Home Blog Page 186

Template: Paginated

0

Post Page 1

Template: Sticky

0

This is a sticky post.

There are a few things to verify:

  • The sticky post should be distinctly recognizable in some way in comparison to normal posts. You can style the .sticky class if you are using the post_class() function to generate your post classes, which is a best practice.
  • They should show at the very top of the blog index page, even though they could be several posts back chronologically.
  • They should still show up again in their chronologically correct postion in time, but without the sticky indicator.
  • If you have a plugin or widget that lists popular posts or comments, make sure that this sticky post is not always at the top of those lists unless it really is popular.

Apakah Maria Diangkat ke Surga hanya ‘pengkiasan’?

17

Untuk menanggapi pertanyaan ini, mari kita bersama membaca langsung pernyataan dogma Gereja Katolik tentang Bunda Maria yang diangkat ke surga, yaitu Munificentissimus Deus (MD), yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII pada tanggal 1 November 1950, silakan klik.

Pernyataan tersebut bukan merupakan pernyataan ajaran baru, tetapi hanya merupakan pernyataan secara definitif suatu ajaran yang telah lama diimani oleh Gereja (lih. MD 8). Ajaran ini berhubungan dengan dogma Maria Dikandung tanpa Noda dosa, yang dikeluarkan oleh Paus Pius IX pada tanggal 8 Desembar 1854; yang kemudian mendapat peneguhan melalui penampakan Bunda Maria kepada St. Bernadette Soubirous di tahun 1858. Bunda Maria memperkenalkan diri kepada St. Bernadette sebagai ‘saya yang dikandung tidak bernoda’. Dogma Maria diangkat ke surga dinyatakan sebagai kebenaran ilahi yang diwahyukan Tuhan (divinely revealed truth), sehingga artinya: hal Maria diangkat ke Surga, tubuh dan jiwanya, merupakan suatu kebenaran yang obyektif -benar- benar terjadi demikian, dan bukan hanya sekedar kiasan. Namun demikian, kebenaran akan pengangkatan Bunda Maria ke surga ini juga mempunyai arti yang lebih luas bagi umat beriman, yaitu sebagai pengharapan bahwa suatu saat nanti di akhir zaman, kitapun (tubuh dan jiwa kita) akan diangkat oleh Tuhan masuk dalam Kerajaan Surga, seperti halnya Bunda Maria.

Berikut ini adalah ringkasan dari dokumen tersebut, dengan menggarisbawahi point yang ingin Anda ketahui:

1. Karena Bunda Maria dibebaskan dari noda dosa, maka ia tidak tunduk pada hukum dosa dan maut yang menjadikan tubuh manusia (bahkan tubuh orang- orang benar) rusak/ terdekomposisi setelah kematian.

Kita ketahui bahwa dengan mengimani Kristus, kita juga mengatasi dosa dan kematian, atas jasa Kristus. Namun menurut ketentuan umum, Tuhan tidak memberikan efek kemenangan tersebut secara penuh sampai pada akhir zaman nanti saat kebangkitan badan, di mana semua tubuh akan dibangkitkan, dan tubuh orang- orang benar akan bangkit dan bersatu dengan jiwanya dalam kemuliaan Surga bersama Tuhan (lih. MD 4). Namun Bunda Maria merupakan kekecualian dalam hal ketentuan umum ini. Bunda Maria dibebaskan dari noda dosa, dan karena itu, tidak tunduk pada hukum maut yang menjadikan tubuh rusak di dalam kubur, dan harus menunggu sampai akhir zaman agar dapat menerima kembali tubuh kebangkitannya  (lih. MD 5).

2. Pengangkatan Bunda Maria, termasuk tubuhnya, merupakan kebenaran yang diwahyukan Tuhan.

Pernyataan yang cukup jelas antara lain terlihat di perikop ini:

Thus, from the universal agreement of the Church’s ordinary teaching authority we have a certain and firm proof, demonstrating that the Blessed Virgin Mary’s bodily Assumption into heaven– which surely no faculty of the human mind could know by its own natural powers, as far as the heavenly glorification of the virginal body of the loving Mother of God is concerned-is a truth that has been revealed by God and consequently something that must be firmly and faithfully believed by all children of the Church. For, as the Vatican Council asserts, “all those things are to be believed by divine and Catholic faith which are contained in the written Word of God or in Tradition, and which are proposed by the Church, either in solemn judgment or in its ordinary and universal teaching office, as divinely revealed truths which must be believed.” (MD 12)

Terjemahannya:

“Karena itu, dari kesesuaian umum dengan otoritas wewenang mengajar Gereja, kami mempunyai bukti yang pasti dan teguh, yang menunjukkan bahwa pengangkatan Perawan Maria yang Terberkati ke Surga– yang tentu tak dapat diketahui oleh kemampuan berpikir manusia berdasarkan kekuatannya kodratinya sendiri, [yaitu] tentang pemuliaan surgawi bagi tubuh perawan Bunda Allah yang pengasih- adalah sebuah kebenaran yang telah dinyatakan oleh Tuhan dan karena itu adalah sesuatu yang harus dipercaya dengan teguh dan setia oleh semua putera puteri Gereja. Sebab, sebagaimana dinyatakan dalam Konsili Vatikan, “semua hal-hal itu harus dipercaya dengan iman yang ilahi dan Katolik, [yaitu] yang termasuk dalam Sabda Tuhan yang tertulis atau di dalam Tradisi, dan yang diajarkan oleh Gereja, baik melalui pemakluman agung, ataupun melalui wewenang mengajar yang biasa (ordinary) dan umum, sebagai kebenaran yang diwahyukan secara ilahi yang harus dipercaya.” (MD 12)

Dengan demikian hal pengangkatan Maria (termasuk dengan tubuhnya) ke Surga jelas dinyatakan di sini sebagai kebenaran, dan di sini tidak sedikitpun dikatakan sebagai pengkiasan. Pernyataan di atas malah menuliskan bahwa kita sebagai umat Katolik harus dengan teguh dan setia percaya/ mengimani bahwa Bunda Maria dengan tubuhnya yang tetap perawan itu dimuliakan Allah di Surga.

3. Telah sejak zaman dahulu, dalam perayaan liturgi baik Gereja-gereja Timur maupun Barat menunjukkan kepercayaan ini.

Bagi Gereja Katolik, liturgi merupakan ungkapan iman, menurut rumusan lex orandi lex credendi, sehingga doa- doa yang ada di dalam liturgi merupakan ungkapan kebenaran yang telah diimani dan diajarkan oleh Gereja (lih. MD 16). Ajaran tentang Bunda Maria yang tubuhnya tidak rusak sebagai akibat dari hukum maut, telah dapat dilihat dari ungkapan iman dalam liturgi, contohnya: 1) doa sakramentari yang dituliskan oleh Paus Adrian I di abad ke 8 (lih. MD 17); 2) liturgi Byzantine; 3) Pengangkatan Bunda Maria ditetapkan oleh Paus Sergius I (abad ke-7) sebagai salah satu perayaan dari empat perayaan tentang Bunda Maria; 4) St. Leo IV (abad ke-9) menetapkan tatacara perayaan Pengangkatan Bunda Maria ke Surga, dengan menetapkan vigil sebelum hari perayaan dan doa yang harus diucapkan selama delapan hari sehubungan dengan perayaan tersebut; 5) St. Nicholas I (abad ke-9) juga menyatakan bahwa perayaan Pengangkatan Bunda Maria tersebut sudah merupakan perayaan yang telah dilakukan oleh Gereja sejak dulu dan masih terus dilakukan (lih. MD 19)

4. Kitab Suci juga mendukung kebenaran tentang pengangkatan Bunda Maria (lih. MD 26-27):

Maria yang adalah Sang Tabut Perjanjian Baru akan berada bersama dengan Kristus yang terkandung di dalamnya: “Bangunlah, ya TUHAN, dan pergilah ke tempat perhentian-Mu, Engkau serta tabut kekuatan-Mu!” (Mzm 132:8). Tabut Perjanjian Lama yang terbuat dari kayu yang tidak lapuk/rusak dan ditempatkan di bait Allah menjadi gambaran akan tubuh Perawan Maria yang dibebaskan dari kerusakan kubur dan diangkat kepada kemuliaan surgawi, di mana Allah bersemayam.

Bunda Maria digambarkan sebagai Ratu/ permaisuri yang memasuki surga dan duduk di sebelah kanan Sang Penebus (lih. Mzm 45:10-14). Pengangkatannya ke surga digambarkan seperti ungkapan dalam kitab Kidung Agung, yang membubung dari padang gurun, seperti gumpalan asap yang harum mur (Kid 3:6, lih. 4:8, 6:9), dan sebagaimana diungkapkan dalam Kitab Wahyu, sebagai perempuan yang berselubungkan matahari (lih. Why 12:1-); dan bahwa pengangkatan Bunda Maria ke surga merupakan penggenapan kepenuhan rahmat yang diberikan kepada Maria (Luk 1:28), sebagai rahmat yang istimewa sebagai kebalikan dari hukuman kepada Hawa.

5. Para orang kudus juga mengajarkan kebenaran tentang pengangkatan Bunda Maria ini.

1) St. Yohanes Damaskus (abad ke-7), “Adalah layak bahwa ia yang tetap menjaga keperawanannya di saat melahirkan, juga tetap menjaga tubuhnya agar bebas dari kerusakan, bahkan setelah kematian ….. Adalah layak bahwa Bunda Allah harus memiliki apa yang menjadi milik Puteranya, dan bahwa ia harus dihormati oleh setiap ciptaan sebagai Bunda dan sebagai hamba Tuhan.” (MD 21)

2) St. Germanus dari Konstantinopel (abad ke 8), “Engkau adalah dia, sebagaimana tertulis, yang nampak dalam kecantikan, dan tubuhmu yang perawan adalah kudus sempurna, murni sepenuhnya, seluruhnya menjadi tempat kediaman Tuhan, sehingga karena itu seluruhnya dibebaskan dari kerusakan menjadi debu. Meskipun tetap manusia, [tubuh Maria] diubah ke dalam kehidupan surgawi yang tidak dapat rusak, sungguh hidup dan mulia, tidak rapuh, dan mengambil bagian dalam kehidupan yang sempurna.” (MD 22)

3) St. Antonius dari Padua (abad ke 12-13), dalam perayaan Maria diangkat ke surga juga mengambil dasar Mzm 132:8, “… seperti halnya Yesus Kristus telah bangkit dari kematian di mana Ia menang dan telah naik ke sisi kanan Allah Bapa; demikianlah tabut kudus-Nya, “telah bangkit, sebab pada hari itu Bunda Perawan telah diangkat ke tempat kediamannya di surga.” (MD 29)

4) St. Albertus Agung (abad 12-13), menjelaskan arti kata “Hail, full of grace“/ “Salam, engkau yang telah dipenuhi rahmat” dan dengan demikian membandingkan Bunda Maria dengan Hawa, dan bahwa Bunda Maria dibebaskan dari kutuk/ hukuman kepada Hawa (lih. MD 30).

5) St. Thomas Aquinas (abad 13) juga mengajarkan bahwa tubuh Maria diangkat ke surga bersama dengan jiwanya (lih. MD 31), dan bahwa Tuhan yang telah menjaga keperawanannya saat mengandung dan melahirkan Kristus, juga tidak akan membiarkan tubuhnya rusak menjadi debu, “Dari sini kita melihat bahwa ia [Maria] ada di sana [surga] dengan tubuhnya ….. keadaannya yang terberkati tidak akan menjadi lengkap kecuali ia ada di sana sebagai seorang pribadi. Jiwa saja bukan seorang pribadi, tetapi jiwa yang disatukan dengan tubuhnya, adalah seorang pribadi. Adalah nyata bahwa ia ada di sana, jiwa dan tubuhnya. Jika tidak, ia tidak memiliki kebahagiaan yang penuh.” (MD 31)

6) St. Bernardinus dari Siena (abad 15) mengajarkan bahwa keserupaan Bunda Allah dengan Putera-Nya melarang kita untuk berpikir bahwa Maria terpisahkan dari Sang Raja, maka Maria harus berada di mana Kristus berada (lih. MD 33). Akhirnya, juga karena relikwi tubuh Bunda Maria juga tidak pernah ditemukan, maka hal ini juga menjadi salah satu hal yang mendukung kebenaran pengangkatan Bunda Maria, tubuh dan jiwanya ke surga. (MD 33)

7) St. Robertus Bellarminus (abad 16) mengatakan, “Dan siapakah, aku bertanya, dapat percaya bahwa tabut kekudusan, tempat kediaman Sabda Allah, bait Allah Roh Kudus, dapat hancur lebur? Jiwaku dipenuhi ketakutan/ kesakitan yang sangat jika memikirkan bahwa tubuh perawan ini yang telah mengandung Tuhan dan melahirkan-Nya di dunia, yang telah memberi-Nya makan dan menggendong-Nya, dapat berubah menjadi debu atau menjadi makanan cacing-cacing.” (MD 34)

8) St. Franciskus dari Sales (abad 16) mengatakan, “Anak mana yang tidak akan membawa ibunya hidup kembali dan akan membawanya ke surga setelah kematiannya andaikan ia bisa?” (MD 35)

9) St. Alfonsus de Liguori (abad 17) mengatakan, “Yesus tidak menginginkan tubuh Maria menjadi rusak setelah kematian, sebab itu akan mencerminkan ketidakhormatan-Nya sendiri, untuk membuat tubuh Maria yang perawan, yang daripadanya Ia telah menerima tubuh-Nya, berubah menjadi debu.” (MD 35)

10) St. Petrus Kanisius (abad 16) mengatakan, ” … kata “pengangkatan” menandai pemuliaan, tidak hanya jiwa tetapi juga tubuh, dan bahwa Gereja telah menghormati dan telah merayakan dengan khidmat misteri Pengangkatan Maria ini sepanjang banyak abad….. Ajaran ini telah diterima selama beberapa abad, ajaran ini telah dipegang sebagai sesuatu yang pasti di pikiran orang- orang kudus dan telah diajarkan kepada seluruh Gereja sedemikian, sehingga mereka yang mengangkal bahwa tubuh Maria telah diangkat ke surga tidaklah untuk didengarkan dengan sabar, tetapi di manapun harus dikecam sebagai orang- orang yang terlalu senang berargumen atau orang- orang yang sembrono, dan yang dipenuhi semangat yang menyesatkan (heretik) daripada Katolik.” (MD 36)

11) Suarez (abad 16-17), seorang teolog terkenal mengatakan bahwa misteri rahmat yang diberikan Allah kepada Perawan Maria harus diukur bukan atas dasar hukum yang biasa berlaku, namun atas kemahakuasaan Tuhan. Misteri ini adalah untuk diimani dengan keteguhan yang sama dengan mengimani Bunda Maria dikandung tanpa noda dosa. (lih. MD 37)

6. Semua bukti dari para Bapa Gereja dan teolog ini menunjukkan bahwa Bunda Maria tidak mungkin terpisah dari Putera-Nya.

“Semua bukti dan pertimbangan ini dari para Bapa Gereja yang suci dan teolog didasari atas tulisan- tulisan suci sebagai pondasi yang utama. Ini menetapkan Bunda Allah yang pengasih seperti seumpama ia ada di hadapan mata kita sebagai seseorang yang digabungkan dengan Putera ilahinya dan selalu mengambil bagian di dalam-Nya. Karena itu, adalah tidak mungkin untuk berpikir tentangnya, seseorang yang telah mengandung Kristus, melahirkan-Nya, memberinya makan …, menggendong-Nya dengan lengannya, mendekap-Nya… sebagai terpisah dari-Nya di dalam tubuh, walaupun tidak di dalam jiwa, setelah kehidupan di dunia ini. Sebab Penebus kita adalah Putera Maria, Ia tidak dapat melakukan hal yang lain, sebagai pelaku hukum Tuhan yang sempurna, selain untuk menghormati, tidak saja hanya Bapa-Nya yang kekal, tetapi juga Bunda-Nya yang terkasih. Dan, karena ada di dalam kuasanya untuk memberikan Maria penghormatan ini, untuk menjaganya dari kerusakan di kubur, kita harus percaya bahwa Ia sungguh melakukan cara ini.” (MD 38)

7. Maria sebagai Hawa Baru selalu ada bersama dengan Kristus Sang Adam yang baru dalam perlawanan terhadap Iblis, dan karena itu keduanya dimuliakan di akhir pergumulan itu.

Seperti halnya kebangkitan Kristus merupakan puncak kemenangan-Nya atas dosa dan maut, demikian pula pergumulan tersebut yang juga yang dialami oleh Perawan Maria harus diakhiri dengan pemuliaan tubuhnya yang perawan (MD 39).

8. Ajaran tentang pengangkatan Bunda Maria akan secara luas berguna bagi umat manusia

Pemakluman ajaran tentang pengangkatan Bunda Maria akan secara luas berguna bagi umat manusia, karena: 1) mencerminkan kemuliaan Allah Trinitas di mana Bunda Maria disatukan dengan-Nya dengan hubungan yang istimewa/ satu-satunya; 2) mendorong umat beriman untuk mempunyai penghormatan kepada Bunda mereka di surga; 3) semua orang yang telah dibaptis dapat terdorong untuk ingin mengambil bagian dalam kesatuan dengan Tubuh Mistik Kristus, dan untuk lebih mengasihi Maria yang dengan kasih keibuannya mengasihi semua anggota Tubuh Kristus ini; 4) agar kita yang merenungkannya yakin bahwa nilai kehidupan manusia seluruhnya ditujukan untuk melaksanakan kehendak Allah Bapa dan untuk membawa kebaikan bagi orang lain; 5) Di tengah ajaran- ajaran materialisme dan kerusakan moral yang diakibatkannya, ajaran pengangkatan Bunda Maria ke surga mengajarkan kita untuk melihat dengan jelas tujuan akhir dari tubuh dan jiwa kita; 5) Pengangkatan tubuh Bunda Maria ke surga akan memperkuat kepercayaan kita akan kebangkitan tubuh kita sendiri. (MD 42)

9. Berikut ini adalah pernyataan dogma Maria Diangkat ke Surga:

“… after we have poured forth prayers of supplication again and again to God, and have invoked the light of the Spirit of Truth, for the glory of Almighty God who has lavished his special affection upon the Virgin Mary, for the honor of her Son, the immortal King of the Ages and the Victor over sin and death, for the increase of the glory of that same august Mother, and for the joy and exultation of the entire Church; by the authority of our Lord Jesus Christ, of the Blessed Apostles Peter and Paul, and by our own authority, we pronounce, declare, and define it to be a divinely revealed dogma: that the Immaculate Mother of God, the ever Virgin Mary, having completed the course of her earthly life, was assumed body and soul into heavenly glory.” (MD 44)

Terjemahannya:

” … setelah kami mencurahkan doa- doa dan permohonan lagi dan lagi kepada Tuhan, dan memohon terang Roh Kebenaran, demi kemuliaan Tuhan yang Maha Besa yang telah melimpahi kasih-Nya yang istimewa kepada Perawan Maria, demi kehormatan Putera-nya, Sang Raja yang kekal segala abad dan Pemenang atas dosa dan maut, demi bertambahnya kemuliaan Bunda-Nya yang terhormat, dan demi suka cita seluruh Gereja; dengan kuasa dari Tuhan kita Yesus Kristus, kuasa dari Rasul Petrus dan Paulus yang terberkati, dan dengan kuasa kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan mendefinisikan hal ini sebagai dogma yang diwahyukan secara ilahi: bahwa Bunda Tuhan yang dikandung tidak bernoda, Perawan Maria yang tetap perawan, setelah menyelesaikan masa hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.” (MD 44)

10. Bagi umat Katolik yang menolak ataupun meragukan ajaran ini:

“Oleh karena itu, jika siapapun, semoga Tuhan mencegahnya, yang berani dengan keinginannya menyangkal atau meragukan apa yang telah kami definisikan, biarlah ia mengetahui bahwa ia telah menjauh sepenuhnya dari Iman yang ilahi dan Katolik.”  (MD 45)

“Adalah dilarang bagi siapapun untuk mengubah ini, pernyataan ini, penyebutannya, dan definisinya, atau dengan usaha- usaha yang sembrono, melawan dan menentangnya. Barang siapa yang melakukan usaha demikian, biarlah ia mengetahui bahwa ia akan mendatangkan kemarahan Tuhan yang Maha besar dan Rasul Petrus dan Paulus.” (MD 47)

Kesimpulan:

Membaca keseluruhan dokumen Munificentissimus Deus, kita ketahui bahwa secara definitif Magisterium Gereja Katolik, yang diwakili oleh Paus Pius XII telah menyatakan bahwa setelah menyelesaikan masa hidupnya di dunia, Bunda Maria diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan Surga. Inilah yang dirumuskan dengan jelas, sebagaimana disebutkan di point 9 (MD 44). Dalam pernyataan tersebut tidak dikatakan pengangkatan itu adalah pengkiasan, perumpamaan atau suatu hal yang tidak sungguh terjadi. Bahwa yang ditetapkan itu bukan merupakan laporan kejadian (seperti dalam berita televisi) itu benar, namun demikian apa yang disampaikan tetaplah suatu kebenaran ilahi, artinya peristiwa pengangkatan itu sungguh terjadi dan bukan kiasan. Jika mau disebutkan adanya ‘pengkiasan’, menurut hemat saya adalah: 1) bahwa Kitab Suci yaitu di kitab-kitab Perjanjian Lama dan Wahyu telah menggambarkan kebenaran pengangkatan Bunda Maria secara figuratif dan implisit, sebagaimana telah diuraikan dalam point 4. Maka sebagaimana kitab Perjanjian Lama memang menjadi gambaran samar- samar akan penggenapannya dalam Perjanjian Baru, demikianlah kita memahami pengkiasan/ penggambaran figuratif dalam ayat- ayat Perjanjian Lama tersebut akan penggenapannya dalam pengangkatan Bunda Maria di masa Perjanjian Baru; 2) bahwa makna pengangkatan Bunda Maria, tubuh dan jiwanya, ke surga mempunyai arti yang lebih luas daripada hanya arti literalnya, sebagaimana sudah diuraikan di point 8.

Mari, kita dengan jujur membaca dokumen ini dan tidak berusaha untuk mengubah sedikitpun rumusannya yang dapat menimbulkan keraguan, sebab pada point 10 (MD 45,47), jelas disebutkan bahwa jika kita melakukan usaha sedemikian, akan melawan Allah sendiri, dan Rasul Petrus dan Paulus.

Template: Password Protected (the password is “enter”)

0

This content, comments, pingbacks, and trackbacks should not be visible until the password is entered.

Tentang Fenomena Julia Kim, Naju

39

Pertanyaan:

Yth. Pak Stef dan Bu Inggrid

Saya ingin menanyakan apakah benar Julia Kim dan pengikutnya telah terkena ekskomunikasi latae sententiae [ekskomunikasi otomatis ) karena Kongregasi Kepausan untuk Doktrin Iman (CDF -red) telah menyatakan bahwa apa yang disebut “mujizat-mujizat ilahi yang beredar di sekitar Julia Youn di Naju, Korea Selatan” adalah “jauh dari iman Kristen yang sejati “?

Berikut sumber yang kebetulan saya baca : http://perawanmaria.wordpress.com/2011/05/28/vatikan-menyatakan-visioner-naju-jauh-dari-iman/

Mohon penjelasannya, dan terima kasih

Jawaban:

Shalom Vian,

Sudah ada beberapa pertanyaan serupa dikirimkan ke redaksi Katolisitas, sehingga kami memutuskan untuk menayangkan jawaban ini, yang mengambil sumber utama dari pernyataan Uskup Agung Kwangju, yang menyatakan sikap pihak otoritas Gereja Katolik di Korea Selatan tentang fenomena Julia Kim. Surat tersebut dikeluarkan oleh Uskup Agung Andrew Chang-Moo Choi pada tanggal 21 Januari 2008, dan terjemahannya adalah sebagai berikut:

Dekrit oleh Ordinaris Keuskupan Agung Kwangju

“Saya, Uskup Agung Andrew Chang-Moo Choi, melaksanakan tugas Ordinaris Keuskupan Agung Kwangju melalui kebaikan belas kasihan dan berkat dari Allah, dengan pertimbangan yang murah hati serta perintah dari Bapa Suci, pengganti dari Rasul Petrus, walaupun hal ini menyakitkan hati saya, namun saya tidak mempunyai pilihan kecuali membuat pengumuman berikut ini untuk membela kehidupan iman yang benar dari umat Kristiani, serta menjaga kesatuan dan persaudaraan dalam komunitas Gereja (bdk. Kan. # 391)

Pertama, saya telah mencapai keputusan bahwa ‘Julia Yoon dari Naju dan mereka yang mempercayai fenomena yang berhubungan dengannya, tidak lagi mempunyai itikad untuk membentuk kesatuan dan harmoni dengan Gereja Katolik. Mereka tetap menolak untuk mengikuti deklarasi Ordinaris (1 Januari 1998 dan 5 Mei 2005) dan petunjuk pastoral (5 Mei 2001) dan hanya menunjukkan penolakan terhadap panduan-panduan tersebut. Mereka tidak mengikuti permintaan dan perintah yang saya buat selama kunjungan pribadi saya ke rumah Julia Hong-Sun Yoon dan suaminya, Man-Bok Kim, bersama-sama dengan beberapa saksi (Maret hingga Agustus 2003), bahwa mereka tetap melaksanakan kehidupan iman mereka seperti biasa (seperti menghadiri Misa hari Minggu, mengaku dosa sebelum peringatan hari-hari besar seperti Natal dan Paskah, dan memberikan persembahan kepada paroki) dan menunjukkan catatan finansial dari semua sumbangan yang telah mereka terima. Mereka juga tidak merespon ultimatum saya di bulan Februari 2005. Mereka tetap melanjutkan mengajarkan ‘fenomena yang berkaitan dengan Julia Yoon dari Naju’ sebagai ‘wahyu pribadi’ atau ‘mukjizat’, memperkirakan pembangunan apa yang disebut dengan ‘basilika’ untuk mengumpulkan dana, menyebarkan informasi yang menyesatkan bahwa Bapa Suci dan Tahta Suci mengakui (Naju), dan mengkritik saya, Persatuan Uskup-uskup Korea, dan Gereja Katolik Korea melalui media cetak dan elektronik. (bdk. pamflet-pamflet promosi mereka, buku-buku, koran, dan situs internet).

Saya membuat konfirmasi akhir bahwa perbuatan mereka yang sedemikian adalah sama sekali bukan sikap yang benar dan seimbang sebagai umat beriman; juga bukan suatu perbuatan devosi atau ritual penyembahan yang benar kepada Allah. Sejalan dengan itu, saya menyatakan bahwa para klerus, kaum awam dan kaum religius yang berpartisipasi dalam administrasi Sakramen-sakramen atau perayaan dari Sakramental, yang telah saya larang, pada ‘kapel’ yang tidak resmi atau ‘Gunung dari Bunda Yang Terberkati’, mengakibatkan penalti ekskomunikasi otomatis (bdk. Kan # 1336 dan 1364). Oleh karena hal-hal ini adalah perbuatan-perbuatan ketidaktaatan melawan panduan dan penilaian pastoral dari Ordinaris, pelanggaran terhadap Hukum Kanon (bdk. Kan # 1369, 1371, dan 1373), dan penolakan-penolakan untuk membentuk kesatuan seperti halnya menimbulkan kerusakan kepada persaudaraan dalam komunitas Gereja, penalti ini berlaku tidak hanya kepada umat beriman yang menjadi bagian dari Keuskupan Agung Kwangju tetapi juga kepada semua klerus, kaum awam, dan kaum religius di dalam Gereja Katolik.

Kedua, saya telah memastikan bahwa Rm. Aloysius Hong-Bin Chang dari keuskupan saya, yang mengesahkan bahwa ‘fenomea yang berkaitan dengan Julia Yoon dari Naju’ adalah ‘wahyu pribadi’ dan ‘mukjizat’, mengemukakan secara tak tergoyahkan bahwa (keputusannya) adalah ‘sebuah pilihan berdasarkan hati nuraninya’ dan berulang ulang memutarbalikkan (kata-katanya) dan melanggar kewajibannya untuk taat kepada Ordinaris, yang kepadanya ia telah bersumpah di hari pentahbisannya, tergantung kepada situasi, tidak lagi mempunyai intensi untuk membentuk kesatuan dan harmoni dengan kesatuan para imam di Keuskupan Kwangju. Dalam kedua pertemuan komite personel (1 Juni 2007 dan 15 Januari 2008), ia tidak hendak mengakui pengesahan yang telah dilakukannya melainkan hanya bermaksud untuk mempertahankan sikapnya, yang menegaskan bahwa ia adalah hanyalah ‘salah satu dari orang yang percaya kepada fenomena yang berkaitan dengan Julia Yoon dari Naju’ daripada seorang imam sebuah keuskupan yang setia kepada tugas ketaatan di mana ia telah bersumpah kepada Ordinaris (bdk. Kan # 273 dan 278).

Sejalan dengan itu, Rm. Aloysius Hong-Bin Chang tidak lagi memiliki status dan hak sebagai seorang imam yang menjadi bagian dari Keuskupan Kwangju, dan semua kemampuan isitimewa bagi imam-imam diosesan, yang seragam secara nasional, dikaruniakan kepadanya di hari pentahbisannya, dengan ini ditarik (bdk. Kan # 194, 1333, 1336, dan 1371).

Saya berdoa kepada Tuhan, melalui belas kasihan dan rahmat-Nya yang tidak terbatas, orang-orang ini akan menyadari kesalahan-kesalahan mereka, kembali ke pangkuan Gereja Katolik, menerima berkat-berkat kesatuan dan harmoni melalui Sakramen Pengakuan Dosa, dan sesegera mungkin berpartisipasi dalam ritual yang benar dalam penyembahan kepada Allah. Bunda Suci, Bunda Juruselamat kami dan Bunda kami, Pelindung Gereja Korea dan dikandung tanpa dosa asal; Santo Yusuf; dan semua santo santa para martir Korea, doakanlah kami.”

21 Januari 2008,
Pada hari peringatan St Agnes, perawan dan martir.

Ditandatangani oleh Uskup Chang Moo Choi
Uskup Agung Andrew Chang-Moo Choi
Ordinaris dari Keuskupan Agung Kwangju

Pernyataan Uskup Agung Andrew Chang-Moo Choi merupakan kelanjutan dari  surat dari keuskupan Incheon (Naju termasuk dalam wewenang keuskupan ini), oleh uskup Boniface Choi Ki-san tanggal 29 Juni 2007 yang melarang umatnya untuk berziarah ke Naju. Larangan ini merupakan kelanjutan dari pernyataan senada dari Uskup Agung Victorinus Youn Kong-hi di tahun 1998, yang menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti yang menyatakan bahwa penglihatan- penglihatan dan fenomena yang dialami oleh Julia dan patungnya merupakan sesuatu yang benar- benar supernatural dan berasal dari Tuhan. Pengganti Uskup Agung Youn, yaitu Uskup Agung Andreas Choi Chang-mou, di tahun 2001 dan 2005 juga sudah pernah mengeluarkan pernyataan serupa, dan pada tahun 2008 tersebut kembali mengeluarkan surat yang merupakan penegasan dari apa yang pernah disampaikan sebelumnya. Informasi yang lebih lengkap mengenai hal ini, dapat dibaca di link ini, klik di sini, dan di sini.

Selanjutnya dalam berita di UCAnews.com mengatakan:

“Keuskupan Agung Kwangju pada tanggal 24 Februari 2008 mengeluarkan pernyataan, “Sikap Keuskupan Kwangju dalam kaitan dengan Peristiwa Julia Youn di Naju”. Di dalam pernyataan itu, Keuskupan Kwangju mengutip surat dari Kongregasi Untuk Ajaran Iman (CDF/ Congregation for the Doctrine of the Faith) yang berkedudukan di Vatikan, yang mengatakan bahwa Vatikan menghargai keputusan Keuskupan Kwangju sebagai sikap resmi dari Gereja universal, yaitu keputusan terhadap apa yang dianggap sebagai penampakan, yang dialami oleh Julia di Naju.”

Surat dari Vatikan tersebut bertanggal 24 April, 2008.

Uskup Agung Andreas Choi Chang-mou dari Kwangju telah menyatakan di bulan Januari 2008 bahwa Youn dan para pengikutnya, yang telah mendesakkan keyakinannya terhadap apa yang disebutnya sebagai mukjizat ilahi yang berputar di sekelilingnya, telah mengakibatkan terjadinya ekskomunikasi latae sententiae. Ekskomunikasi tersebut tidak diterapkan melalui jalur penghakiman, namun lahir sebagai akibat otomatis dari sebuah tindakan yang menempatkan seseorang di luar komunitas umat beriman.”

Untuk membaca berita selengkapnya, silakan klik di sini, dan juga di sini, silakan klik

Mengingat bahwa sejauh ini ada banyak juga umat Katolik dari Indonesia yang sudah ‘berziarah’ ke sana, maka ada baiknya informasi ini diketahui oleh umat Katolik Indonesia, sebab nampaknya pihak otoritas Gereja Katolik (dalam hal ini sikap Vatikan sama dengan sikap Keuskupan Agung Kwangju) tidak mengakui penampakan/ fenomena Julia Kim ini. Kita sebagai umat Katolik selayaknya percaya kepada pihak otoritas Gereja Katolik di Naju, Korea Selatan, yang telah mengadakan penyelidikan seksama terlebih dahulu, sebelum mengeluarkan pernyataan tersebut. Pihak Keuskupan Agung sudah telah membentuk komite khusus pada tanggal 30 Desember 1994, untuk menyelidiki fenomena- fenomena di Naju. Berdasarkan penyelidikan komite tersebut, ternyata ditemukan adanya keterlibatan beberapa elemen- elemen buatan/ elemen manusia, sehingga kredibilitas fenomena tersebut diragukan. Silakan membaca selengkapnya pernyataan Uskup Agung Kwangju sehubungan dengan hal ini, silakan klik.

Dalam sejarah Gereja Katolik, para penerima wahyu pribadi yang otentik selalu tinggal dalam kerendahan hati, tidak menentang otoritas Gereja, dan tidak menjadikan tempatnya menjadi tempat ziarah dengan memungut biaya masuk bagi pengunjung seolah menjadikannya tempat komersial. Hal ini nampaknya berbeda dengan yang terjadi di Naju, Korea Selatan. Menurut informasi yang kami terima dari salah seorang umat Katolik dan Romo yang berdomisili di Korea, pihak Vatikan telah menyelidiki dengan mengirimkan utusan untuk menjadi salah satu peziarah untuk mengetahui keadaan di lapangan, dan dengan demikian keputusan yang disampaikan oleh pihak otoritas Gereja juga didasari atas fakta dan penyelidikan terlebih dahulu.

Sebaliknya, klaim yang beredar di internet tentang kecondongan sikap Paus Banediktus XVI maupun Cardinal Ivan Diaz terhadap fenomena Julia Kim di Naju, dan mukjizat Ekaristi di Vatikan pada saat Julia Kim mengunjungi Vatikan di tahun 2010 yang lalu, merupakan ulasan dari pihak- pihak peliput, namun tidak secara resmi dikeluarkan oleh pihak Vatikan sendiri. (Jika Anda berhasil menemukan pernyataan tersebut langsung dari Vatikan, silakan memberitahu kami, agar kami dapat merevisi jawaban ini).

Maka, mari sebagai umat Katolik kita tunduk kepada keputusan Magisterium Gereja Katolik (yang dalam hal ini diwakili oleh keputusan dari pihak otoritas Gereja Katolik yaitu Keuskupan Agung Kwangju di Korea Selatan yang juga menjadi acuan bagi sikap Vatikan), sebab merekalah yang memang berhak menentukan apakah suatu wahyu pribadi yang terjadi di wilayahnya itu otentik -sungguh bersifat adikodrati dari Tuhan- atau tidak. Para pemimpin Gereja itulah yang dengan kompetensi khusus bertugas “untuk menguji segala sesuatu dan berpegang teguh kepada apa yang benar” (lih. 1 Tes 5:12; 19-21, sebagaimana dikutip dalam Lumen Gentium, 12). Selanjutnya, perlu kita ingat bahwa wahyu pribadi tidak menambah ataupun mengurangi perbendaharaan iman (deposit of faith) Kristiani (lih. KGK 67). Sebab seluruh wahyu telah dinyatakan oleh Kristus, dan peran wahyu pribadi (yang otentik) adalah membantu umat beriman untuk lebih menghayatinya hari demi hari; agar menghasilkan buah- buah Roh Kudus: kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan pengendalian diri (Gal 5:22-23). Buah- buah Roh Kudus inilah yang menjadi tanda bukti akan iman yang sejati.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati- katolisitas.org

Template: Comments

0

This post tests comments in the following ways.

  • Threaded comments up to 10 levels deep
  • Paginated comments (set Settings > Discussion > Break comments into pages to 5 top level comments per page)
  • Comment markup / formatting
  • Comment images
  • Comment videos
  • Author comments
  • Gravatars and default fallbacks

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab