomas ataupun dari para pengarang di Abad Pertengahan lainnya. Ini dijabarkan lebih sebagai pendapat ilmu pengetahuan daripada sebagai kebenaran yang diwahyukan, dan ia [St. Thomas] juga sadar bahwa argumen sedemikian akan dapat digugurkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan empiris.

Maka teks lain yang dikutip [dari Summa Contra Gentiles, III, 123,6 & 124,4] tentang kesetaraan jenis kelamin adalah teks yang lebih penting, sebab teks itu bermuatan teologis, daripada hanya pendapat ilmu pengetahuan yang sekarang terbukti tidak berlaku. Teks tersebut bersifat teologis sebab berasal dari kebenaran yang diwahyukan oleh Kristus tentang kodrat perkawinan sebagai yang dimaksudkan oleh Tuhan.

Kita tidak harus merasa terganggu dengan kenyataan bahwa teolog yang handal seperti St. Thomas dapat memegang pandangan yang salah yang berlaku umum di jamannya. Gereja hidup di dalam sejarah manusia. Hal yang terpenting adalah membedakan apakah yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan atau pandangan sekular (dan yang akan dengan mudah dibuang ketika dibuktikan salah), dan apa yang dihasilkan dari sumber- sumber wahyu dan prinsip- prinsip utama, dan yang oleh karena itu tetap berlaku sepanjang abad.

Hal di atas menjadi salah satu contoh bahwa kita perlu melihat ajaran Bapa Gereja di dalam konteksnya dan jika dasar yang digunakan adalah penemuan berdasarkan akal budi (sesuai dengan ilmu pengetahuan) maka dapat saja salah, dan dapat diubah di kemudian hari seiring dengan penemuan ilmu pengetahuan yang lebih akurat. Namun jika sumbernya adalah wahyu ilahi, maka kebenarannya tetap selamanya. Pengajaran St. Thomas tentang inferioritas perempuan ini menjadi salah satu contoh bahwa penjelasannya yang berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan ternyata bisa salah; sama seperti ketika ia mengadopsi penemuan ilmu pengetahuan pada jamannya yang mengatakan bahwa janin baru memperoleh jiwa yang memberi kehidupan manusia 40 hari setelah konsepsi, sehingga aborsi baru dikatakan dosa jika dilakukan setelah itu. Dia menulis bahwa setelah kehidupan manusia terbentuk, maka penghancurannya adalah tindakan dosa karena menghalangi kelahiran manusia: “Hence, after the sin of homicide whereby a human life already in existence is destroyed, this type of sin appears to take next place, for by it the generation of human nature is impeded.” (lih. Summa Contra Gentiles III, 122). Namun sekarang ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa kehidupan janin dimulai pada saat konsepsi, sebab di saat itu sudah terbentuk organisma baru yang mempunyai susunan DNA yang berbeda dengan DNA ayah maupun ibunya, dan sejak itu pulalah sel tersebut sudah dapat hidup dan bertumbuh. Dengan demikian, jika St. Thomas hidup pada masa sekarang, nampaknya iapun akan mengajarkan bahwa aborsi yang dilakukan setelah konsepsi sudah merupakan dosa; atas dasar pengetahuan bahwa sejak saat konsepsi, sudah terbentuk janin yang mempunyai jiwa manusia.

Menarik untuk disimak adalah perkataan St Thomas sendiri sebelum wafatnya:

Neither do I wish to be obstinate in my opinions, but if I have written anything erroneous concerning this sacrament or other matters, I submit all to the judgment and correction of the Holy Roman Church, in whose obedience I now pass from this life.” (terjemahan yang dicetak tebal: … tetapi jika saya telah menuliskan apapun yang salah tentang sakramen ini ataupun [tentang] hal- hal lainnya, saya menyerahkan semua kepada penilaian dan koreksi dari Gereja Roma yang kudus, yang di dalam kepatuhan kepadanya sekarang saya beralih dari kehidupan ini).

Maka dalam berbagai hal tentang ajaran iman, termasuk hal persamaan martabat antara pria dan wanita, kita mengacu kepada ajaran Magisterium Gereja Katolik, seperti yang tertulis dalam Katekismus:

KGK 1645    Karena kesamaan martabat pribadi antara suami dan isteri, yang harus tampil dalam kasih sayang timbal balik dan penuh-purna, jelas sekali nampaklah kesatuan Perkawinan yang dikukuhkan oleh Tuhan” (Gaudium et Spes 49,2). Poligami melawan martabat yang sama suami isteri dan cinta dalam keluarga, yang unik dan eksklusif (Bdk. Familiaris Consortio 19).

KGK 2334    “Ketika menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Allah menganugerahkan kepada pria dan wanita martabat pribadi yang sama dan memberi mereka hak-hak serta tanggung jawab yang khas” (Familiaris Consortio 22, Bdk. Gaudium et Spes 49,2). “Manusia bersifat pribadi: itu berlaku sama untuk pria dan wanita; karena kedua-duanya diciptakan menurut citra dan keserupaan Allah pribadi” (Mulieris Dignitatem 6).

KGK 2393    Ketika Allah menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Ia memberi kepada mereka martabat pribadi yang sama. Pria dan wanita harus memperhatikan dan menerima seksualitasnya.

Demikian, semoga menjadi jelas bagi kita semua.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Penggarap Kebun Anggur Yang Lalim

2

I. Jadilah penggarap kebun anggur yang baik

Bacaan pada minggu ke-27 masa biasa mengambil bacaan dari Yes 5:1-7, tentang nyanyian kebun anggur; Mzm 80:9,12-16,19-20; Fil 4:6-9; dan Mat 21:33-43 tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Bdk Luk 20:9-18; Mrk 12:1-12). Minggu ini, Kristus ingin mengingatkan kita akan tuntutan untuk para penggarap dan para pekerja kebun anggur agar dapat menggarap kebun anggur dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, Kristus mengingatkan seluruh umat beriman, baik di tingkat hirarki maupun awam, untuk benar-benar menghasilkan buah-buah yang limpah, dan dapat menjadi alat Tuhan sehingga orang-orang lain juga dapat menghasilkan buah yang limpah, yaitu semua yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, kebajikan dan patut dipuji (lih. Fil 4:8), atau dalam satu kata adalah ‘kekudusan’.

II. Ayat Matius 21:33-43:

33.  “Dengarkanlah suatu perumpamaan yang lain. Adalah seorang tuan tanah membuka kebun anggur dan menanam pagar sekelilingnya. Ia menggali lobang tempat memeras anggur dan mendirikan menara jaga di dalam kebun itu. Kemudian ia menyewakan kebun itu kepada penggarap-penggarap lalu berangkat ke negeri lain.
34.  Ketika hampir tiba musim petik, ia menyuruh hamba-hambanya kepada penggarap-penggarap itu untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya.
35.  Tetapi penggarap-penggarap itu menangkap hamba-hambanya itu: mereka memukul yang seorang, membunuh yang lain dan melempari yang lain pula dengan batu.
36.  Kemudian tuan itu menyuruh pula hamba-hamba yang lain, lebih banyak dari pada yang semula, tetapi merekapun diperlakukan sama seperti kawan-kawan mereka.
37.  Akhirnya ia menyuruh anaknya kepada mereka, katanya: Anakku akan mereka segani.
38.  Tetapi ketika penggarap-penggarap itu melihat anaknya itu, mereka berkata seorang kepada yang lain: Ia adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisannya menjadi milik kita.
39.  Mereka menangkapnya dan melemparkannya ke luar kebun anggur itu, lalu membunuhnya.
40.  Maka apabila tuan kebun anggur itu datang, apakah yang akan dilakukannya dengan penggarap-penggarap itu?”
41.  Kata mereka kepada-Nya: “Ia akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurnya akan disewakannya kepada penggarap-penggarap lain, yang akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya.”
42.  Kata Yesus kepada mereka: “Belum pernahkah kamu baca dalam Kitab Suci: Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru: hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita.
43.  Sebab itu, Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.

III. Telaah dan interpretasi ayat Matius 21:33-43

1. Latar belakang dari perikop

Kalimat pertama Injil Matius bab 21, adalah sebagai berikut: “Ketika Yesus dan murid-murid-Nya telah dekat Yerusalem dan tiba di Betfage yang terletak di Bukit Zaitun…” Bab 21 menandai pemberitaan Kerajaan Allah di Yerusalem, yang berarti semakin dekat dengan penderitaan Kristus. Pemberitaan ini dimulai dengan Yesus dielu-elukan ketika masuk ke Yerusalem (ay.1-11). Setelah itu, Yesus mulai menunjukkan kuasa dan otoritas-Nya, dengan membersihkan Bait Allah, yang disebut oleh Yesus sebagai rumah Bapa (ay. 12-17). Kemudian, kita melihat adanya perikop tentang Yesus mengutuk pohon ara (ay.18-22), yang menunjukkan kuasa Yesus akan segala sesuatu, dan pada saat yang bersamaan Yesus menunjukkan tentang kaum Yahudi – terutama kaum Farisi – yang walaupun telah mengenal Firman Allah, namun tidak menghasilkan buah yang baik. Pertentangan Yesus dengan kaum Farisi tidak terhindarkan, yang dimulai dengan imam-imam kepala yang mempertanyakan kuasa dan otoritas Yesus (ay.23-27).

Yesus kemudian memperjelas kritikannya terhadap imam-imam kepala dan kaum Farisi, dengan memberikan beberapa perumpamaan. Pertama, Yesus memberikan perumpamaan tentang dua orang anak, yang menceritakan bahwa anak pertama tidak menjalankan perintah Bapanya, yang kemudian dikontraskan dengan anak ke-dua – yang walaupun awalnya tidak mau, namun akhirnya menjalankan perintah Bapa (ay.28-32). Dalam perikop ini, anak pertama menggambarkan bangsa Yahudi dan anak kedua menggambarkan bangsa-bangsa non-Yahudi – yang melalui Kristus juga menjadi anak-anak Allah. Kedua, setelah mengkritik bangsa Yahudi secara umum, kemudian Yesus memberikan kritikan yang pedas bagi para pemimpin bangsa Yahudi. Karena Yesus memberikan perikop tentang penggarap-penggarap kebun anggur (ay.33-46), yang menunjukkan secara lebih jelas tentang dosa dari imam-imam kepala dan kaum Farisi, maka mereka menjadi marah dan berusaha menangkap Yesus (ay.46)

Mari kita mengupas perumpamaan dari Mat 21:33-43 dengan lebih mendalam, yang secara prinsip dapat dibagi menjadi:

Ayat 33: Latar belakang perikop: Tentang penggarap kebun anggur
Ayat 34-36: Hamba-hamba utusan-Ku telah dibunuh
Ayat 37-39: Kuutus Putera-Ku, namun Dia juga dibunuh
Ayat 40-41: Tuan tanah menghukum para penggarap kebun anggur yang jahat
Ayat 42-43: Batu yang akan dibuang menjadi batu penjuru dan menjadi keselamatan bagi seluruh bangsa.

2. Ayat 33: Latar belakang perikop: Tentang penggarap kebun anggur

Anggur dan kebun anggur adalah dua hal yang begitu umum dijumpai di dalam bangsa Israel. Bahkan sejak awal, Tuhan menjanjikan tanah yang berlimpah dengan begitu banyak hal termasuk berlimpah dengan anggur (lih. Ul 6:11, 8:8). Begitu berharganya anggur, sehingga ketika 12 perwakilan bangsa Israel yang mengintai tanah Kanaan, maka mereka memotong dahan anggur beserta dengan anggurnya sebagai bukti akan kekayaan tanah Kanaan (lih. Bil 13:23). Anggur dan kebun anggur juga sering digunakan dalam pengajaran-pengajaran, baik dalam Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru. Di dalam kitab Yesaya kita melihat di bab 5, nyanyian tentang kebun anggur, yang sungguh berhubungan dengan perikop yang menjadi bahasan kita.

Di Matius 23:33 dikatakan ‘”…Adalah seorang tuan tanah membuka kebun anggur dan menanam pagar sekelilingnya. Ia menggali lobang tempat memeras anggur dan mendirikan menara jaga di dalam kebun itu. Kemudian ia menyewakan kebun itu kepada penggarap-penggarap lalu berangkat ke negeri lain.” Adalah hal yang umum bagi pemilik kebun anggur untuk melindungi kebun anggurnya dari serangan binatang liar, seperti rubah, babi hutan, dll (lih. Kid 2:1; Mzm 80:13) dengan mendirikan tembok batu maupun memagarinya dengan pagar duri (lih. Yes 5:5) Kemudian pemilik kebun anggur akan mendirikan menara jaga untuk mengintai dan menjaga agar kebun anggurnya aman. Kemudian, untuk membuat air anggur, maka dibuatlah lobang untuk memeras anggur.

Itu semua adalah fasilitas yang harus ada di dalam kebun anggur. Namun, itu semua tidaklah cukup, karena diperlukan pekerja kebun anggur untuk mencangkul tanah dan membuang batu-batu (lih. Yes 5:2), mencabut tanaman liar merantingi pohon anggur, sehingga kebun anggur dapat menghasilkan buah yang baik. Pemilik kebun anggur dapat mempekerjakan sendiri pekerja-pekerja upahan (lih. Mat 20:1-16) atau dengan menyewakan kebun anggur dan kemudian para penggarap kebun anggur dapat membayar dengan hasil panenan (Mat 21:33-43).

Tuan tanah dalam perikop ini adalah Tuhan sendiri, yang membuka kebun anggur, yaitu umat Israel. (lih. Yes 5:7) Kita juga mengingat perkataan Yesus, “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya.” (Yoh 15:1) Sejak awal, Tuhan telah memilih umat Israel sebagai umat pilihan, seperti kebun anggur yang dijaga dengan tembok, melengkapi dengan seluruh perlengkapan – menara jaga, pemeras anggur – sehingga perkebunan anggur itu dapat berjalan dengan baik. Dengan kata lain, Tuhan telah melakukan bagian-Nya dengan sebaik-baiknya. Dan kemudian, Tuhan menitipkan umat Israel (kebun anggur) kepada para pemimpin-pemimpin agama, para imam, ahli taurat, yang diumpamakan dengan para penggarap. Dengan kata lain, para ahli taurat, kaum Farisi dipercaya oleh Tuhan untuk menggembalakan umat Israel, sehingga mereka dapat hidup sesuai dengan Firman Tuhan atau dapat menghasilkan buah yang limpah.

Untuk dapat menghasilkan buah yang limpah, diperlukan kerja keras dari penggarap-penggarap ini, termasuk mencangkul agar tanah menjadi gembur, mencabut tanaman liar, meranting atau membuang ranting-ranting yang mati dan tak berguna. Semuanya ini harus dijalankan secara konsisten, sehingga pada saatnya, kebun anggur akan menghasilkan tanaman yang limpah. Panenan anggur ini kemudian diletakkan di tempat pemeras anggur, diinjak-injak, sehingga sarinya keluar dan mengalir ke satu tempat penampungan untuk kemudian di tempatkan di tempat penyimpanan anggur sehingga dapat menghasilkan anggur yang berkualitas. Dari proses ini, kita melihat bahwa untuk sampai menghasilkan anggur yang berkualitas, diperlukan proses yang begitu banyak. Hal yang sama terjadi dalam kehidupan umat beriman, yang perlu dimurnikan – kadang melalui kejadian-kejadian yang sering menyakitkan, melalui penderitaan, dll – sehingga dapat menghasilkan buah yang limpah dan terus dimurnikan sampai menghasilkan anggur yang berkualitas.

3. Ayat 34-36: Hamba-hamba utusanKu telah dibunuh

Diceritakan dalam perikop tersebut bahwa setelah tiba saatnya musim petik, maka tuan tanah tersebut mengutus hambanya untuk mendapatkan bagian yang menjadi haknya. (ay.35) Siapakah hamba dari tuan tanah ini? Kalau tuan tanah adalah Tuhan sendiri, maka hamba-hamba yang diutus adalah para nabi di dalam Perjanjian Lama, seperti: Yesaya, Yeremiah, Yehezkiel, dll. Namun, bagaimana para penggarap atau ahli-ahli taurat atau kaum Farisi memperlakukan para nabi ini? Dikatakan bahwa para nabi ini dipukul, dibunuh, dilempari dengan batu. Mereka dibunuh karena mereka menyatakan kebenaran dan bahkan dengan teguran yang keras, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan. Nabi Yesaya yang menegur dengan keras akan dosa-dosa bangsa Israel, menurut tradisi akhirnya dibunuh dengan digergaji atas perintah raja Manaseh. (lih. Ibr 11:37) Nabi Yeremiah dibunuh dengan dilempari batu. Nabi Yehezkiel, Nabi Mikah, Nabi Amos, Nabi Zakharia juga mempunyai nasib yang sama, yaitu dibunuh dan menjadi martir di dalam Perjanjian Lama. Yohanes Pembaptis juga mengalami nasib yang sama, yaitu dibunuh dengan dipenggal kepalanya. Dalam konteks inilah, Yesus memberikan ayat 35-36 “35 Tetapi penggarap-penggarap itu menangkap hamba-hambanya itu: mereka memukul yang seorang, membunuh yang lain dan melempari yang lain pula dengan batu. 36 Kemudian tuan itu menyuruh pula hamba-hamba yang lain, lebih banyak dari pada yang semula, tetapi merekapun diperlakukan sama seperti kawan-kawan mereka.” (Bdk Ibr 11:36-38)

4. Ayat 37-39: Kuutus Putera-Ku, namun Dia juga dibunuh

Kemudian setelah para nabi Tuhan banyak yang dibunuh, dalam kepenuhan waktu akhirnya Tuhan mengutus Anak-Nya sendiri, yaitu Kristus. Namun apa yang dilakukan oleh kaum Farisi dan tetua-tetua? Mereka melihat bahwa Yesus telah melakukan begitu banyak mukjizat yang menjadi satu tanda bahwa Dia dipandang sebagai nabi. Namun, apa yang dilakukan oleh Yesus adalah lebih dari sekedar nabi, Dia mengatakan bahwa Dia adalah Putera Allah (lih. Yoh 10:36), yang mampu membuat banyak mukjizat, yang mampu membangkitkan orang mati (lih. Mat 9:18-25; Luk 7:11-15; Yoh 11:1-44), dan bahkan mampu mengampuni dosa (lih. Mrk 2:10; Mrk 2:5; Luk 7:48). Menyadari akan hal ini, kaum Farisi bukannya bertobat, namun mereka mengeraskan hati dan memperlakukan Yesus dengan kejam, seperti perlakuan mereka terhadap nabi-nabi di dalam Perjanjian Lama. Dengan tipu muslihat, mereka menangkap Yesus, membawa-Nya keluar dari benteng (dalam perikop digambarkan sebagai ke luar kebun anggur – ay.39), dan kemudian membunuh-Nya dengan menyalibkan-Nya.

5. Ayat 40:41: Tuan tanah menghukum para penggarap kebun anggur yang jahat

Karena kekejaman para penggarap yang membunuh hamba-hamba serta anak dari tuan tanah itu, maka tuan tanah tersebut membinasakan penggarap-penggarap yang jahat dan kemudian menyerahkan tanah garapan itu kepada orang lain. (ay. 40-41) Kebinasaan penggarap-penggarap yang jahat ini akhirnya terjadi pada kehancuran Yerusalem tahun 70 oleh tentara Romawi di bawah kepemimpinan Titus dan Tiberius Julius Alexander. Josephus, sejarahwan berkebangsaan Yahudi melaporkan kejadian yang begitu mengenaskan ini, yaitu terbunuhnya 1,1 juta orang Yahudi dan yang tidak terbunuh, sekitar 97 ribu ditangkap dan dijadikan budak. Bukan hanya makhluk hidup yang dirusak dan dibunuh, bahkan tembok-tembok juga diruntuhkan, sehingga memberikan pemandangan yang begitu mengerikan dan mencekam. ((Josephus, The Wars of the Jews, VI.9.3)) Empat puluh tahun sebelum kehancuran Yerusalem, Yesus sendiri telah menangisi Yerusalem dan memprediksi kehancuran Yerusalem secara akurat. (lih.Mat 24:1-28; Luk 19:41-44)

Dalam konteks kita umat beriman, maka kita dapat juga melihat bahwa kalau kebun anggur adalah Gereja, maka sudah seharusnya para pastor, para uskup dan Paus untuk senantiasa menjadi penggarap-penggarap kebun anggur yang bijaksana, yang senantiasa meniru teladan Kristus. Inilah sebabnya, dalam setiap Sakramen Ekaristi, kita senantiasa mendoakan semua klerus agar dapat memimpin umat Allah dengan baik. Sebagai umat beriman yang telah dibaptis, maka kitapun dipanggil untuk juga menjadi pekerja kebun anggur. Dalam kapasitas kita masing-masing, sebagian dari kita harus mencangkul tanah, sebagian merantingi, sebagian mencabut tanaman liar, sebagian membuat anggur, sampai pada akhirnya dihasilkan kualitas anggur yang baik, manis dan harum semerbak.

6. Ayat 42-43: Batu yang akan dibuang menjadi batu penjuru dan menjadi keselamatan bagi seluruh bangsa.

Kemudian, di ayat 42, Yesus mengutip Mzm 118:22-23, yang menuliskan “22 Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru. 23 Hal itu terjadi dari pihak TUHAN, suatu perbuatan ajaib di mata kita.” Batu penjuru adalah Kristus, yang telah dibuang dan dibunuh oleh bangsa Yahudi. (lih. Ef 2:20) Namun dengan kematian Kristus, maka rahmat Kristus mengalir bukan hanya kepada bangsa-bangsa Yahudi namun juga kepada bangsa-bangsa lain non-Yahudi. Sama seperti batu penjuru mengikat dua dinding, maka Kristus telah mengikat keselamatan bangsa Yahudi dan keselamatan bangsa-bangsa lain.

Setelah misteri Paskah, maka keselamatan juga ditawarkan oleh Kristus kepada seluruh bangsa. Tanda sunat yang sebelumnya menjadi tanda perjanjian, kini berubah menjadi baptisan – yang bersumber dari misteri Paskah Kristus.

IV. Apakah kita telah menjadi penggarap kebun anggur yang baik?

Dari bacaan dan telaah dari Mat 21:33-43 kita seharusnya merefleksikannya dalam kehidupan kita, apakah kita yang telah dipanggil oleh Kristus untuk menjadi pekerja kebun anggur-Nya telah benar-benar menjalankan bagian kita? Kristus telah mendirikan Gereja Katolik, seperti kebun anggur, dan memperlengkapinya dengan kebenaran dokrin dan juga sakramen, seperti tembok yang dipasang mengelilingi kebun anggur untuk melindungi umat Allah. Kristus juga telah mendirikan menara jaga, yaitu Magisterium Gereja, sehingga tidak ada yang tersesat, karena mengetahui kebenaran secara pasti. Sekarang tinggal kembali kepada para penggarap atau pekerja kebun anggur untuk dapat melakukan pekerjaannya secara konsisten dan terus-menerus, sehingga pada waktunya, anggur yang murni, manis dan semerbak dapat dihasilkan.
Apa lagi yang kita tunggu? Ayo, mari bekerja bersama menggarap kebun anggur Tuhan!

Tak perlu guncang jika membaca tulisan anti Katolik

13

Pertanyaan:

Saya mohon tanggapan Katolisitas atas artikel yang mengguncang iman ini, semoga pengasuh Katolistas mau menanggapi. GBU

Kemurtadan—Jalan menuju Allah Terhalang

MENGAPA 400 tahun pertama sejarah Susunan Kristen begitu penting? Alasannya sama dengan pentingnya tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak—karena periode itu merupakan tahun-tahun pembentukan yang menjadi dasar kepribadian individu tersebut di masa depan. Apa yang disingkapkan oleh abad-abad permulaan Susunan Kristen?

2 Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita ingat suatu kebenaran yang dinyatakan oleh YESUS KRISTUS, ”Masuklah melalui gerbang yang sempit; karena lebar dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; sebab sempitlah gerbang dan sesaklah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang menemukannya.” Jalan yang sesuai dengan kemauan kita itu lebar; jalan yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar itu sempit.—Matius 7:13, 14.

3 Pada awal Kekristenan terbentanglah dua jalan di hadapan orang-orang yang mendukung iman yang tidak populer itu—tanpa kompromi berpegang pada ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip dari KRISTUS dan Alkitab atau tertarik ke jalan kompromi yang lebar dan mudah bersama dunia zaman itu. Seperti yang akan kita lihat, 400 tahun pertama sejarah tersebut memperlihatkan jalan mana yang akhirnya dipilih oleh kebanyakan orang.

Rayuan Filsafat
4 Sejarawan Will Durant menjelaskan, ”Gereja mengadopsi beberapa kebiasaan dan bentuk ibadat yang umum di Roma pra-Kristen [kafir]—selendang dan jubah keagamaan para imam kafir, penggunaan kemenyan dan air suci untuk pemurnian, penyalaan lilin dan lampu abadi di depan altar, penyembahan santo, arsitektur basilika, hukum Roma sebagai dasar hukum kanonis, gelar Pontifex Maximus bagi Imam Tertinggi, dan pada abad keempat, bahasa Latin . . . Tak lama kemudian, para uskuplah, bukannya para penguasa daerah Romawi, yang mengeluarkan peraturan dan memegang tampuk kekuasaan di kota-kota; para uskup agung akan mendukung, atau bahkan menggantikan, gubernur provinsi; dan sinode para uskup menggantikan dewan provinsi. Gereja Roma mengikuti jejak negara Roma.”—The Story of Civilization: Part III—Caesar and CHRIST.

5 Sikap kompromi dengan dunia Roma ini bertentangan sekali dengan ajaran KRISTUS dan para rasul. (Lihat kotak, halaman 262.) Rasul Petrus menasihati, ”Saudara-saudara yang kukasihi, . . . aku membangunkan kemampuan berpikirmu yang tajam melalui suatu pengingat, agar kamu mengingat perkataan yang telah disampaikan sebelumnya oleh nabi-nabi kudus dan perintah Tuan dan Juru Selamat itu melalui rasul-rasulmu. Maka, hai, saudara-saudara yang kukasihi, karena kamu telah mengetahui ini sebelumnya, waspadalah agar kamu tidak terbawa oleh mereka, melalui kesalahan orang-orang yang menentang hukum dan jatuh dari keadaanmu yang kokoh.” Paulus dengan jelas menasihati, ”Jangan memikul kuk secara tidak seimbang bersama orang-orang yang tidak percaya. Karena apakah ada persekutuan antara keadilbenaran dengan pelanggaran hukum? Atau apakah ada persamaan antara terang dengan kegelapan? . . . ’”Karena itu keluarlah dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu,” kata Yehuwa, ”dan berhentilah menyentuh perkara yang najis”’; ’”dan aku akan menerima kamu.”’”—2 Petrus 3:1, 2, 17; 2 Korintus 6:14-17; Penyingkapan 18:2-5.

6 Meskipun adanya pengingat yang jelas ini, orang Kristen yang murtad pada abad kedua mengadopsi atribut-atribut agama Romawi kafir. Mereka tidak mempertahankan kemurnian awal yang berdasarkan Alkitab, tetapi sebaliknya mengenakan jubah serta gelar-gelar Romawi kafir dan sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Profesor Wolfson dari Harvard University menjelaskan dalam The Crucible of Christianity bahwa pada abad kedua, banyak sekali ”orang kafir yang paham filsafat” memasuki Kekristenan. Mereka mengagumi hikmat orang Yunani dan menyangka bahwa ada persamaan antara filsafat Yunani dan ajaran Alkitab. Wolfson melanjutkan, ”Adakalanya mereka menyatakan diri dengan berbagai cara untuk menunjukkan bahwa filsafat adalah karunia istimewa Allah untuk orang Yunani melalui penalaran manusia seperti halnya Alkitab untuk orang Yahudi melalui penyingkapan langsung.” Ia melanjutkan, ”Bapak-Bapak Gereja . . . memulai upaya yang sistematis untuk memperlihatkan bahwa, di balik bahasa sederhana yang Alkitab gunakan, tersembunyi ajaran-ajaran para filsuf yang diutarakan dengan istilah-istilah teknis yang
samar-samar yang diciptakan di Akademi, Lyceum, dan Beranda [pusat-pusat diskusi filsafat] mereka.”

7 Sikap demikian membuka jalan bagi filsafat dan peristilahan Yunani untuk memasuki ajaran Susunan Kristen, khususnya di bidang doktrin Tritunggal dan kepercayaan akan jiwa yang tak berkematian. Sebagaimana Wolfson nyatakan, ”Bapak-Bapak [Gereja] mulai mencari dua istilah teknis yang baik dalam perbendaharaan istilah filsafat. Yang satu digunakan untuk menunjukkan kenyataan bahwa setiap anggota Tritunggal adalah pribadi yang terpisah, dan yang satu lagi digunakan untuk menunjukkan kesatuan mereka yang mendasar.” Namun, mereka harus mengakui bahwa ”konsep Allah tiga serangkai merupakan misteri yang tidak dapat dipecahkan oleh penalaran manusia”. Sebaliknya, Paulus dengan jelas menyadari bahaya pencemaran dan ’pemutarbalikan kabar baik’ demikian ketika ia menulis kepada orang-orang Kristen di Galatia dan Kolose, ”Berhati-hatilah: mungkin ada orang yang akan membawa kamu pergi sebagai mangsanya melalui filsafat [bahasa Yunani, fi·lo·so·fi′as] dan tipu daya kosong menurut ajaran turun-temurun dari manusia, menurut hal-hal dasar dari dunia dan bukan menurut KRISTUS.”—Galatia 1:7-9; Kolose 2:8; 1 Korintus 1:22, 23.

Kebangkitan Ditiadakan
8 Seperti telah kita bahas dalam buku ini, manusia terus bergumul dengan misteri kehidupannya yang singkat dan terbatas yang berakhir dengan kematian. Seorang penulis asal Jerman Gerhard Herm menyatakan dalam bukunya The Celts—The People Who Came Out of the Darkness, ”Agama adalah salah satu jalan untuk membuat orang bisa menerima kenyataan bahwa suatu hari mereka pasti mati, entah dengan janji akan kehidupan yang lebih baik di alam baka, kelahiran kembali, atau keduanya.” Hampir setiap agama bergantung pada kepercayaan bahwa jiwa manusia itu tak berkematian dan bahwa setelah mati jiwa akan pergi ke alam baka atau pindah ke makhluk lain.

9 Hampir semua agama Susunan Kristen dewasa ini juga menganut kepercayaan itu. Miguel de Unamuno, seorang pakar terkemuka abad ke-20 asal Spanyol, menulis mengenai YESUS, ”Sebaliknya, ia percaya pada kebangkitan jasmani [misalnya kasus Lazarus (lihat halaman 248-51)], seperti yang dianut orang Yahudi, dan bukan pada jiwa yang tak berkematian, seperti yang dianut Plato [Yunani]. . . . Bukti mengenai hal ini dapat dilihat dalam setiap buku tafsiran yang jujur.” Ia menyimpulkan, ”Jiwa yang tak berkematian . . . adalah dogma filsafat kafir.” (La Agonía Del Cristianismo [Penderitaan Kekristenan]) ”Dogma filsafat kafir” itu menyusup ke dalam ajaran Susunan Kristen, meskipun KRISTUS jelas-jelas tidak memiliki gagasan demikian.—Matius 10:28; Yohanes 5:28, 29; 11:23, 24.

10 Pengaruh filsafat Yunani yang tidak kentara ini merupakan faktor kunci dari kemurtadan setelah kematian para rasul. Ajaran jiwa yang tak berkematian dari Yunani menyiratkan perlunya berbagai tujuan bagi jiwa—surga, api neraka, api penyucian, firdaus, Limbo. Dengan memanipulasi ajaran-ajaran demikian, mudahlah bagi golongan imam untuk membuat kawanan mereka tetap patuh dan takut pada Akhirat serta untuk menarik pemberian dan sumbangan dari mereka. Hal ini membuat kita bertanya lebih jauh: Bagaimana asal mula golongan imam dan pendeta yang eksklusif dalam Susunan Kristen?—Yohanes 8:44; 1 Timotius 4:1, 2.

Terbentuknya Golongan Klerus
11 Petunjuk lain kemurtadan adalah mundurnya semua orang Kristen dari pelayanan umum yang diajarkan oleh YESUS serta para rasul, dan berkembangnya golongan pemimpin agama yang eksklusif serta hierarki dalam Susunan Kristen. (Matius 5:14-16; Roma 10:13-15; 1 Petrus 3:15) Pada abad pertama, setelah kematian YESUS, para rasul beserta penatua Kristen lainnya yang memenuhi syarat secara rohani di Yerusalem bertugas untuk memberikan nasihat dan bimbingan kepada sidang Kristen. Tidak seorang pun merasa lebih tinggi daripada yang lain.—Galatia 2:9.

12 Pada tahun 49 M, mereka perlu mengadakan rapat di Yerusalem untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mempengaruhi orang Kristen pada umumnya. Catatan Alkitab menceritakan bahwa setelah pembahasan secara terbuka, ”rasul-rasul dan para tua-tua [pre‧sby′te‧roi] bersama segenap sidang jemaat berkenan mengutus pria-pria yang dipilih dari antara mereka ke Antiokhia bersama Paulus dan Barnabas, . . . dan melalui tangan pria-pria itu, mereka menulis, ’Dari rasul-rasul dan para tua-tua, saudara-saudara, kepada saudara-saudara yang ada di Antiokhia, Siria, dan Kilikia, yang berasal dari bangsa-bangsa: Salam!’” Jelaslah, para rasul dan penatua melayani sebagai badan pimpinan yang mengurus sidang-sidang Kristen yang tersebar luas.—Kisah 15:22, 23.

13 Jika badan pimpinan di Yerusalem merupakan penyelenggaraan Kristen masa awal untuk mengawasi semua orang Kristen secara umum, sistem pengarahan apa yang ada di setiap sidang, di tingkat lokal? Dari surat Paulus kepada Timotius jelaslah bahwa sidang-sidang mempunyai pengawas-pengawas (bahasa Yunani, e‧pi′sko‧pos, asal kata ”episkopal”) yang adalah para penatua (pre‧sby′te‧roi), pria-pria yang memenuhi syarat untuk mengajar rekan-rekan Kristen karena tingkah laku dan kerohanian mereka. (1 Timotius 3:1-7; 5:17) Pada abad pertama, pria-pria ini tidak membentuk golongan klerus yang eksklusif. Mereka tidak mengenakan jubah yang khas. Kerohanian merekalah ciri khasnya. Bahkan, setiap sidang memiliki badan penatua (pengawas), bukan kekuasaan oleh satu orang semacam sistem monarki.—Kisah 20:17; Filipi 1:1.

14 Seraya waktu berlalu, kata e‧pi′sko‧pos (pengawas, penanggung jawab) berubah menjadi ”uskup”, artinya imam yang mempunyai wewenang atas klerus lainnya di wilayah keuskupannya. Sebagaimana dijelaskan Bernardino Llorca, seorang Yesuit Spanyol, ”Mula-mula, tidak dibuat perbedaan yang besar antara uskup dan presbiter, dan yang diperhatikan hanyalah arti kata-kata tersebut: uskup sama dengan penanggung jawab; presbiter sama dengan tua-tua. . . . Tetapi, sedikit demi sedikit perbedaannya semakin jelas, yang disebut uskup adalah penanggung jawab yang lebih penting dengan wewenang keimaman tertinggi dan kemampuan untuk menumpangkan tangan serta menganugerahkan keimaman.” (Historia de la Iglesia Católica [Sejarah Gereja Katolik]) Sebenarnya, para uskup mulai menjalankan peranan dalam semacam sistem monarki, khususnya sejak permulaan abad keempat. Suatu hierarki, atau kelompok klerus yang memerintah, dibentuk dan belakangan uskup Roma yang mengaku sebagai pengganti Petrus diakui oleh banyak orang sebagai uskup tertinggi dan paus.

15 Dewasa ini, kedudukan uskup di berbagai gereja Susunan Kristen merupakan kedudukan yang bergengsi dan berkuasa, biasanya dengan gaji besar, dan sering disejajarkan dengan golongan penguasa elit setiap negara. Tetapi, ada perbedaan yang mencolok antara status mereka yang ditinggikan serta dimuliakan dan kesederhanaan organisasi di bawah KRISTUS serta para penatua, atau pengawas, sidang Kristen masa awal. Dan, apa yang dapat dikatakan mengenai perbedaan besar antara Petrus dan orang-orang yang menyebut diri para penggantinya, yang memerintah di lingkungan Vatikan yang mewah?—Lukas 9:58; 1 Petrus 5:1-3.

Kekuasaan dan Prestise Kepausan
16 Salah satu sidang Kristen masa awal yang menerima pengarahan dari para rasul dan penatua di Yerusalem adalah sidang di Roma, yang dijangkau oleh kebenaran Kristen mungkin tidak lama setelah Pentakosta 33 M. (Kisah 2:10) Seperti halnya sidang Kristen lain pada masa itu, sidang tersebut memiliki penatua-penatua, yang melayani sebagai suatu badan pengawas tanpa seorang pun yang berkedudukan lebih tinggi. Pasti tidak ada pengawas masa awal di sidang Roma itu yang dipandang oleh orang-orang sezamannya sebagai uskup atau paus, karena keuskupan monarki di Roma belum terbentuk. Kapan mulainya keuskupan yang bersifat monarki, atau dipimpin oleh satu orang, sulit untuk dipastikan. Bukti menunjukkan bahwa itu mulai terbentuk pada abad kedua.—Roma 16:3-16; Filipi 1:1.

17 Gelar ”paus” (dari bahasa Yunani pa′pas, bapak) tidak digunakan selama dua abad pertama. Seorang mantan Yesuit bernama Michael Walsh menjelaskan, ”Tampaknya pada abad ketigalah pertama kalinya seorang Uskup Roma disebut ’Paus’, dan gelar itu diberikan kepada Paus Kalistus . . . Pada akhir abad kelima, ’Paus’ biasanya memaksudkan Uskup Roma dan bukan orang lain. Tetapi, baru pada abad kesebelaslah seorang Paus dapat menuntut agar gelar itu berlaku untuk dirinya saja.”—An Illustrated History of the Popes.

18 Salah seorang uskup Roma pertama yang menegakkan wewenangnya adalah Paus Leo I (paus, 440-461 M). Michael Walsh selanjutnya menjelaskan, ”Leo mengambil gelar Pontifex Maximus yang berasal dari kekafiran, yang masih digunakan oleh para paus dewasa ini, dan yang menjelang akhir abad keempat, masih disandang oleh Kaisar-Kaisar Romawi.” Tindakan Leo I didasarkan pada tafsiran Katolik atas kata-kata YESUS di Matius 16:18, 19. (Lihat kotak, halaman 268.) Ia ”menyatakan bahwa karena St. Petrus adalah yang utama di antara para Rasul, gereja St. Petrus harus dipandang unggul di antara gereja-gereja”. (Man’s Religions) Melalui langkah ini, Leo I membuat jelas bahwa walaupun kaisar memegang kekuasaan sementara di Konstantinopel di Timur, ia menjalankan kekuasaan rohani dari Roma di Barat. Kekuasaan ini lebih diperjelas ketika Paus Leo III menobatkan Charlemagne sebagai kaisar Imperium Romawi Suci pada tahun 800 M.

19 Sejak tahun 1929, pemerintah sekuler memandang paus Roma sebagai penguasa suatu negara yang berdaulat, yakni Kota Vatikan. Jadi, tidak seperti organisasi agama lainnya, Gereja Katolik Roma dapat mengirim wakil-wakil diplomatik, nunsius (duta besar), ke berbagai pemerintahan dunia. (Yohanes 18:36) Paus dihormati dengan banyak gelar, di antaranya Vikaris (Wakil) YESUS KRISTUS, Pengganti sang Pemimpin para Rasul, Imam Tertinggi Gereja Universal, Patriark Barat, Uskup Agung Italia, Penguasa Kota Vatikan. Ia disambut dengan kebesaran dan upacara. Ia diberi kehormatan bagaikan seorang kepala negara. Sebagai kontras, perhatikan bagaimana reaksi Petrus, yang dianggap sebagai paus dan uskup Roma pertama, ketika perwira Romawi Kornelius berlutut di kaki Petrus untuk sujud kepadanya, ”Petrus menarik dia berdiri, dan mengatakan, ’Bangunlah; aku juga seorang manusia.’”—Kisah 10:25, 26; Matius 23:8-12.

20 Pertanyaannya sekarang: Bagaimana gereja yang murtad pada abad-abad permulaan itu bisa memperoleh kekuasaan dan prestise yang begitu besar? Bagaimana kesederhanaan dan kerendahan hati KRISTUS serta orang Kristen masa awal berubah menjadi keangkuhan dan kemegahan Susunan Kristen?

Fondasi Susunan Kristen
21 Titik balik untuk agama baru ini dalam Imperium Romawi adalah tahun 313 M, ketika Kaisar Konstantin konon ditobatkan ke ”Kekristenan”. Bagaimana pertobatan ini terjadi? Pada tahun 306 M, Konstantin menggantikan ayahnya dan belakangan, ia bersama Lisinius memerintah Imperium Romawi. Ia dipengaruhi oleh pengabdian ibunya kepada Kekristenan dan kepercayaannya sendiri pada perlindungan ilahi. Sebelum ia pergi bertempur di dekat Roma di Jembatan Milvian pada tahun 312 M, ia mengaku mendapat mimpi dan diperintahkan untuk menuliskan monogram ”Kristen”—huruf-huruf Yunani khi dan rho, dua huruf pertama dari nama KRISTUS dalam bahasa Yunani—pada perisai prajuritnya. Dengan ’jimat suci’ ini, bala tentara Konstantin mengalahkan musuhnya, Maxentius.

22 Tak lama setelah memenangkan pertempuran itu, Konstantin menyatakan bahwa ia telah menjadi orang percaya, meskipun ia baru dibaptis tepat sebelum kematiannya kira-kira 24 tahun kemudian. Ia selanjutnya berupaya memperoleh dukungan orang-orang yang mengaku Kristen dalam imperiumnya dengan ”menggunakan [huruf-huruf Yunani] Khi-Rho [Artwork—Greek characters] sebagai lambangnya . . . Akan tetapi, Khi-Rho telah lebih dahulu digunakan sebagai ligatur [gabungan huruf-huruf] dalam konteks kafir maupun Kristen”.—The Crucible of Christianity, disunting oleh Arnold Toynbee.

23 Alhasil, fondasi Susunan Kristen diletakkan. Seperti ditulis oleh penyiar radio Inggris Malcolm Muggeridge dalam bukunya The End of Christendom, ”Susunan Kristen dimulai dari Kaisar Konstantin.” Namun, ia juga membuat komentar yang jeli, ”Anda bahkan dapat mengatakan bahwa KRISTUS sendiri telah meniadakan Susunan Kristen sebelum terbentuk dengan mengatakan bahwa kerajaannya bukan dari dunia ini—salah satu pernyataannya yang berdampak paling luas dan penting.” Dan, itu merupakan pernyataan yang paling diabaikan oleh para penguasa agama dan politik Susunan Kristen.—Yohanes 18:36.

24 Dengan dukungan Konstantin, agama Susunan Kristen menjadi agama resmi Negara di Imperium Romawi. Seorang profesor agama, Elaine Pagels, menjelaskan, ”Para uskup Kristen, yang tadinya menjadi sasaran penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi, kini mendapat pembebasan pajak, hadiah-hadiah dari perbendaharaan kaisar, prestise, dan bahkan pengaruh di istana; gereja-gereja mereka kini memperoleh kekayaan, kekuasaan, dan kedudukan terkemuka.” Mereka telah menjadi sahabat kaisar, sahabat dunia Roma.—Yakobus 4:4.

Konstantin, Bidah, dan Ortodoksi
25 Mengapa ”pertobatan” Konstantin begitu penting? Karena sebagai kaisar ia memiliki pengaruh kuat dalam urusan Gereja ”Kristen” yang terpecah belah secara doktrin, dan ia menginginkan persatuan dalam imperiumnya. Pada masa itu, para uskup yang berbahasa Yunani dan Latin sedang berdebat sengit tentang ”hubungan antara ’Firman’ atau ’Putra Allah’ yang telah menjelma sebagai YESUS, dan ’Allah’ sendiri, sekarang disebut ’sang Bapak’—yang nama-Nya, yakni Yahweh, umumnya telah dilupakan”. (The Columbia History of the World) Ada yang lebih menyukai pandangan yang didukung Alkitab bahwa KRISTUS, Lo′gos, diciptakan sehingga kedudukannya lebih rendah daripada sang Bapak. (Matius 24:36; Yohanes 14:28; 1 Korintus 15:25-28) Di antaranya ialah Arius, seorang imam di Aleksandria, Mesir. Malah, R. P. C. Hanson, seorang profesor teologi, menyatakan, ”Sebelum pecahnya Kontroversi Arius [pada abad keempat], tidak ada teolog di Gereja Timur ataupun Barat yang dalam beberapa hal tidak menganggap Putra lebih rendah kedudukannya daripada Bapak.”—The Search for the Christian Doctrine of God.

26 Yang lain menganggap pandangan tentang kedudukan KRISTUS yang lebih rendah itu sebagai bidah dan lebih condong kepada penyembahan YESUS sebagai ”Allah yang Menjelma”. Namun, Profesor Hanson menyatakan bahwa periode yang dipersoalkan (abad keempat) ”bukanlah sejarah tentang upaya membela ortodoksi [Tritunggal] yang telah dimufakati dan mapan terhadap serangan-serangan dari bidah terbuka [Arianisme]. Mengenai pokok yang khususnya sedang dibahas, belum ada doktrin ortodoks apa pun”. Ia melanjutkan, ”Semua pihak yakin bahwa mereka didukung oleh Alkitab sebagai sumber wewenang. Masing-masing menggambarkan pihak lain tidak ortodoks, tidak tradisional, dan tidak berdasarkan Alkitab.” Kalangan agama terpecah belah akibat sengketa teologis ini.—Yohanes 20:17.

27 Konstantin menginginkan persatuan dalam wilayah kekuasaannya, dan pada tahun 325 M ia mengadakan suatu konsili bagi para uskupnya di Nicea, yang terletak di wilayah Timur imperiumnya yang berbahasa Yunani, di seberang Selat Bosporus dari kota baru Konstantinopel. Konon, ada sekitar 250 sampai 318 uskup yang hadir, hanya sebagian kecil dari jumlah keseluruhan, dan kebanyakan yang hadir berasal dari daerah yang berbahasa Yunani. Bahkan, Paus Silvester I tidak hadir. Setelah perdebatan sengit, konsili yang tidak bersifat mewakili itu menghasilkan Kredo Nicea yang sangat condong kepada gagasan Tritunggal. Akan tetapi, konsili itu gagal menyelesaikan perdebatan doktrinal tersebut. Peranan ROH KUDUS Allah dalam teologi Tritunggal tidak dijelaskan. Perdebatan berkecamuk selama puluhan tahun, lebih banyak konsili harus diadakan dan wewenang dari berbagai kaisar serta hukuman pengasingan harus digunakan sebelum akhirnya tercapai kesepakatan. Itu merupakan kemenangan bagi teologi dan kekalahan bagi mereka yang berpegang pada Alkitab.—Roma 3:3, 4.

28 Seraya abad-abad berlalu, salah satu dampak ajaran Tritunggal adalah bahwa satu-satunya Allah yang benar, Yehuwa, telah tenggelam dalam teologi Susunan Kristen yang rumit tentang Allah-KRISTUS. Konsekuensi logis selanjutnya dari teologi itu ialah bahwa jika YESUS benar-benar Allah yang Menjelma, maka ibu YESUS, Maria, tentunya adalah ’Bunda Allah’. Bertahun-tahun kemudian, ini menghasilkan beragam bentuk pemujaan Maria, meskipun sama sekali tidak ada ayat tentang peranan penting Maria selain sebagai ibu biologis YESUS. (Lukas 1:26-38, 46-56) Selama berabad-abad, ajaran tentang Bunda-Allah itu telah dikembangkan dan dibumbui oleh Gereja Katolik Roma, sehingga banyak orang Katolik lebih bersungguh-sungguh memuja Maria daripada menyembah Allah.

Skisma dalam Susunan Kristen
29 Ciri lain kemurtadan adalah munculnya perpecahan. Rasul Paulus telah menubuatkan, ”Aku tahu bahwa setelah kepergianku, serigala-serigala yang menindas akan masuk di antara kamu dan tidak akan memperlakukan kawanan dengan lembut, dan dari antara kamu sendiri akan muncul pria-pria yang membicarakan perkara-perkara yang belat-belit untuk menjauhkan murid-murid agar mengikuti mereka.” Paulus telah memberikan nasihat yang jelas kepada orang Korintus ketika ia menyatakan, ”Sekarang aku menasihati kamu, saudara-saudara, melalui nama Tuan kita, YESUS KRISTUS, agar kamu semua selaras dalam hal berbicara, dan agar jangan ada perpecahan di antara kamu melainkan agar kamu bersatu dengan sepatutnya dalam pikiran yang sama dan dalam jalan pikiran yang sama.” Meskipun adanya desakan Paulus ini, kemurtadan dan perpecahan berkembang tak lama kemudian.—Kisah 20:29, 30; 1 Korintus 1:10.

30 Dalam waktu beberapa dasawarsa setelah kematian para rasul, skisma (perpecahan) sudah nyata di kalangan orang Kristen. Will Durant menyatakan, ”Selsus [penentang Kekristenan pada abad kedua] sendiri dengan pedas mengomentari bahwa umat Kristen ’terpecah menjadi begitu banyak golongan, setiap orang ingin memiliki kelompoknya sendiri’. Kira-kira pada tahun 187 [M] Ireneus menyebutkan ada dua puluh macam Kekristenan; kira-kira pada tahun 384 [M] Epifanius mencatat jumlahnya ada delapan puluh.”—The Story of Civilization: Part III—Caesar and CHRIST.

31 Konstantin lebih menyukai bagian Timur kekaisarannya yang berbahasa Yunani, dengan membangun ibu kota baru yang luas di daerah yang sekarang adalah Turki. Ia menamai kota itu Konstantinopel (sekarang Istambul). Akibatnya, selama berabad-abad Gereja Katolik terpolarisasi dan terbagi secara bahasa maupun geografi—Roma yang berbahasa Latin di Barat versus Konstantinopel yang berbahasa Yunani di Timur.

32 Perdebatan yang memecah belah mengenai aspek-aspek ajaran Tritunggal yang masih berkembang terus menimbulkan pergolakan dalam Susunan Kristen. Konsili lain diselenggarakan pada tahun 451 M di Kalsedon untuk mendefinisikan ciri ”kodrat” KRISTUS. Gereja-gereja Barat menerima kredo yang dikeluarkan konsili ini, namun gereja-gereja Timur tidak setuju, sehingga terbentuklah Gereja Koptik di Mesir serta Abisinia dan gereja-gereja ”Yakub” di Siria serta Armenia. Persatuan Gereja Katolik terus terancam oleh perpecahan mengenai soal-soal teologi yang sulit dipahami, terutama definisi doktrin Tritunggal.
33 Penyebab lain perpecahan adalah pemujaan patung-patung. Selama abad kedelapan, para uskup Timur menentang pemujaan berhala ini dan memasuki apa yang disebut periode penghancuran patung atau ikonoklasme. Belakangan, mereka kembali menggunakan ikon (patung dan gambar suci).—Keluaran 20:4-6; Yesaya 44:14-18.

34 Ujian besar berikutnya terjadi pada abad keenam sewaktu gereja Barat menambahkan kata Latin filioque (”dan dari Putra”) pada Kredo Nicea untuk menunjukkan bahwa ROH KUDUS keluar dari Bapak dan juga Putra. Penambahan ini mengakibatkan keretakan ketika ”pada tahun 876 suatu sinode [para uskup] di Konstantinopel mengecam paus karena kegiatan politiknya maupun karena ia tidak mengoreksi bidah yang menggunakan klausa filioque. Inilah salah satu tindakan dari penolakan gereja-gereja Timur atas hak paus untuk memiliki yurisdiksi universal atas Gereja”. (Man’s Religion) Pada tahun 1054, perwakilan paus mengekskomunikasi patriark (uskup agung) Konstantinopel, yang sebagai balasannya mengutuk paus. Perpecahan itu akhirnya menyebabkan terbentuknya Gereja-Gereja Ortodoks Timur—Yunani, Rusia, Rumania, Polandia, Bulgaria, Serbia, dan gereja-gereja lain yang berdiri sendiri.

35 Ada gerakan lain yang juga mulai menyebabkan pergolakan dalam Gereja. Pada abad ke-12, Peter Waldo, dari Lyons, Prancis, ”mengerahkan beberapa pakar untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam langue d’oc [bahasa daerah] di Prancis Selatan. Ia mempelajari terjemahan itu dengan bersemangat, dan menyimpulkan bahwa umat Kristen harus hidup seperti para rasul—tanpa harta benda pribadi”. (The Age of Faith, oleh Will Durant) Ia memulai gerakan pengabaran yang dikenal sebagai gerakan kaum Waldens. Mereka menolak keimaman Katolik, surat pengampunan dosa, api penyucian, transubstansiasi, dan praktek serta kepercayaan tradisional Katolik lainnya. Mereka menyebar ke negeri-negeri lain. Konsili Toulouse mencoba menghalangi mereka pada tahun 1229 dengan melarangkan kepemilikan buku-buku Alkitab. Hanya buku liturgi yang diperbolehkan, itu pun dalam bahasa Latin yang sudah tidak digunakan lagi. Akan tetapi, masih akan ada lebih banyak perpecahan dan penganiayaan agama.

Penganiayaan terhadap Kaum Albigensia
36 Gerakan lain terbentuk pada abad ke-12 di Prancis Selatan—gerakan kaum Albigensia (juga dikenal sebagai orang Kathar), yang namanya diambil dari kota Albi, tempat banyak pengikutnya berada. Mereka memiliki golongan klerus sendiri yang hidup selibat, yang ingin disapa dengan sebutan kehormatan. Mereka percaya bahwa YESUS berbicara secara kiasan pada perjamuan malamnya yang terakhir ketika ia berkata mengenai roti, ”Inilah tubuh-Ku.” (Matius 26:26, TB) Mereka menolak doktrin Tritunggal, Kelahiran oleh Perawan, api neraka, dan api penyucian. Jadi, mereka secara aktif meragukan ajaran-ajaran Gereja Roma. Paus Inocentius III memerintahkan agar kaum Albigensia ditindas. ”Kalau perlu,” katanya, ”ganyang mereka dengan pedang.”

37 Perang salib dilancarkan terhadap ”kaum bidah”, dan para prajurit Katolik membantai 20.000 pria, wanita, dan anak-anak di Béziers, Prancis. Setelah banyak menumpahkan darah, perdamaian terwujud pada tahun 1229, dengan kekalahan di pihak kaum Albigensia. Konsili Narbonne ”melarang kaum awam memiliki bagian mana pun dari Alkitab”. Akar problem yang dihadapi Gereja Katolik ternyata adalah keberadaan Alkitab dalam bahasa rakyat.

38 Langkah berikut yang diambil Gereja adalah membentuk Inkuisisi, suatu pengadilan untuk menindas para bidah. Semangat tidak toleran telah merasuki orang banyak, yang percaya kepada takhayul dan yang dengan senang hati menggantung serta membunuh ”kaum bidah”. Situasi pada abad ke-13 menjadi ladang subur untuk penyalahgunaan kekuasaan oleh Gereja. Akan tetapi, ”kaum bidah yang dikutuk oleh Gereja harus diserahkan kepada ’tangan sekuler’—kalangan berwenang setempat—dan dibakar sampai mati”. (The Age of Faith) Dengan menyerahkan pelaksanaan eksekusi kepada kalangan berwenang sekuler, Gereja tampaknya bebas dari utang darah. Inkuisisi memulai suatu era penganiayaan agama yang mengakibatkan perlakuan kasar, pengaduan palsu dan tanpa nama, pembunuhan, perampokan, penyiksaan, dan kematian perlahan-lahan atas ribuan orang yang berani mempercayai sesuatu yang berbeda dengan Gereja. Kebebasan berekspresi di bidang agama diberangus. Adakah harapan bagi orang-orang yang mencari Allah yang benar? Pasal 13 akan menjawabnya.

39 Sementara semua hal itu berlangsung dalam Susunan Kristen, seorang Arab di Timur Tengah tampil menentang apatisme agama dan penyembahan berhala dari bangsanya sendiri. Ia memulai suatu gerakan keagamaan pada abad ketujuh yang dewasa ini berhasil memenangkan ketaatan dan ketundukan dari hampir semiliar orang. Gerakan itu adalah Islam. Pasal berikut akan membahas sejarah nabi pendirinya dan menjelaskan beberapa ajaran serta sumbernya

Sumber dari Buku :
PENCARIAN MANUSIA AKAN ALLAH : HALAMAN 261 – 283; PENERBIT IBSA: cETAKAN Tahun 2005

SALAM

Jawaban:

Shalom Aida Bela,

Sesungguhnya, artikel semacam itu tidak perlu mengguncang iman kita. Sebab tuduhan yang disampaikan di artikel tersebut juga tidak sesuai dengan kenyataan. Berhubung dengan begitu panjangnya artikel yang anda kutip, maka saya membaginya menjadi beberapa sub-topik, agar pembahasan menjadi lebih mudah dan terarah. Mari kita melihat satu- satu tuduhan itu:

1. Apakah terjadi kemurtadan di masa abad awal di Gereja karena Gereja berkompromi dengan kebiasaan kafir di Roma?

Artikel tersebut, mengutip perkataan Will Durrant menyebutkan, bahwa Gereja Katolik sepertinya ‘terbujuk’ rayuan filsafat bangsa Roma/ kafir sehingga terpengaruh oleh kebiasaan mereka, seperti menggunakan jubah keagamaan, penggunaan kemenyan dan air suci, menyalakan lilin dan lampu di altar, penghormatan orang kudus, hukum Roma sebagai dasar hukum kanonis, dan gelar Pontifex Maximus.

Dari riwayat hidupnya, kita mengetahui Will Durrant adalah seorang ahli filosofi/ filsafat, (terbukti dengan bukunya The Story of Philosophy) namun ia bukan seorang ahli Kitab Suci. Maka besar kemungkinan, pandangannya itu adalah kesimpulannya sendiri, berdasarkan studinya mengamati ajaran filsafat dan kebiasaan Roma, yang sepertinya mirip dengan yang kemudian diterapkan oleh Gereja. Kesimpulan ini tidak bersifat holistik, sebab Durrant gagal melihat bahwa dasar Gereja menerapkan beberapa kebiasan tersebut sesungguhnya bersumber kepada Kitab Suci, dan bukan semata mengadopsi kebiasaan yang sudah ada.

a. Jubah keagamaan dan bahkan warna- warnanya yang dipakai oleh para Uskup dan Paus mengacu kepada apa yang dituliskan untuk pakaian para imam Lewi dalam kitab Perjanjian Lama (lih. Kel 28:1-43; Kel 39:1-31) pada saat memimpin jemaat Allah; demikian pula jubah disebutkan dalam Kitab Wahyu sebagai pakaian bagi para orang kudus yang melayani Allah siang dan malam (lih. Why 7:14-15). Maka jubah dan warna- warnanya adalah pilihan Allah sendiri bagi imam-Nya sebagai para pelayan jemaat-Nya. Jadi kalau Gereja Katolik memakai warna- warna tersebut, itu adalah karena Allah sendiri menghendakinya, sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci.

b. Penggunaan kemenyan juga memiliki dasar Kitab Suci (lih. Mzm 141:1-2; Why 8:3-4; Kel 30:34-37), demikian pula air untuk pemurnian (lih. Ibr 10:22; Yeh 36:25), dan minyak untuk pengurapan (lih. 1 Sam 16:13; Yak 5:14).

c. Penyalaan lilin pada saat ibadah, juga tidak dapat dilepaskan dengan dua hal, pertama akan pesan Kristus Sang Terang dunia (lih. Yoh 8:12), agar kita sebagai murid- murid-Nya juga dapat menjadi terang bagi dunia (lih. Mat 5:14), dengan memancarkan terang kita terima dari Kristus. Kedua, jika kita melihat ke dalam sejarah Gereja, kebiasaan menyalakan lilin di altar juga berhubungan dengan perayaan Ekaristi di gereja- gereja katakomba (bawah tanah) ataupun di tempat- tempat tersembunyi yang gelap, menghindari penangkapan dari pihak penguasa di abad- abad awal. Maka di sini penyalaan lilin mempunyai makna simbolis, namun juga fungsional, dan tidak ada kaitannya dengan filsafat kafir.

d. Penghormatan orang kudus berawal dari penghormatan jemaat perdana kepada para martir, yaitu mereka yang bersedia menyerahkan nyawanya demi mempertahankan iman akan Kristus. Kebiasaan ini mempunyai dasar pemahaman bahwa persatuan umat beriman di dalam Kristus tidak terceraikan oleh apapun, bahkan oleh maut (lih. Rom 8:38-39). Para orang kudus dan martir yang telah mendahului kita telah menjadi orang- orang yang telah dibenarkan Tuhan sehingga doa- doa mereka besar kuasanya (lih. Yak 5:16). Gereja tidak menyembah orang- orang kudus, namun menghormati mereka dan memohon dukungan doa mereka, silakan membaca lebih lanjut dasarnya di sini, silakan klik

Selanjutnya, perlu diketahui juga bahwa prinsip yang mempertentangkan filsafat dengan iman Kristiani juga tidaklah benar. Sebab walaupun memang ada pengajaran filsafat yang bertentangan dengan Kitab Suci (jika demikian, harus ditolak), namun tidak semua prinsip yang digunakan dalam filsafat bertentangan dengan iman. Contohnya, prinsip logika pembuktian akan adanya Seorang Pribadi, sebagai “Yang Tertinggi dan Pencipta semesta”, sejalan dengan ajaran iman bahwa Allah adalah Sang Pencipta langit dan bumi. Ilmu filsafat yang berusaha ‘mendekati’ Tuhan dengan menggunakan akal budi, tidak selalu bertentangan dengan iman. Sebab baik akal budi dan iman keduanya berasal dari Allah, sehingga jika dipahami dengan benar dapat saling melengkapi untuk membawa manusia kepada pemahaman akan Allah.

Maka tidak ada yang salah dengan menggunakan bentuk- bentuk arsitektur basilika sebagai bangunan Gereja, yang terpenting adalah di dalam bangunan itu pusatnya adalah tabernakel dan altar, sebagai pusat tempat yang kudus, tempat diadakannya perayaan Ekaristi. Hukum Roma yang berdasarkan prinsip keadilan dan kesejahteraan bersama (common good) juga dapat diambil, sebab prinsip keadilan dan kesejahteraan juga merupakan prinsip dasar yang diajarkan di dalam Kitab Suci, yang mengacu kepada ajaran cinta kasih.

Selanjutnya, gelar Pontifex Maximus, sesungguhnya bukan ‘merebut’ gelar penguasa Roma, yang arti harafiahnya adalah ‘pembangun jembatan yang tertinggi’. Dahulu penguasa Roma memang mempunyai gelar ini sebab mereka memang membangun jembatan- jembatan yang melintasi sungai Tiber di Roma. Namun jika istilah ini digunakan untuk Paus, artinya bersifat alegoris, yaitu bahwa Paus adalah pemimpin yang menjembatani semua imam dan uskup di dunia. Namun, gelar Pontifex Maximus sesungguhnya sekarang tidak termasuk sebagai gelar resmi Bapa Paus.

2. Ajaran Allah Trinitas adalah karena pengaruh filsafat kafir?

Ajaran tentang Allah Trinitas bersumber atas Wahyu Allah sendiri tentang diri-Nya, seperti yang dituliskan dalam Kitab Suci dan ajaran para Bapa Gereja yang merupakan para penerus rasul, silakan klik, bukan atas ajaran filsafat kafir.

Pada saat Rasul Paulus memperingatkan jemaat di Galatia dan Kolose tentang filsafat yang kosong (Gal 1:7-9, Kol 2:8; 1 Kor 1:22-23) yang dimaksudkannya adalah ajaran filsafat yang diajarkan di saat itu oleh para Gnostics, yang prinsip ajarannya kini diajarkan kembali oleh gerakan New Age Movement, yang pernah kami tuliskan di sini, silakan klik; atau ajaran sesat Docetism yang mengajarkan bahwa Tuhan Yesus tidak sungguh menjelma menjadi manusia, dan bahwa tubuh Yesus hanya semacam ilusi, sehingga penyaliban-Nya juga tidak sungguh terjadi. Tentu fisafat macam ini ditolak oleh para rasul, dan juga ditolak oleh Gereja.

Gereja Katolik mengajarkan tentang Allah Trinitas, karena Sabda Tuhan mengajarkan demikian, seperti tertulis dalam Kitab Suci, dan Tradisi Suci, yang bersumber dari pengajar para Bapa Gereja. Beberapa kutipan ajaran para Bapa Gereja dari abad pertama sampai abad ke-4 (sejak berdirinya Gereja sampai Konsili Nicea 325) tentang Trinitas, dapat dibaca di sini, silakan klik.

3. Jiwa yang tidak mati adalah ajaran filsafat kafir?

Walaupun ada ilmu filsafat Yunani yang mengajarkan tentang jiwa yang kekal (tidak mati), namun dasar ajaran Gereja tentang jiwa yang kekal dan kehidupan setelah kematian, tidak mengambil dasar dari ilmu filsafat itu, tetapi dari Kitab Suci. Penggenapan janji kehidupan kekal bagi orang- orang percaya hanya mungkin terjadi, jika jiwa mereka tidak mati, meskipun tubuh mereka mati (wafat). Beberapa ayat yang mengajarkan hal ini adalah:

Yesus berkata, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16) …. “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia akan memperoleh hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yoh 6:54)…. “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang percaya kepada-Ku tidak akan mati selama-lamanya.” (Yoh 11:25-26)

Rasul Paulus berkata, “Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran. Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu.” (Rom 8:10-11)

“Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.” (1 Tes 4:13-14)

“Sebab Allah telah menciptakan manusia untuk kebakaan, dan dijadikan-Nya gambar hakekat-Nya sendiri.” (Keb 2:23)

Sabda Tuhan mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang diciptakan Allah yang terdiri dari tubuh dan jiwa; tubuhnya dibentuk dari debu tanah, sedangkan jiwanya dari nafas yang dihembuskan oleh Allah (lih. Kej 2:7). Dengan demikian, tubuh manusia memang dapat mati, sedangkan jiwanya tidak. Maka, ayat Mat 10:28 yang menyebutkan bahwa seolah jiwa dapat mati- adalah dalam konteks kebinasaan jiwa di neraka: “… janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” (Mat 10:28)

4. Apakah pembentukan hirarki dalam susunan Kristen adalah suatu bentuk kemurtadan? Apakah benar di abad pertama tidak ada seorang pemimpin yang lebih tinggi dari yang lain?

Fakta bahwa Yesus menghendaki hirarki dalam Gereja-Nya nyata bahwa dalam karya-Nya Ia memilih 12 rasul (Mat 4:18-22; Mrk 1:16-20; Luk 5:1-11) dan juga kemudian ke 70 murid (Luk 10:1). Jika Kristus tidak menghendaki semacam susunan dalam jemaat, tentu Ia tidak perlu memilih mereka- mereka ini. Maka, adanya susunan hirarki dalam Gereja justru terbentuk sesuai dengan kehendak Kristus, yang mendirikan Gereja-Nya di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:18). Seseorang yang dengan tekun membaca Kitab Suci akan menemukan banyaknya ayat dalam Kitab Suci yang menunjukkan keutamaan rasul Petrus jika dibandingkan dengan rasul- rasul lainnya, seperti pernah secara khusus dibahas di artikel ini, silakan klik. Di dalam konsili Yerusalem (49-50) pada saat terjadi konflik jemaat tentang masalah sunat; Rasul Petruslah yang membuat keputusan; walaupun kemudian Rasul Yakobus yang berbicara dalam khotbah penutup. Maka walau benar semua rasul dan penatua yang melayani dalam sidang itu, namun di dalam sidang itu tetap berdiri seorang pemimpin yang memutuskan, terutama jika terjadi konflik ataupun perbedaan pandangan, dan peran ini dilaksanakan oleh Rasul Petrus dan selanjutnya oleh para penerusnya. Keutamaan Uskup Roma/ Paus (penerus Rasul Petrus) juga secara khusus nampak pada surat St. Klemens yang ditujukan kepada jemaat di Korintus untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di sana, seperti pernah dibahas di sini, silakan klik.

5. Asal usul susunan hirarki Gereja?

Maka prinsip susunan kepemimpinan Gereja bermula dari Kristus yang menunjuk ke 12 rasul, dan kemudian setelah kenaikan-Nya,  para murid mulai pula menunjuk para penilik jemaat dan diaken, seperti pengajaran Rasul Paulus kepada Timotius (1 Tim 3). Secara lebih jelasnya hal ini disebut dalam tulisan St. Ignatius Martir, sebagai murid langsung dari Rasul Yohanes dan dari Uskup Antiokhia setelah Rasul Petrus.

Kepada jemaat di Efesus (n.3-5) St. Ignatius menulis:

“Aku mendesak kamu agar menyesuaikan tindakanmu dengan pikiran Tuhan. Sebab Yesus Kristus…. adalah pikiran Allah Bapa, sebagaimana para uskup, yang ditunjuk di seluruh dunia, mencerminkan pikiran Kristus.

Maka, kamu harus bertindak sesuai dengan pikiran para uskup, seperti yang pasti kamu lakukan. Para imam… adalah terikat dengan erat dengan para uskup seperti senar pada sebuah harpa…. Jangan salah tentang hal ini. Jika barangsiapa tidak berada di dalam tempat kudus (gereja), ia kekurangan roti Tuhan. Dan jika doa satu atau dua orang sangat besar kuasanya, betapa lebih lagi doa uskup dan seluruh Gereja. Barang siapa yang gagal bergabung dalam penyembahanmu menunjukkan kesombongannya, dengan kenyataan bahwa ia menjadi seorang skismatik. Ada tertulis, “Tuhan menolak orang yang sombong”. Mari kita, dengan sungguh menghindari melawan uskup sehingga kita dapat tunduk kepada Tuhan.”

Kepada jemaat di Trallia, n.2-7, St. Ignatius menulis:

“Sebab ketika kamu menaati uskup seperti seandainya ia adalah Yesus Kristus, kamu… hidup tidak hanya menurut cara manusia, tetapi menurut cara Yesus Kristus, yang demi kita, menderita, wafat, supaya kamu dapat percaya akan kematian-Nya… Oleh karena itu, adalah penting, untuk bertindak jangan sampai tanpa [persetujuan] uskup. Bahkan tunduklah kepada para imam sebagaimana kepada para rasul Yesus Kristus. Ia adalah pengharapan kita, dan jika kita hidup dalam kesatuan dengan-Nya sekarang, kita akan mencapai hidup kekal. Mereka juga yang adalah diaken… harus memuaskan semua orang. Sebab mereka tidak hanya melayani makanan dan minuman, tetapi melayani Gereja Tuhan. Barang siapa ada di dalam tempat kudus (gereja), adalah murni, sedangkan di luar ia tidak murni. Artinya: mereka yang melakukan apapun tanpa uskup, imam dan diakon tidak mempunyai hati nurani yang jernih.” (n.7)

Kepada jemaat di Smyrna, n.8, St. Ignatius menulis:

“Jauhkan dirimu dari skisma sebagai sumber dari segala kesulitan/ kejahatan. Kamu semua harus tunduk pada uskup sama seperti Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Tunduk juga kepada para imam seperti kamu kepada para rasul; dan hormatilah para diaken seperti kamu menghormati hukum Tuhan …. Kamu harus menganggap Ekaristi sebagai yang sah, jika dirayakan oleh uskup atau oleh seseorang yang diberinya kuasa. Di mana uskup berada, biarlah kongregasi umat berada, seperti di mana Yesus Kristus berada, di sanalah ada Gereja Katolik. Tanpa supervisi dari uskup, tidak ada baptisan ataupun perayaan Ekaristi diperbolehkan….”

6. Tentang gelar “Paus” baru di abad ketiga digunakan?

Istilah “Paus” (pope) yang artinya ‘bapa’ memang baru dipergunakan sejak abad ke-3 untuk sebutan uskup- uskup, dan abad ke-6 baru dikhususkan untuk Paus (uskup Roma) saja, namun penggunaan istilah tersebut tidak bertentangan dengan Kitab Suci.  Rasul Paulus menyebutkan dirinya sebagai bapa bagi umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan bapa rohani bagi Timotius (1 Tim 1:2, 2 Tim 1:2), dan bagi Titus (Tit 1:4). Maka sebagai menerus Rasul (yaitu Rasul Petrus), Paus juga mempunyai peran sebagai bapa bagi umat beriman, sebagaimana Rasul Paulus kepada umat di Korintus.

7. Paus Leo I dengan gelar Pontifex Maximus

Seperti telah disebutkan di atas, gelar Pontifex Maximus bukanlah merupakan gelar resmi bagi Paus sekarang. Silakan melihat gelar Paus yang resmi, di link ini. Namun jika di masa yang lalu gelar itu digunakan, itupun maknanya tidak untuk diartikan lahiriah (sebagai pembangun jembatan) sebagaimana telah disebutkan di point no. 1 di atas.

8. Pendirian negara Vatikan dan dihormatinya Paus seperti layaknya kepala negara berlawanan dengan Kis 10:25-26?

Walaupun Paus dihormati sebagai pemimpin, namun ia juga masih sama seperti Rasul Petrus, harus tetap menjadi pelayan umat Tuhan. Ini tercermin dari salah satu gelar Paus, yaitu Servant of the servants of God. Mungkin ada baiknya orang yang berkomentar ini melihat juga bagaimana Paus juga membasuh kaki sesama uskup/ pelayan Tuhan dalam perayaan Ekaristi Kamis Putih.

Maka penghormatan kepada Paus tidak sama dengan penghormatan kepada Tuhan. Paus dihormati umat Katolik sebagai pemimpin yang melaksanakan figur bapa, gembala dan pemersatu umat. Tidak ada yang salah dengan penghormatan semacam ini, sama seperti tidak ada yang salah dengan penghormatan kepada orang tua dan presiden. Selanjutnya, pendirian negara Vatikan tidak terlepas dari misi Gereja untuk menyebarkan Injil ke seluruh dunia sebagaimana diperintahkan Kristus (Mat 28:19-20). Hal ini dimungkinkan karena adanya persatuan Gereja Katolik dengan susunan hirarki/ organisasi yang jelas.

9. Dukungan Kaisar Konstantin sangat berpengaruh dalam perkembangan agama Kristen?

The Edict of Milan (313) yang dikeluarkan oleh Kaisar Konstantin memang sangat berpengaruh bagi perkembangan agama Kristen, karena sejak saat itu umat Kristen tidak lagi dikejar- kejar, dianiaya dan dibunuh karena iman mereka. Maka pertumbuhan agama Kristen memang berlangsung pesat sejak saat itu. Namun demikian, bukan berarti Kaisar Konstantin ikut campur dalam urusan ajaran iman ataupun susunan hirarki Gereja saat itu. Jika pada masa pemerintahannya ia mendukung diadakannya Konsili Nicea (325), itu disebabkan karena ia mempunyai kepentingan politik, yaitu ia ingin mengakhiri adanya konflik yang mengganggu keamanan di wilayahnya, antara para pengikut ajaran sesat Arianisme dengan umat Gereja setempat. Sekilas tentang ajaran sesat Arianisme, yang menentang Ke-Tuhanan Yesus, sudah pernah dibahas di sini silakan klik.

Keliru jika ada orang mengatakan bahwa sebelum Konsili Nicea 325, tidak ada orang Kristen yang menyebut Kristus sebagai Tuhan. Kitab Suci dan Bapa Gereja sebelum Konsili Nicea sudah mengajarkan bahwa Kristus adalah Tuhan. Konsili Nicea diadakan karena pada saat itu berkembang ajaran sesat Arianisme, menganggap Yesus “hanya” manusia biasa atau sejenis malaikat; dan dengan demikian tidak sesuai dengan ajaran para rasul yang jelas mengajarkan tentang keTuhan-an Yesus. Ajaran Arianisme ini berkembang hingga mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga waktu itu Kaisar Konstantin turut berkepentingan untuk mendukung diadakannya Konsili, demi mengakhiri kekacauan yang ada. Untuk menertibkan ajaran inilah, maka Konsili Nicea diadakan; yang dihadiri oleh sekitar 300 uskup. Ajaran Arius ini dikecam, dan dianggap sebagai inovasi radikal. Maka dibuatlah suatu pernyataan Credo, untuk mempertahankan ajaran para rasul, yaitu Kristus adalah “sehakekat dengan Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.” Pada waktu penandatanganan ajaran ini, hampir semua dari para uskup tersebut setuju, hanya terdapat 17 uskup yang enggan bersuara, namun kenyataannya hanya 2 orang uskup yang menolak, ditambah dengan Arius sendiri. Maka ketidakhadiran Paus Silvester I dalam Konsili Nicea tidak menjadikan apa yang diputuskannya tidak sah/ valid, karena sebenarnya yang diputuskan bukan sesuatu ajaran yang baru, melainkan adalah ajaran yang sudah ada sejak jaman para rasul. Dukungan Paus Julius I terhadap St. Athanasius menunjukkan sikap Gereja yang tidak berubah, dan keabsahan hasil Konsili Nicea tentang ajaran Allah Trinitas dan ke-Allahan Yesus. Paus Julius kemudian mengadakan Konsili Sardica 343 yang mengkonfirmasi hasil Konsili Nicea.

Namun hasil konsili -konsili ini tidak serta merta diikuti oleh Kaisar Konstantin sendiri. Putera kesayangan Konstantin yang bernama Konstantius adalah pengikut aliran Arianisme; sehingga ironisnya, pada masa itu pihak kerajaan yang tadinya ingin menertibkan aliran Arianisme malah akhirnya menjadi penganut Arianisme. Malah kemudian St. Athanasius, Uskup Agung Alexandria yang menentang Arianisme mengalami penganiayaan, diasingkan dan dibuang sampai 5 kali oleh pihak penguasa, karena ia mempertahankan Credo Nicea tersebut. St. Athanasius wafat pada tahun 371.

10. Ajaran Inkarnasi menjadikan Maria sebagai Bunda Allah?

Ya. Inilah memang yang diajarkan dalam Kitab Suci, seperti yang dikatakan oleh Elisabet kepada Maria yang mengunjunginya (lih. Luk 1:43). Tidak ada ayat dalam Kitab Suci yang menyebutkan Maria hanya sebagai ‘ibu biologis’ Yesus, seperti yang sering diklaim oleh mereka yang tidak mau mengakui Maria sebagai Bunda Tuhan Yesus. Jika ada orang yang memuja Maria melebihi penyembahan kepada Allah, tentu ini keliru, tetapi tidak ada yang salah dengan menghormati Maria sebagai ibu Yesus, sebab Kristus telah memberikan Maria kepada kita sebagai ibu kita juga (lih. Yoh 19:26-27).

11. Ciri lain kemurtadan adalah perpecahan?

Kitab Suci mengajarkan bahwa ciri- ciri murtad adalah: 1) orang yang meninggalkan iman (‘depart from the faith‘) dan yang mengikuti roh- roh penyesat dan ajaran setan (1Tim 4:1, 2Tes 2:3); 2) orang yang tidak memelihara sanak saudaranya, terutama seisi rumahnya (1 Tim 5:8).

Agaknya inilah yang perlu direnungkan sendiri oleh orang yang menulis artikel tersebut, sebab jika ia mau mempelajari ajaran Gereja sejak awal, maka ia akan mengetahui pihak manakah yang sebenarnya lebih cocok untuk dikatakan sebagai yang meninggalkan iman dan mengikuti ajaran sesat. Sebab ajaran iman yang dilestarikan oleh Gereja Katolik tetap sama dari awal mula sampai sekarang, termasuk tentang ke- Tuhanan Yesus dan Allah Trinitas, yang keduanya ditentang oleh sekelompok orang tertentu sampai sekarang. Selanjutnya, Gereja Katolik tidak pecah ataupun memecahkan diri. Yang ada adalah, ada sekelompok orang yang memisahkan diri dari kesatuan Gereja Katolik yang satu yang mengajarkan ajaran yang sama sejak awal mula sesuai dengan pengajaran Yesus dan para rasul. Adanya beberapa ritus yang diakui oleh Gereja Katolik dan juga banyaknya bahasa vernakular yang diperbolehkan dalam ibadah Gereja Katolik di seluruh dunia, tidak menunjukkan adanya bermacam aliran Gereja Katolik, tetapi menunjukkan ke-universalan (kekatolikan) Gereja Katolik, namun prinsip ajarannya tetap sama.

13. Tentang Konsili Kalsedon (451) tidak disetujui Gereja Timur?

Konsili ekumenis keempat ini memang diadakan terutama untuk menegaskan ajaran iman Katolik yang asli, dengan menolak ajaran sesat dari Euthyches dan Monophysites. Baru saja Konsili Efesus (431) mengecam ajaran sesat Nestorius yang mengajarkan adanya pemisahan antara kodrat Allah dan kodrat manusia dalam diri Kristus (sehingga seolah Kristus mempunyai dua pribadi); tak lama kemudian timbullah ajaran sesat yang bertolak belakang dengan ajaran Nestorius itu, yang mengajarkan bahwa kedua kodrat dalam diri Yesus begitu menyatu dengan eratnya sampai menjadi satu, di mana kodrat manusia-Nya secara sempurna ‘tertelan’ oleh kodrat ke- Allahan-Nya. Paham Monophysites mengajarkan bahwa Yesus tidak hanya mempunyai satu pribadi, namun juga satu kodrat. Sedangkan Gereja sejak awal mengajarkan bahwa dalam penjelmaan-Nya sebagai manusia, Yesus mempunyai satu Pribadi, namun dua kodrat yaitu ke-Allahan dan ke-manusiaan, yang bersatu sedemikian -disebut hypostatic union– tetapi tidak saling meniadakan, dan masing- masing kodrat dapat melakukan segalanya sesuai dengan sifatnya (misalnya kodrat kemanusian: dapat lelah, lapar dan haus; namun kodrat ke-Allahan dapat melakukan bermacam mukjizat).

Euthyches mengajarkan bahwa sebelum inkarnasi terdapat dua kodrat dalam diri Yesus, namun setelah inkarnasi ada hanya satu kodrat. Ajaran ini ditolak oleh Sinoda Konstantinopel, yang mengekskomunikasi Euthyches. Namun Euthyches protes, dan ia mendapat simpati dari Kaisar [Theodosius II] yang kemudian mendorong agar diadakannya konsili di Efesus. Paus Leo I, Dioscorus (Partriarkh Aleksandria) dan beberapa uskup lainnya diundang untuk menghadiri konsili ini untuk menyelidiki ajaran Euthyches tersebut. Paus tidak dapat hadir, namun mengutus tiga orang wakil untuk membawa surat- suratnya, antara lain Epistola Dogmatica, yang menjelaskan tentang misteri Inkarnasi, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Euthycus. Paus sendiri mengecam ajaran Euthyches. Konsili lalu diadakan di Efesus pada tahun 449 yang dihadiri oleh rekan- rekan partisan Dioscorus dan Euthyches.

Cardinal Henry Newman, seolah ahli sejarah Anglikan yang kemudian menjadi Katolik pernah menulis tentang Konsili Efesus (449) demikian:

“Proses yang berlangsung sangat dipenuhi kekerasan, sehingga Konsili itu telah dikenal secara turun temurun sebagai Latrocinium,  atau  Konsili ‘Penyamun’ (gang of robbers). Euthyches dengan hormat dibebaskan [dari tuduhan], dan ajarannya diterima; namun St. Flavian [uskup Konstantinopel] dipecat. Dioscorus didukung oleh banyak sekali pertapa dan para pendukung ajaran Monophysites yang sangat berapi- api, dari Syria dan Mesir, dan oleh angkatan bersenjata. Mereka ini menyerbu Gereja pada saat dikomandokan olehnya; Flavian dibuang dan diinjak- injak hingga terluka parah, dan ia wafat tiga hari setelah kejadian itu. Para utusan Paus melarikan diri semampu mereka, dan para uskup yang hadir diharuskan menandatangani kertas kosong, yang kemudian diisi dengan tulisan yang menghukum Flavian… Proses diakhiri dengan Dioscorus mengekskomunikasi Paus dan Kaisar mengeluarkan Edict yang menyetujui keputusan konsili.” (Cardinal Henry Newman, An Essay on the Development of Christian Doctrine, (Notre Dame, 1989), p.300)

Kaisar Theodosius II yang memihak Euthyches menyetujui tindakan kekerasan itu, tetapi Paus Leo I tidak mengakuinya, dan tidak pula mengakui Anatolius sebagai Uskup Konstantinopel. Paus meminta bantuan Kaisar untuk mengadakan konsili di Italia untuk meluruskan kekacauan ini, namun ditolak oleh Kaisar. Namun kemudian Kaisar Theodosius II mendadak meninggal (28 Juli 450) dan digantikan oleh adiknya Pulcheria yang menunjuk jenderal bernama Marcian. Mereka berdua menentang ajaran Dioscurus dan Euthyches. Marcian lalu memberitahukan kepada Paus tentang kesediaannya mendukung diadakannya konsili seperti dikehendaki Paus. Sementara itu Anatolius dan banyak uskup lainnya di Gereja Timur mengecam ajaran Euthyches dan menerima ajaran Paus Leo I (Epistola Dogmatica).

Sementara itu di Eropa terjadi kekacauan karena invasi Attila orang Hun, sehingga banyak uskup dari Barat tidak dapat hadir dalam konsili yang akan diadakan di Timur (Nicea, Sept 451), atas prakarsa Jenderal Marcian. Walaupun Paus tidak setuju akan tempatnya, namun ia setuju untuk mengirimkan utusannya, yaitu Paschasinus, Uskup Lilybaeumdi di Sisilia, Uskup Lucentius, Uskup Julian, and dua orang imam, Bonifasius and Basil. Konsili akhirnya tidak jadi diadakan di Nicea, tetapi di Kalsedon dekat Konstantinopel, pada bulan Oktober 451. Konsili dihadiri oleh 630 uskup (termasuk 4 orang dari Barat: dia orang Afrika dan dua orang utusan Gereja Roma). Utusan Roma membuka konsili mewakili Gereja Roma, “yang merupakan kepala dari semua Gereja-gereja”. Dioscorus dikenai sangsi karena telah “mengadakan konsili di luar otoritas dari tahta apostolik, yang belum pernah terjadi dan tidak sah” (Newman, p.308), dan karena tidak membacakan surat Paus di Konsili (yang juga dikenal dengan sebutan Tome of Leo). Terjemahan kutipan The Tome of Leo, dapat dibaca di sini, silakan klik. Surat Paus Leo I mendapat persetujuan semua uskup yang hadir, kecuali 4 orang dari keuskupan Timur.

Hasil konsili yang terpenting adalah dekrit tentang iman Kristiani, yang menekankan kembali ajaran Konsili Nicea (325), Konstantinopel (381), Efesus (431), ajaran St. Cyril (Sirilus) dan surat Paus Leo I, demikian:

“Kami mengajarkan …. Kristus yang satu dan sama, Sang Putera Allah, Tuhan, Putera yang Tunggal, yang dikenal di dalam dua kodrat, tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa perceraian.” (We teach . . . one and the same Christ, Son, Lord, Only-begotten, known in two natures, without confusion, without change, without division, without separation.)

Selanjutnya, selain dari ajaran iman, Konsili Kalsedon membahas banyak hal sehubungan dengan disiplin para imam/ biarawan dan biarawati. Selangkapnya dapat dibaca di link ini, silakan klik.

14. Tentang Pemujaan patung

Gereja Katolik tidak menyembah patung. Sudah ada banyak artikel ditulis di situs katolisitas tentang hal ini, silakan klik di judul berikut:

Apakah umat Katolik yang berdoa di depan patung menyembah berhala?

Orang Katolik tidak menyembah patung
Apakah berhala itu?
Dialog dengan Indah tentang patung
Dialog dengan Sherly tentang patung

15. Tentang Filioque

Selanjutnya, tentang kontroversi Filioque, yang sudah pernah dibahas di sini lihat point 3, silakan klik.  Silakan membaca di link tersebut untuk mengetahui bahwa jika melihat kepada faktanya, sesungguhnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan istilah Filioque ini, karena pada prinsipnya, yang diajarkan Gereja Timur dan Barat tentang hal ini sama, hanya penjabaran dengan kata- katanya tidak persis sama. Maka memang permasalahannya nampaknya bukan perkataan ‘filioque‘ itu sendiri, tetapi adanya semacam pergesekan antara Gereja Barat dan Timur, yang seolah mempertentangkan antara pengaruh tradisi barat dan timur.

16. Tentang Waldensian, Konsili Touluose melarang umat Katolik membaca Kitab Suci tahun 1229?

Sekilas tentang Waldensian dan mengapa Gereja Katolik menolaknya, silakan klik di sini, lihat point 2.
Sedangkan tentang mengapa ada larangan membaca Kitab Suci di tahun 1229, sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik. Gereja Katolik tidak melarang umatnya membaca Alkitab, hanya memang pada suatu periode tertentu sekitar tahun 1229, memang terjadi kondisi khusus sehubungan dengan adanya penyelewengan teks Kitab Suci yang dilakukan oleh sebuah sekte sesat (Albigensian) pada saat itu. Maka larangan untuk membaca Alkitab pada saat itu merupakan tindakan gembala untuk menyelamatkan kawanan dombanya.

17. Tentang Albigenses

Mengenai ajaran sesat Albigenses, dan mengapa ajaran itu ditentang oleh Gereja Katolik, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

18. Tentang Perang Salib

Walaupun dari sejarah kita melihat dampak yang memprihatinkan sebagai akibat dari Perang Salib, namun Perang salib yang terjadi di abad ke-11 itu sesungguhnya bukan merupakan ambisi kekuasaan politik Paus. Perang Salib tersebut diadakan karena saat itu banyak umat Kristen (prajurit, uskup maupun biarawan) yang mengunjungi Yerusalem dianiaya oleh kaum Mohamedan. Pada tahun 1009, Hakem, Kalifa Fatimit, memerintahkan untuk menghancurkan the Holy Sepulchre (kubur Yesus yang kudus) dan semua kawasan Kristen di Yerusalem. Bertahun-tahun kemudian umat Kristen dianiaya dengan kejam ((lih. the recital of an eyewitness, Iahja of Antioch, in Schlumberger’s “Epopée byzantine”, II, 442.))

Jayanya bangsa Turki Seljukian mengancam keamanan para peziarah dan mengancam kemerdekaan kekaisaran Byzantin dan dunia kekristenan. Di tahun 1070 Yerusalem jatuh ke tangan bangsa Turki, dan tahun 1071, kaisar Yunani, Diogenes dikalahkan. Daerah Asia kecil dan Syria menjadi mangsa bangsa Turki, Antiokhia dikalahkan tahun 1084 dan menjelang 1092 tak ada kota- kota metropolitan di Asia yang menjadi milik umat Kristen. Meskipun terpisah dari Roma sejak skisma Michael Caerularius (1054), para kaisar Konstantinopel tetap memohon bantuan dari para Paus. Di tahun 1073 terjadi surat menyurat antara Kaisar Michael VII dengan Paus Gregorius VII. Paus memikirkan untuk mengirimkan pasukan ke Timur untuk mengembalikan kesatuan umat Kristen, mengusir bangsa Turki, dan menyelamatkan kawasan kubur Yesus (Holy Sepulchre). Namun ide ini tidak terealisasi pada masa kepemimpinannya.  Paus berikutnya yaitu Urban II-lah yang melanjutkan rencana Paus Gregorius II, dengan melaksanakan langkah-langkahnya secara nyata.

Maka Paus Urbanus II pada tanggal 27 Nov 1095 mengeluarkan dekrit untuk membebaskan tanah yang sebelumnya adalah milik orang- orang Kristen, dan pembebasan orang- orang Kristen saat itu yang berada dalam penganiayaan oleh kaum Mohamedan di Timur Tengah. Dekrit itu sendiri tidak bernada agresif, melainkan hanya mempertahankan diri dari kepunahan. Dapat dibayangkan jika saat itu Paus Urbanus II tidak melakukan hal tersebut, bukannya tidak mungkin, agama Kristen tidak eksis seperti sekarang dan hilanglah semua bukti tentang keberadaan Yesus dalam sejarah manusia. Mungkin juga hilanglah semua kitab-kitab suci yang pada waktu itu disimpan di gereja- gereja/ biara- biara di sekitar Yerusalem. Jika demikian yang terjadi, umat Kristen tidak dapat berziarah ke tempat- tempat tersebut seperti sekarang.

Maka nampaknya, kita perlu melihat hal ini dengan sudut pandang yang lebih luas. Walau terjadi keadaan yang tidak ideal yaitu dengan perang, namun ada kalanya hal itu dapat dibenarkan secara moral (karena praktis tidak ada pilihan yang lebih baik, karena upaya damai gagal). Dalam kondisi ini, perang dapat dikatakan sebagai ‘just war‘ (perang yang adil), yaitu jika maksudnya adalah demi memberikan keadilan, demi memajukan kebaikan dan menghindari kejahatan. Tentang hal ini, Gereja Katolik mengambil prinsip seperti yang diajarkan oleh St. Thomas Aquinas, selengkapnya dapat dibaca di link ini, silakan klik. Maka terjadinya Perang Salib itu, yang memakan korban banyak jiwa, memang bukan kondisi ideal, namun nampaknya saat itu Pauspun tidak mempunyai pilihan lain, mengingat kondisi yang sudah sangat genting yang mengancam eksistensi dunia kekristenan itu sendiri, dan juga sebagai langkah melindungi para peziarah dan tempat-tempat suci bersejarah di daerah Yerusalem dan sekitarnya. Maksud ini didukung juga oleh umat Kristen yang juga mempunyai keprihatinan yang sama; sebab jika tidak demikian, tidak mungkin hal ini memperoleh dukungan yang luas dari kalangan masyarakat Kristen di Eropa.

Selanjutnya tentang topik ini silakan membaca di link New Advent Encyclopedia, klik di sini

19. Tentang Inkuisisi

Kejadian inkuisisi (Inquisition) di abad ke- 13 harus dilihat dengan kacamata obyektif. Inkuisisi ini dimulai atas perintah Paus Gregorius IX tahun 1231, untuk memerangi ajaran sesat Albigensian juga dikenal sebagai Cathars.  Ajaran sesat Albigensian ini, seperti heresi Manichaeisme, mengajarkan konsep dualisme, roh dan tubuh; roh itu baik, namun “matter“/ tubuh adalah asal dari segala kejahatan, dan karenanya, menentang Inkarnasi dan Keselamatan [di dalam Kristus, Sabda yang menjelma menjadi ‘daging’/ tubuh manusia]. Dengan demikian, heresi ini tidak saja menentang inti iman Kristiani tetapi juga inti basis kemasyarakatan, sebab mereka 1) menentang perkawinan legal, sebab perkawinan dikatakan dapat menghasilkan kehidupan fisik/ tubuh yang baru; 2) mengajarkan bahwa bunuh diri adalah sesuatu yang baik, karena mengakhiri kehidupan tubuh; 3) homoseksualitas adalah lebih baik daripada heteroseksualitas,  karena tidak ‘menghasilkan’ tubuh/ fisik yang baru; 4) menganggap bahwa kitab Perjanjian Lama termasuk ke 10 perintah Allah sebagai pekerjaan setan. Nah, tak mengherankan, heresi ini berakibat menghasilkan kebingungan dan kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat.

Jadi maksud inkuisisi/ inquisition adalah untuk mempertahankan kemurnian iman Kristiani dan memberikan hukuman eks-komunikasi pada orang-orang yang tidak mau bertobat. Cara inkusisi diambil karena pendekatan persuasif melalui khotbah pengajaran iman yang benar yang dilakukan oleh St. Dominikus dan para biarawan Dominikan tidak efektif/ berhasil. Order Dominikan kemudian mendapat tugas untuk menangani inkusisi yang didahului oleh semacam pengadilan di hadapan juri yang terdiri dari sedikitnya 20 orang, yang menjadi permulaan dari sistem juri dalam pengadilan modern. Dalam bukunya yang berjudul Characters of the Inquisition, William Thomas Walsh mengisahkan beberapa Chief Inquisitors, di antaranya Bernard of Gui. Dikatakan bahwa mereka adalah “far from being inhuman, …men of spotless character and sometimes of truly admirable sanctity….” (Joseph Blotzer, Catholic Encyclopedia, 1914, “Inquisition” online at http://www.newadvent.org/cathen/080261.htm)  Setelah itu, mereka yang tidak juga mau bertobat diserahkan kepada pemerintah. Selanjutnya, memang ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh oknum-oknum di dalam inkuisisi, terutama yang dalam penyelidikan melakukan kekerasan apalagi sampai membunuh, sebab Gereja jelas melarangnya seperti yang tertulis dalam bula Ad extirpanda oleh Paus Innocentius IV (1252).

Sekarang, mari kita melihat apa yang terjadi dalam inkuisisi yang dilakukan oleh Gereja dan yang dilakukan oleh pemerintah sekular pada abad 13-14, dan jumlah korban umat manusia di abad- abad berikutnya:

Sebagai contohnya, di Touluose, dari 1308-1323 hanya 42 orang dari 930 yang diadili dinyatakan sebagai “unpenitent heretics“/ bidat yang tak menyesal, dan diserahkan kepada pihak pemerintah sekular.
Di masa Spanish Inquisition, dalam 30 tahun pemerintahan ratu Isabel, ada sekitar 100,000 orang yang dikirim ke inkuisisi, dan 80,000 orang di antaranya dinyatakan tidak bersalah. 15,000 dinyatakan bersalah, namun setelah mereka menyatakan iman secara publik, maka mereka dibebaskan kembali. Hanya ada sekitar 2,000 orang yang meninggal karena keputusan inkuisisi sepanjang pemerintahan  Ratu Isabella, dan 3000 orang kemudian dari tahun 1550 – 1800. Sedangkan, sebagai perbandingan,  hanya dalam waktu 20 hari, Revolusi Perancis (1794), yang dimotori oleh gerakan “Enlightenment”, meng-eksekusi pria dan wanita sebanyak 16,000- 40,000. Jumlah korban ini, jauh lebih banyak daripada korban inkuisisi dalam 30 tahun pemerintahan Ratu Isabella.

Menurut Raphael Molisend, seorang sejarahwan Protestan, Raja Inggris Henry VIII membunuh 72,000 umat Katolik. Orang yang meninggal selama beberapa tahun pada masa pemerintahan Henry VIII dan anaknya Elizabeth I, jauh melebihi apa yang terjadi pada inkuisisi di Spanyol dan Roma selama 3 abad. Dari Geneva, Calvin mengirimkan utusan kepada England (Inggris) dengan pesan untuk membunuh orang-orang Katolik: “Siapa yang tidak mau membunuh para pengikut Paus, adalah pengkhianat.” Kebijakan ini dikenal tidak hanya oleh orang-orang Inggris yang setia kepada Roma, tetapi juga orang- orang Irlandia, yang hidup dan hak asasinya diambil (sampai 1913), demikian juga tanah mereka. Tahun  1585 parlemen Inggris mengeluarkan dekrit “hukuman mati bagi para warga Inggris yang kembali ke Inggris setelah ditahbiskan menjadi imam Katolik, dan semua orang yang menghubungi mereka.” (Vittorio Messori, Black Legends of the Church, ch. 6, nr. 36)

Bandingkan juga dengan Perang Dunia I dan II, yang membunuh 50 juta orang. 40 juta orang meninggal dalam masa pemerintahan Stalin di Rusia. 80 juta orang meninggal di Cina karena revolusi komunis dan 2 juta orang di Kamboja.

Tentu saja ada kesalahan yang dilakukan oleh putera/i Gereja yang tidak menerapkan hukum kasih selama dalam proses inkuisisi ini. Inilah sebabnya Paus Yohanes Paulus II meminta maaf atas nama mereka, menjelang perayaan tahun Yubelium 2000. Di satu sisi, kita seharusnya melihat ketulusan dari Gereja Katolik untuk mengakui kesalahan ini dan dengan berani meminta maaf. Silakan membandingkan dengan agama lain atau gereja lain, apakah ada yang pernah melakukan hal yang sama, untuk meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh putera dan puteri mereka di masa yang lalu? Sebab pada umumnya agama mengajarkan kebaikan dan bukan kejahatan ataupun pembunuhan, walaupun pada pelaksanaannya sering dijumpai kegagalan ataupun pelanggaran. Maka mari melihat segala sesuatunya dengan sudut pandang yang lebih luas dan obyektif.

Demikianlah yang dapat saya tuliskan menanggapi komentar anda. Sungguh, tidak ada yang perlu dirisaukan apalagi sampai membuat iman kita terguncang jika kita membaca tulisan- tulisan semacam ini. Tulisan semacam ini memang dapat membuat kita merenungkan tentang pergumulan Gereja sepanjang sejarah, namun pada saat yang sama, kita melihat bukti pertolongan dan kasih setia Tuhan Yesus yang menjaga Gereja-Nya, sehingga walau didera badai dan taufan namun Gereja Katolik tetap eksis sampai sekarang, setia mengajarkan ajaran yang diterima dari Kristus dan para rasul. Ini adalah pemenuhan janji Kristus sendiri kepada Petrus dan para rasul, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18) dan “…. ketahuilah Aku menyertai kamu sampai akhir jaman (Mat 28:20).”

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisita.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab